Lailatul Izha
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: 17310003@student.uin-malang.ac.id
Abstract
The research is conducted by using reception theory and semiotics. Data are collected by
field and library research method. Reception theory is used to analyze public response to
Jabal Nur myth for peaople based on responses obtained. The result shows that people
responded Jabal Nur myth in various way. According to its appearance, Jabal Nur myth is
know by people as its similarity of structures, names, and functions as Gunung Padang.
The influence of the myth is to keep monotheism (tauhid), to increase devation (takwa), to
improve morals, and to enrich culture treasure. There are four functions of Jabal Nur myth:
myht as a mystic, myth as social facilities, and myth as means af education and moral.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan resepsi sastra dan semiotika.
Pengumpulan data dilakukan denga teknik lapangan dan kepustakaan. pendekatan
resepsi sastra digunakan untuk menganalisis tanggapan masyarakat terhadap mitos Jabal
Nur yang berkembang di situs megalitikum Gunung Padang. Adapun pendekatan
semiotika digunakan untuk menganalisis fungsi mitos Jabal Nur tersbut bagi masyarakat
berdasarkan resepsi yang telah didapatkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa
masyarakat meresepsi mitos Jabal Nur secara beragam. Berdasarkan kemunculannya,
mitos Jabal Nur dipahami masyarakat karena persamaan struktur, nama, dan fungsi.
Pengaruh mitos tersebut bagi masyarakat antara lain menjaga tauhid, meningkatkan
ketakwaan, memperbaiki akhlak, dan memperkaya khazanah kebudayaan. Kemudian
fungsi mitos Jabal Nur bagi masyarakat di antaranya adalah mitos sebagai mistik, mitos
sebagai sarana pendidikan dan moral.
Keywords: Folklore, Gunung Padang, Jabal Nur, megalithic site, and myth
Pendahuluan
Situs megalitikum Gunung Padang saat ini semakin dikenal luas masyarakat.
Sejak dilakukan penelitian oleh Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) pada kurun tahun
2010-2014, popularitas Gunung Padang sebagai cagar budaya meluas hingga ke
pengujung negeri bahkan internasional. Para arkeolog dan geolog, dalam kapasitas
keilmuannya, terus melakukan ekskavasi untuk memperbarui temuan-temuannya.
Dalam laporan riset terbarunya, TTRM (2014) menyebut bahwa Gunung Padang
adalah bangunan raksasa yang unik dan merupakan warisan leluhur Nusantara yang
telah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi.
Terlepas dari temuan arkeologis yang terus dimutakhirkan dari waktu ke waktu,
Gunung Padang sebagai sebuah gejala alam telah ada dan dikenal sejak lama oleh
masyarakat Dusun Gunungpadang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka,
Kabupaten Cianjur. Sebelum dikenal secara luas, masyarakat sekitar telah mengenal
Gunung Padang sebagai sebuah peninggalan masa lalu yang memiliki banyak cerita
lisan (folklor). Di antaranya adalah cerita mengenai harta karun terpendam, atlantis
yang hilang, piramida, legenda Prabu Siliwangi, dan beberapa mitos lain yang berkaitan
dengan makhluk-makhluk gaib.
Salah satu folklor yang berkembang di masyarakat sekitar Gunung Padang adalah
cerita asal-usul nama Gunung Padang yang dikaitkan dengan Jabal Nur di Mekah, Arab
Saudi. Menurut Nanang, juru pelihara Gunung Padang, sebagaimana dikutip dalam
www.liputan6.com, kata padang berarti terang atau cahaya dalam bahasa Sunda. Nama
tersebut berasal dari Nagara Siang Padang. Oleh karena itu, nama tersebut
diasosiasikan dengan Jabal Nur, yang terletak di Arab Saudi karena kata padang dan
nur memiliki makna leksikal yang sama.
Dalam sejarah Islam, Jabal Nur merupakan nama gunung tempat diturunkannya
wahyu pertama bagi Muhammad Saw., yaitu Quran Surah Al-„Alaq: 1-5. Wahyu
tersebut diturunkan di sebuah gua yang terletak di puncak Jabal Nur, yaitu gua Hira.
Sebelum menerima wahyu, Muhammad Saw. sering mengasingkan diri (khalwat) di gua
tersebut. Sebagaimana dijelaskan Al-Buthi (2009: 73) bahwa Muhammad Saw. memiliki
kebiasaan menyendiri (ikhtila`) di gua Hira mendekati usia empat puluh tahun. Di
dalam gua Hira tersebut, Muhammad Saw. beribadah selama beberapa malam dan
hanya pulang ke rumah saat mengambil bekal.
Berkaitan dengan hal tersebut, Gunung Padang yang memiliki asal-usul nama
yang sama dengan Jabal Nur diyakini masyarakat sekitar memiliki fungsi yang sama
dengan Jabal Nur. Struktur Gunung Padang terdiri atas punden berundak dengan
tinggi 885 meter di atas permukaan laut. Punden tersebut terbagi menjadi lima teras.
Menurut Nanang, keberadaan lima teras tersebut dianggap memiliki makna spiritual.
Masingmasing teras memiliki nama dan fungsinya. Teras yang paling tinggi merupakan
tempat yang dianggap suci dan dipercaya masyarakat sebagai singgasana Prabu
Siliwangi. Masyarakat sekitar, lanjut Nanang, percaya bahwa tingkat tertinggi yang
dianggap sebagai singgasana Prabu Siliwangi merupakan tempat tersuci di antara teras-
teras
Gunung Padang. Tempat yang paling tinggi dari Gunung Padang tersebut
dianggap sebagai tempat berhening setelah melalui empat tingkatan terdahulu. Di
tempat tersebut, orang-orang pada masa lalu menjauhkan diri dari keramaian dan
memohon ketenangan dari Zat yang Maha Agung.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa Gunung Padang dan Jabal Nur tidak
hanya memiliki persamaan arti dalam asal-usul namanya. Namun juga, keduanya
memiliki persamaan fungsi, yaitu untuk mengasingkan diri dari keramaian untuk
memperoleh ketenangan. Kata padang dan nur tidak sekadar merujuk pada makna
leksikal, tapi juga memiliki makna semantis yang lebih dalam. Maka dari itu,
masyarakat percaya bahwa Jabal Nur yang dikenal dalam sejarah Islam sebagai tempat
Muhammad Saw. Menerima wahyu memiliki keterkaitan yang erat dengan keberadaan
Gunung Padang.
Meskipun secara geografis Jabal Nur terletak di Mekah, Arab Saudi, masyarakat
beranggapan bahwa keterkaitan Jabal Nur dengan Gunung Padang bukanlah bentuk
ketidaksengajaan. Cerita tersebut demikian mengakar dan berkembang menjadi sebuah
mitos, yaitu kebenaran yang telah hadir sejak masa lalu (Minsarwati, 2002: 35). Van
Baal, sebagaimana dijelaskan oleh Minsarwati, menambahkan bahwa mitos tersebut
hadir melalui bahasa simbolis untuk merepresentasikan konsep-konsep tertentu,
termasuk “Yang Kudus” atau Ilahi.
Dalam khazanah ilmu kesusastraan, mitos tersebut merupakan bentuk dari cerita
lisan (folklor) yang berkembang di wilayah Cianjur, Jawa Barat. Keberadaannya perlu
mendapat perhatian besar, terutama dalam upaya mengodifikasi folklor-folklor Sunda
agar dapat disusun secara sistematis. Maka, pada penelitian ini, masalah utama yang
akan dibahas adalah mitos Jabal Nur sebagai bagian dari folklor Sunda yang akan
dianalisis secara komprehensif menggunakan beberapa pendekatan ilmu sastra, yaitu
resepsi dan semiotika.
Pendekatan resepsi berfokus pada peranan masyarakat sekitar Gunung Padang
dalam membentuk estetika pada pemaknaan mitos Jabal Nur tersebut, sedangkan
makna-makna di balik mitos tersebut selanjutnya dianalisis dengan pendekatan
semiotika. Makna-makna yang diungkap secara semiotis tersebut kemudian akan
menjawab fungsi mitos tersebut bagi masyarakat sekitar Gunung Padang pada
khususnya dan masyarakat lain pada umumnya.
Sehingga artikel ini terfokus pada resepri masyarakat sekitar situs megalitikum
Gunung Pang, Desa Karyamukti, kecamatan Campak, Kabupaten Cianjur, terhadap
mitos tersebut bagi masyarakat sekitar Gunung Padang pada khususnya dan masyarakat
lain pada umumnya. Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengungkap resepsi
masyarakat sekitar Gunung Padang terhadap mitos Jabal Nur dan menjelaskan fungsi
mitos Jabal Nur bagi masyarakat sekitar Gunung Padang pada khususnya dan lasyarakat
lain umumnya.
Metode penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik,
yaitu dengan mendeskripsikan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan kemudian
menganalisis fakta-fakta tersebut (Ratna, 2011: 34). Fakta tersebut dianalisis dengan
pendekatan yang sesuai dengan jenis penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian ini,
pendekatan yang digunakan untuk menganalisis data adalah pendekatan resepsi dan
semiotika.
Berdasarkan pengumpulan datanya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian
kepustakaan (library research) dan lapangan (field research). Penelitian kepustakan
dilakukan dengan mengumpulkan data-data kepustakaan berupa literatur mengenai
situs megalitikum Gunung Padang dan mitos-mitos yang berkembang di masyarakat
sekitarnya. Selain itu, dikumpulkan pula buku-buku teori yang relevan dengan
penelitian ini, seperti buku-buku folklor, penelitian folklor, teoeri sastra, dan buku-
buku yang berkaitan dengan nilai-nilai Islam, khususnya tauhid, untuk dikomparasikan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam mitos yang diteliti dalam penelitian ini.
Literatur yang menunjang tersebut sebagian telah dijelaskan dalam subbab Tinjauan
Pustaka.
Adapun penelitian lapangan dilakukan dengan melakukan pengumpulan data di
lapangan. Pengumpulan data berupa pengamatan langsung (observasi) dan wawancara.
Pengamatan langsung dilakukan di lokasi situs megalitikum Gunung Padang dan
dusundusun sekitar situs tersebut. Pengamatan bertujuan untuk melihat gambaran
umum mengenai lokasi penelitian, kondisi masyarakat, dan cerita-cerita lisan yang
berkembang di sekitar masyarakat tersebut.
Pengumpulan data berikutnya yaitu berupa wawancara (interview). Wawancara
dilakukan untuk mengetahui secara lebih detail kondisi masyarakat langsung dari
masyarakat sekitar. Wawancara juga bermaksud untuk mengetahui cerita-cerita lisan
yang mereka percayai seputar Gunung Padang serta tanggapan mereka terhadap mitos
Jabal Nur yang dikaitkan dengan keberadaan Gunung Padang. Wawancara dilakukan
dengan tatap muka di lokasi penelitian terhadap beberapa informan. Informan yang
terlibat antara lain juru kunci situs Gunung Padang, pengelola (juru pelihara) situs
Gunung Padang, Kepala Desa Karyamukti, dan beberapa warga yang tinggal di sekitar
situs Gunung Padang.
Berdasarkan objek kajian yang dipilih, yaitu folklor, penelitian ini memiliki
langkah-langkah tertentu yang relevan. Sebagaimana disebutkan Soeratno (2012: 18)
bahwa metode yang dilakukan dalam penelitian telah diatur agar tepat guna
berdasarkan karakteristik objek penelitiannya.
Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan
rumusan Danandjaya (2007: 193) adalah sebagai berikut:
1. Tahap prapenelitian di tempat, yaitu memahami objek penelitian sebelum
dilakukan pengumpulan data di lapangan;
2. Tahap penelitian di tempat, yaitu menggali data-data dari informan di lokasi
penelitian;
3. Tahap pembuatan naskah folklor sebagai arsip, yaitu pengumpulan hasil
analisis menjadi sebuah folklor tertulis yang utuh.
Namun demikian, penelitian ini dilakukan hingga tahap kedua, yaitu penelitian
di tempat. Data-data yang telah dikumpulkan akan dianalisis sesuai rumusan masalah
yang ditentukan, yaitu resepsi masyarakat sekitar Gunung Padang terhadap mitos Jabal
Nur dan fungsi mitos tersebut dalam kehidupan masyarakat sekitar. Penelitian ini telah
mencakup pembahasan yang luas dan memiliki signifikansi yang komprehensif
sehingga tahapan pengarsipan dapat dilakukan dalam penelitian khusus lanjutan.
Kondisi umum
Secara administratif, situs megalitikum Gunung Padang terletak di desa
Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Situs tersebut dikelilingi oleh
beberapa dusun, di antaranya dusun Gunungpadang dan Cipanggulaan yang paling
banyak penduduknya. Letaknya sekitar 30 km dari kota Cianjur, 91 km dari kota
Bandung, dan 137 km dari ibukota Jakarta. Situs ini terletak pada ketinggian 989 m² di
atas permukaan laut (Aksan, 2015: 17).
Situs ini dikenal masyarakat secara luas, baik nasional bahkan internasional,
setelah dilakukan penelitian arkeologis yang komprehensif sejak 2010 oleh Tim
Terpadu Riset Mandiri (TTRM). Luas situs ini mencapai 3 Ha dengan bentuk punden
berundak yang terdiri atas beberapa teras. Setiap teras tersusun atas ribuan batu yang
meliputi menhir (batu tegak), tiang-tiang batu yang menyerupai kursi, alat musik, altar,
dan mahkota, hingga batu-batu lainnya yang bertebaran di seluruh area situs.