UTOYO SUNARYO
BAGIAN NEUROLOGI FK UWK SURABAYA
RSUD Dr MOH . SALEH KOTA PROBOLINGGO
ABSTRACT
The diagnosis of epilepsy is problematic because the routine diagnosis of epilepsy is
therefore clinical, and requires specific clinical knowledge and skills. Recognizing and
correctly diagnosing seizures can lead to a number of effective treatments. In the majority
of patiens with epilepsy, diagnosis can be made with a detailed neurologic history and
examination, an EEG, and brain imaging. However, in certain patients, diagnosis requires
recording the seizures during inpatient video-EEG monitoring. This article explains an
approach for diagnosing and evaluating this epilepsy patients population in the clinics.
Key words : diagnosis of epilepsy, etiology, classification of seizures, classification of
epilepsy syndromes.
ABSTRAK
Diagnosis epilepsy merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis epilepsi
secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan ketrampilan yang khusus. Dengan
mengenali serangan kejang dan membuat diagnosis yang benar dapat menjadikan
pengobatan lebih efektif. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan
mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi,
pemeriksaan elektroensefalografi dan pencitraan otak. Akan tetapi pada pasien epilepsi
tertentu diperlukan pemeriksaan melalui rekaman video EEG. Makalah ini menjelaskan
suatu pendekatan cara membuat diagnosis dan evaluasi pasien epilepsi yang datang
berobat ke klinik.
Kata kunci : diagnosis epilepsy, etiologi, klasifikasi serangan kejang, klasifikasi
sindrom epilepsy.
PENDAHULUAN
alah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan dengan pasti
diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai diagnosis epilepsi
harus ditegakkan dulu (Mardjono 2003). Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak
dapat dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan dengan
diagnosis epilepsi yang tepat pula (Oguni 2004). Diagnosis epilepsi berdasarkan atas
gejala dan tanda klinis yang karakteristik. Jadi membuat diagnosis tidak hanya
berdasarkan dengan beberapa hasil pemeriksaan penunjang diagnostik saja, justru
informasi yang diperoleh sesudah melakukan wawancara yang lengkap dengan pasien
maupun saksi mata yang mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan kemudian baru
dilakukan pemeriksaan fisik & neurologi . Begitu diperkirakan diagnosis epilepsi telah
dibuat barulah dilanjutkan pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnosis dan
mencari penyebabnya, lesi otak yang mendasari , jenis serangan kejang dan sindrom
mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi.
Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan
mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus
oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan
gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai
dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang
parsial kompleks.
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode
sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah post ictal
period Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu
tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya
biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau
hemiplegi sesudah serangan kejang disebut Todds Paralysis yang
menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai
gangguan kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer dominan.
Pada Absens khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang.
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik
klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan pagi
hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan
serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.
6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena
kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang
tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional,
panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu, drug abuse, reading &
eating epilepsy. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan
pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah serangan kejang.
7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu untuk
mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat obat anti
kejang .
8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini
mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti
kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang
digunakan spesifik bermanfaat ?
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan
tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan
kejang secara lengkap.
10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang?
Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat
serangan kejang ada yang diawali dengan aura tetapi tidak ada cukup waktu
untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang
atau mungkin ada aura , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat
dipersiapkan upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.
11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan
mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat
mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin
serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan
kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan
kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti caf au lait
spots dan iris hamartoma pada neurofibromatosis, Ash leaf spots , shahgreen
patches , subungual fibromas , adenoma sebaceum pada tuberosclerosis, port wine stain ( capilarry hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat
apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang
berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat
serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh
karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada dupytrens contractures yang dapat
terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama. (Ahmed, Spencer 2004,
Harsono 2001, Oguni 2004).
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, gait , koordinasi, saraf kranialis,
fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti
hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat
menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya
nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi
seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu
serangan kejang terjadi. Dysmorphism dan gangguan belajar mungkin ada kelainan
kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat
dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa
menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya
distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.(Ahmed,
Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004, Sisodiya, Duncan 2000).
PEMERIKSAAN LABORATORIUM.
Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat
mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan
glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen , kreatinin dan test fungsi hepar
mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi
serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya drug abuse (Ahmed,
Spencer 2004, Oguni 2004).
PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI.
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman
pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan
hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting
untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut (Duncan,
Kirkpatrick, Harsono 2001, Oguni 2004)
1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien
dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG
Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.
Serangan umum dan fokal
- Serangan neonatal
- Epilepsi mioklonik berat pada bayi
- Sindroma Taissinare
- Sindroma Landau Kleffner
Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
Epilepsi berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
- Berkaitan dengan obat-obatan
- Eklampsi.
- Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)
KESIMPULAN
Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis epilepsi
secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan ketrampilan yang khusus. Dengan
mengenali serangan kejang dan membuat diagnosis yang benar dapat menjadi pengobatan
lebih efektif. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan mengetahui
secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan
elektroensefalografi dan pencitraan otak. Akan tetapi pada pasien epilepsi tertentu
diperlukan pemeriksaan melalui video-EEG.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed Z, Spencer S.S (2004) : An Approach to the Evaluation of a Patient for
Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.
Anonymous (2003) : Diagnosis of Epilepsy, Epilepsia, 44 (Suppl.6) :23-24
Duncan R : Diagnosis of Epilepsy in Adults, available from :
http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/E Duncan.pdf.
Hadi S (1993) : Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit UNDIP
Semarang : 55-63.
Harsono (2001) : Epilepsi, edisi 1, GajahMada University Press, Yogyakarta.
Kirkpatrick M : Diagnosis of Epilepsy in Children, available from :
http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy
supplement/F
Kirkpatrick.pdf.
Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman Tatalaksana
Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.
Mardjono M (2003) : Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya
dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi, Agoes A (editor); 129148.
Oguni H (2004) : Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, 48 (Suppl.8):13-16
Sirven J.I, Ozuna J (2005) : Diagnosing epilepsy in older adults, Geriatricts, 60,10:
30-35.
Sisodiya S.M, Duncan J (2000) : Epilepsy : Epidemiology, Clinical Assessment,
Investigation and Natural History, Medicine International,00(4);36-41.
Stefan H (2003) : Differential Diagnosis of Epileptic Seizures and Non Epileptic
Attacks, Teaching Course : Epilepsy 7th Conggres of the European Federation
of Neurological Societies, Helsinki.