Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam perhatian yang diperolehnya, bukan saja
sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat
turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya. Tiada bacaan seperti
Al-Quran yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi
juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang
ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi.
Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-beda
sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semua
mengandung kebenaran. Al-Quran layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya
yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Tiada bacaan seperti Al-Quran yang diatur tatacara membacanya, mana yang
dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang
terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya,
sampai kepada etika membacanya.
Tiada bacaan sebanyak kosakata Al-Quran yang berjumlah 77.439 (tujuh puluh tujuh ribu
empat ratus tiga puluh sembilan) kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua puluh
tiga ribu lima belas) huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan
padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya.
Sebagai contoh -sekali lagi sebagai contoh- kata hayat terulang sebanyak antonimnya
maut, masing-masing 145 kali; akhirat terulang 115 kali sebanyak kata dunia; malaikat
terulang 88 kali sebanyak kata setan; thuma'ninah (ketenangan) terulang 13 kali sebanyak
kata dhijg (kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin.
Kata infaq terulang sebanyak kata yang menunjuk dampaknya yaitu ridha (kepuasan)
masing-masing 73 kali; kikir sama dengan akibatnya yaitu penyesalan masing-masing 12
kali; zakat sama dengan berkat yakni kebajikan melimpah, masing-masing 32 kali.
Masih amat banyak keseimbangan lainnya, seperti kata yaum (hari) terulang sebanyak
365, sejumlah hari-hari dalam setahun, kata syahr (bulan) terulang 12 kali juga sejumlah
bulan-bulan dalam setahun. DemikianAllah menurunkan kitab Al-Quran dengan penuh
kebenaran dan keseimbangan" (QS Al-Syura [42]: 17).
Adakah suatu bacaan ciptaan makhluk seperti itu? Al-Quran menantang:
"Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk menyusun semacam Al-Quran ini,
mereka tidak akan berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja sama" (QS Al-Isra,
[17]: 88).
Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis bahwa: "Tidak ada seorang pun dalam seribu lima
ratus tahun ini telah memainkan 'alat' bernada nyaring yang demikian mampu dan berani,
dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad (Al-
Quran)." Demikian terpadu dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian, dan
keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta
kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya.
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena.
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).
Mengapa iqra, merupakan perintah pertama yang ditujukan kepada Nabi, padahal beliau
seorang ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis)? Mengapa demikian?
Iqra' terambil dari akar kata yang berarti "menghimpun," sehingga tidak selalu harus
diartikan "membaca teks tertulis dengan aksara tertentu."
Dari "menghimpun" lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun
tidak.
Iqra' (Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca? "Ma aqra'?" tanya Nabi -dalam suatu riwayat-
setelah beliau kepayahan dirangkul dan diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s.
Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar beliau dan umatnya
membaca apa saja, selama bacaan tersebut Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk
kemanusiaan.
Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam,
bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis.
Alhasil objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Demikian terpadu dalam perintah ini segala macam cara yang dapat ditempuh manusia
untuk meningkatkan kemampuannya.
Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan sekadar menunjukkan
bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau
membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi juga
untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulangi bacaan Bismi Rabbika (demi karena Allah)
akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu juga.
"Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami
(yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya" (QS Al-Hijr [15]: 9).
Pengetahuan dan peradaban yang dirancang oleh Al-Quran adalah pengetahuan terpadu
yang melibatkan akal dan kalbu dalam perolehannya. Wahyu pertama Al-Quran
menjelaskan dua cara perolehan dan pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.
Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum subjek dituntut berperan
guna memahami objek. Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang
memperkenalkan dirinya kepada subjek tanpa usaha sang subjek. Komet Halley, memasuki
cakrawala, hanya sejenak setiap 76 tahun. Dalam kasus ini, walaupun para astronom
menyiapkan diri dan alat-alatnya untuk mengamati dan mengenalnya, tetapi sesungguhnya
yang lebih berperan adalah kehadiran komet itu sendiri untuk memperkenalkan diri.
Wahyu, ilham, intuisi, atau firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya atau
apa yang diduga sebagai "kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, kesemuanya
tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat dianalogikan dengan kasus
komet di atas. Itulah pengajaran tanpa qalam yang ditegaskan wahyu pertama ini.
"Allah mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui manusia sebelumnya), dan mengajar
manusia (tanpa pena) apa yang belum ia ketahui" (QS Al-'Alaq [96]: 4-5)
Sekali lagi terlihat betapa Al-Quran sejak dini memadukan usaha dan pertolongan Allah,
akal dan kalbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa kalbu menjadikan manusia
seperti robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti setan. Iman tanpa ilmu sama
dengan pelita di tangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan
pencuri.
Al-Quran sebagai kitab terpadu, menghadapi, dan memperlakukan peserta didiknya
dengan memperhatikan keseluruhan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmaninya.
Ketika Musa a.s. menerima wahyu Ilahi, yang menjadikan beliau tenggelam dalam situasi
spiritual, Allah menyentaknya dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material:
"Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?" (QS Thaha [20]: 17).
Musa sadar sambil menjawab,
"Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul (daun) dengannya untuk kambingku,
disamping keperluan-keperluan lain" (QS Thaha [20]: 18).
Di sisi lain, agar peserta didiknya tidak larut dalam alam material, Al-Quran menggunakan
benda-benda alam, sebagai tali penghubung untuk mengingatkan manusia akan kehadiran
Allah SWT dan bahwa segala sesuatu yang teriadi -sekecil apa pun- adalah di bawah
kekuasaan, pengetahuan, dan pengaturan Tuhan Yang Mahakuasa. Tidak sehelai daun pun
yang gugur kecuali Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak
juga sesuatu yang basah atau kering kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam jangkauan
pengetahuannya)" (QS Al-An'am [6]: 59).
"Bukan kamu yang melempar ketika kau melempar, tetapi Allah-lah (yang menganugerahkan
kemampuan sehingga) kamu mampu melempar" (QS Al-Anfal [8]: 17).
Salah satu tujuan Al-Quran memilih sistematika demikian, adalah untuk mengingatkan
manusia -khususnya kaum Muslimin- bahwa ajaran-ajaran Al-Quran adalah satu kesatuan
terpadu yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
"Maka Kami benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi" (QS Al-Qashash [28]: 81).
Dan berkatalah orang-orang yang kemarin mendambakan kedudukan Qarun, "Aduhai, benarlah
Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba- hamba-Nya dan
mempersempitkannya. Kalau Allah tidak melimpahkan karuniaNya atas kita, niscaya kita pun
dibenamkannya. Aduhai benarlah tidak beruntung orang- orang yang
kikir (QS Al-Qashash [28]: 82).
Dalam bidang pendidikan, Al-Quran menuntut bersatunya kata dengan sikap. Karena itu,
keteladanan para pendidik dan tokoh masyarakat merupakan salah satu andalannya.
Pada saat Al-Quran mewajibkan anak menghormati orangtuanya, pada saat itu pula ia
mewajibkan orang-tua mendidik anak-anaknya. Pada saat masyarakat diwajibkan
menaati Rasul dan para pemimpin, pada saat yang sama Rasul dan para pemimpin
diperintahkan menunaikan amanah, menyayangi yang dipimpin sambil bermusyawarah
dengan mereka.
Dua puluh dua tahun dua bulan dan dua puluh dua hari lamanya, ayat-ayat Al-Quran
silih berganti turun, dan selama itu pula Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya tekun
mengajarkan Al-Quran, dan membimbing umatnya. Sehingga, pada akhirnya, mereka
berhasil membangun masyarakat yang di dalamnya terpadu ilmu dan iman, nur dan
hidayah, keadilan dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan ampunan Ilahi.
Kita dapat bertanya mengapa 20 tahun lebih, baru selesai dan berhasil? Boleh jadi
jawabannya dapat kita simak dari hasil penelitian seorang guru besar Harvard University,
yang dilakukannya pada 40 negara, untuk mengetahui faktor kemajuan atau kemunduran
negara-negara itu.
Salah satu faktor utamanya -menurut sang Guru Besar- adalah materi bacaan dan sajian
yang disuguhkan khususnya kepada generasi muda. Ditemukannya bahwa dua puluh tahun
menjelang kemajuan atau kemunduran negara-negara yang ditelitinya itu, para generasi
muda dibekali dengan sajian dan bacaan tertentu. Setelah dua puluh tahun generasi muda
itu berperan dalam berbagai aktivitas, peranan yang pada hakikatnya diarahkan oleh
kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan itu. Demikian dampak bacaan, terlihat
setelah berlalu dua puluh tahun, sama dengan lama turunnya Al-Quran.
Kalau demikian, jangan menunggu dampak bacaan terhadap anak-anak kita kecuali 20
tahun kemudian. Siapa pun boleh optimis atau pesimis, tergantung dari penilaian tentang
bacaan dan sajian itu. Namun kalau melihat kegairahan anak-anak dan remaja membaca
Al-Quran, serta kegairahan umat mempelajari kandungannya, maka kita wajar optimis,
karena kita sepenuhnya yakin bahwa keberhasilan Rasul dan generasi terdahulu dalam
membangun peradaban Islam yang jaya selama sekitar delapan ratus tahun, adalah karena
Al-Quran yang mereka baca dan hayati mendorong pengembangan ilmu dan teknologi,
serta kecerahan pikiran dan kesucian hati.
Ayat "wa tawashauw bil haq" dalam QS Al-'Ashr [103]: 3 bukan saja mencanangkan "wajib belajar"
tetapi juga "wajib mengajar." Bukankah tawashauw berarti saling berpesan, saling mengajar,
sedang al-haq atau kebenaran adalah hasil pencarian ilmu? Mencari kebaikan menghasilkan akhlak,
mencari keindahan menghasilkan seni, dan mencari kebenaran menghasilkan ilmu. Ketiga unsur
itulah yang menghasilkan sekaligus mewarnai suatu peradaban.
Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik
serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan
seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep
teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia.