Anda di halaman 1dari 6

Isy Kariman aw Mut Syahidan

Oleh Fadly pada Senin 12 Oktober 2009, 05:09 PM

Print Recommend (0) Comment (24)


Isy Kariman aw Mut Syahidan. Hidup Mulia Atau Mati Syahid. Slogan ini oleh aktivis Islam
Liberal dianggap sebagai Slogan Pembangkit Militansi, ‘Teologi Maut’ yang negatif dan
menghancurkan dan tidak sesuai dengan Islam. Jawa Pos, sebuah harian yang rajin mengekspos
ide-ide sekuler dan liberal menurunkan tulisan sejak tanggal 26 September 2009 secara berseri
untuk membahasnya. Tercatat ada 8 orang penulis, mulai dari Syafi’i Anwar hingga Kamaruddin
Hidayat, termasuk Musdah Mulia ikut ambil bagian membuat tulisan pesanan tersebut.
Ironisnya, dalam membicarakan hidup mulia dan mati syahid tersebut tidak ada seorang pun
penulisnya yang merupakan representasi seorang mujahid, atau ulama mujahid. Bahkan
mengutip dari para mujahid atau ulama mujahid saja juga tidak, kecuali untuk ‘dipelintir’
maksudnya. Karena hampir seluruh penulisnya aktivis Islam liberal, maka arah dan
kecenderungan tulisannya pun sudah bisa ditebak, yakni membela mati-matian ide liberalisme
dan pluralisme serta menolak ide syariat Islam dan jihad. Lantas, apakah makna dari slogan Isy
Kariman aw Mut Syahidan yang sebenarnya?
Isy Kariman aw mut Syahidan, Haditskah ?
Isy Kariman aw Mut Syahidan berarti Hidup Mulia atau Mati Syahid, atau bisa juga berarti
hiduplah dengan mulia dan matilah secara syahid alias menjadi seorang syuhada. Isy Kariman
aw Mut Syahidan bukanlah sebuah hadits, melainkan semacam moto atau slogan dalam
khazanah perjuangan Islam.
Ungkapan ini pertama kali dikemukakan oleh ibunda Abdullah bin Zubair, yakni Asma Binti
Abu Bakar kepada puteranya, Abdullah bin Zubair. Konteks ungkapan itu juga kontekstual dan
sangat heroik, karena disampaikan oleh Ibunda Asma kepada putranya Abdullah bin Zubair agar
tetap semangat berperang membela kebenaran sampai titik darah penghabisan melawan
kekuasaan tiran saat itu pimpinan Yazid bin Muawiyah.
Ungkapan ini menjadi istimewa karena diucapkan oleh seorang Shahabat atau Shahabiat, yang di
dalam Islam memiliki kedudukan yang istimewa. Sebagian ulama bahkan berpendapat bahwa
ucapan Shahabat termasuk dalil syar’i yang bisa dijadikan rujukan untuk melakukan amal
perbuatan.
Asma Binti Abu Bakar dalam Islam dikenal dengan julukan “Dzatu An Nithaqayn” yakni Wanita
Dengan Dua Ikat Pinggang. Beliau mendapat julukan ini karena membawakan makanan untuk
Rasulullah SAW dan Abu Bakar ketika hijrah dan memutuskan untuk membagi ikat
pinggangnya menjadi dua untuk mengikat makanan dan air sehingga mereka dapat
membawanya.
Sementara itu, Abdullah bin Zubair, dikenal dalam Islam sebagai seorang pemuda dan pejuang
yang berani dan selalu siap berjuang untuk Islam. Dalam kehidupan sehari-hari beliau juga
dikenal sangat tekun beribadah, dan sebagaimana pesan ibundanya, beliau juga mengakhiri
hidupnya sebagai orang yang syahid dalam memperjuangkan Islam.
Syekh Umar Bakri Muhammad dalam bukunya “Hal Qowl as-Sahabah Hujjah fid Deen?”
mendefinisikan ucapan Shahabat sebagai :
“Apa saja yang terkait dengan rantai periwayatan yang shahih dan tidak terdapat kontradiksi di
dalamnya dengan dalil-dali syar’i (Al Qur’an dan Hadits), baik itu berupa perbuatan,
perkataan, persetujuan (terhadap sesuatu) maupun pendapat.”
Dalam buku tersebut dijelaskan posisi Shahabat Rasulullah SAW yang begitu tinggi dan mulia
dalam Islam, dikarenakan mereka adalah orang-orang yang mendapatkan pengajaran langsung
tentang Islam dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, merekalah, alias para Shahabat
yang paling tahu dan mengerti makna Islam dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak dalil Al Qur’an maupun hadits yang menjelaskan posisi para Shahabat dalam Islam yang
begitu tinggi dan kewajiban kaum Muslimin untuk mengikuti mereka. Beberapa ayat
menjelaskan masalah tersebut, di antaranya:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-
lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah (9) : 100)
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon , maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu
menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan
kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al Fath (48) : 18)
Dalam hadits Nabi SAW., terdapat banyak kemuliaan dan perintah untuk selalu berpedoman
kepada para Shahabat, di antaranya :
“Sebaik-baik ummatku adalah generasiku (Shahabat), kemudian generasi sesudahnya
(tabi’in), dan kemudian yang sesudahnya (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Muliakanlah para Shahabatku, karena mereka adalah yang terbaik di antara kalian.” (HR.
Ahmad, An Nasa’iy dan Al Hakim)
“Kalian akan senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian masih ada orang yang
pernah melihatku dan bersahabat denganku. Demi Allah, kalian akan senantiasa dalam
kebaikan selama diantara kalian ada orang yang pernah melihatku dan bersahabat
denganku.” (HR. Ibnu Abi Syaybah, Ibnu Abi’ ‘Ashim, Ath Thabraniy, dan Abu Nu’aym)
“Bintang-bintang adalah penjaga langit, apabila bintang-bintang itu hilang, maka akan
datang bagi penduduk langit tersebut apa yang dijanjikan. Aku adalah penjaga para
Shahabatku, apabila aku meninggal maka akan datang bagi para Shahabatku apa yang
dijanjikan. Dan para Shahabatku adalah para penjaga ummatku, apabila para Shahabatku
meninggal, maka akan datang bagi ummatku apa yang dijanjikan.” (HR. Muslim)
Dikarenakan ucapan atau qaul Shahabat juga merupakan dalil syar’i yang bisa dijadikan hujjah
(argumen) dalam agama dan hasilnya dapat dipergunakan oleh ummat Islam dalam kehidupan
mereka sehari-hari, maka moto atau slogan Isy Kariman aw Mut Syahidan yang diucapkan oleh
ibunda Abdullah bin Zubair patut menjadi perhatian dan kajian bagi kaum Muslimin.

Makna Hidup Mulia Dalam Islam


Secara fitrah, setiap manusia pasti mendambakan kehidupan mulia. Bagi setiap Muslim, setiap
harinya mereka selalu berdoa kepada Allah SWT., agar diberikan kehidupan mulia di dunia, dan
begitu pula di akhirat, Robbana atina fi dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah. Hanya saja perlu
diperjelas, kehidupan seperti apa yang dianggap mulia dalam pandangan syariat Islam.
Hidup mulia dalam Islam hanya bisa tercapai jika fungsi dan esensi manusia diciptakan oleh
Allah SWT bisa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi dan esensi tersebut adalah
menjadi abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah (khalifah Allah) di muka bumi. Kedua tugas
suci tersebut telah disampaikan secara tegas sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
(QS Adz Dzaariyat (51) : 56)
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi…”. (QS Al Baqarah (2) : 30)
Dua fungsi dan esensi hidup mulia dalam pandangan Islam tersebut hanya bisa terealisir dalam
kehidupan sehari-hari dalam bingkai syariat Islam yang menaungi. Bahkan kehidupan mulia di
bawah naungan syariat Islam inilah yang mampu memberikan rahmat tidak hanya kepada orang
Muslim, melainkan kepada seluruh alam, sebagaimana firmanNya :
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam.” (QS Al Anbiyaa’ (21) : 107)
Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan:
Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia telah menjadikan Muhammad SAW., sebagai rahmat bagi
semesta alam. Yaitu, Dia mengutusnya sebagai rahmat bagi kalian semua. Barangsiapa yang
menerima dan mensyukuri nikmat ini, niscaya dia akan berbahagia di dunia dan di akhirat.
Sedangkan barangsiapa yang menolak dan menentangnya, niscara dia akan merugi dunia dan
akhirat.
Maka dapat difahami bahwa hidup mulia dalam pandangan Islam hanya dapat dicapai jika
Risalah Islam beserta syariat Islam diterima, diyakini dan diamalkan oleh manusia sebagai
pedoman hidupnya dalam seluruh aspek kehidupan. Kehidupan mulia tidak hanya akan tercapai
di dunia bahkan juga di akhirat, bahkan rahmat atau kemuliaan juga akan melingkupi seluruh
alam semesta. Untuk tujuan inilah, kehidupan dan perjuangan seorang Muslim diarahkan,
sehingga kalaupun dia belum berhasil mencapainya, namun dia telah mengupayakannya dan
tetap yakin bahwa Allah SWT suatu saat pasti akan memberikan hal tersebut kepada hamba-
hambaNya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya
untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah
(janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS An Nuur (24) : 55)

Mengapa Mati Syahid Menjadi Dambaan?


Dalam Islam dan bagi kaum Muslimin telah maklum bahwa hidup di dunia tidak selamanya dan
kehidupan di akhiratlah yang abadi dan harus menjadi prioritas dan diusahakan semaksimal
mungkin pencapaiannya.
Tidak berguna jika hidup di dunia mulia, kaya raya, berumur panjang, namun akhirnya menemui
kematian dengan buruk (su’ul khatimah). Karena yang menjadi perhitungan dan menentukan
bagi kehidupan seseorang adalah bagian akhirnya, apakah berakhiran atau menemui kematian
dengan buruk (su’ul khatimah) atau berakhiran dengan baik (khusnul khatimah).
Nabi SAW bersabda :
“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar telah beramal dengan amalan ahli neraka
padahal sesungguhnya ia termasuk ahli surga, dan beramal dengan amalan ahli surga
padahal ia termasuk ahli nereka. Dan sesungguhnya amal-amal itu tergantung
penutupannya.” (HR. Bukhari)
Syekh Abdul Baqi Ramdhun dalam bukunya “Al Jihaadu Sabiluna” mengatakan :
‘Islam mendorong kaum Muslimin untuk berjihad di jalan Allah dan menggesa mereka untuk
terjun ke kancah kancah peperangan dan pertempuran dalam rangka meninggikan kalimat
Allah, memberanikan mereka untuk menerjang bahaya dan kesulitan demi memperoleh ridha
Allah, serta memotivasi mereka agar senang menyongsong maut dengan lapang dada, hati
tegar, dan jiwa yang tenang lantaran menginginkan apa yang ada pada sisi Allah. Dan Allah
telah membesarkan ganjaran dan pahala atas amal tersebut serta melimpahkan keutamaan dan
anugerah di dalamnya.’
Beliau di dalam bukunya juga menjelaskan bahwa Allah SWT telah menyiapkan bagi mujahidin
dan orang-orang yang mati syahid di jalanNya berbagai karomah, anugerah, ketinggian maqom,
dan ketinggian kedudukan yang tidak dapat dicapai melalui ibadah-ibadah yang lain bahkan
lewat shalat, zakat, puasa, haji, serta seluruh bentuk ibadah dan qurobah (pendekatan diri kepada
Allah yang lain). Dengan penjelasan ini, tidak heran mengapa mati syahid menjadi kematian
yang begitu tinggi kedudukan dan keistimewaannya dalam pandangan Islam dan menjadi
dambaan setiap Muslim yang mengerti serta memahami permasalahan tersebut.
Syekh Usamah bin Ladin dalam video The Caravan of Syuhada mengatakan :
“Penutup para nabi dan rasul, Muhammad SAW., mengharapkan kedudukan ini. Perhatikan
dan renungkan kedudukan seperti apakah yang diharapkan oleh sebaik-baiknya manusia ini.
Beliau berharap menjadi seorang syahid.
Demi jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya. Sungguh aku berharap bisa berperang lalu
aku terbunuh, kemudian (hidup lagi) untuk berperang lalu aku terbunuh, kemudian (hidup
lagi) untuk berperang lalu aku terbunuh. (Al Hadits)
Hidup yang lama dan panjang ini diringkas oleh Nabi SAW dengan petunjuk Allah SWT., dalam
sabda Beliau di atas. Beliau sangat menginginkan kedudukan ini Orang yang bahagia adalah
orang yang telah dipilih oleh Allah SWT sebagai seorang syahid.”
Syekh Jabir bin Abdul Qoyyum As Sa’idi Asy Syami dalam bukunya “Al Ishobah Fii Tholabisy
Syahaadah” menjelaskan mengapa mati syahid atau menjadi syuhada itu begitu memiliki
kedudukan yang tinggi di dalam Islam.
Diriwayatkan dari Sahal bin Hanif, ia dari bapaknya, bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Nabi
SAW., bersabda:
Barangsiapa memohon mati syahid kepada Allah dengan tulus, niscaya Allah akan
menyampaikannya ke derajat para syuhada' meskipun ia mati di atas kasurnya. (HR Muslim,
Tirmidzi, Nasai, dan Abu Daud)
Diriwayatkan dari Abu Is-haq, dari Al Barro', ia berkata: Seseorang dari Bani An Nabit dari
kalangan anshar datang lalu berkata: Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah (sesembahan yang
benar) kecuali Allah dan bahwasanya engkau adalah hamba dan utusan-Nya. Kemudian ia maju
dan berperang sampai terbunuh. Maka Nabi SAW., bersabda :
Orang ini beramal sedikit namun diberi pahala banyak. (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Dengan demikian, dalam pandangan Islam sesungguhnya keberhasilan yang paling utama dan
anugrah yang paling baik yang didapatkan oleh seseorang itu adalah jika Allah memilihnya
untuk mati syahid.
Nabi SAW bersabda kepada seorang sahabat yang berdo'a kepada Allah dengan mengucapkan:
Ya Allah berikanlah kepadaku apa yang paling baik yang telah Engkau berikan kepada
hamba-Mu yang sholih.
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda kepada orang tersebut:
Jika demikian kudamu akan tersembelih dan engkau akan mati syahid di jalan Allah.
Maka Mut Syahidan atau mati syahid atau mati sebagai seorang syuhada (orang yang berjihad di
jalan Allah SWT) adalah kedudukan yang sangat besar dan tinggi yang tidak akan diraih kecuali
oleh orang yang layak untuk mendapatkannya.
Dalam hadits lain disebutkan :
“Dikatakan, “Wahai Rasulullah, amal apa yang dapat menyamai (pahala) jihad fi sabilillah ?
Nabi bersabda, “Kalian tidak mampu melaksanakannya.” Lalu mereka mengulang
pertanyaan itu atau tiga kali, dan semua dijawab, “Kalian tidak mampu melaksanakannya.” !
Lalu Nabi bersabda, Perumpamaan mujahid fi sabilillah seperti orang yang shaum (puasa)
dan shalat malam dan membaca ayat-ayat Allah dan tidak berhenti melakukan shiyam dan
sholat sampai seorang mujahid fi sabilillah kembali.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik rodliyallohu 'anhu bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
Tidak ada seseorang yang telah mati yang mendapatkan kebaikan di sisi Allah, kemudian dia
ingin kembali ke dunia atau ia diberi dunia dan seisinya kecuali orang yang mati syahid.
Sesungguhnya orang yang mati syahid itu berharap untuk dapat kembali ke dunia lalu ia
terbunuh di dunia lantaran keutamaan mati syahid yang ia lihat. Dan di dalam riwayat lain
disebutkan: lantaran kemuliaan yang ia lihat.

Khatimah
Jadi tidak ada yang salah dengan mati syahid. Mati syahid bukanlah sebuah kematian yang sia-
sia, terhina, harus ditangisi, dilecehkan dan ditakutkan oleh seorang Muslim. Karena mati syahid,
mati ketika memperjuangkan agama Allah SWT atau jihad fi sabilillah, adalah sebuah kematian
yang sangat tinggi dan mulia kedudukannya di dalam Islam, yang tidak mungkin dicapai dan
diraih kecuali oleh orang-orang yang memang dipilih oleh Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW sebagai contoh dan teladan kaum Muslimin memberikan ilustrasi yang
begitu indah tentang mati syahid, dimana beliau begitu menginginkannya dan berharap bisa
mencapainya. Bukankah ini menjadi sebuah bukti yang tidak terbantahkan?
Adapun kehidupan mulia dalam Islam juga bukan berarti hidup mewah dan berfoya-foya serta
lantas lupa kepada Sang Pencitpa, Allah SWT, sebagaimana sangkaan orang kebanyakan yang
hidup pada saat ini. Hidup mulia di dunia dalam pandangan Islam adalah sebuah ketundukan
total seorang manusia, baik sebagai seorang hambaNya, dan juga sebagai khalifahNya.
Kehidupan mulia di dunia hanya bisa tercapai jikalau seluruh syariat Islam diberlakukan secara
kaafah (totalitas) sehingga tidak hanya orang Muslim yang akan mendapatkan rahmat, orang non
Muslim juga akan mendapatkan rahmat, bahkan alam semesta. Maka sudah merupakan
kewajiban bagi setiap Muslim untuk dapat meraih kehidupan mulia di dunia, yakni dengan jalan
selalu mengupayakan tegaknya syariat Islam di muka bumi.
Dengan demikian, betapa indah dan bertujuan indah, serta penuh maknanya semboyan dan
slogan yang telah diucapkan oleh Shahabat dan kini menjadi populer kembali, yakni Isy
Kariman aw Mut Syahidan. Hidup Mulia Atau Mati Syahid. Keduanya adalah kebaikan yang
sangat didambakan oleh setiap Muslim. Semoga kita bisa meraih salah satu dari keduanya, Insya
Allah…!

Anda mungkin juga menyukai