Anda di halaman 1dari 7

Ideologi Agama

Agama sebagai Ideologi pada tataran individu, etika berfungsi sebagai proses awal pembentukan
indentitas. Konstruksi identitas akan memberikan kesadaran untuk mempercayai segala
kebenaran yang disampaikan oleh suatu agama. Jika seorang penganut agama sudah punya
kesadaran tentang identitasnya dalam suatu agama, maka komitmennya pada agama tidak akan
diragukan lagi. Dapat dikatakan bahwa militansi seorang penganut agama berawal dari
pembentukan identitas pada dirinya. Adanya identifikasi spesifik di antara anggota kelompok.
Termasuk masalah komitmen di antara mereka dapat kita lihat pada cerita kepahlawanan ataupun
perilaku yang menidentikan perlawanan antara yang baik dan jahat. Tradisi keagamaan selalu
menunjukkan bahwa Tuhan tidak suka pada beberapa perilaku yang dianggap salah dan juga
memberikan restu pada perilaku yang dianggap benar. Konsep ini juga memberikan pemahaman
untuk memberikan reward pada pelaku agama, yang benar diberikan pahala sedangkan yang
salah diberikan dosa. Identitas kelompok (agama) inilah yang menjadikan awal ideologisasi
agama bagi pemeluknya. Ideologi sendiri berfungsi untuk mempengaruhi kehidupan suatu
kelompok agar sesuai dengan apa yang telah digariskan sejak awal oleh agama tersebut. Di sisi
lain pada tingkat lebih lanjut identitas agama memberikan harapan besar bagi masyarakat untuk
maju, karena membentuk moral personal dan juga solidaritas bagi masing-masing pemeluk
agama. Namun demikian, sebagaimana ideologi, agama tidak akan serta-merta dipercaya oleh
para penganutnya, dalam keadaan ini konstruksi identitas memberikan pengamanan akan
keraguan tersebut. Hingga penerimaan akan sebuah kepercayaan mutlak dan mesti dilakukan.
Pada dataran inilah kebanyakan pemerhati keagamaan memetakan asal-mula tindakan kekerasan
atas nama agama muncul. Menurut penulis sendiri agama sebagai Ideologi tidaklah menjadi
pokok persoalan, ketika ideologisasi ini mampu memberikan kenyamanan dan keamanan bagi

hidup di dunia dan akhir nanti. Karena memang setiap agama menawarkan rasa aman kepada
pengikutnya. Tentunya perasaan seperti inilah yang dicari oleh setiap pengikut agama. Rasa
aman memberikan ketenangan kepada manusia akan kehidupan setelah mati, seperti apa yang
selalu di informasikan oleh setiap agama di dunia ini. Permasalahannya adalah pembenaran
tindak kekerasan terhadap kelompok lain.
Agama Sebagai Ideologi
Pada tataran individu, etika berfungsi sebagai proses awal pembentukan indentitas. Konstruksi
identitas akan memberikan kesadaran untuk mempercayai segala kebenaran yang disampaikan
oleh suatu agama. Jika seorang penganut agama sudah punya kesadaran tentang identitasnya
dalam suatu agama, maka komitmennya pada agama tidak akan diragukan lagi. Dapat dikatakan
bahwa militansi seorang penganut agama berawal dari pembentukan identitas pada dirinya.
Adanya identifikasi spesifik di antara anggota kelompok. Termasuk masalah komitmen di antara
mereka dapat kita lihat pada cerita kepahlawanan ataupun perilaku yang menidentikan
perlawanan antara yang baik dan jahat. Tradisi keagamaan selalu menunjukkan bahwa Tuhan
tidak suka pada beberapa perilaku yang dianggap salah dan juga memberikan restu pada perilaku
yang dianggap benar. Konsep ini juga memberikan pemahaman untuk memberikan reward pada
pelaku agama, yang benar diberikan pahala sedangkan yang salah diberikan dosa.
Identitas kelompok (agama) inilah yang menjadikan awal ideologisasi agama bagi pemeluknya.
Ideologi sendiri berfungsi untuk mempengaruhi kehidupan suatu kelompok agar sesuai dengan
apa yang telah digariskan sejak awal oleh agama tersebut. Di sisi lain pada tingkat lebih lanjut
identitas agama memberikan harapan besar bagi masyarakat untuk maju, karena membentuk
moral personal dan juga solidaritas bagi masing-masing pemeluk agama. Namun demikian,
sebagaimana ideologi, agama tidak akan serta-merta dipercaya oleh para penganutnya, dalam

keadaan ini konstruksi identitas memberikan pengamanan akan keraguan tersebut. Hingga
penerimaan akan sebuah kepercayaan mutlak dan mesti dilakukan. Pada dataran inilah
kebanyakan pemerhati keagamaan memetakan asal-mula tindakan kekerasan atas nama agama
muncul.
Ideologi dan Materi
Sebelum membicarakan soal akal dan dunia obyektif, ada baiknya kita simak teori tentang
ideologi. Dalam aliran filsafat idealisme dinyatakan bahwa yang nyata itu adalah ide, sedangkan
realitas empiris atau dunia di luar pikiran manusia adalah hasil konstruksi pikiran. Dari
penjelasan ini nampak bahwa orang tidak tahu apakah apa yang ada di dalam pikiran manusia itu
ada pula di dunia empiris? Karenanya aliran filsafat idealisme yang tidak ekstrem mengatakan
bahwa kalau pun dunia empiris itu ada, namun sudah merupakan hasil rekonstruksi kesadaran
manusia. Adanya dunia empiris tergantung si penafsir, demikian kira-kira penjelasan singkatnya
Oleh karena itu, menurut aliran tersebut, ideologi jauh lebih penting dibandingkan dunia
empiris. Untuk merubah dunia, kesadaran manusia lah yang menjadi titik intinya. Aliran filsafat
idealisme ini berbeda dengan aliran filsafat materialisme yang mengatakan bahwa dunia materi
lah yang nyata, sedangkan ide hanyalah di awang-awang. Filsafat materialisme-historisme inilah
yang mengilhami Marx untuk melahirkan teori konflik kelas.
Titik tengah dari dua aliran filsafat tersebut menyatakan bahwa ide bergerak bebas dan materi
bergerak mengikuti hukum alam. Karenanya perubahan sosial dan sejarah manusia mengikuti
perkembangan alam materi atau karena ada ide dan campur tangan pemikiran manusia, untuk
menentukan arah gerak perubahan.
Dari gambaran ringkas tersebut sekarang kita kembali kepada persoalan, apakah kitab suci atau
agama secara otomoatis sanggup mengislamkan manusia? Tentu jawabnya tidak. Untuk

menyelamatkan manusia dan alam semesta, Allah SWT nampaknya suka berteater dengan
manusia. Karenanya Allah tidak langsung mengislamkan seluruh umat manusia secara
otomatis lewat firmanNya di dalam kitab suci (meskipun Allah bisa), tapi manusia diberi
bahan yang berupa kitab suci dan akal, agar berdialektika. Dengan kata lain, agar manusia bisa
Islam yang sejati, maka diberilah akal pikiran. Allah sudah berfirman bahwa manusia adalah
sebaik-baik makhluk (ahsani taqwim). Kitab suci dan agama menyediakan resep dan
kemungkinan-kemungkinan, oleh karenanya, manusia dengan akalnya harus menangkapnya agar
dapat diobyektifkan di dunia nyata.
Kalau resep di kitab suci tersebut tidak ditangkap oleh akal pikiran, maka kitab suci tersebut
hanya seonggok benda mati yang berupa kertas belaka. Bagaimana agar akal dapat berpikir
sesuai kehendakNya? Allah juga memberi hati kepada manusia agar bisa ikut mengendalikan
akal dengan jalan mengasah radar kepekaan spiritual kita. Jalan untuk misalnya, manusia disuruh
sholat, puasa, zakat dan berhaji. Dalam sholat misalnya, selalu kita ucapkan Ya Allah tunjukkan
aku ke jalan yang lurus (menegakkan). Ini artinya akal kita dimohonkan agar dapat digunakan
untuk menuju jakan yang lurus tersebut.
Meminjam istilah dalam teori struktural-historisme yang dicelotehkan ilmuwan Brazil Cardoso,
sejarah itu digerakkan oleh dua unsur, yakni kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh
dunia obyektif atau kondisi struktural yang berubah mengikuti hukum-hukum obyektif yang ada
di luar kesadaran manusia. Pada sisi lain ada kondisi historis yang ada pada waktu kemungkinankemungkinan itu diberikan, yang berupa kekuatan-kekuatan sosial yang ada yang juga berubah
sepanjang sejarah.
Jadi ke arah mana kondisi obyektif itu berubah tergantung sejauhmana kesadaran manusia
digerakkan. Jadi ideologi itu merupakan semacam mercu suar untuk memandu ke arah mana

dunia digerakkan. Ideologi ini tidak diperoleh dari dunia obyektif namun dari rekonstrukjsi
kesadaran kita.
Oleh karena itu, dalam beragama, akal pikiran harus digunakan untuk menafsirkan dan
merekonstruksi kesadaran ke arah mana Allah mengajarkan kita agar nanti kembali kepadaNya
(ilaihi rojiun), setelah manusia hidup melalui dunia ini. Jadi apapun yang kita kerjalan di dunia
ini, ujungnya harus kembali kepadaNya. Kuncinya, manusia harus dapat mendialektikkan antara:
akal, hati dan nafsu (syahwat).
Agar akal dapat digunakan menafsirkan kitab suci untuk menggerakkan hidup di dunia yang
menuju kepadaNya, maka kita harus selalu peka mengasah radar jiwa dan batin kita, dan
mampu mendialektikkan dengan hati dan nafsu. Ibadah mahdoh seperti sholat, puasa, zakat, dan
haji adalah metode yang ampuh untuk mengasah radar kepekaan tersebut. Kita harus rajin beriqra, dan rajin untuk memaksa diri kembali kepada jati dirinya, yakni manusia yang fitri.
Kalau ia sudah beragama, namun masih korup dan berbuat kebatilan, maka ia belum kembali
kepada kefitrian dan belum kembali ke rumah Allah. Islam adalah agama dunia sekaligus
akherat, dan ini tidak dapat dipisahkan antara tauhid vertikal dan horizontal. Tidak bisa Allah
diajak kalkulasi, kita korupsi 10 ribu, jika yang 5 ribu kita sumbangkan ke masjid maka dosa kita
hapus. Karena Islam adalah agama dunia-akherat, maka tidak ada keterpisahan. Dengan kata
lain, yang ideal adalah menjalankan segala tugas duniawi (jadi guru, dosen, budayawan,
tukang nggamel, pemusik, penyanyi, pejabat, bupati, gubernur, presiden, blantik sapi, tukang
ojeg, pengamen, dst) untuk di arahkan selalu ke rumah Allah.
Kata Al Ghazali : Menjadi sufi itu tidak menolak dunia ini, mereka juga tidak memandang
bahwa nafsu duniawi harus dimatikan. Mereka hanya ingin mendisiplinkan keinginan-keinginan

yang tidak berkesesuaian dengan kehidupan agama dan perintah suara akal. Mereka tidak
melemparkan semua hal itu di dunia ini, mereka juga tidak mengikutinya dengan balas dendam.
Involusi Religiusitas
Singkat kata, kehebatan menjalankan syariat agama ternyata tidak paralel dengan outputsosial
seseorang. Saya kira hal ini tidak hanya dialami umat muslim saja, namun juga umat beragama
lainnya. Mestinya setelah selesai menjalankan ritual, maka harus terwujud dalam kehidupan
keseharian. Yang terjadi saat ini adalah perumitan bentuk-bentuk syariat, atau semangat
menjalankan syariat agama, namun tidak terjadi peningkatan efek sosialnya.
Karenanya saya menyebutnya dengan istilah involusi religiusitas. Istilah ini barangkali tidak
tepat, namun hanya sekadar menggambarkan dengan idiom saja agar mudah dipahami. Istilah
involusi sebenarnya digunakan oleh Geertz dalam bidang pertanian, yang intinya adalah sebuah
proses perubahan masyarakat yang mengalami kegagalan, terutama dalam membentuk pola-pola
baru. Akibatnya masyarakat gagal menstabilkan diri menjadi bentuk yang definitif bahkan justru
yang terjadi adalah perumitan bentuk.
Meski tidak tepat benar jika ini diterapkan dalam kehidupan beragama, namun jika melihat ciriciri kehidupan umat beragama saat ini, boleh jadi teori Geertz tersebut dapat digunakan. Realitas
kehidupan beragama itu misalnya:
Pertama, banyak bentuk-bentuk baru syariat dengan tafsir baru pula, bahkan terlalu bersemangat
sehingga yang terjadi adalah saling klaim kebenaran dan ujungnya meng-kafir-kan yang lain
hingga terjadi konflik berdarah. Semangat menggunakan simbol-simbol keagamaan, seperti baju,
jubah, jilbab, tasbih di tangan, kursus sholat khusyu`, pengajian di hotel dst, namun tidak
berdampak terhadap kehidupan keseharian. Bahkan banyak koruptor yang menggunakan simbol
itu ketika diadili, seperti selalu memegang tasbih atau tiba-tiba berjilbab.

Kedua, semakin rumitnya interaksi sosial antar-aliran atau mazhab, bahkan terjadi pengkotakkotakan organisasi keagamaan yang semangatnyasadar atau tidak adalah bersaing dalam
mendapatkan laba duniawi dan kekuasaan. Banyak ustadz atau kiai dadakan yang justru
membisniskan dakwah, dsb.
Ketiga, banyak muncul agamawan yang hebat ilmu agamanya atau ilmu fiqh-nya, namun tidak
memiliki pengetahuan umum yang memadai. Akibatnya, mereka tidak dapat dijadikan panutan
umat. Fatwa yang muncul hanyalah fatwa yang terkait rakyat kecil (misalnya mengemis
haram,Facebook haram, makanan ini haram, dst). Jarang ada fatwa bagaiamana jika anggota
DPR membolos atau ngelencer ke luar negeri, atau fatwa yang terkait dengan masalaha
kenegaraan yang berdampak terhadap kehidupan rakyat.
Mestinya ada perbedaan yang signifikan antara negara yang mayoritas penduduknya tekun
menjalankan syariat agama, dengan negara yang sekuler. Yang terjadi justru sebaliknya, yakni
negara yang kelihatannya sekuler, namun dalam kesehariannya justru sangat Islami, mulai dari
kedidiplinan masyarakatnya, kebersihan yang terjaga, saling menolong, malu dan mengundurkan
diri jika korup, sangat amanah terhadap tugasnya, semangat mengembangkan iptek (iqra` dalam
bahasa Quran-nya, dst).

Anda mungkin juga menyukai