Anda di halaman 1dari 16

Kisah Lydia Bradey: Mencuri Everest

Oleh Greg Child


Dari Buku Postcard From the Ledge: Kumpulan Tulisan Mountaineering.
[muncul pertama pada majalah CLIMB Edisi 150 bulan Februari 1995]
Diterjemahkan bebas oleh Ambar Briastuti (ambaradventure.com)

Picture by Michael Chapman-Smith from http://www.stuff.co.nz/


2012 - Lydia on the Minarets, Aoraki/Mt Cook National Park.

Terakhir kali saya bertemu dengan Lydia Bradey ketika kami berjalan melewati gang
sempit di Kathmandu. Saat itu ketika tukang becak memburu kami untuk memakai jasa
meninggalkan penginapan Rum Doodle Tavern tempat berkumpulnya para pendaki
yang bertemu sebelum memulai ekspedisi sebuah tradisi yang dianggap unik di Nepal.
Saat itu tahun 1988. Yakni ketika ia dalam perjalanan menuju Everest, sedangkan saya
menuju Makalu. Sambil berjalan pulang ke hotel, kami setengah menyesali kondisi
setengah mabuk dan kondisi mental yang payah sebagai sebuah latihan memenuhi misi
menuju ketinggian: yaitu menjadi wanita pertama yang mendaki Everest tanpa tabung
oksigen.
Satu dekade setelah Reinhold Messner dan Peter Habeler mendaki pertama tanpa
oksigen di tahun 1978, telah menyusul duapuluh empat orang yang mendaki secara
natural di ketinggian 8,847m. Dari jumlah tadi empat orang meninggal ketika turun. Jika
Bradey selamat dalam pendakiannya, ia akan menjadi perempuan pendaki terhebat
dalam sejarah. Setelah enam kali ekspedisi di Himalaya, Bradey mengetahui bagaimana

Himalaya. Ia tiba di Everest dari ekspedisi sebelumnya yang gagal di K2, puncak kedua
didunia, ketika tubuhnya masih menyimpan kehausan untuk mendaki. Jika kepercayaan
diri diukur dalam dunia pendakian maka Bradey adalah sosok yang berkepribadian kuat,
berusia duapuluh tujuh tahun dari Selandia Baru dengan rambut panjang kriwil dan
hidung yang dilobangi bergaya pendeta Hindu. Penampilan yang membuat orang tidak
percaya bahwa ia telah mendaki puncak tertinggi di dunia.
Tapi mendaki tanpa oksigen dan sendirian menjadikan klaimnya ditolak oleh rekan satu
tim dan media massa di Selandia Baru. Karena itulah harga diri dan hukuman dilarang
mendaki selama dua tahun dari segala bentuk ekspedisi di wilayah Himalaya oleh
Menteri Pariwisata Nepal membuat karirnya berakhir di saat puncak kejayaannya.
Bradey berjuang untuk meyakinkan dunia bahwa ia benar-benar mendaki Everest dan
pertikaian dengan rekan satu timnya yang sering disebut Lydiagate oleh para pendaki
dunia akan selalu menjadi cerita kontroversial terbesar dalam sejarah mountaineering.
Kasus Lydiagate dan Lydia Bradey telah membuat aku terkesan dalam beberapa tahun
ini. Apakah dia berbohong tentang pengakuannya mencapai puncak Everest seperti
yang dibilang kawan setimnya itu? Atau seperti pernyataan Bradey bahwa ia merasakan
kecemburuan dari rekan pendaki cowok sebagai pembuktian bahwa ia berhasil
sedangkan mereka tidak?
***
Hingga saat ini1 hanya satu orang wanita yang bisa menandingi kemampuannya:
seorang Inggris bernama Alison Hargreaves yang mendaki Everest tanpa oksigen di
tahun 1995 namun kemudian tewas beberapa minggu ketika menuruni puncak K2.
Alison menjadi begitu terkenal karena walaupun sebagai wanita kedua yang mencapai
Everest tanpa oksigen tetapi ia adalah pertama yang berhasil dikonfirmasi. (Alison
meyakinkan saya di Tibet bahwa ia merasa Lydia berhasil mencapai puncak Everest).
Secara ironis dalam kasus Lydia Bradey, perempuan yang mengklaim sebagai
pencapaian tinggi di bidang pendakian alpin hanya mendapatkan penderitaan dan rasa
sengit yang dalam.
Saya bertemu kembali dengan Bradey yang saat ini berusia tigapuluh empat tahun di
sebuah caf di Boulder Colorado di tahun 1994 ketika ia sedang berkunjung ke Amerika.
Kondisi pertemuan kami berbeda dengan situasi ketika berada di bar di Kathmandu. Kali
ini sebuah tape recorder di tengah kami menggantikan koktail Rum Doodle. Sepertinya
ini adalah saat yang baik untuk mewawancarai dia. Disaat para ahli sejarah pendakian
tiba-tiba memberikan dukungan atas prestasinya, berdasarkan bukti baru yang bakal
membersihkan nama Bradey.
Saat ini, rambut kriwilnya digantikan dengan potongan rambut yang tomboi dan anting
biru di hidungnya menghilang walaupun selera fashionnya tetap bergaya punk. Ia
menetap di Auckland, Selandia Baru dan disaat pertemuan kami, ia tinggal dengan
seorang pendaki/insinyur sembari mendaki tebing di akhir pekan dengan menyelesaikan
sekolah di bidang terapi fisik. Kegiatan yang membuatnya terlepas dari keinginan
mendaki kembali, hidup dari ransel dan tenda sembari mengelilingi dunia di tahun 80an.


1 Tulisan ini dimuat pertama kali di tahun 1995 di majalah Climb di Amerika Serikat. Prestasi Alison
Hargreaves hingga saat ini diikuti dua orang perempuan yakni La Ji (dari China 22 Mei 2004) dan Nives
Meroi (dari Italia 17 Mei 2007) Ambar Briastuti

Aku tidak pernah sepenuhnya melupakan mendaki, katanya sembari mengaduk kopi
latte, menjelaskan peralihannya pada kegiatan akademik. Aku hanya ingin menyalurkan
enerji pada sesuatu yang lain. Ia kemudian bertutur tentang masa depannya termasuk
wisuda dari sekolah terapi fisik dan kembali mendaki Himalaya setelah sekian lama
hiatus. Mungkin mencoba mendaki lagi K2.
Tapi saat ini saya ingin menanyakan masa lalunya dan saya mengajaknya ngobrol
kearah Everest. Secara langsung saya menanyakan apakah betul ia telah mencapai
puncak. Jawaban Iya diberikan dengan langsung dan tidak berubah. Saya memutar
tape recorder dan ia mulai menjelaskan kisah pendakian kontroversialnya ketika
mendaki Everest.
***
Saat itu waktu menunjukkan pukul 2:00 pagi tanggal 14 Oktober 1988 ketika Bradey
muncul dari badai yang memporak porandakan tenda di South Col Everest. Sambil
menahan dingin, ia memasang crampon dengan sepatu bootsnya, mencangklong ransel
dan berjalan sendiri menuju puncak dari pecahan bumi sekitar 960m diatasnya.
Rute yang bakal ditempuhnya itu adalah melalui gigir Southeast (Tenggara) yang dilalui
oleh pendaki terkenal dari negerinya, Edmund Hillary beserta Sherpa Tenzing Norgay.
Jika semua berjalan lancar, ia akan menjadi pendaki Everest yang ke 240 dan menjadi
wanita Kiwi (sebutan bagi orang Selandia Baru) yang berhasil mencapai puncak. Hanya
ada satu yang mengganjal: ia tidak punya ijin atas rute yang sekarang ini diambilnya.
Beberapa hari sebelumnya, rekannya dari Selandia Baru, Rob Hall, Garry Ball dan Bill
Atkinson mencoba mendaki melalui South Pillar walaupun mengantongi ijin Southwest
Face. Mendaki South Pillar ini sebenarnya adalah rute yang tidak diajukan dalam ijin
mereka. Upaya tim menjajal rute baru inipun gagal. Walau begitu, Bradey merasa ia
masih fit dan merasa tidak akur dengan tiga kawan senegaranya ini. Ia kemudian
menuju gigir Tenggara (Southeast) jalur yang disebut sebagai paling mudah menuju
Everest, atau disebut rute yaks menurut para Sherpa.
Secara teknis kedua rute menyalahi peraturan yang ditetapkan Menteri Pariwisata di
Kathmandu yang melarang para pendaki mencoba rute yang tidak dalam ijin dan
membayar fee sebelumnya, atau merubah rute selama ekspedisi. Di tahun 1987 Bradey
bisa menghindar dari pendakian illegal di Pakistan.
Hal ini sebenarnya bukan hal yang baru; ketika para pendaki membuat ijin pendakian di
bawah meja . Dalam filosofi alpin pemberontak seperti Bradey, ijin mountaineering
dianggap hanyalah selembar surat dan para birokrat yang membuat peraturan adalah
pejabat korup yang mengambil keuntungan dari mountaineering. Puncak Everest begitu
dekat bagi Bradey, dan ia percaya ia tidak bakal menganggu siapapun dengan
menyelundup melewati Gigir Tenggara (Southeast Ridge).
Kerlip bintang bercahaya yang memantul di salju menuntunnya menuju lapangan yang
penuh dengan sampah tabung oksigen dan bekas tenda yang tertiup angin dalam suhu
dibawah nol yang bertiup kencang dari Tibet. Sembilan puluh meter dari tendanya, ia

bertemu empat orang Spanyol, empat orang Sherpa dan satu orang Perancis keluar dari
tenda dan mulai memasang masker dari tabung oksigen.
Hai kawan, salam Lydia dengan ramah. Apakah kalian keberatan jika aku ikut serta?
Heran dengan kedatangannya yang tidak diduga, mereka saling memandang, hingga
seorang Sherpa bernama Ang Rita menjawab, No problem.
Para pendaki berjalan dalam satu jalur. Dengan tanpa oksigen membuat Bradey
tertinggal di belakang. Ia berjalan melewati tali yang sobek, jejak sepatu boots yang
besar, hingga lubang-lubang bekas celah kapak es. Ini adalah jejak yang ditinggalkan
oleh pencetak rekor dari Perancis bernama Jean Marc Boivin yang menuruni puncak
hingga glasier dengan parasut dalam waktu sebelas menit. Marc Batard juga melesat
melalui Southeast Ridge dalam duapuluh empat jam ketika Stacey Alison dengan
menggunakan oksigen menjadi wanita Amerika pertama yang mencapai puncak
Everest.
Pada pukul 4:30 pagi, pendaki Perancis dan dua orang Sherpa berteriak padanya,
Kami akan turun. Beberapa menit kemudian ia mengetahui kenapa mereka
membatalkan terus mendaki: mayat salah satu dari dua orang Sherpa didepan, mungkin
Lhakpa Son Am atau Pasang yang sehari sebelumnya menghilang. Dilihat dari posisi
mayat yang terpelintir, Bradey berasumsi bahwa ia tergelincir didekat South Summit,
sekitar 600m diatas. Tidak ada yang bisa kulakukan untuknya, ia berpikir begitu dan
melanjutkan mendaki.
Angin perlahan mulai bertambah ketika hari terang. Ia kemudian mengambil kamera dari
ransel untuk mengambil gambar matahari terbit di Himalaya. Tapi ketika memencet
tombol, ternyata macet karena membeku. Saat itu ia berharap membawa kamera lain
yang bisa berfungsi.
Berkeliaran diantara atmosfer yang berisi seperempat dari jumlah oksigen di permukaan
laut, Bradey memandang pagi berubah menjadi siang; kemudian pukul 2:30 siang ia
mencapai South Summit, sebuah tempat tidak rata pada gigir sekitar 100an meter
dibawah puncak Everest. Disini ia bertemu dengan para pendaki Spanyol. Jeronimo
Lopez, Nil Bohigas, Luis Giver dan Sherpa Nima Rita dan Ang Rita yang telah mencapai
puncak pada pukul 12:45 siang. Sekarang mereka bergerombol di South Summit,
membuat tali pengaman untuk menurunkan Sergio Martinez yang merasa tidak sehat
dan menunggu di South Summit ketika kawan-kawannya mencapai puncak. Ketika
mereka kembali, ia mendesah, Aku sekarat, dan jatuh terpuruk dalam koma akibat
ketinggian.
Sembari berjongkok di salju, Bradey menyaksikan para pendaki Spanyol berusaha keras
melakukan pertolongan. Ditengah upaya pendaki Spanyol mencoba berkomunikasi
radio, ia mendengar Lopez menyebut namanya.
Jangan bicara apapun tentang aku, ia bilang pada Lopez, menyadari bahwa semakin
sedikit orang tahu pendakian illegalnya akan lebih baik. Namun Lopez sudah terlanjur
menyiarkan keberadaannya di South Summit pada radio di Base Camp dan semua
orang disana tahu bahwa Lydia Bradey tak akan jauh dari puncak Everest. Sebelum
Lopez pergi, ia menasehati Bradey bahwa pukul 3:00 siang sudah sangat terlambat
untuk mencoba puncak. Malam akan segera tiba dan ini bisa berakibat fatal. Sambil
meletakkan wajahnya didepan muka Lydia, ia berteriak diterpa kencangnya angin,

Kamu bakal tewas jika meneruskan mendaki!


Bradey menatap halangan besar di depannya: sebuah gigir tajam yang diikuti dengan
Hillary Step, sebuah dinding tajam setinggi 12m. Halangan yang membuatnya miris,
seperti gundukan gunung yang berbeda. Irama yang lambat dan kondisi mental seperti
bermimpi karena tanpa bantuan oksigen membuatnya khawatir. Belum pernah ada
perempuan yang mencapai ketinggian tanpa bantuan ju penguat. Aku akan jalan
terus, begitu keputusannya.
Setelah kepergian tim Spanyol, ia melintas sebuah gigir sempit yang hingga tengah hari
ini telah dilewati sebelumnya oleh tigapuluh orang pendaki yang mencapai puncak pada
musim ini saja. Ia ingat adanya sebuah tali kecil yang bergelantungan diatas Hillary
Step, sembari menapak jalur dengan melalui salju mengambil nafas pada perjalanan di
gigir. Di puncak dengan ruang selebar 2x1m, yang menurutnya dicapai pada pukul 4:30
siang dan 5:30 siang (ia tidak terlalu yakin kapan tepatnya karena kehilangan jam
tangan) adalah tempat dengan kerucut salju yang nyata. Dengan deburan angin yang ia
rasakan ketika di puncak, menyaksikan Makalu dan Cho Oyu tersembul diantara
sederetan awan kumulus. Aku sudah melakukannya, begitu pikirnya. Ini bukanlah
mimpi.
Lydia Bradey telah mencuri puncak Everest.
***
Tapi 3,000m dibawah puncak yakni di Everest Base Camp, kawan satu tim Bradey
menjadi gusar luar biasa. Mereka telah memonitor radio tim Spanyol seharian, dan
berharap ia akan menggagalkan upaya menuju puncak.
Rob Hall, guide gunung berkacamata dengan penampilan professional adalah ketua tim
Selandia Baru. Mereka berbagi ijin rute Southwest Face dengan tujuh tim Slovakia
dipimpin Ivan Fiala. Ini adalah kerjasama saling menguntungkan: tim Slovakia
membutuhkan uang; sedangkan orang Kiwi membutuhkan alas kaki di jalur sibuk
Everest. Tapi seperti yang diakui Hall, anggota timnya dan tim Slovakia selalu tidak
cocok dan sering bertengkar masalah keuangan. Merasa sudah capai dalam upayanya
mencapai puncak dan kekhawatiran pada kondisi yang tak menentu membuat anggota
tim Selandia Baru berkeinginan segera meninggalkan arena.
Dari kondisi ini, hanya tim Slovakia yang berencana untuk menghadapi Southwest Face.
Tim Hall merasa sangat kecil kemungkinan untuk menaklukan dinding yang begitu
susah. Pada pendakian di tahun 1976 saja, dinding itu membutuhkan tenaga tujuh puluh
delapan orang Inggris dan Sherpa dengan 180 botol oksigen dan 1,800m tali. Karena
itu, tim Selandia Baru beralih pada rute Tiang Selatan (South Pillar), sekitar 150m
sebelah kiri Gigir Tenggara (Southeast Ridge). Seperti halnya Bradey, mereka tidak
punya ijin untuk mengganti rute. Tetapi tim Korea yang memasang tali pengaman dari
awal South Pillar tidak keberatan jika tim Hall ikut menggunakan tali. Dalam realitas
lapangan, tim Korea tidak mendaki South Pillar secara keseluruhan melainkan
menggunakan awal rute disusul menyisir menuju Southeast Ridge pada titik tak jauh
diatas South Col di ketinggian 7,800m. Bradey bersikeras bahwa Hall dan Ball,
sebenarnya melakukan ulangan rute.

Hall menjawab tidak setuju akan pendapat ini, ketika saya mewawancarainya, sembari
menyebut tuduhan itu sebagai bagian dari tim yang melakukan upaya pendakian gelap.
Ia berkata bahwa pendakianya hanya pada Southwest Face dan ia tidak mempunyai
niat untuk menyelundup mendaki melalui rute Hillary.
Ini menunjukkan argumen yang berbeda, ketika pihak perijinan di Kathmandu menolak
permintaan Hall sebelumnya untuk merubah rute menjadi Southeast Ridge. Semenjak
tim berada pada posisi rute yang dilakoninya, Hall menyesali sikap Bradey yang tidak
mendukungnya. Hall menganggap sikap Bradey yang memisahkan diri dari tim resminya
adalah bentuk pemberontakan terbuka, dimana tidak satupun dari anggota tim yang bisa
menghentikannya.
Tindakan seperti mengikat dia dengan tali dan menyeretnya dari gunung melawan
keingingannya adalah tidak mungkin. Sesuatu yang tidak bisa kami lakukan untuk
membawanya turun dari gunung, kata Gary Ball. Seperti yang dilakukan oleh tim
Spanyol dengan ijin awal adalah Gigir Barat (West Ridge) namun kemudian membeli
jalur menuju Gigir Tenggara (Southeast Ridge) dengan membayar pada pihak autoritas
di Kathmandu dengan tambahan fee.
Bagi Hall, siaran radio yang ia dengar dari Lopez pada pukul 2:30 siang diterjemahkan
seperti yang diceritakan kepada saya. Ia mengatakan bahwa Bradey berada di bawah
South Summit, tetapi mendaki lebih keatas ia akan kelelahan dan bisa membuat
masalah yang lebih besar. Malam itu ketika radio melaporkan kembali tentang
sampainya ia kembali di South Col dengan mengklaim mencapai puncak, ia merasa
bahwa itu bukanlah pencapaian seperti halnya pimpinan ekspedisi ketika
seorang anggotanya berhasil.
Orang Selandia Baru memastikan bahwa Everest adalah seperti milik mereka, sebagai
ucapan terimakasih pada Hillary. Tim ekspedisi Selandia Baru yang dipimpin Hall ini
mendapatkan dukungan penuh baik nasional dan berita di media. Ia merasa khawatir
bahwa pihak otoritas Nepal akan menyalahkan dirinya pada pendakian Lydia Bradey
dan bakal memberikan sangsi larangan pada pendakian Everes selama sepuluh tahun
kedepan. Resiko yang ia sendiri tidak bakal mampu ditanggungnya.
Dengan pikiran seperti itulah, akhirnya ia memutuskan untuk mengambil langkah secara
drastis ketika berada di Kathmandu. Disana ia akan menerbitkan sebuah statemen yang
menjelaskan skenario yang berbeda tentang pendakian Bradey, yakni dengan
memberikan waktu pendakian yang membuat puncak Everest terdengar tidak mungkin
dilakukannya.
Maka dimulailah kisah getir tentang Lydiagate.
***
Di hari ketika Bradey menuruni sisi South Col,seorang Amerika yang berhasil mencapai
puncak dua minggu sebelumnya bernama Geoff Tabin bertemu dengan Hall, Ball dan
Atkinson ketika mereka sedang mengemasi tenda. Aku berpikir itu adalah tindakan
yang menggelikan, begitu yang diingat Tabin. Aku bertanya pada mereka, Bagaimana
jika Lydia membutuhkan pertolongan? Mereka menjawab, Itu bukan tanggung jawab

kami. Jika dia mendapatkan masalah, itu adalah salahnya sendiri.


Ketika Lydia mencapai Base Camp pada 16 Oktober, ia menemukan rekan senegaranya
sudah meninggalkan lokasi, tanpa memberikan pesan apapun dan mengambil semua
uang kes ekspedisi. Walaupun ia merasa terganggu karena mereka telah
menelantarkannya ketika ia masih berada di gunung, sesungguhnya tidak membuat ia
terkejut. Kondisi yang seperti ini menurut pemikiran para pendaki adalah pernyataan
untuk memutuskan perjanjian tak tertulis.
Hubungan antara Bradey dengan Hall dan Ball mulai memburuk selama minggu-minggu
sebelumnya. Diantara sisa gumpalan masalah yang membawa mereka menuju Everest
dari K2 adalah dimulai dengan affair panas antara Bradey dengan salah seorang
anggota ekspedisi K2 yang lain. Ketika ia memulai mendaki dengan tim pacarnya itu
menuju K2, Bradey percaya bahwa Hall dan Ball merasa seperti pengkhianatan, dan
mereka kemudian melakukan penolakan balik padanya. Di Everest, suasana antara dia
dan anggota tim pria menjadi begitu terbelah sehingga Bradey merasa tidak bakal
mungkin mendaki dengan mereka. Pilihannya untuk mendaki melalui Southeast Ridge,
melawan perintah Hall membuat permusuhan antara mereka makin mendalam.
Peristiwa pertikaian ini kemudian menjadi tidak penting. Di Base Camp, Ivan Fiala,
pemimpin tim Slovakia memberikan selamat pada Bradey dan mengatakan bahwa
Dusan Becik, Jaroslav Jasko, Peter Bozik dan Jozef (Just) kawan karibnya berada
dalam kondisi kesulitan di Dinding Barat Daya (Southwest Face).
Tim Slovakia ini mendaki praktis tanpa peralatan, semua dilakukan dengan cara alpinis
dengan bergerak pelahan pada bagian batu yang sulit pada ketinggian 8,000m dan
harus bermalam di tempat terbuka. Pada tanggal 17 Oktober, Just mengirimkan kabar
melalui radio ke Base Camp bahwa ia berhasil mencapai puncak dan tim sekarang
berjuang untuk turun dari gigir dimana Bradey mendaki sebelumnya. Kondisi tim sangat
lemah; beberapa mengalami buta salju karena menghabiskan waktu terlalu lama berada
di ketinggian ektrem dan bersalju. Setelah panggilan terakhir dari bivy2 darurat di
ketinggian 8,290m, datanglah angina kencang menerpa Everest. Para pendaki itu tidak
pernah terdengar kembali.
Kematian mereka membawa angka fatal pada musim itu di Everest menjadi sembilan (9)
orang. Ini adalah akhir yang menyedihkan bagi Bradey setelah mencapai puncak
tertinggi Himalaya. Empat puluh delapan jam sebelumnya di South Col, ia merasakan
kebanggaan ketika seorang Sherpa memperhatikannya berjalan menuju camp sembari
berucap, Anda ini sungguh wanita yang kuat. Saat ini kegembiraan yang dirasakannya
perlahan menghilang. Hari berikutnya dengan air mata berlinang ia mengemasi tenda
dan memulai trek kembali ke rumah. Hanya ia tidak menyadari kesulitan yang bakal
dihadapinya nanti.
***
Ketika Bradey mencapai Kathmandu dua minggu kemudian, Hall telah berada di
Selandia Baru. Di hotelnya, bunyi telpon terus berdering. Para jurnalis dari Selandia


2 Bivouck atau Bivy adalah kemah sederhana untuk kepentingan darurat Ambar Briastuti

Baru dan Eropa mengejarnya dengan berbagai pertanyaan.


Mereka bertanya, Apa benar anda mencapai puncak? Apa yang anda lihat di atas
sana?
Bradey merasakan para reporter tidak mempercayainya. Kemudian seorang jurnalis
yang simpati padanya mengirim fax halaman muka berita dari Christchurch Star
suratkabar setempat. Didalamnya, Hall mengatakan, Sungguh tidak masuk akal bahwa
ia berhasil mencapai puncak. Ia kemudian menggambarkan kondisi cuaca selama
pendakian yang sangat buruk dan mengatakan bahwa Bradey tidak dapat membuktikan
klaimnya karena kamera yang dipakainya membeku.
Bradey menjadi keheranan. Ia mengharapkan kontroversi atas pendakiannya karena
masalah teknis perijinan, tapi ia tidak pernah mengira bahwa Hall akan
menyangsikannya mencapai puncak3. Terlebih Hall tidak berada di atas gunung ketika
Bradey melakukan pendakian. Siang itu dengan mengendarai becak bermotor ia
menuju ke Kantor Menteri Pariwisata untuk melihat apa yang terjadi. Disana, kepala
bagian Mountaineering Kementrian Nepal, Mr. D Shresta menunjukkan pernyataan
tertulis yang dibuat Hall, Telah menjadi perhatian saya bahwa salah satu anggota tim
telah berlaku tidak bertanggung jawab di Mount Everest, begitu pernyataan tertulis
dimulai. Dalam kesimpulan: Saya tidak percaya bahwa ia berhasil mencapai puncak
Mount Everest seperti laporan yang diberikan oleh grup dari Spanyol yang memberikan
indikasi bahwa saat itu ia dalam kondisi yang tidak sehat dan waktu yang disebutkan
ketika mecapai puncak sangat tidak masuk akal.4
Aku tertegun, Waw, jauh banget! ketika aku membaca pernyataan itu, ucap Bradey.
Hingga saat ini ia menyadari sepenuhnya bahwa jika ia mengaku melakukan pendakian
illegal pada pihak Nepal maka ia dan seluruh tim akan dilarang mendaki di Nepal. Untuk
itu demi menghindari kesulitan yang makin besar dengan menarik kembali klaim
puncaknya akan memposisikan dirinya sebagai pembohong. Tanpa photo dan saksi
mata, satu-satunya bukti adalah pengakuannya sendiri.
Sayangnya, klaimnya tidak diakui di Selandia Baru. Selama minggu-minggu berikutnya
paling tidak ada 14 berita tentang Bradey yang muncul di empat surat kabar Selandia
Baru. Sangat sedikit yangmendukung ceritanya. Bradey menyatakan bahwa rangkaian
liputan media itu adalah upaya nyata untuk memberikan informasi yang salah oleh
Hall. Salah satu headlines Pihak Nepal Menarik Paspor Penakluk Everest yang
menyatakan seolah ia berada dalam tahanan rumah oleh otoritas setempat. Cerita
lainnya, berjudul Pendaki Everest Mungkin Berhalusinasi dengan mengambil
keterangan dari dua orang Amerika yang melihatnya merangkak menuruni Everest
dalam kondisi berhalusinasi.


3 Hall, Ball dan Atkinson meninggalkan Base Camp pada tgl 14 Oktober, sedangkan pada saat yang sama
Bradey berada di Camp 4 menumpang tenda seorang kru film dari Perancis, Denis. (dari catatan pendakian
Himalayan Databases 1988). Ambar Briastuti
4 Pernyataan tertulis Hall dan Ball juga diberikan pada pencatat sejarah Himalaya, Elizabeth Hawley di
Kathmandu yang berisi bahwa Bradey seorang pembohong. Kedua orang ini membantah, tetapi dalam
penulisan artikel ini, Greg Child ditunjukkan surat pernyataan yang ditandatangani keduanya oleh Elizabeth
Hawley. (dari Buku biografi Liz Hawley: I'll Call You in Kathmandu hal 161-164). Ambar Briastuti

Berita itu memaparkan bahwa ia begitu teracuni oleh tipisnya udara sehingga ia mengira
bahwa South Summit adalah puncak sebenarnya. (Sesungguhnya ketika menuruni
Everest pada 15 Oktober, Bradey bertemu dua orang Amerika: John Petroske dan Steve
Ruoss dari Seattle. Petroske masih ingat pertemuan tsb: Bradey memakai kacamata
yang retak dan kaos tangan yang tidak sama. Ia terlihat lelah, seperti yang
dituturkannya pada saya di tahun 1994, tapi ia terlihat lebih baik daripada orang-orang
Spanyol. Ia mengatakan,Pemandangan diatas begitu menakjubkan. Ayoh kamu pasti
bisa! Baik Pestroke dan Ruoss mengatakan mereka tidak pernah diwawancarai oleh
reporter ataupun Hall tentang Bradey. Dan baik ia dan Ruoss tidak pernah menyatakan
Bradey berhalusinasi ataupun merangkak.
Headline lain, Klaim Pendaki Everest Diragukan, menyatakan bahwa ketika tim
Spanyol bertemu dengan Bradey pada pukul 2:30 siang ia tidak berada di South
Summit, tetapi sekitar 90m dibawahnya sembari merangkak dengan kepayahan. Surat
kabar yang lain juga melaporkan bahwa tim Spanyol mengatakan bahwa ia kembali ke
South Col satu jam setelah terlihat berada di South Summit kerangka waktu yang
membuat pendakian puncak terdengar tidak masuk akal. Lopez, salah satu anggota tim
Spanyol yang saya wawancarai di tahun 1994 keheranan ketika mengetahui bagaimana
pernyataan dari timnya dikutip oleh suratkabar ketika tidak ada seorangpun yang
menanyakan ekspedisinya tentang Bradey. Hingga dua tahun kemudian seorang penulis
bernama Richard Cowper dari Financial Times di London menyarankan agar tim
pimpinan Lopez melihat kembali catatan harian berikut rekaman suara yang dilakukan
pada saat hari pendakian puncak (tim Spanyol membuat sebuah film TV dan merekam
pendakian mereka dengan video dan audiotape juga dalam bentuk tulisan).
Tim Spanyol mengonfirmasikan bahwa mereka bertemu Bradey di South Summit pada
pukul 2:30 siang; dan Lopez bertemu kembali dengannya disaat menjelang gelap yaitu
pukul 8:30 malam pada ketinggian 8,200m menuruni gunung, ketika tim berupaya
menurunkan Martinez. Bradey mencapai puncak di South Col pada pukul 9:00 malam
bukannya antara pukul 4:00 sore dan 7:00 malam seperti yang dilaporkan suratkabar
sebelumnya.
Perbedaan waktu ini sangat penting sebagai dukungan bagi klaim Bradey. Berdasarkan
waktu yang diberikan oleh tim Spanyol, ia mempunyai waktu enam jam untuk menuju
South Summit hingga puncak dan kembali pada titik dimana Lopez bertemu dengannya
kembali. Namun temuan ini tidak muncul ke permukaan hingga tahun 1990. Selama
waktu itu hanya sedikit yang bersedia mempercayai prestasi yang dicapai oleh Bradey.
Saya bertanya pada Lopez apakah ia percaya pada klaim puncak Everest oleh Bradey.
Ia menjawab, Kondisi fisiknya ketika berada di South Summit tidaklah menyedihkan. Ia
tidak dalam posisi merangkak. Hanya dialah yang tahu dengan pasti apakah ia
mencapai puncak. Tetapi disini ia mempunyai waktu yang cukup; jadi saya memberikan
keuntungan dari sisi keraguan selama ini. Lagipula jika dia tidak menuju ke puncak,
ngapain dia berada di atas gunung dalam sekian lama? Lopez juga mengatakan bahwa
hanya Cowper dan saya dua orang penulis yang mewawancarainya mengenai Bradey.
Tidak ada satupun jurnalis dari Selandia Baru yang pernah mencoba menghubunginya,
walaupun ia adalah saksi kunci dari Lydiagate.
Artikel yang ditulis Cowper kemudian muncul di Inggris pada bulan November 1990 dan
menjadikan gelombang berbalik untuk mempercayai klaim Bradey. Pada tahun 1991,

media Selandia Baru secara umum mendukung klaimnya seperti juga kronikel Himalaya
bernama Xavier Eguskitza dari Inggris dan Elizabeth Hawley yang menggambarkan
perilaku Hall di Kathmandu sebagai upaya menutupi boroknya.
Bahkan Gary Ball yang pernah menggambarkan Bradey "bersedia ngomong apa saja
untuk menjadi terkenal, mengambil jarak dari pembicaraan ini, sembari mengoreksi
posisinya pada Lydiagate dengan Aku tidak pernah mengatakan ia tidak sampai puncak
Everest, walaupun aku juga tidak yakin jika Lydia mencapai puncak. (Secara tragis
pada tahun 1993 Ball meninggal karena pulmonary oedema ketika mendaki Dhaulagiri
di Nepal. Sebenarnya ia mendapat masalah yang sama sebelumnya yang membuat ia
harus diselamatkan ketika mendaki kembali K2 di tahun 1993. Kemudian di tahun 1996,
Hall meninggal di Everest ketika badai menghajarnya dan seorang klien ketika ia
melakukan guiding di dekat Hillary Step. Duabelas orang meninggal dalam badai itu dan
membuat perhatian media terpusat pada pendakian Everest)5 .
Sebelum opini publik beralih, Hall dan Ball adalah figur pahlawan di Selandia Baru,
namun headline majalah seperti Seorang Wanita Mendaki Everest dan Para Lelaki
Yang Meragukannya, membuat mereka menjadi subjek yang digambarkan sebagai
sexist yang melakukan konspirasi untuk mengambil posisi Bradey dari sejarah
pendakian. Walau begitu Hall tidak pernah berubah dengan tuduhannya.
Aku berharap bahwa bisa mempercayai Lydia mendaki puncak Everest, ujarnya
melalui fax (jawaban tertulis lewat fax hanyalah bentuk komunikasi ia dan Ball ketika
mendiskusikan masalah Lydiagate dengan saya,namun setelah mendaki sisi itu selama
empat kali, aku hanya tidak bisa melihat bagaimana ia mungkin melakukannya dalam
rentang waktu yang diklaimnya.
Pernyataan itu diberikannya di tahun 1994 dan ia baru saja kembali dari pendakian di
Himalaya dengan mendaki tiga dari empat puncak tertinggi di dunia Everest, Lhotse
dan K2 dalam satu musim. Itu juga adalah upayanya yang keempat dengan bantuan
oksigen mendaki Everest, yakni ketika ia meminta bayaran kliennya hingga $50,000.
Terlihat jauh dari sosok jahat, Hall adalah salah satu pendaki yang paling dihormati di
Selandia Baru, penerima gelar MBE (Member of British Empire, gelar yang diberikan
atas prestasi negara Commonwealth dari Ratu Inggris) sebagai jasa dibidang
mountaineering.
Hall mengklaim bahwa waktu yang digambarkan Bradey mencapai puncak South
Summit dan kembali ke South Col adalah berbeda dengan yang ia dengar dari radio tim
Spanyol pada tanggal 14 Oktober 1988 dan menurutnya tim Spanyol dengan alasan
yang tidak diketahuinya telah merubah cerita untuk memberikan waktu yang cukup bagi
pendakian Bradey.
***

Ada banyak gunung yang lebih tangguh dan menantang ketimbang Everest, namun


5 Kisah meninggalnya Hall ketika menuruni Everest, menolak meninggalkan kliennya di tahun 1996
diceritakan dengan dramatis oleh Jon Krakauer dalam buku Into Thin Air. Ambar Briastuti

dalam dunia alpin tidak ada pencapaian reputasi terbaik jika belum menjejakkan kaki di
puncak tertinggi di bumi. Karena Everest melambangkan titik nadir pencapaian manusia,
baik dengan cara yang benar ataupun salah. Penaklukannya adalah sebuah
kesempatan untuk menjadi seorang pendaki yang professional dan menjadikan climbing
sebagai karir lewat dukungan produk, undangan seminar sebagai pembicara dan
guiding. Godaan ini membawa sisi terbaik dan terburuk bagi para pendaki. Ego dan
ambisi dalam jumlah yang wajar adalah umpan yang sangat menggiurkan dalam
permainan berbahaya di pendakian Himalaya. Tetapi akan menjadi godaan besar yang
terlalu jauh dan membawa seorang pendaki pada malapetaka. Mereka juga adalah
sosok pendaki yang terseret dalam pergulatan antara mengatakan hal yang benar dan
rasa seperti pengkhianatan.
Petunjuk apakah Lydia Bradey mampu mendaki puncak Everest atau apakah ia
mengarang pencapaian itu mungkin berada di masa lalunya. Sebagai satu-satunya anak
dari keluarga klas menengah di Chrischurch, Selandia Baru. Ayahnya digambarkan
sebagai seorang yang tidak dewasa, meninggalkan keluarga ketika Bradey berusia tiga
tahun. Ia berusaha untuk menemui lagi ayahnya pada usia enambelas tahun dengan
menelepon sembari mengusulkan untuk menghabiskan liburan ski bersama. Ayahnya
menolak, dan ia tidak pernah bertemu dengannya hingga usia 19 tahun disaat
menjelang keberangkatannya dari Selandia Baru untuk melakukan pendakian selama
empat tahun. John Bradey tidak pernah memberikan nafkah anak, menjalani hidup
berlayar dan berfoya-foya ketika Bradey dan ibunya Royce seorang guru mendiami flat
sempit berkamar satu. Bradey teringat saat mereka kesusahan bahkan ketika ia dan
ibunya tidak mempunyai jam tangan ataupun jam meja sederhana di rumah.
Bradey sangat cerdas dan berhasil secara akademik, tetapi ia tidak menyukai olahraga
tim. Ia tidak pacaran ketika sekolah menengah dan menghabiskan waktu lebih banyak
dengan mendaki sejak usia 15 tahun. Salah satu rekan mendakinya ketika muda adalah
Rob Hall. Rob selalu baik padaku, seperti saudara sendiri, begitu ia mengingat. Ia
juga sangat sensitive. Aku bisa ngobrol masalah perempuan dan curhat dengannya.
Bradey kemudian bertemu dengan Gary Ball, guide yang sangat karismatik dengan
talenta yang suka bercanda jorok dengannya ketika ia harus mengevaluasi Bradey saat
mengikuti kursus mendaki alpin di Selandia Baru. Ball juga mengagumi perilakunya
yang pantang menyerah, mandiri dan ambisius untuk menjadi pendaki wanita terbaik di
dunia yang diungkapkannya dalam artikel di sebuah majalah di Selandia Baru.
Menjelang usia 18 tahun, Bradey telah mendaki Mount Cook dua kali, puncak tertinggi di
Selandia Baru. Dalam usia 19 tahun ia mencoba mendaki McKinley di Alaska dan
menuju Yosemite, ketika ia harus melakukan kemah gantung di dinding bersama tikus di
Camp 4 dan mencapai puncak El Capitan dalam rute beberapa hari. Tulangnya yang
besar dan bodinya yang tinggi membuat ia pas untuk membawa beban bagi alpinis,
tetapi ia juga adalah gadis gunung menarik yang terkadang memberikannya tawaran
pekerjaan sebagai model. Ia juga melakukan pendakian rock climbing di Ports seperti
Arapiles di Australia dan Sheffield Inggris. Ketika ia meninggalkan tempat-tempat itu, ia
juga banyak meninggalkan jejak patah hati. Lelaki-lelaki yang dulu menjadi pacarnya
mengatakan bahwa Bradey-lah yang mengontrol hubungan mereka. Aku terbiasa
meninggalkan pacarku begitu mudah seperti aku menjatuhkan buku, ia mengaku. Ia
memilih meninggalkan hubungan ketika terlihat tanda-tanda hubungan itu memburuk
seperti yang terjadi pada orangtuanya.
Bradey mencoba rute baru di puncak Asia termasuk Gankar Puncum dan Cho Oyu. Di

tiap ekspedisi ia adalah cewek yang tangguh dan terkadang mampu tampil lebih baik
dari pendaki pria ketika berada di ketinggian. Di Kedarnath pada ketinggian 6,920m di
India, ia dan Jon Muir dari Australia berhasil selamat di Himalaya ketika badai
menerjang mendekati puncak. Mereka terhalang oleh pandangan putih 6 selama
beberapa hari, bertahan dengan membuat gua kecil dari salju, diterpa avalanches dan
kehabisan makanan. Bradey merasa mendaki dengan resiko dalam ketidakpastian ini
lebih menarik. Ia menyebutnya Pendakian ala James Bond.
Gaya mendaki alpin yang digunakannya untuk menaklukan Gasherbrum II (8,035m) di
Pakistan pada tahun 1987 memberikan dua hal penting: bahwa ia mampu memasuki
batas 8,000m dan dia tidak akan membiarkan peraturan membatasi antara diri dan
kesuksesannya. Bradey dengan kawan seorang Australia, Geoff Little mendaki
Gasherbrum II dengan illegal melalui salju yang berbahaya memaksa mereka untuk
membatalkan pendakian di gunung sebelahnya Gasherbrum I gunung yang mereka
mintakan ijin pada otoritas. Penampilan mendaki di Gasherbrum II membuat Little
terkesan. Tidak ada orang yang pernah mendaki dengan Lydia akan meragukan
kekuatannya di ketinggian. Aku yakin ia berhasil mendaki Everest.
Gary Ball menggambarkan sisi yang lain dari pendakian ilegalnya ini. Lydia kembali ke
Selandia Baru sebagai pahlawan di Gasherbrum II, tapi [uang sogok] harus dibayarkan
pada pejabat disana sehingga mereka tidak akan dilarang mendaki di Pakistan.
Ketika Hall mengundangnya untuk masuk pada ekspedisi K2-Everest di tahun 1988, ia
harus berdiri untuk membela Bradey dihadapan anggota Klub Alpin Selandia Baru yang
menginginkan Bradey untuk keluar dari tim karena perilakunya di Gasherbrum II. Aku
memberikan jaminan pribadi pada orang-orang di Klub bahwa tidak akan terjadi
peristiwa serupa, tapi ternyata ia membuat kami kecewa.
Dalam pembelaan Bradey membilang, Banyak kok pendaki yang melanggar aturan.
Dan aku merasa sudah membayar jadi bisa mendaki gunung yang mampu didaki. Ia
menunjuk pada pujian yang dilayangkan pada pendaki pria yang melakukan pendakian
illegal: seorang Slovenia bernama Tomo Cesen 7 yang dilakukan dengan berani, cepat,
tanpa ijin, sendirian mencoba mendaki K2 di tahun 1986 dan Voytek Kurtyka dari
Polandia yang mendaki Broad Peak dan tentu saja masih banyak pendaki yang lain.
Bradey mengira bahwa ia mendapatkan masalah karena mendaki gaya alpin, terutama
di Selandia Baru. Gaya seperti ini adalah wilayah sakral bagi pendaki pria dan sangat
sulit bagi mereka untuk menerima kenyataan bahwa di tahun 1988 seorang wanita yang
cukup kuat, mampu mendaki solo di Everest tanpa bantuan oksigen.
Namun muncul bukti kuat bahwa ia telah melampui kemampuan fisik dan mencapai
jarak terakhir sejauh 106m menuju puncak Everest setelah tim Spanyol bertemu dengan
Geoff Tabin, orang pertama yang Bradey temui ketika ia kembali ke Base Camp dari
puncak. Kata Tabin, Ketika aku berada di puncak, terdapat satu tabung oksigen
tergeletak di salju, bekas kepunyaan pendaki Perancis. Ketika aku bertanya pada Lydia
tentang kondisi puncak atas temuan menarik itu, ia mengatakan bahwa tabung oksigen-


6 Whiteout, adalah kondisi badai ketika salju dan angin turun. Pendaki tidak mampu melanjutkan perjalanan
karena pandangan yang pendek, dengan kondisi dipenuhi salju. Ambar Briastuti

7 Kisah Tomo Cesen ini juga mengebohkan hingga reputasinya hancur setelah ia dituding mengarang pada

beberapa pendakian solonya. Ambar Briastuti

pun akan diterpa angin kencang ketika berada di puncak. Tim Spanyol kemudian
mengonfirmasikan bahwa puncak Everest adalah kosong, tidak ada apapun disana.
Mereka juga menyatakan bahwa mereka tidak menceritakan kondisi puncak pada Lydia.
Jika dia berbohong, maka ia akan setuju dengan perkataanku bahwa tabung oksigen itu
berada di puncak.
Kasus Lydia Bradey ini sangat tidak biasa karena begitu kurangnya photo dipuncak dan
saksi mata, juga adanya upaya keras dari tim-nya untuk menandingi klaimnya. Secara
tradisi, pendaki dihargai sangat tinggi karena menuturkan kebenaran dan banyak
pendakian yang tidak ada bukti yang cukup diterima melalui pengakuan mereka oleh
komunitas alpin. Sir Edmund Hillary berkomentar tentang Lydiagate,Aku berpendapat
jika seseorang mengatakan mencapai puncak, kecuali ada bukti kuat yang menunjukkan
sebaliknya, maka anda harus menerima bahwa ia mungkin telah melakukannya.
Walau cerita Bradey yang sepertinya terpampang lebar, duduk di caf Boulder ini sambil
mendengarkan penuturannya, saya mulai berpikir betapa luarbiasa bahwa media dunia
dan timnya sendiri mendiskreditkannya. Hanya ketika ia memberikan segepok klipingan
pemberitaan suratkabar, saya mulai mengerti kenapa media dan bahkan kawannya
sediri tidak mempercayainya.8 Dalam klipingan surat kabar itu terlihat kronologis yang
membingungkan ketika ia berada di Kathmandu di tahun 1988 yang membawa
perhatian publik terhadap klaimnya di puncak.
***

Merasakan sakit hati yang luar biasa tentang apa yang harus dikatakannya secara resmi
pada Menteri Pariwisata, Bradey memilih berkeliaran di ibukota Nepal. Dari mendatangi
upacara kaum Hindu yang mengadakan penguburan hingga mengunjungi kuil Buddha
disisi lain Kathmandu. Rangkaian peristiwa selama ekspedisi, kematian sahabatsahabat pendakinya dari Slovakia dan masalah berat yang akan dia hadapi
membuatnya terpuruk secara emosional. Dalam keputusasaannya ia mencari nasehat
pada Liz Hawley, seorang koresponden Reuter di Kathmandu dan orang paling
dihormati dalam jurnalistik Everest.
Tanpa setahu Bradey, Miss Hawley telah melaporkan pernyataan resmi Hall pada media
termasuk kisah tentang dugaan Bradey mengalami halusinasi dan merangkak di bawah
South Summit. Hawley yang dikenal sebagai jurnalis senior sepertinya terlihat ragu
dengan Bradey yang terlihat berpenampilan punk. Ia memberikan sebuah photo Everest
dan menanyakan pada Bradey agar memberikan gambaran rute yang diambilnya.
Bradey mendaki dari sisi selatan tetapi photo itu menunjukkan dinding timurlaut Everest
dan gunung sebelahnya Lhotse sebuah pemandangan yang tidak familiar bagi Bradey.
Liz terlihat kebingungan, Bradey mengingat-ingat, aku juga sama bingungnya.
Sebagai seorang yang bukan pendaki, Hawley menunjukkan apa yang dikiranya adalah
South Summit dan mengatakan dengan nada tidak percaya,Lihat, sungguh jauh menuju


8 Dalam Himalayan Databases, sejak tahun 1999 Elizabeth Hawley tidak menyebut nama pendaki yang
mendaki puncak-puncak Himalaya secara illegal untuk melindungi mereka walau tetap dicatatnya secara
anonym. Ambar Briastuti

ke puncak.
Aku hampir menangis,Kata Bradey. Aku kira dengan menjadi seorang perempuan, Liz
akan lebih mengerti, tapi ia membuat semua terlihat sulit. Liz Hawley sendiri ketika saya
tanya tidak bisa mengingat detail pertemuannya dengan Bradey.
Pada 2 November, Bradey mengeluarkan pernyataan pada Menteri Pariwisata: Aku
hanya ingin mengambil photo dan secara tidak sengaja pergi terlampau tinggi. Aku tidak
tahu apakah berhasil mencapai puncak atau tidak. Hingga hari ini Bradey tidak peduli
dengan pernyataannya yang terdengar kekanakan, tetapi pegawai yang menangani ijin
ekspedisi di Nepal mengatakan bahwa ia akan dikenai denda dan bisa dilarang
melakukan pendakian jika tetap pada pernyataanya itu. Pihak Nepal memang
mengambil langkah tegas pada pendakian illegal sejak sebuah tim Inggris di tahun 1993
dikenai denda $100,000 karena melanggar ijin mendaki (kemudian orang Inggris
bernegosiasi mendapatkan denda yang lebih rendah).
Penarikan kembali Bradey ini menimbulkan gelombang berita yang lebih buruk di
Selandia Baru. Pendaki Mencabut Klaim Everest adalah headline di Star.
Kesimpangsiuran Penaklukan Everest Berlanjut tampil di Evening Post. Dalam
Mencapai Puncak Everest: Apakah Hanya Sebuah Mimpi? karya seorang kolumnis
menulis, Mereka berkata bahwa ketenaran adalah sebuah gelembung yang terkadang
berasal dari diri sendiri dan aku mulai bertanya apakah Lydia Bradey menjadi terkenal
dengan cara seperti ini. Aku melihat Lydia sebagai sosok pemberontak dan bukanlah
seorang yang menaati disiplin tinggi yang berkaitan dengan climbing. Saat ini ia yakin
betul bahwa perempuan dapat melakukan apapun. Melakukan pendakian sendirian
untuk menaklukan Mount Everest adalah salah satu cara untuk membuktikannya.
Sangat sedikit dari para jurnalis ini yang benar-benar bertemu dengannya.
***
Ketika semua peristiwa ini terjadi, saya kembali ke Kathmandu sehabis mendaki Makalu.
Walau Bradey masih dalam perjalanan trekking dari Everest, tapi ia telah menjadi buah
bibir di Kathmandu. Suatu malam di Bar Tavern, saya mendengar tidak sengaja
percakapan antara beberapa pendaki yang dekat dengan Lydiagate; Rob Hall dan Gary
Ball berada disana juga. Saya mengingat beberapa celetukan kasar dalam
pembicaraan: Dia kejam banget. Terlalu ambisius. Dia bakal ngomong apa aja biar
terkenal.
Saya tidak heran dengan gossip tentang gadis badung dari pegunungan Selandia Baru.
Jauh sebelum Everest, saya sudah mendengar gossip yang menggambarkan Bradey
sebagai seorang oportunis jahat yang mencuri alat dari seorang pendaki yang tewas di
Mount Cook. Sebenarnya yang terjadi seperti yang dikisahkannya adalah baik ia
ataupun orang lain tidak pernah menemukan mayat pendaki yang hilang. Ia menemukan
Walkman Sony di gubuk milik pendaki itu. Membilang pada rekan-rakan lain untuk
meminjam Walkman, menuju Mount Cook, mencapai puncak dan mengembalikan
Walkman tadi pada pihak berwajib. Ia dan kawannya juga mengambil resiko besar
dengan mendaki dibawah dinding es untuk mencari pendaki hilang tadi.

Tetapi cerita fiksi tentang Bradey merampok orang mati adalah kisah yang melekat pada
dirinya.
***
Ketika Bradey tiba kembali di bandara Chrischurch pada pertengahan bulan November
1988, seorang petugas bea cukai di bandara mengenalinya dari sebuah majalah. Ia
berkata, Kamu Lydia ya? Ada banyak wartawan diluar sana. Kami bisa
menyelundupkanmu kedalam kendaraan dan membawa ke kota jika kamu mau.
Tapi Bradey memutuskan untuk menghadapinya sendiri. Kamera TV, fotografers dan
jurnalis berbaris menunggunya diluar pintu imigrasi. Manajer trek yang menyertainya
dalam ekspedisi mengajaknya bicara, apa yang harus dijawab jika ia ditanya oleh
media?
Aku ngga peduli apa yang bakal kamu bilang, tetapi jangan bilang aku mengalami
halusinasi. Itu sama sekali tidak betul, Bradey membilang manajernya. Malam itu para
pemirsa dalam berita malam mendengar bahwa manajer trek melaporkan kemungkinan
Bradey mengalami halusinasi.
Kisah Lydiagate masih berlanjut hingga dua tahun kemudian bersamaan dengan upaya
Bradey untuk membuat publik percaya bahwa ia betul-betul mendaki Everest upaya
yang hanya menuai kesulitan lebih lanjut. Pemerintah Nepal menghukumnya dengan
dua tahun larangan mendaki, dan Klub Alpin Selandia baru menambahkan kepahitan
dengan menyatakan mendukung keputusan tsb. Klub juga menolak untuk mendukung
ekspedisi internasional selama masa hukuman. Pertemuannya dengan Hall hanya
berakhir dengan saling berteriak. Sebuah publikasi yang memalukan dan
menghancurkan persahabatannya dengan orang yang paling berpengaruh di Selandia
Baru.
Akhirnya Bradey menyerah dan tidak mau bicara dengan wartawan dan menarik diri dari
climbing. Walau begitu ia tetap seorang tokoh Alpin Selandia Baru yang keras. Dalam
sebuah slideshow yang diberikannya setelah pendakian Everest, sembari menyebut
klaimnya mencapai puncak ia juga menganggap enteng para pendaki Selandia Baru
dengan menyebut, jauh tertinggal dari para pendaki dunia dalam pendakian Himalaya
dan masih menghormati pendakian Everest yang dilakukan dengan gaya Hillary
dengan Sherpa dan oksigen sebagai pencapaian internasional yang penting. Sembari
mencemooh pendaki Selandia Baru yang menurutnya melihat resiko dalam
mountaineering sebagai tujuan utama dan bukan dari pencapaian personal, dengan
memuji komitmen yang diberikan oleh kawan-kawan Slovakia yang mencapai puncak
tetapi gagal turun dalam rute yang paling sulit di Everest.
Para peserta terdiam, seperti yang diingat oleh Geoff Gabites, seorang anggota setia
Klub Alpin Selandia Baru. Saya menyebut peristiwa itu pada Bradey ketika kami duduk
bersama di caf Boulder ini, ia hanya menyeringai. Iya sih, aku bikin ngga enak hati
pada mereka.
Sementara itu setelah dua atau lebih percobaan mencapai Everest, Hall dan Ball
akhirnya mencapai puncak dengan oksigen di tahun 1990. Mereka kemudian melakukan
Seven Summit dalam waktu hanya tujuh bulan dengan publikasi media yang membuat

mereka tampil sebagai selebritis di Selandia Baru. Di tahun 1991 mereka membentuk
bisnis bersama, Hall and Ball Adventure Consultant. Hingga tahun 1995 perusahaan
Hall ini mampu membawa 39 orang di puncak Everest. Banyak diantara mereka yang
membayar Hall sebesar $65,000 untuk jasa guide disana.
Ketika tape saya sudah habis, Bradey menyarankan untuk meninggalkan caf dan
menuju bukit di belakang Boulder sembari jogging. Aku punya beberapa hal untuk
dikerjakan jika akan kembali melakukan pendakian 8,000m, katanya sambil
menjelaskan dengan gurau. Jogging menuju bukit kami menjaga irama beberapa saat
hingga udara musim dingin dan pegunungan Rockies menghentikan kami. Terenggahenggah dan uap udara dari mulut kami terlihat. Ketika kami istirahat, saya menanyakan
diri sendiri apakah saya yakin bahwa Lydia Bradey mencapai puncak Everest pada hari
di tahun 1988, dan seperti yang dibilang pendaki Spanyol, Lopez bahwa saya
memberikan keuntungan atas keraguan. Saya memikirkan kembali ekspedisi Himalaya
yang saya lakukan dan merenungkan kembali bukti ketika mencapai puncak. Diluar
saksi dari kawan tim saya, bukti yang nyata ketika kami mencapai puncak K2 di tahun
1990 adalah photo saya yang duduk di celah salju dengan tombol self-timer. Langit
terlihat putih dengan bayangan badai di kejauhan; gunung-gunung di belakang tertelan
awan tebal. Walaupun photo saya yang lain menunjukan beberapa bentukan batu yang
hanya para pendaki puncak K2 yang bisa mengenali, tapi photo itu bisa saja diambil dari
satu hari di sebuah resort ski kecuali adanya senyum di muka saya dan kegembiraan
yang terpancar di mata saya.
Detail kecil ini tidak bisa dipaksakan dan saya mencatat bahwa selama wawancara mata
Bradey tidak pernah menghindari saya walaupun pertanyaan yang saya ajukan begitu
mendesak dan menjengkelkan. Apapun akhir sejarah Everest, keraguan selalu
menyelimuti pendakian Lydia Bradey. Namun Bradey sendiri adalah orang yang tegar.
Ia berkata bahwa telah menutup episode Lydiagate dan secara pribadi telah memaafkan
Hall dan Ball. Hidup begitu singkat untuk menghabiskan waktu berseteru siapa yang
pertama berada di puncak gunung, atau apakah mereka bisa membuktikannya atau
tidak, begitu ujarnya. Tetap saja ketika menjelaskan saat-saat kritis di Katmandu dan
Selandia Baru, terkadang ada suatu masa di tengah interview yang membuatnya
mengeluarkan airmata. Kemudian ia bisa kembali tegar dengan cepat dan nada
suaranya kembali kuat. Aku adalah korban politik sexist, ia membilang. Apakah kawan
tim aku mendapatkan ijin mendaki di South Pillar? Tidak. Apakah mereka mendapatkan
kritikan atas tindakan mereka menelantarkan aku di gunung? Tidak. Apakah ada bukti
jika aku tidak sampai ke puncak? Tidak. Sebenarnya sumber dari ini semua adalah aku
berhasil mencapai Everest dan mereka tidak.
Dan mungkin memang sesederhana itu.
(selesai)

Anda mungkin juga menyukai