Anda di halaman 1dari 27

PROFIL BUKU

DUNIA BATAS LANGIT

Cover Depan

1
Cover belakang

Tampilan bentang

2
3
DATA UMUM

Judul : DUNIA BATAS LANGIT

Jejak Pencapaian Berbagai Puncak Gunung


Dunia Dalam Pengembaraan Mountaineering
Yang Luar Biasa

Penulis : Anton Sujarwo

Tebal : 555 halaman

Genre : Mountaineering

Penerbit : Phoenix Publishers

Ukuran : 14 x 21 cm

Cover : Standard

Kertas : Bookpaper

4
SINOPSIS

O rang-orang dengan jaket tebal, kacamata berwarna,


menggenggam kapak es, harness dan carabiner
menghiasi pinggang, berjibaku meniti punggungan
gunung dalam sebuah perjuangan menuju puncak. Ada
yang mencapai puncak dengan mudah, ada yang
mengambil jalan sulit, bahkan ada pula yang kemudian
harus kehilangan nyawa dalam upaya itu.

Buku ini membahas dengan sangat lengkap profil


dan sejarah aktivitas mountaineering atau pendakian
gunung. Mulai dari cikal bakal aktivitas ini bermula,
perkembangannya, persebarannya ke seluruh dunia,
profil teknisnya, legenda-legenda yang melingkupinya,
hingga kepada nama-nama besar yang telah
mengguratkan kisah abadi mereka dalam
mountaineering dunia. Selain itu buku ini juga
menguraikan secara sederhana dan komplit berbagai
peristiwa aktual dalam dunia mountaineering saat ini.
Berbagai award dan penghargaan dalam aktivitas
mountaineering, komersialisasi gunung Everest,
munculnya istilah the next Everest, sampai kepada profil

5
100 merek-merek paling populer diseluruh dunia yang
secara konsisten mendukung aktivitas mountaineering.

Jika kata mountaineering diumpamakan sebagai


ruangan gelap, maka buku ini menjadi pelita untuk
meneranginya. Jika kata mountaineering adalah sebuah
misteri dalam kotak tertutup, maka buku ini adalah kunci
untuk membukanya. Pendek kata, ide buku ini berangkat
dari sebuah pertanyaaan; Apa itu mountaineering?

Lalu uraiannya menjadi jawaban semua yang ingin kita


ketahui tentang pertanyaan tersebut...

6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR— v

PENDAHULUAN—ix

DAFTAR ISI—xxi

BAB 1: SEJARAH MOUNTAINEERING—26

Cikal Bakal Mountaineering—28

Menuju Babak Baru—32

Golden Age of Alpinism—42

Ekspansi Ke Penjuru Bumi—49

Afrika dan Kaukasus—64

BAB 2: MENUJU GERBANG HIMALAYA—80

Mengenal Wajah Sang Raksasa—82

Kompetisi Para Pionir—93

Misteri dan Kehilangan—107

Tenzing Norgay dan Hermann Buhl—116

BAB 3: TEKNIS MOUNTAINEERING—136

7
Gaya Mendaki Gunung—138

Teknis Medan—143

Shelter—150

Risiko dan Bahaya—159

Arena Mountaineering Dunia—178

BAB 4: LEGENDA MOUNTAINEERING—194

Petaka Siula Grande—206

The Ogre—217

Annapurna Single Anchor—227

Kontroversi Menara Patagonia—234

Jam Cincin Dari Everest—248

BAB 5: NAMA BESAR—282

Nama Populer Era Pioneering—286

Nama Populer Periode Legenda—308

Nama Populer Periode Sekarang—344

Prediksi Nama Populer Masa Depan—366

BAB 6: TROPI DAN PENCAPAIAN—382

Piolet d’Or—386

Boardman Tasker prize for Mountain literature—404

Snow Leopard Award—410


8
David A.Sowles Memorial Award—415

Francis P.Farquhar Mountaineering Award—418

BAB 7: THE NEXT EVEREST—424

Komersialisasi Mountaineering—426

Para Pengganti Everest—438

K2 Winter Ascent—438

Triple Tower Of Karakoram—444

Hkakabo Razi—448

Temple Of Patagonia—453

Jannu Mountain—455

Meru Peak—458

Chersky Range Siberia—460

BAB 8: GEARS OF THE MOUNTAINEERS—464

PENUTUP—528

DAFTAR ISTILAH—529

DAFTAR PUSTAKA—543

PROFIL PENULIS—547

9
RINGKASAN BUKU

(Pendahuluan)

L ebih dari sekedar sebuah bidang olahraga dan


aktivitas fisik semata, mountaineering atau
pendakian gunung adalah sebuah gaya hidup, perjalanan
spiritual, refleksi perjuangan, langkah penempa diri,
journal semangat dan mental, serta sebuah disiplin ilmu
yang mengajarkan kesederhanaan dalam sebuah
pencapaian yang sejati. Menjadi sesuatu yang sangat
disayangkan ketika kemudian kita menemui masa-masa
dimana ada sebuah gelombang besar generasi muda
yang demikian menggandrungi aktivitas pendakian
gunung dan mountaineering ini, namun disisi lain kita
juga mendapatkan bahwa nilai-nilai yang semestinya
dapat diperoleh melalui aktivitas ini, menguap hampa
karena ketidaktahuan mereka.

Mountaineering atau pendakian gunung adalah


sebuah aktivitas yang multi manfaat, tidak hanya untuk
kesehatan fisik semata, namun juga kesehatan mental
dan spiritual. Mountaineering menjadi sebuah pilihan
yang anggun untuk memberi pengajaran kepada para
pelakunya guna mengambil teladan dari nilai-nilai yang
terkandung dalam aktvitas ini. Karena itu, nampaknya
10
menjadi sebuah tugas bagi kita, yang mungkin sedikit
memahami hakikat aktivitas mountaineering dan
pengajaran didalamnya, untuk menyampaikan pesan ini
kepada generasi muda yang mulai jatuh cinta dan
menyukai kegiatan pendakian gunung.

Gelombang massif ‘back to nature’ (khususnya


aktivitas mendaki gunung) adalah gelombang yang
memiliki skala global. Artinya gelombang ini tidak hanya
terjadi di Indonesia saja, namun terjadi hampir diseluruh
bagian dunia. Ada sebuah kecendrungan dari generasi
milenial saat ini untuk lebih banyak beraktivitas dialam
bebas. Dan di Indonesia kita melihat salah satu yang
paling diminati adalah pendakian gunung atau
mountaineering.

Meningkatnya minat terhadap aktivitas


pendakian gunung atau mountaineering di Indonesia
dengan cukup pesat telah menimbulkan cukup banyak
konsekuensi. Dan salah satu dari sekian banyak
konsekuensi tersebut adalah membludaknya pengunjung
gunung-gunung yang terkadang bahkan tidak mengerti
untuk apa sebenarnya mereka ada disana.

Ada sebuah ‘demam’ ikut-ikutan trend yang


terjadi, yang pada hakikatnya bukanlah alasan yang
bagus untuk masuk dalam sebuah aktivitas
mountaineering atau pendakian gunung. Kemudian jika
ditelusuri lebih jauh, demam trend ini terkadang berakar
pada kurangnya informasi yang akurat, lengkap dan
komprehensif tentang dunia pendakian gunung itu
sendiri. Kurangnya informasi ini menjadi salah satu sisi
yang setidaknya perlu menjadi perhatian kita bersama.
11
Dan atas dasar tersebutlah salah satunya, buku ini
kemudian ditulis dan Allhamdulillah sekarang ditebitkan.

Pada pembahasan pertama buku Dunia Batas


Langit ini akan diuraikan cikal bakal dan asal muasal
olahraga mountaineering dan pendakian gunung.
pengertian mountaineering, sejarah berawalnya,
motivasi yang mendasari seseorang melakukan
pendakian gunung akan diuraikan secara lengkap.

Lalu proses perkembangan aktivitas


mountaineering yang kemudian berkembang menjadi
semacam gaya hidup kaum bangsawan Eropa pada masa
awal. Dilanjutkan pula dengan pembahasan masa-masa
yang disebut dengan Golden Age of Alpinism, dimana
puncak-puncak utama Pegunungan Alpen Eropa berhasil
dicapai puncaknya. Puncak gunung populer Eropa
seperti Eiger, Grandes Jorasses, Jungfrau, Mont Blanc dan
lain sebagainya dijejalahi pada masa ini. Masa-masa ini
juga diisi dengan begitu banyak nama pendaki gunung
terkenal era pioneering seperti Mathias Zurbriggen,
Edward Whymper, Michel Croz, Charless Hudson, John
Tyndall dan lain sebagainya. Para pelopor pendakian
gunung Alpen ini menginspirasi banyak orang dengan
pendakian mereka yang monumental dan mengagumkan.

Golden age of alpinism ditutup dengan


pencapaian puncak Matterhorn serta kematian yang
menyertainya. Edward Whymper dan Jean Antoine
Carrell yang menjadi tokoh utama drama first ascent
Matterhorn diulas cukup banyak dalam pembahasan ini.
Pada saat yang sama, aktivitas mountaineering kian
populer dan masyhur. Pendakian gunung mulai
12
menyebar ke hampir seluruh penjuru dunia pada kisaran
tahun 1890, menyentuh hampir semua benua yang ada
di dunia. Pegunungan Pyrenees, Pegunungan Saint Elias,
Pegunungan Andes, Kaukasus, Kilimanjaro, hingga
gunung Aoraki di Selandia Baru dijejalahi pada masa ini.
Pembahasan pada bagian ini akan menyebutkan secara
lengkap proses pencapaian puncak-puncak utama
berbagai pegunungan tersebut serta siapa saja nama
yang kemudian tampil menjadi legenda dalam sejarah
pendakiannnya.

Bab kedua kemudian akan secara khusus


membahas sejarah masuknya aktivitas mountaineering
di Himalaya, wilayah yang kemudian menjadi poros
utama aktivitas mountaineering yang sebenarnya.
Beberapa halaman awal pada bab ini akan menjelaskan
landskap Pegunungan Himalaya secara ringkas, baik dari
sisi teritorialnya, iklimnya, sosial budayanya, hingga
kepada nilai spiritual yang ada didalamnya.

Gunung-gunung yang dianggap suci di Himalaya


seperti Machapuchare atau The Tail Fish Mountain,
Kailash, Gangkar Puenzum, Nanda Devi dan yang lain
akan mendapat sorotan secara khusus dalam
pembahasan bab dua. Selain berkorelasi dengan
keyakinan penduduk native Nepal dan Tibet, kesucian
gunung-gunung ini juga memiliki kaitan yang erat
dengan empat kepercayaan paling populer di kawasan
tersebut.

Pembahasan bab kedua ini tidak ketinggalan juga


mengangkat profil puncak-puncak utama di Pegunungan
Karakoram, Pakistan, yang pada beberapa kesempatan
13
kadang disebut juga sebagai bagian dari raksasa
Himalaya. Nanga Parbat, K2, Gasherbrum 1 dan 2,
Chogolisa, Baltoro yang perkasa, akan diulas secara
panjang lebar dalam pembahasan ini.

Selanjutnya secara khusus bab 2 akan menyoroti


kompetisi para perintis untuk mencapai first ascent
puncak-puncak Himalaya. Secara umum bahasan pada
bagian ini akan menitikberatkan pada sejarah pendakian
gunung-gunung delapan ribu meter Himalaya. Siapa saja
yang menjadi pelakunya, bagaimana kronologi
pendakiannya, apa saja tantangannya, dan lain
sebagainya. Pada kisaran awal tahun 1920-an perhatian
mungkin akan lebih banyak kepada ekspedisi-ekspedisi
Inggris yang berupaya untuk mencapai Puncak Everest.
Nama seperti George Leigh Mallory, Irvine Andrew,
Granville Bruce, Oscar Eickenstein, Martin Conway,
Albert Mummery akan banyak disebut terkait dengan
kiprah mereka yang demikian signifikan dalam upaya
mencapai puncak delapan ribu meter sebagai yang
pertama.

Kematian-kematian legendaris yang menimpa


nama Hermann Buhl di Chogolisa, Mallory-Irvine di
Everest, Mummery di Nanga Parbat akan dibahas pula
pada bab dua ini. Kemudian peran signifikan yang
dimainkan oleh Tenzing Norgay pada fisrt ascent
Everest, Walter Bonatti dan Amir Mehdi di K2 akan
mendapat perhatian khusus di bagian ini. Selain
menyimak kontroversi yang terjadi disana, kita juga akan
melihat sisi lain dari sebuah perlombaan mountaineering

14
yang nampaknya telah menabrak batasan-batasan
sportivitas nilai mountaineering sejati.

Masuk ke bahasan selanjutnya (bab tiga),


pembahasan akan secara khusus difokuskan pada
pengenalan aktivitas mountaineering dipandang dari sisi
teknis. Dimulai dengan uraian mengenai gaya alpine style
dan ekspedition style. Berbagai macam teknis dan medan
dalam pendakian, apa saja perlengkapan yang digunakan
untuk mengarungi medan-medan tersebut, akan dirinci
pada bagian ini. Tempat berlindung atau shelter yang
terdiri dari berbagai macam jenis, baik yang alami
maupun artifcial juga akan diuraikan pada pembahasan
tersebut. Tenda sebagai satu-satunya tempat berlindung
yang dipahami mayoritas peminat pemula aktivitas
pendakian gunung di Indonesia, ternyata bukan satu-
satunya shelter yang umumnya digunakan dalam
mountaineering. Apa saja jenis tempat berlindung
tersebut, bagaimana penjelasannya, semuanya akan
dibahas dalam bab tiga buku ini.

Kemudian bab ini akan menguraikan pula


berbagai risiko yang mengintai dalam aktivitas
mountaineering secara umum. Sumber bahaya yang
bersifat objektif maupun subjektif akan diuraikan secara
komplit. Apa itu High Altitude Cerebral Edema (HACE),
apa itu High Altitude Pulmonary Edema (HAPE),
kemudian apa itu hipothermia, hipoxia, dan berbagai
penyakit ketinggian lainnya. Potensi longsoran atau
avalanche, badai, rockfall, sampai kepada aktivitas
vulkanisme pada pendakian gunung berapi juga
disampaikan secara lengkap dalam uraian bab ketiga ini.

15
Pembahasan tentang berbagai pegunungan dunia
yang menjadi medan mountaineering akan mengakhiri
uraian pada bab tiga. Pada wilayah Amerika Selatan kita
akan melihat bahwa selain Andes yang mempesona, ada
juga sekumpulan pilar-pilar langit di Patagonia. Lalu di
Amerika ada Saint Elias, selain tentu saja Denali dan alam
Alaska-nya yang luar biasa. Berpindah ke Eropa ada
Alpen yang tetap menjadi daya tarik tak terkalahkan,
selain juga ada Pegunungan Kaukasus, Siberia, Dataran
Tinggi Balkan, Pyrenees dan yang lainnya.

Pegunungan Himalaya, Karakoram, Hindu Kush,


Tien Shan, Pamir, Ural menjadi magnet terkuat dari Asia
yang menjadi poros utama aktivitas pendakian gunung
dunia. Kemudian saat landskap mountaineering melebar
ke arah benua Australia dan Selandia Baru maka
tampillah Pegunungan Alpen Australia dan Pegunungan
Aoraki. Sementara jika merujuk pada cakupan wilayah
yang lebih lokal, kita akan menemukan bahwa
Pegunungan Jaya Wijaya, Sudirman, Bukit Barisan,
gunung-gunung api di pulau Jawa, serta melebar ke
Pegunungan Hkakabo Razi di Myanmar, adalah daftar
medan mountaineering yang eksis di Asia Tenggara.

Masuk ke bab empat pembahasan akan lebih


menarik dengan dibahasnya lima legenda yang dianggap
paling familiar dan layak untuk diketahui publik
mountaineering Indonesia. Kisah-kisah yang diangkat ini
merupakan kisah yang memuat banyak pelajaran dan
hikmah, khususnya dalam ranah dunia pendakian
gunung. Kisah pertama adalah sebuah kisah yang
populer dengan nama Touching The Void yang

16
mengangkat nama Joe Simpson dan Simon Yates terkait
dengan petualangan mereka di Siula Grande, Amerika
Selatan. Beberapa orang yang mungkin telah membaca
atau menonton film tentang kisah ini, bisa saja berkata
kisah tersebut tak lagi menarik jika dibahas dalam buku
ini. Namun tunggu dulu, pada kisah yang kedua kita akan
melakukan sedikit studi komparatif antara kisah Joe
Simpson dan kisah yang dialami oleh dua legenda
mountaineering Inggris di Baintha Brakk, Doug Scout
dan Chris Bonington.

Kisah tentang survival yang harus dijalani oleh


Doug Scout dan Chris Bonington di Baintha Brakk atau
The Ogre akan kita lihat perbandingannya dengan kisah
Joe Simpson di Siula Grande. Perbandingan ini mencakup
sikap dan motivasi yang ditunjukkan keduanya dalam
menghadapi saat-saat paling genting dalam hidup
mereka.

Lanjut kisah legenda yang ketiga bercerita


tentang kemampuan bertahan hidup paling legendaris di
gunung Himalaya yang dilakukan oleh Jean Christophe
Lafaille ketika harus turun dari dinding selatan
Annapurna menggunakan perlengkapan yang sangat
terbatas. Determinasi, motivasi, daya tahan, dan skill
bertahan hidup legenda pendaki gunung Perancis ini
akan ditekan sampai pada titik terendahnya.
Kemampuan Lafaille untuk bangkit dan tetap hidup
adalah sebuah pelajaran sangat penting bagi kita
bersama bahwa semangat dan ketangguhan untuk tetap
bertahan adalah harta paling berharga ditengah situasi
dan kondisi yang paling buruk sekalipun.

17
Pada legenda yang keempat tidak ada lagi uraian
mengenai survival dan penderitaan. Dalam uraian kali ini
kita akan membahas mengenai kontroversi yang terjadi
pada salah satu medan rock climbing paling menantang
di Amerika Selatan, yaitu Patagonia, dimana Cerro Torre
yang menjadi objek utamanya. Dari pendakian fisrt
ascent yang penuh keraguan oleh Cesare Maestri,
kontroversi ‘pembunuhan’ semangat alpinisme dengan
pembuatan Compressor Route juga oleh Maestri,
pendakian David Lama dengan tim Red Bull-nya yang
mendapat kritik keras dari American Alpine Club, sampai
kepada silang pendapat mengenai penetapan apakan
standar estetika sebenarnya dari sebuah semangat
alpinisme atau mountaineering. Semuanya ada dalam
uraian kisah yang keempat ini.

Dibanding empat kisah sebelumnya, kisah


terakhir ini mungkin yang paling populer dikenal di
Indonesia. Kisah tentang Rob Hall dan Scott Fischer yang
tewas pada bulan Mei tahun 1996 di Everest sangat
familiar untuk diketahui secara luas, bukan saja karena
epiknya, namun juga karena kontroversi yang
menyelimuti kisah ini sebenarnya.

Bagi sahabat pembaca yang sudah menonton film


Into Thin Air atau Everest, maka kisah yang ini tentu
bercerita tentang pristiwa yang sama. Akan tetapi uraian
dalam buku ini akan sangat menarik untuk disimak.
Karena sumber utama kisah terakhir bab empat dalam
buku ini bukan dari buku John Krakauer, bukan dari
buku Anatoli Boukreev, bukan dari tulisan Lane
Gammelgaard, dan bukan pula dari kisah yang

18
dituturkan Beck Weathers. Namun sumber utama dan
tungal kisah yang diuraikan dalam buku ini disarikan
dari tulian Ed Viesturs dalam bukunya No Shortcut to the
Top. Sahabat pembaca nanti bisa melihat dan
membandingkan ternyata ada cukup banyak hal yang
kita lewatkan jika mengetahui kisah legendaris ini hanya
dari filmnya saja.

Masuk ke bab yang kelima uraian akan


difokuskan pada sekitar 70 nama besar paling signifikan
sepanjang sejarah pendakian gunung dunia. Dalam
uraian ini penulis membagi nama-nama populer dalam
empat kategori untuk memudahkan kita mengenal dan
mengetahui kontribusi dan sumbangsih mereka dalam
dunia mountaineering secara global. Pembagian kategori
ini didasarkan pada masa kemunculannya dan juga
periode eksistensi mereka. Periode para pionir, periode
para legenda, periode masa kini dan prediksi untuk masa
depan. Sahabat yang familiar dengan nama seperti
Reinhold Messner, Walter Bonatti, Maurice Herzog,
George Mallory, Edmund Hillary sampai kepada nama
seperti Ueli Steck, Alex Honnold dan Kilian Jornet pun
mendapat tempat dalam daftar ini. Lantas apa saja yang
mereka lakukan dan apa alasan utama nama mereka
dimasukkan dalam list tersebut, jawabannya ada dalam
pembahasan panjang lebar di bab lima.

Dalam buku Wajah Maut Mountaineering


Indonesia, penulis mengemukakan sebuah ide tentang
award atau penghargaan yang dapat diberikan kepada
para petualang atau pendaki gunung Indonesia yang
diangap memiliki prestasi dan layak untuk diapresiasi.

19
Pada pembahasan bab enam buku ini, akan ditampilkan
lima profil award serupa dalam tatanan internasional.
Pada prosesnya, lima award seperti inilah kemudian
yang menjadi inspirasi bagi saya untuk menuliskan ide
tentang award untuk para insan petualang Indonesia
dalam buku Wajah Maut Mountaineering Indonesia. Apa
saja penghargaan dan award dalam tingkat internasional
yang dimaksud, apa saja yang menjadi objek penilaian,
siapa saja yang berhak menjadi nominasinya, dan apa
jenis award yang kemudian diberikan kepada sang
penerima? semua jawabannya diuraikan secara lengkap
dalam bab enam.

Isu tentang komersialisasi mountaineering yang


demikian massif, terutama di Everest, memunculkan
sebuah ide bernama Syndrome Anti Everest yang
pertamakali disampaikan oleh John Krakauer saat
menjadi salah satu pembicara dalam film Meru. Pada
perkembangannya keresahan akan komersialisasi yang
demikian deras ini mengorbitkan pula sebuah pemikiran
untuk mencari gunung lain yang dapat menggantikan
posisi Everest. Keinginan untuk mencari The Next Everest
ini merupakan upaya ‘pelarian’ (dapat kita istilahkan
demikian) bagi para pendaki tradisional yang tetap
memegang teguh nilai estetika mountaineering yang
sejati. Para pendaki tradisional yang malang ini terpaksa
meninggalkan Everest karena gempuran pendaki
komersial yang kian membludak dari hari ke hari.

Apa saja yang kemudian menjadi dampak


komersialisasi Everest? Ada banyak jawaban yang
kemudian muncul. Kemudian ada pula silang pendapat

20
dan tanggapan dari para pendaki gunung populer
tentang laju komersialisasi ini. Nama Edmund Hillary,
Reinhold Messner, Conrad Anker akan ikut diangkat
dalam bab ini terkait dengan tanggapan mereka tentang
tema ini. Dan ternyata tidak semua pendaki tradisional
menganggap komersialisasi pendakian gunung sebagai
sesuatu yang buruk. Apa maksudnya? temukan
jawabannya dalam pembahasan bab tujuh ini nanti.

Selain itu, bab tujuh akan juga mengemukakan


tujuh destinasi yang dianggap memiliki kapabilitas dan
kelayakan untuk dijadikan the next Everest, dan salah
satunya ada di AsiaTenggara yang fisrt ascentnya sendiri
masih merupakan pertanyaan besar. Apa saja kemudian
yang dianggap layak menggantikan Everest itu? apa
pertimbangannya? bab tujuh adalah uraian jawabannya.

Bab delapan atau yang terakhir dalam buku ini


akan membahas 100 merek atau brand paling populer
yang konsisten mendukung aktivitas mountaineering di
seluruh dunia. Bahasan yang merupakan pelengkap ini
saya anggap cukup penting untuk ditampilkan pada
bagian terakhir buku untuk menambah wawasan kita
bersama mengenai berbagai produk dan merek alat
pendakian gunung yang mulai menjamur di tanah air.

Ada sedikit segmentasi yang saya kira kurang


bijaksana hadir ditengah-tengah maraknya ketertarikan
pada dunia pendakian gunung Indonesia. Segmentasi ini
adalah segmentasi pendaki yang didasarkan pada merek-
merek produk yang mereka gunakan, yang pada
perkembanganya melahirkan sebuah istilah berlebihan
yang disebut pendaki dewa. Tidak ada pendaki dewa jika
21
itu didasarkan hanya karena merek yang mereka
gunakan. Dalam bahasan terakhir yang menampilkan
seratus brand mountaineering populer ini, kita akan
melihat bahwa yang terbaik bahkan kadang juga
memiliki ‘cacat’.

Tampilan brand-brand ini juga merupakan


sebuah tambahan pengetahuan saja bagi kita untuk lebih
bijaksana. Karena kadang ada sesuatu yang dilupakan
oleh generasi pendaki milenial zaman sekarang, bahwa
mendaki gunung sama sekali bukan bagaimana
berbusana ala pendaki gunung. Produk dan merek
adalah sarana dan alat pendukung aktivitas mendaki
gunung, namun sama sekali bukan intisari dari sebuah
makna pendakian gunung itu sendiri.

Saya berharap uraian-uraian dalam buku ini


dapat membantu kita untuk memahami aktivitas
mountaineering secara utuh. Dapat membantu generasi
muda Indonesia yang memiliki ketertarikan dan minat
kepada dunia pendakian gunung untuk mengetahui lebih
banyak tentang mountaineering dan apa saja yang ada
didalamnya.

22
23
PROFIL DUA BUKU ANTON SUJARWO SEBELUMNYA

24
Judul : WAJAH MAUT MOUNTAINEERING
INDONESIA

Jejak Pendakian Gunung Nusantara Dalam


Arus Sosial Media dan Mistisme Didalamnya

Penulis : Anton Sujarwo

Tebal : 306 halaman

Genre : Mountaineering

Penerbit : Phoenix Publishers

Ukuran : 14 x 21 cm

Cover : Standard

Kertas : Bookpaper

Harga : Rp, 86.000

25
26
Judul : MAHKOTA HIMALAYA

Kecamuk Kompetisi Para Legenda Dalam


Perebutan 14 Puncak Gunung Tersulit di
Dunia

Penulis : Anton Sujarwo

Tebal : 550 halaman

Genre : Mountaineering

Penerbit : Phoenix Publishers

Ukuran : 14 x 21 cm

Cover : Emboss

Kertas : Bookpaper

Harga : Rp, 128.000

27

Anda mungkin juga menyukai