Anda di halaman 1dari 101

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Sumatera Barat telah lama dikenal sebagai penghasil rempah-rempah dan
bahan mineral, bandar-bandar pelabuhan di sepanjang pesisir pantai barat
Sumatera seperti Tiku, Ulakan, Pariaman, Padang, Salido, dan Inderapura telah
memberikan kontribusi yang besar dalam sistem perdagangan di kawasan
Sumatera Westkust yang telah menjadi tempat kegiatan ekspor-impor selama
beberapa abad.1
Kehidupan ekonomi masyarakat Minangkabau setelah kedatangan kolonial
Belanda bertumpu pada sektor perdagangan international dan pertanian. Di sektor
perdagangan komoditi hasil alam Minangkabau, yang mana telah merubah
struktur sosial dan ekonomi masyarakat Minangkabau secara bertahap.2
Sebelum depresi ekonomi melanda, Hindia-Belanda sedang mengalami
pertumbuhan ekonomi. Hal ini tampak pada perkembangan perusahaanperusahaan dagang di Hindia-Belanda. Perusahaan mengalami kemajuan pesat
dan keuntungan berlipat ganda disebabkan oleh permintaan besar terhadap
produksi di Hindia-Belanda.3 Pemerintah Hindia-Belanda berupaya menunjukkan

Gusti Asnan, 2007, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Yogyakarta: Ombak, hlm.

45.
2
Sabar, 2006, Kebijakan Beras Pemerintah Belanda di Sumatera Barat Tahun 19301942, Andalas University Press, hlm. 7.
3
http://tanahair.kompas.com/read/2013/01/14/16300795/Pantai.Barat.Sumatera.Kejayaa
n.Masa.Silam, diakses pada 21 September 2014.

bahwa daerah koloninya merupakan wilayah yang terbuka bagi ekonomi dunia,
dengan cara pemerintah Hindia-Belanda berusaha menambah produksi.
Tabel 1
Tabel Harga Hasil Komoditi Ekspor Sumatera Westkust di Pasar Padang
pada Periode Malaise 1926-1929

Hasil

1926

1927

1928

1929

Komo

Jan-

Jul

Jan-

Jul

Jan-

Jul-

Jan-

Jul-

diti

Jun

Des

Jun

Des

Jun

Des

Jun

Des

Kopi

41 f

40 f

39 f

39 f

40 f

42 f

39 f

39
f
Akasi

19
32 f

30 f

26 f

26 f

25 f

26 f

20 f

f
15

Kopra

16 f

17 f

15 f

15 f

14 f

14 f

15 f
f
28

Pala

35 f

35 f

35 f

41 f

35 f

33 f

30 f
f

Gamb

36
40 f

45 f

42 f

48 f

43 f

44 f

35 f

ir

Sumber : Rekapitulasi Surat Kabar Tani edisi 1926-1929 arsip koleksi


perpustakaan PDIKM Padang Panjang.
Meningkatnya perdagangan di Hindia-Belanda juga memberi dampak
dengan meningkatnya mentalitas ekonomi masyarakat Minangkabau. Akibat

perdagangan yang berorientasi global, semakin membuat produksi hasil alam


Minangkabau banyak diminati seperti kopi, akasia, getah, gambir dan tanaman
komoditi ekspor lainnya. 4 Yang menjadikan kawasan Sumatera Westkust sebagai
ladang penghasilan yang menguntungkan bagi pemerintah Hindia-Belanda.
Namun terjadinya krisis malaise pada 1930 berdampak terhadap hasil
perdagangan masyarakat di Hindia-Belanda. Pola kehidupan masyarakat berubah
disebabkan kondisi keuangan yang sulit pada masa itu. Aktivitas perdagangan
menjadi lesu dan kebijakan devaluasi yang dilakukan pemerintah Hindia-Belanda
dianggap gagal karena dalam kenyataannya tidak mungkin menurunkan biaya dan
pengeluaran sesuai dengan menurunnya hasil produksi dan pemasukan. 5
Merosotnya komoditi perdagangan di Hindia-Belanda, terutama daerah Sumatera
Westkusts yang merupakan salah satu pilar penting daerah produksi HindiaBelanda seperti kopi, akasia, gambir dan kopra, 6 yang menyebabkan terjadinya
ketimpangan sosial ekonomi masyarakat di Sumatera Westkust khususnya.
Di daerah Sumatra Westkust perdagangan dan pertanian merupakan mata
pencaharian utama anak negeri, masyarakat menggantungkan hidup dengan
mengandalkan komoditi kopi, karet, dan kopra. Namun ketika depresi meleset7
menghempaskan komoditi ekspor Minangkabau ke titik terendah membuat
ekonomi masyarakat terpuruk dalam kemiskinan dan pengganguran.
4

http://minanglamo.blogspot.com/2013/11/jejak-voc-di-sumatra-barat.html, Diakses
tanggal 12 oktober 2014.
5
Bambang Hidayat, Mosaik Pemikiran: Sejarah dan Sains untuk Masa Depan,(Bandung:
Kiblat, 2004), hlm. 194.
6
Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2011), hlm. 76.
7
Istialah krisis ekonomi Malaise sering di pelesetkan oleh masyarakat Minangkabau
dengan istilah Meleset.

Perdagangan kopi yang selama berpuluh-puluh tahun telah mampu


merubah kondisi ekonomi masyarakat Minangkabau tidak bisa diharapkan lagi.
Menumpuknya jumlah persediaan kopi membuat pemerintah Hindia-Belanda
pada masa itu terpaksa membuang berton-ton kopi ke laut dan ada juga yang
dibakar.8 Terjadinya penumpukan produksi akibat para kapitalis Belanda
mengeksploitasi kopi sebelum krisis melanda.9
Hal ini juga berlaku untuk komoditi lain seperti kopra, getah dan tebu
yang mengalami penumpukan produksi dan banyaknya biaya yang harus
dikeluarkan sehingga jumlah produksi yang menumpuk dan pemerintah HindiaBelanda harus menyetujui perjanjian Chadbourne, yaitu pembatasan jumlah
produksi untuk komoditi tebu dan karet. Namun tidak semua komoditi ekspor
Alam Minangkabau jatuh tapai10, ada hasil alam Minangkabau yang masih bisa
diperdagangakan dan dapat menjadi penyelamat juga menjadi nilai tambah
ekonomi masyarakat pada masa krisis, yaitu akasia. Akasia merupakan komoditi
terbaik setelah kopi dan juga banyak digemari oleh pedagang asing, yang mana
pembudayaan tanaman ini di daerah pedalaman tidak banyak membutuhkan
tenaga dan biaya.
Perdagangan akasia di Minangkabau cenderung tidak terlalu terpengaruhi
oleh krisis malaise, dan menjadi pembeda sekaligus memiliki gerak tersendiri
8

Berita, (Tanpa Penulis): Pemandangan Tentang Malaise, dalam Surat kabar Tani Edisi
1930, Arsip Koleksi Pusat Dokumnetasi Informasi Kebudayaan Minangkabau Padang Panjang,
hlm. 12.
9
Padmo Sugianto, Bunga Rampai Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia, Universitas Gajah
Mada, hlm. 269.
10
Jatuh Tapai di dalam pameo Masyarakat Minangkabau juga di pakai untuk
mengungkapakan kemerosotan ekonomi suatu kelompok maupun ekonomi individu.

dalam ekonomi perdagangan komoditi ekspor di Minangkabau. Hal ini


disebabkan karena perdagangan akasia di Minangkabau tidak mengalami apa yang
disebut Over Productie11 atau melimpahnya persediaan. Hal ini disebabkan
karena sistem produksi tanaman akasia memiliki proses yang berbeda dengan
tanaman ekspor lainnya.
Untuk memproduksi akasia siap panen membutuhkan waktu 6 sampai 8
tahun, dan itu hanya bisa sekali panen tidak berkelanjutan seperti komoditi kopi,
karet, dan teh. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk produksi akasia membuat
perdagangan akasia Minangkabau memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap
sistem produksi masyarakat pedalaman yang mana sistem produksinya juga tidak
merata.12 Dengan rentang waktu yang cukup lama tersebut sehingga hasil produksi
akasia tidaklah datang ke pasar dengan jumlah yang berlimpah-limpah.
Ketidakmerataan sistem produksi akasia pada daerah-daerah di pedalaman
Minangkabau juga menjadi faktor yang menentukan hasil produksi, hal ini disatu
sisi telah memberikan sebuah ciri khas dan perbedaan produksi akasia dengan
tanaman kopi, karet, dan tebu. Sebelum malaise melanda, perhatian masyarakat
pada tanaman akasia hanyalah dianggap sebagai budidaya sukarela masyarakat
pedalaman.13
Namun hal ini berubah ketika kopi, getah, tebu dan gula tidak bisa
diandalkan lagi untuk diperdagangkan, tetapi tanaman akasia dengan ciri khas
tersendiri dari sistem produksinya telah memberikan perbedaan terhadap ekonomi
11

Surat Chabar Tani, Op. Cit., 1930, hlm. 25.


Surat kabar Tani, Op. Cit., 1930, hlm. 21.
13
Surat kabar Tani, Loc. Cit.
12

masyarakat pada masa krisis ekonomi malaise. Proses produksi akasia yang tidak
merata di daerah pedalaman Minangkabau, dan hanya pada daerah tertentu saja
yang menghasilkan akasia seperti kawasan Afdeling Agam dan Afdeling Tanah
Datar yang telah memberikan beberapa keuntungan kepada penduduk setempat
yang memanfaatkan akasia pada masa malaise.
Para petani dan pedagang mampu mencari celah atau alternatif lain selain
kopi, gambir dan kopra yang harganya turun saat krisis malaise melanda. Salah
satu cara yang telah mereka lakukan adalah dengan meningkatkan intensitas
perdagangan akasia pada masa malaise, disatu sisi mendorong masyarakat untuk
tetap mempertahankan perdagangan yang berorientasi ekspor walaupun beberapa
daerah di Jawa pada masa itu masyarakatnya kembali ke tanaman subsistensi.
Sedangkan di Minangkabau pola perdagangannya tidak sama dengan di
jawa, di jawa perdagangan hanya fokus dilakukan pada satu komoditas saja. Dan
di Minangkabau masyarakatnya tidak bisa hanya memperdagangkan dan terfokus
pada satu hasil komoditi saja. Di bawah berikut peneliti memberikan gambaran
tabel harga perbandingan antara komoditas Kopi dan Akasia pada masa Malaise
yang di ekspor di pasar Padang.

Tabel 2

Perbandingan Harga Akasia dengan Kopi di Pasar Padang pada


Periode Malaise 1930-1935

Sumber : Hasil rekapitulasi surat kabar Tani periode 1930-1935 arsip


perpustakaan PDIKM Padang Panjang
1930

1931

1932

1933

1934

1935

Hasil
Kom
oditi

Jul
Jan-

Jul -

Jan-

JulJan-

Jul-

Jan-

Jul-

Jan

Jun

Des

Jun

Jan

Jul-

Jun

Des

19 f

19 f

14f

12 f

De
Jun

Des

Jun

Des

-Jul

Des

Aka19 f

18 f

18 f

14 f

16 f

15 f

17 f

16 f

17 f

18 f

19 f

17 f

15 f

15 f

17 f

14 f

12 f

13 f

18 f

Sia
Kopi

14
f

Dari data diatas dapat dilihat, bahwa pada tahun-tahun awal terjadinya krisis
ekonomi malaise harga jual komoditas akasia dapat melebihi kopi, walaupun
memiliki perbandingan harga yang tipis. Walaupun pada tahun-tahun awal selama
terjadinya krisis malaise harga akasia sempat beberapa kali mengalami penurunan,
namun pada pertengahan terjadinya krisis malaise harga akasia lebih mendominasi
dibandingkan kopi.
Hal ini sedikit memberikan gambaran bahwa perdagangan akasia telah
mengalami pergeseran selama masa malaise, sebelumnya para pedagang hanya
menjual produksi akasia kepada toke14 (pengumpul di pelabuhan) dengan harga
pasaran yang telah ditentukan di pasaran. Namun seiring terjadinya krisis malaise

14

Toke, artinya pengumpul atau distributor besar terhadap barang-barang komoditas


ekspor kebanyakan etnis Tiong hoa pada masa Hindia-Belanda, namun ada juga pribumi yang
menjadi toke tapi hanya dalam skala kecil.

pedagangan akasia tidak lagi dilakukan seperti biasa, taktik perdagangan yang di
jalankan di pasar dengan melonjakan harga ketika akasia sedikit di pasaran.
Akibat banyaknya hasil yang ditahan oleh masyarakat dipedalaman, sehingga
ketika harga dinaikkan, maka berbondong-bondonglah akasia didatangkan ke
pasar, namun justru sebaliknya ketika produksi akasia banyak maka harga di pasar
dibanting turun.15
Begitupula yang dilakukan oleh para pedagang atau tuan-tuan tengkulak
dengan para pedagang Amerika dan Eropa untuk memenuhi kontak-kontrak
perjanjian dagang mereka.16 Perdagangan Akasia telah menjadi ekonomi alternatif
bagi para petani dan pedagang pada masa krisis ekonomi Malaise di daerah
pedalaman, terutama kawasan dataran tinggi Agam dan Tanah Datar. Dan para
petanipun dipedalaman memiliki peranan penting untuk harga atas komoditi
akasia. Para petani tidak akan mau menjual dengan harga yang murah, sehingga
para petani memilih untuk menumpuk produksinya di daerah pedalaman, supaya
para pedagang atau pengumpul membelinya dengan harga yang tinggi.17
Pola perdagangan yang dilakukan oleh petani-pedagang dari daerah
pedalaman memiliki peran khusus dalam dinamika daerah rantau dan daerah
darek, petani-pedagang umumnya memiliki lahan dan menghasilkan produksi
pertanian sendiri. Petani-pedagang dari daerah darek membawa barang
15
Berita (Tanpa Penulis), Kabar ringkas dan pemberitahuan tentang harga barang alam
Minangkabau, Surat Kabar Tani, (Arsip Koleksi Pustaka PDIKM Padang Panjang, 1931), hlm. 6.
16
http://ranahberita.com/13131/antara-van-den-berg-dan-kampung-berok. Diakses tanggal
24 Desember 2014.
17
Tsuyoshi Kato, 1986, Rantau Pariaman: Dunia Saudagar Pesisir Minangkabau Abad
XIX dalam Akira Nagazumi, Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. hlm 34.

dagangannya dengan menggunakan pedati, walaupun juga ada yang berjalan kaki
lengkap dengan perlengkapan barang daganganya menuju pelabuhan.
Mereka menempuh jarak yang jauh dan akan singgah di daerah yang
mereka lalui untuk menjual bahkan membeli barang dagangan yang baru seperti
Akasia, kopi, gambir, pala dan padi. Biasanya mereka akan menetap 4 sampai 5
bulan di daerah pesisir untuk berdagang dan juga tidak heran kelas pedagang
seperti ini memiliki banyak istri untuk sekurang-kurang mencari tempat
bermalam.18 Setelah barang dagangan habis maka mereka akan kembali lagi
pedalaman untuk memanen hasil pertanian dan biasanya mereka akan lebih lama
di daerah pedalaman dibandingkan daerah pesisir.
Tak jarang banyak di antara para kelas petani-pedagang ini sukses menjadi
saudagar yang makmur, salah seorang tokoh yang terkenal pada abad ke 19 yaitu
Pato Rajo yang berdomisili di Pariaman, Pato Rajo yang kedua orang tuanya
berasal dari daerah Agam memulai usaha dengan modal hanya dua ringgit
meriam, dengan modal tersebut Pato rajo berdagan kulit manis, kulit kerbau dan
barang keperluan sehari-hari berangkat menuju daerah Pariaman,19
karena kejujurannya Pato Rajo mendapat kepercayaan dari orang-orang
Belanda untuk dilibatkan dalam perdagangan kulit manis dan garam yang telah di
monopoli oleh Belanda. Hingga akhirnya Pato Rajo mempunyai kekayaan sebesar
100.000 rial atau sama dengan F 2 (dua Florin Spanyol ) sayangnya akibat gaya
hidup Pato Rajo yang berfoya-foya dan juga banyak istri membuat kekayaannya
18

Christine Dobbin, Op. Cit, hlm. 71.


Irvan Sjafari, Bisnis dan Dimensi Sosial: Catatan Awal Tentang Kiprah Wiraswasta
Minangkabau di Ranah dan di Rantau 1910-1950, versi E-Jurnal diakses 11 maret 2014.
19

10

merosot.20

Di

Hindia-Belanda

hanya

Sumatera

Westkust

sajalah

yang

menghasilkan akasia,21 dan di Minangkabau sendiri tanaman ini tumbuh liar


sekitar dataran tinggi luhak Agam dan Tanah Datar, Akasia yang tumbuh di
dataran ini ialah Akasia yang berjenis (Cinnamomum Burmannii)atau di pasaran
eropa dikenal dengan Kaneel Cassia Padang. Daerah penghasil akasia di dataran
tinggi Minangkabau yaitu daerah Agam seperti Malalak, Canduang dan kawasan
lembah Tanah Datar didominasi oleh daerah yang subur Sungai Jambu, Batipuah,
Sikaladi, batu taba dan daerah III koto (Turawan, Padang Luar, dan
Galogandang)22 daerah penghasil komoditi ini memiliki kultur masyarakat
berdagang dan merantau yang kuat.
Di kawasan ini tanaman subsistensi dan eksporpun diproduksi secara
berdampingan dan akan di perdagangakan pada setiap hari pakan (pasar) seperti
pakan senayan di Simabur, Pakan Sabtu di Balimbing, dan pakan Selasa di
Rambatan. Selanjutnya hasil tanaman ekspor dibawa ke pelabuhan melalui jalur
darat. dan juga menggunakan jalur laut dari Bandar-bandar pelabuhan Tiku,
Pariaman untuk dibawa ke Padang (Teluk Bayur).
Sedangkan di daerah Agam yang mana merupakan penghasil kualitas
akasia terbaik di pedalaman Minangkabau memiliki lahan yang curam dan terjal
dan tidak memungkinkan untuk menggantungkan kehidupan di sektor tanaman
padi sawah, sehingga tanaman ekspor pun menjadi pilihan utama, dengan akses
20

http://minanglamo.blogspot.com/2014/10/catatan-seorang-ambtenaar-1932-1941.html
diakses 11 Maret 2014.
21
Berita, (Tanpa Penulis), Maklumat Tani di Onderdistrik Matoer, dalam Surat kabar
Tani edisi Juli-September 1935, Arsip Koleksi Pustaka PDIKM Padang Panjang, hlm. 57.
22
Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan gerakan Padri, Depok:
Komunitas Bambu, 2008, hlm. 133.

11

jalan yang dekat ke pantai barat sumatera ekonomi perdagangan Agam sangat
tinggi intensitasnya dan juga banyak memunculkan kelas petani-pedagang yang
sukses menjadi saudagar yang kaya.23
Tanah-tanah lereng dan perbukitan telah dimanfaatkan oleh masyarakat
Agam dengan menanam tanaman akasia, pemanfaatan tanah perbukitan dan
lereng tersebut membuka kesempatan bagi masyarakat akan sumber tanaman baru
dan pergeseran budidaya kopi ke budidaya tanaman ekspor dan akasia salah
satunya,24 pembudidayaan akasia tidak membutuhkan biaya dan modal yang besar
untuk perwatannya tidak seperti tanaman kopi, karet,dan gambir. Hal ini pulalah
yang membuat masyarakat menyukai budidaya ini, dan memang benar-benar
mampu meringankan masyarakat pada masa-masa sulit.
Dengan ciri khas tersendiri dari perdagangan akasia di Sumatera Westkust
pada masa malaise, beberapa periode telah menunjukan bagaimana perdagangan
akasia memberikan kesejukan ditengah-tengah krisis yang melanda, walaupun
sedikit akan tetapi sangat berarti pada masa-masa sulit, yang mana hal ini tidak
mampu diberikan oleh komoditi ekspor utama seperti kopi, getah,dan kopra.
Perdagangan akasia menjadi salah satu alternatif jalan yang telah
membantu perekonomian masyarakat ketika harga kopi jatuh akibat krisis
malaise, dan produksi karet mengalami masalah yang berbedabanyaknya biaya

23
http://sejarah.kompasiana.com/2013/04/22/bisnis-dan-dimensi-sosial-catatan-awaltentang-kiprah-wiraswastawan-minangkabau-di-ranah-dan-rantau-1910-1950-an-549158.html.
Diakses tanggal 11 Maret 2014.
24
Christine Dobbin, Op. Cit., hlm. 39.

12

yang dibutuhkan dan pemerintah tidak sanggup untuk mengatur jumlah


produksinya.25
Dan juga perdagangan gula yang menumpuk produksinya, akibat sistem
kapitalis Belanda yang membuat kopi, karet,dan gula dengan mengekploitasi
secara besar-besaran yang mengakibatkan terjadinya kelebihan produksi (over
produksi). Namun perdagangan akasia mendapat perhatian dari mayarakat
pedalaman sebagai komoditi utama untuk menggantikan pedagangan kopi.26 Yang
mana seperti diketahui bahwa perdagangan kopi sebelum malaise di Sumatera
Westkust telah banyak mendatangkan keuntungan bagi kedua pihak, baik
pemerintah Belanda maupun masyarakat Minangkabau yang berada di pedalaman.
Dengan hal ini perdagangan akasia di Sumatera Westkust pada masa krisis
malaise telah mampu memberikan warna tersendiri dalam sosial-ekonomi
masyarakat Minangkabau dan peneliti tertarik untuk menuangkannya dalam
bentuk skripsi dengan judul Perdagangan Accasia Kulit Manis di kawasan
pedalaman Sumatera Westkust pada masa krisis ekonomi Malaise 1930-1935.

B. Rumusan Dan Batasan Masalah


1. Rumusan Masalah

25

Padmo Sugianto, Op. Cit., hlm. 72.


B. J. Hagreis, Penerangan Tentang Penghidupan Kulit Manis, dalam Surat kabar
Tani, Arsip Koleksi Perpustakan PDIKM Padang Panjang, 9-16 Februari 1931, hlm. 31.
26

13

Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitian yang mana
keterlibatan

masyarakat

pengembangan

ekonomi

Minangkabau

terhadap

perubahan

lokal,

membawa

masyarakat

telah

sosial

dan

pedalaman

Minangkabau ke dalam tahapan dimana lahirnya mental ekonomi masyarakat


pedalaman yang mana membedakannya dengan masyarakat pedalaman lainnya,
dan meningkatnya individulitas dengan di dukung ciri khas masyarakat
Minangkabau yang dinamis dan suka berdagang telah melibatkan mereka secara
langsung maupun tidak langsung dalam percaturan perdagangan international.27
Produksi akasia atau kayu manis di Sumatera Barat telah memberikan
warna tersendiri dan memiliki ruang geraknya sendiri dalam perdagangan
international, terutama pada masa-masa sulit akibat depresi ekonomi malaise pada
masa Hindia-Belanda. Yang mana sebelumnya akasia tidak mendapat perhatian
yang utama sebelum masa malaise hal ini disebabkan sistem kapitalisme dan
konjungtur perekonomian masyarakat yang dipengaruhi oleh kekuatan politik
ekonomi Kolonial.28
Untuk memfokuskan rumusan masalah dari penelitian di atas dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian.
1. Bagaimana pola dan jaringan perdagangan akasia didaerah pedalaman
Sumatera Westkust pada masa malaise.?
2. Bagaimana kondisi sosial-ekonomi petani dan pedagangpada masa malaise.?
2. Batasan Masalah
27
Elizabeth E. Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern, Jakarta:Yayasan Obor
Indonesia, 2007, hlm. 1.
28
Mestika Zed, Kepialangan Politik Dan Revolusi Palembang 1900-1950, LP3ES: 2003,
hlm. 72.

14

Dikarenakan banyaknya kendala yang dihadapi peneliti dalam penelitian


ini, dan supaya penulisan tidak keluar dari konteks yang telah di tentukan maka
batasan temporal dari topik penelitian diatas adalah 1930 sampai 1935 yang mana
pada tahun 1930, mulainya depresi ekonomi malaise melanda negara-negara
produsen termasuk Hindia-Belanda, yang mengakibatkan jatuhnya produksi
perdagangan international. Dan 1935 mulai membaiknya keadaan perdagangan
internasional pasca malaise.
Sedangkan batasan spatial dalam topik penelitian ini adalah daerah
Sumatera Westkust yang meliputi daerah pesisir (Padangsche Benenlanden) dan
daerah pedalaman Minangkabau (Padangsche Bovenlanden).
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka tujuan dari
penelitian ini adalah.
Untuk memberikan gambaran bagaimana perdagangan akasia atau kayu
manis mempengaruhi sistem ekonomi masyarakat Minangkabau dan memiliki
dampak terhadap ekonomi masyarakat pada masa krisis malaise.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitan atas sebagai berikut :
1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan kajian sejarah,
khususnya dalam bidang kajian sosial-ekonomi masyarakat.

15

2. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan memperdalam pengetahuan


penulis mengenai perdagangan kulit manis di Sumatera Barat pada masa
Hindia-Belanda.
3. Dapat bermanfaat dan berguna sebagai bahan referensi bagi peneliti
selanjutnya dalam kajian sosial-ekonomi masyarakat.
D. Tinjauan Pustaka
1. Studi Relevan
Penelitian tentang sosial-ekonomi masyarakat petani telah banyak
dilakukan, khususnya tentang

petani kulit manis, penelitian Novariani,

Perkebunan Cassiavera rakyat di pulau Sungkar Kabupaten Kerinci Provinsi


Jambi (1970-2002). Padang :Skripsi jurusan Sejarah Fakultas ilmu Sosial
Universitas Negeri Padang 2007.Yang mana dalam kajian Novariani dengan
adanya perkebunan Cassiavera telah meningakatkan ekonomi domestik rakyat
pulau Sungkar, mendapatkan kehidupan yang lebih baik, taraf hidup yang
meningkat dan mampu untuk menunaikan ibadah haji dari perkebunan Cassiavera.
Dan penelitian dari Defi Afrianti Kehidupan Social-Ekonomi petani kulit
manis di kabupaten Tanah Datar (1980-2000). Padang: Skripsi Jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu Sejarah Universitas Negeri Padang 2007. Juga memberikan
gambaran meningatnya kehidupan sosial ekonomi petani kulit manis di
kabupaten Tanah Datar, meningkatnya taraf hidup masyarakat, petani mampu
melanjutkan pendidikan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi dan meningkatnya status sosial para petani.

16

Selanjutnya penelitian Afrisa Ansal Sejarah Sosial Ekonomi Studi


tentang kehidupan petani kulit manis di nagari Malalak Kabupaten agam (19701999). Padang: Skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas 2005.
Dalam penelitian Afrisa Ansal juga tidak jauh berbeda dengan dua kajian yang
sebelumnya, meningkatnya kondisi sosial-ekonomi masyarakat Malalak dengan
adanya perkebunan kulit manis, menjadi petani Kulit manis di nagari Malalak
merupakan pilihan utama di kawasan ini karena kondisi geografis nagari Malalak
sendiri yang tidak memungkinkan untuk bertanam padi sawah.
Dari ketiga penelitan sebelumnya yang menjadi persamaan ialah
bagaimana kondisi sosial-ekonomi masyarakat dengan adanya perdagangan kulit
manis, dan sekaligus yang menjadi pembeda ialah jika dari ketiga penelitian
sebelumnya periode penelitian sebelumnya setelah Indonesia Merdeka yakni
periode 1970-2002 yang mana dalam penelitian ini memfokuskan periode pada
masa Hindia-Belanda yakni 1930-1935. Yang mana seperti diketahui memiliki
banyak perbedaan dalam sistem sosial dan ekonomi masyarakat.

2. Konseptual
Perdagangan international bukanlah sesuatu hal yang baru, menurut Adam
Smith perdagangan international adalah suatu hubungan kerjasama ekonomi yang

17

dilakukan oleh negara yang satu dengan negara lain yang berkaitan dengan barang
dan jasa sehingga mampu membawa suatu kemakmuran bagi suatu negara.29
Teori

dari

Hecksher-Ohlin

yang

menjelaskan

pola

perdagangan

international dan terjadinya perbedaan harga antar negara, secara teoritis


HecksherOhlin mengajukan konsep proporsi dalam penggunaan faktor produksi
terhadap pola perdagangan.30 Teori Dari Hecksher-Ohlin memiliki konsep bahwa
komoditas dengan faktor produksi, yaitu tenaga kerja dan modal dan selera
konsumen yang identik dengan homogenous di setiap negara. Jadi teori Hecksher
Ohlin mengatakan bahwa negara yang berlimpah faktor produksi akan
mengekspor komoditas yang intensif.
Pola perdagangan ini juga dilakukan oleh Hindia-belanda dengan para
kapitalis-kapitalis Belanda dan Inggris. Oleh karena itu negara-negara kaya secara
agresif mendominasi ekonomi, politik terhadap negara miskin dengan sistem
kapitalisme modal kepada negara-negara miskin.
Jatuhnya perekonomian Hindia-Belanda pada masa krisis malaise yang
berdampak kepada sosial-ekonomi masyarakat dengan mundurnya perdagangan
ekspor sebagai mata pencaharian utama rakyat dan kondisi keuangan yag sulit.
Malaise dalam kamus besar bahasa Indonesia (malaise) adalah keadaan yang
serba sulit (terutama dl bidang perekonomian), Awalnya dimulai tahun 1930
ditandai dengan mulai terkenanya depresi ekonomi yang melanda dunia. Depresi
29

Pratama Rahardja dan Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro: Suatu Pengantar,
Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia, 2008, hlm. 40.
30
Laila Kholid Alfirdaus, Jurnal: Politik Relasi Etnik, Matrealinialitas dan etnis
Minoritas Cina Di Padang Sumatera Barat, Padang: Journal Komunitas 2014, hlm. 7.

18

ekonomi atau malaise yang terjadi pada awal tahun 1930-an merupakan akibat
dari eksploitatifnya investor dalam memacu pertumbuhan ekonomi setelah
berakhirnya Perang Dunia I dan kejatuhan Wall Street pada bulan Oktober 1929.31
Proses kelebihan produksi tersebut memuncak pada tahun 1929, dimana
perekeonomian Eropa dan Amerika Serikat mengalami depresi hebat. Inilah yang
menyebabkan lembaga-lembaga perekonomian ambruk, bank-bank tutup, dan
pabrik serta perusahaan perkebunan bangkrut dan kemudian berkembang kearah
timbulnya depresi besar yang melanda dunia dan depresi ekonomi lebih terasa di
negara-negara jajahan.
Krisis ekonomi (Malaise) ini membawa kondisi-kondisi pertanian yang
memburuk di Hindia-Belanda, ketika harga-harga dan perdagangan luar negeri
terus merosot dan kredit mengering. Hindia-Belanda sebagai pensuplai bahan
mentah untuk industri pun sangat kentara dengan hal ini, terbukti selama sepuluh
tahun pabrik dan perusahaan perkebunan mengurangi aktivitasnya. 32 Kemudian
terjadi pembatalan proyek-proyek besar, pemutusan hubungan kerja yang
dilakukan oleh pabrik sehingga menimbulkan pangangguran.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian desktiptifanalitik adapun langkah-langkah atau metode yang dilakukan dalam penelitian ini
sebagai berikut.
31
A.A. Abdurrahman, 1982, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Jakarta:
Pradnya Paramita, 1982, hlm. 329.
32
Suhartono, 1994, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi
1908-1945, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ofiset, hlm. 85.

19

1. Heuristik,
Heuristik adalah kegiatan mencari dan menemukan sumber yang
diperlukan. Sumber yang diperlukan berdasarkan bentuk penyajiannya, sumbersumber sejarah terdiri atas arsip, dokumen, buku, majalah/jurnal, surat kabar.
Peneliti menggunakan arsip dan dokumen sekunder zaman Hindia-Belanda
periode 1898-1935 yang didapatkan di perpustakan pusat dokumentasi dan
informasi kebudayaan Minangkabau di Padang Panjang, selanjutnya peneliti
menggunakan jasa penerjemah untuk menerjemahkan arsip dan dokumen
berbahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia.
Dalam penelitian ini peneliti juga menggunakan buku-buku yang terdapat di
perpustakan jurusan Sejarah dan perpustakaan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial
Universitas Negeri Padang. Dan juga peneliti menggunakan jurnal dan surat kabar
versi elektronik media internet.
2. Kritik Sumber
Kritik Sumber adalah melakukan penyeleksian terhadap sumber-sumber
yang di temukan, berikutnya adalah melakukan kritik untuk memperoleh
keabsahan sumber. Kritik ekstern menilai (autensitas) sumber apakah sumber itu
benar-benar sumber yang diperlukan?. Apakah sumber itu asli, turunan, atau
palsu.dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang ditelusuri
melalui kritik intern. Setelah melalui berbagai pertimbangan maka data-data yang
peneliti dapatkan merupakan data sekunder dan turunan yang didapatkan di

20

perpustakan pusat dokumentasi dan informasi kebudayaan Minangkabau


(PDIKM).
3. Interpretasi
Setelah fakta untuk mengungkap dan membahas masalah yang diteliti
cukup memadai, kemudian dilakukan interpretasi, yaitu penafsiran akan makna
fakta dan hubungan antara satu fakta dengan fakta lain. Penafsiran atas fakta harus
dilandasi oleh sikap obyektif. Rekonstruksi peristiwa sejarah harus menghasilkan
sejarah yang benar atau mendekati kebenaran.
4. Historiografi
Kegiatan terakhir dari penelitian sejarah (metode sejarah) adalah
merangkaikan fakta berikut maknanya secara kronologis/diakronis dan sistematis,
menjadi tulisan sejarah sebagai kisah. Kedua sifat uraian itu harus benar-benar
tampak, karena kedua hal itu merupakan bagian dari ciri karya sejarah ilmiah,
sekaligus ciri sejarah sebagai ilmu.

BAB II
MINANGKABAU DALAM PERIODE

21

AKHIR ABAD KE XIX DAN AWAL ABAD KE XX


A. Geografis dan Demografis
Sumatera Barat merupakan daerah yang dihiasi oleh jejaran Bukit Barisan.
Bukit Barisan membujur di sepanjang punggung Sumatra. Sumatera Barat
dikelilingi oleh gununggunung, yang senangtiasa menjaga dan mengawasi bumi
Minangkabau, yakni Gunung Merapi, Gunung Sago, Gunung Singgalang, Gunung
Talang, Gunung Pasaman. Wilayah Sumatera Barat terdapat daerah yang paling
subur. Daerah ini di sebut darek (darat dalam bahasa Indonesia) atau daerah
pedalaman, daerah kebalikan dari darek,33yakni rantau adalah daerah luar dari
darek atau daerah perbatasan.
Daerah Sumatera Barat lebih dikenal dengan Keresidenan Sumatera
Westkust yang juga termasuk didalamnya keresidenan Bengkulen. Batas-batas
keresidenan Sumatera Westkust sebelah utara berbatasan dengan Residentie
Tapanuli, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia dan Bengkulen,
sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia dan; sebelah timur berbatasan
Riau atau lebih di kenal dengan Sumatera Ostkusts.34 Semua itu pada umumnya
berada dalam wilayah budaya Minangkabau, kecuali Kepulauan Mentawai.
Namun, dalam pandangan budaya masyarakat Minangkabau, secara kultural
mereka tidak mengenal batas-batas (geografis) wilayah Minangkabau dengan

33
Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, 2005,
Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 45.
34
http://minanglamo.blogspot.com/2014/10/catatan-seorang-ambtenaar-1932-1941.html.
Diakses 25 Februari 2015.

22

menggunakan istilah Utara, Selatan, Barat, dan Timur. Akan tetapi batas-batas
wilayah tersebut mereka kenal seperti yang tertuang dalam pidato adat:
Dari ombak nan badabua
Sampai kasikilang Aia Bangih
Masuak ka Rao Mapat Tunggua
Lapeh ka sialang balantak basi
Dari taratak aia itam
Hinggo aia babaliak mudiak
Sampai ka durian ditakuak rajo
Lapeh ka buayo putiah daguak 35
Pengertiannya sebagaimana yang diuraikan Idrus Hakimy Datuk Rajo
Penghulu; dari ombak nan badabuo maksudnya, daerah pantai barat yaitu
Sumatera Barat sekarang; sampai ka sikilang aia bangih yang meliputi daerahdaerah yang terletak di sekitar Pasaman Timur seperti, Air Bangis, Ampalu,
Cubadak, dan Simpang Tonang. Daerah-daerah tersebut berdekatan dengan
Sibolga (Tapanuli Selatan, Sumatera Utara); masuak ka Rao Mapat Tunggul
adalah daerah disekitar Rao (Pasaman Timur) yang berbatasan dengan Muara
Sipongi (Tapanuli Selatan, Sumatera Utara); dan lapeh ka sialang balantak basi
yaitu, daerah yang terletak di sekitar Gunung Mas, dan Gunung Sailan yang
berbatasan dengan daerah Pasia Pangaraian, Riau.
Selanjutnya dari taratak aia itam, adalah daerah di sekitar Bangkinang
(Kabupaten Kampar, Riau); hinggo aia babaliak mudiak yakni, daerah pesisir
sebelah Timur Pulau Sumatera (dalam Propinsi Riau), yang airnya berbalik ke
hulu waktu pasang naik. Daerahnya adalah Teluk Kuantan, Lubuk Jambi, Rengat,

35

Sanggoeno Dirajo Ibrahim, Tambo Alam Minangkabau: Tatanan Adat Warisan Nenek
Moyang Orang Minang, Bukittinggi: Kristal Multimudia, 2009, hlm. 7.

23

Basrah, Kuala Tungkal, dan Pangian; sampai ka durian ditakuak rajo, ialah
daerah-daerah yang terletak dalam wilayah Propinsi Jambi, sebelah barat meliputi
daerah Muaro Bungo, Muaro Tebo, dan Muaro Tembesi; lapeh ka buayo putiah
daguak, daerah yang terletak di sekitar Indropuro (Pesisir Selatan) yang
berbatasan dengan daerah Propinsi Bengkulu sebelah utara.36
Wilayah darek merupakan kawasan pedalaman Minangkabau yang dalam
kepustakaan Belanda disebut dengan Padangsche Bovenlanden atau Padang
darat merupakan jantung utama wilayah Minangkabau yang juga dikenal dengan
Luhak nan tigo, yakni Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, Dan Luhak Limapuluh
Koto. Luhak Tanah Datar yang berada dikawasan lembah yang subur merupakan
taman Edennya kawasan Minangkabau dan juga merupakan titik awal perseberan
nenek moyang orang Minangkabau.
Sedangkan Luhak Agam dianggap sebagai luhak tengah yang mana
merupakan penyebaran orang Minangkabau arah utara dikawasan lereng-lereng
perbukitan, kondisi geografis Agam yang berbukit-bukit dan terjal membuat
terjadinya persaingan hidup yang keras. Dan yang terakhir ialah Luhak Limapuluh
Koto juga dianggap sebagai luhak bungsu yang berada dikawasan lembah yang
subur. Dalam sistem pemerintahan Belanda membagi wilayah Padangsche
Bovenlanden

dengan

beberapa

Afdeling,

tiap-tiap

Afdeling

memiliki

Onderafdeling, Distrik, dan Onderdistriknya masing-masing.

36

Dt Rajo Penghulu Idrus Hakim, Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau,


Cet. Ke-2, Bandung: Remadja Karya CV, 1984, hlm. 20-21.

24

Berikut ini beberapa pembagian Afdeling Agam, Tanah Datar dan Solok
pasca 1914-1929 dan para Demangnya di Padangsche Bovenlanden.
A. Afdeling Agam

yang dibagi menjadi 5 Onderafdeling, 5 Distrik, 15

Onderdistrik :
Onderafdeling Agam terdiri dari :
1.

Distrik Bukit Tinggi dipimpin oleh demang Yahya Datuk Kayo


1.

Onderdistrik Banuhampu (dengan kurai) langsung dibawah


demang Bukittinggi.

2.

Onderdistrik IV Koto, dengan Demang Salim Rajo Mudo di


kotogadang

3.

Onderdistrik Sungai Pua, dengan Demang Khatib Sutan


Rajo Ameh di Sariak.

2.

Distrik IV Angkek dengan dipimpin oleh demang Samad Dt .Sati


di Banjolalam
1.

Onderdistrik IV angkek dibawah demang IV Angkek

2.

Onderdistrik Baso dengan Demang Jamin Dt. Mangkuto


Sati

3.

Onderdistrik Canduang, dengan demang Lutan sutan


Marajo.

25

3.

Distrik Tilatang dengan dengan Demang Jaar Dt. Batuahdi Pakan


Kamih
1.

Onderdistrik Tilapang langsung dibawah demang Tilatang

2.

Onderdistrik Kamang ( dengan Magek dan Salo ) dengan


Demang Dt. Rajo Alam

3.

Onderdistrik VII-Lurah (dengan Batang Palupuah) dengan


Demang Marzuki Dt.Sati di Palupuah

4.

Distrik Maninjau dengan dengan demangnya Dullah Dt. Paduko


Tuan
1.

Onderdistrik VI Koto langsung dibawah Demang Maninjau

2.

Onderdistrik IV Koto langsung dibawah demang Maninjau

3.

Onderdistrik Lubuk Basuang (dengan III-Luhak, dan Tiku)


dengan Demangnya Osman Sutan Pamenen.

5.

Distrik Matua demangnya Intan Dt.Mangkuto Sati.


1.

Onderdistrik Matua (dengan andaleh) langsung dibawah


demang Matua.

2.

Onderdistrik Palembayan dengan dengan demang Saidi


Muhammad Datuk Tan Ameh.37

37

Gusti Asnan, Pemerintahan Sumatera Barat Dari VOC Hingga Reformasi,


(Yogyakarta: Citra pustaka, 2006) hlm 35-39.

26

B. Afdeling Tanah Datar yang dibagi menjadi 3 Onderafdeling, 6 Distrik, dan 17

Onderdistrik :
Onderafdeling Batusangkar terdiri dari :
1.

Distrik Batusangkar
1.

Onderdistrik Batusangkar (dengan Pagaruyung, Tanjung,


Sungai Patai, Baringin dan Sipurut ) langsung dibawah demang
Batusangkar

2.

Onderdistrik Saruaso (dengan Padang Gantiang ) dengan


Demang Said Rangkayo Basa di Tanjung Barulak

3.

Onderdistrik Salimpauang (dengan Sumaniak) dengan


demang Nur Sutan Parpatiah di Tabek Patah.

2.

Distrik Pariangan demang Samad Sutan Pamenen di Tabek


1.

Onderdistrik V Kaum dengan Sungai jambu langsung


dibawah demang Pariangan

2.

Onderdistrik Pariangan ( dengan Simawang)

dengan

demang Gindo Asin Dt.Bongsu di Balai Gadang


3.

Onderdistrik Sungaitarab (dengan rao- rao dan gurun)


dengan demang Yunas Sutan Marajo Lelo.

3.

Onderafdeling Sawah Lunto.

27

4.

Distrik Sawah Lunto dengan demangnya Marzuki Dt. Bandaro


Panjang
1.

Onderdistrik Sawahlunto (dengan Silungkang, durian,


Sapan dan Kubanglunto) langsung dibawah demang Sawahlunto

2.

Onderdistrik Padang Sibusuak ( dengan Batumanjur,


Pamuatan dan Koto Baru) langsung dibawah demang Sawahlunto

3.
2.

Onderdistrik Talawi dengan demang Gani Sutan Basa

Onderafdeling Sijunjuang
1.

Distrik Sijunjuang dibawah demang Hitam Dt.Rajo Palembang


1.

Onderdistrik Sijunjung (dengan Lubuktarab) langsung


dibawah demang Sijunjung

2.

Onderdistrik Koto VII demang Kadir Sri Marajo.

3.

Onderdistrik Sungaibatang (dengan padang tarab, V dan VI


Koto) dengan demang Said Bagindo Khatib

2.

Distrik Buo dibawah pimpinan demang Makhudum Dunia


1.

Onderdistrik Buo langsung dibawah Demang Buo

2.

Onderdistrik Lintau langsung dibawah demang Buo

28

3.

Onderdistrik Kumanis (dengan Sumpur) dengan Demang


Rahman Bagindo Marah.

3.

Distrik Batanghari dengan demang Hamzah Rajodi Sungai Dareh


1.

Onderdistrik Batanghari (dengan Pulau Punjung, siguntur,


Sitiung, Sikabau, Tabing Tinggi, Gunung Medan, Sungaiduo, Tabah,
Sungai Timpoh dan Jao, Pucuk Rantau, Indragiri, Sungai Besar,
Padang Laweh dan Batuijar) langsung dibawah demang batanghari.

2.

Onderdistrik Koto Besar (dengan Koto Padang, Tiumang,


Bonjol, Kotobaru, Pulaumainan, Indramar, Tangjung alam, Sungai
Limau, dan Batu Kangkung) dengan dengan demang Wirio Harjo.

C. Afdeling Solok

dibagi menjadi 3 Onderafdeling, 4 Distrik dan 10

Onderdistrik :
1.

Onderafdeling Solok terdiri dari


1.

Distrik Solok
1.

Onderdistrik Solok (dengan salayo, Gantung ciri, dan


Muaro Paneh) langsung dibawah demang solok

2.

Onderdistrik Saoklaweh (dengan Kinari, VI-Koto, dan


Panyakalan) langsung dibawah demang solok

29

3.

Onderdistrik Talang (dengan Guguk dan Cupak) dengan


demang Hamid Dt.Rajo Intan.

2.

Distrik Singkarak dengan demang Tahir Sutan Jamaris.


1.

Onderdistrik Singkarak dan saningbakar langsung dibawah


demang singkarak.

2.

Ondrafdeling Alahan Panjang


1.

Distrik Alahan Panjang


1.

Onderdistrik Alahan Panjang langsung dibawah demang


alahan Panjang

2.

Onderdistrik Supayang dengan Sirukam dan III Koto)


dengan Demang Jamil panggulu sati di kubang nan duo.

3.

Onderdistrik Koto anau, dengan demang Hasan Sutan


Mangkutodi Bukit Sileh.38

3.

Onderafdeling Muaro Labuah


1.

Distrik Muaro Labuah dengan demang Nindih Dt. Bagindo


1.

Onderdistrik Sungai Pagu langsung dibawah demang


Muara labuah.

38

Gusti Asnan. Op. Cit., hlm. 39.

30

2.

Onderdistrik Lolo Surian langsung dibawah demang Muaro


labuah

3.

Onderdistrik Lubuk Gadang (dengan XII Koto,Lubuk


Aling, Sungai Kunit dan Talao ) dengan demang Umin Dt.Rajo
39

Kawasan pedalaman Minangkabau merupakan kawasan dengan penduduk


paling padat, kawasan pedalaman rata-rata didiami oleh orang Minangkabau yang
berbeda dari wilayah rantau yang banyak dihuni oleh berbagai ras dan suku.
Kawasan pedalaman yang subur telah memberikan keuntungan dalam sektor
pertanian dan juga kaya akan hasil tanaman ekspor yang mana tiap-tiap daerah
memiliki ciri khas tanaman atau komoditas ekspornya masing-masing seperti
Agam terkenal dengan kopi, akasia dan tebu, Tanah datar juga terkenal dengan
kopi, akasia dan penghasil kulit dan Limapuluh koto yang terkenal dengan
Gambirnya.
Kehidupan masyarakat Minangkabau di tiap-tiap daerah atau luhak
sangatlah berbeda-beda, orang Minangkabau yang berdomisili didaerah kawasan
dataran rendah di mana dengan mudah dapat mengandalkan mata pencaharian
pada hasil panen padiyang berlimpah ruah. Bagi penduduk dataran tinggi, suasana
semacam ini hanyalah ibarat mengejar mimpi dan hanya sedikit sekali yang bisa
diharapkan dari pertanian sawah.40 Akan tetapi gambaran orang Minangkabau
sebagai pedagang akan nampak lebih menonjol untuk penduduk dataran tinggi.
39

Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985,
hlm. 15-17.
40
Elizabeth E. Graves, Op.Cit., hlm. 8-9.

31

Karena itu secara geografis dan berhubungan dengan gaya hidup


penduduknya, nagari-nagari Minangkabau dapat dibedakan kedalam kategori
yang masing-masingnya berbeda-beda tipe. Di dataran tinggi pedalaman yang
menjadi titik fokus sejarah dan kebudayaan Minangkabau yang utama, telah
berkembang dua tipe gaya hidup penduduknya, yang pertama berdasarkan
pertanian sawah dengan hasil padinya yang berlimpah, sedangkan yang kedua
ialah tipe nagari-nagari marginal yang berada di sekitar lereng-lereng perbukitan
dan pegunungan disini akan lebih menonjol sikap wirausahawan, namun struktur
sosial dan spolitik dari kedua tipe nagari pedalaman ini pada prinsipnya samasama bertopang pada pokok hukum dan adat istiadat Minangkabau.41
B. Sosial Budaya Masyarakat
Minangkabau adalah suatu lingkungan adat yang terletak dalam daerah
geografis administratif Sumatera Barat dan juga menjangkau ke sebagian barat
daerah geografis administratif provinsi Riau, dan ke sebagian barat daerah
administratif provinsi Jambi. Pada mulanya, yang masuk wilayah sosial kultural
Minangkabau hanyalah tiga luhak (sekarang jadi daerah tingkat II) yaitu Luhak
Agam, Luhak Tanah Datar, dan Luhak Lima Puluh Kota yang disebut
Minangkabau asli. Dari keempat kawasan lembah yang menjadi pusat peradaban
Minangkabau barisan perbukitan yang membatasi daerah lembah serta menjadi

41

Nuzul Afza Bt Md. Khlmid, Kelas Menengah Minangkabau : Aspek historis dalam
Novel Minangkabau Sebelum Perang Dunia dua, Skripsi, (Padang : Fakultas Sastra jurusan
Sejarah Universitas Andalas, 1993).

32

pembeda antara satu wilayah dengan yang lainnya, juga membedakan identitas
sosial masyarakatnya sendiri.42
Pengembangan identitas sosial itu tidak bisa dilepaskan dari perkembangan
pemukiman-pemukiman

masyarakat

Minangkabau.

Pemukiman

tersebut

kemudian berjalan secara otonom dan dinamakan sebagai nagari. Nagari di


Minangkabau tidak diperintah oleh raja, tapi penghulu raja bagi masyarakat
Minangkabau hanya dikenal dalam wilayah rantau. Perkembangannya wilayah
Minangkabau meluas sampai ke luar tiga luhak tersebut yang disebut Daerah
Rantau.
Wilayah rantau merupakan kawasan yang berada di luar luhak nan Tigo,
Rantau luhak Agam meliputi pesisir barat sejak Pariaman sampai Air Bangis,
Lubuk Sikaping dan Pasaman; Rantau Luhak Lima Puluh Kota meliputi
Bangkinang, Lembah Kampar Kiri dan Kampar Kanan dan Rokan; 43 rantau Luhak
Tanah Datar meliputi Kubung Tiga Belas, pesisir barat dari Padang sampai Indra
Pura, Kerinci dan Muara Labuh. Wilayah Minangkabau asli ditambah Daerah
Rantau itulah yang secara geografis meliputi seluruh wilayah propinsi Sumatera
Barat dan sebagian wilayah propinsi Riau dan Jambi.44

42

Christine Dobbin, Op,Cit., hlm. 3-4. Menurut Dobbin perbedaan watak masyarakat di
pedalaman Minangkabau yang dipengaruhi oleh kondisi alam dan geografis, sesuai dengan
pepatah adat yang telah mengatakan, telah mempengaruhi pola perekonomian masyarakat di
pedalaman Minangkabau, yang mana di kawasan Agam masyarakat akan lebih cenderung terlihat
sifat enterpreneuship.
43
https://mersi.wordpress.com/2007/08/07/sosial-budaya-minangkabau/. Diakses tanggal
23 Mei 2015.
44
Dt. Sanggoeno Dirajo Ibrahim, Op. Cit., hlm. 125.

33

Masyarakat Minangkabau telah menjalin interaksi dengan dunia luar ke


pantai barat dan timur Sumatera. Interaksi dengan dunia luar itu jugalah yang
kemudian memperluas wilayah rantau orang Minangkabau, bahkan sampai ke
Negeri Sembilan Malaysia.Selain itu, keberadaan rantau dan perilaku merantau
merupakan wujud dinamika sosial masyarakat dan budaya Minangkabau.
Berhubung merantau merupakan perpindahan sementara45 maka interaksi rantau
dan daerah asal ini tidak menjadi fondasi utama pembentukan nilai-nilai
keminangkabauan, serta masuknya pemikiran-pemikiran baru yang memperkaya
identitas sosio-budaya orang Minangkabau. Untuk itu daerah rantau dapat juga
diidentifikasi secara sosio-kultural dengan Minangkabau.46
Merantau merupakan salah satu karakteristik orang Minangakabau.Tinggal
di kampung dengan hanya menjadi petani berarti kemiskinan, praktik merantau
tidak hanya sekedar produk urbanisasi, tetapi merantau juga mengandung unsure
pengalaman dan rasa penasaran telah berakar secara mendalam dalam sejarah dan
sistem sosial Minangakabau.47 Dalam sistem sosial Minangkabau para pemudapemuda yang memang tidak mendapat kamar dalam rumah gadang, mesti pergi
merantau untuk nanti sekembalinya bisa diserahi tanggung jawab sebagai ninik
mamak atau pemangku adat di kaumnya. Menurut Tsuyoshi Kato budaya
merantau masyarakat Minangkabau merupakan sebuah identitas atau ciri khas
yang tidak bisa dihilangkan dari masyarakat Minangkabau, dan juga faktor
45

Mochtar Naim, Merantau pola migrasi suku Minangkabau, Gadjah mada university
Press, 1984, hlm. 39.
46
http://sastraminangmodern.com/2012/09/gambaran-sosial-budaya-minangkabau.html.
Diakses 4 April 2015.
47
A.A. Navis, Alam Takambang jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Jakata:
Gafitipers, 1984, hlm. 37.

34

pembagian harta pusaka yang mengharuskan laki-laki di Minangkabau untuk


merantau.
Awalnya merantau bertujuan untuk pemekaran nagari dikarenakan jumlah
penduduk semakin bertambah, maka budaya merantaupun muncul akibat
dorongan untuk memperluas daerah atau nagari sebagai tempat pencarian
penghidupan, periode ini berlangsung dari masa legenda Minangkabau sampai
awal abad ke sembilanbelas.
Kedua periode abad ke sembilanbelas sampai tahun 1930an juga disebut
dengan merantau sirkuler, yakni bertujuan untuk mencari penghidupan yang lebih
layak dari pertanian. Sehingga pergi merantau bertujuan untuk menjadi berbagai
profesi tertentu misalnya pegawai, saudagar, guru dan pengrajin. Merantau juga
merupakan hasrat pribadi sebagai upaya menghindari kontrol matrilineal, namun
mereka tidak memutuskan hubungan dengan kampung karena anak dan istri, bagi
yang telah berkeluarga masih tinggal di kampung.
Menjadi seorang tukang jahit dan berbisnis kuliner atau rumah makan
merupakan ciri khas profesi tradisional yang di jalankan masyarakat
Minangkabau, dengan menjadi pengusaha lebih menunjukan sifat yang merdeka
dan bebas, disebabkan seorang Minang tidak mempunyai loyalitas yang cukup
untuk bekerja di sebuah birokrasi, seorang Minang lebih memilih untuk
mengekspresikan dirinya sendiri dari pada harus dibawah tekanan orang lain.

35

Hal inipun sesuai dengan pepatah yang mengatakan elok manjadi kapalo
samuik dari pado manjadi ikua gajah 48 ( lebih baik menjadi kepala semut dari
pada menjadi ekor gajah) yang mana maksudnya lebih baik menjadi pemimpin
disebuah organisasi yang kecil dari pada menjadi pengikut di sebuah organisasi
yang besar, hal ini tidak bisa dilepaskan dari sifat masyarakat Minangkabau yang
terkenal egaliter.
Hal inilah yang membuat masyarakat Minangkabau lebih memilih profesi
sebagai pedagang, melalui berdagang mereka akan lebih bebas bereksplorasi
menunjukkan identitas sosialnya dan kebanggaan menjadi seorang pedagang akan
lebih nampak pada masyrakat Minangkabau khususnya yang berada di
perantauan.
2.

Kebijakan Politik Kolonial Belanda di Minangkabau pada akhir abad


XIX dan awal Abad ke XX

1.

Pengaruh Politik-Ekonomi
Tahun 1833 merupakan pemberontakan terakhir yang bercirikan

kepemimpinan anggota keluarga kerajaan raja Minangkabau. Walaupun


kehilangan kekuatan ningrat akan tetapi kekuatan Islam Paderi di Minangkabau
mampu bertahan secara berkelanjutan dalam periode yang panjang, Perang Paderi
termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta
dan mengorbankan jiwa raga.49 Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan
48

Dt Rajo Penghulu Idrus Hakim, Op. Cit., hlm. 122.


Mawarti J. Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka,
1984), hlm. 44.
49

36

Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat


sekitarnya

dan

memunculkan

perpindahan

masyarakat

dari

kawasan

konflik.Setelah ikut terlibat dalam Perang Paderi dan kemudian memenanginya. 50


Belanda lalu membentuk pemerintahan sentralistis yang bersifat hirarkis di
Minangkabau. Hanya pada dua lapisan bawah saja dari sususan hirarkis itu yang
dialokasikan kepada bumiputera: gubernur (Belanda) residen (tiga keresidenan)
(Belanda) asistenresiden (Belanda) controleur [kontrolir] (Belanda) kepala laras
(bumiputera) kepala nagari (bumiputera). 51
Untuk

mempertahankan

status-quo,

Belanda

melakukan

berbagai

kebijakan agar format politik baru itu biasa berjalan dengan baik.Namun muncul
berbagai reaksi dari masyarakat Minangkabau yang sudah terbiasa hidup dalam
sistem politik republik nagari yang bersifat egaliter itu. Pada tahun 1901 Belanda
memiliki panggilan untuk bertanggung jawab atas moral pribumi yang
terbelakang, maka pemerintah Belanda menerapkan kebijakan etis yang memiliki
pengaruh besar terhadap masyarakat pribumi.
Dengan adanya kebijakan etis maka suasana ekonomi dan politik di
pedalaman Minangkabau mengalami kemajuan yang hebat pada masa itu dengan
tingginya intensitas atau tanggapan masyarakat terhadap pendidikan dan
pembuatan irigasi (waterleiding).52 Serta dimulainya pembangunan jalan-jalan
kereta api untuk memperlancar proses pendistribusian komoditas ekspor ke
50

http://www.pelaminanminang.com/artikel/sumatera-barat-pemberontak-yangtakluk.html. Diakses 13 April 2015.


51
Gusti Asnan, Op.Cit., hlm. 53.
52
Elizabeth E. Graves, Op. Cit., hlm. 155.

37

pelabuhan. salah satu kebijakan politik yang sangat tidak disukai oleh rakyat
Minangkabau ialah diterapkannya cukai pasar yang di rasakan secara universal di
seluruh daerah pedalaman Minangkabau. Selanjutnya masyarakat juga sangat
tidak menyukai adanya Jasa Kuli berdasarkan kebijakan Belanda desa-desa di
pedalaman diwajibkan untuk memasok tenaga kuli, tiap-tiap distrik diminta untuk
menyediakan sejumlah orang pada waktu tertentuuntuk bekerja seperti pembuatan
jalan, mengantar barang dan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda.53
Pengaruh politik Belanda yang paling utama khususnya dalam bidang
ekonomi ialah Belanda berhasil melibatkan diri dalam usaha perdagangan yakni
menghasilkan dan memperdagangkan kopi, dan tidak hanya kopi bahkan untuk
jenis komoditi ekspor lainya seperti Akasia, Gambir yang mendatangkan
keuntungan yang berlipat kepada pemerintah Belanda. Derap maju imprealis
Belanda di Minangkabau yang diiringi dengan turut berperannya kekuatan
ekonomi-politik Belanda yang semakin menancapkan kukunya dan mendatangkan
keuntungan yang berlimpah, Belanda adalah sebuah negara yang ingin
mengindustrialisasi

dan

memodernisasi

negaranya

dalam

waktu

yang

sesingkatnya untuk itu upaya-upaya dalam bidang ekonomi dilakukan denga


segala cara dan daerah Minangkabau tidak luput dari hal ini.
Berbagai kebijakan politik-ekonomi diterapkan Belanda baik itu secara
langsung maupun perwakilan-perwakilan Belanda di daerah pedalaman, seperti
penerapan penanaman perkebunan kopi,54 kebijakan wajib setor kopi kepada
53

Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus Matriakat, Reformisme Islam dan Kolonialisme
di Minangkabau, (Jakarta: Freedom Institute, 2010), hlm. 41.
54
Christine Dobbin, Op.Cit., hlm. 303.

38

pemerintah Hindia-Belandapun dilakukan dan sekaligus hal yang sangat dibenci


oleh rakyat Minangkabau. Bahkan pejabat-pejabat Belanda terlibat langsung
untuk menginspeksi secara teratur diperkebunan-perkebuan untuk berbagai jenis
komoditi ekspor.
Namun berbagai kebijakan politik-ekonomi Belanda disatu sisi lainnya
telah memberikan padangan dan pengaruh yang berbeda, akibat sistem tanam
paksa khususnya untuk kopi secara tidak langsung telah menarik masyarakat
Minangkabau yang berada dipedalaman kedalam ekonomi pasaran dunia, hal ini
juga menumbuhkan sikap dinamis dan individualitas yang tinggi dalam
masyarakat Minangkabau dalam orientasi ekonomi.55
Selain itu dampak yang sangat berharga dari penetrasi politik ekonomi Belanda
ialah berdirinya sekolah-sekolah sekuler yang mendapat tanggapan positif dari
masyarakat Minangkabau dan memunculkan sekolah-sekolah nagari, hasil dari
sistem pendidikan sekuler ini lahirnya generasi muda yang mampu membaca
huruf Hollanda yang menjadi tunas elite politik Minangkabau.56
2.

Reputasi Ekonomi Kolonial Belanda


Berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintahan kolonial Belanda untuk

meningkatkan penghasilan dari tanah jajahannya telah dilakukan, seperti


penerapan Cultursteelseel terhadap tanaman kopi sebagai sumber komoditi utama
ekonomi kolonial. Di Minangkabau berbagai kebijakan yang diterapkan
55

Elizabeth E. Graves, Op.Cit., hlm. 247-248.


Yuliarni, Pengusaha Muda Minangkabau harus Berani, Padang Ekspres, Minggu, 28
Desember 2008
56

39

pemerintah kolonial tidaklah berjalan sesuai harapa mereka, dalam penerapan


sistem tanam paksa kopi Belanda mengalami kerugian yang cukup berarti, hal ini
disebabkan sulitnya Belanda mengkontrolir daerah ini dan juga tanggapan yang
tidak senang atas tanam paksa yang ditunjukan oleh masyarakat dengan menjual
hasil kopi ke pantai Timur, dan Malaka, hal ini terkenal dengan pameo Melayu
kopi daun. 57
Pada akhir abad ke 19, merupakan tahun-tahun dimana pemerintah
Belanda mengalami kejayaan dan mendatangkan banyak keuntungan akibat
penerapan sistem wajib setor kopi kepada pemerintah dan selanjutnya hasil kopi
disetor ke gudang-gudang kopi milik Belanda (Pakhuis), namun masyarakat
Minangkabau yang menentang sistem wajib setor kopi, selali mengelabui Belanda
dan menolak menyerahkan hasil kopi sepenuhnya kepada Belanda, ketika harga
komoditi kopi semakin naik di pasar dunia masyarakat justru tidak menyerahkan
hasil kopi ke gudang milik Belanda, masyarakat Minangkabau justru malah
menjualnya ke pantai Timur, Singapura, Malaka, bahkan sampai ke Penang.
Dengan kerugian yang diderita Belanda maka system wajib setor kopi dihapuskan
pada tahun 1908.58 Sehingga muncullah istilah God Verdomd Zeg59 (dasar
Melayu kopi daun, tahunya hanya daun kopi) ketika Belanda sudah kesal.
Selain melayu kopi daun Belanda juga mendapat tantangan dari para
pialang Cina yang selalu menjadi batu sandungan bagi Belanda untuk

57

Mestika Zed, Dilema Ekonomi Melayu dari Melayu kopi daun hingga kapitalisme
Global, Essay, hlm. 68, versi E-jurnal, diakses 1 februari 2015.
58
Christine Dobbin, Op. Cit., hlm. 303.
59
Mestika Zed, Op. Cit., hlm. 7.

40

mendapatkan kopi di pedalaman, para pialang Cina lebih suka mencari dan
mendapatkan kopi dan komoditi lainnya secara langsung ke daerah pedalaman.
Walaupun adanya istilah Melayu kopi daun bukan berarti menggambarkan
kegagalan sepenuhnya kebijakan ekonomi Belanda, Belanda cukup berhasil
mendapatkan keuntungan yang berlimpah dari wajib setor kopi 60 berlakunya
system wajib setor kopi merupakan masa jayanya ekonomi pemerintah Belanda di
Hindia-Belanda hingga sistim ini dihapus pada 1908.
Dan tidak hanya bagi Belanda yang mendatangkan keuntungan,
masyarakat Minangkabaupun juga mengalami dampak yang menguntungkan hasil
penjualan kopi dijadikan oleh masyarakat sebagai investasi untuk menunaikan
ibadah haji, dan masyarakat Minangkabau yang pulang dari timur tengah
mendirikan sekolah-sekolah tradisional di surau.61 selain dari penjualan kopi,
Belanda juga mendapatkan keuntungan dari komoditi ekspor lainnya seperti
kopra, gambir, karet, dan akasia di untuk mendapatkan hasil tersebut Belanda
membangun akses jalan-jalan yang menghubungkan ke daerah penghasil komoditi
penting di daerah pedalaman. Dengan adanya akses yang memudahkan
transportasi masyarakat hal ini juga meningkatkan ekonomi masyarkat di
pedesaan sekaligus menciptakan pedagang dan wirausahawan yang bermental
tangguh.
60

Eizabeth E. Graves,Op.Cit., hlm. 154.


Surau adalah tempat beribadat yang khusus seperti solat dan i'tikaf bagi masyarakat
Minangkabau, dan juga menjadi pusat kebudayaan, muamalat (perhubungan) serta perkembangan
dakwah Islamiah. Surau bukanlah sekadar pusat aktivitas keagamaan masyarakat Minangkabau,
tetapi juga tempat pengembangan diri.Didalam Dt. Sanggoeno Dirajo, Ibrahim. 2009. Tambo Alam
Minangkabau: Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang. Bukittinggi: Kristal
Multimudia).
61

41

3. Perkebunan rakyat
a. Kopi
Tanaman kopi di kawasan pantai barat pertama kali berkembang di
kawasan pedalaman, tepatnya di Luhak Agam. Dari Luhak Agam tanaman kopi
menyebar ke kawasan Limapuluh Koto dan Tanah Datar, tanaman kopi pertama
kali diperkenalkan oleh penduduk yang telah menunaikan ibadah Haji ke
Mekkah.62 Dan jenis kopi yang di perkenalkan ialah kopi Arabicca.63
Pada awalnya kopi tumbuh berupa semak-semak yang lebih mirip hutan
belukar dan yang diperdagangkan hanyalah daunnya saja, masyarakat menjualnya
di pasar-pasar tradisional, tradisi meminum daun kopi sudah sangat lazim di
kalangan masyarakat Minangkabau. Namun memasuki abad ke 18 kopi di
Minangkabau muncul sebagai komoditas perdagangan dan telah di perjualbelikan
di kota Padang dan para pedagang-pedagang Inggris dan Amerika pembeli utama
di daerah ini.64
Pemerintah Hindia-Belanda memulai hegemoninya mendapatkan kopi dari
penduduk di pantai barat Sumatera dan pemerintah Hindia-Belanda menyadari
62

Christine Dobbin. Op.Cit., hlm. 95.


Gusti Asnan. Op.Cit., hlm. 203.
64
Rusli Amran Op.Cit., hlm. 18.
63

42

tanaman kopi haruslah di manfaatkan semaksimal mungkin sebagai sumber utama


kas pemerintahan. Dengan perjanjian Plakat Panjang Belanda mengajak penduduk
di kawasan pedalaman untuk memperluas penanaman kopi serta menjual kopi ke
gudang-gudang milik Belanda. Semua perkebunan kopi di kawasan pedalaman
terutama dataran tinggi, di tingkatkan intensitas penanamannya beberapa
perkebunan kopi di Agam seperti Canduang, Malalak, Dama Gadang (Lubuk
Basung) dan di Batipuh, Sungai Jambu, Pariangan dan nagari Paninggahan Solok
di kawasan Tanah Datar, selanjutnya samapi ke daerah Limapuluh koto.65
Namun usaha pemerintah Hindia-Belanda ini tidak membuahkan hasil
seperti yang diharapkan, dikarenakan penduduk enggan menyerahkan kopi ke
pada pemerintah Hindia-Belanda, alasan utama ialah harga beli yang ditetapkan
oleh Belanda sangat rendah bila dibandingkan dengan para pedagang saudagarsaudagar asing.66Salah satu perkebunan kopi di nagari Paninggahan yang terkenal
dengan nama kopi Ulu, Pada areal seluas 1.050 Ha yang berada di ketinggian 700
900 m di atas permukaan laut, lereng bukit utara Danau Singkarak inilah
pertama kali kopi robusta diperkenalkan di Sumatera Barat.67 Cerita berawal pada
tahun 1826, saat Pemerintah Kolonial Belanda memulai program pembangunan
perkebunan kopi di Nagari Paninggahan untuk memenuhi kebutuhan ekspor.
Menanggapi
masyarakat Paninggahan
65

program
menawarkan

tersebut,

maka beberapa

untuk membangun

perkebunan

tokoh
kopi

Ahmad, Moerid Standaardschool, Tjita-Tjita Saja Kalau keloear dari kelas Landbouw
Standaarschool, dalam Surat Kabar Berita Kurai edisi1898, Arsip Koleksi Perpustakaan PDIKM
Padang Panjang, hlm 21.
66
Mestika Zed, Op.Cit., hlm. 87.
67
http://kiprahagroforestri.blogspot.com/2012/08/sejarah-panjang-kopi-ulupaninggahan.html. Diakses 8 Mei 2015.

43

rakyat, dimana kopi yang diproduksi nantinya dijual kepada Pemerintah


Kolonial Belanda. Dengan pertimbangan bahwa pembangunan perkebunan rakyat
lebih menguntungkan daripada membuat perkebunan pemerintah, baik dari
segi dana, tenaga maupun waktu, maka usulan ini disetujui oleh Belanda
sesuai dengan tawaran yang diajukan oleh masyarakat Paninggahan saat itu.
Pada

awal

daerah Paninggahan

program,

setiap

diwajibkan

pasangan yang

membuka lahan

baru
seluas

menikah
dua

di

hektar

untuk menanam kopi robusta pada areal hutan di daerah hulu (Ulu) perkebunan
kopi yang dibangun oleh masyarakat Paninggahan menghasilkan kopi robusta
berkualitas

tinggi, sehingga

pada

perkembangannya Pemerintah

Kolonial

Belanda melakukan monopoli terhadap hasil Perkebunan Kopi Ulu tersebut.


Datuk Bungsu, salah satu tokoh masyarakat di Paninggahan menuturkan Ketika
itu pemerintah

Belanda

melarang

keras setiap

masyarakat

untuk

memanfaatkan dan mengkonsumsi kopi dari hasil panen mereka sendiri.68Seluruh


biji kopi yang sudah dipanen, wajib diserahkan kepada Belanda. Masyarakat
Paninggahan hanya diperbolehkan memanfaatkan daun kopi saja kalau mereka
ingin merasakan minum kopi.
Masyarakat terpaksa minum kopi yang berasal dari daun kopi yang
dikeringkan. Kami menyebutnya kopi daun (Kawa Daun69) Hingga saat ini pun,
sebagian dari kami masih suka mengkonsumsi kopi daun. Akibat pelarangan
68

http://kiprahagroforestri.blogspot.com/2012/08/sejarah-panjang-kopi-ulupaninggahan.html. Diakses 26 April 2015.


69
Kawa Daun merupakan sebuah tadisi meminum daun kopi dengan menggunakan
batok kelapa yang telah di lakuakan oleh masyarakat Minangkabau sejak lama, dalam Mestika
Zed. Dilema ekonomi melayu padang, 2012.

44

tersebut, maka timbul reaksi penolakan masyarakat Paninggahan terhadap


keberadaan perkebunan kopi Belanda. Pada tanggal 21 Juni 1932,70 diadakanlah
rapat nagari yang dipimpin oleh tokoh masyarakat (ninik mamak) setempat
yang menghasilkan sebuah surat untuk ditujukan kepada Majelis Volksraad
di Batavia agar Perkebunan Kopi Ulu dikembalikan kepada masyarakat.
Dua tahun berselang, permintaan tersebut dikabulkan oleh Pemerintah Belanda.
Dari sepenggal cerita mengenai kopi di Nagari Paninggahan dapat kita
lihat bagaimana terbentuknya perkebunan kopi rakyat di daerah pedalaman
Minangkabau dengan kerja sama yang dilakukan dengan pemerintahan HindiaBelanda, namun hasil perkebunan yang dikelola rakyat tidak mau diberikan
sepenuhnya kepada Belanda karena sistem yang diterapkan yang memberatkan
rakyat.
b. Akasia
Tanaman ini di namakan oleh penduduk Pantai Barat Sumatera dengan
kayu manis, dinamakan demikian disebabkan rasa kulitnya yang manis dan harum
tetapi tanaman ini juga bernilai tinggi sebagai komoditas ekspor penduduk. Akasia
merupakan komoditas khas pantai barat sumatera, karena di Hindia-Belanda pada
waktu itu hanya Pantai Barat Sumatera yang menghasilkan akasia.71 Tanaman ini
selalu menempati posisi kedua setelah kopi sebagai ekspor dagang favorit di
Pantai Barat Sumatera.

70

http://kiprahagroforestri.blogspot.com/2012/08/sejarah-panjang-kopi-ulupaninggahan.html. Diakses 26 April 2015.


71
Freek Colombijn, Paco-Paco kota Padang, Penerbit: Ombak , 2006, hlm. 80.

45

Akasia yang tumbuh didareah pedalaman Minangkabau dan di daerah


bersuhu relatif dingin, sampai

abad ke 20 tanaman ini hanya ditemukan di

daerah-daerah yang terdapat di sekitar gunung Merapi, Singgalang di kawasan


Agam dan Tanah Datar. Namun setelah pemerintah memberi perhatian khusu
kepada tanaman ini maka penanamannya pun semakin meluas sampai ke daerah
Mandailing.72
Awalnya akasia bisa didapatkan di daerah hutan yang tumbuh dengan liar
di kawasan Agam, ketika permintaan untuk akasia ini meningkat penduduk mulai
membudidayakannya di kebun-kebun mereka. Yang paling disukai oleh
masyarakat dalam membudidayakan akasia ialah proses dalam pembudidayaannya
tidaklah rumit dan tidak memakan biaya yang banyak. Dengan menggali lobang
untuk bibit Akasia setelah itu para petani hanya perlu menyiangi dari semak atau
rumput liar,73 setelah itu petani diwajibkan membuang setiap ranting terbawah dari
pohon Akasia, ini bertujuan supaya akasia bisa tumbuh tinggi tanpa banyak
cabang.74
Daerah Agam yang diyakini sebagai asal tanaman ini dan seterusnya
menyebar ke arah Tanah Datar dan Lima Puluh Koto merupakan pilar penghasil
komoditas ini, perkebunan-perkebunan akasia yang terdapat di daerah Agam
seperi perkebunan di Pandai Sikek, Malalak, dan Canduang merupakan beberapa
daerah di Luhak Agam yang terkenal sebagai penghasil akasia, selanjutnya untuk
kawasan Tanah Datar beberapa daerah penghasil akasia yaitu Batipuah, Simabur,
72

Christine Dobbin, Op. Cit., hlm. 35-36.


Rismunandar, Kayu kulit manis, Budi Daya dan Pengolahan. 2001, Penebar Swadaya.
Depok. Hlm. 9.
74
Gusti Asnan, Op.Cit., hlm. 222.
73

46

Sungai Jambu, Rambatan dan Sunagi Tarab. Sedangkan untuk kawasan


Limapuluh Koto terkenal dengan daerah Mungka dan Suliki sebagai penghasil
Akasia yang diekspor ke pantai Timur Sumatera bersamaan dengan Gambir.
Mata rantai perdagangan komoditas ini dimulai dari petani yang
menjualnya kepada pedagang pengumpul di pasar-pasar, hampir semua saudagar
pengumpul ini adalah para saudagar-saudagar pribumi, dan selanjutnya para
saudagar pribumi menjualnya kepada saudagar besar di kota Padang.
c. Gambir
Tanaman Gambir merupakan ciri khas komoditas dari kawasan Lima
Puluh Koto, tanaman gambir menyukai daerah yang berbuikit-bukit. Penduduk
biasanya menanam tanaman ini di kaki-kaki dan lereng bukit yang kena cahaya
matahari pagi. Penanaman dan perawatan gambir membutuhahkan banyak tenaga
kerja dan juga membutuhkan organisasi untuk mengekspornya. 75 Banyaknya
tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pembudidayaan dan membutuhkan modal
yang besar juga pengorganisasian kerja untuk tahap penjualannya. Beberapa
nagari yang mengusahakan penanaman Gambir ini dengan teratur adalah
Sarilamak, Lubuak Tingko, Mungka, dan Halaban. Penduduk ke semua nagari ini
menjadikan penanaman Gambir sebagai mata pencaharian utama mereka.
Tanaman gambir juga dijadikan salah satu komoditas andalan Pantai Barat
Sumatera oleh pemerintah Hindia-Belanda ekspor gambir di tujukan ke Aceh,

75

Christine Dobbin, Op. Cit., hlm. 92-93.

47

Bengkulu, Jawa, Penang, India, Singapura dan Malaka, untuk proses ekspor
komoditas ini hampir seluruhnya dikuasai oleh saudagar besar Tiong Hoa.

d. Kopra
Sejak abad ke 19 daging kelapa telah diolah menjadi kopra, kopra ini
nantinya akan menjadi bahan dasar berbagai produk seperti sabun, margarine, dan
minyak. Kelapa tumbuh dengan baik hampir diseluruh kawasan Pantai Barat dan
pulau-pulau dilepas pantainya, kebanyakan penduduk Pantai Barat menanam
kelapa di kebun-kebun mereka dengan tidak beraturan tidak ada perhatian khusus
yang diberikan dalam membudidayakan tanaman ini. Kawasan Pariaman
merupakan penghasil terbesar kopra seperti beberapa daerah yang terkenal
Kiambang, Rimbo Bakung dan Buayan Jambak.
Penduduk Pariaman juga dikenal sebagai masyarakat yang memiliki
keahlian membuat minyak kelapa. Pembuatan minyak kelapa semakin besar
artinya ketika prasarana dan transpotasi pengangkutan minyak kelapa dari daerah
pantai ke pedalaman ditemukan. Prasarananya ialah pedati yang ditarik oleh
kerbau dan bambu sebagai wadah tempat minyak.76
Pengangkutan minyak dari pantai ke pedalaman dilakukan oleh para
saudagar pribumi. Arti perdagangan kopra semakin bertambang seiring dengan
dibukanya hubungan kapal langsung yang menghubungkan kota-kota di Pantai
76

Muhammad Saleh Datuk Orang Kaya Besar, Riwayat Hidup dan Perasaian Saja
(terj.& S.M. Latief), Bandung, 1933, hlm. 14.

48

Barat dengan Pulau Penang dan Singapura. Saudagar yang terlibat dalam kegiatan
perdagangan kopra mencakup pedagang pribumi, pedagang pengumpul dan
saudagar besar di kota pelabuhan. Pembangunan jalan kereta api yang di lakukan
Belanda dari Teluk Bayur ( Padang ) ke Naras (Pariaman) pada 1910 77 menjadikan
daerah Pariaman sebagai pengekspor utama kopra di kawasam Pantai Barat
Sumatera, daerah yang terkenal dengan penghasil kopranya ialah Kuraitaji, 78 yang
mana juga terdapat sebuah stasiun untuk mempermudah akses pendistribusian
kopra ke pelabuhan. Dan di desa ini jugalah Belanda membangun sebuah pabrik
minyak kelapa, sekarang daerah ini dikenal dengan nama kampung pabrik
walaupun pabriknya sudah tidak ada lagi.
Dapat dilihat bahwa komoditi kopra merupakan salah satu hasil produksi
yang penting bagi Belanda, dengan produksi dan penyulingan minyak kopra yang
di ekspor ke daerah Pantai Timur seperti Singapura, Penang, telah menunjukkan
betapa berharganya hasil alam Pantai Barat Sumatera pada masa itu, dan
hegemoni Belanda memonopolinya telah mendatangkan keuntungan yang
berlimpah untuk kas Negara Belanda.
Hal ini tak lepas dari kebijakan politik yang di terapkan oleh Belanda sendiri,
namun di satu sisi masyarakat di daerah penghasil kopra mempunyai intensitas
perekonomian yang tinggi dengan adanya pabrik penyulingan minyak yang dibuat
oleh Belanda. Minyak yang di produksi nantinya akan di distribusikan oleh

77
78

Gusti Asnan, Op. Cit., hlm. 140.


https://id.wikipedia.org/wiki/Kuraitaji, Nan, Sabaris, Pariaman. Diakses 23 Maret 2015.

49

pribumi ke daerah-daerah pedalaman (darek) dan ke pelabuhan yang selanjutnya


di ekspor ke Penang, dan Singapura.

BAB III
PERDAGANGAN AKASIA PADA MASA MALAISE
A. Daerah penghasil Akasia di pedalaman Minangkabau
1.

Kawasan Luhak Agam.


Kawasan Luhak Agam merupakan salah satu dari daerah yang terletak di

daerah pedalaman Minangkabau sebagai daerah inti (core region).79 Kabupaten


Agam memiliki garis pantai sepanjang 43 km dan sungai berukuran kecil yang
bermuara di Samudera Hindia, seperti Batang Agam, dan Batang Antokan. Di
kabupaten ini menjulang 2 gunung, yaitu gunung Marapi di kecamatan
Banuhampu dan gunung Singgalang di kecamatan IV Koto yang masing-masing
memiliki tinggi 2.891 meter dan 2.877 meter.80 Selain itu, membentang pula
sebuah danau di kecamatan TanjungRaya yaitu danau Maninjau yang memiliki
luas 9,95 km.
Daerah Agam yang memiliki daerah yang berbukit-bukit dan terjal serta
ditutupi oleh hutan yang lebat membuat daerah Agam memiliki cuaca yang dingin

79
Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi di
Minangkabau 1784-1874. Depok, (Komunitas Bambu, 2008), hlm. 5.
80
Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt, Tambo Minangkabau dan Adatnya, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1959), hlm. 2-3.

50

dan

sejuk

di

siang

hari,

akan

tetapi

kesempatan

masyarakat

untuk

menggantungkan kehidupan dengan mengandalkan usaha padi sawah sangatlah


sedikit tidak seperti daerah Luhak lainnya di Minangkabau.81Karena kondisi alam
Agam yang penuh dengan dataran tinggi yang terjal dan berbukit-bukit juga
mencerminkan watak masyarakat yang keras dan penuh persaingan.
Menanam tanaman muda merupakan salah satu cara masyarakat Agam
untuk menambah pendapatan ekonomi mereka, dengan menanam berbagai jenis
sayuran dan umbi-umbian, dan juga berbagai tanaman komoditi ekspor seperti
kopi dan akasia. Tanaman akasia dipercaya berasal dari Agam dan awalnya
tumbuh liar di kawasan hutan Agam seperti tumbuhan semak belukar, tanaman
akasia telah digunakan oleh mayarakat sebagai bahan obat-obatan dan juga
kebiasaan masyarakat menyeduh teh dengan kulit manis untuk menghangatkan
badan saat malam hari.
Tanaman akasia telah diperjual belikan dipasar-pasar tradisional di
kawasan Agam seperti pasar Matur, Pandai Sikek, dan Maninjau jauh sebelum
Belanda menguasai komoditas ini, namun memasuki abad IX tanaman akasia
mendapat perhatian yang besar dan

disukai oleh para pedagang besar di

pelabuhan disebabkan harga jualnya yang tinggi dan tidak memakan banyak
tempat. Lonjakan terhadap permintaan akasia terjadi pada akhir abad ke 19
sampai awal abad ke 20.82

81

http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Agam. Diakses 12 Maret 2015.


Berita, (Tanpa Penulis), Sedikit Pemandangan Tentang Hasil alam Minangkabau ,
dalam Surat Kabar Tani 1926, Arsip Koleksi PDIKM Padang Panjang, hlm. 17-22.
82

51

Dengan adanya permintaan yang tinggi untuk tanaman akasia asal


Minangkabau di pasaran Amerika dan Eropa, membuat masyarakat Minangkabau
memiliki kesempatan baru, dan mempunyai peluang usaha baru untuk terjun ke
dalam

perdagangan

international.Baik

itu

masyarakat

pedalaman

yang

memproduksi yang melibatkan anggota keluarga, maupun para petani-pedagangan


yang membawa akasia ke pelabuhan. Hal ini pun membuat masyarakat
Minangkabau memiliki alternatif perekonomian lain selain ekspor perdagangan
kopi.
Tabel berikut ini memberikan sedikit gambaran tentang permintaan
negara-negara Eropa dan Amerika akan akasia hasil masyarakat pedalaman
Minangkabau pada periode awal akhir abad IX.
Tabel Permintaan Accasia Sumatera Barat di pasaran Amerika Dan Eropa yang
Dikeluarkan dari Emmahaven (Telukbayur) perode 1926-1927
Negara

Jumlah

Amerika

2.400 Pikoel

Nethderland

1.200 Pikoel

Engeland (Inggris)

950 Pikoel

Denmarken

450 Pikoel

Duitschland

400 Pikoel

Sumber: Surat Kabar Tani Edisi 1926 Arsip koleksi Perpustakaan PDIKM Padang
Panjang.

52

Beberapa daerah di kawasan Agam telah menjadi pilar penting penghasil


akasia daerah-daerah seperti Malalak, Pandai Sikek, dan Candung, namun untuk
di daerah Malalak merupakan perkebunan akasia terbesar di pedalaman
Minangkabau dibawah controlir Hindia-Belanda, kawasan Malalak yang pada saat
itu masuk ke Onderdistrik IV Koto, dengan Demangnya

Salim Rajo Mudo.

Akasia yang dihasilkan dari perkebunan ini ialah Cinanmomum Burmanii yang
merupakan jenis tersendiri dan hanya terdapat di kawasan Sumatera Westkust,
yang memiliki tekstur kulit yang tebal dan aroma yang menyengat.
Selain di daerah Malalak, disebelah utara Agam juga terdapat perkebunan
akasia yaitu didaerah Kamang termasuk nagari-nagari Kamang Mudik, Kamang
Magek dan Tilatang.83daerah Kamang yang mempunyai kondisi geografis yang
berada pada dataran tinggi yang berbukit-bukit dan udara yang dingin dan sejuk
yang mana merupakan habitat asli tanaman akasia, hal inilah yang membuat
akasia yang berasal dari daerah Agam paling disukai di pantai barat Sumatera.
Yang membedakan hasil produksi akasia dari Agam dengan daerah lainnya seperti
Tanah Datar ialah, jika akasia yang berasal dari Agam mempunyai tekstur kulit
yang lembut, tebal dan tidak mudah patah.84Tercatat pada 1918 jumlah peroduksi
akasia yang dikeluarkan di kawasan Agam mencapai 950 pikoel per tahun, 85 dan
memasuki pertengahan tahun 1925 jumlah produksipun meningkat mencapai 2000
83

Berita, (Tanpa Penulis), Anak Negeri dengan Kulit Manisnya, dalam Surat Kabar
Tani 1927, Arsip Koleksi Perpustakaan PDIKM Padang Panjang, hlm. 5.
84
Ibid., hlm. 3-4.
85
D.W.R. Van Hoevell. Tijdschrift voor nederlandsch indie, 24 jaargang tweede deel,
hlm. 27 . Arsip Perpustakaan PDIKM Padang Panjang. Diterjemahkan oleh Jasa Penerjemah
Madani Alamat: Jatipadang Poncol No 11A -TB Simpatupang Jatipadang - Pasar Minggu Jakarta Selatan 12540 telp: 021- 302 307 45 Hp: 0812 12 947 047 / 0816 64 969
jasapenerjemahmadani@gmail.com.

53

pikoel dengan seiring tingginya permintaan dan minat pemerintah Hindia-Belanda


terhadap tanaman ini. Data berikut memberikan perkiraan gambaran jumlah hasil
produksi akasia di kawasan Afdeling Agam.
Jumlah
Jumlah Produksi

Tabel 4:
Hasil

produksi
No

Tahun

dalam
Pikoel

Akasia di
Afdeling
Periode
1928

dalam Hitungan
hitungan Kg

1918

950 pikoel

49.400 kg

1920

1.200 pikoel

62.400 kg

1922

1.350 pikoel

70.200 kg

1924

1.650 pikoel

85.800 kg

1926

2.000 pikoel

10.4000 kg

1928

2.200 pikoel

114.400 kg

9.350 pikoel

486.200 kg

Jumlah

Produksi
Kawasan
Agam
1918-

54

Sumber: Rekapitulasi Surat kabar Tani edisi 1925-1928 arsip perpustakaan Pusat
Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau Padang Panjang.
Dari data di atas dapat dilihat bagaimana selama periode 1918 sampai
1928 yang mana kurang lebih dari 11 tahun produksi akasia di kawasan Afdeling
Agam Mencapai 9.350 pikoel, dan jika dikalkulasikan satu pikoel orang dewasa
mencapai berat 52 kg86 maka total seluruh produksi yang dikeluarkan selama
periode tersebut mencapai 486.200 kg atau 486.2 ton. Namun sangat disayangkan
sekali peneliti tidak memiliki data berapa jumlah produksi akasia yang
dikeluarkan oleh kawasan Afdeling Agam pada masa krisis ekonomi Malaise.
Perdagangan akasia telah memberikan dampak sosial yang berbeda pada
masyarakat, perdagangan Akasia telah mendorong masyarakat Agam untuk terjun
langsung dalam percaturan perdagangan pasar dunia, daerah agam dengan ciri
khas komoditi akasia telah mendapat perhatian khusus baik dari pedagangan
Belanda, inggris dan Amerika di pantai barat Sumatera dan hasil produksi akasia
Agam pun mampu bersaing dengan hasil produksi dari negara lain seperti Cina,
Siam dan pulau Seylon.87
Jika dibandingkan dengan akasia yang berasal dari daerah pedalaman
dengan akasia yang didatangkan oleh Belanda dari pulau Seylon, yang kemudian
86

Padmo.Sugianto, Op. Cit., hlm. 72. Rata-rata berat 1 pikoel orang dewasa kurang lebih
mencapai 52kg, akan tetapi di beberapa daerah di Hindia-Belanda berat per pikoel ada yang
mencapai 55 kg.
87
Kabar Opisil Tentang Penghidupan Tarok Koelit Manis, dalam Surat Kabar Tani 1935,
Arsip Koleksi Perpustakaan PDIKM Padang Panjang, hlm. 7.

55

di budidayakan di Kebun Raya Bogor pohonnya memang tumbuh baik akan tetapi
kulitnya terlalu kuat melekat pada pohonya, sehingga untuk dipanen berupa
lembaran-lembaran panjang untuk memenuhi permintaan pasar sangatlah susah.
Berbeda dengan akasia yang berasal dari daerah pedalaman Minangkabau yang
mana kulitnya sangat mudah dilepaskan dari batangnya.88
2.

Kawasan Tanah Datar


Kawasan Luhak Tanah Datar dalam tambo merupakan titik awal

persebaran nenek moyang orang Minangkabau secara geografis wilayah


Kabupaten Tanah Datar terletak di tengah-tengah Provinsi Sumatera Barat, yaitu
pada 0017" LS - 0039" LS dan 10019" BT 10051" BT dengan ketinggian
rata-rata 400 sampai 1000 meter di atas permukaan laut.89 Kabupaten Tanah Datar
adalah daerah agraris lebih 70%

90

penduduknya bekerja pada sektor pertanian,

baik pertanian tanaman pangan, perkebunan. Masyarakat Tanah Datar yang


menggantungkan hidup dengan mengusahakan padi sawah hal ini disebabkan
kondisi tanah yang subur dan berada dilembah gunung merapi serta sedikit sekali
daerah yang berbukit yang terjal yang sangat jauh berbeda dari Agam juga
penduduk yang ramai dan komunikatif.

88

Van Aken, Catatan mengenai afdeling Kerinci dalam laporan dari biro untuk urusan
pemerintah dari daerah seberang lautan. Terbitan VIII 1915. Laporan Van Aken ini berisikan
tentang pembudidayaan Akasia di Kerinci, yang mana Akasia dari kerinci berasal dari daerah
pedalaman Minangkabau.
89
M. Natsir, Ekstraksi Informasi Penutup Lahan Daerah Kabupaten Tanah Datar, 2009,
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2009 (SNATI 2009), 20 Juni 2009, Yogyakarta,
ISSN 1907-5022.
90
M. Natsir, Op. Cit., hlm. 147.

56

Di daerah Tanah Datar akasia juga merupakan mata dagangan yang disukai
masyarakat disebabkan proses penanaman dan biaya perawatannya yang mudah
dan biaya yang dikeluarkan sedikit untuk memproduksinya. Walaupaun akasia
yang berasal dari kawasaan Tanah Datar tidak sebagus dari Agam namun tetap
diminati para pedaganng di pelabuhan terdapat beberapa daerah atau nagari yang
menjadi penghasil seperti Tanjung Alam yang berdekatan dengan Agam dan
Payakumbuh, nagari Tanjung Alam memiliki kondisi daerah yang berhawa sejuk
dengan tanah yang subur, sehingga untuk membudidayakan tanaman Akasia
bukanlah hal yang mustahil di daerah ini.
Selanjutnya nagari yang terletak dipinggang gunung merapi yaitu Sungai
Jambu, daerah sungai Jambu merupakan penghasil akasia terbesar di kawasan
Tanah Datar, di nagari Sungai Jambu tanaman akasia menghiasi setiap dataran
tinggi dan lembah-lembah anak sungai bahkan hampir seluruh hutan dari sungai
jambu sampai ke nagari paling ke utara yaitu Jambak Ulu ditutupi oleh tanaman
akasia.91 Selanjutnya sepanjang aliran batang Bengkawas yang bermuara ke danau
Ombilin nagari-nagari yang terkenal
dengan Lareh Nan Panjang92 terdapat beberapa nagari seperti
Galogandang, Padang Magek, Padang Luar, Turawan, Balimbiang, Bukit Tamasu,

91

https://mersi.wordpress.com/2007/08/07/sosial-budaya-minangkabau/. Diakses 28 Juni

2015.
92

Lareh Nan Panjang merupakan nagari-nagari yang berada di sepanjang aliran sungai
Bengkawas yang bermuara ke danau Ombilin, dan daerah ini berdiri sendiri akibat migrasi
penduduk dari pariangan dan padang panjang sudah terlampau ramai, dalam Dt. Sanggoeno
Dirajo, Ibrahim. 2009. Tambo Alam Minangkabau: Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang
Minang. Bukittinggi: Kristal Multimudia.

57

yang juga menghasilkan akasia, produksi akasia merupakan sesuatu yang wajib
bagi masyarakat disini selain tanaman padi, kopi, dan tanaman ekspor lainnya.
Sedangkan di kawasan Afdeling Tanah Datar pada tahun 1920 jumlah
produksinya mencapai 450 pikoel per tahun,93 memang kawasan Afdeling Tanah
Datar memiliki jumlah produksinya yang sedikit ketimbang Agam yang menjadi
No.

Jumlah Produksi dalam

Jumlah produksi

Hitungan Pikoel

dalam hitungan Kg

Tahun

1920

450 pikoel

23.400 kg

1922

950 pikoel

49.400 kg

1926

1.100 pikoel

57.200 kg

1928

1.400 pikoel

72.800 kg

3.900 pikoel

202.800 kg

Jumlah

daerah produksi utama akasia. Walaupun demikian kawasan Afdeling Tanah Datar
merupakan wilayah yang memiliki peran cukup besar dalam produksi akasia di
daerah pedalaman.Data berikut memberikan perkiraan gambaran jumlah prodkusi
akasia di kawasan Afdeling Tanah Datar.
Tabel 4
Hasil Produksi Akasia di Kawasan Afdeling Tanah Datar Periode 1920-1928
Sumber: Rekapitulasi Surat kabar Tani edisi 1925-1928 arsip perpustakaan Pusat
Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau Padang Panjang.

93

Ibid. hlm. 9.

58

Dapat juga dilihat bahwa selama hampir 9 tahun di kawasan Afdeling Tanah
Datar jumlah produksi akasia mencapai 3.900 pikoel atau setara dengan
202.800kg atau sama dengan 202.8 ton selama periode tersebut.
Selama abad 19 sampai abad ke 20 akasia merupakan komoditas dagang
terpenting di pantai barat Sumatera, kawasan Agam dan Tanah Datar di pedalaman
yang merupakan penghasil akasia selama periode terebut telah memberikan
dampak sosial-ekonomi yang beragam kepada masyarakat. Munculnya kelas
petani-pedagang yang memiliki fleksibelitas dan dinamis yang mana mampu
menjalani peran sebagai seorang petani dan ketika hasil produksi sudah siap
dipanen maka mereka akan pergi ke daerah pantai barat Sumatera untuk
memperdagangkan hasil-hasil produksi mereka.
Kelas petani-pedaganag ini umumnya memiliki eksistensi diri yang bebas
tanpa ada pihak yang mengekang, mereka bebas untuk berdagang dengan siapa
saja biasanya para petani-pedagang ini tidak akan mau berdagang dengan Belanda
atau pemerintah Hindia-Belanda. Mereka lebih suka berdagang dengan pedagang
swasta Amerika dan Inggris serta saudagar Tiong-Hoa di Padang maupun di
Pelabuhan. Jika menjual hasil produksi kepada Belanda mereka akan rugi dengan
harga yang rendah yang di tetapkan oleh Belanda.
B. Pola Perdagangan Akasia
1.

Pasar dan Proses Pendistribusian

59

Penduduk Minangkabau yang mendiami kawasan pantai barat Sumatera


maupun masyarakat yang ada di pedalaman menamakan pasar dengan istilah
Balai/Pekan

penamaan

ini

disebabkan

hari

pasar

yang

biasanya

diselenggarakan atau diadakan satu kali dalam seminggu di setiap nagari-nagari


yang berbeda, dan setiap nagari haruslah memeiliki pasarnya sendiri-sendiri. Pasar
di suatu nagari diadakan pada hari tertentu itulah yang disebut sebagai hari balai
atau hari pakan (Circulary Market). 94 Oleh karena itu pasar-pasar mingguan
tersebut sering juga disebut menurut hari pekannya, misalnya Pakan Senayan,
Pakan Kamih, Pakan Salasa, Pakan Rabaa, Sistem ini telah melahirkan kelompok
pedagang keliling yang melakukan aktivitas manggaleh babelok (berdagang
keliling). Mereka berdagang dari pasar ke pasar, dari Senin hingga Seninnya lagi.
Hari pasar dan suasana di pasar di nagari-nagari itu sering disebut dalam teks-teks
lisan Minangkabau seperti kaba dan pantun. 95
Berdasarkan perkembangannya, pakan terbagi atas dua jenis, yaitu pakan
ketek (kaciak) dan pakan gadang. Pakan ketek adalah pasar yang ruang lingkup
operasionalnya melibatkan penduduk setempat atau paling jauh nagari tetangga
yang terdekat. Pakan gadang merupakan pusat pasar bagi pasar-pasar kecil yang
terdapat di sekelilingnya. Selain melibatkan jumlah pedagang yang lebih banyak
dan lingkup geografis yang lebih luas, di Pakan Gadang juga terjadi interaksi
sosial yang lebih komplek.Salah satu diantara Pakan Gadang atau pusat pasar
yang terkenal pada abad ke-19 adalah Pasar Bukittinggi.96

94

Gusti Asnan, Op Cit., hlm. 195.


http://niadilova.blogdetik.com/index.php/archives/1470. Diakses 12 Juni 2015.
96
Zulqayyim, Boekittinggi Tempo Doeloe, Padang: Unand Press, 2006, hlm. 50-51.
95

60

Para pedagang yang datang membawa akasia pada tiap-tiap hari pasar
akan menjadikan pasar sebagai tempat pos-pos penampungan dan selanjutnya
proses pendistribusian akasia dilakukan oleh pedagang lain ke tempat
penampungan selanjutnya, dalam proses pendistribusian ini terjadi hubungan
sosial yang kompleks baik itu antara sesama pedagang pribumi maupun dengan
pedagang pengumpul yang kebanyakan etnis Tiong Hoa, para pedagang
pengumpul lebih senang menumpuk barang persediaan di gudang-gudang mereka
dan menunggu saat-saat yang tepat untuk menjual atau mengekspor ketika barang
benar-benar susah. atau

langka didapatkan di pasar, maka ketika terjadi

kelangkaan barang otomatis harga untuk komoditi akan mengalami lonjakan


harga, dan hal inipun juga berlaku untuk komoditas akasia.
Para saudagar yang berjualan di pasar merupakan saudagar keliling dan
para petani, yang menjual berbagai jenis komoditas pertanian serta menjual hasil
kerajinan rumah tangga. Hampir semua barang yang dibutuhkan oleh dunia luar
seperti kopi, akasia, gambir, lada dan lain-lain terdapat di pasar yang dibawa oleh
saudagar keliling maupun para petani yang memproduksinya sendiri lalu menjual
hasilnya ke pasar. Kondisi pasar umumnya terdiri dari beberapa los yang
beratapkan ilalang dan warung, dengan ciri khas sebuah batang beringin besar
yang berada di tengah-tengah pasar, biasanya dibawah batang beringin digunakan
oleh para parewa pasar untuk bermain sepak rago setelah kegiatan pasar selesai.
Untuk hasil komoditas ekspor akasia, para petani yang memproduksinya
biasanya menjual kepada saudagar pengumpul di pasar, terdapat beberapa pasar

61

sebagai tempat pos-pos penampungan di kawasan Agam yaitu, pasar di daerah


Maninjau, pasar Matur dan Pasar Bukittingi, di pasar Bukittingilah semua hasil
komoditas ekspor Agam dikumpulkan, dan dibawa ke pasar Padang Panjang
untuk selanjutnya dibawa ke pelabuhan dengan menggunakan kereta api melalui
jalur Anai Pass. Begitu juga halnya dengan kawasan Afdelling Tanah Datar, pasar
Batusangkar merupakan tempat pos penampungan terakhir dari komoditas yang
dihasilkan di kawasan Afdelling Tanah Datar, untuk selanjutnya di bawa ke pasar
Padang Panjang menuju pelabuhan melalui Anai Pass. Pasar Padang Panjang juga
merupakan tempat pos penampungan terakhir seluruh tanaman ekspor di kawasan
pedalaman Minangkabau, disebabkan akses yang mudah menuju kota pelabuhan
dengan menggunakan kereta api melalui Anai Pass, dan Belanda membangun
gudang-gudang yang berfungsi sebagai tempat penampungan di sekitar kawasan
pasar Padang Panjang.
Namun ada juga petani yang lebih suka mengantarkan komoditi sendiri ke
pelabuhan dengan menggunakan pedati, memang memakan waktu yang lama
akan tetapi mereka akan singgah di beberapa pasar di sepanjang jalan menuju
pelabuhan seperi pasar Koto Hilalang, Sicincin, Kayu Tanam dan Lubuk Alung.
Aktor yang bermain dalam proses pendistribusian di daerah pedalaman ini
mayoritas merupakan pribumi, nantinya akan dijual kepada saudagar besar di kota
Padang. Di pasar-pasar nagari, akasia juga merupakan mata dagangan yang sangat
laris selain kopi, dan lada akasia dapat ditemukan di pasar-pasar setiap daerah
yang menghasilkan komoditas ini.

62

Untuk kawasan Agam yang mana merupakan asal dari tanaman ini akasia
dapat ditemukan di pasar-pasar nagari seperti pakan Rabaa dan Sabtu di
Bukittinggi, Pasar Matur, dan pasar di daerah Pandai Sikek serta masih banyak
lagi pasar-pasar nagari lainya yang menjual tanaman akasia, sedangkan untuk
daerah Tanah Datar terdapat beberapa pasar-pasar nagari yang terkenal sebagai
tempat memperjualbelikan hasil komoditas ekspor terutama akasia, seperti pasar
Sungayang, Sungai Tarab, Pasar Simabur, Pasar Rambatan, Dan Pasar Belimbing
dan masih banyak sub terkecil dari pasar-pasar nagari yang memainkan perannya
sendiri-sendiri.
Pentingnya pasar Nagari sebagai wadah untuk menampung para saudagar
dan petani untuk mendapatkan akasia telah membuat mobilitas masyarakat petani
disetiap nagari untuk meningkatkan hasil produksi mereka, akasia yang menjadi
mata dagangan pilihan oleh masyarakat petani sebagai tanaman pendamping kopi,
disebabkan proses perawatan dan panennya tidak rumit dan tidak memakan
banyak tenaga kerja, dengan hasil keuntungan yang cukup besar itulah kenapa
membudidayakan akasia di sukai masyarakat di pedalaman.
2.

Jalur dan Jaringan Perdagangan


Jaringan perdagangan akasia dimaksudkan disini ialah proses sosial yang

terjadi ketika transaksi tukar-menukar barang antara para pelaku perdagangan


yang meliputi petani, saudagar pribumi, Timur Asing, dan Eropa, untuk
perdagangan akasia jaringan perdagangan dilakukan antara daerah pedalaman
dengan daerah pantai yang mana hubungan perdagangan ini telah lama dilakukan

63

di Minangkabau.97Para pedagang dari daerah pedalaman sangat terbantu dengan


adanya jalur kereta api Anai Pass dan Subang Pass yang menghubungkan ke kota
pelabuhan, selama akhir abad XIX dan awal abad XX jalur kereta api merupakan
hal yang sangat vital dalam proses pendistribusian berbagai hasil komoditas.
Namun ada juga para pedagang yang masih mempertahankan dan
mengikuti jalur-jalur kuno dari daerah pedalaman ke arah pantai Pariaman, Tiku
dan Padang98 kebanyakan para pedagang ini memiliki pedati untuk membawa
barang dagangannya, untuk diketahui bahwa sedikit sekali aliran sungai yang bisa
dilayari di daerah pedalaman Minangkabau menuju daerah pantai, maka jalanjalan setapak merupakan akses yang sangat penting bagi mereka.99
Untuk daerah kawasan Agam terdapat jalan-jalan dari Tiku lewat
Manggopoh dan menyusuri pinggir sungai batang Antokan dan juga
menghubungakn kawsan Matua,100 selanjutnya selain menggunakan kereta api,
juga terdapat ruas jalan Lembah Anai yang menghubungkan Pariaman dengan
Padang Panjang dan Tanah Datar.101 Para pedagang yang datang dari pedalaman
dengan menggunakan pedati yang ditrarik oleh kerbau akan lebih memilih jalur
ini.
Posisi daerah pedalaman Minangkabau yang berada ditengah-tengah
tentulah sangat menguntungkan dalam dunia niaga, para saudagar di pedalaman
97

Gusti Asnan. Op Cit., hlm. 144.


http://niadilova.blogdetik.com/index.php/archives/1470. Diakses 12 Juni 2015.
99
Christine.Dobbin, Op. Cit., hlm. 74.
100
Soetan Mansjoer Sri Maharaja, Manakah yang Lebih Berat Malaise Uang
atau Barang, dalam Oeteoesan Melaju, Arsip Koleksi Perpustakaan PDIKM, Padang Panjang,
hlm. 7.
101
Gusti Asnan, Op Cit., hlm. 300.
98

64

mempunyai dua akses pintu keluar bagi kegiatan dagang mereka yaitu Pantai
Barat dan Pantai Tmur, praktek dagang seperti ini telah dilakukan oleh saudagar
Minangkabu sejak lama. Memasuki awal abad ke 20 keterlibatan saudagar Eropa
dan Cina semakin bervariasi dan semakin intensif, hal ini tak lepas dari semakin
membaiknya sarana dan prasarana transportasi, perkembagan ini merupakan buah
dari kebijakan Pemerintahan HindiBelanda yang memberi kesempatan kepada
saudagar non pribumi sebagai Transportannemer.102

102
Transportannemer, merupakan pemilik alat transpotasi berupa pedati yang di bawa
oleh kuda maupun kerbau, yang disewakan kepada saudagar pribumi untuk digunakan membawa
barang dagangan ekspor dari daerah pedalaman ke kota-kota pantai, biasanya pemilik merupaka
saudagar besar Eropa dan Cina.

65

Peta.1 Peta Jalur Perdagangan Anai Pass dan Subang Pasdi Kawasan Pedalaman
Minangkabau (PadangscheBovenlanden)

Sumber : Internet, Arsip Digital minanglamo.blogspot.com


Dari peta di atas dapat dilihat jalan jalan kereta api yang
menghubungkan daerah pedalaman ke daerah kota pelabuhan Padang dan
Pariaman. Usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda iini dalam
meningkatkan jaringan perdagangan dengan daerah pedalaman sangatlah

66

menguntungkan bagi masyarakat Minangkabau juga meningkatkan geliat


ekonomi masyarakat. Berikut beberapa data tentang pembangunan jalan kereta api
oleh pemerintah Hindia-Belanda di Sumatera Westkust.
Tahun di
No.

Jalur Kereta

Panjang
bangun

Padang Ombilin

1889-1891

128 km

Pulau air Padang Panjang

1891

71 km

Padang Panjang Bukittinggi

1891

19 km

Padang-Padang Panjang-Solok

1892

53 km

Solok-Muaro Kalaban

1892

23 km

Padang-Teluk Bayur

1892

7 km

Teluk Bayur-Swahlunto

1894

95 km

Bukitting-Payakumbuh

1896-1906

75 km

1910-1921

55 km

Lubuk Alung-Pariaman-Sungai
9
Limau
Tabel 5: Pembangunan Jalan Kereta Api di kawasan Residentie
Sumatera Westkust periode Awal abad XX
Sumber: Zulfikri, Pembangunan rel dan Pengoperasian Kereta Api di Sumatera
Barat dalam Jurnal. Pdf, engantar pameran pembukaan dan peresmian museum
Kereta Api Sawahlunto pada 17 desember 2005.
Dengan semakin bagusnya prasarana transportasi darat maka sarana
transportasi yang digunakan pun semakin beragam, lebih baik dan cepat. Dengan
bertambah mudahnya akses menuju kota pantai maka semakin membuat

67

bergairahnya prekonomian masyarakat, para pedagangan dari pedalaman semakin


mudah untuk melakukan transaksi dagang dan semakin menambah mobilitas jiwa
saudagar mereka yang terkenal lihai dan cerdik, hal ini semakin membuka
kesempatan baru dalam dunia kewirausahaan Minangkabau pada abad ke IX dan
awal abad ke XX. Berikut ilustrasi bagaimana mata rantai dan proses pemasaran
hasil akasia.

Petani Produsen

Pedagang
(pengumpul di desa)

Pedagang Pengumpul
di kota

eksportir

Jaringan perdagangan akasia antara daerah pedalaman sebagai penghasil


komoditas ini dengan kota-kota pantai memiliki ikatan yang kuat, dengan adanya
jaringan perdagangan tanaman kasia sebagai mata dagangan baru yang mampu
mengimbangi tanaman ekspor utama kopi. Dan hal ini inipun tentunya
menyebabkan munculnya persaingan yang tajam di antarasesama saudagar, baik
antara sesama saudagar pribumi maupun Timur Asing dan Eropa, dengan

68

didukung oleh modal yang kuat, politik pemerintahan yang memberi banyak
kemudahan kepada saudagar Eropa dan Cina.
Maka peran saudagar pribumi dalam dunia niaga antara daerah pantai
dengan daerah pedalaman semakin memperkecil peranan saudagar pribumi dan
hanya sedikit sekali yang mampu bersaing dengan para saudagar Cina dan Eropa,
kecualai perdagangan kain didaerah selatan seperti Silungkang yang tetap di
pegang oleh saudagar Minangkabau. Sedangkan untuk komoditas ekspor utama
seperti kopi, akasia, gambir, pala hampir dikendalikan oleh saudagar Cina maupun
Eropa.
3.

Perdagangan Akasia dalam Masa Malaise


Telah disebutkan bahwa tahun 1930 merupakan puncak terjadinya krisis

ekonomi yang berskala internasional, tentu saja, bagi wilayah Hindia-Belanda


sangat terpukul dengan adanya krisis tersebut, karena banyak produksi yang
berorientasi ekspor sangat rentan terhadap siklus perdagangan. Hindia-belanda
yang merupakan negara agraris pada wakt itu termasuk wilayah yang
perekonomian utamanya didasarkan pada pengekspor bahan-bahan mentah,
disamping itu juga merupakan negara debitur, sehingga ketika terjadi krisis
ekonomi malaise, maka Hindia-Belanda lebih sensitif terhadap kemerosotan
ekonomi dibandikan negara-negara lain yang berdalam dalam kondisi yang
berbeda. Oleh karena itu, di Indonesia pada saat itu harga-harga produk ekspor

69

jatuh secara drastis, melebihi dari harga barang-barang impor. Akibatnya,


perbandingan harga-harga barang impor dan ekspor tidaklah seimbang.103
Seperti yang telah diketahui krisis ekonomi Malaise yang menyebabkan
jatuhnya harga jual terhadap berbagai tanaman ekspor di Hindia-Belanda
berdampak dengan terjadinya transformasi sosial-ekonomi masyarakat, hal ini
disebakan masyarakat Hindia-Belanda pada masa itu yang rata-rata bergantung
hidup dengan mengandalkan tanaman-tanaman ekspor seperti kopi, karet dan
gula. Daerah Sumatera Westkus yang merupakan salah satu kawasan yang banyak
mendatangkan keuntungan dalam hal tanaman ekspor bagi pemerintah HindiaBelanda, juga tidak lepas dari cengkaram maut krisis ekonomi malaise, tanaman
utama seperti kopi, gambir, pala, kopra dan karet mengalami penurunan harga
jual, masyarakat di pedalaman yang telah lama menggantungkan hidup mereka
dengan mengusahakan tanaman-tanaman ekspor mengalami goncangan ekonomi
yang hebat.
Tidak dapat dipungkiri depresi ekonomi memang benar-benar membuat
masyarakat tidak dapat berbuat banyak masyarakat merasa putus asa dengan hasil
komoditi

mereka,

selain

untuk

membiayai

produksi

yangsusah,

juga

membutuhkan modal yang cukup besar. Dalam kondisi yang semacam ini, tentu
saja rakyat tidak dapat berharap banyak kepada pemerintah Hindia-Belanda untuk
mengentaskan kesengsaraan. Kebijakan politik ekonomi Belanda yang dijalankan
satu pihak dengan cara melakukan penghematan secara besar-besaran dan disisi

103

Miftahuddin, Jurnal, Peranan kelas menengah pribumi dalam mengentasan kesulitan


ekonomi tahun 1930, (Yogyakarta 2010), hlm. 10.

70

lainya mempertahankan pendapatan ekspor terutama dihasil perkebunan, yang


hanya menambah kesengsaraan bagi rakyat.104
Pada masa-masa kritis ini harapan rakyat satu-satunya adalah kepada
golongan menengah para pedagang dan kaum intelektual atau juga kaum
pergerakan, kaum inilah yang banyak menolong kesengsaraan rakyat pada masa
depresi ekonomi ini, berbagai usaha untuk menyesuaikan diri dari kaum
pergerakan, antara lain dengan menjalankan politik kooperasi untuk membantu
dalam bidang ekonomi rakyat.105
Merosotnya perdagangan berdampak kepada masyarakat yang berada di
pedalaman yang menggantungkan hidup mereka dari hasil tanaman ekspor
mengalami kemiskinan, pengganguran, bahkan banyaknya terjadi aksi penjarahan,
perampokan. krisis ekonomi malaise yang menjerumuskan masyarakat kedalam
dilema sosial-ekonomi yang serba susah.
Perdagangan kopi yang mana sebelum depresi ekonomi malaise
memberikan keuntungan yang besar bagi masyarakat maupun pemerintah HindiaBelanda, hanya dalam sekejap mata jatuh nilai jualnya dan hal itu menyebabkan
menumpuknya jumlah persedian kopi, menumpuknya jumlah persedian kopi juga
disebabkan sistem eksploitasi masyarakat melalui kebijakan politik HindiaBelanda, bahkan masyarakatpun mengeringkan sawah-sawah mereka untuk
ditanami kopi.106
104

Sartono Kartodirjo. Op. Cit., hlm. 179.


Sartono Kartodirjo, Ibid.
106
A. Latif, Menjemaikan Benih Padi, dalam Surat Kabar Tani Edisi 1926 (Arsip:
Koleksi Pustaka PDIKM Padang Panjang ), hlm. 55.
105

71

Menumpuknya persedian kopi sehingga harga jual yang rendah, sedangkan


untuk proses perawatan dan pemetikan hasil panen membutuhkan tenaga kerja
dengan biaya yang sangat mahal, dan belum lagi ongkos pengiriman yang perlu
dikeluarkan oleh petani, sehingga membuat masyarakat putus asa dan tidak dpat
berharap banyak terhadap tanaman ini. Sawah-sawah yang dikeringkan dan
ditanami kopi telah dibiarkan begitu saja bahkan di tumbuhi oleh semak-semak
ilalang, dan banyak masyarakat yang kembali mengintensifkan tanaman
subsistensi seperti padi, kentang, ubi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Akan tetapi berbeda dengan tanaman akasia, akasia yang dibudidayakan
oleh masyarakat di pedalaman justru mendapat perhatian pada masa krisis
ekonomi Malaise, hal yang membuat ini terjadi ialah akasia sebelum ,malaise
merupakan tanaman yang sering di tanam oleh masyarakat di lereng-lereng kebun
kopi mereka sebagai tanaman pendamping, pada saat itu masyarakat hanya
terfokus kepada kopi yang harganya mahal. Namun justru ketika wabah malaise
melanda perdaganagn akasia mampu menjadi ekonomi alternatif bagi masyarakat
di pedalaman dan jika dibandingan dengan jenis tanaman eskspor lainnya tanaman
akasia lebih mudah proses memperusahakannya, bahkan akasia yang tumbuh liar
di hutan-hutanpun tak luput dari sasaran masyarakat untuk dipanen, 107 maka
dengan proses pemeliharaan dan memperusahakannya yang mudah dan harga
jualnya pun mampu melebihi kopi, kopra dan karet pada saat itu.

107

Berita, (Tanpa Penulis), Hasil Alam Minangkabau di Pasar Internasional, dalam


Surat kabar Tani edisi 1933, (Arsip PDIKM Padang Panjang), hlm. 55.

72

Komoditi akasia yang muncul sebagai alternatif ekonomi perdagangan


bagi masyarakat di pedalaman telah menjadi pembeda dalam kasus depresi
ekonomi malaise, seperti yang diketahui bahwa negara-negara produsen seperti
Hindia-Belanda yang menyuplai bahan mentah untuk keperluan industri ke
negara-negara maju di Eropa dan Amerika, sangatlah terpukul ekonominya di
akibatkan terjadinya krisis malaise dampaknya pun sangatlah jelas dengan turunya
harga terhadap hasil-hasil perkebunan untuk ekspor.
Namun tidak semua hasil komoditi yang dibutuhkan oleh beberapa
Negara-negar maju di Eropa dan Amerika mengalami penurunan permntaan, ini
disebabkan akasia yang berasal dari daerah Sumatera Westkust menjadi bahan
yang langka di pasaran, sedangkan akasia sangat dbutuhkan oleh masyarakat
eropa pada musim dingin, selain itu masyarakat Eropa yang memilik cita rasa
yang tinggi menjadikan akasia sebagai salah satu bumbu favorit mereka.
Mampunya akasia bertahan ditengah-tengah badai Malaise telah menjadi
nilai yang berharga bagi masyarakat, dan juga faktor daerah penghasil akasia yang
tidak merata dan terbatas juga merupakan hal yang menyebabkan akasia agak
susah di dapatkan di bandingkan tanaman-tanaman dagang lainnya. Namun disatu
sisi lainya tanaman akasia memiliki kendala yaitu lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk panen, membutuhkan waktu kisaran 6-8 tahun untuk bisa
memanen satu batang pohon akasia. Jadi akasia yang dipanen dan yang

73

diusahakan rakyat merupakan akasia yang ditanam dengan cukup lama di sekitar
lereng-lereng perbukitan di perkebunan kopi.108
Akasia yang ditanam di sekitar perkebunan kopi bertujuan sebagai
tanaman untuk pelindung kopi dari bahaya angin yang kencang yang bisa
membuat batang dan dahan kopi menjadi patah, 109 selain itu pohon akasia yang
tinggi juga dijadikan oleh masyarakat di pedalaman sebagai tanda batas tanah,
batas antara satu tanah perkebunan dengan pemilik lainya maka ditanam pohon
akasia sebagai pembatasnya. Ketika krisis malaise tejadilah perubahan nilai dan
fungsi dari tanaman tersebut, perdagangan akasia pada masa malaise merupakan
sebuah transformasi nilai sosial dan ekonomi masyarakat, dan juga merupakan
salah satustrategi untuk mempertahankan hidup bagi para petani dan pedagang.
Transformasi sosial dan ekonomi yang telah dilakukan masyarakat petani
dan pedagang dari produk akasia telah menunjukan munculnya kedinamisan
perorangan

masyarakat

untuk

memperbaiki

perekonomian,

dengan

ciri

individualitas yang meningkat dan bahkan tidak menutup kemungkinan adanya


pola pokir kapitalis yang muncul pada saat itu dalam diri masyarakat pedalaman.
Walaupun masih terikat dengan budaya orang Minangkabau. Kecendrungan orang
Minangkabau menjadi pedagang atau wirausahawan, jika dibandingkan dengan
masyarakat atau etnis lainnya yang mana lebih memilih berprofesi sebagai
pegawai, namun seorang Minang akan lebih memilih menjadi seorang pengusaha.
108

L. C. Westenenck, Iets over land en volk van Minangkabausche. 1912, hlm. 11, Arsip
Perpustakaan PDIKM Padang Panjang. Diterjemahkan oleh Jasa Penerjemah Madani Alamat:
Jatipadang Poncol No 11A -TB Simpatupang Jatipadang - Pasar Minggu - Jakarta Selatan 12540
telp: 021- 302 307 45 Hp: 0812 12 947 047 / 0816 64 969 jasapenerjemahmadani@gmail.com
109
Ibid.

74

Hal ini disebabkan mayoritas orang Minangkabau memiliki sifat yang


bebas dan tidak memiliki sifat yang cukup loyal untuk bekerja di birokrasi.
Lahirnya para pengusaha dan wirausahawan besar Minangkabau pada awal abad
ke 20 turut berperan dalam modernisasi Indonesia.110
Petani penanam yang sebelumnya hanya mengusahakan kopi di
perkebunan milik Pemerintah Hindia-Belanda, dan harus mematuhi segala
kebijakan politik ekonomi Hindia-Belanda seperti harus menjual hasil produksi ke
pemerintah Hindia-Belanda. Dan Pemerintah Hindia-Belanda juga mengatur
segala bentuk penanaman dan serta jumlah yang harus ditanaman, namun profesi
sebagai petani penanam tersebut berubah setelah revolusi ekonomi dalam diri
masyarakat Minangkabau terjadi, transformasi menjadi petani ke pedagang telah
memberikan kesempatan mempertahankan perdagangan dan merubah sosial
ekonomi masyarakat pedalaman dari produksi hasil akasia ini pada masa
malaise.111

Tabel 6
110

Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, Jakarta:
Balai Pustaka, 2006, hlm. 4.
111
Ibid.

75

Perbandingan harga komoditas ekspor di Pasar Padang pada masa malaise periode
1930-1935
Sumber: Rekapitulasi Surat Kabar Tani edisi 1930-1935. Arsip koleksi perpus1930

1931

1932

1933

1934

1935

Hasil
Jul

kom

Jan-

oditi

Jul -

Jan-

Jan-

Jul-

Jan-

Jul-

Jan-

Jul-

Jan-

Jul-

Jun

Des

Jun

Des

Jul

Des

Jun

Des

Jun

Des

Jun
Des

Aka19 f

18 f

18 f

14 f

16 f

15 f

17 f

16 f

17 f18 f

18 f

19 f

17 f

15 f

15 f

17 f

14 f

12 f

13 f

9f

9f

sia
14
Kopi

14 f

12 f

15 f

20 f

10 f

12 f

13 f

13 f

f
Gam

15
45 f

40 f

40 f

40 f

16 f

20 f

16 f

14 f

16 f

-bir

Kop9f

6f

7f

7 f

2f

4f

3f

6f

3f

25 f

20 f

17 f

17 f

16 f

6f

8f

8f

11 f

8f

ra
Ka-

13

ret

takaan PDIKM Padang Panjang.


Pada masa krisis malaise memang semua komoditas ekspor mengalami
penurunan harga, akan tetapi dari data-data di atas dapat dilihat pada masa krisi
Malaise harga akasia mampu menyaingi bahkan untuk beberapa periode melebihi
harga kopi, karet dan gambir yang menjadi mata dagangan utama sebelum krisis
Malaise melanda.
Dan

juga

dapat

dilihat

kenapa

masyarakat

lebih

memilih

memperdagangkan akasia dari pada tanaman lainnya, alasannya selain proses

76

pemanenan yang mudah dan untuk menjualnya pun juga tanpa memerlukan proses
produksi yang rumit serta tidak membutuhkan tenaga yang banyak, akasia juga
selalu dibutuhkan oleh negara-negara Eropa yang dingin dan Amerika sebagai
salah satu bumbu makanan yang menghangatkan suhu tubuh, dan juga bahan
campuran untuk minuman pada saat musim dingin. Kebutuhan khusus yang harus
dipenuhi oleh masyarakat di berbagai Negara Eropa dan Amerika menjadikan
akasia selalu dibutuhkan sebagai barang ekspor yang wajib, sementara di daerah
pedalaman untuk mendapatkan hasil produksi yang optimal akasia yang tumbuh
liar di hutan menjadi solusi masyarakat, jika persedian di perkebunan mereka
sudah habis.
Dengan hal ini banyak masyarakat di pedalaman pada masa itu yang
mencampur bahkan memalsukan hasil akasia dengan kulit Lawang, Madang yang
apabila kulitnya dijemur memiliki warna sama dengan kulit akasia. 112 Dalam hal
perdagangan ini berbuat curang kepada para tengkulak-tengkulak besar
merupakan ciri khas pedagang Minangkabau apalagi kalau para tengkulak orang
Tionghoa dan Eropa, ini tidak hanya terjadi pada akasia. Pada masa sebelum
malaise pun perdagangan kopi juga dilakukan dengan memasukkan batu-batu
kerikil dan tanah dengan tujuan agar berat kopi bertambah.113

112

Soetan Abd. Madjid, Permenoengan, dalam Surat kabar Tani, 1935. Arsip Koleksi
Perpustakaan PDIKM Padang panjang, hlm. 8.
113
Kolonial Tijdschrift, uitgegeven door de vereniging van ambtenaren Binnenlandsch,
1929, Arsip Perpustakaan PDIKM Padang Panjang. Diterjemahkan oleh Jasa Penerjemah
Madani Alamat: Jatipadang Poncol No 11A -TB Simpatupang Jatipadang - Pasar Minggu Jakarta Selatan 12540 telp:021 - 302 307 45 Hp: 0812 12 947 047 / 0816 64 969
jasapenerjemahmadani@gmail.com.

77

Perdagangan akasia pada masa malaise telah menjadi salah satu proses
pergeseran sosial dan ekonomi masyarakat, kehidupan masyarakat yang begitu
kompleks yang terus-terus di gempur berbagai macam modernitas telah
melahirkan jiwa atau mental yang ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik,
dan tujuan memperbaiki ekonomi sehingga berbagai macam alternatif dan jalan
keluar yang dilakukan dan diusahakan masyarakat dalam mempertahankan
perekonomian mereka merupakan hal yang wajib dihargai.114
D. Sosial Ekonomi Petani dan Pedagang Akasia pada Masa Malaise
Krisis ekonomi Malaise yang melanda seluruh dunia pada 1929 telah
memberikan dampak negatif kepada negara-negara jajahan, terutama HindiaBelanda yang mana sebagai penyuplai bahan mentah untuk keperluan industri.
Gejala krisis yang melanda berupa kelebihan produksi, di Hindia-Belanda selama
sepuluh tahun pabrik dan perusahaan perkebunan mengurangi aktivitasnya,
pengangguran besar-besaran dan terlebih lagi diperparah dengan tekanan dari
pemerintah kolonial Belanda.115
Jatuhnya hasil produksi masyarakat membuat ekonomi masyarakat yang
rata-rata menggantungkan hidup dengan hasil pertanian mengalami kemiskinan
dan banyak lahan pertanian yang tidak digarap dan di tinggalkan begitu saja,
begitupun juga dengan hasil produski yang tidak laku dan dibuang. Dalam kondisi
seperti itu, tentu saja rakyat tidak dapat berharap banyak kepada pemerintahan
Hindia-Belanda untuk mengatasi kesengsaraan. Bahkan sebaliknya, tindakan
114

Miftahuddin, Op. Cit., hlm. 5.


Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 19081945. 1994. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ofiset ), hlm. 85.
115

78

pemerintahan Hindia-Belanda hanya menambah kesengsaraan rakyat pribumi,


dengan kebijakan yang dijalankan sepihak dengan melakukan penghematan besarbesaran dan di pihak lain ingin mempertahankan hasil perkebuanan.116
Sementara itu, untuk mengatasi goncangan depresi ekonomi ini telah
timbul berbagai macam strategi untuk keluar dari kesulitan ekonomi baik dari para
petani dan pedagang di daerah pedalaman Minangkabau, banyak para petani telah
kembali beralih kepada tanaman subsistensi, dan para pedagang pun kembali
memutar otak untuk mengusahakan komoditas yang tidak membutuhkan modal
dan biaya yang besar, sementara hasilnya masih mampu diperdagangan dengan
layak, jawaban dari hal tersebut ialah akasia, akasia selama depresi ekonomi
melanda telah menjadi solusi ekonomi alternatif (Alternative Economy) bagi
masyarakat pedalaman di Minangkabau.
Alasan yang membuat petani memilih akasia, seperti yang telah
disebutkan bahwa daerah penghasil tanaman akasia di kawasan pedalaman
Minangkabau relatif terbatas, tanaman ini pun hanya ditemukan di lereng-lereng
perbukitan dan belum dibudidayakan secara intensif oleh masyarakat, sebelum
masa malaise
Hanya ditanam sebagai pendamping kopi bahkan juga sebagai tanda batas
tanah milik masyarakat atau kaum.117 Dengan modal murah dan tidak
membutuhkan proses panen yang rumit, tinggal di kuliti saja lalu di jemur dan
akasia pun siap di jual oleh petani ke pedagang penampung.
116

Sartono Kartodirdjo. Op. Cit., hlm. 179.


Soerat Kiriman dari Taloek Koeantan
Sumber :Arsip Pustaka PDIKM Padang Panjang.
117

Surat Kabar Pewarta Lintau, 1885,

79

Akasia memiliki masa produksi yang lama yang mana membutuhkan


waktu kisaran 6 sampai 8 tahun untuk siap di panen, jika akasia para petani telah
habis di kebun-kebun mereka maka para petani akan pergi ke hutan untuk
menebang Akasia liar yang banyak tumbuh di dalam hutan, dan setelah selesai di
kuliti kayunya pun juga bisa di manfaatkan untuk alat-alat perabotan rumah
tangga, dan juga bahan bakar memasak. Selain mengintensifkan tanaman
subsistensi, dengan memanfaatkan hasil akasia baik yang dibudidayakan sendiri
oleh para petani maupun akasia yang tumbuh liar di hutan-hutan, telah membantu
meringankan beban para petani di tengah-tengah kondisi yang sulit.
Para

pedagang

yang

memperdagangkan

komoditas

ekspor

juga

menjadikan tanaman ini sebagai pilihan, menggantikan tanaman kopi, karet,


gambir dengan akasia, seperti data-data yang telah disajikan diatas harga untuk
komoditi akasia pada masa malaise dapat menyaingi bahkan lebih tinggi dari
harga komoditas utama seperti kopi, gambir dan karet.
Dengan hal ini para pedagang lebih memilih untuk memperdagangkan
akasia. akasia telah masih memberikan kesempatan kepada para pedagang untuk
mengusahakannya di tengah-tengah krisis yang melanda, hal ini disebabkan
akasia masih diminati oleh masyarakat di Amerika dan Eropa sebagi bumbu
masakan pada musim dingin, dan juga daerah eropa bagian utara yang dingin,
dengan mengkomsumsi akasia dapat membuat dan menjaga suhu tubuh tetap
hangat. Di tengah-tengah kondisi ekonomi masyarakat yang carut marut
disebabkan oleh krisis ekonomi malaise telah melahirkan semangat masyarakat

80

untuk mempertahankan hidup dengan berbagai cara dan strategi, atau meminjam
konsepnya Emile Durkheim (kesadaran Organik) kelas golongan menengah
seperti pedagang mempunyai peran sosial sekaligus ekonomi mejalin solidaritas
dengan para petani, maupun dengan sesama pedagang ataupun dengan pedagang
etnis lainnya.118
Sebagaimana disebutkan bahwa pada awal abad ke XX dikebanyakan kota
di Hindia-Belanda telah muncul kebangkitan golongan borjuis pribumi, kelas baru
yang berasal dari pengusaha atau pedangan dan kaum cendekiawan yang
menguasai cakrawala kehidupan kota.119 Di Minangkabau

kelas petani, dan

pedagang pribumi sebagai kaum sosio-ekonomi menengah yang memiliki


semangat dan determinasi dalam mengentaskan krisis ekonomi Malaise, kelas
menengah yang terdorong untuk mengadakan gerakan dan tujuan mencapai
kemajuan, mengikuti perkembangan zaman, meningkatkan taraf hidup, dan yang
menjadi sangat penting ialah kesadaran akan memperluas kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan atau pendeknya ide mengemansipasikan diri.120
Munculnya kesadaran organik121 meminjam istilah Emile Durkheim, dari para
petani dan pedagang di pedalaman untuk keluar daru lilitan krisis Malaise telah
membangun sebuah hubungan sosial yang saling menguntungkan.
118

L. Laeyendeker, tata, perubahan, dan ketimpangan: suatu pengantar sejarah


sosiologi. 1999. Terj Samekto.S.S (Jakarta : Gramedia), hlm. 291.
119
Kuntowijoyo, Muslim Kelas Menengah Indonesia dalam Mencari Identitas, 19101950. 1985, (Jakarta: Prisma), hlm. 35.
120
Sartono Kartodirdjo. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan
Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jilid 2.( Jakarta: Gramedia), hlm. 100.
121
Dalam konsep solidaritas organik Emile durkheim, masyarakat dengan solidaritas
organik masing-masing anggota masyarakat tidak lagi dapat memenuhi semua kebutuhanya
sendiri, melainkan ditandai oleh saling ketergantungan yang besar dengan orang atau kelompok
lain. Solidaritas organik merupakan suatu sistem terpadu yang terdiri atas bagian yang saling
tergantung laksana bagian suatu organisme biologi. Berbeda dengan solidaritas mekanik yang
didasarkan pada hati nurani kolektif maka solidaritas organik didasarkan pada hukum dan akal.

81

Para petani di pedalaman Minangkabau masih berkesempatan untuk


memproduksi tanaman ekspor disamping mengusahakan tanaman subsistensi pada
masa malaise, sedangkan para pedagangan memiliki alternatif mata dagangan
yang menguntungkan, yang dimaksud menguntungkan disini dengan biaya modal
yang relatif sedikit untuk proses produksinya.
Terjalinnya solidaritas antara petani dan pedagang dalam memproduksi
dan memperdagangkan akasia telah melahirkan keinginan untuk keluar dari lilitan
krisis malaise, mencapai kemajuan baik secara ekonomi maupun moral dan
keinginan untuk mendapatkan pendidikan. Para petani di pedalaman mempunyai
simpanan dari hasil penjualan akasia mereka untuk membiayai pendidikan anak
mereka,122 sedangkan hasil dari tanaman subsistensi mencukupi untuk kebutuhan
pangan, sedangkan para pedagang menjadi kelas sosio-ekonomi yang berusaha
untuk mengentaskan krisis ekonomi malaise.
Dengan demikian seakan menyadari betapa melimpahnya karunia Tuhan
terhadap bumi Minangkabau, sehingga hal ini melahirkan suatu kelas baru yaitu
apa yang di sebut kelas menengah yang merupakan sebuah fenomena baru di
awal abad XX. Di daerah pedalaman Minangkabau, seperti yang dikatakan oleh
peneliti Belanda Elizabeth.E.Graves yang mana kelas ini merupakan cikal bakal
elite politik Minangkabau pada abad ke XX.
Jadi, ketimpangan ekonomi yang terjadi pada masa krisis ekonomi malaise
tidak menyurutkan niat masyarakat Minangkabau untuk menghentikan kegiatan
122

Berita, (Tanpa Penulis), Sedikit cara Tentang Perawatan Koelit Manis, dalam Surat
Kabar Tani, 12-17 Maret 1935, Arsip Perpustakaan PDIKM, Padang Panjang, hlm. 2.

82

berdagangnya, dan bahkan dengan keyakinan dan keinginan untuk keluar dari
himpitan krisis ekonomi malaise, telah memeberikan dampak yang hebat kepada
masyarakat Minangkabau. Khususnya para petani dan pedagangan. hal ini
semakin mempertegas kemahiran dan keahlian masyarakat Minagkabau dalam
dunia perniagaan yang terkenal cerdik yang tidak kalah dari pedagang dari etnis
lainnya.

BAB IV
KESIMPULAN
Krisis

ekonomi

malaise

yang

melanda

hampir

seluruh

dunia,

menyebabkan terjadinya kekacauan dalam bidang ekonomi, politik, dan juga


kesenjangan sosial dalam masyarakat, Malaise yang menghempaskan ekonomi
Negara-negara produsen seperti Hindia-Belanda yang mana sebagai penyuplai
bahan mentah untuk keperluan produksi. Masyarakat Hindia-Belanda yang

83

menggantungkan hidupnya dengan mengandalkan perdagangan international


seperti kopi, tebu, karet dan berbagai tanaman ekspor lainnya.
Sumatera Westkust atau juga disebut dengan Pantai Barat Sumatera yang
mana merupakan salah satu wilayah penghasil komoditas ekspor Hindia-Belanda
di kawasan ini tanaman kopi, akasia, gambir, karet dan kopra merupakan mata
dagangan andalan, sedangkan untuk komoditas akasia merupakan ciri khas dari
Pantai Barat Sumatera disebabkan tanaman ini hanya bisa di dapatkan di kawasan
ini. Ketika krisis ekonomi Malaise yang menjatuhkan harga komoditas
perdagangan ketika mata dagangan utama seperti kopi, karet dan sangat susah
untuk

diperjualbelikan

disebabkan

terjadinya

kelebihan

produksi

atau

menumpuknya jumlah persediaan disebabakan produksi yang bersifat eksplotatif.


Namun hal tersebut tidak terjadi dengan produksi akasia, hal ini
disebabkan untuk memproduksi akasia juga membutuhkan waktu yang lama tidak
sama dengan kopi yang bisa di panen dengan tentang waktu kira-kira 2-3.
Munculnya akasia sebagai ekonomi alternatif bagi masyarakat di pedalaman,
ketika harga untuk komoditas utama jatuh dan tidak bisa diperdagangkan, akan
tetapi akasia masih memberi harapan kepada masyarakat.
Mampunya akasia bertahan ditengah-tengah badai malaise telah menjadi
nilai yang berharga bagi masyarakat, dan juga faktor daerah penghasil akasia yang
tidak merata dan terbatas juga merupakan hal yang menyebabkan akasia agak
susah di dapatkan di bandingkan tanaman-tanaman dagang lainnya. Itulah
mengapa akasia disukai untuk memperdagangkannya selain proses untuk

84

mendapatkan dan menjualnya yang mudah nilai jualnya pun juga mampu
menyaingi kopi, gambir dan karet.
Dengan hal ini perdagangan akasia di Sumatera Westkust pada masa krisis
malaise telah mampu memberikan warna tersendiri dalam sosial-ekonomi
masyarakat Minangkabau di tengah-tengah depresi ekonomi yang melanda yang
sangat diidentikkan dengan jatuhnya komoditas ekspor, akan tetapi masyarakat di
pedalaman Minangkabau menemukan suatu cara untuk mempertahankan
perdagangan mereka, dan sekali lagi semakin menegaskan bahwa orang
Minangkabau memang dilahirkan untuk menjadi pedagang, juga keterampilan dan
kecerdikan masyarakat Minangkabau dalam dunia wirausahawan.

DAFTAR PUSTAKA
A. Arsip dan Dokumen
A. Latif, Menjemaikan Benih Padi, dalam Surat Kabar Tani Edisi 1926 Arsip: Koleksi
Pustaka PDIKM Padang Panjang.

85

Ahmad, Moerid Standaardschool: Tjita-Tjita Saja Kalau keloear dari kelas


Landbouw Standaarschool, dalam Surat Kabar Berita Kurai edisi 1898,
Arsip Koleksi Perpustakaan PDIKM Padang Panjang.
Aken, van, Catatan Mengenai Afdelling Kerinci, dalam Laporan dari Biro untuk
Urusan Pemerintah Hindia-Belanda. Terbitan VIII 1915.
Hagreis, B. J, Penerangan Tentang Penghidupan Kulit Manis, dalam Surat kabar Tani,
(Arsip Koleksi Perpustakan PDIKM Padang Panjang, 9-16 Februari 1931).

Hoevell, D.W.R. van, Tijdschrift Voor Nederlandsch Indie (Arsip Koleksi


Perpustakaan PDIKM Padang Panjang)

Kolonial Tijdschrift, Uitgegeven Door de Vereniging van Ambtenaren.


Binnenlandsch, 1929, Arsip Koleksi Perpustakaan PDIKM Padang
Panjang.
Soetan Abd. Madjid, Permenoengan, dalam Surat kabar Tani, 1935. Arsip
Perpustakaan PDIKM Padang panjang.
Soetan Mansjoer Sri Maharaja, Manakah yang Lebih Berat Malaise Uang atau Barang,
dalam Oeteoesan Melaju, Arsip Koleksi Perpustakaan PDIKM Padang Panjang.
Soetan Mansjoer Sri Maharaja, Manakah yang Lebih Berat Malaise Uang atau Barang,
dalam Oeteoesan Melaju, Arsip Koleksi Perpustakaan PDIKM Padang Panjang.

Surat Kabar Berita Kurai edisi1898, Arsip Perpustakaan PDIKM Padang Panjang.
Surat kabar Tani Edisi 1926, Arsip Perpustakaan PDIKM Padang Panjang.

86

Surat kabar Tani Edisi 1927, Arsip Perpustakaan PDIKM Padang Panjang.
Surat kabar Tani Edisi 1931 -1932, Arsip Perpustakaan PDIKM Padang Panjang.
Surat kabar Tani, tahun1933, Arsip Perpustakaan PDIKM Padang Panjang.
Surat kabar Tani edisi September 1935, Arsip Pustakan PDIKM Padang Panjang.
Surat Kabar Pewarta Lintauo, 1885, Sumber: Arsip Pustaka PDIKM Padang
Panjang.
Westenenck, L.C, 1912, Iets over land en volk van Minangkabausche. Arsip
Perpustakaan PDIKM Padang Panjang.
Yuliarni, pengusaha Muda Minang harus Berani, dalam Padang Ekspres, Minggu,
28 Desember 2008.
B. Jurnal
C. Sjafari Irvan, Bisnis dan Dimensi Sosial: Catatan Awal Tentang Kiprah
Wiraswastan Minangkabau di Ranah dan di Rantau 1910-1950, E-Jurnal
diakses 11 maret 2014.
Laila Kholid Alfirdaus, Politik Relasi Etnik, Matrealinialitas dan etnis Minoritas
Cina Di Padang Sumatera Barat, dalam Journal Komunitas, 2014.
Miftahuddin, Peranan kelas menengah pribumi dalam mengentaskan kesulitan
ekonomi tahun 1930, dalam Journal komunitas, Universitas Negeri
Yogyakarta.

87

Mestika Zed, Dilema Ekonomi Melayu dari Melayu kopi daun hingga kapitalisme
Global, esei, E-jurnal, diakses 1 februari 2015.
C. Buku
A. A. Navis, 1984, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan
Minangkabau, Jakata: Gafitipers.
Abdurrahman, 1982, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Jakarta:
Pradnya Paramita.
Ansal Afrisa, 2005, Sejarah Sosial Ekonomi Studi Tentang Kehidupan Petani
Kulit Manis Di Nagari Malalak Kabupaten Agam (1970-1999), Fakultas
Sastra. Universitas Andalas.
Colombijn, freek, 2006, Paco-Paco Kota Padang, Yogyakarta: Ombak.
Dobbin, Christine, 2008, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan
Padri di Minangkabau 1784-1847, Depok: Komunitas Bambu.
Dt. Ibrahim Sanggoeno Dirajo, 2009, Tambo Alam Minangkabau: Tatanan Adat
Warisan Nenek Moyang Orang Minang, Bukittinggi: Kristal Multimudia.
Graves, E. Elizabeth, 2007, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Gusti Asnan, 2007, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Yogyakarta: Ombak.

88

______, 2006, Pemerintahan Sumatera Barat Dari VOC Hingga Reformasi,


Yogyakarta: Citra pustaka.
Hadler, Jeffrey, 2010, Sengketa Tiada Putus: Matriakat, Reformisme Islam dan
Kolonialisme di Minangkabau, Jakarta: Freedom Institute Jakarta.
Hidayat, Bambang, 2004, Mosaik Pemikiran: Sejarah dan Sains untuk Masa
Depan, Bandung: Kiblat.
Idrus Hakim, 1984, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, Cet.
Ke-2, Bandung: Remadja Karya CV.
Kato, Tsuyoshi, 2005, Adat Minangkabu dan Merantau dalam Perspektif Sejarah,
Jakarta: Balai Pustaka.
______, 1986, Rantau Pariaman: Dunia Saudagar Pesisir Minangkabau Abad
XIX, dalam Akira Nagazumi, Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kuntowijoyo, 1985, Muslim Kelas Menengah Indonesia dalam Mencari
Identitas, 1910-1950, Prisma. [?].
Laeyendeker, 1999, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan Suatu Pengantar Sejarah
Sosiologi. Terj Samekto.S.S, Jakarta: Gramedia.
M. D. Mansyoer, Sedjarah Minangkabau, 1970, Jakarta: Bharata.

89

M. Natsir, Ekstraksi Informasi Penutup Lahan Daerah Kabupaten Tanah Datar,


2009, Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2009, 20 Juni 2009,
Yogyakarta, ISSN 1907-5022.
Marwati Poesponegoro, 1984, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai
Pustaka.
Mestika Zed, 2003, Kepialangan Politik Dan Revolusi Palembang 1900-1950,
Jakarta: LP3ES Indonesia.
Mochtar Naim, 1984, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yagyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Pratama Rahardja dan Mandala Manurung, 2008, Teori Ekonomi Makro: Suatu
Pengantar, Jakarta: Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia.
Reid, Anthony, 2011, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Ricklefs, M.C, 2005, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Rismunandar, 2001, Kayu Kulit Manis, Budi Daya dan Pengolahan, Depok:
Penebar Swadaya.
Rusli Amran, 1985,
Harapan.

Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Jakarta: Sinar

90

Sabar, 2006, Kebijakan Beras Pemerintah Belanda di Sumatera Barat Tahun


1930-1942, Padang: Andalas University Press. (Versi E-Book, diakses 16
juli 2014.)
Sartono Kartodirjo, 1999, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900, Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Sugianto Padmo, 2004, Bunga Rampai Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia,
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Suhartono, 1994, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo Sampai
Proklamasi 1908-1945, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Zulqayyim, 2006, Boekittinggi Tempo Doeloe, Padang: Unand Press.

E. Skripsi
Defi Afrianti, 2007, Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Kulit Manis di Kabupaten
Tanah Datar (1980-2000), Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Padang.

91

Khalmid Nuzul Afza, 1993, Kelas Menengah Minangkabau: Aspek Historis


dalam Novel Minangkabau Sebelum Perang Dunia Dua, Padang : Fakultas
Sastra jurusan Sejarah Universitas Andalas.
Novariani, 2007, Perkebunan Cassiavera Rakyat di Pulau Sungkar Kabupaten
Kerinci Provinsi Jambi (1970-2002), Fakultas Ilmu Sosial, Universitas
Negeri Padang
E.Internet
http://minanglamo.blogspot.com/2013/11/jejak-voc-di-sumatra-barat.html
http://tanahair.kompas.com/read/2013/01/14/16300795/Pantai.Barat.Sumatera
Kejayaan.Masa.Silam
http://sejarah.kompasiana.com/2013/04/22/bisnis-dan-dimensi-sosial-catatanawal-tentang-kiprah-wiraswastawan-minangkabau-di-ranah-dan-rantau1910-1950-an-549158.html
http://ranahberita.com/13131/antara-van-den-berg-dan-kampung-berok
https://mersi.wordpress.com/2007/08/07/sosial-budaya-minangkabau/
http://sastraminangmodern.blogspot.com/2012/09/gambaran-sosial-budayaminangkabau.html
http://www.pelaminanminang.com/artikel/sumatera-barat-pemberontak-yangtakluk.html

92

http://kiprahagroforestri.blogspot.com/2012/08/sejarah-panjang-kopi-ulupaninggahan.html

Lampiran 1. Surat kabar Tani 1930 fenomena krisis ekonomi Malaise terhadap
kondisi ekonomi masyarakat Minangkabau.

93

Lampiran 2. Surat kabar Tani terbitan tahun 1931-1932 fenomena krisis Malaise
dan dampak terhadap kondisi ekonomi masyarakat Minangkabau.

94

Lampiran 3. Surat kabar Tani 1931-1932 seruan bertanam kulit manis kepada
masyarakat Minangkabau pada masa Malaise.

95

Lampiran 4.

Surat Kabar Tani terbitan tahun 1934 berisikan pemberitahuan

manfaat kulit manis dan tata cara penanaman yang benar kepada masyarakat.

96

Lampiran 5. Surat kabar tani terbitan 1927 mengenai jumlah komoditas ekspor
yang dikeluarkan dari daerah pedalaman Minangkabau, dan keadaan harga kulit
manis di perdagangan dunia.

97

Lampiran 6. Surat kabar tani terbitan 1932-1933, fenomena malaise dan seruan
untuk bertanam kulit manis.

98

Lampiran 7. Kenaikan harga akasia pada masa malaise

99

Lampiran 8. Surat kabar Tani 1935 kulit manis dipalsukan oleh petani, salah satu
polemik perdagangan akasia pada masa malaise.

100

Lampiran 9. Surat kabar Tani 1940, berisikan tata cara dan perawatan tanaman
akasia.

101

Anda mungkin juga menyukai