Disusun oleh:
Maria Margaretha(102011263)
Erick Thambrin (102011270)
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting)
Fax: (021) 563-1731
Pendahuluan
Herpes zoster merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh salah satu
virus dari kelompok virus herpesvirus.Herpesvirus merupakan virus yang cukup
banyak menyerang manusia.Pada herpes zoster, infeksi virus disebabkan oleh
varisela-zoster yang menyerang kulit dan mukosa.Infeksi ini merupakan reaktivasi
virus yang terjadi setelah infeksi primer, yaitu infeksi pertama termanifestasi sebagai
cacar air/varisela.Reakvitasi virus ini terjadi biasanya oleh karena pengaruh sistem
imun yang tertekan.1
Skenario yang didapat yang adalah sebagai berikut: Perempuan berusia 45
tahun datang ke poliklinik dengan keluhan utama kulit melenting kemerahan di
daerah dada kiri yang terasa sakit dan panas. Pada status dermatologikus ditemukan
lesi unilateral berupa papula eritema dan vesikel. Dari skenario ini akan dibahas
mulai dari anamnesis hingga prognosis.
Isi
Anamnesis
Ketika pasien datang, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah
menanyakan identitas seperti nama, alamat, umur, dan pekerjaan. Selanjutnya baru
mempersilahkan pasien memberikan keluhan utamannya. Pada herpes zoster, hal yang
harus dilakukan oleh dokter adalah menanyakan riwayat adanya cacar air sebelumnya,
karena penyakit ini berhubungan dengan reaktivasi dari penyakit tersebut. Pertanyaanpertanyaan lainnya yang harus ditanyakan adalah:2
1. tempat lesi tersebut mulai timbul
2. sudah berapa lama lesi tersebut
3. apakah lesi tersebut terasa gatal
4. apakah lesi tersebut terasa panas
5. apakah lesi tersebut terasa nyeri
6. bagaimana penyebaran lesi tersebut
7. bagaimana perkembangan lesi tersebut
8. apakah sudah minum obat, dan bagaimana efeknya
9. apakah adafaktor kemungkinan pencetus (obat, dan lain-lain)
10. apakah adanya gejala-gejala lainnya seperti demam, dan sebagainya
11. apakah ada keluarga lain yang terkena
Pada skenario ini, anamnesis yang dapat dilakukan adalah:apakah terdapat
rasa nyeri atau tidak, di mana lesi pertama kali timbul, terasa rasa panas atau tidak,
ada rasa gatal atau tidak, sudah berapa lama penyakitnya, lokasi penyebaran lesi,
keluarga atau teman ada yang mengalami penyakit yang sama atau tidak, apakah dulu
pernah menderita penyakit yang serupa, setelah minum obat apa timbul lesi
melenting.
Pemeriksaan Fisik
Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel
yang berkelompok dengan dasar yang eritem, unilateral, dan hanya mengenai satu
dermatom.Pada skenario, hasil pemeriksaan fisik juga menunjukkan ditemukannya
lesi yang unilateral yang berupa papula eritema dan vesikel-vesikel. Lesi ini sangatlah
khas pada herpes zoster.3
Pemeriksaan fisik hanya bisa terbatas pada inspeksi dan palpasi, meski palpasi
agak sulit dilakukan mengingat lesi yang sangat nyeri dan panas, sehingga mungkin
hanya meraba pada sekitar lesi untuk menentukan seberapa panas lesi tersebut, serta
mengerok sedikit dasar lesi untuk keperluan diagnosis laboratorium.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang cukup cepat dilakukan untuk memastikan
diagnosis adalah metode Tzanck, yaitu mengerok dasar vesikel, kemudian dilakukan
pewarnaan.Sel tersebut tidak ada pada vesikel-vesikel nonherpetik.4,5
Gambar 2. Kiri: Partikel herpesvirus dari cairan vesikel manusia, diwarnai dengan
uranil asetat untuk memperlihatkan inti DNA. Bawah: Virion diwarnai untuk
memperlihatkan kapsomer protein selubung virus.5
Tes serologi juga dapat dilakukan untuk mendiagnosa penyakit herpes zoster,
di mana tes serologi yang paling sensitif adalah pemeriksaan Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA).4
Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding
Working Diagnosis: Herpes Zoster
Working diagnosis pada skenario ini adalah herpes zoster. Gejala klinis
sangatlah khas, vesikel-vesikel berkelompok dan papula eritema, hanya mengenai
satu sisi serta dermatom (sesuai dengan regio kulit yang dipersarafi oleh satu saraf
spinalis). Selain itu paling sering terjadi di daerah torakal meski daerah lainnya
tidaklah jarang, serta terdapat nyeri dan rasa panas, sehingga diagnosa yang dapat
ditegakkan adalah herpes zoster.1,3 Differential diagnosis yang dapat diberikan adalah:
varisela, herpes simpleks, serta dermatitis venenata.
saraf tepi dan ganglion kranialis.Kadang-kadang virus ini dapat menyerang ganglion
anterior, sehingga dapat memperlihatkan gejala-gejala gangguan motorik.1,4
Bermulanya penyakit dimulai dengan rasa nyeri pada dermatom yang dapat
mendahului lesi-lesi selama 48 sampai 72 jam. Selain itu juga terdapat gejala
prodromal yang bersifat sistemik seperti demam, pusing, dan malaise.Setelah itu
disusul dengan ruam makulopapular dan vesikel-vesikel yang berkelompok dengan
dasar kulit yang eritematosa dan edema.Vesikel berisi cairan yang jernih, kemudian
menjadi keruh (berwarna abu-abu), dapat menjadi pustul dan krusta.Kadang-kadang
vesikel mengandung darah dan disebut sebagai herpes zoster hemoragik.Pada pasien
yang normal, lesi-lesi ini mungkin berjumlah tetap dan mungkin terus membentuk
hanya untuk 3 sampai 5 hari.Lama keseluruhan penyakit pada umumnya antara 7
samapai 10 hari.Namun memakan waktu 2 sampai 4 minggu sebelum kulit kembali
menjadi normal kembali.Pada beberapa pasien, lokalisasi karakteristik rasa nyeri pada
suatu dermatom dengan bukti serologik dari herpes zoster pernah dilaporkan pada
tiadanya lesi kulit.1,4
Lokalisasi penyakit ini adalah unilateral dan bersifat dermatomal sesuai
dengan tempat persarafan.Pada susunan saraf tepi jarang timbul kelainan
motorik.Hiperestesi pada daerah yang terkena memberi gejala yang khas.Kelainan
pada muka sering disebabkan oleh karena gangguan nervus trigeminus atau nervus
fasialis dan otikus.1
Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus
trigeminus, sehingga menyebabkan kelainan pada mata.Di samping itu juga cabang
kedua dan ketiga menyebabkan kelainan kulit pada daerah persarafannya.Sindrom
Ramsay Hunt diakibatkan oleh gangguan nervus fasialis dan otikus, sehingga
menyebabkan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit yang sesuai
dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus, dan
nausea, hingga terjadi gangguan pada pengecapan.Herpes zoster abortif merupakan
herpes zoster yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat dan kelainan kulitnya
hanya berupa beberapa vesikel dan eritem.Pada herpes zoster generalisata memiliki
kelainan kulit yang unilateran dan segmental, namun ditambah kelainan kulit yang
menyebar secara generalisata berupa vesikel yang solitary dan ada umbilikasi.Kasus
ini terjadi pada orang tua atau pada orang yang kondisi fisiknya sangat lemah,
misalnya pada penderita limfoma malignum.1
Neuralgia pascaherpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan lebih dari sebulan setelah penyakitnya sembuh.Nyeri ini dapat
berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan gradasi nyeri yang
bervariasi dalam kehidupan sehari-hari.Kecenderungan ini dijumpai pada orang yang
mendapat herpes zoster di atas usia 40 tahun.1
Komplikasi
Neuralgia pascaherpetik dapat timbul pada umur di atas 40 tahun, dengan
persentase sebesar 10-15%. Semakin tua pasien menderita herpes zoster, maka
persentasenya akan semakin besar.Pada penderita tanpa defisiensi imunitas biasanya
tanpa komplikasi.Sebaliknya pada yang disertai dengan defisiensi imunitas, seperti
infeksi HIV, keganasan, atau berusia lanjut, dapat disertai dengan berbagai macam
komplikasi. Vesikel sering menjadi ulkus dengan jaringan yang nekrotik.1
Pada herpes zoster oftalmikus dapat terjadi berbagai komplikasi, di antaranya
ptosis paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, koriorenitis, dan neuritis optik.1
Paralisis motorik terdapat pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat penjalaran
virus secara perkontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang
berdekatan.Paralisis biasanya timbul dalam 2 minggu sejak awitan munculnya
lesi.Berbagai paralisis dapat terjadi, misalnya di wajah, diafragma, batang tubuh,
ekstremitas, vesika urinaria, dan anus.Umumnya akan sembuh secara spontan.1
Penatalaksanaan
Terapi sistemik biasanya bersifat simptomatik.Untuk nyeri dapat diberikan
analgetik.Jika disertai dengan infeksi sekunder, maka dapat diberikan antibiotik.3
jenis antiviral yang direkomendasikan untuk menangani HSV adalah: asiklovir,
valasiklovir, dan famsiklovir. Ketiganya memiliki mekanisme kerja yang mirip,
sehingga memiliki indikasi yang sama dan ketiganya relatif aman.1,6
Replikasi virus terdapat beberapa tahap: attachment virus kepada reseptor
pada sel hospes, kemudian virus masuk ke dalam sel melewati membran sel,
kemudian terjadi uncoating dari asam nukleat virus, sintesis protein awal, sintesis
RNA atau DNA baru, sintesis protein akhir (protein struktural), assembly/maturation
partikel-partikel virus, kemudian keluar dari sel. Setiap antivirus ditujukan masingmasing berbeda pada tahap-tahap tertentu, sesuai dengan tiap proses yang ada sebagai
pertimbangannya.6,7
7
yang
aktif
terhadap
virus
herpes
umumnya
merupakan
antimetabolite yang mengalami bioaktivasi melalui enzim kinase sel hospes atau virus
untuk
membentuk
senyawa
yang
dapat
menghambar
DNA
polymerase
yang dapat digunakan adalah antidepresi trisiklik (nortriptilin dan amitriptilin) yang
akan menghilangkan rasa nyeri pada 44-67% kasus.1
Indikasi
pemberian
kortikosteroid
hanya
untuk
Ramsay
Hunt
Kesimpulan
Herpes zoster merupakan penyakit yang terjadi karena reaktivasi virus
varisela-zoster, sehingga yang mengalaminya tentu sudah pernah mengalami cacar air
sebagai bentuk infeksi primer. Virus tersebut kemudian bersembunyi pada dorsal
ganglion, dan akan reaktivasi ketika stres, dan sebagainya. Gejala klinis yang paling
khas adalah timbulnya vesikel-vesikel berkelompok dan papula dengan dasar yang
eritematosa.Lesinya unilateral dan dermatom.Terasa sangat nyeri serta panas. Hal ini
sesuai dengan skenario, di mana perempuan berusia 45 tahun tersebut mengalami hal
yang serupa, sehingga wanita tersebut dipastikan menderita herpes zoster.
Daftar Pustaka
1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2013. h. 110-2; 132.
2. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2006. h. 287, 409.
3. Wilms JC, Schneiderman H, Algranti PS. Diagnosis fisik. Jakarta: EGC; 2005.
h. 79.
4. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Harrison: prinsipprinsip ilmu penyakit dalam. Edisi ke-13. Volume ke-2. Jakarta: EGC; 2012. h.
887-90.
5. Jawetz, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi kedokteran. Edisi ke-23. Jakarta:
EGC; 2008. h. 443; 448-51.
6. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Basic & clinical pharmacology. 12 th ed.
New York: McGraw-Hill Companies; 2012. p. 862-4.
7. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012. h. 638, 641-3.
10