PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC
PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC
OLEH:
FATMAWATI
C111 09 303
PEMBIMBING:
DR. dr. SRI RAMADHANY, M.KES
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA
BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN ILMU KEDOKTERAN
KOMUNITAS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
BAB I
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Tub
penanggulangannya.
Di
Indonesia, dari laporan kasus tuberkulosis tahun 2011, angka insidens sebesar
189 per 100.000 penduduk mengalami penurunan dibanding tahun 1990 sebesar 343
per 100.000 penduduk, angka prevalensi menurun 423 per 100.000 penduduk
dibandingkan dengan tahun 1990 sebesar 289 per 100.000 penduduk. Begitupun
dengan angka mortalitas
yang
berhasil
diturunkan
lebih
dari separuhnya
100.000 penduduk.
Di Sulawesi Selatan, jumlah pasien baru tuberkulosis dengan BTA positif yang
ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk pada tahun 2011 sebesar 110
kasus
dengan
angka
kesembuhan
sebesar
87,3%
dan
angka
keberhasilan
pengobatan sebesar 88,9%. Sedangkan Case Detection Rate yaitu gambaran cakupan
penemuan pasien baru BTA positif sebesar 52,5%. Angka ini masih kurang dari target
yaitu 70%.3
Hasil survei prevalensi TB pada tahun 2004 menunjukkan bahwa pola pencarian
pengobatan oleh pasien TB adalah sekitar 60% pasien TB ketika pertama kali sakit
mencari pengobatan ke rumah sakit (DepKes, 2007). Dengan demikian penglibatan
rumah sakit dalam pelaksanaan strategi DOTS menjadi suatu upaya penting dan sangat
strategis karena memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya penemuan
3
pasien TB (DepKes, 2007). Pengembangan strategi DOTS pada tahun 2006 adalah
bertahap dengan sekitar 30 persen dari seluruh rumah sakit yang ada di Indonesia telah
melaksanakan strategi DOTS.3,4
Hasil monitoring dan evaluasi yang telah dilakukan oleh Tim TB External
Monitoring Mission pada tahun 2005 dan evaluasi yang dilakukan oleh WHO dan
Program Nasional TB menunjukkan bahwa meskipun angka penemuan kasus TB di
rumah sakit cukup tinggi tetapi angka keberhasilan pengobatan rendah dengan angka
putus berobat masih cukup tinggi.6 Kondisi tersebut berpotensi untuk menciptakan
masalah besar pada peningkatan terjadinya resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis
(OAT). Di Negara dengan kasus tinggi TB seperti India, China, dan Indonesia proporsi
pasien yang mendapat multidrugs resistant akibat putus pengobatan OAT adalah
bervariasi lebih dari 14 % hingga 21 %.6 Sampai tahun 2007 diperkirakan terdapat 500
000 kasus multidrugs resistant di dunia akibat putus pengobatan dimana 131 000 kasus
berasal dari India, 122 000 kasus dari China, 43 000 kasus dari Russia, 16 000 dari
Afrika Utara, dan 55 negara telah mengalami extensively-drug resistant.7 Saat ini,
masih terdapat berbagai tantangan dalam penanggulangan TB di Indonesia. Minimnya
kesadaran masyarakat, ketersediaan informasi tentang penyakit TB, pelayanan TB yang
berkualitas dan mudah dijangkau masyarakat, dan masalah ekonomi menyebabkan
masih terdapat pasien yang putus dari pengobatan OAT. Untuk itu, penulis ingin
mengupas lebih lanjut mengenai prevalensi dan karakteristik pasien yang putus dari
pengobatan TB di RSUD Labuang Baji Makassar dengan harapan dapat
mengoptimalkan upaya penyembuhan dan pencegahan terjadinya penularan penyakit
TB.6,7
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu Berapakah prevalensi pasien putus dari pengobatan obat antituberkulosis (OAT) di RSUD Labuang Baji Makassar, Periode Januari 2013-Desember
2013.
1.3.1.Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan karakteristik pasien
yang putus dari pengobatan OAT di RSUD Labuang Baji Makassar, Periode Januari
2013-Desember 2013 .
1.3.2.Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1.
Mengetahui presentase pasien putus dari pengobatan OAT berdasarkan jenis kelamin
2.
3.
Mengetahui presentase pasien yang putus dari pengobatan OAT berdasarkan cara
pembayaran.
4.
Mengetahui presentase pasien yang putus dari pengobatan OAT berdasarkan bulan
putus obat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1
Tuberkulosis Paru
II.1.1 Definisi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh
basil Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis adalah sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4m dan tebal 0,3-0,6 m. Yang tergolong
dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah: 1. M. tuberculosis 2.
Varian asian 3. Varian African I, 4. Varian African II, 5. M. bovis. Pembagian tersebut
adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.(3)
Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan
terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA).(3)
Mycobacterium
tuberculosis
tipe
humanus
dan
tipe
bovis
adalah
Penyebaran bronkogen
Penyebaran limfogen
Penyebaran hematogen
Keadaan ini hanya berlangsung beberapa saat. Penyebaran akan berhenti bila
jumlah kuman yang masuk sedikit dan telah terentuk daya tahan tubuh yang spesifik
terhadap basil tuberkulosis. Tetapi bila jumlah basil tuberkulosis yang masuk ke
dalam saluran pernapasan cukup banyak, maka akan terjadi tuberkulosis milier atau
tuberkulosis meningitis.(1)
6
Berdasarkan Global Tuberculosis Control Tahun 2009 (data tahun 2007) angka
prevalensi semua tipe kasus TB, insidensi semua tipa kasus TB dan Kasus baru TB
Paru BTA Positif dan kematian kasus TB. Pada tahun 2007 prevalensi semua tipe TB
sebesar 244 per 100.000 penduduk atau sekitar 565.614 kasus semua tipe TB,
insidensi semua tipe TB sebesar 228 per 100.000 penduduk atau sekitar 528.063 kasus
semua tipe TB, Insidensi kasus baru TB BTA Positif sebesar 102 per 100.000
penduduk atau sekitar 236.029 kasus baru TB Paru BTA Positif sedangkan kematian
TB 39 per 100.000 penduduk atau 250 orang per hari.(4)
II.1.4 Patogenesis
Tuberkulosis Paru Primer
Tuberkulosis paru primer adalah keradangan paru yang disebabkan oleh basil
tuberkulosis pada tubuh penderita yang belum pernah mempunyai kekebalan yang
spesifik terhadap basil tersebut. (1)
Pada permulaan infeksi, basil tuberkulosis masuk ke dalam tubuh yang belum
mempunyai kekebalan, selanjutnya tubuh mengadakan perlawanan dengan cara yang
umum yaitu melalui infiltrasi sel-sel radang ke jaringan tubuh yang mengandung basil
tuberkulosis. Reaksi tubuh ini disebut reaksi non spesifik (tahap pra alergis) yang
berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. (1)
Setelah reaksi radang non spesifik dilampaui, reaksi tubuh memasuki tahap
alergis yang berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. Pada saat itu sudah terbentuk zat
anti sehingga tubuh dapat menunjukkan reaksi yang khas, yaitu tanda-tanda
keradangan umum ditambah uji kulit dengan tuberkulin yang positif.(1)
Umumnya tuberkulosis paru primer sembuh sendiri, tetapi ada kemungkinan
di kemudian hari mengalami kekambuhan, yang prosesnya lebih cepat, pada organ
lain, yang sumbernya berasal dari tuberkulosis paru primer tadi.(1)
di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya
adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru. (1)
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 310 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel
Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh
sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. (1)
TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda
menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi: (1)
-
Sarang dini
yang
meluas
sebagai
granuloma
berkembang
kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi pengejuan dan perlunakan.
Jarang berbau busuk, kecuali bila ada infeksi anaerob. (1)
3. Batuk Darah
Darah yang dikeluarkan penderita mungin berupa garis atau bercak-bercak darah,
gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak (profus).
Batuk darah jarang merupakan tanda permulaan dari penyakit tuberkulosis atau
initial symptom karena batuk darah merupakan tanda telah terjadinya ekskavasi
dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kavitas. Oleh karena itu, proses
tuberkulosis harus cukup lanjut, untuk dapat menimbulkan batuk dengan
ekspektorasi. (1)
Batuk darah massif terjadi bila ada robekan dari aneurisma Rasmussen pada
dinding kavitas atau ada perdarahan yang berasal dari bronkiektasis atau ulserasi
trakeo-bronkial. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian karena penyumbatan
saluran pernapasan oleh bekuan darah. Batuk darah jarang berhenti mendadak,
karena itu penderita masih terus menerus mengeluarkan gumpalan-gumpalan
darah yang berwarna cokelat selama beberapa hari. (1)
Batuk darah yang disebabkan tuberkulosis paru, pada penerawangan (pemeriksaan
radiologis) tampak ada kelainan kecuali bila penyebab batuk darah tersebut adalah
trakeobronkitis. Sering kali darah yang dibatukkan pada penyakit tuberkulosis
bercampur dahak yang mengandung basil tahan asam dan keadaan ini berbahaya
karena
dapat
menjadi
sumber
penyebaran
kuman
secara
bronkogen
(bronkopneumonia).(1)
Batuk darah dapat pula terjadi pada tuberkulosis yang sudah sembuh, hal ini
disebabkan oleh robekan jaringan paru atau darah berasal dari bronkiektasis yang
merupakan salah satu penyulit tuberkulosis paru. Pada keadaan ini dahak sering
tidak mengandung basil tahan asam (negatif). (1)
4. Nyeri Dada
Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Bila nyeri
bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas (nyeri dikeluhkan di daerah
aksila, di ujung skapula atau di tempat-tempat lain). (1)
5. Wheezing
Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan oleh
sekret, bronkostenosis, keradangan, jaringan granulasi, ulserasi, dan lain-lain
(pada tuberkulosis lanjut). (1)
6. Dispneu
Dispneu merupakan late symptom dari prose lanjut tuberkulosis paru akibat
adanya restriksi dan obstruksi saluran pernapasan serta loss of vascular
11
pelan dan menahun, maka biasanya penderita datang dengan keadaan yang sudah
lanjut sehingga kelainan fisik mudah diketahui, berupa: (1)
-
sekret.
Kelainan pleura:
Oleh karena proses terletak dekat pleura, maka hampir selalu terjadi reaksi pleura
berupa penebalan atau nyeri pleura.
Jadi, dapat dibayangkan hampir semua jenis proses terdapat di suatu tempat
dan kelainan-kelainan tersebut akan menimbulkan tanda fisik sebagai berikut: (1)
-
getaran suara, tetapi atelektasis parsial meningkatkan penghantaran getaran suara. (1)
Sekret yang berada di dalam bronkus akan menimbulkan suara tambahan
berupa ronki basah. Suara ronki kasar atau halus tergantung dari tempat sekret berada.
Penyempitan saluran pernapasan menimbulkan ronki kering, dan jika penyempitan ini
disertai kavitas, dapat terdengar suara yang disebut hollow sound sampai amforik. (1)
II.1.7 Pemeriksaan Laboratorium
Adapun pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang
diagnosa tuberkulosis antara lain:
1. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologis ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, bilasan bronkus, liquor
13
WHO
14
Pasien dengan sputum BTA positif: 1. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya
secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 2x pemeriksaan,
atau 2. Satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai
dengan gambaran TB aktif, atau 3. Satu sedian sputumnya positif disertai biakan
yang positif.
Pasien dengan sputum BTA negatif: 1. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya
secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sedikitnya pada 2x pemeriksaan tetapi
gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif, atau 2. Pasien yang pada
pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali,
tetapi pada biakannya positif.
II.1.10 Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi seperti : (1,3)
-
16
aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh)
- Pembagian secara radiologis (luas lesi)
o Tuberkulosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas pada satu
paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
o Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih
dari 4 cm. jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru.
Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian paru.
o Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi
keadaan pada moderately advanced tuberculosis.
Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan
klinis, radiologis, dan mikrobiologis :
-
Tuberkulosis paru
Bekas tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam : a.) tuberkulosis paru
tersangka yang diobati. Di sini sputum BTA negatif, tetapi tanda-tanda lain
positif. b.) tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Di sini sputum BTA
negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.
Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk
TB paru (aktif) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan : 1.
Status bakteriologi, 2. Mikroskopik sputum BTA (langsung), 3. Biakan sputum BTA,
4. Status radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberkulosis paru, 5. Status
kemoterapi, riwayat pengobatan dengan anti tuberkulosis. (3)
WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni:(1,3)
Kategori I, ditunjukkan terhadap:
-
Kasus kambuh
Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Kategori III, ditunjukkan terhadap:
II.1.11 Pengobatan
17
semuanya mengandung dua fase, yaitu fase awal intensif dan fase lanjutan. Fase awal
intensif biasanya diberikan sedikitnya 3 atau 4 obat, sedangkan fase lanjutan dapat
diberikan 2 obat saja baik setiap hari maupun intermitten. Pada tahun 1997 WHO
telah membuat klasifikasi regimen pengobatan pada berbagai keadaan penyakit TB.(9)
Tabel II.2 Jenis dan Dosis OAT(12)
o Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif
tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu.
o Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
Tahap Lanjutan
o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
o Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
19
Sebelum pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal, dan
darah lengkap
Fungsi hati: SGOT, SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula
darah, serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada
keluhan)
Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri (bila ada keluhan)
lingkungannya.
Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi
Kriteria sembuh(6)
BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif, dan lebih banyak lagi
untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas maka banyak
pasien yang didiagnosis oleh Rumah Sakit (RS) memiliki resiko tinggi dalam kegagalan
pengobatan, dan mungkin menimbulkan kekebalan obat. Akibat kurang baiknya
penanganan pengobatan penderita TB dan lemahnya implementasi strategi DOTS.
Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT akan menyebarkan infeksi
TBC dengan kuman yang bersifat multi-drugs resistant (MDR).10,11
II.3. Putus dari Pengobatan OAT
II.3.1. Faktor Risiko Putus dari Pengobatan OAT
Menurut penelitian kohort yang dilakukan Rio (2008) terdapat beberapa faktor
risiko yang menyebabkan terjadinya putus dari pengobatan OAT yaitu:
a. Rendahya status ekonomi berdasarkan penghasilan yang diperoleh kepala keluarga.
Pasien putus pengobatan kebanyakan berasal dari keluarga yang mempunyai
penghasilan yang rendah. Hal ini terjadi karena mereka tidak mempunyai kenderaan
dan tidak mampu untuk menyediakan biaya untuk berobat ke rumah sakit.12,13
b. Rendahnya tingkat pendidikan. Didapati bahwa pasien yang tidak pandai membaca
sulit untuk mengakses informasi yang diberikan oleh pelayanan kesehatan. Hal ini
juga turut berhubungan dengan rendahnya ekonomi dan menyebabkan pasien putus
dari pengobatan OAT.12,13
c. Stigma sosial yang menyebabkan pasien merasa malu sekiranya orang disekeliling
tahu bahwa mereka menderita TB dan memilih untuk berobat di tempat yang jauh
dari tempat tinggal mereka. Kondisi jarak yang jauh menyebabkan terjadinya
ketidakberaturan berobat dan menyebabkan mereka malas untuk meneruskan
pengobatan OAT.12,13
II.3.2. Alasan Putus dari Pengobatan OAT
Studi Kasus Hasil Pengobatan Tuberkulosis Paru di 10 Puskesmas di DKI
(Departemen Kesihatan Indonesia) Jakarta pada tahun 1996-1999 menunjukkan bahwa
kasus putus pengobatan OAT adalah cukup besar yakni sebanyak 20,4% (53 kasus) dari
220 kasus. Alasan putus pengobatan OAT dapat dilihat pada tabel II.3.
No.
1.
Alasan
Pasien tidak kembali
22
Kasus (%)
69,8
2.
3.
4.
5.
6.
ulang (follow up); antara lain karena pulang kampung tanpa pemberitahuan
sebelumnya. Terdapat 3 pasien (5,3%) yang tidak melanjutkan terapi karena bosan
selain terdapat 3 pasien yang meninggal karena sepsis dan hepatitis.14
II.3.3. Efek Putus Pengobatan OAT
Putus pengobatan OAT menimbulkan beberapa implikasi seperti: 12,14
1. Multidrugs-Resistent in Tuberculosis (MDR-TB)
Keadaan ini terjadi apabila pasien tidak mengambil obat sesuai dengan yang
diresepkan oleh dokter. Hal ini menyebabkan kuman TB resisten terhadap antibiotik
yang diberikan sebelumnya sehingga antibiotik tersebut tidak lagi dapat membunuh
kuman TB. MDR-TB biasanya terjadi pada pasien yang :
(a) terinfeksi dengan seseorang yang telah mengalami MDR-TB.
(b) ketidakberaturan minum obat.
(c) putus pengobatan sebelum kuman TB dibasmi.
(d) pasien yang relaps setelah mendapat pengobatan TB.
Kadangkala kuman TB resisten terhadap lebih dari satu antibiotik. Untuk
menangani kasus MDR-TB dibutuhkan obat lain selain obat standar pengobatan TB
yaitu obat fluorokuinolon seperti siprofloksasin, ofloxacin, atau levofloxacin. Sangat
disayangkan bahwa obat ini tidak dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan
(Felton, 2005).
2. Kematian
Menurut Rio (2008), pengobatan yang tidak komplit merupakan faktor risiko
yang terpenting yang menyebabkan kematian pada penyakit TB. Pada penelitian yang
dijalankan oleh Rio de Janeiro pada tahun 2007, dari 320 pasien yang meninggal
sebanyak 18.2% adalah pasien yang putus dari pengobatan OAT yang sebelumnya.
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
23
b. Prevalensi
Definisi : Prevalensi adalah jumlah total kasus lama dan kasus baru yang putus
dari pengobatan TB per jumlah total kasus yang TB pada tahun tersebut
Cara Ukur : Pencatatan melalui data sekunder yang didapatkan dari rekam medis
pasien TB di RSUD Labuang Baji
24
x 100%
c. Jenis Kelamin
Definisi : Jenis kelamin pasien TB Paru yang tercantum dalam data rekam medik
d. Umur
Umur didefinisikan sebagai usia warga yang terhitung sejak lahir sampai saat yang
tertera pada rekam medik.
Kriteria objektif :
a. < 1 tahun
e. 15 - 19 tahun
b. 1 - 4 tahun
f. 20 44 tahun
c. 5 - 9 tahun
g. 45 59 tahun
d. 10 14 tahun
h. >60 tahun
e. Status Pendidikan
f. Cara Pembayaran
Definisi : Bulan dimana pasien mulai berhenti berobat atau tidak datang kontrol ke
RSUD Labuang Baji Makassar pada waktu yang ditetapkan dan setelah 60 hari dari
tanggal yang telah ditetapkan untuk penderita datang kontrol
Kriteria objektif :
Januari
- Juli
Februari
- Agustus
Maret
- September
April
- Oktober
Mei
- November
Juni
- Desember
BAB IV
26
METODE PENELITIAN
IV.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain penelitian cross sectional
dimana pada penelitian ini dilakukan observasi data untuk menggambarkan tentang
prevalensi Pasien putus obat OAT di RSUD Labuang Baji, Makassar dan retrospektif
dikarenakan pengumpulan data berdasarkan data sekunder, yakni rekam medik pasien.
IV.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji,
Makassar. Waktu pengambilan dan pengumpulan data penelitian dilaksanakan pada
tanggal 5 17 April2014.
27
pengolahan
data,
analisis/interpretasi
penyajian
data
dan
data,
pengambilan
28
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
V.1. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama dua minggu yaitu mulai tanggal 5 Mei 2014
24 Mei 2014 dengan mengambil data sekunder dari rekam medis pasien TB Paru di
bagian rekam medik RSUD Labuang Baji, Makassar. Sampel dalam penelitian ini
adalah seluruh pasien dengan diagnosis TB Paru yang berobat di poli paru RSUD
Labuang Baji, Makassar selama rentang waktu bulan Januari 2013 sampai Desember
2013. Dari 194 pasien yang menderita tuberkulosis, ada 27 buah rekam medik yang
tidak ditemukan. Dari 167 buah rekam medik pasien dengan TB Paru yang diperiksa,
tidak ada sampel yang terekslusi oleh karena variabel yang diteliti semua lengkap di
dalam rekam medik pasien.
Berdasarkan hasil pengumpulan dan analisis data rekam medik, maka dapat
disimpulkan hasil penelitian sebagai berikut :
V.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang baji, Makassar yang
terletak di bagian selatan Kecamatan Mamajang Kota Makassar tepatnya di Jalan
Dr.Ratulangi No. 81 Makassar.Rumah Sakit ini juga menjadi rumah sakit Tipe B dan
juga sebagai pusat rujukan region gerbang Selatan, mencakup Kabupaten Gowa,
Kabupaten Takalar, Kabupaten Jeneponto, termasuk untuk masyarakat yang berdomisili
di sisi selatan Kota Makassar. Dikeluarkannya Perda Pemerintah Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Nomor 6 Tahun 2002 yang merubah status dari RSUD non pendidikan
menjadi BP RSUD Labuang Baji yang berada dibawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Gubernur Sulawesi Selatan, namun sebelumnya RSUD Labuang Baji
telah Terakreditasidengan 5 (lima) bidang pelayanan Kemudian dengan dikeluarkannya
Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2008 pada tanggal 21 Juli 2008 dengan merubah
struktur organisasi RSUD Labuang Baji dari bentuk badan menjadi Rumah Sakit
Umum.
29
=
=
x 100%
x 100%
= 16,8%
Penderita TB Paru
Menjalani
di RSUD Labuang
OAT
Frequency
Percent
Frequency
Percent
134
83.2
27
16.8
Baji Periode
Januari-Desember
2013
Tabel V.1 Distribusi frekuensi pasien TB Paru di RSUD Labuang Baji Periode JanuariDesember 2013
Dari hasil pengumpulan data didapatkan sebanyak 161 pasien TB Paru yang
memenuhi kriteria menjadi sampel penelitian, terdiri dari penderita TB yang putus dari
pengobatan OAT adalah sebanyak 27 orang (16,8%) dan sebanyak 134 orang (83,2%)
penderita TB yang menjalani pengobatan OAT.
V.1.2.2. Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin
30
Jenis Kelamin
Berdasarkan tabel V.2 di atas, penderita TB yang putus dari pengobatan OAT
lebih banyak pada kelompok lelaki (64,9%) begitu juga pada penderita TB yang
menjalani pengobatan lebih banyak pada kelompok lelaki (63,0%).
V.1.2.3 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Kelompok Umur
Umur
Frequency
Percent
Frequency
Percent
15-19
10
7.5
3.7
20-44
70
52.2
18
66.7
45-59
34
25.4
18.5
>60
20
14.9
11.1
Total
134
100.0
27
100.0
Tabel V.3 Distribusi frekuensi pasien TB Paru berdasarkan kelompok umur
Berdasarkan tabel V.3 di atas, penderita TB yang putus dari pengobatan OAT
lebih banyak pada kelompok umur 20-44 tahun (66,7%) begitu juga pada penderita TB
yang menjalani pengobatan lebih banyak pada kelompok umur 20-44 tahun (52,2%).
V.1.2.4 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Status Pendidikan
Menjalani Pengobatan OAT
Putus Pengobatan OAT
Frequency
Percent
Frequency
Percent
Tidak Sekolah
1
0.7
1
3.7
SD
30
22.4
4
14.8
SMP
31
23.1
7
25.9
SMA
67
50.0
12
44.4
D3
1
0.7
1
3.7
S1
4
3.0
2
7.4
Total
134
100.0
27
100.0
Tabel V.4 Distribusi frekuensi pasien TB Paru berdasarkan status pendidikan
Status Pendidikan
31
Berdasarkan table V.4 tersebut, pasien yang mendapat pendidikan sampai SMA
mencatat angka yang tertinggi (44,4%), disusuli dengan SMP (25,9%), kemudian SD
(14,8%), seterusnya S1(7,4%), Tidak Bersekolah (3,7%) dan terakhir D3 (3,7%).
V.1.2.5 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Cara Pembayaran
Menjalani Pengobatan OAT
Cara Pembayaran
Asuransi
Frequency
Percent
Frequency
Percent
Jamkesmas
Jamkesda
Askes
Jaminan
23
68
16
17.2
50.7
11.9
5
17
2
18.5
63.0
7.4
Kesehatan
2.2
3.7
Nasional
Jamsostek
4
3.0
0
0,0
Umum
20
14.9
2
7.4
Total
134
100.0
27
100.0
Tabel V.5 Distribusi frekuensi pasien TB Paru berdasarkan Cara Pembayaran
Berdasarkan tabel V.5 di atas, penderita yang putus dari pengobatan OAT lebih
banyak pada mereka yang melakukan pembayaran secara asuransi (92,6%) berbanding
dengan penderita yang melakukan pembayaran secara langsung , begitu juga pada
penderita TB yang menjalani pengobatan lebih banyak pada mereka yang melakukan
pembayaran secara asuransi (85,1%).
32
seperti bosan berobat ,pindah berobat, spesimen ulang tidak dikirim dan efek samping
OAT.15 Penelitian mengenai Riwayat Pengobatan Penderita TB Paru yang Meninggal di
Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa dari semua penderita TB yang meninggal
dari 109 yang meninggal akibat TB sebanyak 19 (17,5 %) orang yang pernah berobat
dan putus dari pengobatan OAT ( Herryanto, 2002). Sementara menurut penelitian yang
dijalankan di Banda Aceh tahun 2001- 2002 angka putus berobat penderita TB paru di
Kota Banda Aceh tahun sebesar 21,5% yang disebabkan pelbagai faktor seperti
pekerjaan, pengetahuan, dan efek samping obat OAT.15 Data pada Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Timur tahun 2004 menunjukkan 15% dari penderita TB paru yang
diobati di seluruh Puskesmas di Jawa Timur yang mempergunakan program pengobatan
strategi DOTS, tidak melanjutkan pengobatan sampai selesai dengan persentanse tiap
daerah tingkat ialah : Bangkalan(37%), Sidoarjo(29%), Lamongan (27%), Sumenep
(24%), Situbondo (23%), Gresik (22%). Sementara pada tahun 2005 total yang putus
pengobatan adalah sebesar 14% dengan daerah terbanyak adalah Ngawi (38%), Jember
(36%), Bangkalan (28%), Kabupaten Malang (25%), Gresik (20%) (Tahan , 2005). 15
Berdasarkan jenis kelamin, didapatkan penderita TB yang putus dari pengobatan
OAT di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji selama tahun 2013 lebih banyak
pada kelompok lelaki (64,9%) begitu juga dengan penderita TB yang menjalani
pengobatan OAT lebih banyak pada kelompok lelaki ( 63%).
Peningkatan angka putus pengobatan OAT lebih tinggi pada kelompok lelaki pada
kasus mungkin disebabkan jumlah pasien laki-laki pada penderita TB lebih tinggi pada
lelaki berbanding perempuan. Selain itu, hal ini juga mungkin disebabkan perbedaan
persepsi sakit pada laki-laki berbanding wanita. Laki- laki lebih berpendapat mereka
kuat untuk melawan kesakitan yang dialami sehingga mereka tidak mahu untuk
melanjutkan pengobatan OAT. Laki-laki juga berpendapat bahwa mereka adalah
tunggak keluarga sehingga masa yang mereka ada lebih diperuntukkan untuk bekerja
demi menyara keluarga mereka berbanding ke rumah sakit untuk meneruskan
pengobatan OAT yang memerlukan masa yang lama dan membebankan keluarga dari
segi keuangan.16
Berdasarkan penelitian Biomed Central (BMC) Public Health pada tahun 2010
yang dijalankan di kawasan terpencil di Provinsi Shaanxi penderita yang putus dari
pengobatan banyak pada kelompok lelaki (67,3%) karena lelaki perlu bekerja untuk
menanggung keluarga sehingga lelaki lebih mudah untuk putus dari pengobatan TB.
Walaubagaimanapun, menurut penelitian yang dijalankan oleh Rio pada tahun 2008
34
masih tidak dapat dikenal pasti hubungan jantina dengan faktor putus berobat, namun
pada penelitian tersebut pria lebih sering putus berobat berbanding wanita. Menurut
Waisbord (2005) dalam penelitian yang dijalankan di negara Bangladesh dan Vietnam
menyatakan bahwa alasan untuk wanita untuk menangguhkan pengobatan OAT adalah
karena apabila mereka didiagnosa menghidap TB mereka akan dipinggirkan oleh
keluarga dan beresiko tinggi untuk diceraikan oleh suami mereka sehingga mereka
mengambil keputusan untuk menghentikan pengobatan. Namun pada penelitian yang
dijalankan di China dan India golongan perempuan lebih peka untuk mendapatkan
pengobatan berbanding kaum lelaki sehingga jarang bagi golongan mereka untuk putus
dari pengobatan OAT.17 Sebaliknya alasan golongan lelaki untuk putus dari pengobatan
OAT pada studi yang dijalankan di Vietnam dan India, alasan untuk laki-laki putus dari
pengobatan OAT adalah takut akan biaya individual yang dikenakan pada pemeriksaan
dan pengobatan.17 Selain itu, menurut penelitian yang dijalankan di Banda Aceh tahun
2001-2003 golongan laki-laki (72%) lebih sering putus dari pengobatan OAT
berbanding dengan perempuan. Namun menurut buku Tuberkulosis Klinik (2002) tidak
terdapat perbedaan antara jenis kelamin dengan kejadian tuberkulosis. 17
Berdasarkan status pendidikan , penderita TB yang putus dari pengobatan OAT di
Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji selama tahun 2013 terbagi atas tidak
bersekolah, SD, SMP, SMA, D3 dan S1. Jumlah pasien yang mendapat pendidikan
sampai SMA mencatat angka yang tertinggi (44,4%), disusuli dengan SMP (25,9%),
kemudian SD (14,8%), seterusnya S1(7,4%), Tidak Bersekolah (3,7%) dan terakhir D3
(3,7%). Kelompok SMA mencatat jumlah tertinggi dalam status pendidikan mungkin
disebabkan kelompok ini juga mencatatkan angka tertinggi berdasarkan dari semua
kasus TB.
Menurut penelitian mengenai Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Kepatuhan
Minum Obat Anti Tuberkulosis tahun 2005 mencatatkan penderita yang menamatkan
pendidikan sampai SMA mencatatkan angka tertinggi yaitu sebanyak 59 % ( Tahan,
2005) Namun berdasarkan penelitian yang dijalankan oleh Rio (2008) didapati bahwa
penderita dengan status pendidikan rendah sulit untuk mengakses informasi yang
diberikan oleh pelayanan kesehatan sehingga mereka tidak kembali untuk melanjutkan
pengobatan. Hal ini juga berhubungan dengan rendahnya ekonomi dan menyebabkan
pasien putus dari pengobatan OAT. Namun, dalam penelitian yang dilakukan pada
penderita TB di Rumah Sakit Haji Adam Malik selama tahun 2009, tidak dapat
dihubungkan tingkat pendidikan dengan status ekonomi pasien karena dalam rekam
35
dikenakan oleh rumah sakit seperti pemeriksaan, pengobatan OAT, dan pengobatan
untuk mengatasi efek samping akibat pengobatan TB. Penelitian yang juga dilakukan
China mendapati bahwa biaya pengobatan yang mahal dan kesulitan keuangan
menyebabkan penderita menangguhkan pengobatan OAT. Hal tersebut disebabkan
penderita terpaksa meminjam uang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan akibat
tidak mempunyai asuransi medis.17
Berdasarkan data bulan putus obat pasien TB di Rumah Sakit Umum Daerah
Labuang Baji tahun 2013, didapatkan penderita yang putus dari pengobatan OAT lebih
banyak pada bulan september yaitu sebanyak 5 orang (18,5%), kemudian pada bulan
oktober sebanyak 4 orang (14,8%), pada bulan juni dan agustus masing-masing
sebanyak 3 orang (11,1%), dan pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei dan Juli
masing-masing sebanyak 2 orang (7,4%).
BAB VI
37
38
penting dalam menekan angka kejadian TB kasus baru dan TB-MDR yang sulit
diobati.
4. Bagi pihak RSUD Labuang Baji Makassar, diharapkan untuk memperhatikan
kelengkapan dan keseragaman pengisian data penderita serta sistem penyimpanan
rekam medik yang baik, untuk kepentingan pencatatan dan pelaporan dalam rangka
meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat dan perencanaan untuk perbaikan
program kesehatan di masa mendatang.
5. Perlunya dilakukan penelitian yang lebih lanjut dan teratur untuk periode tertentu agar
mendapatkan hasil yang lebih akurat mengingat mengingat periode penelitian yang
sempit dan angka kejadian TB yang terus berubah tiap tahunnya.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul. Tuberkulosis Paru. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu
Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press.2005
2. Departemen Kesehatan RI. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 20103.
15. Shaikh, B.T., 2004. Health Seeking Behaviour and Health Service Utilization in
Pakistan: Challenging The Policy Makers. Journal of Public Health,27 (1): 4954.
Available from: http://jpubhealth.oxfordjournals.org
16. Subdirektorat TB Departemen Kesehatan RI dan World Health Organization, 2008.
Hari TB Sedunia. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Direktorat Promosi
Kesehatan.
17. Sudoyo, et al., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II , Edisi keempat.
Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
41