Anda di halaman 1dari 11

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DAN

PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK


(Studi Kasus Pemekaran Kabupaten Kolaka Utara)

Muhammad Yahya
Universitas Sawerigading Makassar

Abstrak
Kondisi pelayanan publik pada wilayah pemekaran masih perlu terus ditingkatkan. Sosok
birokrat yang menjadi pelayan harus memiliki pendidikan, keterampilan dan pengetahuan
memadai. Modal keterampilan itu menjadi syarat mutlak menghadirkan birokrat profesional
dalam memberi pelayanan. Pemekaran suatu wilayah harus dibarengi kesiapan seluruh
komponen, termasuk masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana. Pengalaman
di beberapa wilayah pemekaran termasuk Kabupaten Kolaka Utara, pengisian posisi di struktur
birokrasi seringkali tidak lagi mempertimbangkan kompetensi dan kemampuan. Keterbatasan
kualitas sumber daya dan sarana serta prasarana lainnya, menjadikan harapan dari awal citacita mulia pemekaran, menyajikan kualitas pelayanan lebih berkualitas, agak lebih sulit
tersajikan.
Kata kunci: Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah- Pelayanan Publik

Pendahuluan
Reformasi politik ditandai jatuhnya rezim Ode Baru 1998. Perubahan tatanan
kehidupan politik itu, membawa implikasi sangat jauh dalam perjalanan berbangsa dan
bernegara. Pola hubungan dan komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah juga
mengalami perubahan sangat drastis dan luar biasa.
Pola paternalistik dan sentralistik sangat kuat di masa lalu, mengalami perubahan
sangat cepat. Regulasi dalam hubungan pemerintah pusat dan daerah,

juga

mengalami revisi sangat cepat. UU Nomor 5/1974 tentang pemerintahan di daerah,


diubah menjadi UU No.22/1999.
Regulasi baru pemerintahan di daerah lewat UU No.22/1999 itu memberi titik fokus
otonomi daerah pada pemerintah kabupaten dan kota. Pemberlakukan UU itu
menjadikan ketergantungan daerah tidak lagi sekuat seperti di masa lalu. Kabupaten

dan kota secara mandiri dan bebas untuk membangun dan meningkatkan kualitas
hidup dari rakyat.
Salah satu klausal dalam aturan baru pemerintahan di daerah itu, adalah, membuka
kesempatan

bagi daerah di tingkat provinsi, kabupaten dan kota untuk dilakukan

pemekaran.
Pemekaran di masa lalu seakan menjadi tabu politik, kemudian menemukan ruang
dan momentum di era reformasi . Kebijakan pemekaran menjadikan daerah yang
selama ini dari segi geo politik termasuk cukup luas, seakan berlomba untuk
memekarkan wilayahnya.
Kebijakan pemekaran di awal reformasi menjadikan beberapa daerah baru
bermunculan menjadi provinsi, kabupaten dan kota baru. Pemekaran didorong
percepatan terwujud, dengan mengemuka sentimen etnis, agama, wilayah dan alasanalasan yang lain.
Pemekaran wilayah sejatinya memotong rentang kendali pelayanan kepada
masyarakat. Seringkali jarak dan waktu menjadi hambatan jika ada urusan administrasi
pemerintahan harus diselesaikan masyarakat di pusat pemerintahan kota, kabupaten
dan provinsi.
Pemekaran daerah seperti kabupaten dipecah menjadi beberapa kabupaten
sebenarnya merupakan tindakan baik jika konsep awal dalam otonomi daerah
diterapkan, yakni dalam rangka pemerataan pembangunan daerah. Yang dikhawatirkan
malah sebaliknya dan akan menguntungkan beberapa kelompok dan golongan saja.
Hal itu dibuktikan ketika sudah mulai muncul wacana pemekaran daerah, muncul pula
beberapa tokoh politik, agama, masyarakat, pemuda, akademisi, militer dan pengusaha
seolah-olah ikut andil dalam proses pemekaran. (Bungaran Antonius Simanjuntak :105)
Pemekaran daerah menurut Bungaran, membawa implikasi positif dalam bentuk
pengakuan sosial, politik dan kultural masyarakat daerah. Melalui kebijakan pemekaran
entitas masyarakat yang mempunyai sejarah kohesivitas dan kebesaran yang panjang,
memperoleh pengakuan sebagai daerah otonom baru.
Kebijakan

pemekaran

juga

bisa

memicu

konflik

yang

pada

gilirannya,

menimbulkan masalah horizontal dan vertikal dalam masyarakat. Sengketa antara


pemerintah daerah induk dengan pemerintah daerah pemekaran dalam hal pengalihan

asset dan batas wilayah, seringkali berimplikasi pada ketegangan antar kubu
masyarakat dan antara masyarakat dengan pemerintah daerah.
Kebijakan pemerintah daerah mampu memperpendek jarak geografis antara
pemukiman penduduk dengan sentra pelayanan, juga mempersempit rentang kendali
antara pemerintah daerah dengan unit pemerintah di bawahnya. Disamping itu,
pemekaran juga memungkinkan untuk menghadirkan jenis pelayanan baru seperti
pelayanan listrik, telepon serta fasilitas urban lainnya terutama di wilayah ibukota
daerah pemekaran. (Bungaran Antonius Simanjuntak: 108)
Regulasi Pemekaran Wilayah
Percepatan pemekaran akan segera terwujud, kalau muncul elite dari masyarakat
yang mendorong pencapaian pemekaran. Elite itu memiliki kepentingan politik untuk
menempati posisi dan jabatan politik serta birokrat di wilayah baru.
Pasal 2 PP No.129 tahun 2000 menjadi rujukan, awal mulai dibukanya kran politik
pemekaran. Bunyi pasal itu mengatakan, pemekaran daerah bertujuan meningkatkan
kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan
pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi,
percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan
potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban serta peningkatan hubungan
serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Syarat pembentukan daerah berdasar, kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial
budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Prosedur pembentukan daerah sesuai PP No.129 tahun 2000
menyebutkan,

adanya

kemauan

politik

dari

pemerintah

daerah

pasal 16,
masyarakat

bersangkutan. Pembentukan daerah harus didukung oleh penelitian awal yang


dilaksanakan pemerintah daerah.
Usul pembentukan kabupaten dan kota disampaikan kepada pemerintah cq.
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi melalui gubernur dengan melampirkan hasil
penelitian daerah dan persetujuan DPRD kabupaten dan kota.

Memperhatikan usulan gubernur maka Mendagri dan Otoda memproses lebih lanjut
dan menugaskan tim melakukan observasi ke daerah yang hasilnya menjadi bahan
rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otoda. Berdasarkan rekomendasi Mendagri
dan Otoda , Ketua Dewan Pertimbangan Otoda dapat menugaskan Tim Tekhnis
Sekretariat Dewan Pertimbangan Otoda untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
Para anggota dewan pertimbangan Otoda memberikan saran dan pendapat secara
tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otoda. Berdasarkan saran dan pendapat
Dewan Pertimbangan Otoda usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat
anggota dewan pertimbangan otoda.
Apabila hasil keputusan anggota dewan pertimbangan otoda menyetujui usul
pembentukan daerah maka Mendagri dan Otoda selaku Ketua Dewan Pertimbangan
Otoda mengajukan usul pembentukan daerah kepada presiden. Apabila presiden
menyetujui usul dimaksud, rancangan UU pembentukan daerah disampaikan kepada
DPR RI untuk mendapat persertujuan.
Biaya pembentukan daerah pemekaran sesuai PP No.129 tahun 2000 pasal 18,
dikatakan, untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan

dan

kemasyarakatan, terhitung sejak diresmikannya pembentukan kabupaten dan kota yang


baru dibentuk, pembiayaan yang diperlukan pata tahun pertama sebelum disusun
APBD kabupaten dan kota yang baru dibentuk dibebankan kepada APBD kabupaten
dan kota induk, berdasarkan hasil pendapatan yang diperoleh dari kabupaten kota yang
baru dibentuk.
Pemekaran Kolaka Utara
Gagasan warga masyarakat yang tinggal di wilayah bagian utara Kabupaten Kolaka
membentuk satu kabupaten sudah ada sejak 1960-an. Kala itu sejumlah elite
masyarakat mendiskusikan dan mewacanakan membentuk satu kabupaten tersendiri
dengan melihat kualitas pelayanan masyarakat yang sangat sulit dan rentang kendali
cukup panjang dan berbelit-belit.
Masyarakat yang punya urusan administrasi pemerintahan dengan pemerintah
kabupaten di Kolaka, maka butuh waktu berhari-hari baru bisa sampai di pusat kota

dengan menggunakan perahu kecil. Kala itu sarana jalan darat sangat buruk dan
hancur.
Kondisi demikian menjadikan wilayah di bagian utama Kabupaten Kolaka, terisolasi
dan menjadi daerah buangan bagi aparat yang ditempatkan bertugas di wilayah
tersebut.
Setiap kali ada mutasi pejabat birokrasi di kabupaten induk Kolaka

dan aparat

tersebut ditempatkan di wilayah Kolaka bagian Utara, maka itu menjadi isyarat, orang
bersangkutan dibuang, karena alasan melanggar atau hukuman Sarana dan prasarana
pelayanan di wilayah itu sangat kurang dan terbatas. Akibat sarana yang minim, maka
kualitas pelayanan kepada masyarakat juga tidak maksimal dan malah membuat
masyarakat repot dan susah, karena terkadang harus menuju ke Kolaka dengan waktu
dan dana yang cukup besar dan memberatkan, harus dikeluarkan.
Reformasi tahun 1998 membawa angin segar dengan semakin menguatkan
tuntutan dan keinginan warga untuk merealisasikan gagasan tahun 1960-an, wilayah
utara menjadi sebuah kabupaten baru.
Gagasan lama pemekaran itu mendapat respon dan sambutan dari Gubernur
Sulawesi Tenggara (Sultra), Drs.H.Laode Kaimuddin ketika melakukan kunjungan kerja
ke Batu Putih, 8 Mei 1999 melantik Drs.Syamsu Bachri sebagai Kepala wilayah
Kecamatan Batu Putih.
Gubernur Sultra kala itu dalam sambutannya menegaskan kalau hari ini yang
dimekarkan adalah sebuah kecamatan, maka ke depan tidak menutup kemungkinan
wilayah ini dimekarkan menjadi sebuah kabupaten. Apalagi wilayah Provinsi Sultra
masih cukup luas dan terbuka peluang untuk dilakukan pemekaran, termasuk wilayah
utara Kolaka dapat diproses menjadi sebuah kabupaten yang baru (Moh Yahya
Mustafa dkk, hal 7).
Sejak isyarat politik pemekaran wilayah dilontarkan gubernur, maka mulai pula elite
dan tokoh masyarakat menyambut dan merespon sangat positif. Sejumlah elite
melakukan pertemuan formal dan informal untuk segera menjalani tahapan pemekaran
wilayah.
Diantara
memekarkan

sekian
wilayah,

banyak

elemen

melakukan

masyarakat

pertemuan

dan

yang

memiliki

sepakat

kepentingan

membentuk forum

pemekaran. Lembaga itu diberi nama Forum Pembentukan Kabupaten Kolaka Utara
(FPKKU), forum itu menjadi payung bagi seluruh anggota masyarakat dan kelompok
dalam memperjuangkan percepatan pemekaran Kabupaten Kolaka Utara.
FPKKU terbentuk dalam rapat akbar digelar 20 November 2000 di Lasusua. Forum
ini dipimpin ketua, H. Djafar Harun, S.Pd;

Sekretaris, Ir. Baso P dan

Bendahara,

Haeruddin Pawelloi. Anggota forum ini mencapai ratusan orang melibatkan hampir
seluruh elemen yang ada di tengah masyarakat. Animo masyarakat cukup besar ikut
dalam forum memberi isyarat kalau aspirasi untuk secepatnya menghadirkan
kabupaten baru semakin menguat.
FPKKU ini melakukan advokasi ke seluruh elemen masyarakat asal wilayah bagian
utara Kolaka baik yang tinggal did an di luar. Selain itu juga melakuikan komunikasi
dengan kabupaten induk. Selama dalam proses komunikasi dengan kabupaten induk,
cukup banyak dinamika dijalani oleh para pengurus forum. Keterbatasan dana dari
forum menjadi salah satu kendalam memperdepat proses dinamika dari kerja forum.
Walau dibatasi dana, tetapi semangat dan keinginan untuk secepatnya mekar
mempersatukan seluruh masyarakat.
Lewat FPKKU, tahapan demi tahapan pemekaran sesuai tuntutan dari regulasi
pemekaran berupaya dipenuhi. Studi kelayakan dibuat

dengan menyusun proposal

berisi potensi dari berbagai aspek yang memungkinkan wilayah itu dimekarkan.
Proposal yang berhasil disusun kemudian diajukan ke kabupaten induk, bupati dan
DPRD.
Perjuangan panjang mendapatkan rekomendasi dari bupati dan DPRD Kolaka
dijalani dengan segala suka dan dukanya. Lewat jalan damai dan demonstrasi juga
terus dilakukan dengan tujuan agar surat rekomendasi persetujuan

diperoleh dari

kabupaten induk.
Kerja keras tanpa mengalami kelelehan akhirnya berhasil, pada tanggal 14 Agustus
2001 fraksi-fraksi yang ada di DPRD Kolaka menyetujui persetujuan pemekaran
Kabupaten Kolaka Utara. Bupati Kolaka kemudian membentuk tim tehnis persiapan
pemekaran melibatkan elite birokrasi dan tokoh masyarakat asal Kolaka Utara yang
tinggal di Kolaka.

Rekomendasi dari Bupati dan DPRD Kolaka, menjadi bahan pertimbangan bagi
Gubernur dan DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, memberikan surat rekomendasi .
persetujuan untuk dimekarkan.
Gubernur Sultra La Ode Kaimuddin pada 12 Agustus 2002 memberi persetujuan
pemekaran calon kabupaten baru Kolaka Utara. Tiga hari kemudian 15 Agustus 2002,
DPRD Provinsi Sultra juga memberikan persetujuan untuk pemekaran.
Surat rekomendasi persetujuan gubernur dan DPRD Sultra ini kemudian dibawa ke
pemerintah pusat lewat Menteri Dalam Negeri dan Otoda. Proses berlanjut pada
pemerintah pusat, akhirnya tanggal 7 Januari 2004, Mendagri mensahkan kelahiran
Kolaka Utara menjadi salah satu kabupaten baru. Setelah sebelumnya dikeluarkan UU
Pemekaran Kolaka Utara No.29 Tahun 2003, tanggal 18 Desember 2003 ditantangani
oleh Presiden Megawati.
Mempersiapkan pemerintahan definitif, pemerintah menunjuk dr. Ansar Sangka,
selaku pelaksanan tugas bupati . Dokter medis ini dilantik pada tanggal, 21 Januari
2004. Sebelum terpilih bupati definitif, ditunjuk empat kali pelaksana tugas bupati yakni,
Drs.H.Kamaruddin, MBA, Drs.Djaliman Mady serta Drs.H.Andi Kaharuddin.
Masa transisi politik di kabupaten baru ini, berjalan sangat dinamis. Pilkada
dilaksanakan dalam dua putaran. Putaran pertama digelar 29 September 2005 dengan
calon bupati yang ikut bertarung sebanyak 6 paket calon.
Para calon bupati itu yakni, Rusda Mahmud Suhariah Muin dicalonkan PNBK
meraih suara sah 12.774 (23,98 %) ; Ansar Sangka- Abbas dicalonkan PKS dan
Pelopor suara diraih 11.070 (20,78 %); Bustam Safaruddin dicalonkan PDK, PDIP,
PIB, PSI, PNUI Merdeka, 9.926 (18,62 %) ; Muh Hakku Wahab-Zakaria dicalonkan
PAN suara diperoleh 8.911 (16.73 %) ; Sutan Harhara-Syamsul Ridjal diusung Partai
Golkar peroleh suara 5.477 (10,28 5) ; Syarifuddin Rantegau-Ilham Labbase peroleh
suara 5.115 (9,60 %) di usung PBR, PKPI, PKB, PKPB, PNI Marhaenisme, PPDI,
PBSD, PPD dan Patriot Pancasila.
Perolehan suara masing-masing calon dalam pilkada putaran pertama, tidak ada
mencapai 25 persen dari keseluruhan suara sah, maka pada tgl 19 Juni 2007 digelar
putaran kedua dengan dikuti dua calon yakni, Rusda Mahmud-Suharian Muin dengan
Ansar Sangka-Abbas. Hasil akhir menunjukkan pasangan Rusda dan Suharian Muin

meraih suara mayoritas, maka secara otomatis pasangan ini menjadi bupati definitif
pertama di kabupaten yang baru di ujung utara provinsi Sulawesi Tenggara ini.

Penyelenggaraan Pelayan Publik

Kabupaten baru Kolaka Utara, usai diresmikan kehadirannya diperhadapkan


dengan keterbatasan sumber daya manusia. Aparat birokrasi yang sangat dibutuhkan
guna memperlancar pelayanan kepada publik, jumlahnya sangat terbatas. Generasi
pertama birokrasi yang datang dari kabupaten induk berjumlah 11 orang ditambah
dengan 6 camat.
Para pegawai itu adalah modal utama pelaksana tugas bupati pertama Ansar
Sangka, yang diberi amanah mempersiapkan terpilihanya bupati definitif serta
menyempurnakan susunan birokrasi di kabupaten baru Kolaka Utara.
Mereka

para

birokrat

yang

menjadi

perintis

di

kabupaten

baru

yakni,

Drs.H.Burhanuddin, S; Drs.Syamsul Rizal; Drs. Wahyuddin; Drs. Ashar; Dra.Warda


Mahmud; Drs.Mansur, Sos, MH; Salawangeng, S.Pd; Drs. Alimus; Muh Firdang, dr.Hj.
Sufiati; Muh Idrus, S.Sos
Keputusan Bupati No.07/2004 tentang pembentukan organisasi ditetapkan,
perangkat daerah Kabupaten Kolaka Utara terdiri atas, 2 asisten yakni, bidang
pemerintahan dan ekbang serta bidang administrasi. Sekretaris Dewan serta delapan
kepala dinas.
Dinas yang dibentuk yakni; 1. dinas pendapatan daerah, 2. pendidikan kebudayaan
dan pariwisata.3. kesehatan KB dan kesejahteraan sosial. 4. PU dan perhubungan.5.
pertanian kelautan dan perikanan.6. perindustrian perdagangan koperasi tenaga kerja
dan penanaman modal.7. kehutanan perkebunan, pertambangan energi dan lingkungan
hidup. Serta kantor kependudukan dan catatan sipil serta kantor kesatuan bangsa dan
perlindungan masyarakat.
Organisasi birokrasi yang dibentuk pada awal memulai kabupaten baru beroperasi.
Kendala utama yang dihadapi adalah, kuranyanya sumber daya manusia yang dapar
mengisi posisi dan jenjang karier di struktur administrasi pemerintahan yang baru.

Keterbatasan birokrat karier dapat mengisi posisi tersebut, menjadikan bupati dan
pengambil kebijakan lainnya menempuh jalan pintas.
Beberapa jabatan tersebut diisi oleh sosok birokrat yang tidak sesuai dengan
peruntukan. Sejumlah guru dengan pangakat yang cukup tinggi, direkrut menjadi
pejabat guna mengisi strkutur yang harus berjalan, memberikan pelayanan publik
kepada masyarakat.
Para guru dengan kepangkatan cukup tinggi, diperhadapkan dengan persoalan
pengalaman admnistrasi pemerintahan berbeda dengan administasi pendidikan dalam
sekolah. Keterbatasan tenaga birokrat yang sesuai kompetensi dan kemampuan,
menjadikan, organisasi pemerintahan yang dibentuk di tahun pertama pemekaran,
berjalan kurang maksimal.
Selain keterbatasan sumber daya manusia, sarana dan prasarana perkantoran dan
fasilitas lainnya juga sangat terbatas. Beberapa kantor badan yang sudah terbentuk
strukturnya, karena keterbatasan lokasi dan tempat maka rumah-rumah penduduk
disewa untuk dijadikan kantor. Kekurangan sarana demikian menjadi kendala dan
tantangan bagi aparat yang sudah minim keterampilan untuk memberikan pelayanan
lebih maksimal kepada warga masyarakat.
Keterbatasan alat tulis kantor juga menjadi kendala utama di awal pemekaran.
Aliran listrik dari PLN juga kurang maksimal, dengan kebijakan pemadaman bergilir
menjadikan pelayanan kepada publik seringkali mengalami gangguan. Pemadaman
listik dilakukan bergilir siang dan malam. Ketika bertepatan pemadaman pada siang hari
maka pelayanan di kantor kurang maksimal diberikan kepada rakyat. Beberapa instansi
menggunakan genset guna mengantisipasi pemadaman, tetapi cara demikian juga
kadang kurang efektif apalagi bahan bakar juga kadang menjadi barang langka di
wilayah itu.
Mengisi posisi tenaga di kantor dinas dan badan yang sudah dibentuk, ada di
antaranya menggunakan tenaga honorer serta menarik sejumlah guru-guru senior
yang sudah cukup lama mengabdi mengajar anak-anak bangsa. Peralihan status para
guru tersebut, pada sisi lain membawa dampak pada proses pembelajaran di sekolah
tempat tugasnya.

Eksodus tenaga guru menjadi pejabat di struktur baru birokrasi kabupaten Kolaka
Utara, membawa implikasi cukup jauh terhadap proses pencerdasan anak-anak
bangsa, guna mendapatkan kualitas sumber daya manusia masa depan yang memiliki
daya saing.
Dominannya tenaga honorer dengan tingkat pendidikan SLTA dan S1 ditambah
miskin pengalaman, menjadikan pelayanan publik kepada warga masih sangat jauh dari
harapan masyarakat.
sebuah wilayah,

Realitas ini sekaligus memberi pertanda, kalau pemekaran

seharusnya dibarengi dengan kesiapan segalanya, termasuk

ketersediaan sumber daya manusia birokrat yang memiliki kualitas diri yang berdaya
saing.

Simpulan

Kondisi pelayanan publik pada wilayah pemekaran dirasa masih perlu terus
ditingkatkan. Sosok birokrat yang menjadi pelayan harus memiliki pendidikan,
keterampilan dan pengetahuan yang memadai. Modal keterampilan itu menjadi syarat
untuk menghadirkan birokrat profesional dalam memberi pelayanan.
Pemekaran suatu wilayah harus dibarengi dengan kesiapan seluruh komponen,
termasuk sumber daya manusia, sarana dan prasarana. Pengalaman di beberapa
wilayah pemekaran termasuk Kolaka Utara, pengisian posisi di struktur birokrasi
seringkali tidak lagi mempertimbangkan kompetensi dan kemampuan.
Keterbatasan kualitas sumber daya dan sarana serta prasarana lainnya,
menjadikan

harapan dari awal cita-cita mulia pemekaran, menyajikan kualitas

pelayanan lebih berkualitas, agak lebih sulit tersajikan.

Daftar Pustaka

Bungaran Antonius Simanjuntak, Otonomi Daerah, Etnonalionalisme, Dan Masa


Depan Indonesia, Yayasan Obor, Jakarta, 2011
Bobby Perdana Riza, Dinamika Politik dalam Implementasi Kebijakan Pemekaran
(Sengketa Aset Antar Kabupaten Pasaman Barat dengan Kabupaten Pasaman),
Jurnal Kebijakan Administrasi Publik, Magister Administrasi Publik Universitas
Gajah Mada, Vol II/No.2 (November 2007 Hal 185-202)
Joko Harmantyo, Pemekaran Daerah dan Konflik Keruangan, Kebijakan Otoda dan
Implikasinya di Indonesia, Makara Sain, Vol II/No.1 April 2007.
Moh Yahya Mustafa dkk, Jejak Pemekaran Kabupaten Kolaka Utara, Fahmis Pustaka,
Makassar, 2008
Profil Daerah Kabupaten Kolaka Utara, Buku Kerja 2011, Bappeda Kolaka Utara
Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah, Permata Pres
Bandung 2007

Anda mungkin juga menyukai