Menurut Mattessich dan Hill (Zeitlin 1995), keluarga merupakan suatu kelompok yang
berhubungan kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan emosional yang sangat dekat yang
memperlihatkan empat hal (yaitu interdepensi intim, memelihara batas-batas yang terseleksi,
mampu untuk beradaptasi dengan perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, dan
melakukan tugas-tugas keluarga). Definisi lain menurut Settels (Sussman dan Steinmetz 1987),
1
keluarga juga diartikan sebagai suatu abstraksi dari ideologi yang memiliki citra romantis, suatu
proses, sebagai satuan perlakukan intervensi, sebagai suatu jaringan dan tujuan/peristirahatan
akhir. Lebih jauh, Frederick Engels dalam bukunya The Origin of the Family, Private Property,
and the State, yang mewakili pandangan radikal menjabarkan keluarga mempunyai hubungan
antara struktur sosial-ekonomi masyarakat dengan bentuk dan isi dari keluarga yang didasarkan
pada sistem patriarkhi (Ihromi 1999).
Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan anaknya yang meliputi agama, psikologi, makan dan minum, dan
sebagainya. Adapun tujuan membentuk keluarga adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi
anggota keluarganya. Keluarga yang sejahtera diartikan sebagai keluarga yang dibentuk
berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang
layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan
seimbang antar anggota keluarga, dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya
(Landis 1989; BKKBN 1992).
Ditambahkan oleh Pitts yang dikutip oleh Kingsbury dan Scanzoni (Boss et al. 1993)
bahwa tujuan dari terbentuknya keluarga adalah sebagai suatu struktur yang dapat memenuhi
kebutuhan fisik dan psikologis anggotanya dan untuk memelihara masyarakat yang lebih luas.
Dalam mencapai tujuan keluarga, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994
menyebutkan adanya delapan fungsi yang harus dijalankan oleh keluarga meliputi fungsi
pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik yang terdiri atas fungsi keagamaan, sosial-budaya,
cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan
lingkungan (BKKBN 1996). Menurut United Nation (1993) fungsi keluarga meliputi fungsi
pengukuhan ikatan suami istri, prokreasi dan hubungan seksual, sosialisasi dan pendidikan anak,
pemberian nama dan status, perawatan dasar anak, perlindungan anggota keluarga, rekreasi dan
perawatan emosi, dan pertukaran barang dan jasa. Menurut Mattensich dan Hill (Zeitlin et al.,
1995) fungsi pemeliharaan fisik sosialisasi dan pendidikan, akuisisi anggota keluarga baru
melalui prokreasi atau adopsi, kontrol perilaku sosial dan seksual, pemeliharaan moral keluarga
dan dewasa melalui pembentukan pasangan seksual, dan melepaskan anggota keluarga dewasa.
Burgest dan Locke (1960) mengemukakan 4 (empat) ciri keluarga yaitu (a) Keluarga
adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan (pertalian antar suami dan
istri), darah (hubungan antara orangtua dan anak) atau adopsi; (b) Anggota-anggota keluarga
ditandai dengan hidup bersama dibawah satu atap dan merupakan susunan satu rumahtangga.
Tempat kos dan rumah penginapan bisa saja menjadi rumahtangga, tetapi tidak akan dapat
menjadi keluarga, karena anggota-anggotanya tidak dihubungkan oleh darah, perkawinan atau
adopsi, (c) Keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi
yang menciptakan peranan-peranan sosial bagi si suami dan istri, ayah dan ibu, anak laki-laki
dan perempuan, saudara laki-laki dan saudara perempuan; Peranan-peranan tersebut diperkuat
oleh kekuatan tradisi dan sebagian lagi emosional yang menghasilkan pengalaman; dan (d)
Keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama yang diperoleh dari kebudayaan umum.
Stephens mendefiniskan keluarga sebagai suatu susunan sosial yang didasarkan pada kontrak
perkawinan termasuk dengan pengenalan hak-hak dan tugas orangtua; tempat tinggal suami, istri
dan anak-anak; dan kewajiban ekonomi yang bersifat reciprocal antara suami dan istri
(Eshelman 1991).
Setiap keluarga mempunyai tujuan yang baik dan mulia misalnya untuk mewujudkan
keluarga yang Sakinah, Mawwadah, Warrohmah (untuk orang Muslim). Menurut Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah4.1:
2
Jelas sekali disini bahwa pendekatan ekosistem dan keluarga menyangkut hubungan
interdependensi antara manusia yang berada dalam satu unit keluarga inti dengan lingkungan
sosial maupun fisik yang ada di sekitarnya sesuai dengan aturan norma kultural yang dianut.
Menurut Holland et al. (Kilpatrick dan Holland 2003) bahwa perspektif ekosistem (sistem
ekologi) merupakan pendekatan teoretikal yang dominan dalam melihat perilaku manusia untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya (mulai dari
tingkatan mikro ke makro). Pendekatan lain dari Megawangi (1999) menjelaskan bahwa
keluarga dijabarkan sebagai suatu sistem yang diartikan sebagai suatu unit sosial dengan keadaan
yang menggambarkan individu secara intim terlibat untuk saling berhubungan timbal balik dan
saling mempengaruhi satu dengan lainnya setiap saat dengan dibatasi oleh aturan-aturan di dalam
keluarga. Sistem ekologi juga menganalisis keterkaitan antara keluarga dan lingkungan dalam
melihat perubahan budaya, seperti peran ganda ibu, tren perceraian, dan efek perceraian dalam
pengasuhan (Harris dan Liebert 1992).
KESETARAAN
DAN KEADILAN
GENDER
SISTEM MAKRO
Budaya
SISTEM EKSO
Keluarga luas
Teman
SISTEM MESO
Tetangga
SISTEM
MIKRO
Sekolah
Keluarga
ANAK
Mass
media
Klp
Agama
Tetangga
Pelayanan
Hukum
Pelayanan
Sosial
Gambar 4.1. Hubungan gender dan keluarga dengan lingkungannya (modifikasi model
ekologi dari Bronfenbrenner 1981).
Model tersebut menempatkan posisi anak atau keluarga inti pada pusat di dalam model
yang secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada di sekitarnya, yaitu
lingkungan mikrosistem (the microsystem) yang merupakan lingkungan terdekat dengan anak
berada, meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya, dan tetangga. Model ini juga dapat diterapkan
berdasarkan perspektif gender, yaitu lingkungan yang dapat mendorong/ menghambat interaksi
lingkungan dengan kaum laki-laki atau perempuan, mulai dari masa bayi, balita, anak-anak,
remaja, dewasa sampai lanjut usia.
Lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan mesosistem (the mesosystem) yang
berupa hubungan antara lingkungan mikrosistem satu dengan mikrosistem yang lainnya,
misalnya hubungan antara lingkungan keluarga dengan sekolahnya, dan hubungan antara
lingkungan keluarga dengan teman sebayanya. Lingkungan yang lebih luas lagi disebut dengan
lingkungan exosystem yang merupakan lingkungan tempat anak tidak secara langsung
mempunyai peranan secara aktif, misalnya lingkungan keluarga besar (extended family) atau
lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas adalah lingkungan makrosistem
(the macrosystem) yang merupakan tingkatan paling luas yang meliputi struktur sosial budaya
suatu bangsa secara umum.
Gambar 4.2 berikut ini menyajikan berbagai landasan Teori Keluarga dari lingkup makro
(terdiri atas Teori Struktural Fungsional/ Sistem, Teori Konflik Sosial, Teori Gender dan Teori
Perkembangan multilineal dengan tingkatan masyarakat) dan lingkup mikro (terdiri atas Teori
Pertukaran Sosial, Teori Interaksi Simbolik dan Teori Perkembangan Unilineal (Individu dan
Keluarga).
MAKRO
TEORI
KELUARGA
MIKRO
Gambar 4.2. Berbagai landasan teori keluarga dari tinjauan ruang lingkup makro dan
mikro.
seseorang dalam struktur sebuah sistem (Megawangi 1999). Talcott Parsons (Klein & White
1996) terkenal dengan konsep pendekatan sistem melalui AGIL (Adaptation; Goal Attainment;
Integration; and Latency), yaitu adaptasi dengan lingkungan, adanya tujuan yang ingin dicapai,
integrasi antar sub-sub sistem, dan pemeliharaan budaya atau norma/ nilai-nilai/ kebiasaan.
Pendekatan struktural-fungsional menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil
dalam keluarga dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat. Eshleman (1991), Gelles (1995),
Newman dan Grauerholz (2002) menyatakan bahwa pendekatan teori struktural-fungsional dapat
digunakan dalam menganalisis peran keluarga agar dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga
keutuhan keluarga dan masyarakat. Adapun Farrington dan Chertok (Boss et al. 1993), Winton
(1995), dan Klein dan White (1996) menyatakan bahwa konsep keseimbangan mengarah kepada
konsep homeostasis suatu organisme yaitu suatu kemampuan untuk memelihara stabilitas agar
kelangsungan suatu sistem tetap terjaga dengan baik meskipun di dalamnya mengakomodasi
adanya adaptasi dengan lingkungan.
Dinyatakan oleh Chapman (2000) bahwa keluarga adalah unit universal yang memiliki
peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar untuk mandiri. Tanpa aturan
atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga, maka unit keluarga tersebut tidak memiliki arti
(meaning) yang dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. Bahkan dengan tidak adanya peraturan
maka akan tumbuh atau terbentuk suatu generasi penerus yang tidak mempunyai daya kreasi
yang lebih baik dan akan mempunyai masalah emosional serta hidup tanpa arah.
Sebagai asumsi dasar dalam teori struktural fungsional adalah (Klein & White 1996;
Megawangi 1999): (1) Masyarakat selalu mencari titik keseimbangan, (2) Masyarakat
memerlukan kebutuhan dasar agar titik keseimbangan terpenuhi, (3) Untuk memenuhi kebutuhan
dasar, maka fungsi-fungsi harus dijalankan dan (4) Untuk memenuhi semua ini, maka harus ada
struktur tertentu demi berlangsungnya suatu keseimbangan atau homeostatik.
Prasyarat dalam teori struktural-fungsional menjadikan suatu keharusan yang harus ada
agar keseimbangan sistem tercapai, baik pada tingkat masyarakat maupun tingkat keluarga. Levy
(Megawangi 1999) menyatakan bahwa persyaratan struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga
agar dapat berfungsi, yaitu meliputi: (1) Diferensiasi peran yaitu alokasi peran/ tugas dan
aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, (2) Alokasi solidaritas yang menyangkut
distribusi relasi antar anggota keluarga, (3) Alokasi ekonomi yang menyangkut distribusi barang
dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, (4) Alokasi politik yang
menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga, dan (5) Alokasi integrasi dan ekspresi yaitu
meliputi cara/ tehnik sosialisasi internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada
setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku.
Teori sistem mempunyai pengertian dan konsep yang sama dengan Teori StrukturalFungsional, namun teori sistem lebih menekankan pada beroperasinya hubungan antara satu set
dengan set lainnya, sedangkan kalau teori struktural-fungsional lebih menekankan pada
mekanisme struktur dan fungsi dalam mempertahankan keseimbangan struktur. Kedua teori
tersebut terkadang dipandang sebagai teori yang sama, dan keduanya diterapkan pada analisis
kehidupan keluarga. Pendekatan teori sistem sosial diperkenalkan oleh seorang ahli ekonomi
Adam Smith yang menyangkut adanya konsep kesatuan dan saling ketergantungan antara
individu dan masyarakat (Campbell 1981; Turner 1986; So 1990; Day et al. 1995; Killpatrik dan
Holland 2003). Pendekatan ini digunakan dalam menganalisis keluarga dengan menerapkan
konsep keluarga sebagai ekosistem dan keluarga sebagai suatu sistem sosial (Holman 1983; Day
et al. 1995; Anderson 1995; Vosler 1996). Keluarga sebagai suatu sistem terdiri dari suatu set
bagian berbeda, namun berhubungan dan saling tergantung satu dengan yang lainnya (Kantor
7
dan Lehr 1975; dan Vosler 1996). Keluarga juga menerapkan praktek komunikasi antar
organisasi yang menyangkut kemampuan manusia dan perilakunya dalam menggunakan bahasa
dan penafsiran simbol-simbol yang berkaitan dengan sistem sosial di sekelilingnya (Ruben
1988).
Konsep Struktural Fungsional adalah:
1. Sistem: Suatu set obyek dan hubungan antar obyek dengan atributnya (Hall & Fagan
1956).
2. Boundaries: Suatu batas antara sistem dan lingkungannya yang mempengaruhi aliran
informasi dan energinya (tertutup atau terbuka).
3. Aturan Transformasi: memperlihatkan hubungan antara elemen-elemen dalam suatu
sistem.
4. Feedback: Suatu konsep dari teori sistem yang menggambarkan aliran sirkulasi dari
output kembali sebagai input (positif, negatif/ penyimpangan).
5. Variety: merujuk pada derajat variasi adaptasi perubahan dimana sumberdaya dari sistem
dapat memenuhi tuntutan lingkungan yang baru.
6. Equilibrium: Merujuk pada keseimbangan antara input dan output (homeostatis=
mempertahankan keseimbangan secara dinamis antara feedback dan kontrol).
7. Subsistem: Variasi tingkatan dari suatu sistem yang merupakan bagian dari suatu sistem.
8. Struktur keluarga.
9. Pembagian peran, tugas dan tanggung jawab, hak dan kewajiban.
10. Menjalankan fungsi.
11. Mempunyai aturan dan nilai/ norma yang harus diikuti.
12. Mempunyai tujuan.
Aplikasi Struktural Fungsional dalam Keluarga:
1. Berkaitan dengan pola kedudukan dan peran dari anggota keluarga tersebut, hubungan antara
orangtua dan anak, ayah dan ibu, ibu dan anak perempuannya, dll.
2. Setiap masyarakat mempunyai peraturan-peraturan dan harapan-harapan yang menggambarkan
orang harus berperilaku.
3. Tipe keluarga terdiri atas keluarga dengan suami istri utuh beserta anak-anak (intact
families), keluarga tunggal dengan suami/istri dan anak-anaknya (single families),
keluarga dengan anggota normal atau keluarga dengan anggota yang cacat, atau keluarga
berdasarkan tahapannya, dan lain-lain.
4. Aspek struktural menciptakan keseimbangan sebuah sistem sosial yang tertib (social
order). Ketertiban keluarga akan tercipta kalau ada struktur atau strata dalam keluarga,
dimana masing-masing mengetahui peran dan posisinya dan patuh pada nilai yang
melandasi struktur tersebut.
5. Terdapat 2 (dua) Bentuk keluarga yaitu: (1) Keluarga Inti (nuclear family), dan (2)
Keluarga Luas (extended family).
6. Struktur dalam keluarga dapat dijadikan institusi keluarga sebagai sistem kesatuan
dengan elemen- elemen utama yang saling terkait:
a. Status sosial: Pencari nafkah, ibu rumahtangga, anak sekolah, dan lain-lain.
b. Fungsi dan peran sosial: Perangkat tingkah laku yang diharapkan dapat
memotivasi tingkah laku seseorang yang menduduki status sosial tertentu (peran
instrumental/ mencari nafkah; peran emosional ekspresif / pemberi cinta, kasih
sayang).
8
adanya harapan bahwa rewards pada masing-masing orang yang berhubungan akan
proporsional dengan biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing orang tersebut, sehingga net
result dari masing-masing orang itu akan proporsional dengan investasinya dalam hubungan
tersebut. Apabila peraturan ini dilanggar, maka orang-orang yang dirugikan akan marah, dan
orang-orang yang diuntungkan akan merasa bersalah.
Teori pertukaran sosial menjelaskan keberadaan dan ketahanan kelompok sosial,
termasuk keluarga melalui bantuan selfinterest dari individu anggotanya. Fokus sentral teori
adalah motivasi (hal yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu kegiatan), yang
berasal dari keinginan diri sendiri. Teori ini didasari paham utilitarianisme (individu dalam
menentukan pilihan secara rasional menimbang antara imbalan (rewards) yang akan diperoleh,
dan biaya (cost) yang harus dikeluarkan. Para sosiolog penganut teori ini berpendapat bahwa
seseorang akan berinteraksi dengan pihak lain jika dianggapnya menghasilkan keuntungan
(selisih antara imbalan yang diterima dengan biaya yang dikeluarkan).
Sebagai asumsi dasar dalam teori pertukaran sosial adalah (Klein & White 1996; Homans
(1958;1961) dalam Zeitlin 1998; Sabatelli dan Shehan 1993): (1) Dalam proses belajar orang
mengkonstruksi perilaku melalui aplikasi pemikiran yang rasional: Setiap aksi mempunyai
konsekuensi Cost and Reward; Setiap orang rasional pasti mencari reward yang maksimal dan
meminimalkan biaya (Cost), (2) Setiap orang memiliki harga diri; Jika seseorang memberikan
keuntungan kepada orang lain, maka orang lain juga akan memberikan keuntungan pada orang
tersebut.
Menurut Homans dalam Ritzer (1985) terdapat lima prinsip dalam pertukaran sosial,
meliputi: (1) Jika respon pada suatu stimulus mampu mendatangkan keuntungan, maka respon
tersebut akan cenderung diulang terhadap stimulus yang sama, (2) Makin sering seseorang
memberikan ganjaran terhadap tingkah laku orang lain, maka makin sering juga tingkah laku
tersebut akan diulang, (3) Makin bernilai suatu keuntungan yang diperoleh dari tingkah lakunya,
maka makin sering juga pengulangan terhadap tingkah laku tersebut, (4) Makin sering orang
menerima ganjaran atas tindakannya dari orang lain, maka makin berkurang juga nilai dari setiap
tindakan yang dilakukan berikutnya dan (5) Makin dirugikan seseprang dalam berhubungan
dengan orang lain, maka makin besar kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi.
Kritik terhadap teori ini adalah bahwa: (1) Teori ini mengakui adanya kemampuan
manusia untuk mengatur perilakunya melalui proses berpikir yang rasional. Pada kenyataanya,
manusia belum tentu selalu berfikir secara rasional sepanjang hidupnya, (2) Teori ini akan
menghadapi masalah apabila berhadapan dengan situasi di mana tidak ada konsensus, imbalan
dan biaya, (3) Otonomi, kekuatan dan kemandirian cenderung sebagai nilai laki-laki. Nilai-nilai
perempuan yaitu sifat asuh (nurturance), dukungan (support), dan sifat penghubung
(connectedness) tidak terlalu dipandang sebagi pertimbangan dalam melihat imbalan dan biaya
dan (4) Pembedaan antara pertukaran sosial dan pertukaran ekonomi harus sejajar dengan
pembedaan antara pertukaran intrinsik dan ekstrinsik. Teori pertukaran sosial terlalu
memfokuskan pada separative self, otonomi dan individualisme.
Konsep Teori Pertukaran Sosial:
1. Pemikiran filosofi utilitarian adalah kerelaan (voluntaristic), interest dan teori tentang
nilai (value). Penekanan terbesar pada kebebasan individu untuk memilih.
2. Adam Smith, salah seorang pelopor dari perspektif ini, menggunakan pandangan
ekonomi bahwa manusia bertindak secara rasional untuk memaksimumkan manfaat
(benefits) atau kepuasan (utilitas).
11
3. Paham utilitarian yang lain adalah pendekatan teori ekonomi mikro dalam keluarga
(Becker 1981), dan psikologi sosial (Emerson 1976).
4. Levi-Straouss dalam Johnson (1990), terdapat dua sistem pertukaran sosial, yaitu bersifat
langsung dan tidak langsung:
a. Pada sistem pertukaran langsung, kedua belah pihak terjalin hubungan timbal
balik, cenderung menekankan pada keseimbangan, atau persamaan yang saling
menguntungkan sehingga aspek emosional ikut terlibat di dalamnya.
b. Pada pertukaran tidak langsung, terjadi secara berantai. Masing-masing anggota
masyarakat dituntut memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, dan melakukan
kewajibannya masing-masing, sehingga pada akhirnya dapat diperoleh
keuntungan secara bersama-sama.
5. Imbalan dapat berupa materi maupun non materi (seperti perilaku, kesenangan dan
kepuasan).
6. Biaya dapat barupa materi maupun non materi (seperti status, hubungan, interaksi,
perasaan yang tidak disukai).
7. Keuntungan (selisih antara imbalan dan biaya) dan individu selalu mencari keuntungan
maksimum dengan cara memaksimumkan imbalan atau meminimumkan biaya.
8. Tingkat evaluasi atau perbandingan alternatif, yaitu suatu standar yang mengevaluasi
imbalan dan biaya dari suatu hubugan atau kegiatan.
9. Norma timbal balik adalah suatu gagasan yang menyangkut pertukaran timbal balik,
tanpa timbal balik tidak mungkin akan terbentuk kehidupan sosial.
10. Pilihan bahwa setiap manusia harus menentukan pilihan, merupakan output yang
dijanjikan oleh pengambil keputusan.
2. Aktor (pelaku) mendefinisikan arti atau makna dari konteks dan situasi.
3. Individu memiliki mind (jiwa). Mind adalah kemampuan seseorang untuk merefleksikan
proses dalam dirinya sehingga dapat membangun dirinya sendiri sebagai aktor (I) dan
sebagai objek (me).
4. Masyarakat mendahului individu. Asumsi yang pertama bahwa manusia hidup dalam
dunia simbol dan dengan pikirannya ia akan memanipulasi dan menginterpretasikan
simbol tersebut. Dengan kata lain, ketika seorang manusia lahir, ia berada di tengahtengah masyarakat yang sudah memiliki simbol. Menurut konsep Mead tentang mind,
pikiran individu merupakan hasil dari masyarakat, bukan sebaliknya.
(2) Menekankan hubungan atau kelangsungan perilaku keluarga sepanjang sejarah keluarga dan
(3) Mencirikan dua sumber perkembangan perubahan, yaitu perubahan syarat fungsional dan
timbulnya tekanan hidup. Teori perkembangan keluarga (family development theory) berusaha
untuk menjelaskan proses perubahan dalam keluarga. Point dari perspektif perkembangan
keluarga adalah perubahan tingkatan keluarga dari waktu ke waktu (family time) yang dipercepat
secara internal oleh permintaan anggota keluarga (biologis, psikologis dan kebutuhan sosial) dan
secara eksternal oleh masyarakat yang lebih luas (harapan masyarakat dan keterbatasan
lingkungan).
Model teori perkembangan lain adalah multilinier, yang melihat perubahan individu,
keluarga, atau masyarakat dalam berbagai jalur atau rute sepanjang waktu. Para ahli teori
perkembangan unilinear di Abad ke-2 kemudian meminjam model individuallistik diaplikasikan
ke perkembangan masyarakat (society). Para ahli teori perkembangan sosial menulis bahwa
karena individu-individu berkembang melalui tahapan-tahapan sepanjang masa, demikian pula
dengan masyarakat juga berkembang dari masa pre-industrial, industrial dan pasca-industrial.
Beberapa ahli evolusi sosial pada Abad ke-19 percaya bahwa seluruh masyarakat secara
sejarah mulai dari titik yang sama, tetapi beberapa tidak berkembang sejauh yang lainnya, karena
adanya bencana alam (banjir, kelaparan, dan gempa bumi) atau karena peristiwa bersejarah
lainnya (contohnya perang). Taylor (1871-1958) dalam Winton (1995), melihat masyarakat
berkembang dari tahap perburuan (savagery) ke tahap barbarian, dan akhirnya menuju tahap
masyarakat yang beretika. Prinsip-prinsip dasar teori evolusi sosial pada Abad 19 dan 20 dapat
diringkaskan sebagai berikut: (1) Perubahan selalu ada dan gradual, (2) Perubahan terjadi secara
bertahap, (3) Perubahan terjadi karena hal itu merupakan esensi alamiah dari masyarakat untuk
berubah, (4) Perubahan adalah unidirectional; Perubahan tidak akan berbalik, dan (5) Tidak ada
masyarakat yang bertahan pada satu tahap perkembangan.
Konsep Teori Perkembangan:
1. Perkembangan Konsep Statik (Norma statik, peran statik, posisi dan tahapan serta
kejadian statik)
2. Perkembangan Konsep Dinamik:
a. Terjadi transisi (kombinasi antara tahapan, kejadian dan waktu)
b. Konsep waktu sebagai normatif (dalam analisis 3 (tiga) tahapan, individu,
keluarga, dan hubungan-hubungan)
c. Umur
3. Tingkatan Perkembangan mempunyai 2 elemen, yaitu komponen normative dan kejadian
transitional.
14
TEORI STRUKTURAL
FUNGSIONAL/SISTEM
Aturan Norma Lama Sangat Kuat
Ada Pemaksaan Norma-Aturan
Ada Aturan KelasPower
Ada Strata Sosial /Gender dsb
Norma Konservatif
Aliran Konflik
Sosial cenderung
merobohkan
Struktur Vertikal
Bentuk
Cenderung
Horisontal
Gap/disparitas
Rendah
Gambar 4.3. Perumpamaan teori struktural fungsional versus teori konflik sosial.
2. Menurut perspektif Teori konflik sosial, hubungan yang penuh konflik terjadi juga dalam
keluarga. Peran yang dilembagakan oleh institusi keluarga, menurut persepsi konflik
sosial telah menciptakan pola relasi yang opresif. Menurut teori ini, situasi konflik dalam
kehidupan sosial tidak dianggap sebagai sesuatu yang abnormal atau disfungsional, tetapi
bahkan dianggap sesuatu yang alami dalam setiap proses sosial. Adanya konflik
bersumber dari struktur dan fungsi keluarga itu sendiri. Seorang suami dengan
kedudukannya sebagai kepala keluarga akan menimbulkan konflik terbuka dengan istrinya
yang mempunyai kedudukan ibu rumahtangga.
3. Teori sosial konflik menawarkan keluarga sebagai wahana alternatif efektif untuk
pengembangan sumberdaya manusia tanpa resiko penolakan dan tantangan. Pendukung
teori dan ideologi konflik justru menganggap keluarga sebagai sumber malapetaka,
kesengsaraan dan ketidakadilan, terutama bagi perempuan.
4. Contoh perbedaan praksis/ aplikasi Teori Struktural-Fungsional dan Sosial-Konflik dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat.
15
Kasus perceraian
Peran gender
16