Proposal Penelitian 2
Proposal Penelitian 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Sumatera Barat telah lama dikenal sebagai penghasil rempah-rempah dan
bahan mineral, bandar-bandar pelabuhan di sepanjang pesisir pantai barat
Sumatera seperti Tiku, Ulakan, Pariaman, Padang, Salido, dan Inderapura telah
memberikan kontribusi yang besar dalam sistem perdagangan di kawasan
Sumatera Westkust yang telah menjadi tempat kegiatan ekspor-impor selama
beberapa abad.1
Kehidupan ekonomi masyarakat Minangkabau setelah kedatangan kolonial
Belanda bertumpu pada sektor perdagangan international dan pertanian. Di sektor
perdagangan komoditi hasil alam Minangkabau, yang mana telah merubah
struktur sosial dan ekonomi masyarakat Minangkabau secara bertahap.2
Sebelum depresi ekonomi melanda, Hindia-Belanda sedang mengalami
pertumbuhan ekonomi. Hal ini tampak pada perkembangan perusahaanperusahaan dagang di Hindia-Belanda. Perusahaan mengalami kemajuan pesat
dan keuntungan berlipat ganda disebabkan oleh permintaan besar terhadap
produksi di Hindia-Belanda.3 Pemerintah Hindia-Belanda berupaya menunjukkan
Gusti Asnan, 2007, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Yogyakarta: Ombak, hlm.
45.
2
Sabar, 2006, Kebijakan Beras Pemerintah Belanda di Sumatera Barat Tahun 19301942, Andalas University Press, hlm. 7.
3
http://tanahair.kompas.com/read/2013/01/14/16300795/Pantai.Barat.Sumatera.Kejayaa
n.Masa.Silam, diakses pada 21 September 2014.
bahwa daerah koloninya merupakan wilayah yang terbuka bagi ekonomi dunia,
dengan cara pemerintah Hindia-Belanda berusaha menambah produksi.
Tabel 1
Tabel Harga Hasil Komoditi Ekspor Sumatera Westkust di Pasar Padang
pada Periode Malaise 1926-1929
Hasil
1926
1927
1928
1929
Komo
Jan-
Jul
Jan-
Jul
Jan-
Jul-
Jan-
Jul-
diti
Jun
Des
Jun
Des
Jun
Des
Jun
Des
Kopi
41 f
40 f
39 f
39 f
40 f
42 f
39 f
39
f
Akasi
19
32 f
30 f
26 f
26 f
25 f
26 f
20 f
f
15
Kopra
16 f
17 f
15 f
15 f
14 f
14 f
15 f
f
28
Pala
35 f
35 f
35 f
41 f
35 f
33 f
30 f
f
Gamb
36
40 f
45 f
42 f
48 f
43 f
44 f
35 f
ir
http://minanglamo.blogspot.com/2013/11/jejak-voc-di-sumatra-barat.html, Diakses
tanggal 12 oktober 2014.
5
Bambang Hidayat, Mosaik Pemikiran: Sejarah dan Sains untuk Masa Depan,(Bandung:
Kiblat, 2004), hlm. 194.
6
Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2011), hlm. 76.
7
Istialah krisis ekonomi Malaise sering di pelesetkan oleh masyarakat Minangkabau
dengan istilah Meleset.
Berita, (Tanpa Penulis): Pemandangan Tentang Malaise, dalam Surat kabar Tani Edisi
1930, Arsip Koleksi Pusat Dokumnetasi Informasi Kebudayaan Minangkabau Padang Panjang,
hlm. 12.
9
Padmo Sugianto, Bunga Rampai Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia, Universitas Gajah
Mada, hlm. 269.
10
Jatuh Tapai di dalam pameo Masyarakat Minangkabau juga di pakai untuk
mengungkapakan kemerosotan ekonomi suatu kelompok maupun ekonomi individu.
masyarakat pada masa krisis ekonomi malaise. Proses produksi akasia yang tidak
merata di daerah pedalaman Minangkabau, dan hanya pada daerah tertentu saja
yang menghasilkan akasia seperti kawasan Afdeling Agam dan Afdeling Tanah
Datar yang telah memberikan beberapa keuntungan kepada penduduk setempat
yang memanfaatkan akasia pada masa malaise.
Para petani dan pedagang mampu mencari celah atau alternatif lain selain
kopi, gambir dan kopra yang harganya turun saat krisis malaise melanda. Salah
satu cara yang telah mereka lakukan adalah dengan meningkatkan intensitas
perdagangan akasia pada masa malaise, disatu sisi mendorong masyarakat untuk
tetap mempertahankan perdagangan yang berorientasi ekspor walaupun beberapa
daerah di Jawa pada masa itu masyarakatnya kembali ke tanaman subsistensi.
Sedangkan di Minangkabau pola perdagangannya tidak sama dengan di
jawa, di jawa perdagangan hanya fokus dilakukan pada satu komoditas saja. Dan
di Minangkabau masyarakatnya tidak bisa hanya memperdagangkan dan terfokus
pada satu hasil komoditi saja. Di bawah berikut peneliti memberikan gambaran
tabel harga perbandingan antara komoditas Kopi dan Akasia pada masa Malaise
yang di ekspor di pasar Padang.
Tabel 2
1931
1932
1933
1934
1935
Hasil
Kom
oditi
Jul
Jan-
Jul -
Jan-
JulJan-
Jul-
Jan-
Jul-
Jan
Jun
Des
Jun
Jan
Jul-
Jun
Des
19 f
19 f
14f
12 f
De
Jun
Des
Jun
Des
-Jul
Des
Aka19 f
18 f
18 f
14 f
16 f
15 f
17 f
16 f
17 f
18 f
19 f
17 f
15 f
15 f
17 f
14 f
12 f
13 f
18 f
Sia
Kopi
14
f
Dari data diatas dapat dilihat, bahwa pada tahun-tahun awal terjadinya krisis
ekonomi malaise harga jual komoditas akasia dapat melebihi kopi, walaupun
memiliki perbandingan harga yang tipis. Walaupun pada tahun-tahun awal selama
terjadinya krisis malaise harga akasia sempat beberapa kali mengalami penurunan,
namun pada pertengahan terjadinya krisis malaise harga akasia lebih mendominasi
dibandingkan kopi.
Hal ini sedikit memberikan gambaran bahwa perdagangan akasia telah
mengalami pergeseran selama masa malaise, sebelumnya para pedagang hanya
menjual produksi akasia kepada toke14 (pengumpul di pelabuhan) dengan harga
pasaran yang telah ditentukan di pasaran. Namun seiring terjadinya krisis malaise
14
pedagangan akasia tidak lagi dilakukan seperti biasa, taktik perdagangan yang di
jalankan di pasar dengan melonjakan harga ketika akasia sedikit di pasaran.
Akibat banyaknya hasil yang ditahan oleh masyarakat dipedalaman, sehingga
ketika harga dinaikkan, maka berbondong-bondonglah akasia didatangkan ke
pasar, namun justru sebaliknya ketika produksi akasia banyak maka harga di pasar
dibanting turun.15
Begitupula yang dilakukan oleh para pedagang atau tuan-tuan tengkulak
dengan para pedagang Amerika dan Eropa untuk memenuhi kontak-kontrak
perjanjian dagang mereka.16 Perdagangan Akasia telah menjadi ekonomi alternatif
bagi para petani dan pedagang pada masa krisis ekonomi Malaise di daerah
pedalaman, terutama kawasan dataran tinggi Agam dan Tanah Datar. Dan para
petanipun dipedalaman memiliki peranan penting untuk harga atas komoditi
akasia. Para petani tidak akan mau menjual dengan harga yang murah, sehingga
para petani memilih untuk menumpuk produksinya di daerah pedalaman, supaya
para pedagang atau pengumpul membelinya dengan harga yang tinggi.17
Pola perdagangan yang dilakukan oleh petani-pedagang dari daerah
pedalaman memiliki peran khusus dalam dinamika daerah rantau dan daerah
darek, petani-pedagang umumnya memiliki lahan dan menghasilkan produksi
pertanian sendiri. Petani-pedagang dari daerah darek membawa barang
15
Berita (Tanpa Penulis), Kabar ringkas dan pemberitahuan tentang harga barang alam
Minangkabau, Surat Kabar Tani, (Arsip Koleksi Pustaka PDIKM Padang Panjang, 1931), hlm. 6.
16
http://ranahberita.com/13131/antara-van-den-berg-dan-kampung-berok. Diakses tanggal
24 Desember 2014.
17
Tsuyoshi Kato, 1986, Rantau Pariaman: Dunia Saudagar Pesisir Minangkabau Abad
XIX dalam Akira Nagazumi, Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. hlm 34.
dagangannya dengan menggunakan pedati, walaupun juga ada yang berjalan kaki
lengkap dengan perlengkapan barang daganganya menuju pelabuhan.
Mereka menempuh jarak yang jauh dan akan singgah di daerah yang
mereka lalui untuk menjual bahkan membeli barang dagangan yang baru seperti
Akasia, kopi, gambir, pala dan padi. Biasanya mereka akan menetap 4 sampai 5
bulan di daerah pesisir untuk berdagang dan juga tidak heran kelas pedagang
seperti ini memiliki banyak istri untuk sekurang-kurang mencari tempat
bermalam.18 Setelah barang dagangan habis maka mereka akan kembali lagi
pedalaman untuk memanen hasil pertanian dan biasanya mereka akan lebih lama
di daerah pedalaman dibandingkan daerah pesisir.
Tak jarang banyak di antara para kelas petani-pedagang ini sukses menjadi
saudagar yang makmur, salah seorang tokoh yang terkenal pada abad ke 19 yaitu
Pato Rajo yang berdomisili di Pariaman, Pato Rajo yang kedua orang tuanya
berasal dari daerah Agam memulai usaha dengan modal hanya dua ringgit
meriam, dengan modal tersebut Pato rajo berdagan kulit manis, kulit kerbau dan
barang keperluan sehari-hari berangkat menuju daerah Pariaman,19
karena kejujurannya Pato Rajo mendapat kepercayaan dari orang-orang
Belanda untuk dilibatkan dalam perdagangan kulit manis dan garam yang telah di
monopoli oleh Belanda. Hingga akhirnya Pato Rajo mempunyai kekayaan sebesar
100.000 rial atau sama dengan F 2 (dua Florin Spanyol ) sayangnya akibat gaya
hidup Pato Rajo yang berfoya-foya dan juga banyak istri membuat kekayaannya
18
10
merosot.20
Di
Hindia-Belanda
hanya
Sumatera
Westkust
sajalah
yang
http://minanglamo.blogspot.com/2014/10/catatan-seorang-ambtenaar-1932-1941.html
diakses 11 Maret 2014.
21
Berita, (Tanpa Penulis), Maklumat Tani di Onderdistrik Matoer, dalam Surat kabar
Tani edisi Juli-September 1935, Arsip Koleksi Pustaka PDIKM Padang Panjang, hlm. 57.
22
Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan gerakan Padri, Depok:
Komunitas Bambu, 2008, hlm. 133.
11
jalan yang dekat ke pantai barat sumatera ekonomi perdagangan Agam sangat
tinggi intensitasnya dan juga banyak memunculkan kelas petani-pedagang yang
sukses menjadi saudagar yang kaya.23
Tanah-tanah lereng dan perbukitan telah dimanfaatkan oleh masyarakat
Agam dengan menanam tanaman akasia, pemanfaatan tanah perbukitan dan
lereng tersebut membuka kesempatan bagi masyarakat akan sumber tanaman baru
dan pergeseran budidaya kopi ke budidaya tanaman ekspor dan akasia salah
satunya,24 pembudidayaan akasia tidak membutuhkan biaya dan modal yang besar
untuk perwatannya tidak seperti tanaman kopi, karet,dan gambir. Hal ini pulalah
yang membuat masyarakat menyukai budidaya ini, dan memang benar-benar
mampu meringankan masyarakat pada masa-masa sulit.
Dengan ciri khas tersendiri dari perdagangan akasia di Sumatera Westkust
pada masa malaise, beberapa periode telah menunjukan bagaimana perdagangan
akasia memberikan kesejukan ditengah-tengah krisis yang melanda, walaupun
sedikit akan tetapi sangat berarti pada masa-masa sulit, yang mana hal ini tidak
mampu diberikan oleh komoditi ekspor utama seperti kopi, getah,dan kopra.
Perdagangan akasia menjadi salah satu alternatif jalan yang telah
membantu perekonomian masyarakat ketika harga kopi jatuh akibat krisis
malaise, dan produksi karet mengalami masalah yang berbedabanyaknya biaya
23
http://sejarah.kompasiana.com/2013/04/22/bisnis-dan-dimensi-sosial-catatan-awaltentang-kiprah-wiraswastawan-minangkabau-di-ranah-dan-rantau-1910-1950-an-549158.html.
Diakses tanggal 11 Maret 2014.
24
Christine Dobbin, Op. Cit., hlm. 39.
12
25
13
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitian yang mana
keterlibatan
masyarakat
pengembangan
ekonomi
Minangkabau
terhadap
perubahan
lokal,
membawa
masyarakat
telah
sosial
dan
pedalaman
14
15
16
2. Konseptual
Perdagangan international bukanlah sesuatu hal yang baru, menurut Adam
Smith perdagangan international adalah suatu hubungan kerjasama ekonomi yang
17
dilakukan oleh negara yang satu dengan negara lain yang berkaitan dengan barang
dan jasa sehingga mampu membawa suatu kemakmuran bagi suatu negara.29
Teori
dari
Hecksher-Ohlin
yang
menjelaskan
pola
perdagangan
Pratama Rahardja dan Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro: Suatu Pengantar,
Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia, 2008, hlm. 40.
30
Laila Kholid Alfirdaus, Jurnal: Politik Relasi Etnik, Matrealinialitas dan etnis
Minoritas Cina Di Padang Sumatera Barat, Padang: Journal Komunitas 2014, hlm. 7.
18
ekonomi atau malaise yang terjadi pada awal tahun 1930-an merupakan akibat
dari eksploitatifnya investor dalam memacu pertumbuhan ekonomi setelah
berakhirnya Perang Dunia I dan kejatuhan Wall Street pada bulan Oktober 1929.31
Proses kelebihan produksi tersebut memuncak pada tahun 1929, dimana
perekeonomian Eropa dan Amerika Serikat mengalami depresi hebat. Inilah yang
menyebabkan lembaga-lembaga perekonomian ambruk, bank-bank tutup, dan
pabrik serta perusahaan perkebunan bangkrut dan kemudian berkembang kearah
timbulnya depresi besar yang melanda dunia dan depresi ekonomi lebih terasa di
negara-negara jajahan.
Krisis ekonomi (Malaise) ini membawa kondisi-kondisi pertanian yang
memburuk di Hindia-Belanda, ketika harga-harga dan perdagangan luar negeri
terus merosot dan kredit mengering. Hindia-Belanda sebagai pensuplai bahan
mentah untuk industri pun sangat kentara dengan hal ini, terbukti selama sepuluh
tahun pabrik dan perusahaan perkebunan mengurangi aktivitasnya. 32 Kemudian
terjadi pembatalan proyek-proyek besar, pemutusan hubungan kerja yang
dilakukan oleh pabrik sehingga menimbulkan pangangguran.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian desktiptifanalitik adapun langkah-langkah atau metode yang dilakukan dalam penelitian ini
sebagai berikut.
31
A.A. Abdurrahman, 1982, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Jakarta:
Pradnya Paramita, 1982, hlm. 329.
32
Suhartono, 1994, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi
1908-1945, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ofiset, hlm. 85.
19
1. Heuristik,
Heuristik adalah kegiatan mencari dan menemukan sumber yang
diperlukan. Sumber yang diperlukan berdasarkan bentuk penyajiannya, sumbersumber sejarah terdiri atas arsip, dokumen, buku, majalah/jurnal, surat kabar.
Peneliti menggunakan arsip dan dokumen sekunder zaman Hindia-Belanda
periode 1898-1935 yang didapatkan di perpustakan pusat dokumentasi dan
informasi kebudayaan Minangkabau di Padang Panjang, selanjutnya peneliti
menggunakan jasa penerjemah untuk menerjemahkan arsip dan dokumen
berbahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia.
Dalam penelitian ini peneliti juga menggunakan buku-buku yang terdapat di
perpustakan jurusan Sejarah dan perpustakaan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial
Universitas Negeri Padang. Dan juga peneliti menggunakan jurnal dan surat kabar
versi elektronik media internet.
2. Kritik Sumber
Kritik Sumber adalah melakukan penyeleksian terhadap sumber-sumber
yang di temukan, berikutnya adalah melakukan kritik untuk memperoleh
keabsahan sumber. Kritik ekstern menilai (autensitas) sumber apakah sumber itu
benar-benar sumber yang diperlukan?. Apakah sumber itu asli, turunan, atau
palsu.dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang ditelusuri
melalui kritik intern. Setelah melalui berbagai pertimbangan maka data-data yang
peneliti dapatkan merupakan data sekunder dan turunan yang didapatkan di
20
BAB II
MINANGKABAU DALAM PERIODE
21
33
Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, 2005,
Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 45.
34
http://minanglamo.blogspot.com/2014/10/catatan-seorang-ambtenaar-1932-1941.html.
Diakses 25 Februari 2015.
22
menggunakan istilah Utara, Selatan, Barat, dan Timur. Akan tetapi batas-batas
wilayah tersebut mereka kenal seperti yang tertuang dalam pidato adat:
Dari ombak nan badabua
Sampai kasikilang Aia Bangih
Masuak ka Rao Mapat Tunggua
Lapeh ka sialang balantak basi
Dari taratak aia itam
Hinggo aia babaliak mudiak
Sampai ka durian ditakuak rajo
Lapeh ka buayo putiah daguak 35
Pengertiannya sebagaimana yang diuraikan Idrus Hakimy Datuk Rajo
Penghulu; dari ombak nan badabuo maksudnya, daerah pantai barat yaitu
Sumatera Barat sekarang; sampai ka sikilang aia bangih yang meliputi daerahdaerah yang terletak di sekitar Pasaman Timur seperti, Air Bangis, Ampalu,
Cubadak, dan Simpang Tonang. Daerah-daerah tersebut berdekatan dengan
Sibolga (Tapanuli Selatan, Sumatera Utara); masuak ka Rao Mapat Tunggul
adalah daerah disekitar Rao (Pasaman Timur) yang berbatasan dengan Muara
Sipongi (Tapanuli Selatan, Sumatera Utara); dan lapeh ka sialang balantak basi
yaitu, daerah yang terletak di sekitar Gunung Mas, dan Gunung Sailan yang
berbatasan dengan daerah Pasia Pangaraian, Riau.
Selanjutnya dari taratak aia itam, adalah daerah di sekitar Bangkinang
(Kabupaten Kampar, Riau); hinggo aia babaliak mudiak yakni, daerah pesisir
sebelah Timur Pulau Sumatera (dalam Propinsi Riau), yang airnya berbalik ke
hulu waktu pasang naik. Daerahnya adalah Teluk Kuantan, Lubuk Jambi, Rengat,
35
Sanggoeno Dirajo Ibrahim, Tambo Alam Minangkabau: Tatanan Adat Warisan Nenek
Moyang Orang Minang, Bukittinggi: Kristal Multimudia, 2009, hlm. 7.
23
Basrah, Kuala Tungkal, dan Pangian; sampai ka durian ditakuak rajo, ialah
daerah-daerah yang terletak dalam wilayah Propinsi Jambi, sebelah barat meliputi
daerah Muaro Bungo, Muaro Tebo, dan Muaro Tembesi; lapeh ka buayo putiah
daguak, daerah yang terletak di sekitar Indropuro (Pesisir Selatan) yang
berbatasan dengan daerah Propinsi Bengkulu sebelah utara.36
Wilayah darek merupakan kawasan pedalaman Minangkabau yang dalam
kepustakaan Belanda disebut dengan Padangsche Bovenlanden atau Padang
darat merupakan jantung utama wilayah Minangkabau yang juga dikenal dengan
Luhak nan tigo, yakni Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, Dan Luhak Limapuluh
Koto. Luhak Tanah Datar yang berada dikawasan lembah yang subur merupakan
taman Edennya kawasan Minangkabau dan juga merupakan titik awal perseberan
nenek moyang orang Minangkabau.
Sedangkan Luhak Agam dianggap sebagai luhak tengah yang mana
merupakan penyebaran orang Minangkabau arah utara dikawasan lereng-lereng
perbukitan, kondisi geografis Agam yang berbukit-bukit dan terjal membuat
terjadinya persaingan hidup yang keras. Dan yang terakhir ialah Luhak Limapuluh
Koto juga dianggap sebagai luhak bungsu yang berada dikawasan lembah yang
subur. Dalam sistem pemerintahan Belanda membagi wilayah Padangsche
Bovenlanden
dengan
beberapa
Afdeling,
tiap-tiap
Afdeling
memiliki
36
24
Berikut ini beberapa pembagian Afdeling Agam, Tanah Datar dan Solok
pasca 1914-1929 dan para Demangnya di Padangsche Bovenlanden.
A. Afdeling Agam
Onderdistrik :
Onderafdeling Agam terdiri dari :
1.
2.
3.
2.
2.
3.
25
3.
2.
3.
4.
2.
3.
5.
2.
37
26
Onderdistrik :
Onderafdeling Batusangkar terdiri dari :
1.
Distrik Batusangkar
1.
2.
3.
2.
2.
dengan
3.
27
4.
2.
3.
2.
Onderafdeling Sijunjuang
1.
2.
3.
2.
2.
28
3.
3.
2.
C. Afdeling Solok
Onderdistrik :
1.
Distrik Solok
1.
2.
29
3.
2.
2.
2.
3.
3.
38
30
2.
3.
Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985,
hlm. 15-17.
40
Elizabeth E. Graves, Op.Cit., hlm. 8-9.
31
41
Nuzul Afza Bt Md. Khlmid, Kelas Menengah Minangkabau : Aspek historis dalam
Novel Minangkabau Sebelum Perang Dunia dua, Skripsi, (Padang : Fakultas Sastra jurusan
Sejarah Universitas Andalas, 1993).
32
pembeda antara satu wilayah dengan yang lainnya, juga membedakan identitas
sosial masyarakatnya sendiri.42
Pengembangan identitas sosial itu tidak bisa dilepaskan dari perkembangan
pemukiman-pemukiman
masyarakat
Minangkabau.
Pemukiman
tersebut
42
Christine Dobbin, Op,Cit., hlm. 3-4. Menurut Dobbin perbedaan watak masyarakat di
pedalaman Minangkabau yang dipengaruhi oleh kondisi alam dan geografis, sesuai dengan
pepatah adat yang telah mengatakan, telah mempengaruhi pola perekonomian masyarakat di
pedalaman Minangkabau, yang mana di kawasan Agam masyarakat akan lebih cenderung terlihat
sifat enterpreneuship.
43
https://mersi.wordpress.com/2007/08/07/sosial-budaya-minangkabau/. Diakses tanggal
23 Mei 2015.
44
Dt. Sanggoeno Dirajo Ibrahim, Op. Cit., hlm. 125.
33
Mochtar Naim, Merantau pola migrasi suku Minangkabau, Gadjah mada university
Press, 1984, hlm. 39.
46
http://sastraminangmodern.com/2012/09/gambaran-sosial-budaya-minangkabau.html.
Diakses 4 April 2015.
47
A.A. Navis, Alam Takambang jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Jakata:
Gafitipers, 1984, hlm. 37.
34
35
Hal inipun sesuai dengan pepatah yang mengatakan elok manjadi kapalo
samuik dari pado manjadi ikua gajah 48 ( lebih baik menjadi kepala semut dari
pada menjadi ekor gajah) yang mana maksudnya lebih baik menjadi pemimpin
disebuah organisasi yang kecil dari pada menjadi pengikut di sebuah organisasi
yang besar, hal ini tidak bisa dilepaskan dari sifat masyarakat Minangkabau yang
terkenal egaliter.
Hal inilah yang membuat masyarakat Minangkabau lebih memilih profesi
sebagai pedagang, melalui berdagang mereka akan lebih bebas bereksplorasi
menunjukkan identitas sosialnya dan kebanggaan menjadi seorang pedagang akan
lebih nampak pada masyrakat Minangkabau khususnya yang berada di
perantauan.
2.
1.
Pengaruh Politik-Ekonomi
Tahun 1833 merupakan pemberontakan terakhir yang bercirikan
36
dan
memunculkan
perpindahan
masyarakat
dari
kawasan
mempertahankan
status-quo,
Belanda
melakukan
berbagai
kebijakan agar format politik baru itu biasa berjalan dengan baik.Namun muncul
berbagai reaksi dari masyarakat Minangkabau yang sudah terbiasa hidup dalam
sistem politik republik nagari yang bersifat egaliter itu. Pada tahun 1901 Belanda
memiliki panggilan untuk bertanggung jawab atas moral pribumi yang
terbelakang, maka pemerintah Belanda menerapkan kebijakan etis yang memiliki
pengaruh besar terhadap masyarakat pribumi.
Dengan adanya kebijakan etis maka suasana ekonomi dan politik di
pedalaman Minangkabau mengalami kemajuan yang hebat pada masa itu dengan
tingginya intensitas atau tanggapan masyarakat terhadap pendidikan dan
pembuatan irigasi (waterleiding).52 Serta dimulainya pembangunan jalan-jalan
kereta api untuk memperlancar proses pendistribusian komoditas ekspor ke
50
37
pelabuhan. salah satu kebijakan politik yang sangat tidak disukai oleh rakyat
Minangkabau ialah diterapkannya cukai pasar yang di rasakan secara universal di
seluruh daerah pedalaman Minangkabau. Selanjutnya masyarakat juga sangat
tidak menyukai adanya Jasa Kuli berdasarkan kebijakan Belanda desa-desa di
pedalaman diwajibkan untuk memasok tenaga kuli, tiap-tiap distrik diminta untuk
menyediakan sejumlah orang pada waktu tertentuuntuk bekerja seperti pembuatan
jalan, mengantar barang dan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda.53
Pengaruh politik Belanda yang paling utama khususnya dalam bidang
ekonomi ialah Belanda berhasil melibatkan diri dalam usaha perdagangan yakni
menghasilkan dan memperdagangkan kopi, dan tidak hanya kopi bahkan untuk
jenis komoditi ekspor lainya seperti Akasia, Gambir yang mendatangkan
keuntungan yang berlipat kepada pemerintah Belanda. Derap maju imprealis
Belanda di Minangkabau yang diiringi dengan turut berperannya kekuatan
ekonomi-politik Belanda yang semakin menancapkan kukunya dan mendatangkan
keuntungan yang berlimpah, Belanda adalah sebuah negara yang ingin
mengindustrialisasi
dan
memodernisasi
negaranya
dalam
waktu
yang
Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus Matriakat, Reformisme Islam dan Kolonialisme
di Minangkabau, (Jakarta: Freedom Institute, 2010), hlm. 41.
54
Christine Dobbin, Op.Cit., hlm. 303.
38
39
57
Mestika Zed, Dilema Ekonomi Melayu dari Melayu kopi daun hingga kapitalisme
Global, Essay, hlm. 68, versi E-jurnal, diakses 1 februari 2015.
58
Christine Dobbin, Op. Cit., hlm. 303.
59
Mestika Zed, Op. Cit., hlm. 7.
40
mendapatkan kopi di pedalaman, para pialang Cina lebih suka mencari dan
mendapatkan kopi dan komoditi lainnya secara langsung ke daerah pedalaman.
Walaupun adanya istilah Melayu kopi daun bukan berarti menggambarkan
kegagalan sepenuhnya kebijakan ekonomi Belanda, Belanda cukup berhasil
mendapatkan keuntungan yang berlimpah dari wajib setor kopi 60 berlakunya
system wajib setor kopi merupakan masa jayanya ekonomi pemerintah Belanda di
Hindia-Belanda hingga sistim ini dihapus pada 1908.
Dan tidak hanya bagi Belanda yang mendatangkan keuntungan,
masyarakat Minangkabaupun juga mengalami dampak yang menguntungkan hasil
penjualan kopi dijadikan oleh masyarakat sebagai investasi untuk menunaikan
ibadah haji, dan masyarakat Minangkabau yang pulang dari timur tengah
mendirikan sekolah-sekolah tradisional di surau.61 selain dari penjualan kopi,
Belanda juga mendapatkan keuntungan dari komoditi ekspor lainnya seperti
kopra, gambir, karet, dan akasia di untuk mendapatkan hasil tersebut Belanda
membangun akses jalan-jalan yang menghubungkan ke daerah penghasil komoditi
penting di daerah pedalaman. Dengan adanya akses yang memudahkan
transportasi masyarakat hal ini juga meningkatkan ekonomi masyarkat di
pedesaan sekaligus menciptakan pedagang dan wirausahawan yang bermental
tangguh.
60
41
3. Perkebunan rakyat
a. Kopi
Tanaman kopi di kawasan pantai barat pertama kali berkembang di
kawasan pedalaman, tepatnya di Luhak Agam. Dari Luhak Agam tanaman kopi
menyebar ke kawasan Limapuluh Koto dan Tanah Datar, tanaman kopi pertama
kali diperkenalkan oleh penduduk yang telah menunaikan ibadah Haji ke
Mekkah.62 Dan jenis kopi yang di perkenalkan ialah kopi Arabicca.63
Pada awalnya kopi tumbuh berupa semak-semak yang lebih mirip hutan
belukar dan yang diperdagangkan hanyalah daunnya saja, masyarakat menjualnya
di pasar-pasar tradisional, tradisi meminum daun kopi sudah sangat lazim di
kalangan masyarakat Minangkabau. Namun memasuki abad ke 18 kopi di
Minangkabau muncul sebagai komoditas perdagangan dan telah di perjualbelikan
di kota Padang dan para pedagang-pedagang Inggris dan Amerika pembeli utama
di daerah ini.64
Pemerintah Hindia-Belanda memulai hegemoninya mendapatkan kopi dari
penduduk di pantai barat Sumatera dan pemerintah Hindia-Belanda menyadari
62
42
program
menawarkan
tersebut,
maka beberapa
untuk membangun
perkebunan
tokoh
kopi
Ahmad, Moerid Standaardschool, Tjita-Tjita Saja Kalau keloear dari kelas Landbouw
Standaarschool, dalam Surat Kabar Berita Kurai edisi1898, Arsip Koleksi Perpustakaan PDIKM
Padang Panjang, hlm 21.
66
Mestika Zed, Op.Cit., hlm. 87.
67
http://kiprahagroforestri.blogspot.com/2012/08/sejarah-panjang-kopi-ulupaninggahan.html. Diakses 8 Mei 2015.
43
awal
daerah Paninggahan
program,
setiap
diwajibkan
pasangan yang
membuka lahan
baru
seluas
menikah
dua
di
hektar
untuk menanam kopi robusta pada areal hutan di daerah hulu (Ulu) perkebunan
kopi yang dibangun oleh masyarakat Paninggahan menghasilkan kopi robusta
berkualitas
tinggi, sehingga
pada
perkembangannya Pemerintah
Kolonial
Belanda
melarang
keras setiap
masyarakat
untuk
44
70
45
46
75
47
Bengkulu, Jawa, Penang, India, Singapura dan Malaka, untuk proses ekspor
komoditas ini hampir seluruhnya dikuasai oleh saudagar besar Tiong Hoa.
d. Kopra
Sejak abad ke 19 daging kelapa telah diolah menjadi kopra, kopra ini
nantinya akan menjadi bahan dasar berbagai produk seperti sabun, margarine, dan
minyak. Kelapa tumbuh dengan baik hampir diseluruh kawasan Pantai Barat dan
pulau-pulau dilepas pantainya, kebanyakan penduduk Pantai Barat menanam
kelapa di kebun-kebun mereka dengan tidak beraturan tidak ada perhatian khusus
yang diberikan dalam membudidayakan tanaman ini. Kawasan Pariaman
merupakan penghasil terbesar kopra seperti beberapa daerah yang terkenal
Kiambang, Rimbo Bakung dan Buayan Jambak.
Penduduk Pariaman juga dikenal sebagai masyarakat yang memiliki
keahlian membuat minyak kelapa. Pembuatan minyak kelapa semakin besar
artinya ketika prasarana dan transpotasi pengangkutan minyak kelapa dari daerah
pantai ke pedalaman ditemukan. Prasarananya ialah pedati yang ditarik oleh
kerbau dan bambu sebagai wadah tempat minyak.76
Pengangkutan minyak dari pantai ke pedalaman dilakukan oleh para
saudagar pribumi. Arti perdagangan kopra semakin bertambang seiring dengan
dibukanya hubungan kapal langsung yang menghubungkan kota-kota di Pantai
76
Muhammad Saleh Datuk Orang Kaya Besar, Riwayat Hidup dan Perasaian Saja
(terj.& S.M. Latief), Bandung, 1933, hlm. 14.
48
Barat dengan Pulau Penang dan Singapura. Saudagar yang terlibat dalam kegiatan
perdagangan kopra mencakup pedagang pribumi, pedagang pengumpul dan
saudagar besar di kota pelabuhan. Pembangunan jalan kereta api yang di lakukan
Belanda dari Teluk Bayur ( Padang ) ke Naras (Pariaman) pada 1910 77 menjadikan
daerah Pariaman sebagai pengekspor utama kopra di kawasam Pantai Barat
Sumatera, daerah yang terkenal dengan penghasil kopranya ialah Kuraitaji, 78 yang
mana juga terdapat sebuah stasiun untuk mempermudah akses pendistribusian
kopra ke pelabuhan. Dan di desa ini jugalah Belanda membangun sebuah pabrik
minyak kelapa, sekarang daerah ini dikenal dengan nama kampung pabrik
walaupun pabriknya sudah tidak ada lagi.
Dapat dilihat bahwa komoditi kopra merupakan salah satu hasil produksi
yang penting bagi Belanda, dengan produksi dan penyulingan minyak kopra yang
di ekspor ke daerah Pantai Timur seperti Singapura, Penang, telah menunjukkan
betapa berharganya hasil alam Pantai Barat Sumatera pada masa itu, dan
hegemoni Belanda memonopolinya telah mendatangkan keuntungan yang
berlimpah untuk kas Negara Belanda.
Hal ini tak lepas dari kebijakan politik yang di terapkan oleh Belanda sendiri,
namun di satu sisi masyarakat di daerah penghasil kopra mempunyai intensitas
perekonomian yang tinggi dengan adanya pabrik penyulingan minyak yang dibuat
oleh Belanda. Minyak yang di produksi nantinya akan di distribusikan oleh
77
78
49
BAB III
PERDAGANGAN AKASIA PADA MASA MALAISE
A. Daerah penghasil Akasia di pedalaman Minangkabau
1.
79
Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi di
Minangkabau 1784-1874. Depok, (Komunitas Bambu, 2008), hlm. 5.
80
Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt, Tambo Minangkabau dan Adatnya, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1959), hlm. 2-3.
50
dan
sejuk
di
siang
hari,
akan
tetapi
kesempatan
masyarakat
untuk
pelabuhan disebabkan harga jualnya yang tinggi dan tidak memakan banyak
tempat. Lonjakan terhadap permintaan akasia terjadi pada akhir abad ke 19
sampai awal abad ke 20.82
81
51
perdagangan
international.Baik
itu
masyarakat
pedalaman
yang
Jumlah
Amerika
2.400 Pikoel
Nethderland
1.200 Pikoel
Engeland (Inggris)
950 Pikoel
Denmarken
450 Pikoel
Duitschland
400 Pikoel
Sumber: Surat Kabar Tani Edisi 1926 Arsip koleksi Perpustakaan PDIKM Padang
Panjang.
52
Akasia yang dihasilkan dari perkebunan ini ialah Cinanmomum Burmanii yang
merupakan jenis tersendiri dan hanya terdapat di kawasan Sumatera Westkust,
yang memiliki tekstur kulit yang tebal dan aroma yang menyengat.
Selain di daerah Malalak, disebelah utara Agam juga terdapat perkebunan
akasia yaitu didaerah Kamang termasuk nagari-nagari Kamang Mudik, Kamang
Magek dan Tilatang.83daerah Kamang yang mempunyai kondisi geografis yang
berada pada dataran tinggi yang berbukit-bukit dan udara yang dingin dan sejuk
yang mana merupakan habitat asli tanaman akasia, hal inilah yang membuat
akasia yang berasal dari daerah Agam paling disukai di pantai barat Sumatera.
Yang membedakan hasil produksi akasia dari Agam dengan daerah lainnya seperti
Tanah Datar ialah, jika akasia yang berasal dari Agam mempunyai tekstur kulit
yang lembut, tebal dan tidak mudah patah.84Tercatat pada 1918 jumlah peroduksi
akasia yang dikeluarkan di kawasan Agam mencapai 950 pikoel per tahun, 85 dan
memasuki pertengahan tahun 1925 jumlah produksipun meningkat mencapai 2000
83
Berita, (Tanpa Penulis), Anak Negeri dengan Kulit Manisnya, dalam Surat Kabar
Tani 1927, Arsip Koleksi Perpustakaan PDIKM Padang Panjang, hlm. 5.
84
Ibid., hlm. 3-4.
85
D.W.R. Van Hoevell. Tijdschrift voor nederlandsch indie, 24 jaargang tweede deel,
hlm. 27 . Arsip Perpustakaan PDIKM Padang Panjang. Diterjemahkan oleh Jasa Penerjemah
Madani Alamat: Jatipadang Poncol No 11A -TB Simpatupang Jatipadang - Pasar Minggu Jakarta Selatan 12540 telp: 021- 302 307 45 Hp: 0812 12 947 047 / 0816 64 969
jasapenerjemahmadani@gmail.com.
53
Tabel 4:
Hasil
produksi
No
Tahun
dalam
Pikoel
Akasia di
Afdeling
Periode
1928
dalam Hitungan
hitungan Kg
1918
950 pikoel
49.400 kg
1920
1.200 pikoel
62.400 kg
1922
1.350 pikoel
70.200 kg
1924
1.650 pikoel
85.800 kg
1926
2.000 pikoel
10.4000 kg
1928
2.200 pikoel
114.400 kg
9.350 pikoel
486.200 kg
Jumlah
Produksi
Kawasan
Agam
1918-
54
Sumber: Rekapitulasi Surat kabar Tani edisi 1925-1928 arsip perpustakaan Pusat
Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau Padang Panjang.
Dari data di atas dapat dilihat bagaimana selama periode 1918 sampai
1928 yang mana kurang lebih dari 11 tahun produksi akasia di kawasan Afdeling
Agam Mencapai 9.350 pikoel, dan jika dikalkulasikan satu pikoel orang dewasa
mencapai berat 52 kg86 maka total seluruh produksi yang dikeluarkan selama
periode tersebut mencapai 486.200 kg atau 486.2 ton. Namun sangat disayangkan
sekali peneliti tidak memiliki data berapa jumlah produksi akasia yang
dikeluarkan oleh kawasan Afdeling Agam pada masa krisis ekonomi Malaise.
Perdagangan akasia telah memberikan dampak sosial yang berbeda pada
masyarakat, perdagangan Akasia telah mendorong masyarakat Agam untuk terjun
langsung dalam percaturan perdagangan pasar dunia, daerah agam dengan ciri
khas komoditi akasia telah mendapat perhatian khusus baik dari pedagangan
Belanda, inggris dan Amerika di pantai barat Sumatera dan hasil produksi akasia
Agam pun mampu bersaing dengan hasil produksi dari negara lain seperti Cina,
Siam dan pulau Seylon.87
Jika dibandingkan dengan akasia yang berasal dari daerah pedalaman
dengan akasia yang didatangkan oleh Belanda dari pulau Seylon, yang kemudian
86
Padmo.Sugianto, Op. Cit., hlm. 72. Rata-rata berat 1 pikoel orang dewasa kurang lebih
mencapai 52kg, akan tetapi di beberapa daerah di Hindia-Belanda berat per pikoel ada yang
mencapai 55 kg.
87
Kabar Opisil Tentang Penghidupan Tarok Koelit Manis, dalam Surat Kabar Tani 1935,
Arsip Koleksi Perpustakaan PDIKM Padang Panjang, hlm. 7.
55
di budidayakan di Kebun Raya Bogor pohonnya memang tumbuh baik akan tetapi
kulitnya terlalu kuat melekat pada pohonya, sehingga untuk dipanen berupa
lembaran-lembaran panjang untuk memenuhi permintaan pasar sangatlah susah.
Berbeda dengan akasia yang berasal dari daerah pedalaman Minangkabau yang
mana kulitnya sangat mudah dilepaskan dari batangnya.88
2.
90
88
Van Aken, Catatan mengenai afdeling Kerinci dalam laporan dari biro untuk urusan
pemerintah dari daerah seberang lautan. Terbitan VIII 1915. Laporan Van Aken ini berisikan
tentang pembudidayaan Akasia di Kerinci, yang mana Akasia dari kerinci berasal dari daerah
pedalaman Minangkabau.
89
M. Natsir, Ekstraksi Informasi Penutup Lahan Daerah Kabupaten Tanah Datar, 2009,
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2009 (SNATI 2009), 20 Juni 2009, Yogyakarta,
ISSN 1907-5022.
90
M. Natsir, Op. Cit., hlm. 147.
56
Di daerah Tanah Datar akasia juga merupakan mata dagangan yang disukai
masyarakat disebabkan proses penanaman dan biaya perawatannya yang mudah
dan biaya yang dikeluarkan sedikit untuk memproduksinya. Walaupaun akasia
yang berasal dari kawasaan Tanah Datar tidak sebagus dari Agam namun tetap
diminati para pedaganng di pelabuhan terdapat beberapa daerah atau nagari yang
menjadi penghasil seperti Tanjung Alam yang berdekatan dengan Agam dan
Payakumbuh, nagari Tanjung Alam memiliki kondisi daerah yang berhawa sejuk
dengan tanah yang subur, sehingga untuk membudidayakan tanaman Akasia
bukanlah hal yang mustahil di daerah ini.
Selanjutnya nagari yang terletak dipinggang gunung merapi yaitu Sungai
Jambu, daerah sungai Jambu merupakan penghasil akasia terbesar di kawasan
Tanah Datar, di nagari Sungai Jambu tanaman akasia menghiasi setiap dataran
tinggi dan lembah-lembah anak sungai bahkan hampir seluruh hutan dari sungai
jambu sampai ke nagari paling ke utara yaitu Jambak Ulu ditutupi oleh tanaman
akasia.91 Selanjutnya sepanjang aliran batang Bengkawas yang bermuara ke danau
Ombilin nagari-nagari yang terkenal
dengan Lareh Nan Panjang92 terdapat beberapa nagari seperti
Galogandang, Padang Magek, Padang Luar, Turawan, Balimbiang, Bukit Tamasu,
91
2015.
92
Lareh Nan Panjang merupakan nagari-nagari yang berada di sepanjang aliran sungai
Bengkawas yang bermuara ke danau Ombilin, dan daerah ini berdiri sendiri akibat migrasi
penduduk dari pariangan dan padang panjang sudah terlampau ramai, dalam Dt. Sanggoeno
Dirajo, Ibrahim. 2009. Tambo Alam Minangkabau: Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang
Minang. Bukittinggi: Kristal Multimudia.
57
yang juga menghasilkan akasia, produksi akasia merupakan sesuatu yang wajib
bagi masyarakat disini selain tanaman padi, kopi, dan tanaman ekspor lainnya.
Sedangkan di kawasan Afdeling Tanah Datar pada tahun 1920 jumlah
produksinya mencapai 450 pikoel per tahun,93 memang kawasan Afdeling Tanah
Datar memiliki jumlah produksinya yang sedikit ketimbang Agam yang menjadi
No.
Jumlah produksi
Hitungan Pikoel
dalam hitungan Kg
Tahun
1920
450 pikoel
23.400 kg
1922
950 pikoel
49.400 kg
1926
1.100 pikoel
57.200 kg
1928
1.400 pikoel
72.800 kg
3.900 pikoel
202.800 kg
Jumlah
daerah produksi utama akasia. Walaupun demikian kawasan Afdeling Tanah Datar
merupakan wilayah yang memiliki peran cukup besar dalam produksi akasia di
daerah pedalaman.Data berikut memberikan perkiraan gambaran jumlah prodkusi
akasia di kawasan Afdeling Tanah Datar.
Tabel 4
Hasil Produksi Akasia di Kawasan Afdeling Tanah Datar Periode 1920-1928
Sumber: Rekapitulasi Surat kabar Tani edisi 1925-1928 arsip perpustakaan Pusat
Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau Padang Panjang.
93
Ibid. hlm. 9.
58
Dapat juga dilihat bahwa selama hampir 9 tahun di kawasan Afdeling Tanah
Datar jumlah produksi akasia mencapai 3.900 pikoel atau setara dengan
202.800kg atau sama dengan 202.8 ton selama periode tersebut.
Selama abad 19 sampai abad ke 20 akasia merupakan komoditas dagang
terpenting di pantai barat Sumatera, kawasan Agam dan Tanah Datar di pedalaman
yang merupakan penghasil akasia selama periode terebut telah memberikan
dampak sosial-ekonomi yang beragam kepada masyarakat. Munculnya kelas
petani-pedagang yang memiliki fleksibelitas dan dinamis yang mana mampu
menjalani peran sebagai seorang petani dan ketika hasil produksi sudah siap
dipanen maka mereka akan pergi ke daerah pantai barat Sumatera untuk
memperdagangkan hasil-hasil produksi mereka.
Kelas petani-pedaganag ini umumnya memiliki eksistensi diri yang bebas
tanpa ada pihak yang mengekang, mereka bebas untuk berdagang dengan siapa
saja biasanya para petani-pedagang ini tidak akan mau berdagang dengan Belanda
atau pemerintah Hindia-Belanda. Mereka lebih suka berdagang dengan pedagang
swasta Amerika dan Inggris serta saudagar Tiong-Hoa di Padang maupun di
Pelabuhan. Jika menjual hasil produksi kepada Belanda mereka akan rugi dengan
harga yang rendah yang di tetapkan oleh Belanda.
B. Pola Perdagangan Akasia
1.
59
penamaan
ini
disebabkan
hari
pasar
yang
biasanya
94
60
Para pedagang yang datang membawa akasia pada tiap-tiap hari pasar
akan menjadikan pasar sebagai tempat pos-pos penampungan dan selanjutnya
proses pendistribusian akasia dilakukan oleh pedagang lain ke tempat
penampungan selanjutnya, dalam proses pendistribusian ini terjadi hubungan
sosial yang kompleks baik itu antara sesama pedagang pribumi maupun dengan
pedagang pengumpul yang kebanyakan etnis Tiong Hoa, para pedagang
pengumpul lebih senang menumpuk barang persediaan di gudang-gudang mereka
dan menunggu saat-saat yang tepat untuk menjual atau mengekspor ketika barang
benar-benar susah. atau
61
62
Untuk kawasan Agam yang mana merupakan asal dari tanaman ini akasia
dapat ditemukan di pasar-pasar nagari seperti pakan Rabaa dan Sabtu di
Bukittinggi, Pasar Matur, dan pasar di daerah Pandai Sikek serta masih banyak
lagi pasar-pasar nagari lainya yang menjual tanaman akasia, sedangkan untuk
daerah Tanah Datar terdapat beberapa pasar-pasar nagari yang terkenal sebagai
tempat memperjualbelikan hasil komoditas ekspor terutama akasia, seperti pasar
Sungayang, Sungai Tarab, Pasar Simabur, Pasar Rambatan, Dan Pasar Belimbing
dan masih banyak sub terkecil dari pasar-pasar nagari yang memainkan perannya
sendiri-sendiri.
Pentingnya pasar Nagari sebagai wadah untuk menampung para saudagar
dan petani untuk mendapatkan akasia telah membuat mobilitas masyarakat petani
disetiap nagari untuk meningkatkan hasil produksi mereka, akasia yang menjadi
mata dagangan pilihan oleh masyarakat petani sebagai tanaman pendamping kopi,
disebabkan proses perawatan dan panennya tidak rumit dan tidak memakan
banyak tenaga kerja, dengan hasil keuntungan yang cukup besar itulah kenapa
membudidayakan akasia di sukai masyarakat di pedalaman.
2.
63
64
mempunyai dua akses pintu keluar bagi kegiatan dagang mereka yaitu Pantai
Barat dan Pantai Tmur, praktek dagang seperti ini telah dilakukan oleh saudagar
Minangkabu sejak lama. Memasuki awal abad ke 20 keterlibatan saudagar Eropa
dan Cina semakin bervariasi dan semakin intensif, hal ini tak lepas dari semakin
membaiknya sarana dan prasarana transportasi, perkembagan ini merupakan buah
dari kebijakan Pemerintahan HindiBelanda yang memberi kesempatan kepada
saudagar non pribumi sebagai Transportannemer.102
102
Transportannemer, merupakan pemilik alat transpotasi berupa pedati yang di bawa
oleh kuda maupun kerbau, yang disewakan kepada saudagar pribumi untuk digunakan membawa
barang dagangan ekspor dari daerah pedalaman ke kota-kota pantai, biasanya pemilik merupaka
saudagar besar Eropa dan Cina.
65
Peta.1 Peta Jalur Perdagangan Anai Pass dan Subang Pasdi Kawasan Pedalaman
Minangkabau (PadangscheBovenlanden)
66
Jalur Kereta
Panjang
bangun
Padang Ombilin
1889-1891
128 km
1891
71 km
1891
19 km
Padang-Padang Panjang-Solok
1892
53 km
Solok-Muaro Kalaban
1892
23 km
Padang-Teluk Bayur
1892
7 km
Teluk Bayur-Swahlunto
1894
95 km
Bukitting-Payakumbuh
1896-1906
75 km
1910-1921
55 km
Lubuk Alung-Pariaman-Sungai
9
Limau
Tabel 5: Pembangunan Jalan Kereta Api di kawasan Residentie
Sumatera Westkust periode Awal abad XX
Sumber: Zulfikri, Pembangunan rel dan Pengoperasian Kereta Api di Sumatera
Barat dalam Jurnal. Pdf, engantar pameran pembukaan dan peresmian museum
Kereta Api Sawahlunto pada 17 desember 2005.
Dengan semakin bagusnya prasarana transportasi darat maka sarana
transportasi yang digunakan pun semakin beragam, lebih baik dan cepat. Dengan
bertambah mudahnya akses menuju kota pantai maka semakin membuat
67
Petani Produsen
Pedagang
(pengumpul di desa)
Pedagang Pengumpul
di kota
eksportir
68
didukung oleh modal yang kuat, politik pemerintahan yang memberi banyak
kemudahan kepada saudagar Eropa dan Cina.
Maka peran saudagar pribumi dalam dunia niaga antara daerah pantai
dengan daerah pedalaman semakin memperkecil peranan saudagar pribumi dan
hanya sedikit sekali yang mampu bersaing dengan para saudagar Cina dan Eropa,
kecualai perdagangan kain didaerah selatan seperti Silungkang yang tetap di
pegang oleh saudagar Minangkabau. Sedangkan untuk komoditas ekspor utama
seperti kopi, akasia, gambir, pala hampir dikendalikan oleh saudagar Cina maupun
Eropa.
3.
69
mereka,
selain
untuk
membiayai
produksi
yangsusah,
juga
membutuhkan modal yang cukup besar. Dalam kondisi yang semacam ini, tentu
saja rakyat tidak dapat berharap banyak kepada pemerintah Hindia-Belanda untuk
mengentaskan kesengsaraan. Kebijakan politik ekonomi Belanda yang dijalankan
satu pihak dengan cara melakukan penghematan secara besar-besaran dan disisi
103
70
71
107
72
73
diusahakan rakyat merupakan akasia yang ditanam dengan cukup lama di sekitar
lereng-lereng perbukitan di perkebunan kopi.108
Akasia yang ditanam di sekitar perkebunan kopi bertujuan sebagai
tanaman untuk pelindung kopi dari bahaya angin yang kencang yang bisa
membuat batang dan dahan kopi menjadi patah, 109 selain itu pohon akasia yang
tinggi juga dijadikan oleh masyarakat di pedalaman sebagai tanda batas tanah,
batas antara satu tanah perkebunan dengan pemilik lainya maka ditanam pohon
akasia sebagai pembatasnya. Ketika krisis malaise tejadilah perubahan nilai dan
fungsi dari tanaman tersebut, perdagangan akasia pada masa malaise merupakan
sebuah transformasi nilai sosial dan ekonomi masyarakat, dan juga merupakan
salah satustrategi untuk mempertahankan hidup bagi para petani dan pedagang.
Transformasi sosial dan ekonomi yang telah dilakukan masyarakat petani
dan pedagang dari produk akasia telah menunjukan munculnya kedinamisan
perorangan
masyarakat
untuk
memperbaiki
perekonomian,
dengan
ciri
L. C. Westenenck, Iets over land en volk van Minangkabausche. 1912, hlm. 11, Arsip
Perpustakaan PDIKM Padang Panjang. Diterjemahkan oleh Jasa Penerjemah Madani Alamat:
Jatipadang Poncol No 11A -TB Simpatupang Jatipadang - Pasar Minggu - Jakarta Selatan 12540
telp: 021- 302 307 45 Hp: 0812 12 947 047 / 0816 64 969 jasapenerjemahmadani@gmail.com
109
Ibid.
74
Tabel 6
110
Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, Jakarta:
Balai Pustaka, 2006, hlm. 4.
111
Ibid.
75
Perbandingan harga komoditas ekspor di Pasar Padang pada masa malaise periode
1930-1935
Sumber: Rekapitulasi Surat Kabar Tani edisi 1930-1935. Arsip koleksi perpus1930
1931
1932
1933
1934
1935
Hasil
Jul
kom
Jan-
oditi
Jul -
Jan-
Jan-
Jul-
Jan-
Jul-
Jan-
Jul-
Jan-
Jul-
Jun
Des
Jun
Des
Jul
Des
Jun
Des
Jun
Des
Jun
Des
Aka19 f
18 f
18 f
14 f
16 f
15 f
17 f
16 f
17 f18 f
18 f
19 f
17 f
15 f
15 f
17 f
14 f
12 f
13 f
9f
9f
sia
14
Kopi
14 f
12 f
15 f
20 f
10 f
12 f
13 f
13 f
f
Gam
15
45 f
40 f
40 f
40 f
16 f
20 f
16 f
14 f
16 f
-bir
Kop9f
6f
7f
7 f
2f
4f
3f
6f
3f
25 f
20 f
17 f
17 f
16 f
6f
8f
8f
11 f
8f
ra
Ka-
13
ret
juga
dapat
dilihat
kenapa
masyarakat
lebih
memilih
76
pemanenan yang mudah dan untuk menjualnya pun juga tanpa memerlukan proses
produksi yang rumit serta tidak membutuhkan tenaga yang banyak, akasia juga
selalu dibutuhkan oleh negara-negara Eropa yang dingin dan Amerika sebagai
salah satu bumbu makanan yang menghangatkan suhu tubuh, dan juga bahan
campuran untuk minuman pada saat musim dingin. Kebutuhan khusus yang harus
dipenuhi oleh masyarakat di berbagai Negara Eropa dan Amerika menjadikan
akasia selalu dibutuhkan sebagai barang ekspor yang wajib, sementara di daerah
pedalaman untuk mendapatkan hasil produksi yang optimal akasia yang tumbuh
liar di hutan menjadi solusi masyarakat, jika persedian di perkebunan mereka
sudah habis.
Dengan hal ini banyak masyarakat di pedalaman pada masa itu yang
mencampur bahkan memalsukan hasil akasia dengan kulit Lawang, Madang yang
apabila kulitnya dijemur memiliki warna sama dengan kulit akasia. 112 Dalam hal
perdagangan ini berbuat curang kepada para tengkulak-tengkulak besar
merupakan ciri khas pedagang Minangkabau apalagi kalau para tengkulak orang
Tionghoa dan Eropa, ini tidak hanya terjadi pada akasia. Pada masa sebelum
malaise pun perdagangan kopi juga dilakukan dengan memasukkan batu-batu
kerikil dan tanah dengan tujuan agar berat kopi bertambah.113
112
Soetan Abd. Madjid, Permenoengan, dalam Surat kabar Tani, 1935. Arsip Koleksi
Perpustakaan PDIKM Padang panjang, hlm. 8.
113
Kolonial Tijdschrift, uitgegeven door de vereniging van ambtenaren Binnenlandsch,
1929, Arsip Perpustakaan PDIKM Padang Panjang. Diterjemahkan oleh Jasa Penerjemah
Madani Alamat: Jatipadang Poncol No 11A -TB Simpatupang Jatipadang - Pasar Minggu Jakarta Selatan 12540 telp:021 - 302 307 45 Hp: 0812 12 947 047 / 0816 64 969
jasapenerjemahmadani@gmail.com.
77
Perdagangan akasia pada masa malaise telah menjadi salah satu proses
pergeseran sosial dan ekonomi masyarakat, kehidupan masyarakat yang begitu
kompleks yang terus-terus di gempur berbagai macam modernitas telah
melahirkan jiwa atau mental yang ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik,
dan tujuan memperbaiki ekonomi sehingga berbagai macam alternatif dan jalan
keluar yang dilakukan dan diusahakan masyarakat dalam mempertahankan
perekonomian mereka merupakan hal yang wajib dihargai.114
D. Sosial Ekonomi Petani dan Pedagang Akasia pada Masa Malaise
Krisis ekonomi Malaise yang melanda seluruh dunia pada 1929 telah
memberikan dampak negatif kepada negara-negara jajahan, terutama HindiaBelanda yang mana sebagai penyuplai bahan mentah untuk keperluan industri.
Gejala krisis yang melanda berupa kelebihan produksi, di Hindia-Belanda selama
sepuluh tahun pabrik dan perusahaan perkebunan mengurangi aktivitasnya,
pengangguran besar-besaran dan terlebih lagi diperparah dengan tekanan dari
pemerintah kolonial Belanda.115
Jatuhnya hasil produksi masyarakat membuat ekonomi masyarakat yang
rata-rata menggantungkan hidup dengan hasil pertanian mengalami kemiskinan
dan banyak lahan pertanian yang tidak digarap dan di tinggalkan begitu saja,
begitupun juga dengan hasil produski yang tidak laku dan dibuang. Dalam kondisi
seperti itu, tentu saja rakyat tidak dapat berharap banyak kepada pemerintahan
Hindia-Belanda untuk mengatasi kesengsaraan. Bahkan sebaliknya, tindakan
114
78
79
pedagang
yang
memperdagangkan
komoditas
ekspor
juga
80
untuk mempertahankan hidup dengan berbagai cara dan strategi, atau meminjam
konsepnya Emile Durkheim (kesadaran Organik) kelas golongan menengah
seperti pedagang mempunyai peran sosial sekaligus ekonomi mejalin solidaritas
dengan para petani, maupun dengan sesama pedagang ataupun dengan pedagang
etnis lainnya.118
Sebagaimana disebutkan bahwa pada awal abad ke XX dikebanyakan kota
di Hindia-Belanda telah muncul kebangkitan golongan borjuis pribumi, kelas baru
yang berasal dari pengusaha atau pedangan dan kaum cendekiawan yang
menguasai cakrawala kehidupan kota.119 Di Minangkabau
81
Berita, (Tanpa Penulis), Sedikit cara Tentang Perawatan Koelit Manis, dalam Surat
Kabar Tani, 12-17 Maret 1935, Arsip Perpustakaan PDIKM, Padang Panjang, hlm. 2.
82
berdagangnya, dan bahkan dengan keyakinan dan keinginan untuk keluar dari
himpitan krisis ekonomi malaise, telah memeberikan dampak yang hebat kepada
masyarakat Minangkabau. Khususnya para petani dan pedagangan. hal ini
semakin mempertegas kemahiran dan keahlian masyarakat Minagkabau dalam
dunia perniagaan yang terkenal cerdik yang tidak kalah dari pedagang dari etnis
lainnya.
BAB IV
KESIMPULAN
Krisis
ekonomi
malaise
yang
melanda
hampir
seluruh
dunia,
83
diperjualbelikan
disebabkan
terjadinya
kelebihan
produksi
atau
84
mendapatkan dan menjualnya yang mudah nilai jualnya pun juga mampu
menyaingi kopi, gambir dan karet.
Dengan hal ini perdagangan akasia di Sumatera Westkust pada masa krisis
malaise telah mampu memberikan warna tersendiri dalam sosial-ekonomi
masyarakat Minangkabau di tengah-tengah depresi ekonomi yang melanda yang
sangat diidentikkan dengan jatuhnya komoditas ekspor, akan tetapi masyarakat di
pedalaman Minangkabau menemukan suatu cara untuk mempertahankan
perdagangan mereka, dan sekali lagi semakin menegaskan bahwa orang
Minangkabau memang dilahirkan untuk menjadi pedagang, juga keterampilan dan
kecerdikan masyarakat Minangkabau dalam dunia wirausahawan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Arsip dan Dokumen
A. Latif, Menjemaikan Benih Padi, dalam Surat Kabar Tani Edisi 1926 Arsip: Koleksi
Pustaka PDIKM Padang Panjang.
85
Surat Kabar Berita Kurai edisi1898, Arsip Perpustakaan PDIKM Padang Panjang.
Surat kabar Tani Edisi 1926, Arsip Perpustakaan PDIKM Padang Panjang.
86
Surat kabar Tani Edisi 1927, Arsip Perpustakaan PDIKM Padang Panjang.
Surat kabar Tani Edisi 1931 -1932, Arsip Perpustakaan PDIKM Padang Panjang.
Surat kabar Tani, tahun1933, Arsip Perpustakaan PDIKM Padang Panjang.
Surat kabar Tani edisi September 1935, Arsip Pustakan PDIKM Padang Panjang.
Surat Kabar Pewarta Lintauo, 1885, Sumber: Arsip Pustaka PDIKM Padang
Panjang.
Westenenck, L.C, 1912, Iets over land en volk van Minangkabausche. Arsip
Perpustakaan PDIKM Padang Panjang.
Yuliarni, pengusaha Muda Minang harus Berani, dalam Padang Ekspres, Minggu,
28 Desember 2008.
B. Jurnal
C. Sjafari Irvan, Bisnis dan Dimensi Sosial: Catatan Awal Tentang Kiprah
Wiraswastan Minangkabau di Ranah dan di Rantau 1910-1950, E-Jurnal
diakses 11 maret 2014.
Laila Kholid Alfirdaus, Politik Relasi Etnik, Matrealinialitas dan etnis Minoritas
Cina Di Padang Sumatera Barat, dalam Journal Komunitas, 2014.
Miftahuddin, Peranan kelas menengah pribumi dalam mengentaskan kesulitan
ekonomi tahun 1930, dalam Journal komunitas, Universitas Negeri
Yogyakarta.
87
Mestika Zed, Dilema Ekonomi Melayu dari Melayu kopi daun hingga kapitalisme
Global, esei, E-jurnal, diakses 1 februari 2015.
C. Buku
A. A. Navis, 1984, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan
Minangkabau, Jakata: Gafitipers.
Abdurrahman, 1982, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Jakarta:
Pradnya Paramita.
Ansal Afrisa, 2005, Sejarah Sosial Ekonomi Studi Tentang Kehidupan Petani
Kulit Manis Di Nagari Malalak Kabupaten Agam (1970-1999), Fakultas
Sastra. Universitas Andalas.
Colombijn, freek, 2006, Paco-Paco Kota Padang, Yogyakarta: Ombak.
Dobbin, Christine, 2008, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan
Padri di Minangkabau 1784-1847, Depok: Komunitas Bambu.
Dt. Ibrahim Sanggoeno Dirajo, 2009, Tambo Alam Minangkabau: Tatanan Adat
Warisan Nenek Moyang Orang Minang, Bukittinggi: Kristal Multimudia.
Graves, E. Elizabeth, 2007, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Gusti Asnan, 2007, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Yogyakarta: Ombak.
88
89
90
E. Skripsi
Defi Afrianti, 2007, Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Kulit Manis di Kabupaten
Tanah Datar (1980-2000), Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Padang.
91
92
http://kiprahagroforestri.blogspot.com/2012/08/sejarah-panjang-kopi-ulupaninggahan.html
Lampiran 1. Surat kabar Tani 1930 fenomena krisis ekonomi Malaise terhadap
kondisi ekonomi masyarakat Minangkabau.
93
Lampiran 2. Surat kabar Tani terbitan tahun 1931-1932 fenomena krisis Malaise
dan dampak terhadap kondisi ekonomi masyarakat Minangkabau.
94
Lampiran 3. Surat kabar Tani 1931-1932 seruan bertanam kulit manis kepada
masyarakat Minangkabau pada masa Malaise.
95
Lampiran 4.
manfaat kulit manis dan tata cara penanaman yang benar kepada masyarakat.
96
Lampiran 5. Surat kabar tani terbitan 1927 mengenai jumlah komoditas ekspor
yang dikeluarkan dari daerah pedalaman Minangkabau, dan keadaan harga kulit
manis di perdagangan dunia.
97
Lampiran 6. Surat kabar tani terbitan 1932-1933, fenomena malaise dan seruan
untuk bertanam kulit manis.
98
99
Lampiran 8. Surat kabar Tani 1935 kulit manis dipalsukan oleh petani, salah satu
polemik perdagangan akasia pada masa malaise.
100
Lampiran 9. Surat kabar Tani 1940, berisikan tata cara dan perawatan tanaman
akasia.
101