Anda di halaman 1dari 10

Sumber 1

Al Alaq 1 5

Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta. (ayat 1). Dalam waktu
pertama saja, yaitu bacalah, telah terbuka kepentingan pertama di dalam
perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi SAW disuruh membaca wahyu akan
diturunkan kepada beliau itu di atas nama Allah, Tuhan yang telah mencipta.
Yaitu Menciptakan manusia dari segumpal darah. (ayat 2). Yaitu peringkat yang
kedua sesudah nuthfah, yaitu segumpal air yang telah berpadu dari mani si laki-laki
dengan mani si perempuan, yang setelah 40 hari lamanya, air itu telah menjelma
jadi segumpal darah, dan dari segumpal darah itu kelak akan menjelma pula setelah
melalui 40 hari, menjadi segumpal daging (Mudhghah).
Nabi bukanlah seorang yang pandai membaca. Beliau adalah ummi, yang boleh
diartikan buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak pula pandai membaca yang
tertulis. Tetapi Jibril mendesaknya juga sampai tiga kali supaya dia membaca.

Meskipun dia tidak pandai menulis, namun ayat-ayat itu akan dibawa langsung oleh
Jibril kepadanya, diajarkan, sehingga dia dapat menghapalnya di luar kepala,
dengan sebab itu akan dapatlah dia membacanya. Tuhan Allah yang menciptakan
semuanya. Rasul yang tak pandai menulis dan membaca itu akan pandai kelak
membaca ayat-ayat yang diturunkan kepadanya. Sehingga bilamana wahyu-wahyu
itu telah turun kelak, dia akan diberi nama Al-Quran. Dan Al-Quran itu pun artinya
ialah bacaan. Seakan-akan Tuhan berfirman: Bacalah, atas qudrat-Ku dan iradatKu.
Syaikh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juzu Ammanya menerangkan: Yaitu
Allah yang Maha Kuasa menjadikan manusia daripada air mani, menjelma jadi darah
segumpal, kemudian jadi manusia penuh, niscaya kuasa pula menimbulkan
kesanggupan membaca pada seseorang yang selama ini dikenal ummi, tak pandai
membaca dan menulis. Maka jika kita selidiki isi Hadis yang menerangkan bahwa
tiga kali Nabi disuruh membaca, tiga kali pula beliau menjawab secara jujur bahwa
beliau tidak pandai membaca, tiga kali pula Jibril memeluknya keras-keras, buat
meyakinkan baginya bahwa sejak saat itu kesanggupan membaca itu sudah ada
padanya, apatah lagi dia adalah Al-Insan Al-Kamil, manusia sempurna. Banyak lagi
yang akan dibacanya di belakang hari. Yang penting harus diketahuinya ialah bahwa
dasar segala yang akan dibacanya itu kelak tidak lain ialah dengan nama Allah jua.
Bacalah! Dan Tuhan engkau itu adalah Maha Mulia. (ayat 3). Setelah di ayat yang
pertama beliau disuruh membaca di atas nama Allah yang menciptakan insan dari
segumpal darah, diteruskan lagi menyuruhnya membaca di atas nama Tuhan.
Sedang nama Tuhan yang selalu akan diambil jadi sandaran hidup itu ialah Allah
Yang Maha Mulia, Maha Dermawan, Maha Kasih dan Sayang kepada Makhluk-Nya.
Dia yang mengajarkan dengan qalam. (ayat 4). Itulah keistimewaan Tuhan itu lagi.
Itulah kemuliaan-Nya yang tertinggi. Yaitu diajarkan-Nya kepada manusia berbagai
ilmu, dibuka-Nya berbagai rahasia, diserahkan-Nya berbagai kunci untuk pembuka
perbendaharaan Allah, yaitu dengan qalam. Dengan pena! Di samping lidah untuk
membaca, Tuhan pun mentakdirkan pula bahwa dengan pena ilmu pengetahuan
dapat dicatat. Pena adalah beku dan kaku, tidak hidup, namun yang dituliskan oleh
pena itu adalah berbagai hal yang dapat difahamkan oleh manusia Mengajari
manusia apa-apa yang dia tidak tahu. (ayat 5).
Lebih dahulu Allah Taala mengajar manusia mempergunakan qalam. Sesudah dia
pandai mempergunakan qalam itu banyaklah ilmu pengetahuan diberikan oleh Allah

kepadanya, sehingga dapat pula dicatatnya ilmu yang baru didapatnya itu
dengan qalam yang telah ada dalam tangannya:
Ilmu pengetahuan adalah laksana binatang buruan dan penulisan adalah tali pengikat buruan
itu. Oleh sebab itu ikatlah buruanmu dengan tali yang teguh.
Maka di dalam susunan kelima ayat ini, sebagai ayat mula-mula turun kita
menampak dengan kata-kata singkat Tuhan telah menerangkan asal-usul kejadian
seluruh manusia yang semuanya sama, yaitu daripada segumpal darah, yang
berasal dari segumpal mani.
Dan segumpal mani itu berasal dari saringan halus makanan manusia yang diambil
dari bumi. Yaitu dari hormon, kalori, vitamin dan berbagai zat yang lain, yang semua
diambil dari bumi yang semuanya ada dalam sayuran, buah-buahan makanan pokok
dan daging. Kemudian itu manusia bertambah besar dan dewasa. Yang terpenting
alat untuk menghubungkan dirinya dengan manusia sekitarnya ialah kesanggupan
berkata-kata dengan lidah, sebagai sambungan dari apa yang terasa di dalam
hatinya. Kemudian bertambah juga kecerdasannya, maka diberikan pulalah
kepandaian menulis.
Di dalam ayat yang mula turun ini telah jelas penilaian yang tertinggi kepada
kepandaian membaca dan menulis. Berkata Syaikh Muhammad Abduh dalam
tafsirnya: Tidak didapat kata-kata yang lebih mendalam dan alasan yang lebih
sempurna daripada ayat ini di dalam menyatakan kepentingan membaca dan
menulis ilmu pengetahuan dalam segala cabang dan bahagianya. Dengan itu mula
dibuka segala wahyu yang akan turun di belakang.
Maka kalau kaum Muslimin tidak mendapat petunjuk ayat ini dan tidak mereka
perhatikan jalan-jalan buat maju, merobek segala selubung pembungkus yang
menutup penglihatan mereka selama ini terhadap ilmu pengetahuan, atau
merampalkan pintu yang selama ini terkunci sehingga mereka terkurung dalam bilik
gelap, sebab dikunci erat-erat oleh pemuka-pemuka mereka sampai mereka
meraba-raba dalam kegelapan bodoh, dan kalau ayat pembukaan wahyu ini tidak
menggetarkan hati mereka, maka tidaklah mereka akan bangun lagi selamalamanya.

Ar-Razi menguraikan dalam tafsirnya, bahwa pada dua ayat pertama disuruh
membaca di atas nama Tuhan yang telah mencipta, adalah mengandung qudrat,
dan hikmat dan ilmu dan rahmat. Semuanya adalah sifat Tuhan. Dan pada ayat yang
seterusnya seketika Tuhan menyatakan mencapai ilmu dengan qalam atau pena,
adalah suatu isyarat bahwa ada juga di antara hukum itu yang tertulis, yang tidak
dapat difahamkan kalau tidak didengarkan dengan seksama. Maka pada dua ayat
pertama memperlihatkan rahasia Rububiyah, rahasia Ketuhanan. Dan di tiga ayat
sesudahnya mengandung rahasia Nubuwwat, Kenabian. Dan siapa Tuhan itu
tidaklah akan dikenal kalau bukan dengan perantaraan Nubuwwat, dan nubuwwat itu
sendiri pun tidaklah akan ada, kalau tidak dengan kehendak Tuhan.

Sumber 2

Kata Iqra ( (yang dalam bahasa Indonesia berarti bacalah, merupakan suatu bentuk kata kerja, yang dalam
bahasa Arab disebut fiil amr merupakan kata dasar atau fiil mudhori dari Qara a yaqrou (( yang artinya
membaca.
Surat al Alaq ini merupakan wahyu pertama Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW lewat malaikat
Jibril di Gua Hira, wahyu pertama ini tidak secara keseluruhan satu surat langsung dari surat al Alaq, wahyu
pertama yang Allah turunkan adalah hanya ayat 1 5 dari surat al Alaq.
Kata pertama dari surat al Alaq adalah berbunyi Iqra yang artinya bacalah. Bacalah, perintah Allah kepada nabi
Muhammad SAW juga termasuk kepada ummatnya adalah diperintahkan untuk membaca. Tetapi, makna dari
kata bacalah atau membaca ini tidak hanya sekedar diterjemahkan dalam makna membaca, tetapi membaca
disini tidak hanya membaca.
Membaca, betul betul membaca, dalam artian tidak hanya sekedar seperti kita hanya membaca buku saja, itu
masih merupakan makna yang sederhana sekali. Padahal,maksud Allah memerintahkan untuk membaca adalah
agar umat manusia benar benar membaca, nah bagaimana artian membaca yang sebenarnya?
Disini, saya jelaskan beberapa makna dari kata membaca dalam surat al Alaq, yakni:

Iqra yang artinya bacalah, berarti ummat manusia diperintahkan untuk membaca, membaca bisa juga
dimaknai dengan memahami atau fahamilah yang serupa dengan bacalah.
Bisa juga berarti telitilah
Bacalah juga bermakna analisalah, sintesakanlah
Dan bisa juga dengan artian yang lebih luas yaitu temukan teori, temukan ilmu. Karena membaca
merupakan salah satu gerbang dari ilmu pengetahuan maka ia jug bermakna temukan ilmu.

Implikasi dari Iqro, ummat Islam itu bisa memproduk sesuatu dengan ilmu atau menciptakan suatu penemuan
baru dalam ilmu pengetahuan.

Allah memerintahkan untuk membaca, namun obyek yang dibaca tidak disebutkan dalam Al Quran. Allah tidak
menentukan apa yang harus dibaca. Artinya, bacalah:
1.

Fenomena, ayat kauliyah dan ayat kauniyah Allah yang terdapat di alam semesta ini.

Ayat kauniyah merupakan ayat ayat berupa alam, seperti adanya ala mini, kita diperintahkan untuk membaca,
mempelajari apa yang ada di ala mini, dalam dunia pendidikan seperti kita belajar ilmu eksakta dan ilmu social,
itu semua merupakan ayat kauniyah Allah.
1.

Nomena (makhluk gaib/benda gaib/sesuatu yang tidak nampak yang tidak bisa dirasakan oleh indra).

fenomena dan nomena tersebut adalah merupakan obyek ilmu pengetahuan, dimana obyek ilmu pengetahuan
yaitu seluruh ilmu ilmu yang berasal dari satu sumber yaitu Allah.
Itulah, sekilas makna Iqra dalam surat al Alaq yang saya dapat dari bangku perkuliahan pada mata pelajaran
Tafsir Hadits di semester 3 PAI. Semoga pembaca semua bisa mengambil manfaatnya, dan dapat
mengimplementasikan dari makna kata Iqra yang sesungguhnya.
Jadi, kita sebagai ummat Islam sudah mengetahui dan memahami bahwa Allah menyuruh kita semua untuk
membaca yang tidak hanya sekedar membaca, maka ummat Islam harus menjadi ummat yang cerdas, tidak
boleh bodoh dan mudah dibodohin oleh kaum barat. Yang sejatinya ummat Islam adalah lebih unggul dari ummat
lain, maka berbanggalah ummat Islam dengan ilmunya jangan malah mengekor budaya barat. Ummat Islam
harus mampu seperti ummat Islam terdahulu yang telah berhasil dan sukses membangun peradaban dunia
dengan ilmu pengetahuan.
Lebih penting, sebagai kaum intelektual seperti mahasiswa terlebih mahasiswa muslim harus lebih cerdas dan
unggul, harus bisa membaca dengan makna membaca yang sesungguhynya. Semoga, ummat Islam akan selalu
sukses dan berhail dengan selalu membaca ayat kauniyah dan kauliyah Allah.

http://blog.umy.ac.id/antikanurunimah/2012/11/14/makna-kata-iqra-bacalahdalam-surat-al-alaq/

Sumber 3

Membedah
Kedahsyatan Iqra`
SHARE ON:FacebookTwitter

Google +

Oleh: Sholih Hasyim


(Anggota Dewan Syura Hidayatullah)
Kata iqra terambil dari kata kerja qa-ra-`a yang awalnya berarti menghimpun
huruf -huruf dan kata-kata. Arti kata ini kemudian berkembang menjadi merangkai
serta mengucapkan rangkaian huruf dan kata-kata tersebut.
Apa yang dihimpun dan dirangkai? Tentu saja informasi sebanyak mungkin, dari
segala sumber, baik lewat pendengaran, penglihatan, maupun hati.
Makna ini menunjukkan bahwa iqra` tidak mengharuskan adanya teks tertulis yang
dibaca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar orang lain. Kata iqra` bisa
bermakna membaca yang tersurat (malfuzh) dan sesuatu yang tersirat (malhuzh).
Dalam kamus bahasa Arab ditemukan aneka ragam arti kata iqra`, antara lain
menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, dan mengetahui ciricirinya. Kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat menghimpun (informasi).
Multi Obyek
Perintah membaca pada iqra` tidak disebutkan obyeknya. Kaidah bahasa Arab
mengatakan bahwa suatu kata dalam susunan redaksi yang tidak disebutkan
obyeknya (maful), maka obyek yang dimaksud bersifat umum. Artinya, mencakup
segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut.
Oleh karena itu obyek dari perintah membaca (iqra`) menjangkau bacaan suci yang
bersumber dari Tuhan, yakni ayat tanziliyah (wahyu) dan kauniyah (segala ciptaanNya), baik di alam makro maupun mikro, termasuk dimensi nafsiyyah (kejiwaan),
masyarakat, dan sejarah.

Muhammad Abduh mengatakan, iqra` bukan perintah yang membebani (amr taklifi)
atau membutuhkan obyek, tetapi suruhan untuk aktif (amr takwiny).
Sejalan dengan pendapat itu, Buya Malik Ahmad mengatakan, membaca
menghendaki gerakan yang dinamis, produktif, dan kreatif. Bukan sebatas mengeja.
Jadi, orang yang sedang membaca sesungguhnya sedang menggali secara aktif
potensi intelektual, spiritual, dan emosional dalam dirinya secara sinergis. Agaknya,
pendapat inilah yang selaras dengan perintah Allah Subhanahu wa Taala (SWT)
pada Surat al-Alaq.
Membaca dengan beragam artinya adalah syarat pertama dan utama bagi
pengembangan ilmu dan teknologi, serta syarat utama dalam membangun
peradaban. Ilmu, baik yang diperoleh dengan usaha manusia (ilmu kasbi, acquired
knowledge), maupun yang diberikan atas kemurahan Allah SWT ketika hati yang
membacanya dalam keadaan suci (ilmu ladunni, perennial), pada hakikatnya adalah
milik Allah SWT.
Pilar Peradaban
Semua peradaban yang bisa bertahan lama dimulai dari satu bacaan. Peradaban
Yunani dimulai dengan Iliad karya Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi, dan
berakhir dengan hadirnya kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan
karya Newton (1641-1727) dan berakhir dengan Filsafat Hegel (17701831).
Sementara peradaban Islam yang gemilang dipicu oleh daya kekuatan yang tumbuh
dari al-Qur`an yang berarti bacaan yang sempurna.
Kegiatan membaca al-Qur`an melahirkan penafsiran-penafsiran baru atau
pengembangan dari pendapat-pendapat yang telah ada. Demikian juga, kegiatan
membaca alam raya menimbulkan penemuan-penemuan baru yang membuka
rahasia-rahasia alam, walaupun obyek bacaannya sama.
Sungguh, perintah membaca merupakan perintah yang paling berharga yang pernah
dan yang dapat diberikan kepada umat manusia. Sebab, perintah ini mengantar
manusia mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna (yarfaul insana ilaa
arqaa madaarijihaa). Sangat beralasan bila dikatakan membaca adalah syarat utama
membangun peradaban.

Semakin luas bacaan, makin tinggi peradaban. Begitu juga sebaliknya. Tidak
berlebihan juga pada suatu ketika manusia akan didefinisikan sebagai makhluk
membaca. Definisi ini tak kurang nilai kebenarannya sebagaimana definisi manusia
sebagai makhluk sosial atau makhluk berfikir.
Fitrah Membaca
Membaca pada hakekatnya langkah esensial menyalurkan fitrah manusia. Sekalipun
manusia tidak diperintah untuk membaca, dengan sendirinya memiliki bawaan
selalu ingin membaca. Sebab, rasa ingin tahu selalu melekat pada diri manusia.
Anak kecil yang masih duduk di bangku TK sering mengajukakan berbagai
pertanyaan yang membuat kita terpojok. Pertanyaan itu muncul sebagai wujud
respons dari apa yang dilihat, diraba, diamati, dibaca, dan disaksikannya.
Allah SWT telah menyediakan alam semesta untuk manusia agar tugas kehambaan
dan kekhalifahan bisa terlaksana dengan baik. Demikian pula sebelum menyuruh
membaca, Allah SWT telah melengkapi manusia dengan pendengaran, penglihatan,
dan hati. Perintah membaca adalah usaha mengaktifkan instrumen pendengaran,
penglihatan dan hati, agar berfungsi secara proporsional. Firman Allah SWT:
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuhnya) roh (ciptaanNya) dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati. (as-Sajdah
[32] : 9)
Jadi, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa aktivitas mendengar, melihat, dan hati,
adalah kegiatan ruhani. Jika manusia secara fisik berwujud, dan ketiga potensi tadi
tidak diaktifkan, maka ia bagaikan bangkai yang berjalan.
Berikut ini adalah seruan Allah SWT agar manusia selalu membaca dengan kata raaa:
Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang
menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya. (al-Waqiah [56] : 58-59)
Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang
menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Kalau kamu kehendaki

niscaya Kami jadikan ia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur. (al-Waqiah
[56] : 68-70)
Berkali-kali manusia diperintahkan untuk senantiasa membaca seperti na-zha-ra,
fak-ka-ra, dab-ba-ra.
Manusia yang enggan mengaktifkan indra pendengarannya, penglihatannya, dan
hatinya, laksana binatang ternak, bahkan lebih sesat. Ibnu Taimiyah mengatakan,
manusia yang pasif laksana mati sebelum meninggal. Sebab, hatinya tertutup dari
hidayah, sehingga lemah dalam merespon perubahan (dhuful istijabah lil
mutaghayyirat).
Berdimensi Aksi
Membaca tidak sekadar memadati otak dengan informasi sehingga hanya menjadi
pengetahuan (daya tahu) yang bersifat teoritis. Membaca menuntut adanya aksi dan
iradah (daya mau). Keluasan ilmu pengetahuan tanpa disertai kemauan
mengamalkan akan menjadi saksi yang memberatkan pemiliknya (hujjatun alaihi)
kelak di depan Mahkamah Ilahi.
Kualitas bacaan berbanding lurus dengan mutu amal. Kebenaran membaca sangat
mempengaruhi kebenaran dan keabsahan amal. Perbedaan kesimpulan bacaan
mempengaruhi perbedaan kesempurnaan amal. Amal yang tidak berdasarkan ilmu
termasuk sikap taqlid (membebek), atau dikatagorikan bidah (membuat amal
ibadah tanpa contoh sebelumnya).
Ibnu Masud mengatakan, Bacalah dan beramallah! Dalam ilmu hukum seseorang
yang melihat bahaya kemudian tidak bergerak untuk menanggulangi bahaya itu
(diam), sekadar sebagai penonton dan tidak segera bereaksi, maka ia bisa menjadi
tertuduh. Di sini korelasi yang menunjukkan makna iqra` yang menuntut adanya
gerakan (aksi).
Berbingkai Ilahiyyah
Abdul Halim Mahmud (mantan Syaikh Al Azhar) dalam bukunya Al Qur`an fi Syahri
al-Qur`an mengatakan: Kalimat iqra` bismi rabbik, al-Qur`an tidak sekadar
memerintahkan membaca, tetapi menegaskan bahwa membaca adalah simbol dari
segala yang dilakukan manusia, baik yang sifatnya aktif maupun yang pasif. Kalimat

tersebut dalam pengertian dan jiwanya ingin menyatakan bacalah demi Tuhanmu,
bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu.
Demikian pula apabila Anda berhenti bergerak atau berhenti melakukan aktivitas,
hendaklah hal tersebut didasarkan pada bismi rabbik.
Ayat tersebut akhirnya berarti jadikanlah seluruh kehidupanmu (duduk, berdiri, dan
berbaring), wujudmu, dan cara dan tujuanmu, hanya demi Allah.
Pada Surat al-Alaq, Allah SWT memperkenalkan perbuatan-Nya dengan kata rabb
(mencipta, memelihara, mendidik). Ini berarti perintah membaca bersifat mendi-dik,
memelihara, mengembangkan, meningkatkan, dan memperbaiki makhluk-Nya.
Wallahu alam bish shawab.*** SUARA HIDAYATULLAH, JUNI 2009

Anda mungkin juga menyukai