Anda di halaman 1dari 33

Risiko Impor dari Negara Terjangkit Penyakit Sapi Gila

K O M P A S, SENIN, 18 SEPTEMBER 2006 (HALAMAN 7) OPINI


O l e h T R I S AT YA PU T R I N AI P O S P O S
Prinsip kehati-hatian (precautionary principles) dalam menentukan kebijakan importasi hewan maupun
produk hewan harus selalu dikedepankan, terutama apabila ada kaitannya dengan penyakit hewan yang
memiliki dampak merugikan terhadap kehidupan dan kesehatan masyarakat. Implementasi kebijakan
tersebut merupakan wujud mekanisme pertahanan hayati (biodefense mechanism) suatu negara.
Sesuai dengan kaidah internasional, analisis kebijakan importasi hewan dan produk hewan yang dibuat
suatu negara pengimpor akan sangat bergantung pada sejauh mana negara tersebut mempercayai
kredibilitas negara pengekspor dalam melaksanakan sistem kesehatan hewan, termasuk pengawasan
rantai pangan dan pakan (food and feed chain). Begitu juga sejauh mana negara pengimpor tersebut
meyakini kapasitas internalnya untuk mampu melakukan pengawasan terhadap mata rantai distribusi dan
konsumsi.
Rencana Pemerintah Indonesia untuk melakukan importasi daging beku tanpa tulang (frozen deboned
meat) dan tepung daging-dan-tulang (meat-and-bone meal/MBM) dari negara yang belum bebas penyakit
sapi gila atau Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) sangat terkait dengan tingkat kepercayaan dan
kemampuan pemerintah dalam menilai kapasitas negara pengekspor dalam memberikan jaminan
keamanan pangan (food safety assurance).
Analisis risiko
Apabila rencana importasi akan dilaksanakan, maka titik berat langkah penanganan BSE terletak pada
jaminan keamanan terhadap produk daging dan MBM yang dilaksanakan di negara asal. Untuk
mendapatkan jaminan itu, Pemerintah Indonesia harus mampu mengkaji sejauh mana negara asal tersebut
memenuhi dan telah melaksanakan semua persyaratan kesehatan hewan terkait dengan BSE yang
ditetapkan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE).
Upaya yang ditempuh pemerintah dapat dilakukan dengan cara menerapkan metoda analisis risiko (risk
analysis) sebagai suatu landasan kebijakan untuk memutuskan aman tidaknya suatu importasi dilakukan.
Tidak kalah pentingnya dari bagian rencana itu adalah mengomunikasikan risiko (risk communication)
secara transparan dan berkelanjutan kepada berbagai pihak terkait di masyarakat. Hal ini termasuk juga
bagaimana upaya pemerintah dalam melakukan tindakan-tindakan pengawasan pada titik-titik kritis untuk
mengurangi risiko (risk management).
Penilaian risiko (risk assessment) BSE dimulai dengan mempelajari seluruh skenario mulai dari pihak
produsen di negara asal sampai ke pihak pengguna di negara penerima. Perlu diingat bahwa pemerintah
sebagai penentu kebijakan harus mampu menilai setiap risiko yang mungkin terjadi dalam setiap skenario
tersebut.

Kunjungan tim on-site review yang dikirim Pemerintah Indonesia ke negara asal merupakan tahap
pertama untuk mengevaluasi serta menilai kemungkinan dan kecenderungan skenario masuknya dan
berkembangnya agen penyebab BSE ke dalam populasi hewan di negara tersebut.
Sangat penting untuk diketahui skenario di negara asal mulai dari sumber dan umur hewan yang akan
dipotong, pengangkutan ke rumah pemotongan hewan, pemeriksaan kesehatan sebelum dan sesudah
dipotong (ante dan post mortem), perlakuan sebelum dikemas, sampai saat pengangkutan ke kapal. Begitu
daging atau MBM masuk ke Indonesia, maka skenario dari saat tiba di karantina pintu masuk, diangkut
ke tempat penyimpanan, dikemas dalam bentuk yang lebih kecil, sampai didistribusikan ke konsumen.
Kategori negara atau zona
OIE melakukan perubahan yang cukup drastis terhadap penggolongan status BSE suatu negara atau zona
sejak tahun 2005. Ketentuan OIE yang baru menyatakan bahwa penetapan status negara atau zona atau
kompartemen didasarkan atas risiko terhadap BSE, yaitu tergolong negligible risk (risiko dapat
diabaikan), atau controlled risk (risiko dapat dikendalikan), atau undetermined risk (risiko tidak dapat
ditentukan).
Perlu diingat bahwa perubahan yang justru menjadi jauh lebih ringan ini lebih banyak disebabkan lobilobi negara maju, terutama Kanada dan Amerika Serikat, yang mengalami hambatan perdagangan yang
sangat memberatkan negaranya akibat dampak timbulnya BSE. Sebelumnya, OIE menggolongkan negara
atau zona menjadi free (bebas), provisionally free (bebas dengan persyaratan) atau with a minimal risk
(risiko minimal).
Dengan perubahan ini, tidak lagi dikenal istilah negara atau zona bebas BSE, tetapi semua negara harus
mengikuti kriteria baru yang ditentukan OIE untuk dapat menetapkan status negaranya. Mengingat sapi
baru dapat tertular BSE apabila sapi tersebut mengonsumsi MBM ruminansia, maka dalam kenyataannya
sampai dengan saat ini tak ada satu negara pun di dunia yang mengklaim wilayah negaranya (zona)
memiliki status yang bebas BSE atau dengan istilah yang baru tergolong negligible risk.
Untuk menilai dan mengevaluasi risiko BSE di negara asal, sebagai acuan dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi seluruh faktor yang berpotensi untuk memicu terjadinya BSE di negara tersebut,
termasuk sejarah kapan dimulainya importasi MBM, hewan hidup, pakan ternak, dan bahan baku ternak.
Pengamatan juga perlu dilakukan terhadap kapan dimulainya praktik pemberian MBM ruminansia ke
ruminansia dipraktikkan di negara tersebut dan kapan pemberlakuan pelarangan MBM ruminansia ke
ruminansia (feed ban) diberlakukan.
Surveilans menjadi kriteria kunci bagi suatu negara untuk menyatakan status BSE-nya, terutama dengan
memerhatikan struktur populasi sapi dan besaran masing-masing strata. Suatu kriteria yang harus
dicermati juga adalah apakah negara tersebut telah melaksanakan sekurang-kurangnya sejak tujuh tahun
yang lalu program peningkatan kesadaran berkelanjutan bagi dokter hewan, peternak, dan para pekerja
yang berkecimpung dalam pengangkutan, pemasaran, serta pemotongan ternak sapi. Begitu juga
notifikasi wajib sapi dengan gejala mirip BSE dan pemeriksaan wajib terhadap sampel otak serta jaringan
lainnya pada laboratorium yang telah terakreditasi.

Faktor risiko
Khusus importasi MBM dari AS perlu dipertimbangkan masak-masak dengan memerhatikan seluruh
faktor risiko yang berpotensi membahayakan. Dari dua kasus sapi terjangkit BSE yang lahir di AS
(indigenous case) yang terjadi pada tahun 2005 dan 2006, paling tidak menunjukkan negara itu masih
berpotensi memiliki kasus BSE baru. Aturan OIE mengatakan bahwa sapi-sapi tersebut harus paling tidak
berumur lebih dari 11 tahun agar bisa dianggap cukup aman dalam mempertimbangkan masa inkubasi
penyakit BSE terlama yang mencapai 18 tahun.
Kemudian perlu dipelajari secara teliti apakah AS benar-benar telah menerapkan persyaratan OIE yang
menetapkan hanya sapi-sapi berumur di bawah 30 bulan diizinkan untuk dipotong di Rumah Pemotongan
Hewan, baik yang akan masuk ke rantai pangan maupun ke rantai pakan. Untuk meningkatkan
kepercayaan masyarakat AS sendiri melalui kampanye publik US Beef Is Safe, terutama setelah
munculnya kasus pertama BSE pada tahun 2004, dapat dikatakan secara pasti bahwa persyaratan yang
masuk ke rantai pangan telah dilaksanakan dengan baik.
Akan tetapi, lain halnya dengan rantai pakan, Pemerintah Indonesia harus mampu mendapatkan jaminan
dari otoritas veteriner setempat di AS bahwa persyaratan tersebut telah dijalankan bukan hanya
berdasarkan sukarela dan imbauan, tetapi melalui regulasi. Ada alasan ekonomi yang masih dapat
dimengerti mengapa sisa-sisa dari bagian tubuh sapi di atas umur 30 bulan sedapat mungkin masih ingin
dimanfaatkan oleh pabrik pengolah dan pembuat MBM.
Pelarangan bagian-bagian tubuh sapi yang paling berisiko yang disebut specifed risk material (SRM)
pada prosedur pemotongan telah diberlakukan sejak tahun 2004 di AS. Dengan penghilangan tersebut,
risiko infeksi dapat dikurangi 100 persen, tetapi perlu diingat bahwa pelarangan pemberian pakan MBM
ruminansia ke ruminasia (feed ban) baru berlaku sejak tahun 1997. Meskipun OIE mengatakan bahwa
pemberlakuan pelarangan paling tidak sekurang-kurangnya sudah dilaksanakan delapan tahun, tetapi
masih banyak situasi ketidakpastian yang bisa diprediksi mengingat harus dipelajari bagaimana cara
evaluasi yang dilakukan Pemerintah AS terhadap sejauh mana pabrik pakan pengolah dan pembuat MBM
telah melaksanakan praktik pembuatan yang baik (good manufacturing practices).
Dengan alasan tertentu, sebagian besar pabrik MBM di AS tak menjalankan sepenuhnya ketentuan OIE,
terutama mengenai tidak digunakannya tekanan absolut 3 bar pada pemanasan bahan baku MBM
sekurang-kurangnya pada suhu 133 derajat Celsius selama 20 menit.
Sampai dengan bulan September 2006, AS telah menyelesaikan pemeriksaan terhadap 21.216 sapi
dewasa. Secara kumulatif telah diperiksa 785.638 sapi sejak Juni 2004. Meskipun secara ilmiah, AS telah
melakukan surveilans melampaui ketentuan jumlah sampel yang dipersyaratkan OIE, tetapi perlu diingat
bahwa rentang masa inkubasi BSE yang begitu panjang dan belum ada uji yang benar-benar akurat pada
kenyataannya memperlemah kemampuan deteksi BSE pada sapi hidup.
Pengawasan rantai distribusi
Apabila Pemerintah Indonesia beranggapan bahwa meskipun negara pengekspor memiliki kasus BSE,
pemenuhan persyaratan OIE dinilai cukup memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan kesehatan

manusia dan hewan, maka titik berat jaminan keamanan benar-benar beralih kepada pengawasan rantai
distribusi di dalam negeri.
Sistim kesehatan hewan nasional harus mampu memberikan jaminan keamanan yang dibutuhkan,
terutama dalam menjalankan pengawasan di titik-titik kritis sepanjang mata rantai distribusi mulai dari
karantina pemasukan sampai ke industri pengolah/pengecer untuk daging atau industri pakan ternak untuk
MBM.
Faktor yang mempersulit pengawasan dalam negeri adalah diagnosis BSE tidak bisa dikonfirmasi pada
hewan hidup ataupun dalam bentuk daging atau MBM. Pemeriksaan mikroskopis terhadap jaringan otak
merupakan satu-satunya cara saat ini untuk mendiagnosis BSE. Mengingat hal tersebut, uji terhadap
hewan hidup sangat diperlukan karena uji akan mampu mengidentifikasi hewan yang terinfeksi jauh
sebelum menjadi sakit.
Meskipun praktik pengolahan dan pembuatan MBM (rendering) sulit dilakukan di negara berkembang,
seperti Indonesia, karena tidak ada sisa-sisa karkas (semua bagian tubuh sapi) dimanfaatkan, baik yang
digolongkan dapat dimakan (edible offal) maupun yang tidak dapat dimakan (non-edible offal). Dengan
demikian apabila MBM impor berisiko tidak dapat diawasi dengan baik dan menimbulkan potensi
ancaman ke manusia, maka akan jauh lebih sulit bagi Indonesia menghindar dari kemungkinan timbulnya
penyakit new variant Creutzfeldt Jacob Disease (nvCJD) sebagai bentuk BSE pada manusia.
DRH TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS MPHIL PHD
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies

Latar Belakang

Koleksi Pribadi Foto Dr Nanung Danar Dono


Bovine spongiform encephalopathy (BSE) merupakan penyakit gangguan syaraf
progresif pada sapi yang disebabkan oleh infeksi prion. Sifat prion belum dipahami dengan baik.
Saat ini, teori yang paling diterima adalah prion merupakan bentuk modifikasi dari protein
normal (CDC 2012). Agen tersebut tidak menimbulkan respon imunitas pada induk semang

sehingga

belum ada uji yang secara praktis dan efektif yang dapat mendeteksi hewan

terinfeksi. Penyakit BSE atau mad cow disease termasuk golongan penyakit degenerasi saraf
yang disebut transmissible spongiform encephalophathy (TSE) (FDA 2012). Penyakit yang
tergolong TSE meliputi scrapie pada domba, Creutzfeldt-Jakob disease (CJD), new variant CJD
(vCJD), Gerstmann-Straussler Syndrome (GSS), dan kuru pada manusia (Bhunia 2008).
Wabah pertama BSE terjadi di Inggris pada tahun 1986, sejak saat itu lebih dari 180.000
kasus telah dikonfirmasi dari tahun 1986 sampai 2008. Kejadian epidemi di Inggris mencapai
puncaknya pada tahun 1992 dengan hampir 1000 kasus baru yang dikonfirmasi setiap
minggunya. Kasus BSE terjadi juga pada sapi lokal di beberapa negara seperti Islandia,
Australia. Keberadaan penyakit BSE pada suatu negara bisa ditentukan apabila negara tersebut
memiliki program pengawasan yang memadai (CFSPH2012a)
Sapi dapat tertular BSE melalui konsumsi meat bone meal asal ruminansia yang
mengandung prion. Di Inggris, wabah BSE menyebar ke seluruh industri peternakan karena
pemberian pakan meat bonne meal yang terinfeksi prion kepada anak sapi. BSE termasuk
penyakit zoonotik. Penularan BSE dari hewan ke manusia terutama melalui konsumsi jaringan
hewan yang mengandung prion, sehingga BSE dikategorikan sebagai foodborne diseae. Manusia
yang terinfeksi prion BSE akan menderita penyakit vCJD. Prevalensi penyakit ini belum
diketahui secara pasti. Kebanyakan kasus terjadi pada masyarakat yang tinggal di Inggris selama
puncak epidemi BSE. Kejadian vCJD tercatat sebanyak 28 kasus pada tahun 2000, kemudian
turun secara bertahap menjadi 5 kasus per tahun pada tahun 2005 dan 2006. Sampai pada bulan
Oktober 2008 telah tercatat 167 kasus vCJD dengan 164 diantaranya mengalami
kematian(CFSPH2012a).
Meskipun saat ini situasi BSE di tempat asalnya yaitu di Eropa semakin menurun dan
praktek pemberian MBM untuk ternak ruminansia sudah dilarang di banyak negara namun tidak
berarti bahwa ancaman penyakit ini menurun.
Dengan demikian penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan,
pengetahuan dan antisipasi masyarakat terhadap resiko penyakit BSE yang disebabkan oleh
penggunaan MBM sebagai pakan ternak
PEMBAHASAN
Mekanisme infeksi prion

Sumber agen yang menjadi media penularan dari hewan ke manusia ialah jaringan sapi
yang mengandung prion yang dikenal dengan specified risk material (SRMs) (Kitamoto 2005).
Jaringan sapi yang termasuk SRMs diantaranya ialah distal ileum, otak, medulla spinalis, tonsil
dan mata.
SRMs awalnya masuk ke saluran pencernaan kemudian melakukan penetrasi ke bagian
distal ileum, yaitu pada daun Payer. Setelah itu prion menuju saraf perifer dan terus ke sistem
saraf pusat (SSP). Saat prion BSE kontak dengan prion normal (PrPC ), maka prion normal akan
berubah struktur menjadi prion BSE (PrPSc ). Fibril akan bergabung membentuk plaque PrPSc .
Kerusakan sel saraf yang disertai pembentukan plaque akan menimbulkan vakuola-vakuola
pada jaringan otak. Kerusakan syaraf yang parah akan memunculkan gejala klinis pada individu
yang terinfeksi (Yokoyama dan Tsutsui 2005).
Penularan dari manusia ke manusia
Penularan dari manusia ke manusia telah dilaporkan melalui rute iatrogenik. Kebanyakan
kasus terjadi pada pasien yang menerima transfusi darah dari orang yang asimptomatis terinfeksi
prion BSE. Rute iatrogenik lainnya misalnya transplantasi organ. Selain itu peralatan yang
terkontaminasi selama operasi juga bisa menularkan prion BSE. Transmisi antar manusia tidak
terjadi melalui kontak langsung.
Gejala Penyakit
Gejala penyakit pada hewan
Masa inkubasi BSE biasanya 2 sampai 8 tahun. Sapi yang tertular BSE menunjukkan
gejala saraf seperti ataxia, respon stimuli sensoris yang berlebihan, dan perilaku agresif. Tahap
akhir ditandai dengan kepasrahan diri, koma, dan kematian (Kudesa dan Wreghitt 2009).
Gejala penyakit pada manusia
Manusia yang terinfeksi prion BSE akan menderita vCJD. Gejala vCJD sangat mirip
dengan bentuk CJD genetik. Median onset untuk vCJD rata-rata 26 tahun (kisaran 12-74 tahun)
dan untuk CJD genetik rata-rata 65 tahun (kisaran 15-94 tahun). Tanda wal vCJD biasanya
berupa gejala kejiwaan seperti kecemasan, depresi, insomnia, penarikan sosial, dan persisten
terhadap gejala sensorik. Kebanyakan pasien meninggal dalam waktu 6 bulan sampai 2 tahun
setelah terinfeksi. Hanya pengobatan suportif yang tersedia bagi penderita vCJD (CFSPH2012a)
Diagnosa

Saat ini uji laboratorium spesifik yang bersifat definitf (golden atandard) untuk diagnosis
BSE adalah pewarnaan imunohistokimia terhadap jaringan otak. Uji-uji lain yang sedang
dikembangkan yaitu uji untuk mendeteksi prion yang terdapat dalam darah, tonsil, dan cairan
serebrospinal. Hasil pewarnaan imunohistokimia terhadap jaringan otak hewan terinfeksi
menunjukkan adanya plaque yang menyerupai amiloid. Akumulasi prion terdapat pada plaque
tersebut. Sedangkan hasil pewarnaan hematoksilin-eosin menunjukkan degenerasi syaraf yang
membentuk lubang atau vakuola yang disertai astrositosis (Kudesia dan Wreghitt 2009).
Bovine spongiform encephalophathy (BSE) biasanya didiagnosis dengan mendeteksi
prion di SSP terutama di bagian obex. Obex merupakan bagian batang otak yang berbentuk V.
Akumulasi prion banyak ditemukan pada bagian obex tersebut.
Perlindungan Konsumen/Masyarakat
Perlindungan terhadap konsumen/masyarakat sangatlah penting mengingat penyakit ini
sangatlah fatal. Pemerintah harus melakukan pengawasan terhadap distribusi pada daging
maupun produk olahannya. Selain itu konsumen sendiri harus berhati-hati di dalam membeli
daging dan produk olahannya.
Pencegahan dan Pengendalian
Hewan yang dinyatakan positif BSE oleh uji akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan
negara yang bersangkutan. Di Irlandia sapi yang positif BSE dan seluruh kawanannya
didepolusasi. Karkas yang terinfeksi dimusnahkan dan kawanan sapi yang didepopulasi dikirim
ke pabrik pemotongan khusus. Kohort dan keturunan dari hewan yang positif BSE dilacak dan
dimusnahkan. Produk dari kawanan yang terinfeksi tidak boleh memasuki rantai makanan, baik
maunisa maupun hewan. Semua hewan dan karkas dikirim ke pabrik pengolahan SRMs
(perusahaan pengolahan kategori 1) untuk diproses dan dihancurkan. Kompensasi akan
diberikan kepada peternak untuk seluruh ternak yang terdaftar yang dipotong sesuai dengan
harga pasar. Kegiatan di peternakan yang terinfeksi dibatasi, proses disinfeksi peternakan
ditunda dan dilakukan penyelidikan untuk melacak sumber infeksi (DAF 2005).
Belum ada obat maupun vaksin BSE untuk hewan dan manusia. Semua hewan dan manusia
yang tertular prion BSE berakhir dengan kematian apabila gejala klinis telah muncul. World
Organization for Animal Health (WOAH) telah mengeluarkan rekomendasi untuk pencegahan
dan pengendalian BSE, diantaranya :
1. Setiap negara memiliki penilaian atau analisis risiko untuk penyakit BSE

2. Menghilangkan SRMs dari seluruh karkas sapi berumur 12 bulan atau lebih
3. Memperbaiki standar pengolahan produk buangan menggunakan temperatur, tekanan,
dan waktu yang sesuai saat diproses ( 133 0C, 3 bar, dan 20 menit)
4. Menghindari kontaminasi silang dari produk buangan
5. Melakukan surveilan secara aktif dan pasif
6. Memusnahkan sapi yang menderita BSE
Rekomendasi TAHC WOAH (2010) mengenai impor sapi dan produk asal sapi terkait
penyakit BSE
1.

Semua sapi dan komoditas asal sapi harus memiliki sertifikat veteriner internasional yang
menyertakan status BSE dari negara, zona atau kompartemen pengekspor. Status negara terdiri
atas kategori bebas risiko atau risiko diabaikan (negligible), telah dikontrol(controlled) maupun
status risiko tidak diketahui (undetermined).

2.

Untuk impor sapi dari negara, zona atau kompartemen bebas namun pernah terpapar,
disyaratkan memiliki sertifikat veteriner internasional yang menyatakan bahwa :
a Sapi telah diidentifikasi dengan sistem identifikasi permanen yang menunjukka bahwa sapi
tersebut tidak terkena kasus BSE
b. Sapi lahir setelah tanggal dimana larangan pemberian meat bone meal dan lemak asal
ruminansia untuk pakan ternak telah efektif dilaksanakan.

3.

Untuk impor sapi dari negara, zona atau kompartemen dengan status risiko BSE telah dikontrol,
disyaratkan hal yang sama seperti no 2.

4.

Untuk impor sapi dari negara, zona atau kompartemen dengan status risiko BSE tidak diketahui,
disyaratkan memiliki sertifikat veteriner internasional yang menyatakan bahwa :
a Larangan pemberian meat bone meal dan lemak asal ruminansia untuk pakan ternak telah
efektif dilaksanakan.
b Sapi diidentifikasi oleh sistem identifikasi permanen yang menunjukkan bahwa sapi tersebut
tidak terkena BSE

5.

Untuk impor daging dan produk asal daging dari negara, zona ataupun kompartemen bebas,
disyaratkan sertifikat veteriner international yang menyatakan bahwa :

a. Daging dan produk asal daging telah lolos dalam pemeriksaan antemortem dan postmortem.
b. Negara-negara dengan status bebas BSE namun pernah terpapar, semua daging dan produk asal
daging yang diterima ialah daging yang didapatkan setelah larangan pemberian meat bone meal
dan lemak asal ruminansia untuk pakan trenak sudah efektif dilaksanakan.
6.

Untuk impor daging dan produk asal daging dari negara, zona atau kompartemen dengan status
risiko BSE telah dikontrol disyaratkan melalui sertifikat internasional yang menyatakan bahwa :

a. Daging dan produk asal daging telah lolos dalam pemeriksaan antemortem dan postmortem.
b. Daging dan produk asal daging berasal dari sapi yang tidak mengalami proses pemingsanan saat
dipotong.
c.

Daging dan produk asal daging dijamin tidak terkontaminasi agen BSE (memisahkan daging
dari tengkorak dan columna vertebralis untuk sapi berumur 30 bulan atau lebih)

SIMPULAN
Pemberian pakan MBM pada ternak mempunyai mempunyai potensi di dalam
menimbulkan penyakit food borne disease pada kejadian BSE sehingga perlu dilakukan tindakan
pencegahan dan pengendalian.

Risiko penyakit sapi gila melalui impor daging


Oleh: Tri Satya Putri Naipospos
Kekhawatiran masyarakat terhadap semakin merebaknya kasus daging impor ilegal terutama yang
berasal dari negara belum bebas penyakit bovine spongiform encephalopathy (BSE) atau lebih dikenal
dengan istilah penyakit sapi gila tentunya tidak dapat begitu saja diabaikan, akan tetapi tidak juga
harus disikapi secara berlebihan.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) telah menggunakan haknya dengan benar dalam
membela konsumen terhadap ancaman penyakit sapi gila yang dapat menjangkiti manusia yang mungkin
terbawa melalui daging impor ilegal tersebut. Namun demikian, timbulnya berbagai reaksi yang berbeda
terhadap isu BSE yang dikaitkan dengan daging impor dari Amerika Serikat yang pada akhir tahun 2003
dilaporkan terjangkit satu kasus sapi gila, justru semakin membingungkan masyarakat dan bahkan tidak
menambah pemahaman masyarakat tentang penyakit ini.

Dunia sudah mengenal BSE sejak 18 tahun yang lalu dan begitu banyak informasi mengenai penyakit ini
dapat ditemukan di internet. Ribuan lembar kertas dapat dicetak dari internet untuk mengetahui secara
lebih mendalam tentang penyakit ini. Yang jelas BSE bukan merupakan suatu penyakit yang dapat
menular dari hewan ke hewan. BSE adalah penyakit degenerasi syaraf pada sapi yang dihubungkan
dengan konsumsi pakan yang berasal dari sisa-sisa karkas sapi yang tidak dikonsumsi manusia (rendered
material) yang disebut meat and bone meal (MBM).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa agen penyebab BSE yang disebut prion (PrP) terdapat dalam MBM
yang dimakan sapi tersebut. Prion (PrP) adalah suatu molekul protein yang terdapat pada membran sel
syaraf yang mampu mereplikasi dirinya sendiri. Meskipun prion ada pada kebanyakan mamalia, akan
tetapi sampai saat ini BSE baru ditemukan pada sapi. Prion ini sifatnya infektif dan berada pada tingkat
kandungan tertentu dalam jaringan tubuh sapi, sehingga menentukan tingkat infektivitas bagian-bagian
tubuh sapi. Konsentrasi prion yang sangat tinggi ada di beberapa bagian tubuh sapi yang disebut
specified risk materials (SRM). Daftar SRM meliputi tengkorak, otak, trigeminal ganglia, mata, tonsil,
urat syaraf tulang belakang, dan dorsal root ganglia sapi berumur 30 bulan atau lebih, dan usus bagian
distal ileum sapi semua umur.
BSE dan kesehatan manusia
Meskipun para ahli belum sepakat benar tentang kaitan BSE dengan kesehatan manusia, akan tetapi
variant Creutzfeldt-Jakob disease (vCJD) dianggap penyakit pada manusia yang ekuivalen dengan BSE
pada sapi. Sejak timbulnya BSE pada tahun 1986, dilaporkan sampai dengan saat ini terjadi lebih dari
188.000 kasus BSE di dunia, sebagian besar di Inggris.
Begitu takutnya masyarakat dunia terhadap ancaman penularan dari daging sapi ke manusia, akan tetapi
perlu disadari bahwa kasus vCJD pada manusia selama kurun waktu 25 tahun hanya terjadi kurang dari
160 kasus dan itupun 143 kasus terjadi di Inggris. Data lain menunjukkan pula bahwa meskipun
pendedahan masyarakat Inggris terhadap daging terinfeksi BSE begitu meluas, presentase populasi yang
didiagnosa vCJD sampai saat ini sangat kecil sekali. BSE menyebar di sebagian besar negara di Eropa,
namun dalam perjalanannya telah meluas ke Jepang tahun 2001, satu-satunya negara tertular BSE di Asia,
dan juga ke Kanada dan Amerika Serikat (AS) tahun 2003 (lihat Gambar 1).
Gambar 1: Distribusi geografis negara-negara tertular BSE (1989 2004)

Sumber: FAO (2004)


Sejumlah negara melaporkan kasus BSE pada tahun 2003 ke OIE seperti terlihat pada Tabel 1 berikut ini.
AS tidak dimasukkan ke dalam tabel ini, karena kasus positif BSE terjadi pada sapi impor asal Kanada.
Pengalaman negara-negara tertular menunjukkan bahwa BSE hanya ditemukan pada sapi berumur lebih
dari 24 bulan.
Tabel 1: Negara-negara yang melaporkan kasus BSE pada tahun 2003

Sumber: Animal Health Status Worldwide in 2003, OIE (2004)


BSE dan impor daging sapi

Dalam rangka mencegah masuknya BSE, pemerintah Indonesia hanya mengizinkan impor daging dari
negara bebas BSE. Australia adalah negara pengimpor daging sapi ke Indonesia terbesar (68%), diikuti
Selandia Baru (18%). Proporsi impor daging sapi dari AS pada tahun 2001 hanya menduduki peringkat
ke-4 setelah Australia, Selandia Baru dan Uni Eropa dengan pangsa pasar hanya sebesar 6 persen (lihat
Gambar 2). Larangan sementara impor daging dari Kanada dan AS segera diberlakukan setelah ditemukan
satu ekor positif BSE di Kanada pada bulan Mei 2003 dan satu ekor lagi di AS pada bulan Desember
2003.
Gambar 2: Proporsi impor daging sapi ke Indonesia (2001)

Sumber: UN Trade Database (2001)


Dampak BSE menyebabkan ekspor daging sapi AS sebagai negara pengekspor nomor satu dunia merosot
sampai 83 persen. Lebih dari 70 negara didunia memberlakukan pelarangan impor daging sapi dari AS.
Pada tahun 2003, Indonesia melakukan impor 11,3 persen daging dan 88,7 persen jeroan (offal) dari AS.
Jeroan meliputi jantung 8.098 ton (58,5%) dan hati 2.295,4 ton (16,6%). Jeroan dan hati disukai seluruh
lapisan masyarakat Indonesia. Di Indonesia, jantung digunakan sebagai bahan baku industri baso.
Para ahli mengatakan bahwa keberadaan prion bukan pada otot daging (muscle meat), akan tetapi pada
syaraf yang ada pada daging. Dengan demikian resiko penularan dari daging yang berasal dari sapi semua
umur sesungguhnya dapat diabaikan apabila prosedur pemotongan hewan dijalankan sesuai persyaratan
kesehatan masyarakat veteriner. Tingkat infektivitas BSE bagian-bagian tubuh sapi dapat digolongkan
menjadi tinggi, sedang, rendah dan tidak ada infektivitas. Hati tergolong tingkat infektivitas rendah,
sedangkan jantung tidak memiliki infektivitas.
Faktor risiko BSE
Indonesia mencermati sejumlah faktor risiko (risk factor) yang digunakan untuk mencegah masuknya
BSE melalui impor daging. Risiko yang harus dianalisa sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, terutama
tindakan-tindakan apa yang telah dilaksanakan oleh negara pengekspor daging dalam mengantisipasi
kejadian BSE dan juga tindakan-tindakan baru apa yang dilaksanakan setelah ditemukannya kasus positif

BSE. Pemerintah Indonesia menghentikan pelarangan impor daging dari AS pada bulan Juni 2004, setelah
mempertimbangkan tujuh faktor risiko sebagai suatu alat untuk melakukan penilaian terhadap situasi BSE
dan tindakan penanggulangan yang telah dilakukan oleh AS.
Prinsip kehati-hatian (precautionary principles) yang dianut pemerintah dalam menghadapi penyakit yang
memiliki dampak terhadap kehidupan dan kesehatan masyarakat selalu dikedepankan sebagai suatu
mekanisme pertahanan diri (bio-defense mechanism). Ada tujuh faktor risiko yang dianggap penting
untuk menganalisa situasi BSE di suatu negara seperti diuraikan dibawah ini.
Pelepasan SRM dari rantai pangan. Upaya untuk memastikan agar SRM ini tidak menjadi bagian dari
karkas sapi yang akan dikonsumsi manusia merupakan tindakan yang kritis dan sangat menentukan untuk
melindungi kesehatan masyarakat.
MBM asal ruminansia sebagai pakan sapi. Sumber infeksi MBM harus dilarang untuk dikonsumsi oleh
sapi untuk memotong siklus penularan. Praktek rendering sangat umum dijalankan di negara-negara
industri sebagai upaya memanfaatkan sisa-sisa karkas hewan yang tidak dimakan manusia (non-edible
offal) sebagai pakan ternak. Negara-negara tertular BSE tidak menghentikan praktek ini, akan tetapi
menghilangkan SRM dari rantai pakan dan sebagian negara mengizinkan MBM untuk dimanfaatkan
sebagai pakan unggas.
Impor sapi hidup dari Inggris dan negara lainnya yang tertular BSE. Masa inkubasi BSE sangat
lama, rata-rata 7 tahun, sedangkan deteksi penyakit baru bisa dilakukan pada 6 bulan terakhir masa
inkubasi. Untuk memperkirakan ada tidaknya resiko BSE, perlu diketahui kapan terakhir negara tersebut
melakukan impor sapi hidup dari Inggris atau negara lainnya yang memiliki infeksi BSE pada sapi lokal
dengan memperhitungkan lamanya masa inkubasi tersebut.
Impor MBM dari negara tertular BSE. Untuk memperkirakan seberapa besar resiko suatu negara,
perlu diketahui kapan dimulai, berapa lama dan berapa jumlah impor MBM ke negara tersebut. Pada
masa lalu, ekspor MBM dari Inggris dilakukan ke sejumlah negara terutama pada saat Inggris mengalami
puncak wabah BSE tahun 1991-1996 dan dunia khawatir bahaya resiko belum dapat dihilangkan.
Pemeriksaan sebelum pemotongan hewan dengan gejala syaraf dan tidak mampu berdiri (downer
animals). Sangat penting untuk memastikan bahwa pemeriksaan hewan sebelum dipotong (ante mortem)
di rumah potong hewan dijalankan secara memadai, sehingga mampu mendeteksi hewan yang
menunjukkan gejala syaraf dan tidak mampu berdiri, untuk kemudian diuji terhadap BSE.
Surveilans. Program surveilans BSE merupakan kegiatan yang dijalankan oleh negara tersebut secara
reguler dan terstruktur yang memungkinkan sistem deteksi dini (early warning system). Jumlah sampel
harus memadai untuk mampu mendeteksi infeksi sesuai tingkat insidens yang terjadi. Surveilans harus
didukung oleh kemampuan diagnosa dan jaringan laboratorium yang memadai.
Sistem identifikasi ternak dan penelusuran(traceability). Kemampuan suatu negara untuk menelusuri
ke belakang maupun ke depan (trace back and forward) sangat bergantung kepada sistem identifikasi
ternak yang dijalankan. Sistem ini akan sangat berguna dalam menemukan sumber infeksi BSE.

*) Drh. Tri Satya Putri Naipospos, MPhil, PhD, Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Bina
Produksi Peternakan, Departemen Pertanian.
Faktor Risiko Masuknya Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) ke Indonesia
Melalui Importasi Produk Hewan
Tri Satya Putri Naipospos
Bovine spongiform encephalopathy (BSE) adalah bentuk yang paling baru dari penyakit transmissible
spongiform encephalopathy (TSE) yang selama ini dikenal menyerang sapi dewasa. Kejadian klinis BSE
pertama kali dilaporkan di Inggris pada bulan April 1985.
Selain Inggris, sampai saat ini kasus BSE dilaporkan telah terjadi di Belgia, Denmark, Perancis, Jerman,
Irlandia, Liechtenstein, Luxemburg, Belanda, Portugal, Italia dan Switzerland. Sejumlah kecil kasus BSE
ditemukan di Kanada, Kepulauan Falkland, Kuwait dan Oman, namun semua terjadi pada sapi yang
diimpor dari Inggris. Negara-negara yang baru dua tahun terakhir ini melaporkan adanya kasus BSE yaitu
Spanyol, Yunani dan Czech.

Tingkat insidensi penyakit lebih tinggi di Inggris dibandingkan dengan negara lain yang juga pernah
dilaporkan terjadi BSE, akan tetapi kejadian menurun secara drastis sebagai hasil dari pengendalian yang
efektif terutama dengan mencegah infeksi baru dalam pakan ternak. Tingkat insidensi juga menurun di
Switzerland dan Perancis, sebaliknya meningkat di negara-negara lain yang tercatat sebagai negara
tertular meskipun kasus yang dilaporkan per tahun hanya sedikit.
BSE adalah anggota dari kelompok penyakit yang dikenal sub akut yaitu transmissible spongiform
encephalopathy (TSE) atau penyakit "prion". Ini mencakup juga "Creutzfeldt-Jakob disease" (CJD) yang
menyerang manusia, "scrapie" pada domba dan kambing, transmissible mink encephalopathy (TME) dan
yang hanya ditemukan di Amerika Utara saja yaitu "chronic wasting disease" (CWD) pada wapiti (Cervus

canadensis) dan beberapa jenis rusa. Penyakit-penyakit ini hanya dapat dikonfirmasi secara pasca mati
(post mortem) dengan pemeriksaan spesimen otak.
Agen penyebab penyakit ini belum dapat ditetapkan secara jelas (mungkin prion, virinos atau virus
inkonvensional lainnya). Agen tersebut tidak menimbulkan respons imunitas pada induk semang
(konsekuensinya tidak ada uji yang secara praktis dan efektif yang dapat mendeteksi hewan terinfeksi)
dan resisten berlebihan terhadap inaktivasi oleh panas radiasi dan kimiawi. Yang jelas semua penyakit
tanpa kecuali bersifat fatal.
Titer infektivitas tertinggi yang diukur dengan metoda bioassay ditemukan pada susunan syaraf pusat
(SSP) dari kasus klinis yang sudah berlangsung lama. Infektivitas kemungkian berada pada jaringan
lymphoreticular dan/atau SSP selama periode inkubasi, akan tetapi tidak terdeteksi sampai beberapa bulan
setelah terdedah. Pada sapi yang menderita klinis BSE, infektivitas hanya ditemukan pada otak, sumsum
tulang belakang dan retina mata.
Infektivitas tidak pernah ditemukan pada susu atau daging secara alamiah pada hewan yang tertular TSE.
Oleh karenanya pengendalian penyakit dapat mengurangi risiko kemungkinan terekspos BSE pada setiap
spesies (termasuk manusia) dengan cara mengkonsentrasikan upaya untuk mengeliminasi hewan-hewan
yang secara klinis diduga tertular BSE dari seluruh mata rantai makanan dan pakan ternak dan
menghancurkan material tertentu yang berisiko (seperti jaringan tubuh hewan yang paling mungkin
mengandung infeksi terutama jaringan SSP) dari semua sapi diatas umur tertentu baik yang dipotong
untuk konsumsi maupun yang tidak.
Infeksi BSE Bersumber Dari Pakan
Tidak diragukan bahwa BSE (dan penyakit lain yang berkaitan pada kucing domestik dan hewan liar yang
ditangkap) adalah penyakit yang ditularkan melalui pakan (feed-borne disease). Pada sapi dan bovidae
liar yang ditangkap, unsur pembawa adalah "meat and bone meal" (MBM) yang mengandung protein
ruminansia berasal dari jaringan terinfeksi (material tertentu yang berisiko) dimana yang paling penting
adalah jaringan SSP.
Spesies yang menjadi sumber asli penularan untuk BSE kemungkinan adalah sapi, tetapi adalah lebih
masuk akal untuk mengatakan bahwa domba yang menderita scrapie bertanggung jawab sebagai sumber
penularan sejak ditemukan bahwa hanya domba satu-satunya yang diketahui sebagai hewan "reservoir"
untuk infeksi TSE.
Apapun sumber penularan, kejadian epidemik penyakit selalu diikuti dengan siklus berulang daripada
jaringan sapi terinfeksi melalui pakan ternak. Pakan yang terekspos dengan BSE atau agen scrapie dapat
menyebabkan kasus scrapie pada domba dan/atau kambing meskipun tidak ada kenyataan langsung yang
menyatakan bahwa hal praktis terjadi.
Apabila agen BSE menginfeksi domba dan/atau kambing maka hal ini dapat menjadi ancaman bagi
manusia. Beberapa negara telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah hal ini dengan bentuk
larangan terhadap daging tetelan (offal) domba dan kambing sebagai bagian dari strategi mengurangi
risiko. Larangan ini menekankan pada SSP dan mencegahnya untuk dikonsumsi oleh manusia dan hewan.

Penilaian Risiko (Risk Assessment) BSE


Risk assessment BSE mencakup 2 (dua) hal yaitu: (1) Risiko 'exogenous' (exogenous risks) dari importasi
hewan hidup, embryo atau ova atau dari importasi bahan campuran/tambahan pakan ternak (compounded
feed concentrate) atau tepung daging dan tulang (meat and bone meal/MBM); dan (2) Risiko
'endogenous' (endogenous risk) dari pakan ternak terkontaminasi, dari prosedur 'rendering' yang tidak
memadai atau dari transmisi maternal dari hewan impor.
Risiko 'exogenous' (exogenous risks)
Risiko dapat bersifat 'exogenous' - datang dari luar negeri - dan ini berarti dapat dicegah melalui kontrol
importasi sapi hidup dan produknya yang datang dari negara-negara yang mempunyai risiko (at-risk
countries) seperti yang direkomendasi dalam OIE Code. Yang diperlukan bukan mencegah importasi akan
tetapi lebih kepada memastikan bahwa risiko dapat ditekan seminimum mungkin dengan menetapkan
standar untuk sertifikasi. Risiko utama yang timbul dari importasi hewan hidup (termasuk
keturunan/generasi berikut dari hewan yang terinfeksi BSE) atau bahan pakan yang mengandung MBM
yang berasal dari ruminansia.
Penting diperhatikan risiko kontaminasi silang yang timbul secara tiba-tiba pada diet ruminansia pada
pabrik pakan ternak dan pada peternakan, meskipun bahan pakan ternak impor tersebut tidak
dimaksudkan untuk dimakan oleh ruminansia. Sampai dengan saat ini, tidak ada data yang menyatakan
bahwa embryo yang berasal dari hewan tertular BSE menyebabkan infeksi BSE. OIE Code menguraikan
bagaimana cara untuk mengurangi resiko yang timbul dari importasi embryo dan ova sapi sampai pada
tingkat yang dapat diterima sambil tetap melaksanakan upaya perbaikan gentika ternak.
Risiko 'endogenous' (endogenous risks)
Risiko dapat juga bersifat 'endogenous' - timbul dari dalam negeri. Dalam hal ini ada 3 (tiga) risiko utama
yaitu: (1) Terhadap sapi (dan ruminansia lain) dari pakan yang terinfeksi; (2) Terhadap manusia dan
hewan dari material yang mempunyai risiko khusus (specified risk materials/SRM) atau produk yang
dibuat dari SRM untuk dikonsumsi; dan (3) Berasal dari produk hasil 'rendering' dengan proses yang
tidak menginaktivasi agen.
Pengalaman menunjukkan bahwa risiko 'exogenous' biasanya dapat berespons, tetapi risiko 'endogenous'
tidak diperhitungkan secara serius sehingga bisa menyebabkan situasi yang berpotensi untuk berbahaya
apabila agen BSE timbul sewaktu-waktu.
Gambar 1 memperlihatkan adanya 2 (dua) kemungkinan alur masuknya BSE ke suatu negara yaitu
melalui impor sapi tertular BSE atau impor MBM yang terkontaminasi BSE.
Gambar 1: Skema penularan BSE melalui impor MBM dan impor sapi

Sumber: Final Opinion of the Scientific Steering Committee on the Geographical Risk of BSE (GBR),
2000
Faktor Risiko BSE
Faktor-faktor yang digunakan dalam menganalisa risiko BSE mencakup: (1) Importasi MBM atau pakan
yang terkontaminasi dengan TSE atau bahan baku pakan yang mengandung salah satu dari keduanya; (2)
Importasi hewan, embryo atau ova yang potensial terinfeksi TSE; (3) Konsumsi MBM atau pakan yang
mengandung bahan asal ruminansia; (4) Asal hasil sampingan ternak, parameter proses rendering dan
metoda produksi pakan ternak; (5) Situasi epidemiologi seluruh hewan TSE di negara atau wilayah
negara; dan (6) Struktur dan dinamika populasi sapi, domba dan kambing di negara atau wilayah negara.
Gambar 2: Total Ekspor MBM dari Inggris ke berbagai negara 1988 1993

Indonesia bersama-sama dengan negara lainnya di Asia Tenggara dinyatakan sebagai negara-negara yang

kemungkinan mendapat masalah dengan BSE. Dari Gambar 3 dapat dilihat bagaimana Indonesia
memiliki faktor risiko dimana Indonesia melakukan impor MBM dari Inggris sejak tahun 1991 - 1993
dimana jumlahnya mencapai lebih dari 20.060 ton.
Jumlah MBM yang diimpor Indonesia dari Inggris sepanjang tahun 19911996 mencapai 60 ribu ton.
Namun faktor risiko ini bisa saja dapat diabaikan mengingat MBM impor tersebut di Indonesia bukan
digunakan untuk ruminansia, akan tetapi hanya digunakan untuk pakan ternak unggas, ikan atau babi.
Disamping itu Indonesia tidak mempunyai industri pembuangan hasil sampingan ternak (rendering
plant).
Kesimpulan
Meskipun sampai dengan saat ini BSE belum dilaporkan terjadi di Indonesia, akan tetapi dengan
munculnya kasus BSE pertama di Asia yaitu di Jepang, maka BSE tetap perlu diwaspadai.
Pemerintah perlu melakukan hal-hal yang direkomendasikan FAO/WHO/OIE seperti: (1) Ketentuan
pelaporan yang mewajibkan notifikasi dan penyidikan terhadap semua sapi yang menunjukkan gejala
klinis kompatibel dengan BSE; (2) Menerapkan sistem surveilans dan monitoring dengan pemeriksaan
otak dan jaraingan lainnya di laboratorium yang telah mendapatkan pelatihan; (3) Melakukan studi
penilaian risiko (risk assessment study) terhadap impor MBM dan produk hewani lainnya yang
kemungkinan menjadi media pembawa BSE; (4) Mengatur penggunaan pakan MBM; dan (5) Melakukan
pengawasan karantina yang ketat terhadap impor produk-produk peternakan yang bisa menjadi media
pembawa agen BSE.
REFERENSI
Scientific Steering Commitee (2000). Final Opinion of the Scientific Steering Committee on the
Geographical Risk of Bovine Spongiform Encephalophaty (GBR). Adopted on 6 July 2000.
Cohen, J.T. , Duggar, K., Gray, M. and Kreindel, S. (2001). Evaluation of the Potential for Bovine
Spongiform Encephalophaty in the United States. Harvard Center for Risk Analysis, Harvard School of
Public Health, U.S.A.

Meat and Bone Meal (MBM) adalah tepung yang berasal dari daging dan tulang ruminansia
(umumnya sapi) yang biasanya dipakai untuk pakan unggas dan hewan air.
Kondisi dilapangan saat ini masih ada peternak yang melakukan pencampuran pakan konsentrat
unggas dan pakan konsentrat babi yang mengandung MBM kedalam pakan ternak ruminansia
(sapi, kambing dan domba) untuk memacu pertumbuhan. Pakan konsentrat unggas dan babi
DAPAT mengandung MBM dengan kadar protein 50-60% dan tingkat kecernaan lebih 82%.
Maraknya penggunaan pakan konsentrat unggas/babi kedalam pakan ternak ruminansia, karena
harganya relatif murah dibandingkan tepung ikan.
BAHAYA PENGGUNAAN
PAKAN KONSENTRAT YANG MENGANDUNG MBM PADA TERNAK RUMINANSIA

Praktek pencampuran pakan unggas dan babi dalam pakan ruminansia dapat
mengakibatkan terjadinya penyakit BSE/Madcow/Sapi Gila pada sapi dan
membahayakan kesehatan manusia.

BSE adalah penyakit pada sapi yang menyerang susunan syaraf pusat dengan ditandai
adanya Spongious atau terbentuknya lubang kosong pada sel otak yang berdampak fatal
(fatal neurological disease).

BSE disebabkan oleh Protein Prion (PrP) yang berasal dari MBM (meat bone meal).

Prion adalah sejenis protein yang abnormal yang memiliki sifat : mempunyai kemampuan
merusak protein lain, tidak dapat dihancurkan dengan disinfektan, bahan kimia maupun
suhu tinggi.

Prion terdapat dalam otak, sumsum tulang belakang dan tonsil sapi berumur lebih 30
bulan dan tidak rusak dalam pengolahan dengan pemanasan biasa.

Cara penularan prion terutama terjadi melalui pakan yang terkontaminasi oleh MBM
yang berasal dari hewan penderita. Yang dapat tertular adalah : hewan ruminansia (sapi,
kambing, domba), karnivora (kucing rumah, harimau) serta primata (monyet).

PERATURAN TERKAIT
PEMBERIAN PAKAN
1. UU No. 18 Tahun 2009 Pasal 22 ayat (4) mengatur pelarangan untuk :

Mengedarkan pakan yang tidak layak konsumsi

Menggunakan dan/atau mengedarkan pakan ruminansia yang mengandung bahan pakan


yang berupa darah, daging, dan/atau tulang.

Menggunakan pakan yang dicampur hormon tertentu dan/atau antibiotik imbuhan pakan

2. Peraturan Menteri Pertanian No. 471/Kpts/OT.210/5/2002 mengatur tentang Pelarangan


Penggunaan Tepung Daging, Tepung Tulang, Tepung Darah, Tepung Daging dan Tulang (TDT)
dan Bahan Lainnya asal Ruminansia sebagai Pakan Ternak Ruminansia
3. Surat Direktur Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan tanggal 4 Januari 2012 kepada
Kepala Dinas Peternakan Seluruh Propinsi tentang Pelarangan Penggunaan Bahan Pakan asal
Ruminansia (MBM) untuk pakan ternak Ruminansia
SANKSI PELANGGARAN PELARANGAN
Pasal 87 UU 18/2009 adalah :
Setiap orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4)
dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 9 (sembilan)

bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling
banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
TINDAK LANJUT

Diharapkan semua pihak, utamanya para petugas lapangan dan fungsional pengawas
mutu pakan bersama-sama memberikan pemahaman melalui sosialisasi kepada peternak
terhadap bahaya penggunaan pakan konsentrat yang mengandung MBM dalam pakan
ternak ruminansia.

Laboratorium Pakan sudah harus mampu mendeteksi adanya MBM dalam pakan ternak
ruminansia dengan menggunakan test kit MBM dan alat Eliza Reader

Penyakit Sapi Gila lebih dikenal dengan Penyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalophaty)
atau yang dikenal sebagai mad cow disease ini sebenarnya telah lama diketahui dan banyak
sekali penelitian yang terus berlangsung sejak dilaporkan pertama kali tahun 1985 di Inggris.
Untuk memahami dan mengatasi penyakit ini ke depan perlu kiranya mengetahui dengan baik
apa sebenarnya penyebab penyakit sapi gila ini.
Meskipun para ahli belum sepakat benar tentang kaitan BSE dengan kesehatan manusia, akan
tetapi variant Creutzfeldt-Jakob disease (vCJD) dianggap penyakit pada manusia yang ekuivalen
dengan BSE pada sapi. Sejak timbulnya BSE pada tahun 1986, dilaporkan sampai dengan saat
ini terjadi lebih dari 188.000 kasus BSE di dunia, sebagian besar di Inggris. Begitu takutnya
masyarakat dunia terhadap ancaman penularan dari daging sapi ke manusia, akan tetapi perlu
disadari bahwa kasus vCJD pada manusia selama kurun waktu 25 tahun hanya terjadi kurang
dari 160 kasus dan itupun 143 kasus terjadi di Inggris. Lihat Tabel

APA Menular pada manusia..?


Penyakit yang diakibatkan oleh prion abnormal ini, menurut para Ahli, merupakan penyakit
zoonoisis yang ada kaitannya dengan new variant Creutzfeldt-Jakob Disease (nvCJD) pada
manusia. Nah, penyakit nvCJD ini pernah menyerang Inggris pada 1996 yang menghebohkan
dunia internasional. Otak yang terserang penyakit mad cow ini bentuknya akan menyerupai
spons. Otak akan berubah menjadi bentuk yang rapuh, mirip busa yang berpori-pori. Penyakit ini
memiliki implikasi sosio ekonomis atau kesehatan masyarakat, terutama dalam perdagangan
hewan dunia.
Penyakit nvCJD pada manusia mampu menularkan secara horisontal melalui transplantasi atau
oral dan bisa juga penularan melalui turunan, bersifat genetik. Jadi, jangan sedikitpun makan
bagian tubuh sapi, kambing, dan domba BSE, serta material yang memiliki risiko spesifik karena
itu sangat berisiko tinggi tertular, kata Bambang. Jika manusia sudah terkena nvCJD, maka
tidak ada lagi kekebalan tubuh dan masa inkubasinya 2-10 tahun.

Penyakit sapi gila diduga berawal dari perubahan pola hidup manusia dan hewan. Adalah ilmiah,
jika sapi makannya rumput, karena sapi adalah hewan herbivora. Namun akibat pola tingkah
manusia modern, sapi diberi makan tulang, daging, dan sebagainya yang menyalahi kodratnya
sebagai binatang memamah biak. Penyakit mad cow berawal dari pemberian pakan sapi asal
tepung tulang dan daging domba yang terkena penyakit scrapie. Juga daging dan tulang asal
sapi yang terjangkit BSE, yang didaur ulang menjadi pakan ternak sapi. Sebenarnya inilah
kanibalisme. Nah, kondisi seperti inilah yang menyalahi aturan alam semesta. Kemudian
manusia makan daging sapi yang tercemar BSE tadi, sehingga manusia pun terjangkit nvCJD.
Ciri-ciri sapi yang terkena sapi gila antara lain adanya perubahan mental seperti temperamen
berubah, gelisah, takut, dan agresif; perubahan sikap, seperti ataksia, tremor, jatuh tidak bangun;
perubahan sensasi, seperti peka terhadap sentuhan.
Agen penyakit ini diduga berasal dari struktur protein yang disebut prion. Prion yang tidak mati
pada temperatur mendidih ini terutama berkumpul di sistem saraf termasuk mata. Prion ini
sangat tahan terhadap segala macam tingkat keasaman (pH), juga terhadap pendinginan atau
pembekuan. Protein ini baru inaktif setelah dipanaskan dengan otoklaf (alat pemanas dengan
tekanan tinggi) pada suhu 134-1380 C selama 18 menit. Sementara menurut OIE (1999), prion
akan inaktif pada suhu 1330 C selama 20 menit dengan tekanan 3 bar dan maksimum partikel 50
mm.
Agar Indonesia bebas dari sapi gila, kunci pencegahannya adalah pada kemauan dan komitmen
bersama seluruh stake holder yang terkait dengan persoalan ini, seperti pemerintah, perguruan
tinggi, pengusaha, pedagang, dan peternak untuk menghadang dan mencegah masuknya hewan
dan produknya dari negara yang tertular sapi gila. Disamping itu, pemeriksanaan hewan sebelum
dipotong/disembelih, menjadi sebuah keharusan yang tak bisa diabaikan dan pemotongan hewan
pun harus mematuhi kaidah aman, sehat, dan halal.

APA ITU MBM.?


MBM (Meat and Bone Meal) adalah tepung yang berasal dari daging dan tulang uminansia (umumnya
sapi)lebih dikenal istilah Tepung Daging Tulang (TDT) yang biasanya dipakai untuk pakan unggas dan
hewan air. Kondisi dilapangan saat ini masih ada peternak yang melakukan pencampuran pakan
konsentrat unggas dan pakan konsentrat babi yang mengandung MBM kedalam pakan ternak ruminansia
(sapi, kambing dan domba) untuk memacu pertumbuhan. Pakan konsentrat unggas dan babi DAPAT
mengandung MBM dengan kadar protein 50-60% dan tingkat kecernaan lebih 82%. Maraknya
penggunaan pakan konsentrat unggas/babi kedalam pakan ternak ruminansia, karena harganya relatif
murah dibandingkan tepung ikan.

APA BAHAYANYA PENGGUNAAN PAKAN KONSENTRAT YANG MENGANDUNG MBM


PADA TERNAK RUMINANSIA..?

Praktek pencampuran pakan unggas dan babi dalam pakan ruminansia dapat mengakibatkan
terjadinya penyakit BSE/Madcow/Sapi Gila pada sapi dan membahayakan kesehatan manusia.

BSE adalah penyakit pada sapi yang menyerang susunan syaraf pusat dengan ditandai adanya
Spongious atau terbentuknya lubang kosong pada sel otak yang berdampak fatal (fatal
neurological disease).

BSE disebabkan oleh Protein Prion (PrP) yang berasal dari MBM (Meat Bone Meal).

Prion adalah sejenis protein yang abnormal yang memiliki sifat : mempunyai kemampuan
merusak protein lain, tidak dapat dihancurkan dengan disinfektan, bahan kimia maupun suhu
tinggi.

Prion terdapat dalam otak, sumsum tulang belakang dan tonsil sapi berumur lebih 30 bulan dan
tidak rusak dalam pengolahan dengan pemanasan biasa.

Cara penularan prion terutama terjadi melalui pakan yang terkontaminasi oleh MBM yang berasal
dari hewan penderita. Yang dapat tertular adalah : hewan ruminansia (sapi, kambing, domba),
karnivora (kucing rumah, harimau) serta primata (monyet).

PERATURAN TERKAIT PELARANGAN MBM UNTUK PAKAN RUMINANSIA


1. UU No. 18 Tahun 2009 Pasal 22 ayat (4) mengatur pelarangan untuk :

Mengedarkan pakan yang tidak layak konsumsi

Menggunakan dan/atau mengedarkan pakan ruminansia yang mengandung bahan pakan yang
berupa darah, daging, dan/atau tulang.

Menggunakan pakan yang dicampur hormon tertentu dan/atau antibiotik imbuhan pakan

2. Peraturan Menteri Pertanian No. 471/Kpts/OT.210/5/2002 mengatur tentang Pelarangan Penggunaan


Tepung Daging, Tepung Tulang, Tepung Darah, Tepung Daging dan Tulang (TDT) dan Bahan Lainnya
asal Ruminansia sebagai Pakan Ternak Ruminansia
3. Surat Direktur Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan tanggal 4 Januari 2012 kepada Kepala Dinas
Peternakan Seluruh Propinsi tentang Pelarangan Penggunaan Bahan Pakan asal Ruminansia (MBM)
untuk pakan ternak Ruminansia

4.

Pasal 27 ayat (2) Perda No. 08 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Nakkeswan Jateng
Setiap orang yang mengolah pakan dan/atau pakan yang diedarkan secara komersial di
Daerah, wajib memperoleh ijin usaha dan memenuhi standar mutu pakan, serta labelisasi
pakan ternak sesuai peraturan per-UU

5.

Pasal 28 ayat (1) Perda No. 08 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Nakkeswan Jateng
Pemerintah Daerah melakukan Pengawasan Mutu Pakan, bahan baku pakan melalui
pengujian di Laboratorium yang telah terakreditasi.

SANKSI PELANGGARAN PELARANGAN


Pasa l87 UU 18/2009 adalah :
Setiap orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dipidana
dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp.75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
BAGAIMANA UPAYA PENCEGAHAN?

Diharapkan semua pihak, utamanya para petugas lapangan dan fungsional pengawas mutu pakan
bersama-sama memberikan pemahaman melalui sosialisasi kepada peternak terhadap bahaya
penggunaan pakan konsentrat yang mengandung MBM dalam pakan ternak ruminansia.

Pabrik Pakan / Produsen Pakan ternak Unggas agar menambahkan label LARANGAN
PENGGUNAAN PAKAN UNGGAS UNTUK TERNAK SAPI DAN KERBAU.

Laboratorium Pakan harus turun ke bawah untuk deteksi adanya MBM dalam pakan ternak
ruminansia dengan menggunakan test kit MBM dan alat Eliza Reader

Sumber Berita: http://dinakkeswan.jatengprov.go.id


http://www.pertanian.go.id/dinakkeswan_jateng/berita-penyakit-sapi-gila--menular-padamanusia.html#ixzz3dGkVGSfr

BSE and other Transmissible Spongiform Encephalopathies


Cattle, sheep and goats are susceptible to a group of brain diseases known as transmissible spongiform
encephalopathies (TSEs). The best known of these diseases is bovine spongiform encephalopathy in
cattle, it is also known as BSE or mad cow disease.

There are strict controls in place in the UK to protect people from BSE. The Food Standards
Agency monitors these controls and publicises any breaches, as well as the actions taken to
prevent further failures.

Although no sheep in the UK flock have been found to have BSE, there are a number of
precautionary safety measures in place since it has been shown under laboratory conditions that
sheep can be infected with BSE. The Agency continues to review and support research into TSEs
in animal species used for food.
The Advisory Committee on Dangerous Pathogens (ACDP) TSE risk assessment subgroup
provides independent expert advice on TSEs to the FSA and other departments.

Regulation
The European TSE Regulation 999/2001 (as amended) sets out the requirements for TSE
monitoring, animal feeding and the removal of specified risk material.
The corresponding legislation in the UK is:
The Transmissible Spongiform Encephalopathies (England) Regulations 2010 (SI No. 2010/801)
The Transmissible Spongiform Encephalopathies (Wales) Regulations 2008 (SI No.
2008/3154(W.282) (as amended by SI 2008/3266 (W.288))
The Transmissible Spongiform Encephalopathies (Scotland) Regulations 2010 (SSI 2010/177)
The Transmissible Spongiform Encephalopathies Regulations (Northern Ireland) 2010 (SR 2010
No. 406)

How is BSE being controlled in the UK?


The Government has had in place a range of measures to reduce the risk of people eating beef or
meat products that might be infected with BSE since the late 1980s. These control measures have
been revised from time to time based on current scientific knowledge.
The key food safety control is the removal of specified risk material, however there are also
controls on animal feed and a requirement to test certain categories of animal for BSE. In
addition to these controls, cattle with BSE or suspected of having BSE and the offspring and
cohorts of BSE cases are removed from the food chain.

Specified Risk Material (SRM)


SRM is the parts of cattle, and sheep and goats most likely to carry BSE. All SRM must be
removed in either the slaughterhouse or cutting plant. The SRM must be stained and disposed of
and does not go into our food or animal feed. In cattle, the SRM controls are estimated to remove
almost all potential infectivity in the unlikely event of an animal infected with BSE, but not yet
showing any clinical signs, being slaughtered for human consumption.
The European TSE regulation defines specified risk material as follows:

Specified risk material in all member states


All ages

The tonsils, the intestines, from the duodenum to the rectum, and the mesentery;

Over 12 months

Cattle

Skull excluding the mandible but including the brains and eyes, and spinal cord.

Over 30 months

Vertebral column, excluding the vertebrae of the tail the spinous and transverse
processes of the cervical, thoracic and lumbar vertebrae, the median sacral crest and
the wings of the sacrum, but including the dorsal root ganglia .

All ages
The spleen and the ileum
Sheep
and goats Over 12 months (or permanent incisor erupted)

Skull including the brains and eyes, tonsils, spinal cord.

Feed controls
Animal feed containing meat and bone meal is thought to have been responsible for the spread of
BSE among cattle. A ban on the feeding of meat and bone meal to ruminants was introduced in
the UK in 1988. In August 1996 this was extended to cover the feeding of meat and bone meal to
all farm animals. EU Regulations now prohibit (with certain exceptions) the use of processed
animal protein in feed to all livestock.
The following controls are in force across Europe:
a prohibition on the use of mammalian protein in feed to ruminant animals
a prohibition on the incorporation of mammalian meat and bone meal in any farmed livestock
feed
a ban, except in tightly defined circumstances, on having mammalian meat and bone meal
material on premises where livestock feed is used, produced or stored

BSE testing
Cattle aged over 72 months at slaughter (O72M) must test negative for BSE before being
allowed into our food if born in one of the following EU member states:

Austria, Belgium, Cyprus, Czech Republic, Denmark, Estonia, Finland, France, Germany,
Greece, Hungary, Ireland, Italy, Latvia, Lithuania, Luxembourg, Malta, Netherlands, Poland,
Portugal, Slovakia, Slovenia, Spain, Sweden and the United Kingdom.
Cattle born in any other country must be tested if aged over 30 months.

Mechanically Separated Meat (MSM)


In the past, products such as low-cost burgers, sausages, pies and mince included mechanically
separated meat (MSM). This is residual meat that is stripped from the bone by mechanical means
at high pressure. The consumption of these products made from cattle infected with BSE is
thought to have contributed to vCJD occurring in humans.
The production of MSM from the bones and bone in cuts of meat from cattle, sheep and goats
has been prohibited for several years.

How are controls enforced the in UK


The FSA has inspection staff in all slaughterhouses and cutting plants to monitor compliance
with the requirements of the European and domestic legislation. Every carcass is subject to a
final inspection before being health marked as fit for human consumption.
The Food and Veterinary Office (FVO) of the European Commission, operates a rolling
programme of inspection to ensure compliance with the EU requirements in member states.

Number of cases of bovine spongiform encephalopathy (BSE) reported in the United


Kingdom

Alderney

1987 and
before(4)

Great
Britain

Guernsey
(3)

Isle of
Man (2)

Northern
Ireland

Jersey

Total
United
Kingdom

442

446

2 469

34

2 514

7 137

52

29

7 228

14 181

83

22

113

14 407

25 032

75

67

15

170

25 359

36 682

92

109

23

374

37 280

34 370

115

111

35

459

35 090

23 945

69

55

22

345

24 438

14 302

44

33

10

173

14 562

(4)

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

8 016

36

11

12

74

8 149

4 312

44

23

4 393

3 179

25

18

3 235

2 274

11

2 301

1 355

13

75

1 443

1,113

87

1,202

1,044

98

1,144

549

62

611

309

34

343

203

22

225

104

10

114

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006
2007

53

14

67

2008

33

37

2009

12

2010

11

11

2011

2012

2013

2014

2015(5)

(1) Cases are shown by year of restriction.


(2) In the isle of Man BSE is confirmed on the basis of a laboratory examination of tissues for
the first case on a farm and thereafter by clinical signs only. However, all cases in animals born
after the introduction of the feed ban have been subjected to histopathological/scrapie-associated
fibrils analysis. To date, a total of 277 animals have been confirmed on clinical grounds only.
(3) In Guernsey BSE is generally confirmed on the basis of clinical signs only. To date, a total of
600 animals have been confirmed without laboratory examination.
(4) Cases prior to BSE being made notifiable are shown by year of report, apart from cases in
Great Britain which are shown by year of clinical onset of disease.
(5) Data as of 24 April 2015.
PERATURAN MENTERI PERTANIAN
NOMOR : 482/Kpts/PD.620/8/2006
Memperhatikan : World Animal Health Organization/Organization
Internationale des Epizooties (WAHO/OLIE)
Terresterial Animal Health Code Tahun 2005.
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG


PEMASUKAN TERNAK RUMINANSIA DAN
PRODUKNYA DARI NEGARA ATAU BAGIAN DARI
NEGARA (ZONE) TERTULAR PENYAKIT BOVINE
SPONGIFORM ENCEPHALOPATHY (BSE) KE
DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Pasal 1
(1) Negara atau bagian negara (zone) asal ruminansia dan produknya
yang dapat disetujui pemasukannya ke dalam wilayah Negara
Republik Indonesia adalah negara yang berstatus dapat diabaikan
terhadap Bovine Spongiform Encephalopathy yang selanjutnya disebut
BSE ( Negligible BSE Risk).
(2) Jenis ruminansia dan produknya yang berisiko membawa agen
penyakit BSE yang berasal dari negara atau bagian negara (zone)
yang terjangkit BSE yang statusnya tidak dapat ditentukan
(Undeterminated BSE Risk) dan negara atau bagian negara (zone) yang terjangkit BSE yang
statusnya dapat dikendalikan (Controlled
BSE Risk) dilarang pemasukannya ke dalam Wilayah Negara Republik
Indonesia.
(3) Jenis ruminansia dan produknya yang berisiko membawa agen
penyakit BSE yang dilarang pemasukannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran I
Peraturan ini.

Kejadian

Di

Amerika

Tepung kedelai merupakan material yang murah dan berlimpah di Amerika Serikat .
Sebanyak 1,5 juta ton tepung biji kapas yang diproduksi di Amerika Serikat setiap tahun
tidak cocok untuk manusia atau hewan dengan tipikal lambung sederhana, bahkan
lebih murah daripada bungkil kedelai. Secara historis, tepung daging dan tulang, tepung
darah dan potongan daging hampir selalu ada dengan harga yang lebih tinggi sebagai
aditif pakan dibandingkan tepung nabati di Amerika Serikat , sehingga tidak ada banyak
insentif untuk menggunakan produk hewani untuk pakan ruminansia . Akibatnya , tidak
banyak pakan hewan yang menggunakan bahan yang berasal dari hewan sebagai
bahan bakunya seperti yang terjadi di Benua Eropa. Namun, peraturan AS hanya
melarang penggunaan sebagian produk sampingan hewan dalam pakan hewan. Pada
tahun 1997, terbit peraturan yang melarang penggunaan produk sampingan dari hewan
mamalia untuk digunakan dalam pembuatan pakan bagi ruminansia, misalnya sapi dan
kambing. Namun, produk sampingan dari ternak ruminansia masih dapat secara legal

diberikan kepada hewan peliharaan atau ternak lainnya , termasuk babi dan unggas ,
seperti ayam.
Pada bulan Februari tahun 2001, USGAO melaorkan FDA, sebuah institusi yang
bertanggung jawab dalam manajemen pengaturan pakan, belum menegakkan berbagai
macam larangan. Tingkat kepatuhan terhadap perauran sangatlah rendah sebelum
ditemukan seekor sapi di Washington DC yang positif terjangkiti BSE pada tahun 2003,
namun sekarang perwakilan perusahaan menyatakan kepatuhan total. Meski begitu,
para kritikus menyebut bahwasannya larangan parsial belumlah cukup. Memang,
produsen daging bernama Creekstoner Farms dsecara paksa dicegah dari melakukan
pengujian BSE oleh USDA, yang mana menurut undang-undang 1913 jelas memiliki
kewenangan untuk memberikan pembatasan penjualan kit uji BSE, diduga untuk
melindungi produsen yang lain untuk dapat dipaksa melakukan uji yang sama agar
menjaga
situasi
kompetisi.
Kasus

BSE

di

Amerika

Serikat

yang

telah

di

identifikasi.

Pernah terjadi 4 kasus BSE di Amerika Serikat. Informasi berikut ini akan
mendeskripsikan kasus-kasus tersebut ;

Pada tanggal 23 Desember tahun 2003, Departemen Pertanian Amerika Serikat


mengumumkan diagnosa awal dari kasus pertama BSE di Amerika Serikat.
Kasus ini terjadi pada sapi ras Holstein yang berada di negara bagian
Washington. Diagnosa ini kemudian telah dikonfirmasi oleh Laboratorium
Referensi Internasional yang berada di Weybridge, Inggris, pada tanggal 25
Desember. Penelusuran dengan menggunakan metode identifikasi ear tag dan
pengujian genetik menghasilkan kesimpula bahwa sapi yang terjangkit BSE
merupakan sapi yang berasal dari Kanada yang diimpor pada bulan Agustus
tahun 2001. Dikarenakan hewan tidak dalam kondisi rawat jalan (seekor sapi
ambruk) pada tempat pemotongan, sample organ otak diambil oleh Petugas
Inspeksi Layanan Kesehatan Hewan dan Tumbuhan dari USDA sebagai bagian
dari kegiatan surveillans terhadap penyakit BSE. Namun kondisi hewan yang
seperti ini terjadi sebagai komplikasi dari kondisi setelah melahirkan. Setelah
dilaksanakan pemeriksaan terhadap hewan tersebut oleh dokter hewan dari
FSIS pada saat sebelum dan sesudah disembelih, karkas yang dihasilkan di jual
di apsaran sebagai bahan pangan hewani untuk konsumsi manusia. Selama
proses penyembelihan jaringan yang rawan menjadi material penyebaran BSE
disingkirkan. Pada 24 Desember 2003, FSIS menarik dari pasar peredaran
daging sapi yang disembelih pada perusahaan yang sama, pada hari yang
sama, dengan diketemukannya sapi yang posistif terjangkiti BSE.

Pada tanggal 24 Juni tahun 2005 pihak USDA mengumumkan penerimaan hasil
akhir uji yang diterima dari Badan Laboratorium Veteriner di Weybridge, Inggris,
mengkonfirmasi kejadian BSE pada seekor sapi yang memberikan hasil uji yang
bertentangan pada tahun 2004. Sapi ini berasal dari negara bagian Texas, mati
dalam umur sekitar 12 tahun, dan mewakili kasus endemk pertama di Amerika
Serikat.

Pada tanggal 15 bulan Maret tahun 2006, pihak USDA mengkonfirmasikan


kejadian BSE pada seekor sapi di negara bagian Alabama. Kasus in
diidentifikasikan pada seekor sapi ambruk pada suatu peternakan di negara
bagian Alabama. Sapi ini telah dieuthanasi oleh dokter hewan setempat dan
keudian di kubur di dalam tanah pada area peternakan tersebut. Dari susunan
gigi sapi sapi tersebut di perkirakan berusia 10 tahun. Sapi tersebut tanpa ear
tag dan tanda karakteristik yang jelas sehingga tidak akan dapat ditelusuri
kawanan asalnya meskipun melalui sistem investigasi yang mendalam. Pada
bulan Agustus tahun 2008, beberapa peneliti ARS melaporkan bahwa kejadian
langka, kelainan genetik yang dapat bertahan dalam populas sapi dianggap
telah menyebabkan atipikal BSE pada hewan di negara bagian Alabama

Pada tanggal 24 April tahun 2012 pihak USDA mengkonfirmasi adanya kejadian
BSE pada sapi perah di negara bagian California. Sapi ini di uji sebagai bagian
dari sampel acak dari kegiatan surveillans yang dilaksanakan di negara Amerika
Serikat. Sapi perah tersebut berumur 10 tahun 7 bulan dan diklasifikan terjangkiti
strain BSE tipe-L.

Kejadian di Indonesia
Menurut Subronto, BSE di Indonesia merupakan penyakit eksotik, Apabila ada
kecurigaan ke arah BSE, tiap dokter hewan yang menangani harus segera melaporkan
kepada Dinas Peternakan, dan segera meminta bantuan profesional dari laboratorium
Diagnostik terdekat. Bagi pengusaha pabrik pakan ternak, bahan makanan yang
berasal dari lemak, tulang, jerohan, syaraf dan sebagainya, harus benar benar
memperoleh izin importasinya dari instansi berwenang. Meskipun kaitan antara BSE
dengan penyakit oleh prion pada manisia belim diketahui benar, pemasukan bahan
makanan , daging, susu, atau produk lain harus dilakukan secara hati- hati, dan melalui
pengawasan ketat.
Di Indonesia belum pernah dijumpai penyakit ini tetapi Indonesia mengimpor berbagai
jenis bahan sebagai pembawa penyakit ini berupa ; bahan makanan, bahan pakan
obat-obatan, kosmetika, hewan hidup, bahan-bahan diagnostik, dan organ tubuh untuk
transplantasi, dll.
Gambar dibawah menyajikan penyebaran kejadian BSE di dunia menurut OIE,
berdasarkan laporan negara yang bersangkutan, dimulai dari tahun 1989 sampai
dengan insidensi terlaporkan yang terakhir terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2012

Anda mungkin juga menyukai