I.
Angka kesakitan Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (PJPD) di Amerika Serikat
pada tahun 1996, dilaporkan hamper mencapai 60 juta penderita, dimana 1,8 juta
diantaranya menderita PJR. (Ulfah A., 2000) Statistik rumah sakit di Negara
berkembang pada tahun 1992 menunjukkan sekitar 10%-35% dari penderita penyakit
jantung yang masuk ke rumah sakit adalah penderita DR dan PJR (Afif A., 2008)
Insidens PJR tertinggi dilaporkan terjadi pada suku Samoan di Kepulauan Hawaii
sebesar 206 penderita per 100.000 penduduk pada periode tahun 1980-1984. (Boestan
I.N., 2007) Prevalens PJR di Ethiopia (Addis Ababa) tahun 1999 adalah 6,4 per
100.000 penduduk pada kelompok usia 5-15 tahun (Asdie A.H., 2000) Dari klasifikasi
PJR, yakni stenosis mitral, ditemukan perempuan lebih sering terkenadaripada lakilaki dengan perbandingan 7:1 (Chandrasoma P, 2006). DR Akut dan PJR diduga hasil
dari respon autoimun, namun patogenesis yang pasti masih belum jelas. Walaupun PJR
adalah penyebab utama kematian 100 tahun yang lalu pada orang berusia 5-20 tahun di
Amerika Serikat, insiden penyakit ini telah menurun di negara maju, dan tingkat
kematian telah menurun menjadi hanya di atas 0% sejak tahun 1960-an. Di seluruh
dunia, PJR masih merupakan masalah kesehatan yang utama. PJR Kronis diperkirakan
terjadi pada 5-30 juta anak-anak dan orang dewasa muda; 90.000 orang meninggal
karena penyakit ini setiap tahun. Angka kematian dari penyakit ini masih 1%-10%.
Sebuah sumber daya yang komprehensif mengenai diagnosis dan pengobatan
disediakan oleh WHO (Thomas K Chin, 2008). Dilaporkan di beberapa tempat di
Amerika Serikat pada pertengahan dan akhir tahun 1980-an telah terjadi peningkatan
insidens DR, demikian juga pada populasi aborigin di Australia dan New Zealand
dilaporkan peningkatan penyakit ini. Tidak semua penderita infeksi saluran nafas yang
disebabkan infeksi Streptokokus Beta Hemolitik grup A menderita DR. Sekitar 3%
dari penderita infeksi saluran nafas atas terhadap Streptokokus Beta Hemolitik grup A
di barak militer pada masa epidemi yang menderita DR dan hanya 0,4% didapati pada
anak yang tidak diobati setelah epidemi infeksi Streptokokus Beta Hemolitik grup A
pada populasi masyarakat sipil (Chakko S. et al, 2001). Dalam laporan WHO Expert
Consultation Geneva, 29 Oktober1 November 2001 yang diterbitkan tahun 2004
angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di negara maju hingga 8,2 per
100.000 penduduk di negara berkembang dan di daerah Asia Tenggara diperkirakan
7,6 per 100.000. Diperkirakan sekitar 2000-332.000 yang meninggal diseluruh dunia
karena penyakit tersebut. Angka disabilitas pertahun (The disability-adjusted life years
(DALYs)1 lost) akibat PJR diperkirakan sekitar 27,4 per 100.000 di negara maju
hingga 173,4 per 100.000 di negara berkembang yang secara ekonomis sangat
merugikan. Data insidens DR yang dapat dipercaya sangat sedikit sekali. Pada
beberapa negara data yang diperoleh hanya berupa data lokal yang terdapat pada anak
sekolah. Insidens per tahunnya cenderung menurun dinegara maju, tetapi di negara
berkembang tercatat berkisar antara 1 di Amerika Tengah 150 per 100.000 di China.
Sayangnya dalam laporan WHO yang diterbitkan tahun 2004 data mengenai DR dan
PJR Indonesia tidak dinyatakan (Afif. A, 2008 & WHO, 2004). Pada tahun 2001 di
Asia Tenggara, angka kematian akibat PJR sebesar 7,6 per 100.000 penduduk. Di
Utara India pada tahun 1992-1993, prevalens PJR sebesar 1,9-4,8 per 1.000 anak
sekolah (dengan umur 5-15 tahun). Sedangkan Nepal (1997) dan Sri Lanka (1998)
masing-masing sebesar 1,2 per 1.000 anak sekolah dan 6 per 1.000 anak sekolah
(WHO, 2001).
C. Patofisiologi
Demam rematik merupakan kelanjutan dari infeksi faring yang disebabkan
Streptokokkus beta Hemolitik grup A. Reaksi autoimun terhapad infeksi streptokokus
secara hipotetif akan menyebabkan keruskaan jaringan atau manifestasi demam
rematik., sebagai berikut (1) streptokokus grup A akan menyebabkan infeksi pada
faring, (2) antigen streptokokus akan menyebabkan pembentukan antibodi pada
hospes yang hiperimun, (3) antibodi akan bereaksi dengan antigen streptokokus, dan
dengan jaringan hospes yang secara antigenik sama seperti streptokokus (antibodi
tersebut tidak dapat membedakan antara antigen streptokokus dengan antigen jaringan
jantung, (4) autoantibodi tersebut beraksi dengan jaringan hospes sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan.
Adapun kerukana jaringan ini menyebabkan peradangan pada lapisan jantung
khususnya mengenai endotel katup, yang mengakibatkan pembengkakan daun katup
dan erosi pinggir dalam katup. Hal ini mengakibatkan tidak sempurnanya daun katup
mitral menutup pada saat sistolik sehingga mengakibatkan penurunan suplai darah ke
aorta dan aliran balik dari ventrikel kiri ke atrium kiri. Hal ini mengakibatkan
penurunan curah sekuncup ventrikel sehingga jantung berkompensasi dengan dilatasi
ventrikel kiri, peningkatan kontraksi miokardium, hipertrofi dinding vetrikel dan
atrium sehingga terjadi penurunan kemampuan atrium kiri untuk memompa darah, hal
ini mengakibatkan kongesti vena pulmonalis dan darah kembali ke paru-paru
mengakibatkan terjadi edema interstisial paru, hipertensi arteri pulmonalis, hiperteni
ventrikel kanan sehingga dapat menimbulkan gagal jantung kanan.
serangan akut demam rematik. Prognosis akan memburuk bila gejala karditisnya lebih
berat. Demam rematik dengan payah jantung akan smebuh 30% pada 5 tahun pertama
dan 40% setelah 10 tahun. Dari data penyembuhan ini akan bertambahn bila
pengobatan pencegahan sekunder dilakukan secara baik (Stollerman, 2005).
DAFTAR PUSTAKA
Affandi MB. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik: Diagnosis, penatalaksanaan
dan gambaran klinik pada pemeriksaan pertama di RSCM Bagian IK Anak, Jakarta
1978-1981. Maj Kes Mas 1986; XVI (4):240-48
Afif, A. 2008. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik Permasalahan Indonesia.
Medan : FK USU. http://www.usu.ac.id
Chin, T.K., 2008. Rheumatic Heart Disease. Associate Professor of Pediatrics, Chief of
Pediatric Cardiology and Medical Director of the Pediatric Heart Institute, University
of Tennessee College of Medicine; Director of Cardiology and Endowed Chair for
Excellence
in
Cardiology,
St
Jude
Children's
Research
Center.
http://www.emedicine.com
Chin, T.K., 2006. Rheumatic Heart Disease. Associate Professor in Pediatrics, University of
Tennessee College of Medicines; Chief Department of Pediatric Cardiology, LeBonheur
Childrens Hospital, St. Jude Childrens Research Hospital. http://www.emedicine.com
Kliegman R, Behrman R, Jenson H. Rheumatic Heart Disease in Nelson Textbook of
Pediatric. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007. P. 1961-63
Kuncoro AS. Jurnal Kardiologi Indonesia. Pemeriksaan Stenosis Mitral Akibat Proses
Rheumatik Dengan Ekokardiografi. 2010. Vol. 31 p. 62-65
Meador R.J, Russel IJ, Davidson
http://www.emedicine.com
A,
et
al.
2009.
Acute
Rheumatic
Fever.
Price, Sylvia Anderson and Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokterab EGC. P.613-27
Stollerman GH. Rheumatic Fever. In: Braunwald, Eet al (eds). Harrisons Principles of
Internal Medicine. 16th ed. Hamburg. Mc-Graww-Hill Book. 2005. 1977-79
World Health Organization. WHO program for the prevention of rheumatic fever/ rheumatic
heart disease in 16 developing countries: report from Phase I (1986-90). Bull WHO
1992; 70(2) 213-18
World Health Organization (WHO). Rheumatic fever and rheumatic heart disease WHO
Technical report series 923. Report of a WHO Expert Consultation Geneva, 29
October-1 November 2001. Available from : http://www.who.int