Anda di halaman 1dari 5

TEORI DEPENDENSIA

Secara historis, Teori Dependensi atau biasa juga dikenal dengan Teori Ketergantungan ini
merupakan teori pembangunan yang lahir sebagai kritikan terhadap teori modernisasi yang
terlebih dahulu muncul (Higgott dkk, 1989: 33-34; Mashud, 2010: 3.9; Hettne, 2001: 146;
Martono, 2012: 64). Teori Modernisasi melihat permasalahan pembangunan lebih banyak
berdasarkan perspektif negara-negara maju, sedangkan Teori Dependensi lebih memfokuskan
kajiannya pada masalah keterbelakangan dan pembangunan di Dunia Ketiga sehingga disebut
sebagai teori yang memakili aspirasi negara-negara pinggiran (Suwarsono dan So, 2006: 89).
Teori Dependensi mengusung pemikiran bahwa keterbelakangan yang terjadi di Dunia Ketiga
bukan disebabkan oleh faktor-faktor internal yang ada dalam negara-negara tersebut, tetapi
merupakan implikasi dari campur tangan faktor eksternal berupa kapitalisme (Budiman,
1995: 62). Meskipun kapitalisme tumbuh di Dunia Ketiga, akan tetapi merupakan kapitalisme
yang tergantung dengan perkembangan kapitalisme di pusat. Dengan demikian, kemajuan
yang dicapai di Dunia Ketiga sangat tergantung dengan kemajuan yang pembangunan yang
ada di negara pusat.

Salah satu teoretisi dependensi yang sangat berpengaruh adalah Andre Gunder Frank, seorang
ahli ekonomi yang berasal dari Chicago, pendukung revolusi Kuba, penyokong sosialisme
dan pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Raul Prebish dan Paul A. Baran (Harrison, 1988:
76; Fakih, 2002: 130). Mendasarkan pendapatnya pada pemikiran Raul Prebish, Frank
(1969a; 1969b; 1973) menyatakan bahwa kapitalisme dengan segala dimensinya di tingkat
nasional dan global menjadi penyebab dari kondisi keterbelakangan yang menimpa Dunia
Ketiga. Pandangan Frank ini disebut juga sebagai pembangunan keterbelakangan
atau development of underdevelopment (Hettne, 2001: 161). Kondisi ini terjadi sejak Dunia
Ketiga bersentuhan dengan kapitalisme dan akan terus berlanjut di masa yang akan datang
karena hubungannya yang tidak sehat. Dengan demikian, bagi Frank, keterbelakangan yang
menimpa Dunia Ketiga bukan karena faktor alamiah yang ada di dalamnya dan bukan pula
disebabkan kekurangan modal yang dimiliki, akan tetapi karena proses ekonomi, politik dan
sosial dari globalisasi kapitalisme (Long, 1987: 100; Hettne, 2001: 150-151).

Meskipun berangkat dari pemikiran Prebish yang banyak mempengaruhinya, Frank ternyata
berbeda dengan pendahulunya ini dalam melihat hubungan Dunia Ketiga dengan kapitalisme.
Menurut Frank (1969a; 1969b; 1973), hubungan kapitalisme dengan Dunia Ketiga
memunculkan dua kutub, yaitu negara metropolis dan negara satelit yang dalam konsep
Prebish dikenal dengan negara pusat dan negara pinggiran. Berbeda dengan Prebish yang
melihat hubungan kedua kutub ini hanya dari aspek ekonomi, Frank melihat jalinan relasi
antara negara metropolis dan negara satelit juga pada aspek politiknya, yaitu relasi politik
sekaligus juga ekonomi antara modal asing dengan klas-klas yang berkuasa di negara satelit.

Relasi yang terjalin antara negara metropolis dengan negara satelit dalam teori
ketergantungan Frank dilakukan dalam rangka mencari keuntungan yang sebesar-besarnya
dengan cara menjalin kerjasama di antara keduanya dengan melibatkan kaum borjuasi yang
dominan di dalamnya (Budiman, 1995: 66-67). Fenomena ini mengemuka dengan adanya
ikatan-ikatan ekonomi, politik, sosial serta budaya yang menghubungkan negara metropolis
dengan negara satelitnya, mengambil surplus ekonomi untuk pembangunan ekonominya,
sementara di sisi lain negara satelit menjadi tergantung padanya (Long, 1987: 101). Setelah
jalinan kerjasama dilakukan sedemikian rupa, muncullah kebijakan-kebijakan pemerintah di
negara satelit yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat, tetapi lebih menguntungkan
modal asing dan klas lokal (komprador). Dengan demikian, terdapat tiga komponen utama
yang ada dalam teori ketergantungan Frank, yaitu modal asing dari negara metropolis,
pemerintah lokal di negara satelit dan klas lokal (borjuasi) yang berperan sebagai komprador
(Budiman, 1995: 67). Ketiga kelompok inilah yang memainkan peranannya dalam
pembangunan di Dunia Ketiga, sehingga rakyat hampir tidak mendapatkan apa-apa karena
manfaatnya lebih banyak dinikmati oleh negara metropolis, negara satelit dan klas-klas lokal.
Melalui relasi yang terjalin di antara mereka, sumberdaya alam yang ada di Dunia ketiga
dieksploitasi untuk menunjang pembanguan di negara-negara metropolis, sementara negara-
negara satelit dibiarkan kehabisan bahan-bahan mentah yang mereka butuhkan untuk
pembangunan (Clements, 1997: 62-63). Kondisi seperti ini pada gilirannya memunculkan 3
(tiga) hal yang menjadi ciri dari kapitalisme yang ada di negara satelit, yaitu: (1) kehidupan
ekonomi yang tergantung, (2) terjadinya kerjasama antara modal asing dengan klas-klas yang
berkuasa di negara satelit, dan (3) terjadinya ketimpangan antara klas yang dominan dalam
melakukan eksploitasi (kaya) dan rakyat yang dieksploitasi (miskin) di negara satelit
(Budiman, 1995: 67).

Sebagai upaya mengatasi kondisi keterbelakangan dan ketergantungan yang dialami Dunia
Ketiga tersebut, Frank menolak pandangan kelompok Marxis yang mengenal tingkatan-
tingkatan revolusi. Frank juga menolak pandangan akan munculnya manfaat berupa trickle
down effect sebagaimana yang dibayangkan oleh para penganut teori modernisasi atau juga
keuntungan ketika negara matropolis mengalami kemajuan sebagaimana yang dinyatakan
oleh Dos Santos. Menurut Frank, keterbelakangan dan ketergantungan Dunia Ketiga akibat
kapitalisme ini hanya dapat diatasi melalui revolusi yang pada gilirannya akan melahirkan
sistem sosialis atau memutuskan hubungan dengan negara metropolis (Frank, 1969b).

Meskipun sama-sama sepakat terkait keterbelakangan dan ketergantungan yang dialami


Dunia Ketiga dalam hubungannya dengan kapitalisme, Dos Santos dan Frank berbeda
pendapat mengenai dampak dari relasi tersebut. Satu pihak, Frank menganggap hubungan
tersebut berimplikasi negatif sebagaimana yang dikemukakan di atas, sementara di pihak lain
Dos Santos melihat kebalikannya (Fakih, 2002: 135; Budiman, 1995: 69). Menurut Dos
Santos (1973), meskipun Dunia Ketiga mengalami keterbelakangan dalam hubungannya
dengan kapitalisme, akan tetapi Dunia Ketiga dalam posisinya sebagai negara satelit atau
negara pinggiran masih memungkinkan untuk berkembang, yaitu perkembangan yang
tergantung dengan kemajuan yang dicapai negara induknya. Pandangan Dos Santos ini
disebut juga sebagai pembangunan yang terkait dan tergantung atau associated-dependent
development (Hettne, 2001: 161-162). Dengan demikian, negara satelit akan berkembang jika
negara metropolisnya maju, tetapi sebaliknya kesulitan yang dialami oleh negara satelit tidak
lantas diikuti pula oleh negara metropolisnya karena ekonominya tidak tergantung dengan
negara Dunia Ketiga.

Menurut Dos Santos (1973: 109), ketergantungan adalah kondisi kehidupan ekonomi negara-
negara tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi
negara-negara lain, negara-negara tersebut hanya berperan sebagai penerima akibat saja.
Hubungan saling ketergantungan antara dua sistem ekonomi atau lebih terjadi bila ekonomi
beberapa negara (yang dominan) bisa berekspansi dan bisa berdiri sendiri, sedangkan
ekonomi di negara lainnya (yang bergantung) mengalami perubahan hanya sebagai akibat
dari ekspansi tersebut, baik yang positif maupun negatif.

Menurut Roxborough (1979: 66), defenisi ketergantungan Dos Santos ini memiliki dua
bagian. Pertama, pengertian ketergantungan ini mengungkapkan adanya hubungan antara dua
kelompok ekonomi yang berada dalam kondisi yang tidak setara. Kedua, pengertian
ketergantungan Dos Santos ini memaparkan suatu hal, yaitu dependensi adalah struktur
internal berbeda yang hendak dibangun negara maju. Atas dasar demikian, Dos Santos (1973:
110-111) membedakan tiga bentuk ketergantungan, yaitu: Ketergantungan Kolonial, yaitu:
Pada periode ini terjadi ketergantungan berupa penguasaan yang dilakukan oleh penjajah
(negara metropolis) terhadap negara pinggiran (negara satelit). Kegiatan ekonomi utama yang
ada di negara pinggiran pada masa ini adalah perdagangan hasil bumi yang dibutuhkan
negara penjajah. Pada masa ini, para penjajah melakukan monopoli tanah, pertambangan,
tenaga kerja dan hubungannya dengan penduduk lokal bersifat eksploitatif. Ketergantungan
Finansial, yaitu: berbeda dengan periode sebelumnya, pada masa ini negara pinggiran
(satelit) secara politis sudah merdeka, akan tetapi dalam kenyataannya masih dikuasai oleh
kekuatan-kekuatan finansial dari negara pusat (negara metropolis). Di samping itu, negara
pinggiran masih mengekspor bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan industri negara pusat
sebagaimana pada periode sebelumnya. Negara pusat menanamkan modalnya pada
pengusaha lokal di negara pinggiran untuk menghasilkan bahan baku tersebut. Dengan
demikian pengendalian dilakukan melalui kekuasaan ekonomi dalam bentuk kekuasaan
finansial. Ketergantungan Teknologi-Industrial. Yaitu, jenis ketergantungan baru karena
kegiatan ekonomi di negara-negara pinggiran tidak lagi mengekspor bahan mentah untuk
keperluan industri di negara pusat. Pada periode ini perusahaan-perusahaan multinasional
dari negara pusat mulai menanamkan modalnya untuk kegiatan industri di negara pinggiran
yang produknya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar negara-negara pinggiran.
Meskipun kegiatan industri ini ada di negara pinggiran, tetapi teknologinya berasal dari
perusahaan multinasional yang ada di negara metropolis. Seringkali barang-barang modal
berupa mesin industri yang ada tidak dijual sebagai komoditi, melainkan disewakan melalui
perjanjian paten. Dengan demikian pengusahaan dari surplus industri dilakukan melalui
monopoli tehnologi. Menurut Dos Santos (1973), negara satelit yang berada dalam
ketergantungan teknologi-industrial akan mengalami beberapa kondisi, yaitu:

1. Perkembangan industri di negara satelit tergantung pada sektor perdagangan ekspor


barang-barang hasil pertanian dan pertambangan. Devisa hasil penjualan barang-barang
ekspor oleh negara pinggiran digunakan untuk membeli barang-barang industri yang
dibutuhkan.
2. Perkembangan industri di negara pinggiran sangat dipengaruhi oleh balance of
payment. Artinya, bahwa akibat keuangan luar negeri yang berpengaruh terhadap defisit
pembayaran pada gilirannya berpengaruh pula terhadap perkembangan industri di negara
satelit.
3. Perkembangan industri sangat dipengaruhi oleh monopoli teknologi oleh perusahaan
besar atau asing seperti hak paten dan royalti yang membawa konsekuensi pengurasan
kemakmuran melalui investasi industri yang ditunjukkan untuk permintaan pasar lokal.

Demikianlah dua kutub pemikiran utama dalam teori dependensi dalam menyoroti
keterbelakangan yang menimpa Dunia Ketiga dalam hubungannya dengan penetrasi
kapitalisme. Satu sisi, Frank beranggapan bahwa Dunia Ketiga tidak akan pernah maju dalam
sistem kapitalisme, tetapi di pihak lain Dos Santos berpandangan sebaliknya, yaitu masih ada
peluang bagi negara-negara satelit untuk berkembang mengikuti kemajuan yang dicapai oleh
negara metropolisnya.

Persoalannya, tesis-tesis yang diajukan teoretisi dependensia di atas dikritik karena lebih
menyoroti keterbelakangan dalam konteks makro, padahal di ranah mikro juga perlu
mendapat perhatian. Menurut Suwarsono dan So (2006: 96), konsep relasi satelit-metropolis
yang dibangun dalam teori dependensi tidak hanya dapat diterapkan di tingkat internasional
atau antarnegara (makro), akan tetapi dapat pula digunakan untuk memahami hubungan
regional dan lokal di dalam Dunia Ketiga itu sendiri. Artinya, terjadi peralihan peran dari
tingkatan sebelumnya, jika pada tingkat relasi internasional kota-kota utama menjadi satelit
dari metropolis di Barat, maka pada tingkat nasional kota-kota satelit ini menjadi metropolis
lokal. Dengan demikian, dalam konteks internasional negara-negara metropolis adalah
Amerika Serikat, Jepang, China, Perancis, Inggris, Singapore, Hongkong dan lain
sebagainya, maka dalam konteks nasional dan lokal posisi tersebut ditempati oleh kota-kota
besar yang ada di Indonesia, semisal Medan, Bandung, Surabaya dan Jakarta. Meksipun
terjadi peralihan peran dalam konteks nasional dan lokal, tetapi prinsipnya tetap sama yaitu
melakukan pengambilan surplus ekonomi dari pedesaan untuk kemajuan kota-kota tersebut
sebagaimana yang dilakukan di tingkat internasional seperti yang digambarkan oleh Frank
dan Dos Santos di atas.

Upaya ini pula yang dilakukan oleh beberapa pengkritik Teori Dependensi, seperti Richard
Fagem, Oxaal, Palloix dan Ranjit Sao, yang semakin menambah komprehensifitas tesis teori
ini. Menurut para pengkritik ini, utamanya Ranjit Sao, tesis ketergantungan terlalu fokus pada
relasi pertukaran antar negara-negara terbelakang dengan negara-negara maju dan tidak
memberikan perhatian secara lebih lengkap pada hubungan antar kelas yang ada di dalam
negeri yang mengakibatkan keterbelakangan sebagian besar rakyat (Arief dan Sasono, 2013:
54). Melalui analisis yang dilakukannya, Sao (Arief dan Sasono, 2013: 56) menyimpulkan
bahwa terdapat beberapa aliansi-aliansi yang sebenarnya bertanggungjawab terhadap
keterbelakangan sebagian besar rakyat di tingkat lokal, yaitu: (1) aliansi kaum feodal dan
petani kaya dengan kelas borjuasi, (2) aliansi kelas borjuasi dengan kelas kapitalis asing dan
(3) aliansi kaum feodal dengan kapitalis asing.

Sumber Bacaan:

Arief, Sritua dan Sasono, Adi. 2013. Indonesia: Ketergantungan dan Keterbelakangan. Edisi
Revisi. Jakarta: Penerbit Mizan.

Budiman, Arief. 1995. Teori Pembanguan Dunia Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka


Utama.

Clements, Kevin P. 1997. Teori Pembangunan Dari Kiri Ke Kanan. Alih bahasa oleh Endi
Haryono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dos Santos, Theotonio. 1973. ‘The Structure of Dependence’ dalam Charles K. Wilber
(ed.). The Political Economy of Development and Underdevelopment. New York: Random
House, Inc.

Fakih, Mansour. 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist


Press dan Pustaka Pelajar.

Frank, Andre Gunder. 1969a. Capitalism and Underdevelopment in Latin America. New


York: Modern Reader Paperbacks.

————————-. 1969b. Latin America: Underdevelopment or Revolution. New York


and London: Monthly Review Press.

————————-. 1973. ‘The Development of Underdevelopment’ Charles K. Wilber


(ed.). The Political Economy of Development and Underdevelopment. New York: Random
House, Inc.
Harrison, David. 1988. The Sociology of Modernization and Development. London dan New
York: Routledge.

Hettne, Björn. 2001. Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. Alih bahasa oleh Tim Redaksi.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Higgott, Richard. dkk. 1989. Teori-Teori Pembangunan dan Keterbelakangan. Alih bahasa


oleh Drs. Makmur Keliat. Surabaya: Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya.

Long, Norman. 1987. Sosiologi Pembangunan Pedesaan. Alih bahasa oleh Tim Penerjemah.
Jakarta: PT. Bina Aksara.

Martono, Nanang. 2012. Sosiologi Perubahan Sosial Perspektif Klasik, Modern, Posmodern


dan Poskolonial. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Mashud, Mustain dkk. 2010. Sosiologi Pembangunan. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.

Roxborough, Ian. 1979. Theories of Underdevelopment. New Jersey: Humanities Press.

Anda mungkin juga menyukai