Anda di halaman 1dari 4

Perjalanan ke Gunung Lumbung, Benteng Terakhir

Dipati Ukur
kabarkampus.com/2018/12/perjalanan-ke-gunung-lumbung-benteng-terakhir-dipati-ukur/

By Ahmad Fauzan
December 4, 2018

Tepat di hari Minggu, 2 Desember 2018, saya berkesempatan untuk


pergi mengunjungi Gunung Lumbung. Dalam pendakian yang diinisisasi
oleh Komunitas Jelajah Gunung Bandung (JGB) ini dilakukan dalam
waktu satu hari (pulang pergi). Kami menamakan perjalanan ini dengan
Tektok Educatif, dimana dalam pelaksanaan kami bisa melakukan perjalanan wisata
sejarah.

Gunung Lumbung sendiri berada di wilayah Mukapayung Kecamatan Cililin – Kabupaten


Bandung Barat. Bisa diakses melalui wilayah SD Lembang atau Daerah Cigadung
Cikoneng.

Mulanya, kami berkumpul di Alun-alun Cililin Pukul 08.00 WIB. Setelah semua
berkumpul, perjalanan dimulai, pergi ke arah Mukapayung / Batulayang. Semua berhenti
dan memarkir kendaraan di SD Lembang dan mulai berjalan kaki naik ke Gunung
Lumbung sekitar jam 9.30 pagi.

Berhubung saya datang terlambat, setelah sebelumnya berkoordinasi dengan kawan yang
sudah datang lebih dulu, saya memilih menyusul dan berangkat untuk melalui jalur yang
lainnya, yaitu jalur dari Kampung Cigadung Desa Mukapayung Kecamatan Cililin. Tidak
lain dari sisi yang bersebrangan dengan kawan-kawan yang telah lebih dulu berangkat.

Kondisi kedua jalur yang dipakai relatif sama, yaitu melalui jalur pemukiman warga yang
khas dengan suasana desa, jalan yang relatif landai melalui jalur tanah setapak, sawah,
dan juga kebun. Tidak disangka, meski terlambat, namun saya datang di puncak lebih
dulu. Di sana masih belum ada rombongan yang hadir. Namun, berselang beberapa
menit, sekitar jam 10.30 WIB, dari jalan yang bersebrangan sudah mulai terdengar suara,
pertanda rombongan sudah dekat dan segera tiba.

Di puncak terdapat Batu dan diyakini sebagai arca peninggalan Dipati Ukur abad 17.
Keyakinan ini berasal dari berbagai informasi yang dihimpun, entah itu dari sumber
literasi ataupun cerita masyarakat setempat. Masyarakat setempat mempercayai bahwa
arca tersebut merupakan patilasan Eyang Dalem Dipati Ukur, atau kurang lebihnya yang
kita kenal sebagai Dipati Ukur sendiri.

Kondisi di puncak relatif luas. Batu atau arca peninggalan Dipati Ukur tersebut berada
persis di atas puncak dan dikelilingi oleh ladang yang dipakai masyarakat untuk bercocok
tanam. Tidak jauh dari arca, ada gubuk atau saung petani yang biasa dijadikan sebagai
tempat istirahat.

1/4
Kisah Benteng Terakhir Dipati Ukur

Batu yang diyakini sebagai arca peninggalan Dipati Ukur abad 17.

Sekitar awal abad 17, Bandung saat ini adalah bagian dari wilayah Tatar Ukur (Ukur
Sasanga) yang diperintah oleh seorang Adipati, yaitu Adipati Ukur.

Dipati Ukur adalah orang yang dihormati di Tatar Priangan atau Tatar Ukur. Gunung
Lumbung adalah salah satu tempat ia dalam akhir perlawanannya terhadap Mataram.

Pada Masa pemerintahan Dipati Ukur, wilayah Tatar Ukur mencakup sebagian wilayah
Jawa Barat yang terbagi ke dalam 9 wilayah yang disebut Ukur Sasanga; Ukur Bandung
(Wilayah Banjaran dan Cipeujeuh), Ukur Pasir Panjang (Majalaya dan Tanjungsari), Ukur
Biru (Ujung Berung wetan), Ukur Kuripan (Ujung Berung Kulon, Cimahi, Rajamandala),
Ukur Curugagung (Cihea), Ukur Aranon (Wanayasa), Ukur Sagaraherang (Pamanukan,
Ciasem), Ukur Nagara Agung (Gandasoli, Adiarsa dan Sumedangan), Ukur Batulayang
(kopo, Rongga dan Cisondari).

Sekitar Tahun 1620, Kerajaan Sumedang Larang ditaklukan oleh Mataram dan sejak saat
itu, Status Sumedang Larang berubah menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten
Sumedang. Di bawah penguasaan Mataram yang diperintah Sultan Agung, Aria
Suriadiwangsa diangkat menjadi Bupati wedana Priangan dengan gelar Pangeran Rangga
Gempol Kusumadinata atau biasa dikenal sebagai Rangga Gempol I. Wilayah Priangan
dijadikan sebagai wilayah pertahanan oleh Mataram karena sebagai antisipasi dari
serangan Banten dan VOC setelah sebelumnya Mataram bermusuhan dengan mereka.

Tahun 1624, Sultan Agung mengutus Rangga Gempol I untuk menyerang daerah
Sampang. Untuk menggantikan posisi Rangga Gempol I, Sultan Agung mengangkat adik
dari Rangga Gempol I menjadi Bupati wedana yang bernama Pangeran Dipati Rangga
Gede. Tidak lama setelah itu, wilayah Sumedang diserang oleh Banten. Karena sebagian
pasukan sedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak bisa
mengantisipasi serangan dan mengakibatkan pasukan dipaksa kalah. Akibatnya, Sultan

2/4
Agung memberi hukuman kepada Dipati Rangga Gede dengan menahannya di Mataram.
Untuk menggantikan posisi Dipati Rangga Gede, Sultan Agung lalu mengangkat Dipati
Ukur, dengan catatan yang sama, yaitu bisa menaklukan Banten dan VOC.

Tahun 1628, Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur dan Tumenggung Bahurekso
untuk menyerbu VOC di Batavia dengan masing-masing membawa 10.000 pasukan.
Mereka memilih jalan berbeda, darat dan laut, dan mereka berjanji untuk bertemu di
Karawang.

Setelah beberapa hari Dipati Ukur menunggu, Bahurekso tak kunjung datang. Akhirnya,
Dipati Ukur memutuskan untuk menyerang Batavia. Namun, karena persenjataan kurang
memadai, pasukan Dipati Ukur digempur habis-habisan dan dipaksa untuk mundur.
Setelah itu, Dipati Ukur dengan pasukannya bersembunyi di Gunung Pangparang.

Bahurekso merasa marah saat mengetahui Dipati Ukur tidak ada di Karawang. Ia segera
menyerang Batavia meski akhirnya ia harus bernasib sama dengan Dipati Ukur,
menerima kekalahan. Akhirnya Bahurekso mundur kembali ke Karawang. Setelah
Bahurekso mendapat informasi tentang keberadaan Dipati Ukur, Ia segera bergegas
kembali ke Mataram dan melaporkan apa yang terjadi kepada Sultan Agung.

Selama Dipati Ukur di Gunung Pangparang, Ia melakukan musyawarah dengan para


pengikutnya. Ia menyadari risiko dari kegagalan yang Ia terima. Kegagalan akan
membuatnya dihukum oleh Mataram. Oleh karena itu, obrolan yang dilakukan dengan
para pengikutnya melahirkan perdebatan, ada yang memilih untuk kembali ke Mataram,
ada juga yang memilih untuk melawan. Beberapa pengikut Dipati Ukur yang berada di
Gunung Pongporang yang tidak setuju dengan pilihan melawan, mereka kembali ke
Mataram dan melaporkannya.

Sultan Agung mengutus Bahurekso untuk menangkap Dipati Ukur. Perang tidak
terelakkan, Dipati Ukur terdesak dan berhasil meloloskan diri. Ia bersembunyi dari
tempat ke tempat. Dari Ciparay hingga ke Wilayah Cililin, tepatnya di Gunung Lumbung.
Di sini, Dipati Ukur hidup menyamar sebagai warga biasa. Setelah sekian lama hidup di
Gunung Lumbung, pasukan Mataram tiba dan menyerbu, namun Dipati Ukur berhasil
bersembunyi. Beberapa pasukan Dipati Ukur ada yang pergi ke Batavia dan Banten,
namun Dipati Ukur tetap berada di Gunung Lumbung. Berselang beberapa lama,
serangan kedua terjadi, kali ini Dipati Ukur berhasil ditangkap pada 1632. Dipati Ukur
ditangkap dan dihukum di Mataram.

Selain Gunung Lumbung, banyak sekali tempat yang dipercaya sebagai petilasan dan
peninggalan Dipati Ukur. Seperti Gunung Bukitcula, Gunung Pangparang, Pabuntelan
(wilayah Tenjonagara) sampai Situ Cisanti Gunung Wayang.

Perjalanan Pulang

3/4
Berfoto bersama di depan Batu yang diyakini sebagai arca peninggalan
Dipati Ukur abad 17.

Setelah beristirahat dan berbincang-bincang, sekitar jam 1 siang kami kembali


melanjutkan perjalanan. Searah jalan pulang, kami mencoba mengunjungi puncakan
yang berada di sebelah barat puncak Gunung Lumbung, namanya Pasir Nagara. Jalan
kembali menurun sampai dengan lembah, dari lembah jalan kembali naik dan sampailah
di Pasir Nagara. Di sini, kondisinya relatif lebih terbuka, minim pepohonan, sehingga
pemandangan ke sekitar daerah Gunung Lumbung dan Pasir Nagara tampak jelas.

Tidak lama berada di Pasir Nagara, kami memutuskan untuk turun dan pulang. Sekitar
jam 2 siang semua sudah mulai berjalan menuruni gunung. Sekitar 20 menit berjalan,
saya dan rombongan berpisah di sebuah jalur persimpangan untuk kembali ke titik
keberangkatan masing-masing. Saya tiba di rumah warga tempat menyimpan kendaraan
sekitar jam 3 dan segera bergegas pulang.

Perjalanan yang didalangi oleh JGB ini patut diteruskan. Selain dari sekadar main atau
pendalaman sebuah Agenda yang dulu sempat dilaksanakan—Ekspedisi 7 Puncak
Gunung Bandung, representasi wilayah Ukur / Tatar Ukur, kami juga bisa menggali
sejarah atau budaya masyarakat setempat.

Belum lagi, jika satu tempat dan lainnya memiliki kisah yang saling berkaitan, tentu ini
akan menjadi kajian yang menarik. Atau bahkan satu dan lain tempat memiliki kisahnya
sendiri terkait sejarah, adat, tradisi sampai budaya masyarakat kaki gunung.[]

4/4

Anda mungkin juga menyukai