Anda di halaman 1dari 7

Gunung Mandalawangi Nagreg , Gunung asri terselimut banyak mitos di perbatasan Garut-Bandung .

Sebuah gunung dengan ketinggian yang tidak terlalu menjulang bisa kita lihat jika melewati jalan raya
Nagreg. Posisinya ada di sisi selatan jalan yang menghubungkan Bandung dengan Garut .

Suasana pendakian Gunung Mandalawangi saat musim hujan, menyusuri sungai kecil nan jernih, Maret
2018. (Foto: Gan-gan Jatnika)

Ketinggian Gunung Mandalawangi Nagreg, di perbatasan Bandung – Garut, menurut peta Rupa Bumi
Indonesia (RBI) yang diterbitkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), lembar peta 128-643 edisi I –
2001, judul peta Majalaya skala 1 : 25.000 adalah 1.640 Mdpl. Sedangkan di kalangan pendaki lebih
dikenal dengan ketinggian 1650 mdpl. (Meter di atas permukaan laut) .

Lokasi dan akses

Lokasi Gunung Mandalawangi secara administratif berada di perbatasan Kabupaten Bandung, dengan
Kabupaten Garut. Lereng dan kaki gunung sebelah utara berada di Desa Mandalawangi dan Desa
Bojong, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung. Sedangkan lereng dan kaki sebelah selatan
cenderung masuk wilayah Desa Karangtengah, Desa Karangmulya dan Desa Mandalasari, Kecamatan
Kadungora, Kabupaten Garut .

Menuju lokasi Gunung ini, bisa menempuh perjalanan dari tugu lingkaran Cibiru, sebagai batas Kota
Bandung, menuju ke arah timur.

Di jalan raya Nagreg, sisi sebelah selatan, nantinya akan menemukan jalan (Namanya jalan Citaman)
yang berbelok menuju kaki Gunung Mandalawangi, tepatnya di Kampung Cibisoro, Desa Bojong.
Patokan berbelok dari jalan raya adalah Markas Batalyon Yonif Linud/Para Raider 333 Cicalengka.

Batalyon Infanteri Para Raider 33/Tri Dharma ini, atau disingkat Yonif Para Raider 330/Tri Dharma
merupakan salah satu dari tiga batalyon Para Raider yang berada di bawah naungan Brigade
Infanteri Para Raider 17/Kujang 1, Divisi Infanteri 1/Kostrad . Dua batalyon lainnya, yaitu Yonif Para
Raider 328/Dirgahayu yang berlokasi di Cilodong, Depok , dan Yonif Para Raider
305/Tengkorak yang berlokasi di Karawang.

Nantinya, jika kita mendaki ke salah satu puncak Gunung Mandalawangi, akan menemui sebuah
tugu dengan lambang Batalyon Kujang 1, sehingga puncak yang ada tugu ini dikenal dengan
nama Puncak Kujang .

Tugu Batalyon Kujang 1 di salah satu puncaknya, Desember 2020. (Foto : Gan-gan Jatnika).

Toponimi dan Mitos

Nama Gunung Mandalawangi memang tidak begitu dikenal. Tidak seperti gunung lainnya di Bandung
raya. Semisal Gunung Tangkubanperahu, Burangrang, Malabar, Patuha, Manglayang, dll. Bahkan, jika
menyebut nama Mandalawangi, para pendaki lebih mengenal Mandalawangi sebagai satu lembah yang
ada di puncak Gunung Pangrango.

Demikian juga dengan toponimi, dalam hal penelusuran asal-usul namanya. Cukup sulit menemukan
sumber yang bisa memastikan jawaban dari pertanyaan ini.

Salah satu versi, nama Mandalawangi ada hubungannya dengan cerita legenda daerah Majalaya yang
ada hubungannya dengan daerah Rajamandala. Rajamandala yang dimaksud berada di perbatasan
Bandung barat dengan Cianjur.
Konon, dahulu ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Raja Mandala.
Rajamandala mempunyai sembilan orang anak laki-laki, yang paling besar bernama Mandalawangi,
kemudian berturut-turut bernama Mandalagiri, Mandalacipta, Mandalarasa, Mandalajati, Mandalabraja,
Mandalaseta, Mandaladenta, Mandalaraga. Dan satu-satunya anak perempuan sebagai bungsunya, atau
anak ke sepuluh yang diberi nama Putri Mandalasari.

Saat masih bayi, dengan terpaksa putri Mandalasari harus dibuang ke tengah hutan. Hal ini agar rakyat
di kerajaan yang sedang terkena wabah penyakit bisa sembuh, serta kemarau panjang segera berakhir.

Di tengah hutan, Putri Mandalasari kemudian ditemukan oleh Ki Dasta. Karena ditemukan di sela-sela
pepohonan, maka Ki Dasta memberinya nama Sela Asih, atau dipanggil dengan sebutan Putri Selasih.
Kelak Putri Selasih yang sudah tumbuh dewasa dan cantik, bertemu dengan pemuda gagah, sakti dan
tampan. Mereka pun berniat melangsungkan pernikahan. Tetapi, nyatanya pemuda tersebut adalah
Mandalawangi, yang tak lain merupakan kakak kandungnya.

Singkat cerita, mereka tidak jadi menikah dan berubah menjadi gunung. Putri Selasih menjadi Gunung
Selasih, dan kakaknya menjadi Gunung Mandalawangi. Letak Gunung Selasih tidak terlalu jauh dari
Gunung Mandalawangi, tepatnya di arah barat daya yang mengarah ke daerah Majalaya.

Versi lain dari asal-usul nama Gunung Mandalawangi berasal dari keterkaitannya dengan sebuah
kerajaan yang berpusat di kawasan Nagreg, yaitu kerajaan Kéndan. Kerajaan yang diperkirakan
mengalami masa kejayaan pada abad ke-enam masehi, atau pafa saat akan pudarnya kerajaan
Tarumanagara, merupakan cikal-bakal lahirnya kerajaan Galuh.

Dari berbagai sumber sejarah, pada masa itu, dikenal adanya dua tempat sebagai bagian dari kehidupan
sosial. Yaitu kabuyutan dan kamandalaan. Kabuyutan dikenal sebagai tempat untuk kegiatan rohani dan
religi, seperti untuk menyepi, melaksanakan ritual ibadah, belajar agama atau kepercayaan kebatinan
sesuai dengan yang berkembang saat itu. Sedangkan kamandalaan, adalah tempat belajar ilmu-ilmu
keduniaan, seperti tatanegara, dan juga ilmu kanuragan.

Baik kabuyutan atau kamandalaan, biasanya berada di kawasan dekat sebuah gunung. Pada masa
kerajaan Kéndan, yang menjadi kawasan kabuyutan adalah kawasan Gunung Manglayang. Sedangkan
yang menjadi kawasan kamandalaannya, kemudian dikenal dengan nama Gunung Mandalawangi,yang
artinya sebuah tempat kemandalaan yang harum.

Tentang mana asal-usul yang lebih tepat memang masih harus ditelaah lebih dalam lagi. Bahkan tidak
tertutup kemungkinan ada versi lain yang belum banyak diketahui, selain dua versi tadi.

Gunung Mandalawangi, memang masih menyimpan banyak misteri. Termasuk soal berapa puncakan
yang ada di gunung ini. Memang Gunung Mandalawangi bila dilihat sekilas dari arah jalan raya Nagreg,
terlihat seperti memiliki lima puncakan, tetapi kalau dilihat dari daerah Kadungora, Garut, akan berbeda
lagi jumlah puncaknya. Menurut masyarakat setempat, gunung ini bahkan memiliki jumlah puncakan
dua puluh lima. Sebagian puncakannya dipercaya tidak kasat mata, alias hanya bisa dilihat dan
ditemukan oleh orang-orang yang mampu saja, dan oleh orang biasa jika kawenehan atau kebetulan.

Selain mitos jumlah puncaknya, ada juga mitos seorang nenek yang terkadang menampakan diri di
hutannya. Pernah ada kisah pengalaman masyarakat lokal tersesat, kemudian ditunjukan arah kembali
pulang oleh seorang nenek misterius.
Tak kalah menariknya, mitos penunggang kuda tanpa kepala yang berada di gunung ini. Konon
penunggang kuda tanpa kepala ini, terdapat juga di gunung tetangganya, yaitu Gunung Kaledong. Ada
juga mitos petilasan Nini Ranteng, di mana petilasan Nini Ranteng ini dipercaya ada di dua tempat, yaitu
di puncak utama, dan di sebelah barat daya Puncak Kujang.

Mitos lainnya yang beredar di masyarakat mengenai gunung ini adalah jangan keseringan menanyakan
arah atau jalan saat di hutannya.

Gunung Mandalawangi dilihat dari arah utara, Jalan Raya Nagreg, Februari 2021. (Foto : Gan-gan
Jatnika).

Petunjuk pendakian.

Jika berminat untuk mendaki gunung ini sebaiknya ditemani seseorang yang pernah mendakinya, atau
bisa minta diantar oleh masyarakat setempat. Waktu yang paling mengesankan adalah saat musim
hujan, karena jika kita memilih pendakian melalui titik awal di Kampung Cibisoro, nantinya akan
bertemu dengan sungai kecil yang jernih, sungai-sungai kecil ini membentuk beberapa curug atau air
terjun kecil yang menarik. Berbeda halnya jika mendaki di luar musim hujan, sungai kecil ini hanya
tampak seperti alur bebatuan yang berserakan.

Akses menuju Kampung Cibisoro sudah dijelaskan di bagian atas tulisan ini. Kendaraan bisa dititipkan di
rumah warga, jadi tidak perlu khawatir jika mau mendaki seharian pulang pergi, atau mendaki sambil
berkemah. Salah satu warga yang tempatnya biasa dijadikan penitipan kendaraan adalah tempat Kang
Iing, letaknya berbelok kiri setelah melewati Mesjid Nurul Iman, di ujung Kampung Cibisoro. Sangat
penting untuk melapor atau meminta ijin kepada masyarakat setempat sebelum memulai pendakian.

Nama Kampung Cibisoro ini berasal dari sebuah pohon yang bernama Bisoro, nama ilmiahnya ficus
hispida .

Dari ujung kampung pendakian akan berawal dengan menyusuri perkebunan warga dan rumpun-
rumpun bambu yang sangat menawan. Setelah itu akan berjalan di tepian sungai kecil nan jernih, jika
mendaki saat musim hujan.

Keistimewaan lain dari pendakian jalur ini, kita akan banyak menemui batu dan pepohonan ukuran
besar. Sangat menyenangkan, ternyata gunung mungil dengan ketinggian tidak menjulang, memiliki
kekayaan alam yang luar biasa. Sepanjang perjalanan, penglihatan kita betul-betul disegarkan dengan
pemandangan dan suasana yang hijau alami.

Puncak pertama yang biasa dicapai melalui jalur ini, adalah puncak bayangan. Suatu tempat datar yang
cukup luas, dari tempat ini bisa memilih langsung ke puncak utama, yang dikenal sebagai Puncak Nini
Ranteng, atau memilih menuju Puncak Barat, di mana terdapat tugu Kujang seperti yang diuraikan
sebelumnya.
Salah satu pohon berukuran besar di jalur pendakian, Desember 2020 (Foto: Gan-gan Jatnika).

Selain jalur Kampung Cibisoro, sekarang ada jalur Cijapati . Jalur ini sudah tertata lebih baik, terdapat
juga basecamp untuk memulai pendakiannya. Letaknya di Kampung Pabrik, Desa Mandalasari,
Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut.

Berbeda dengan jalur Kampung Cibisoro, pendakian melalui jalur Cijapati ini lebih menarik bila dilakukan
bukan musim penghujan Karena puncakan yang dilalui lebih terbuka, sehingga pemandangan sekitar
gunung bisa lebih dinikmati dari jalur ini, dan tanjakannya yang relatif curam, lebih mudah dilalui jika
kondisi jalur tidak licin atau basah.

Jalur lainnya, bisa melalui jalur Gunung Buleud yang ada di sebelah barat Gunung Mandalawangi.

Potensi dan kondisi saat ini

Sebagai gunung dengan kondisi hutan yang masih asri dan pohon-pohon besar dengan akar yang kokoh,
sangat tidak mengherankan jika gunung ini sudah dijadikan sumber dan resapan air, baik bagi warga
Kabupaten Bandung serta Kabupaten Garut. Tercatat ada puluhan mata air di kawasan gunung ini.

Potensi wisata juga sangat besar, bahkan terus berkembang titik wisata terbarunya. Baik potensi wisata
alam dan religi. Semisal potensi air terjun Cimandiracun atau Cibuni racun di Mandalagiri. Namanya
memang terkesan seram, tapi mulai banyak yang mengenalnya sebagai tempat wisata, khususnya wisata
religi bagi mereka yang meyakininya.

Tanah dan kondisi alam di kaki gunungnya juga sangat cocok untuk ditanami pohon keras yang
produktif, lebih cocok daripada ditanami tanaman sayuran. Pihak kehutanan juga mempersilahkan
masyarakat untuk mengelola, tentu saja dibawah koordinasi dinas terkait dan masyarakat hutan (LMDH)
dalam program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang telah dibentuk terlebih dahulu.

Anda mungkin juga menyukai