Apendisitis
Apendisitis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Apendisitis adalah suatu radang yang timbul secara mendadak pada apendiks
dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui. Apendiks
disebut juga umbai cacing. Apendisitis sering disalah artikan dengan istilah usus
buntu, karena usus buntu sebenarnya adalah caecum. Apendisitis akut merupakan
radang bakteri yang dicetuskan berbagai faktor. Diantaranya hyperplasia jaringan
limfe, fekalith, tumor apendiks, dan caceing ascaris dapat juga menimbulkan
penyumbatan.
Appendisitis dapat terjadi pada setiap usia, perbandingan antara pria dan
wanita mempunyai kemungkinan yang sama untuk menderita penyakit ini. Namun
penyakit ini paling sering dijumpai pada dewasa muda antar umur 10- 30 tahun. Satu
dari 15 orang pernah menderita apendisitis dalam hidupnya. Insiden tertinggi terdapat
pada laki-laki usia 10-14 tahun dan wanita yang berusia 15-19 tahun. Laki- laki lebih
banyak menderita appendisitis dari pada wanita pada usia pubertas dan pada usia 25
tahun. Appendisitis jarang terjadi pada bayi dan anak-nanak dibawah 2 tahun. Dari
berbagai penelitian yang telah dilakukan, obstruksi merupakan penyebab yang
dominan dan merupakan pencetus untuk terjadinya apendisitis. Kuman-kuman yang
merupakan flora normal pada usus dapat berubah menjadi patogen, menurut Schwartz
kuman terbanyak penyebab apendisitis akut adalah Bacteriodes Fragilis bersama
E.coli.
1.2
IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. A
Umur
: 12 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: -
Pendidikan
: Pelajar SMP
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Sumbersari II / 99
: Jawa
ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
berkurang setelah minum obat yaitu diberi obat antibiotik dan anti nyeri, nyerinya
kembali ketika obatnya habis. BAK lancar, tidak tersendat-sendat dan tidak
didapatkan darah pada air seni nya.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
-
Riwayat mondok
: disangkal
: disangkal
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
disangkal
: disangkal
Riwayat jantung
: disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
-
Riwayat merokok
: (-)
: disangkal
ANAMNESIS SISTEM
a.
Kulit
b. Kepala
c. Mata
d. Hidung
e. Telinga
f. Mulut
: sariawan (-), mulut kering (-), lidah terasa pahit (-), ngiler
(-).
g. Tenggorokan
h. Pernafasan
i.
Kadiovaskuler
j. Gastrointestinal : mual (+), muntah (-), diare (-), nafsu makan menurun (-),
nyeri perut (-), tidak bisa BAB (+).
k. Genitourinaria
: BAK lancar
l. Neurologik
m. Muskuloskeletal : kaku sendi (-), nyeri sendi (-), nyeri kaki (-), nyeri otot (-).
n. Ekstremitas
1.5
o Atas kanan
o Atas kiri
o Bawah kanan
o Bawah kanan
PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum: lemah, tampak kesakitan, kesadaran compos mentis (GCS
E4V5M6), kesan gizi cukup baik.
2. Tanda Vital
BB
: 50 kg
TB
: 155 cm
BMI
: 20 (Normo weight)
Tensi
: 110/60 mmHg
Nadi
: 128 X/menit
Pernafasan : 18 X/menit
Suhu
: 37,5c
3. Kepala:
Bentuk mesocephal, luka (-), rambut tidak mudah dicabut, keriput (-), makula
(-), atrofi m. temporalis (-), papula (-), nodula (-), bells palsy (-).
4. Mata:
Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+/+),reflek kornea
(+/+), warna kelopak (coklat kehitaman), arkus senilis (+/+), radang (-/-).
5. Hidung:
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), deformitas hidung (-),
hiperpigmentasi (-), saddle nose (-).
6. Mulut :
Bibir pucat (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), papil lidah atrofi (-), tepi lidah
hiperemis (+).
7. Telinga:
Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-), cuping telinga
dalam batas normal.
8. Tenggorokan:
Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-).
9. Leher:
JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-).
10. Toraks:
Simetris, bentuk normochest, retraksi interkostal (-), retraksi subkostal (-),
spider nevi (-), venectasi (-), pembesaran kelenjar limfe (-)
- Cor :I : ictus cordis tak tampak
P : ictus cordis tak kuat angkat
P : batas kiri atas
:SIC II linea para sternalis sinistra
batas kanan atas
:SIC II linea para sternalis dekstra
batas kiri bawah :SIC V 1 cm lateral linea medio clavicularis
sinistra
batas kanan bawah :SIC IV linea para sternalis dekstra
pinggang jantung :SIC III linea para sternalis sinistra (batas
jantung kesan tidak melebar
A : Bunyi Jantung III intensitas normal, regular, bising (-)
- Pulmo: Statis (depan dan belakang)
I : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
P : fremitus raba kanan sama dengan kiri
P : sonor/sonor
+
+
+
11.
palmar eritema(-/-)
akral dingin
oedem
ulkus
N
N
N
N
RF
2
2
2
2
RP
Kesadaran
Afek
: appropriate
Psikomotor
: normoaktif
Proses pikir
: bentuk :realistik
Insight
isi
arus
:koheren
: baik
:
:
:
:
PEMERIKSAAN PENUNJANG:
Tanggal 28-9-2012
Hematologi:
Item periksa
Hasil pemeriksaan
Hemoglobin
15,5
12-16
g/dl
Leukosit
14.900
4-10
ribu/mm3
Trombosit
197.000
150-400
ribu/mm
LED
2-20
mm/jam
PCV/HCT
49,5
37-48
Eritrosit
6,00
4,0-5,5
juta/mm3
1-3
0-1
2-6
84
50-70
20-40
2-8
Tanggal 29-9-2012
Faal Hemostasis:
Item periksa
Hasil pemeriksaan
Nilai normal
satuan
Waktu perdarahan
1-3
menit
Waktu pembekuan
12
9-15
menit
1.8
RESUME :
Sejak kurang lebih 3 hari yang lalu pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah
WORKING DIAGNOSA
Appendisitis akut
1.10
DIAGNOSA BANDING
a. Appendisitis
b. Urolithiasis
c. Colitis
10
Penderita sebaiknya tidur yang cukup 6-8 jam setiap harinya dan tidak
memaksakan diri dalam melakukan aktivitas sehari- hari agar luka bekas
operasi cepat kering dan tidak menimbulkan luka baru.
c. Mengurangi stres dan beban pikiran
Mengurangi/menghindari stres dengan lebih mendekatkan diri kepada
allah dengan menyerahkan segala sesutunya kembali pada allah.
d. Pemberian nutrisi:
banyak makan-makanan yang mengandung protein dan banyak minum air
Medikamentosa Post-Op:
infus RD5 (Ringer Dextrosa) 1500 cc / 24 jam
Ceftriaxon 2 x g iv
Ranitidin 2 x amp iv
Ketesse/Antrain 3 x 25 mg (1 cc) iv
B comp 1x1 po
Amociclav 2x1 po
Mefinal 2x1 po
1.13 FOLLOW UP
Tanggal 28 September 2012
S: pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah
O: KU lemah, tampak sakit sedang, composmentis, GCS 456, gizi kesan cukup
Tanda Vital : T: 110/70 mmHg
RR: 18x/menit
N: 80x/menit
BB: 50 kg
TB: 155 cm
S: 37,5c
BMI: 20 (normo weight)
11
RR: 18x/menit
N: 80x/menit
BB: 50 kg
TB: 155 cm
S: 37c
BMI: 20 (normo weight)
RR: 18x/menit
N: 80 x/menit
BB: 50 kg
TB: 155 cm
S: 37c
BMI: 20 (normo weight)
RR: 18x/menit
N: 80 x/menit
BB: 50 kg
TB: 155 cm
S: 37c
BMI: 20 (normo weight)
12
RR: 18x/menit
N: 94 x/menit
BB: 50 kg
TB: 155 cm
S: 37c
BMI: 20 (normo weight)
RR: 20x/menit
N: 88 x/menit
BB: 50 kg
TB: 155 cm
S: 37c
BMI: 20 (normo weight)
RR: 20x/menit
S: 36,5c
13
BB: 50 kg
TB: 155 cm
: An. A
Tanggal
28-9-12
Vital sign
T : 110/70
BB/TB
50/155
BMI
Keluhan
20
nyeri perut
N : 80x/mnt
29-9-12
30-9-12
kanan bawah
01-10-12
medikamentosa,
RR: 18x/mnt
terapi nonmedika
S : 37,5c
mentosa (diet)
T : 100/60
Rencana operasi.
Terapi
50/155
20
nyeri post op
N : 80x/mnt
medikamentosa,
RR: 18x/mnt
terapi nonmedika
S : 37c
T : 110/70
50/155
20
mentosa (diet)
Nyeri post op Terapi
N : 80 x/mnt
mulai
medikamentosa,
RR: 18x/mnt
berkurang
terapi nonmedika
S : 37c
4
Rencana
Terapi
T : 110/80
20
bed rest.
Nyeri post op Terapi
N : 80x/mnt
mulai
medikamentosa,
RR: 18x/mnt
berkurang
terapi nonmedika
S : 37c
14
02-10-12
T : 110/80
50/155
20
N : 94x/mnt
03-10-12
berkurang
04-10-12
medikamentosa,
RR: 18x/mnt
terapi nonmedika
S : 37c
T : 110/80
50/155
20
N : 88x/mnt
bed rest.
Nyeri post op Terapi
bed rest.
Nyeri post op Terapi
berkurang
medikamentosa,
RR: 20x/mnt
terapi nonmedika
S : 37c
T : 120/80
50/155
20
bed rest.
Keluhan nyeri Terapi
N : 92x/mnt
RR: 20x/mnt
tidak ada
S : 36,5c
terapi nonmedika
mentosa (diet dan
bed rest. Pasien
boleh pulang.
1.15
PROGNOSIS
Dengan diagnosis dan pembedahan yang cepat, tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Angka kematian lebih tinggi pada anak dan
orang tua. Apabila appendiks tidak diangkat, dapat terjadi serangan berulang. Pada
pasien ini prognosis baik.
15
BAB II
IDENTIFIKASI FUNGSI- FUNGSI KELUARGA
2.1
No
Nama
Status
L/P
Pasien
Ket
Klinik
1.
Tn. N
Ayah
40 th
SMA
swasta
Ayah
2.
Ny. S
Ibu
35 th
SMA
IRT
Ibu
3.
An. A
Anak
15 th
SMP
Pelajar
4.
Ny. P
Nenek
Bentuk Keluarga
2.2
P
55 th
SD
: Extended Family
Pasien
Appendisitis
Nenek
FUNGSI HOLISTIK
1. Fungsi Biologis
16
FUNGSI FISIOLOGIS
APGAR Terhadap Keluarga
An. A
Tn. N
Ny. S
Ny.P
masalah
Saya puas dengan cara keluarga saya
membahas
dan
membagi
masalah 2
dengan saya
Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan
merespon
emosi
saya
seperti
sama
10
10
10
10
17
2.4
Hampir selalu
: 2 poin
Kadang kadang
: 1 poin
Economy
Kesimpulan :
18
GENOGRAM :
Tn.
N
Ny.S
An.
A
Keterangan:
Laki- laki
Perempuan
meninggal
Pasien
2.6
An.
A
Tn.M
Ny.K
19
Keterangan:
: Berhubungan Baik
BAB III
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN
3.1
3.2
20
2. Pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, praktek, dokter, apotik, dan lain
sebagainya tergolong dekat dengan rumah keluarga An. A, sehingga
keluarga mudah mendapatkan pelayanan medis yang baik dan tepat.
Keluarga pasien memperhatikan kesehatan antar keluarganya apabila ada
yang sakit langsung dibawa berobat.
3. Keturunan
Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit yang diturunkan.
Lingkungan : rumah
cukup memenuhi syarat
kesehatan
Pengetahuan:
keluarga cukup
memahami penyakit
penderita
Sikap: keluarga cukup
peduli terhadap
penyakit penderita
Keluarga An.
Ny. A
T
Keluarga
Keluarga An.
Ny. A
T
Keluarga
Tindakan: keluarga
mengantarkan An.A
untuk berobat
Faktor Perilaku
Faktor Non Perilaku
Keturunan : tidak
didapatkan sakit pada
keturunan.
Pelayanan Kesehatan :
Jika sakit An. A ke
dokter praktek
21
BAB IV
IDENTIFIKASI LINGKUNGAN RUMAH
4.1
sudah menggunakan keramik. Rumah ini terdiri dari enam ruangan yaitu ruang tamu,
3 kamar tidur, satu dapur dan satu kamar mandi. Rumah ini mempunyai dua pintu
untuk keluar masuk (di bagian depan). Keluarga ini sudah mempunyai fasilitas MCK
keluarga dan fasilitas air dari PDAM. Ventilasi udara masih cukup tedapat 5 jendela
dengan lubang ventilasi untuk pertukaran udara.
4.3
Denah Rumah
P
e
k
a
r
a
n
g
a
n
Kamar
Mandi
Dapur
Kamar
Tidur III
Ruang Tamu +
ruang nonton TV
Halaman depan
Kamar
Tidur II
Kamar
Tidur I
22
4.4
Daftar Masalah
a. Masalah medis
Appendisitis Akut
b. Masalah non medis
Status perekonomian menengah kebawah.
c. Diagram permasalahan
An. A
Masalah Medis
Status perekonomian
mengengah kebawah
sehingga mempengaruhi kesehatan pasien
23
BAB V
PEMBAHASAN
5.1
Pengertian Apendiks
Apendiks atau umbai cacing adalah suatu organ yang terdapat pada sekum
yang terletak pada proximal colon. Apendiks dalam bahasa latin disebut sebagai
Appendiks vermiformis, ditemukan pada manusia, mamalia, burung, dan beberapa
jenis reptil. Apendiks pada awalnya dianggap sebagai organ tambahan yang tidak
mempunyai fungsi tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai
organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobin (Ig-A)
walaupun dalam jumlahkecil. Apediks berisi makanan dan mengosongkan diri secara
teratur ke dalam sekum.Karena pengosongannya yang tidak efektif, dan lumennya
kecil, apendiks cenderungmenjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi.
Apendisitis
adalah
peradangan
dari
apendiks
vermiformis,
dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang lakilaki berusiaantara 10-30 tahun.
5.2
Anatomi
Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira
10cm dan berpangkal pada sekum, tepatnya di daerah perbatasan dengan usus ileum
kuadran kanan bawah. Apendiks memiliki lumen sempit dibagian proximal
danmelebar pada bagian distal. Saat lahir, apendiks pendek dan melebar
dipersambungan dengan sekum. Selama anak-anak, pertumbuhannya biasanya
berotasi ke dalam retrocaecal tapi masih dalam intraperitoneal. Pada apendiks
terdapat 3 tanea coli yang menyatu dipersambungan caecum dan bisa berguna dalam
menandakan tempat untuk mendeteksi apendiks. Posisi apendiks terbanyak adalah
24
5.3
Fisiologis
Fungsi
appendiks
pada
manusia
belum
diketahui
secara
pasti.
25
5.4
hyperplasia folikel
limfoid,
5.5
26
ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan
rupture.
Faktor Bakteri: Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi
memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi
feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan
adalah kombinasi antara Bacteriodesfragililis dan E.coli, lalu Splanchicus,
lacto-bacilus, Pseudomonas. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi
adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%.
Kecenderungan familiar. Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi
yang herediter dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang
tidak baik dan letaknya yang mudahterjadi apendisitis. Hal ini juga
dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalamkeluarga terutama dengan diet
rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith danmengakibatkan
obstruksi lumen.
Faktor ras dan diet: Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola
makanan sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah
serat mempunyai resiko lebih tinggi dari Negara yang pola makannya banyak
serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah
merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara
berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan
rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.
Faktor infeksi saluran pernapasan: Setelah mendapat penyakit saluran
pernapasan akut terutama epidemi influenza dan pneumonitis, jumlah kasus
apendisitis ini meningkat. Namun, hati-hati karena penyakit infeksi saluran
pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala permulaanapendisitis.
5.6
Patofisiologi
Obstruksi lumen Appendiks adalah titik awal munculnya gangren atau perforasi
appendisitis. Walau bagaimanapun pada beberapa kasus appendisitis yang dini lumen
27
appendiks masih utuh walaupun sudah ada inflamasi mukosa dan hiperplasia limfoid.
Agen infeksi seperti virus (terbanyak) akan mengawali respon inflamasi pada lumen
appendiks yang sempit sehingga timbul obstruksi luminal. Obstruksi dengan sekresi
mukosa yang terus menerus dan eksudat inflamasi akan meningkatkan tekanan
intraluminal, ini akan menghambat aliran limfa. Luminal Capacity Appendic adalah
0.1ml, bila sekresinya 0.5ml. Mukosa dari appendiks mempunyai sifat khusus dimana
ia masih dapat menghasilkan sekresi pada tekanan yang tinggi sehingga distensi dari
lumen akan terus meningkat. Distensi ini akan merangsang ujung saraf viseral yang
mensarafi appendiks sehingga muncul nyeri. Nyeri awalnya dirasakan pada umbilikal
dan kwadran bawah epigastrium dengan nyerinya yang tumpul dan difus. Nyeri ini
dirasakan pada umbilikal karena persarafan appendiks berasal dari Thorakal 10 yang
lokasinya pada umbilikal. Maka nyeri pada umbilikal merupakan suatu reffered pain.
Distensi dari appendiks juga akan meningkatkan peristalsis usus sehingga
menimbulkan nyeri kolik. Distensi appendiks dengan mukus ini dikenali dengan
Mucocele Appendiks. Selain faktor-faktor ini kuman komensal dalam appendiks
yang bermultiplikasi juga akan meningkatkan distensi dari appendiks. Pada kondisi
ini resolusi dapat terjadi dengan spontan atau dengan antibiotik. Apabila
penyakitnya berlanjut, distensi appendiks yang semakin bertambah ini akan
menyebabkan obstruksi vena dan iskemia pada dinding appendiks.Tekanan dalam
lumen yang semakin meningkat akan meningkatkan tekanan vena dan menyebabkan
oklusi venula dan kapiler, tetapi aliran arteriol tidak terganggu sehingga akan
menimbulkan kongesti vaskular appendiks. Kongesti ini akan menimbulkan refleks
nausea dan muntah diikuti dengan nyeri viseral yang semakin meningkat. Selanjutnya
apabila serosa dari appendiks mulai terganggu ,diikuti dengan kehadiran Muscularis
Hiatus dan peritonitis lokal, akan menimbulkan gejala nyeri alih ke kuadran kanan
bawah. Bila invasi dari bakteri bertambah dalam, akan muncul gejala-gejala demam,
takikardia dan leukositosis akibat absorbsi toxin bakteri dan produk dari jaringan
yang mati. Peritonitis merupakan komplikasi yang sangat di kwatirkan pada
appendicitis akut. Peritonitis terjadi akibat migrasi bebas bakteri melalui dinding
appendiks yang iskemik, perforasi gangren appendiks atau melalui abses appendiks
28
Apedisitis Infiltrat yang Fixed: Perforasi yang terjadi pada daerah ganggren
sehingga nanah dan produksi infeksi mengalir ke dalam rongga perut dan
menyebabkan peritonitis generalisata serta abses sekunder. Bila mekanisme
pertahanan tubuh cukup baik, tubuh berusaha melokalisir tempat infeksi
tersebut dengan cara membentuk walling off oleh omentum, usus halus,
sekum, kolon dan peritoneum, yaitu membentuk gumpalan masa phlegmon
29
yang melekat erat satu dengan yang lainnya. Dalam keadaan ini tubuh berhasil
melokalisir daerah infeksi secara sempurna.
Apendisitis Abses: Bila masa lokal yang terbentuk berisi nanah.
Apendsitis Kronis: Jika apendisitis infiltrat menyembuh dengan adanya gejala
hilang timbul.
5.7
Gambaran Klinis
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun
tidak oleh rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis merupakan nyeri
visceral di daerah epigastium di sekita umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual
dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri
akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc.Burney, disini nyeri akan dirasakan lebih
tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang
tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah
terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien
mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.
Bila apendiks terletak retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya
terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak
ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri
timbul saat berjalan, karena kontraksi otot polos psoas mayor yang menegang dari
dorsal. Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan
gejala
dan
tanda
rangsangan
sigmoid
atau
rectum
hingga
peristaltik
meningkat, pengosongan rectum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika
apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi
kencing, karena rangsangan dindingnya. Pada beberapa keadaan, apendisitis agak
sulit di diagnosis sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi.
a. Pemeriksaan
30
akut
dan pemeriksaan
didiagnosis
fisik,
memudahkandiagnosis
dan
klinis
secara
klinis
pemeriksaan
apendisitis,
dengan
penunjang
para
klinisi
anamnesis
Untuk
telah
lebih
berhasil
31
Dari tabel di atas dapat ditarik kesimpulan dengan menjumlah setiap skor,
kemudian kemungkinan diagnosis apendisitis adalah berdasarkan pembagian interval
nilai yang diperoleh tersebut.
1. Skor >8 : Berkemungkinan besar menderita apendisitis. Pasien ini dapat
langsung diambil tindakan pembedahan tanpa pemeriksaan lebih lanjut.
Kemudian perlu dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan patologi anatomi.
2. Skor 2-8 : Tingkat kemungkinan sedang untuk terjadinya apendisitis. Pasien
ini sebaiknya dikerjakan pemeriksaan penunjang seperti foto polosabdomen
ataupun CT scan.
3. Skor <2 : Kecil kemungkinan pasien ini menderita apendisitis. Pasien ini tidak
perlu untuk di evaluasi lebih lanjut dan pasien dapat dipulangkan
dengancatatan tetap dilakukan follow up pada pasien ini.
5.8
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan apendisitis akut meliputi terapi medis dan
terapi bedah. Terapi medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai
akses ke pelayanan bedah, dimana pada pasien diberikan antibiotik. Namun sebuah
penelitian prospektif menemukan bahwa dapat terjadi apendisitis rekuren dalam
beberapa bulan kemudian pada pasien yang diberi terapi medis saja. Selain itu terapi
medis juga berguna pada pasien apendisitis yang mempunyai risiko operasi yang
tinggi. Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan sebagai terapi
awal berupa antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada absesnya. The Surgical
Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik profilaks sebelum pembedahan
dengan menggunakan antibiotik spektrum luas kurang dari 24 jam untuk apendisitis
non perforasi dan kurang dari 5 jam untuk apendisitis perforasi. Penggantian cairan
dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik adalah pengobatan pertama yang
utama pada peritonitis difus termasuk akibat apendisitis dengan perforasi.
32
di
infus
secara
cepat
untuk
mengkoreksi
hipovolemia
dan
mengembalikan tekanan darah serta pengeluaran urin pada level yang baik.
Darah di berikan bila mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara
bersamaan.
2. Antibiotik Pemberian antibiotik intraven diberikan untuk antisipasi bakteri
patogen, antibiotik initial diberikan termasuk gegerasi ke 3 cephalosporins,
ampicillin sulbaktam, dll, dan metronidazol atau klindanisin untuk kuman
anaerob. Pemberian antibiotik postops harus di ubah berdasarkan kulture dan
sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan sampai pasien tidak demam dengan
normal leukosit. Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik
serta pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan pembedahan sebagai terapi
definitif dari appendisitis perforasi. Perlu dilakukan insisi yang panjang
supaya mudah dilakukan pencucian rongga peritonium untuk mengangkat
material seperti darah, fibrin serta dilusi dari bakteria. Pencucian cukup
dengan larutan kristaloid isotonis yang hangat, penambahan antiseptik dan
antibiotik untuk irigasi cenderung tidak berguna bahkan malah berbahaya
karena menimbulkan adhesive (misal tetrasiklin atau provine iodine), anti
biotik yang diberikan secara parenteral dapat mencapai rongga peritonium
dalam kadar bakterisid. Tapi ada juga ahli yang berpendapat bahwa dengan
penambahan tetrasiklin 1 mg dalam 1 ml larutan garam dapat mengendalikan
sepsis dan bisul residual, padakadar ini antibiotik bersifat bakterisid terhadap
kebanyakan organisme. Walaupun sedikit membuat kerusakan pada
permunkaan peritonial tapi tidak ada bukti bahwa menimbulkan resiko
perlengketan. Tapi zat lain seperti iodine tidak populer. Setelah pencucian
seluruh cairan di rongga peritonium seluruh cairan harus diaspirasi.
33
3. Terapi
bedah
meliputi
apendiktomi
dan
laparoskopik
apendiktomi.
metodetersedia
untuk
pengangkatan
apendiks,
seperti
dectrocauter,
endoloops, staplingdevices.
34
Komplikasi
Komplikasi
yang
paling
sering
ditemukan
adalah
perforasi,
baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
pendindingan sehingga berupa masa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum dan
keluk usus. Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang
ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat serta meliputi seluruh perut dan
perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut
mungkin dengan pungtum maksimum di regio iliaka kanan, peristaltik usus menurun
sampaimenghilang karena ileus paralitik kecuali di regio iliaka kanan, abses rongga
peritoneum bisa terjadi bilamana pus yang menyebar bisa dilokalisir di suatu tempat.
Paling sering adalah abses rongga pelvis dan subdiafragma.
5.10 Prognosis
Bila ditangani dengan baik, prognosis apendiks adalah baik. Secara
umumangka kematian pasien apendiks akut adalah 0,2-0,8%, yang lebih berhubungan
dengan komplikasi penyakitnya daripada akibat intervensi tindakan.
35
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN KOMPREHENSIF
6.1
Kesimpulan holistik
Diagnose holistic: An. A (12 tahun) adalah penderita appendisitis akut, tinggal
dalam extended family dengan kondisi keluarga yang harmonis. Status perekonomian
pasien menengah kebawah, cukup dalam kebutuhan sehari-hari. Lingkungan keluarga
yang cukup sehat dan merupakan anggota masyarakat biasa dalam kehidupan
kemasyarakatan yang mengikuti beberapa kegiatan dilingkungannya.
1. Segi biologis
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
didapatkan hasil, bahwa An. A (12 tahun) adalah penderita appendisitis,
tinggal di lingkungan yang cukup memenuhi kesehatan.
2. Segi sikologis
Tn. N memiliki APGAR score 10 menunjukkan hubungan antar keluarga
yang baik. Diantara keluarga apabila ada salah satu anggota keluarga yang
sakit semua saling memperhatikan.
3. Segi sosial
Keluarga ini merupakan anggota masyarakat biasa yang mengikuti acara
di lingkungannya, dan hubungan antar tetangga juga baik.
6.2
Saran komprehensif
1. Promotif :
tentang
penyakit
appendisitis
(gejala
klinis,
penyebabnya,
36
2.
Preventif :
Pasien untuk sementara tidak di perbolehkan makan makan pedas dalam dietnya.
3.
Kuratif
Pre-op (tanggal 28 september 2012)
Infus: Infus RL (Ringer Lactat ) 20 tpm
Injeksi: Antrain 3x1 amp iv
Amoxan 3x amp iv
Profenid supp
Post-op (tanggal 29 september 4 oktober 2012)
Infus: RD5 (Ringer Dextrosa) 1500 cc / 24 jam
Injeksi: Ceftriaxon 2 x g iv
Ranitidin 2 x amp iv
Ketesse 3 x 25 mg
B comp 1x1 po
Amociclav 2x1 po
Mefinal 2x1 po
4. Rehabilitatif
37
DAFTAR PUSTAKA
Price, Silvya A., Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Edisi6. Jakarta: EGC.
Sudoyono, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sjamsuhidajat,Wim De Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Snell, Richard S. 2000. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Jakarta: EGC.
Smink, D.S & Soybel, D.I. 2005. Appendix and Appendectomy In Small Intestine and
Colon. Zinner, M.J and Ashley, S.W, (eds). Abdominal operations 11 st. New
York:Mc Graw Hill inc. pp. 589-612.
Addiss DG, Shafeer N, Fowler BS, et al. 1990. The Epidemiology of Appendicitis and
Apendictomy in the United States. Am J Epidemiol 132:910.
Hale DA, Molloy M, Pearl RH, et al. 1997. Apendictomy: A Contemporary
Appraisal. Ann Surg 225: 252.