Anda di halaman 1dari 20

MITOS JABAL NUR SEBAGAI FOLKLOR DI SITUS

MEGALITIKUM GUNUNG PADANG BERTEMPAT DI


CIANJUR, JAWA BARAT

Lailatul Izha
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: 17310003@student.uin-malang.ac.id

Abstract
The research is conducted by using reception theory and semiotics. Data are collected by
field and library research method. Reception theory is used to analyze public response to
Jabal Nur myth for peaople based on responses obtained. The result shows that people
responded Jabal Nur myth in various way. According to its appearance, Jabal Nur myth is
know by people as its similarity of structures, names, and functions as Gunung Padang.
The influence of the myth is to keep monotheism (tauhid), to increase devation (takwa), to
improve morals, and to enrich culture treasure. There are four functions of Jabal Nur myth:
myht as a mystic, myth as social facilities, and myth as means af education and moral.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan resepsi sastra dan semiotika.
Pengumpulan data dilakukan denga teknik lapangan dan kepustakaan. pendekatan
resepsi sastra digunakan untuk menganalisis tanggapan masyarakat terhadap mitos Jabal
Nur yang berkembang di situs megalitikum Gunung Padang. Adapun pendekatan
semiotika digunakan untuk menganalisis fungsi mitos Jabal Nur tersbut bagi masyarakat
berdasarkan resepsi yang telah didapatkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa
masyarakat meresepsi mitos Jabal Nur secara beragam. Berdasarkan kemunculannya,
mitos Jabal Nur dipahami masyarakat karena persamaan struktur, nama, dan fungsi.
Pengaruh mitos tersebut bagi masyarakat antara lain menjaga tauhid, meningkatkan
ketakwaan, memperbaiki akhlak, dan memperkaya khazanah kebudayaan. Kemudian
fungsi mitos Jabal Nur bagi masyarakat di antaranya adalah mitos sebagai mistik, mitos
sebagai sarana pendidikan dan moral.

Keywords: Folklore, Gunung Padang, Jabal Nur, megalithic site, and myth

Pendahuluan
Situs megalitikum Gunung Padang saat ini semakin dikenal luas masyarakat.
Sejak dilakukan penelitian oleh Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) pada kurun tahun
2010-2014, popularitas Gunung Padang sebagai cagar budaya meluas hingga ke
pengujung negeri bahkan internasional. Para arkeolog dan geolog, dalam kapasitas
keilmuannya, terus melakukan ekskavasi untuk memperbarui temuan-temuannya.
Dalam laporan riset terbarunya, TTRM (2014) menyebut bahwa Gunung Padang
adalah bangunan raksasa yang unik dan merupakan warisan leluhur Nusantara yang
telah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi.
Terlepas dari temuan arkeologis yang terus dimutakhirkan dari waktu ke waktu,
Gunung Padang sebagai sebuah gejala alam telah ada dan dikenal sejak lama oleh
masyarakat Dusun Gunungpadang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka,
Kabupaten Cianjur. Sebelum dikenal secara luas, masyarakat sekitar telah mengenal
Gunung Padang sebagai sebuah peninggalan masa lalu yang memiliki banyak cerita
lisan (folklor). Di antaranya adalah cerita mengenai harta karun terpendam, atlantis
yang hilang, piramida, legenda Prabu Siliwangi, dan beberapa mitos lain yang berkaitan
dengan makhluk-makhluk gaib.
Salah satu folklor yang berkembang di masyarakat sekitar Gunung Padang adalah
cerita asal-usul nama Gunung Padang yang dikaitkan dengan Jabal Nur di Mekah, Arab
Saudi. Menurut Nanang, juru pelihara Gunung Padang, sebagaimana dikutip dalam
www.liputan6.com, kata padang berarti terang atau cahaya dalam bahasa Sunda. Nama
tersebut berasal dari Nagara Siang Padang. Oleh karena itu, nama tersebut
diasosiasikan dengan Jabal Nur, yang terletak di Arab Saudi karena kata padang dan
nur memiliki makna leksikal yang sama.
Dalam sejarah Islam, Jabal Nur merupakan nama gunung tempat diturunkannya
wahyu pertama bagi Muhammad Saw., yaitu Quran Surah Al-„Alaq: 1-5. Wahyu
tersebut diturunkan di sebuah gua yang terletak di puncak Jabal Nur, yaitu gua Hira.
Sebelum menerima wahyu, Muhammad Saw. sering mengasingkan diri (khalwat) di gua
tersebut. Sebagaimana dijelaskan Al-Buthi (2009: 73) bahwa Muhammad Saw. memiliki
kebiasaan menyendiri (ikhtila`) di gua Hira mendekati usia empat puluh tahun. Di
dalam gua Hira tersebut, Muhammad Saw. beribadah selama beberapa malam dan
hanya pulang ke rumah saat mengambil bekal.
Berkaitan dengan hal tersebut, Gunung Padang yang memiliki asal-usul nama
yang sama dengan Jabal Nur diyakini masyarakat sekitar memiliki fungsi yang sama
dengan Jabal Nur. Struktur Gunung Padang terdiri atas punden berundak dengan
tinggi 885 meter di atas permukaan laut. Punden tersebut terbagi menjadi lima teras.
Menurut Nanang, keberadaan lima teras tersebut dianggap memiliki makna spiritual.
Masingmasing teras memiliki nama dan fungsinya. Teras yang paling tinggi merupakan
tempat yang dianggap suci dan dipercaya masyarakat sebagai singgasana Prabu
Siliwangi. Masyarakat sekitar, lanjut Nanang, percaya bahwa tingkat tertinggi yang
dianggap sebagai singgasana Prabu Siliwangi merupakan tempat tersuci di antara teras-
teras
Gunung Padang. Tempat yang paling tinggi dari Gunung Padang tersebut
dianggap sebagai tempat berhening setelah melalui empat tingkatan terdahulu. Di
tempat tersebut, orang-orang pada masa lalu menjauhkan diri dari keramaian dan
memohon ketenangan dari Zat yang Maha Agung.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa Gunung Padang dan Jabal Nur tidak
hanya memiliki persamaan arti dalam asal-usul namanya. Namun juga, keduanya
memiliki persamaan fungsi, yaitu untuk mengasingkan diri dari keramaian untuk
memperoleh ketenangan. Kata padang dan nur tidak sekadar merujuk pada makna
leksikal, tapi juga memiliki makna semantis yang lebih dalam. Maka dari itu,
masyarakat percaya bahwa Jabal Nur yang dikenal dalam sejarah Islam sebagai tempat
Muhammad Saw. Menerima wahyu memiliki keterkaitan yang erat dengan keberadaan
Gunung Padang.
Meskipun secara geografis Jabal Nur terletak di Mekah, Arab Saudi, masyarakat
beranggapan bahwa keterkaitan Jabal Nur dengan Gunung Padang bukanlah bentuk
ketidaksengajaan. Cerita tersebut demikian mengakar dan berkembang menjadi sebuah
mitos, yaitu kebenaran yang telah hadir sejak masa lalu (Minsarwati, 2002: 35). Van
Baal, sebagaimana dijelaskan oleh Minsarwati, menambahkan bahwa mitos tersebut
hadir melalui bahasa simbolis untuk merepresentasikan konsep-konsep tertentu,
termasuk “Yang Kudus” atau Ilahi.
Dalam khazanah ilmu kesusastraan, mitos tersebut merupakan bentuk dari cerita
lisan (folklor) yang berkembang di wilayah Cianjur, Jawa Barat. Keberadaannya perlu
mendapat perhatian besar, terutama dalam upaya mengodifikasi folklor-folklor Sunda
agar dapat disusun secara sistematis. Maka, pada penelitian ini, masalah utama yang
akan dibahas adalah mitos Jabal Nur sebagai bagian dari folklor Sunda yang akan
dianalisis secara komprehensif menggunakan beberapa pendekatan ilmu sastra, yaitu
resepsi dan semiotika.
Pendekatan resepsi berfokus pada peranan masyarakat sekitar Gunung Padang
dalam membentuk estetika pada pemaknaan mitos Jabal Nur tersebut, sedangkan
makna-makna di balik mitos tersebut selanjutnya dianalisis dengan pendekatan
semiotika. Makna-makna yang diungkap secara semiotis tersebut kemudian akan
menjawab fungsi mitos tersebut bagi masyarakat sekitar Gunung Padang pada
khususnya dan masyarakat lain pada umumnya.
Sehingga artikel ini terfokus pada resepri masyarakat sekitar situs megalitikum
Gunung Pang, Desa Karyamukti, kecamatan Campak, Kabupaten Cianjur, terhadap
mitos tersebut bagi masyarakat sekitar Gunung Padang pada khususnya dan masyarakat
lain pada umumnya. Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengungkap resepsi
masyarakat sekitar Gunung Padang terhadap mitos Jabal Nur dan menjelaskan fungsi
mitos Jabal Nur bagi masyarakat sekitar Gunung Padang pada khususnya dan lasyarakat
lain umumnya.
Metode penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik,
yaitu dengan mendeskripsikan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan kemudian
menganalisis fakta-fakta tersebut (Ratna, 2011: 34). Fakta tersebut dianalisis dengan
pendekatan yang sesuai dengan jenis penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian ini,
pendekatan yang digunakan untuk menganalisis data adalah pendekatan resepsi dan
semiotika.
Berdasarkan pengumpulan datanya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian
kepustakaan (library research) dan lapangan (field research). Penelitian kepustakan
dilakukan dengan mengumpulkan data-data kepustakaan berupa literatur mengenai
situs megalitikum Gunung Padang dan mitos-mitos yang berkembang di masyarakat
sekitarnya. Selain itu, dikumpulkan pula buku-buku teori yang relevan dengan
penelitian ini, seperti buku-buku folklor, penelitian folklor, teoeri sastra, dan buku-
buku yang berkaitan dengan nilai-nilai Islam, khususnya tauhid, untuk dikomparasikan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam mitos yang diteliti dalam penelitian ini.
Literatur yang menunjang tersebut sebagian telah dijelaskan dalam subbab Tinjauan
Pustaka.
Adapun penelitian lapangan dilakukan dengan melakukan pengumpulan data di
lapangan. Pengumpulan data berupa pengamatan langsung (observasi) dan wawancara.
Pengamatan langsung dilakukan di lokasi situs megalitikum Gunung Padang dan
dusundusun sekitar situs tersebut. Pengamatan bertujuan untuk melihat gambaran
umum mengenai lokasi penelitian, kondisi masyarakat, dan cerita-cerita lisan yang
berkembang di sekitar masyarakat tersebut.
Pengumpulan data berikutnya yaitu berupa wawancara (interview). Wawancara
dilakukan untuk mengetahui secara lebih detail kondisi masyarakat langsung dari
masyarakat sekitar. Wawancara juga bermaksud untuk mengetahui cerita-cerita lisan
yang mereka percayai seputar Gunung Padang serta tanggapan mereka terhadap mitos
Jabal Nur yang dikaitkan dengan keberadaan Gunung Padang. Wawancara dilakukan
dengan tatap muka di lokasi penelitian terhadap beberapa informan. Informan yang
terlibat antara lain juru kunci situs Gunung Padang, pengelola (juru pelihara) situs
Gunung Padang, Kepala Desa Karyamukti, dan beberapa warga yang tinggal di sekitar
situs Gunung Padang.
Berdasarkan objek kajian yang dipilih, yaitu folklor, penelitian ini memiliki
langkah-langkah tertentu yang relevan. Sebagaimana disebutkan Soeratno (2012: 18)
bahwa metode yang dilakukan dalam penelitian telah diatur agar tepat guna
berdasarkan karakteristik objek penelitiannya.
Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan
rumusan Danandjaya (2007: 193) adalah sebagai berikut:
1. Tahap prapenelitian di tempat, yaitu memahami objek penelitian sebelum
dilakukan pengumpulan data di lapangan;
2. Tahap penelitian di tempat, yaitu menggali data-data dari informan di lokasi
penelitian;
3. Tahap pembuatan naskah folklor sebagai arsip, yaitu pengumpulan hasil
analisis menjadi sebuah folklor tertulis yang utuh.
Namun demikian, penelitian ini dilakukan hingga tahap kedua, yaitu penelitian
di tempat. Data-data yang telah dikumpulkan akan dianalisis sesuai rumusan masalah
yang ditentukan, yaitu resepsi masyarakat sekitar Gunung Padang terhadap mitos Jabal
Nur dan fungsi mitos tersebut dalam kehidupan masyarakat sekitar. Penelitian ini telah
mencakup pembahasan yang luas dan memiliki signifikansi yang komprehensif
sehingga tahapan pengarsipan dapat dilakukan dalam penelitian khusus lanjutan.
Kondisi umum
Secara administratif, situs megalitikum Gunung Padang terletak di desa
Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Situs tersebut dikelilingi oleh
beberapa dusun, di antaranya dusun Gunungpadang dan Cipanggulaan yang paling
banyak penduduknya. Letaknya sekitar 30 km dari kota Cianjur, 91 km dari kota
Bandung, dan 137 km dari ibukota Jakarta. Situs ini terletak pada ketinggian 989 m² di
atas permukaan laut (Aksan, 2015: 17).

Gambar 1. Peta kabupaten Cianjur


Sumber: www.goespasial.bnpb.go.id

Situs ini dikenal masyarakat secara luas, baik nasional bahkan internasional,
setelah dilakukan penelitian arkeologis yang komprehensif sejak 2010 oleh Tim
Terpadu Riset Mandiri (TTRM). Luas situs ini mencapai 3 Ha dengan bentuk punden
berundak yang terdiri atas beberapa teras. Setiap teras tersusun atas ribuan batu yang
meliputi menhir (batu tegak), tiang-tiang batu yang menyerupai kursi, alat musik, altar,
dan mahkota, hingga batu-batu lainnya yang bertebaran di seluruh area situs.

Gambar 2. Peta Arah Gunung Padang dari Kota Bandung


Sumber: Googlr Maps
Setelah dilakukan ekskavasi besar-besaran oleh TTRM, situs Gunung Padang
banyak dikunjungi wisatawan sehingga sekeliling area situs tampak sebagaimana tempat
wisata lainnya. Di gerbang utama yang terletak di kaki gunung terdapat lahan parkir
(yang masih termasuk area situs), loket karcis, pusat informasi, dan tempat
peristirahatan. Dari gerbang utama, pengunjung perlu mendaki sekitar 400 anak tangga
dengan sudut kemiringan sampai 45 derajat.
Pada anak tangga pertama, terdapat sumur Cikahuripan yang dipercaya
masyarakat sekitar sebagai “air kehidupan” karena sebagian meyakini air tersebut
memiliki khasiat luar biasa. Namun, fungsi pokoknya adalah menyucikan diri sebelum
masuk ke area situs yang dahulu dipercaya sebagai tempat bermeditasinya para leluhur
dan wali.
Situs Gunung Padang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka. Kecamatan
Campaka adalah salah satu kecamatan yang secara geografis terletak di bagian tengah
Kabupaten Cianjur dengan luas 135,47 km² dan jumlah penduduk 62.650 jiwa.
Ketinggian Campaka mencapai 475-700 meter di atas permukaan laut sehingga cuaca di
sana begitu sejuk dan berangin.
Campaka memiliki kontur berbukit-bukit dengan tebing yang tinggi. Kondisi
tersebut menyebabkan beberapa wilayah Campaka sering terkena musibah longsor
(www.cianjurkab.go.id).
Setelah situs Gunung Padang ramai dikunjungi, masyarakat merasakan kondisi yang
berbeda, terutama di bidang ekonomi. Pembukaan situs Gunung Padang ditambah
pembukaan kembali jalur kereta api Bogor-Sukabumi-Cianjur yang melewati stasiun
Lampegan membuat kawasan daerah Gunung Padang ramai dikunjungi wisatawan
lokal, bahkan mancanegara. Stasiun Lampegan adalah stasiun kereta api yang memiliki
nilai historis dan budaya yang kental di kawasan tersebut.
Menurut Ujang Sutarna, Kepala Desa Karyamukti periode 2003-2014, kondisi
ekonomi warga sekitar Gunung Padang meningkat setelah Gunung Padang dikenal
masyarakat. Bantuan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Pariwisata (yang dulu
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) dan pemerintah daerah Kabupaten
Cianjur menjadikan warga memperoleh kesejahteraan melalui program-program
kepariwisataan, seperti pembinaan pemandu wisata, pengelolaan penginapan dan
kawasan kuliner, serta pengembangan seni budaya Sunda.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat beberapa warga sekitar yang menjadi
informan penelitian. Deden (25 tahun), seorang tukang ojeg di sekitar Gunung Padang,
menyebutkan bahwa kawasan Gunung Padang termasuk dusun-dusun sekitar Desa
Karyamukti terdampak secara signifikan setelah situs megalitikum tersebut dibuka
untuk umum. Warga-warga sekitar diberdayakan untuk menjadi pengantar wisatawan
yang tidak membawa kendaraan umum, pedagang makanan, pengelola penginapan,
dan pemandu wisata (tour guide).
Kemunculan Mitos Jabal Nur
Menurut Minsarwati (2002: 8), mitos merupakan suatu peristiwa di masa lampau
yang diyakini sebagai asal mula terjadinya sesuatu yang memberikan sebuah makna bagi
kehidupan di masa kini. Namun demikian, kebenaran mengenai peristiwa tersebut
tidak dapat dipastikan. Oleh karena itu, mitos berkembang menjadi cerita yang berupa
keyakinan belaka tanpa ada bukti-bukti empirik yang dapat menunjukkan
kebenarannya.
Sebagai suatu mitos, asal mula cerita mengenai Jabal Nur yang dikaitkan dengan
keberadaan Gunung Padang tidak dapat diketahui secara pasti. Masyarakat sekitar
menganggap bahwa mitos tersebut merupakan bagian dari kepercayaan mereka yang
seiring waktu dilupakan oleh sebagian masyarakat lainnya, terutama oleh generasi
muda. Mitos tersebut diyakini sebagai salah satu di antara banyak mitos yang
berkembang di sekitar Gunung Padang hingga kini.
Sebagaimana disebutkan Usman, juru pelihara situs Gunung Padang, mitos
tersebut muncul begitu saja dan dipercaya oleh sebagian masyarakat sekitar Gunung
Padang. Keterkaitan antara Jabal Nur dengan Gunung Padang paling tidak dapat
dilihat dari beberapa aspek yakni persamaan struktur, nama, dan fungsi. Berikut
ringkas pemaparan dari aspek tersebut:
1. Persamaan struktur
Jabal Nur adalah nama gunung atau bukit yang terletak sekitar 6 Km sebelah
utara Masjid al-Haram, Mekah, Arab Saudi. Gunung tersebut memiliki ketinggian 200
meter. Gunung tersebut memiliki kontur berupa batu-batuan dan dikelilingi oleh
gunung-gunung lainnya. Pengunjung perlu mendaki melewati batu-batuan terjal untuk
sampai di puncak Jabal Nur.
Sekitar 5 meter dari puncak Jabal Nur terdapat lubang kecil yang dikenal dengan
nama Gua Hira. Gua Hira adalah tempat Muhammad Saw. menerima wahyu
pertamanya. Di dalam gua Hira tersebut, Muhammad Saw. biasanya mengasingkan diri
dari keramaian (khalwat) dan bertafakur. Gua Hira terletak di antara dua buah batu
besar yang dalam dan sempit. Panjang gua tersebut sekitar 3 meter dengan lebar sekitar
1,5 meter. Adapun ketinggian hanya mencapai 2 meter. Dengan luas demikian, gua ini
hanya cukup digunakan untuk shalat bagi dua orang.
Berdasarkan penjelasan tersebut, diketahui bahwa Jabal Nur memiliki struktur
yang mirip dengan Gunung Padang. Meskipun secara geografis berbeda—Jabal Nur di
kawasan gurun, Gunung Padang di kawasan hutan tropis—keduanya menunjukkan
beberapa persamaan struktur. Sebagaimana telah dijelaskan dalam subbab Gambaran
Umum, Gunung Padang memiliki struktur bukit dengan bentuk punden berundak.
Bukit tersebut terdiri atas batu-batuan yang membuat pengunjung tidak mudah
melaluinya.
Gunung Padang memiliki tingkatan-tingkatan yang disebut dengan teras. Teras
paling atas adalah tempat yang dianggap paling sakral. Tempat tersebut dipercaya
masyarakat setempat sebagai persemayaman Prabu Siliwangi atau tempat bersemedinya
para wali dan leluhur. Salah satu cirinya dengan adanya batu singgasana raja, yaitu batu
yang dipercaya sebagai tempat memohon dan memuja.
Dengan demikian, kemiripan struktur tersebut dapat dijadikan argumentasi
pertama mengapa Jabal Nur di Mekah dikaitkan dengan keberadaan Gunung Padang
di Cianjur. Namun, perlu ditegaskan bahwa keduanya merupakan dua gejala alam yang
berbeda. Jabal Nur secara alamiah merupakan gejala alam yang telah ada dan dikenal
sejak zaman dahulu, sedangkan Gunung Padang hingga kini, berdasarkan penelitian
arkeologis yang dilakukan, diyakini sebagai hasil peradaban buatan manusia nusantara
pada masa lampau.
2. Persamaan nama
Masyarakat sekitar Gunung Padang memiliki pendapat yang berbeda mengenai
asal-usul nama Gunung Padang dan maknanya. Menurut Usman, dahulu kala
orangorang mengenal Gunung Padang dengan nama Nagara Siang Padang. Dengan
nama demikian, Usman meyakini bahwa Gunung Padang bukan sekadar bukit atau
gunung. Apalagi Gunung Padang dianggap sebagai tempat sakral sehingga tempat
tersebut memiliki arti yang luas dan dalam.
Menurut Usman, salah satu rujukan yang paling banyak dipegang terkait asalusul
nama Gunung Padang itu adalah pesan sesepuh yang merupakan kakek dari juru kunci
saat ini, Nanang. Menurutnya, penamaan Nagara Gunung Padang tidak pernah
dijelaskan hingga dia wafat. Alasan tidak dijelaskannya asal-usul nama Nagara Siang
Padang adalah agar generasi setelahnya kelak berpikir dan terur belajar. Menurut
Nanang, sebagaimana dikutip oleh Usman, hal tersebut terbukti dengan adanya
penelitian besar-besara yang dilakukan beberapa tahun terakhir. Namun, menurut
Usman, masyarakat meyakini bahwa kata padang dalam Gunung Padang berarti terang
benderang. Makna “terang benderang” tersebut dapat dimaknai secara lugas atau
dipahami secara mendalam (kiasan). Usman mengiaskan bahwa “terang benderang”
tersebut bermakna penuh dengan cahaya ilmu, baik ilmuilmu dunia atau ilmu akhirat.
Maka, tidak mengherankan jika saat ini Gunung Padang dijadikan sumber ilmu setelah
dilakukan ekskavasi.
Senada dengan pendapat tersebut, Ujang menuturkan bahwa padang berarti
terang atau cahaya. Hal tersebut disebabkan orang-orang dapat menyaksikan terang
bintang pada malam hari di atas Gunung Padang. Selain itu, posisi Gunung Padang
yang berada di tengah-tengah impitan gunung (dalam bahasa Sunda „pasir‟) membuat
pemandangan sekitar Gunung Padang terlihat indah pada malam hari di saat langit
dalam kondisi cerah.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dilihat bahwa nama padang (bahasa
Sunda) yang berarti “terang atau cahaya” dalam bahasa Indonesia memiliki persamaan
arti dengan kata nûr pada Jabal Nur. Kata nûr dalam bahasa Arab berarti cahaya.
3. Persamaan fungsi
Setelah diuraikan persamaan makna pada Jabal Nur dan Gunung Padang,
selanjutnya adalah mengumpulkan resepsi masyarakat terhadap persamaan fungsi yang
dimiliki oleh kedua gejala alam tersebut. Mitos Jabal Nur yang diyakini melekat pada
keberadaan Gunung Padang tidak terlepas dari sejarah kedua gunung tersebut yang
dinilai memiliki beberapa persamaan. Namun demikian, hanya masyarakat tertentu
yang mengenali adanya persamaan fungsi secara signifikan.
Beberapa orang, baik masyarakat sekitar Gunung Padang maupun pengunjung,
menganggap bahwa persamaan Jabal Nur dan Gunung Padang paling menonjol adalah
persamaan nama. Hal tersebut terbukti dari penjelasan beberapa informan yang
menyatakan bahwa mereka tidak tahu fungsi Jabal Nur selain hanya tempat pertama
Nabi Muhammad Saw. menerima wahyu. Bahkan, beberapa di antaranya tidak
mengetahui Jabal Nur kecuali setelah diberikan informasi oleh peneliti (lihat hasil
wawancara hlm. 38, 40, dan 45).
Beberapa informan yang mengetahui Jabal Nur dan fungsinya adalah informan
dengan tingkat pendidikan minimal sarjana, penjelajah (traveller), juru pelihara, dan
(mantan) kepala desa yang tentu memiliki pengetahuan lebih luas daripada masyarakat
awam. Dari informan tersebut diperoleh tanggapan mengenai adanya persamaan fungsi
antara Jabal Nur dan Gunung Padang.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam subbab sebelumnya bahwa Jabal Nur dan
Gunung Padang memiliki nama, asal-usul, dan makna yang sama. Hal tersebut
didukung oleh adanya persamaan fungsi kedua gunung. Menurut Ujang, misalnya,
Gunung Padang sejak dahulu sering dijadikan tempat bermeditasi bagi sebagian orang.
Selain itu, beberapa orang biasanya memiliki keperluan (hajat) tertentu. Keperluan
tersebut didominasi oleh orang-orang yang bergiat dalam kesenian, seperti sinden dan
dalang.
Pengaruh Mitos Jabal Nur terhadap Masyarakat
Setelah menjelaskan resepsi masyarakat terkait dengan kemunculan mitos Jabal
Nur yang meliputi persamaan struktur, persamaan arti, dan persamaan fungsi,
selanjutnya akan dibahas pengaruh mitos tersebut bagi masyarakat. Hal ini merupakan
resepsi masyarakat terkait dampak mitos bagi keberlangsungkan hidup mereka. Secara
umum, masyarakat yang mengenal mitos Jabal Nur beranggapan bahwa cerita tersebut
sekadar cerita leluhur yang secara turun-temurun berkembang. Sebagai sebuah cerita
yang belum dapat diklarifikasi kebenarannya, mereka menganggap bahwa mitos
tersebut hanya perlu diambil nilai-nilai baiknya. Mitos yang berkembang tersebut dapat
menjadi sarana pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai luhur yang menyentuh
berbagai aspek kehidupan, seperti agama, sosial, dan budaya.
Nilai-nilai luhur itulah yang kemudian terinternalisasi dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat, baik yang memegang atau percaya terhadap mitos Jabal Nur maupun
tidak. Maka, pengaruh mitos Jabal Nur terhadap masyarakat sekitar adalah sebagai
berikut, menjaga tauhid, meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT, memperbaiki
akhlak serta menambah khazanah sastra lisan.
Mitos Jabal Nur sebagai Folklor Masyarakat Gunung Padang
Berdasarkan hasil wawancara terhadap informan (lihat hlm. 21), mitos Jabal
Nur diresepsi secara beragam oleh masyarakat. Namun, pada intinya, mitos tersebut
tetap masih hidup, dipegang teguh oleh sebagian kalangan, dan bahkan terus
berkembang hingga saat ini. Hal tersebut menjadikan mitos tersebut tumbuh menjadi
bagian dari kekayaan cerita rakyat masyarakat setempat. Maka, resepsi selanjutnya
diarahkan pada tanggapan masyarakat terhadap perlunya mitos Jabal Nur
disosialisasikan lebih luas menjadi folklor yang dimiliki masyarakat Gunung Padang.
Sebagaimana telah dijelaskan pada subbab sebelumnya, mitos tersebut
memberikan beberapa pengaruh positif terhadap masyarakat sekitar. Atas dasar itu,
maka mitos Jabal Nur perlu secara khusus dikumpulkan menjadi folklor yang
kemudian disosialisasikan kepada masyarakat lainnya. Masyarakat yang dimaksud
adalah masyarakat sekitar yang belum mengetahui atau pendatang yang semakin banyak
mengunjungi situs Gunung Padang. Di antara beberapa resepsi masyarakat yang sudah
dikumpulkan, terdapat beberapa alasan mengapa mitos ini perlu dikumpulkan dan
dikembangkan menjadi sebuah folklor.
Pertama, sebagai folkor, mitos Jabal Nur dapat dijadikan karya sastra yang
memiliki nilai-nilai pendidikan dan pengajaran. Dari mitos Jabal Nur dapat diperoleh
banyak nilai-nilai positif sebagaimana telah dijelaskan dalam subbab sebelumnya. Nilai-
nilai tersebut tentu berguna bagi media pengajaran, khususnya bagi generasi muda dan
anak-anak.
Kedua, mitos tersebut menjadi tameng bagi masyarakat untuk melakukan
perbuatan buruk. Pada subbab sebelumnya dijelaskan bahwa mitos ini berdampak
terhadap perbaikan akhlak masyarakat sekitar. Akan tetapi, sejauh ini, dampak baik
tersebut belum tampak secara signifikan, khususnya bagi masyarakat yang tidak
mengetahui mitos Jabal Nur dan para pengunjung yang berdatangan dari luar kota.
Oleh karena itu, dikembangkannya mitos ini menjadi folklor dapat menjadi sosialiasi
nilai-nilai kearifan lokal kepada masyarakat secara luas sehingga diharapkan pentingnya
menjaga akhlak dihayati secara merata oleh seluruh kalangan.
Namun demikian, ada beberapa catatan yang dikumpulkan sebagai bagian dari
resepsi masyarakat terhadap perlunya pengembangan mitos ini. Catatan tersebut
muncul karena adanya perbedaan latar belakang keilmuan dan wawasan para informan.
Perbedaan tersebut menimbulkan anggapan yang berbeda dari setiap informan. Hal
tersebut adalah hal yang wajar dalam penelitian resepsi.
Perbedaan latar belakang keilmuan dan wawasan tersebut sebagaimana disebut
Jauss sebagai horizon of expectation „horizon harapan‟ secara alamiah muncul pada
setiap orang, termasuk pembaca dalam penelitian resepsi. Informan yang diposisikan
sebagai “pembaca” memiliki harapan-harapan tersendiri yang bisa jadi memiliki
perspektif berbeda dengan latar belakang keilmuan yang dijadikan dasar penelitian,
yaitu ilmu sastra.
Beberapa informan menilai bahwa mitos adalah cerita fiktif yang dianggap
sebagai dokrin agama, bahkan tercampur pada aspek ibadah. Maka, sebagian
menyatakan bahwa mitos Jabal Nur tidak perlu dikembangkan karena “merusak”
kemurnian ajaran agama. Selain itu, kata mitos itu sendiri juga dimaknai sebagian
orang sebagai cerita buruk yang berbahaya dan berdosa (pamali). Maka, kepada
informan tersebut diinformasikan batasan-batasan mengenai konsep mitos, khususnya
dalam tataran ilmu sastra (lihat hlm. 10).
Berdasarkan semua penjelasan tersebut, diketahui resepsi masyarakat terhadap
mitos Jabal Nur yang berkembang di masyarakat Gunung Padang dimulai dengan
mengidentifikasi beberapa persamaan Jabal Nur dengan Gunung, antara lain:
persamaan struktur, nama, dan fungsi. Setelah itu, resepsi dilanjutkan pada pengaruh
mitos Jabal Nur terhadap masyarakat sekitar yang mencakup aspek religus (tauhid dan
ketakwaan), sosial (perbaikan akhlak), dan budaya (kekayaan khazanah kebudayaan).
Kemudian, resepsi selanjutnya pada perlunya mitos Jabal Nur dikumpulkan menjadi
folklor milik masyarakat Gunung Padang, Campaka, Cianjur.

Fungsi Mitos Jabal Nur


Pada subbab sebelumnya telah dijelaskan resepsi masyarakat terhadap mitos Jabal
Nur yang berkembang di sekitar situs megalitikum Gunung Padang. Resepsi tersebut
menunjukkan mitos Jabal Nur hidup sebagai bagian dari kearifan lokal yang dijaga
bahkan dikembangkan oleh sebagian masyarakat sekitar. Berdasarkan resepsi tersebut,
selanjutnya akan dijelaskan fungsi keberadaan mitos Jabal Nur bagi masyarakat, baik
masyarakat sekitar Gunung Padang maupun masyarakat umum lainnya.
Dalam teori Semiotika Barthes, resepsi masyarakat terhadap mitos Jabal Nur
dapat dikembangkan menjadi sebuah sistem penandaan. Sistem penandaan tersebut
terdiri atas relasi tanda dengan maknanya. Relasi antara tanda dengan maknanya,
dalam perspektif Barthes, memiliki dua lapis penandaan yang disebut sebagai
penandaan denotatif dan konotatif (Barthes, 2009: 158-162).
Pada tataran denotatif, situs megalitikum Gunung Padang dengan segala gejala
yang melingkupinya diresepsi masyarakat sebagai situs yang terkait dengan Jabal Nur di
Mekah. Resepsi tersebut antara lain mencakup kemunculan mitos Jabal Nur tersebut,
pengaruhnya terhadap masyarakat, dan perlunya mitos tersebut dikukuhnya menjadi
folklor. Dengan perkataan lain, resepsi tersebut merupakan penandaan tahap pertama,
yaitu Gunung Padang dan keterkaitannya dengan Jabal Nur sebagai signifiant dan
resepsi masyarakat sebagai signifie.
Penandaan yang disebut juga dengan penandaan primer ini menghasilkan tanda
berupa mitos Jabal Nur yang masih dipegang oleh sebagian masyarakat, bahkan
berkembang hingga saat ini. Mitos tersebut selanjutnya dimaknai pada penandaan
tahap kedua, yaitu penandaan konotatif. Penandaan ini merupakan pengembangan
tanda pada tahap denotatif yang menjadi signifiant. Adapun signifie pada proses
penandaan kedua ini adalah teori mitos yang dicetuskan oleh Campbell yang
menguraikan fungsi mitos menjadi beberapa macam.
Mengacu pada teori Campbell tentang mitos (2004: 3-10), diperoleh beberapa
fungsi mitos Jabal Nur bagi masyarakat sekitar sebagai berikut:
1. Mitos sebagai mistik
Fungsi pertama mitos Jabal Nur disebut Campbell sebagai fungsi mistis, yaitu
untuk membangkitkan rasa bersyukur individu atas segala macam misteri alam
semesta. Berdasarkan fungsi ini, mitos Jabal Nur menjadi cerita rakyat yang
menjelaskan banyak keagungan penciptaan Allah Swt. Sebagaimana dijelaskan pada
subbab resepsi masyarakat terhadap mitos Jabal Nur (lihat hlm. 55), mitos tersebut
menunjukkan bahwa Allah Swt. telah menciptakan Gunung Padang (melalui
tangan manusia pada masa megalitikum) dengan segala keluarbiasaannya, yaitu
memiliki persamaan dengan Jabal Nur.
Mitos Jabal Nur yang terkait dengan Gunung Padang muncul untuk
menggambarkan alam semesta (kosmos) serta segala sesuatu yang berada di dalam
dan sekitarnya. Dengan perkataan lain, mitos ini muncul untuk membangun
kekaguman manusia atas penciptaan alam semesta. Selain itu, mitos ini juga
menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan interaksi manusia dengan alam,
yaitu jalinan antara masyarakat dengan Gunung Padang.
Hadirnya mitos ini membangkitkan rasa bersyukur yang dimiliki masyarakat
terhadap adanya Gunung Padang yang hingga saat ini kian dikenal masyarakat
luas. Melalui penelitian arkeologis, masyarakat mengenal banyak ilmu pengetahuan
mengenai gejala alam di masa lampau, yaitu Gunung Padang sebagai punden
berundak yang diduga kuat sudah diciptakan pada masa zaman megalitikum.
Punden berundak itu menjadi hasil peradaban manusia nusantara yang canggih
pada masanya.
Hasil penelitian tersebut tidak kontradiktif terhadap kearifan lokal setempat,
termasuk adanya mitos Jabal Nur. Penelitian ilmiah yang saat ini dikenal luas oleh
masyarakat setempat menjadi pemicu untuk mempelajari banyak hal secara lebih
luas dan dalam. Jika penelitian arkeologis hingga saat ini masih berusaha menggali
lebih banyak bangunan-bangunan peninggalan purbakala, masyarakat mulai
mempertanyakan banyak hal, termasuk keterkaitan Gunung Padang dengan Jabal
Nur. Bagi banyak kalangan, keterkaitan antara Gunung Padang dengan Jabal Nur
tentu hanya kebetulan yang tak disengaja. Namun, bagi masyarakat yang masih
memegang mitos tersebut, kebetulan itu justru adalah misteri yang tidak belum
terpecahkan oleh penelitian ilmiah mana pun. Misteri itu yang kemudian menjadi
sarana untuk meningkatkan keimanan kepada Allah sebagai suatu bentuk iman
pada hal gaib. Dengan perkataan lain, mitos tersebut muncul sebagai sarana untuk
mengimani banyak misteri alam semesta yang belum terjangkau oleh akal.
2. Mitos sebagai sarana sosial
Fungsi mitos Jabal Nur berikutnya adalah fungsi sosiologis. Barthes (1972)
menyebutkan bahwa mitos dibuat sebagai sarana komunikasi yang memiliki proses
signifikansi sehingga dapat diterima oleh akal. Dengan perkataan lain, dalam suatu
sistem sosial, mitos bukan suatu konsep yang stagnan, melainkan terus bergerak
secara dinamis menuju pemikiran yang baru. Hal tersebut yang disebuat Barthes
sebagai proses signifikansi.
Berdasarkan fungsi tersebut, mitos Jabal Nur yang dipegang oleh masyarakat
Gunung Padang berkembang secara dinamis. Mitos tidak sekadar dimaknai
dengan arti sempit, yaitu cerita yang tidak berdasar saja. Mitos diterima masyarakat
untuk terus memperbarui tatanan sosial yang berlaku di masyarakat Gunung
Padang. Salah satu bentuknya adalah kontekstualisasi mitos tersebut oleh pemuka
agama dan pejabat berwenang seperti Kepala Desa. Wujud kontekstualiasi itu di
antaranya dengan menjadikan mitos tersebut sebagai landasan untuk menjaga
perilaku di antara sesama anggota masyarakat dan menjaga lingkungan.
Kontekstualisasi mitos Jabal Nur tersebut diterima masyarakat sebagai sesuatu
yang positif. Terlepas dari perbedaan perspektif dalam memandang kata mitos,
namun sebagian besar masyarakat menganggap bahwa mitos Jabal Nur adalah
bagian dari cerita leluhur yang harus dijaga. Disadari atau tidak, mitos tersebut
terinternalisasi dalam hidup masyarakat sekitar Gunung Padang sebagai suatu
sistem sosial. Mitos Jabal Nur melahirkan banyak pamali yang secara tidak
langsung mengarahkan perilaku masyarakat kepada hal-hal yang benar, layak, dan
berterima dalam kehidupan sosial. Sebaliknya, mitos tersebut juga secara tidak
langsung menunjukkan hal-hal yang dianggap keliru, ganjil, dan tabu dalam
kehidupan bermasayarakat.
Dengan demikian, mitos Jabal Nur berperan penting dalam kehidupan sosial
masyarakat sekitar Gunung Padang. Hanya saja, tidak semua masyarakat
menyadari, bahkan sebagian lain tidak mengetahui mitos tersebut. Namun,
berdasarkan resepsi masyarakat yang telah dijelaskan sebelumnya, mitos tersebut
jelas menunjukkan fungsi sosiologis sebagaimana dijelaskan di atas.
3. Mitos sebagai pendidikan dan moral
Fungsi terakhir mitos Jabal Nur adalah sebagai sarana pendidikan dan moral.
Fungsi ini berkaitan erat dengan aspek psikologis dari setiap individu di dalam
masyarakat. Berdasarkan fungsi ini, mitos berfungsi untuk mengarahkan hidup
seseorang kepada norma-normal moral yang berlaku dalam masyarakat. Mitos akan
dijadikan sebagai pegangan hidup yang lagi-lagi, disadari atau tidak, terinternalisasi
dalam kehidupan seseorang.
Pada masa lampau, Gunung Padang dianggap sebagai tempat yang sakral sehingga
setiap orang harus menjaga perilakunya dari hal-hal yang maksiat atau buruk. Hal
tersebut didukung dengan adanya mitos Jabal Nur yang dikaitkan dengan Gunung
Padang. Masyarakat sekitar semakin meyakini bahwa menjaga perilaku saat
berkunjung ke Gunung Padang adalah suatu kewajiban. Kesadaran menghindari
perilaku buruk itu masih berlaku hingga sekarang, meskipun masyarakat merepsi
mitos Jabal Nur secara beragam. Sebagian di antaranya menganggap hal tersebut
adalah suatu cerita fiktif yang tidak berdasar sehingga harus diabaikan. Namun
demikian, kesadaran untuk menjaga perilaku saat berkunjung ke Gunung Padang
masih dimiliki oleh masyarakat. Hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan
bahwa mitos Jabal Nur sebagai penjaga moralitas terinternalisasi dalam kehidupan
masyarakat.
Hanya saja, kesadaran tersebut semakin menurun, terutama setelah banyaknya
pengunjung yang berasal dari luar daerah Gunung Padang. Hal tersebut yang
menjadi alasan terkuat bahwa mitos Jabal Nur harus dikumpulkan menjadi folklor
dan disosialisasikan kepada masyarakat luas. Di sinilah letak mitos Jabal Nur yang
berfungsi sebagai sarana pendidikan dan moral.
Selain itu, keinginan masyarakat agar mitos Jabal Nur dikembangkan menjadi
folklor juga bertujuan untuk dijadikan alternatif cerita kepada anak-cucu kelak.
Cerita rakyat ternyata masih relevan untuk dijadikan media pembelajaran terhadap
anak. Begitu pula dengan mitos Jabal Nur yang dapat dijadikan cerita rakyat yang
memuat banyak nilai-nilai pendidikan dan moral sebagaimana karya sastra pada
umumnya. Dengan demikian, penjelasan di atas menunjukkan bahwa mitos Jabal
Nur yang dikaitkan dengan keberadaan situs megalitikum Gunung Padang
memiliki beberapa fungsi bagi masyarakat Gunung Padang dan masyarakat umum
lainnya, yaitu fungsi mistik, sarana sosial, serta sarana pendidikan dan moral.
Fungsi tersebut dikumpulkan
berdasarkan resepsi masyarakat terhadap mitos Jabal Nur di situs megalitikum
Gunung Padang.
Kesimpulan
Mitos Jabal Nur yang berkembang di situs megalitikum Gunung Padang
merupakan salah satu khazanah kebudayaan Sunda yang dimiliki masyarakat dusun
Gunung Padang, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Mitos tersebut lahir secara
turun-temurun dan masih dipegang hingga saat ini. Bahkan, mitos tersebut terus
berkembang hingga menjadi folklor yang belum dikumpulkan secara serius dengan
penelitian yang memadai, yaitu penelitian sastra.
Penelitian ini berfokus pada resepsi masyarakat sekitar terhadap mitos Jabal Nur
yang berkembang di situs Gunung Padang. Resepsi yang dikumpulkan mencakup
kemunculan mitos Jabal Nur, pengaruh mitos tersebut, dan perlunya sosialisasi mitos
tersebut sebagai folklor.
Berdasarkan kemunculannya, masyarakat memahami mitos Jabal Nur muncul
karena adanya persamaan struktur, nama, dan fungsi antara Gunung Padang di Cianjur
dengan Jabal Nur di Mekah, Arab Saudi. Adapun berdasarkan pengaruhnya,
masyarakat Gunung Padang menyatakan
bahwa mitos Jabal Nur setidaknya banyak memberikan pengaruh positif. Pengaruh
tersebut antara lain terlihat pada upaya menjaga tauhid yang dilakukan masyarakat.
Selain itu, mitos tersebut juga berpengaruh pada peningkatan ketakwaan masyarakat
kepada Allah Swt. Selain aspek religiusitas, mitos tersebut juga berdampak pada aspek
sosial, yaitu dengan kesadaran untuk memperbaiki akhlak. Terakhir, dalam aspek
budaya, mitos tersebut menambah khazanah sastra lisan yang dimiliki masyarakat.
Banyaknya pengaruh mitos terhadap masyarakat menjadikan sebagian besar dari
mereka menginginkan agar mitos Jabal Nur dikumpulkan dan disosialisasikan sebagai
folklor milik masyarakat Gunung Padang, Campaka, Cianjur. Tujuannya agar folklor
tersebut diketahui masyarakat secara luas dan memberikan pelajaran kepada mereka,
khususnya kepada para wisatawan yang belum memahami sepenuhnya kearifan lokal
yang berlaku di sekitar area situs Gunung Padang.
Dalam perspektif semiotis, resepsi masyarakat terhadap mitos Jabal Nur tersebut
merupakan suatu sistem penandaan yang menunjukkan suatu makna. Makna tersebut
dianalisis berdasarkan sistem penandaan Barthes dan teori Campbell mengenai fungsi
mitos. Hasil analisis menunjukkan bahwa mitos Jabal Nur yang diresepsi secara
beragam oleh masyarakat sekitar memiliki tiga fungsi.
Pertama, mitos Jabal Nur sebagai mistik. Berdasarkan fungsi ini, mitos Jabal Nur
merupakan cerita yang dapat membangkitkan rasa syukur individu terhadap penciptaan
alam semesta. Selain itu, fungsi mistik pada mitos Jabal Nur menjadikan masyarakat
beriman kepada Allah Swt. melalui banyak misteri mengenai keberadaan Gunung
Padang yang belum terungkap dan terjangkau oleh akal.
Kedua, mitos Jabal Nur sebagai sarana sosial. Mitos Jabal Nur yang berkembang
di sekitar Gunung Padang berfungsi sebagai suatu sistem sosial yang disadari atau tidak
telah terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat. Meskipun sebagaian masyarakat
mengaku tidak terpengaruh oleh mitos tersebut, namun tanpa disadari mengikuti
beberapa hal yang menjadi bagian dari kontekstualisasi mitos. Misalnya, selalu menjaga
perilaku baik saat berada di area situs Gunung Padang.
Terakhir, mitos sebagai sarana pendidikan dan moral. Berdasarkan fungsi ini,
mitos Jabal Nur menjadi pegangan masyarakat saat berperilaku di area situs atau
dalam kehidupan sehari-hari. Mitos tersebut juga berfungsi sebagai sarana
pembelajaran bagi anak-anak untuk senantiasa menjaga akhlak, baik dengan sesama
atau dengan lingkungan hidupnya.
Mitos Jabal Nur dengan segala fungsinya masih perlu dikembangkan. Resepsi
masyarakat yang dikumpulkan dalam penelitian ini hendaknya dijadikan acuan untuk
melakukan penelitian lanjutan. Dalam konteks ilmu kesusastraan, mitos tersebut dapat
dijadikan folklor yang memiliki banyak manfaat. Dalam perspektif Islam, folklor seperti
mitos Jabal Nur dapat dijadikan sarana dakwah melalui bentuk karya sastra agar
masyarakat meningkatkan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Swt. Dengan
catatan, pemahaman masyarakat terhadap makna kata mitos perlu disesuaikan dengan
konteks kebudayaan dan ilmu kesusastraan.
Daftar pustaka
Adi, Ida Rochani. 2011. Fiksi Populer Teori dan Metode Kajian. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Akbar, Ali. 2013. Situs Gunung Padang Misteri dan Arkeologi. Jakarta: Change
Publication.
Aksan, Hermawan. 2015. Gunung Padang, Penelitian Situs dan Temuan
Menakjubkan. Bandung: Nuansa Cendekia.
Althusser, Louis. 2008. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis,
Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
Amir, Adriyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: Andi.
Anis, Ibrahim. 1972. Al-Mu’jam Al-Wasîth. Kairo: Dâr Ihyâ at-Turâts al-„Arabi.
Barthes, Roland. 2009. Mitologi. Jogjakarta: Kreasi Wacana.
Al-Buthy, Said Ramadhan. 2009. Fikih Sirah Hikmah Tersirat dalam Lintas Sejarah
Hidup Rasulullah Saw. Jakarta: Hikmah.
Campbell, Joseph. 2004. Pathways to Bliss Mythology and Personal Tranformation.
California: New World Library.
Chalil, Munawwar. 2001. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw. Jakarta: Gema
Insani Press.
Christommy, Tommy. 2004. Semiotika Budaya. Depok: PPKB UI.
Danandjaya, James. 2007. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain.
Jakarta: Temprint.
Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Foklor. Yogyakarta: Media
Pressindo.
Farid, Ahmad. 2008. Quantum Takwa Hakikat, Keutamaan, dan Karakter Orang-orang
Bertakwa. Solo: Pustaka Arafah.
Faruk. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas
Bambu.
http://news.liputan6.com/read/2107990/makna-tersirat-dari-mitos-di-5-teras
gunungpadang, diunduh pada 31 Mei 2015 pukul 20.32 WIB.

Anda mungkin juga menyukai