DESEMBER 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
karya tulis ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa Saya juga mengucapkan
banyak terima kasih kepada Ibu Dennie Sastrapradja selaku dosen mata kuliah Bahasa
Indonesia yang memberikan edukasi dan pemikirannya kepada Saya bagaimana cara
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Dan harapan Saya semoga karya tulis ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Albern Derian
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I – PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
BAB II – PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sistem Pemerintahan
2.2 Macam-Macam Sistem Pemerintahan
2.2.1 Monarki
2.2.2 Presidensial
2.2.3 Parlementer
2.2.4 Semipresidensial
2.2.5 Komunisme
2.2.6 Demokrasi liberal
2.2.7 Liberalisme
2.3 Sistem Pemerintahan Indonesia
2.3.1 Sejarah Sistem Pemerintahan Indonesia
2.3.2 Pembagian Kekuasaan Pemerintahan Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
2.2.2 Presidensial
Sistem presidensial (presidensial), atau disebut juga dengan sistem kongresional,
merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasaan eksekutif dipilih
melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif.
Untuk disebut sebagai sistem presidensial, bentuk pemerintahan ini harus memiliki tiga
unsur yaitu :
● Presiden yang dipilih rakyat
● Presiden secara bersamaan menjabat sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan dan dalam jabatannya ini mengangkat pejabat-pejabat
pemerintahan yang terkait.
● Presiden harus dijamin memiliki kewenangan legislatif oleh UUD atau konstitusi.
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak
dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun
masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan
pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal,
posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran
tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya.
Model ini dianut oleh Amerika Serikat, Filipina, Indonesia dan sebagian besar
negara-negara Amerika Latin dan Amerika Tengah.
2.2.3 Parlementer
Parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan yang parlemennya memiliki
peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang
dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan
pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Berbeda
dengan sistem presidensiil, sistem parlemen dapat memiliki seorang presiden dan
seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap jalannya pemerintahan. Dalam
presidensiil, presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam
sistem parlementer presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja.
2.2.4 Semipresidensial
Sistem semipresidensial adalah sistem pemerintahan yang menggabungkan
kedua sistem pemerintahan : presidensial dan parlementer.
Terkadang, sistem ini juga disebut dengan Dual Eksekutif (Eksekutif Ganda).
Dalam sistem ini, presiden dipilih oleh rakyat sehingga memiliki kekuasaan yang kuat.
Presiden melaksanakan kekuasaan bersama-sama dengan perdana menteri.
2.2.5 Komunisme
Komunisme (bahasa Latin : communis, bahasa Inggris : common, universal)
adalah ideologi yang berkenaan dengan filosofi, politik, sosial, dan ekonomi yang tujuan
utamanya terciptanya masyarakat komunis dengan aturan sosial ekonomi berdasarkan
kepemilikan bersama alat produksi dan tidak adanya kelas sosial, uang, dan negara.
Istilah komunisme sering dicampuradukkan dengan komunis internasional.
Komunisme atau Marxisme adalah ideologi dasar yang umumnya digunakan oleh partai
komunis di seluruh dunia. sedangkan komunis internasional merupakan racikan ideologi
ini berasal dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut "Marxisme-Leninisme".
Dalam komunisme, perubahan sosial harus dimulai dari pengambil alihan alat-alat
produksi melalui peran Partai Komunis. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial
dimulai dari buruh atau yang lebih dikenal dengan proletar (lihat: The Holy Family),
namun pengorganisasian Buruh hanya dapat berhasil dengan melalui perjuangan
partai. Partai membutuhkan peran Politbiro sebagai think-tank. Dapat diringkas
perubahan sosial hanya bisa berhasil jika dicetuskan oleh Politbiro.
Secara konstitusional, ini dapat diartikan sebagai hak-hak individu dari kekuasaan
pemerintah. Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan mayoritas (dari proses
perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan
pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah
tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi
2.2.7 Liberalisme
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi
politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak
adalah nilai politik yang utama.
Ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan,
Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property). Dibawah ini, adalah nilai-nilai
pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme tadi :
● Kesempatan yang sama (Hold the Basic Equality of All Human Being). Bahwa
manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan
baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Namun karena kualitas manusia
yang berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu
akan berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas dari
itu semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari
demokrasi.
● Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, di mana setiap orang
mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam
setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan
politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi
dan dilaksanakan dengan persetujuan – di mana hal ini sangat penting untuk
menghilangkan egoisme individu (Treat the Others Reason Equally).
● Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak
boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut
kehendak rakyat (Government by the Consent of The People or The Governed).
● Berjalannya hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk membela
dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum
abadi di mana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah
untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk menciptakan rule of law,
harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan
dimuka umum, dan persamaan sosial.
● Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu (The Emphasis of
Individual).
● Negara hanyalah alat (The State is Instrument). Negara itu sebagai suatu
mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan
negara itu sendiri. Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat
pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah
merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat
telah mengalami kegagalan.
● Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse Dogatism).
Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 – 1704)
yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman.
Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.
Dalam suasana praktik sistem parlementer itulah pada awal tahun 1946,
Penjelasan UUD 1945 yang disusun oleh Soepomo dan diumumkan melalui Berita
Repoeblik pada bulan Februari 1946 memuat uraian tentang kedudukan kepala negara
dan kepala pemerintahan yang kemudian disalah-pahami seakan dua jabatan yang
dapat dibedakan satu sama lain sampai sekarang. Karena itu, sampai sekarang masih
banyak sarjana yang beranggapan bahwa jabatan Sekretaris Negara adalah jabatan
sekretaris Presiden sebagai kepala negara, sedangkan Sekretaris Kabinet adalah
sekretaris Presiden sebagai kepala pemerintahan. Akibatnya muncul tafsir yang salah
kaprah bahwa seakan-akan semua rancangan keputusan Presiden sebagai kepala
negara harus dipersiapkan oleh Sekretariat Negara sedangkan rancangan keputusan
Presiden sebagai kepala pemerintahan dipersiapkan oleh Sekretariat Kabinet. Padahal,
dalam sistem pemerintahan presidensial yang bersifat murni, yang ada adalah sistem
‘single executive’, di mana fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan terintegrasi,
tidak dapat dipisah-pisahkan dan bahkan tidak dapat dibedakan satu dengan yang lain.
Dalam sistem presidential murni, keduanya menyatu dalam kedudukan Presiden dan
Wakil Presiden. Keduanya tidak perlu dibedakan, dan apalagi dipisah-pisahkan.
Namun demikian, sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh UUD 1945
itu sendiri, sebelum reformasi, sebenarnya tidak bersifat murni. Salah satu prinsip
penting dalam sistem presidensial adalah bahwa tanggungjawab puncak kekuasaan
pemerintahan negara berada di tangan Presiden yang tidak tunduk dan
bertanggungjawab kepada parlemen. Misalnya, dalam sistem presidensial Amerika
Serikat, Presiden hanya bertanggungjawab kepada rakyat yang memilihnya melalui
mekanisme pemilihan umum dan melalui kewajiban menjalankan tugas-tugas
pemerintahan secara transparan dan akuntabel. Presiden Indonesia menurut UUD
1945 sebelum reformasi, harus bertunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berwenang mengangkat dan
memberhentikannya menurut undang-undang dasar. Presiden menurut UUD 1945
sebelum reformasi adalah mandataris MPR yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali
oleh MPR sebagaimana mestinya. Sifat pertanggungjawaban kepada MPR ini justru
memperlihatkan adanya unsur parlementer dalam sistem pemerintahan presidential
yang dianut. Karena dapat dikatakan bahwa sistem presidentil yang dianut bersifat tidak
murni, bersifat campuran, atau ‘quasi-presidentil’.
Inilah yang menjadi satu alasan mengapa UUD 1945 kemudian diubah pada
masa reformasi. Karena itu, salah satu butir kesepakatan pokok yang dijadikan
pegangan dalam membahas agenda perubahan pertama UUD 1945 pada tahun 1999
adalah bahwa perubahan undang-undang dasar dimaksudkan untuk memperkuat
sistem pemerintahan presidential. Dengan perkataan lain, istilah memurnikan sistem
presidential atau purifikasi sistem pemerintahan presidential sebagai salah satu ide
yang terkandung dalam keseluruhan pasal-pasal yang diubah atau ditambahkan dalam
rangka Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001)
dan Perubahan Keempat (2002) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sesudah reformasi, Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh UUD 1945
harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Peranan MPR untuk memilih Presiden
dan/atau Wakil Presiden dibatasi hanya sebagai pengecualian, yaitu apabila terdapat
lowongan dalam jabatan presiden dan/atau wakil presiden. Pengucapan sumpah
jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden memang dapat dilakukan di depan sidang
paripurna MPR, tetapi pada kesempatan itu MPR sama sekali tidak melantik Presiden
atau Wakil Presiden sebagai bawahan. MPR hanya mengadakan persidangan untuk
mempersilahkan Presiden dan/atau Wakil Presiden mengucapkan sumpah atau janji
jabatannya sendiri di depan umum. Dengan demikian, Presiden dan Wakil Presiden
tidak lagi berada dalam posisi tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR seperti masa
sebelum reformasi, di mana oleh Penjelasan UUD 1945 ditegaskan bahwa Presiden
harus bertunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Presiden adalah mandataris
MPR yang mandate kekuasaannya sewaktu-waktu dapat ditarik kembali oleh MPR.
Sedangkan dalam sistem yang baru, Presiden hanya dapat diberhentikan oleh MPR
melalui proses ‘impeachment’ yang melibatkan proses hukum melalui peradilan
konstitusi di Mahkamah Konstitusi.
Sekarang Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan
karenanya tunduk dan bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang memilihnya.
Inilah ciri penting upaya pemurnian dan penguatan yang dilakukan terhadap sistem
pemerintahan presidensial berdasarkan UUD 1945 pasca reformasi. Namun demikian,
dalam praktik pada masa reformasi dewasa ini, sering timbul anggapan umum bahwa
sistem presidential yang dianut dewasa ini masih beraroma parlementer. Bahkan ada
juga orang yang berpendapat bahwa sistem pemerintahan yang sekarang kita anut
justru semakin memperlihatkan gejala sistem parlementer. Jika pada masa Orde Baru,
pusat kekuasaan berada sepenuhnya di tangan Presiden, maka sekarang pusat
kekuasaan itu dianggap telah beralih ke DPR. Sebagai akibat pendulum perubahan dari
sistem yang sebelumnya memperlihatkan gejala “executive heavy”, sekarang
sebaliknya timbul gejala “legislative heavy” dalam setiap urusan pemerintahan yang
berkaitan dengan fungsi parlemen.
LEGISLATIF
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Keberadaan MPR yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi negara itu
memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi
keberadaannya tetap ada sehingga sistem yang dianut saat ini tidak dapat disebut
sistem bikameral ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga kamar (trikameralisme),
perubahan-perubahan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia itu
memang telah terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut. Pertama, susunan
keanggotaan MPR berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan
Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional
representation) dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya
terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencerminkan prinsip
perwakilan politik (political representation) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional representatif). Kedua,
bersamaan dengan perubahan yang bersifat struktural tersebut, fungsi MPR juga
mengalami perubahan mendasar (perubahan fungsional). Majelis ini tidak lagi berfungsi
sebagai ‘supreme body’ yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, dan
karena itu kewenangannyapun mengalami perubahan-perubahan mendasar.
DPD, menurut ketentuan pasal 22D (a) dapat mengajukan rancangan UU tertentu
kepada DPR (ayat 1), (b) ikut membahas rancangan UU tertentu (ayat 2), (c)
memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan UU APBN dan rancangan UU
tertentu (ayat 2), (d) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu (ayat
3). Dengan kata lain, DPD hanya memberikan masukan, sedangkan yang memutuskan
adalah DPR, sehingga DPD ini lebih tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR,
karena kedudukannya hanya memberikan pertimbangan kepada DPR.
EKSEKUTIF
Presiden Republik Indonesia
Presiden Indonesia (nama jabatan resmi : Presiden Republik Indonesia) adalah kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia. Sebagai kepala negara, Presiden
adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan,
Presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang
kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah sehari-hari. Presiden
(dan Wakil Presiden) menjabat selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali
dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan.
Kementerian Negara
Kementerian (nama resmi : Kementerian Negara) adalah lembaga Pemerintah
Indonesia yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Kementerian
berkedudukan di ibukota negara yaitu Jakarta dan berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada presiden.
YUDIKATIF
Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung Republik Indonesia (disingkat MA RI atau MA) adalah lembaga tinggi
negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan
kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh
cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10
ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/2003, kewenangan Mahkamah Konstitusi
adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus
pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2)
UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban
Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan
tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
3.1 Kesimpulan
Di dunia dewasa ini memang banyak beragam sistem pemerintahan dunia. Tetapi
kebanyakan negara menganut sistem pemerintahan republik baik secara parlementer
maupun presidensial dengan sistem demokrasi tersebut. Sesuai kebebasan Hak Asasi
Manusia (HAM) maupun kesetaraan di segala hal, hampir seluruh negara menerapkan
sistem demokrasi meskipun masih ada beberapa negara yang tidak menerapkan sistem
demokrasi secara hakiki seperti Korea Utara.
3.2 Saran
Sudah seharusnya sistem pemerintahan di dalam pemerintahan negara yang tidak
sesuai dengan kaidah HAM maupun kesetaraan dalam segala hal tersebut segera
dirombak dan disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Untuk di Indonesia, sistem pemerintahan yang ada harus dikelola sesuai dengan
kaidah dari Pancasila & UUD 1945 untuk mencapai kesejahteraan dari negara itu
sendiri maupun rakyatnya.
DAFTAR PUSTAKA
[2] Sistem presidensial. (2018, Oktober 19). Di Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. Diakses
pada 03:31, Oktober 19, 2018, dari https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Sistem_presidensial&oldid=14296989
[3] Monarki. (2018, Oktober 2). Di Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. Diakses pada 17:37,
Oktober 2, 2018, dari https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Monarki&oldid=14244220
[5] Kerajaan mutlak. (2018, Mei 26). Di Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. Diakses pada
05:23, Mei 26, 2018, dari https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Kerajaan_mutlak&oldid=13932056
[8] Komunisme. (2018, Oktober 30). Di Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. Diakses pada
17:26, Oktober 30, 2018, dari https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Komunisme&oldid=14342111
[9] Demokrasi liberal. (2018, Juli 18). Di Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. Diakses pada
05:42, Juli 18, 2018, dari https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Demokrasi_liberal&oldid=14044031
[10] Liberalisme. (2018, November 1). Di Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. Diakses pada
02:34, November 1, 2018, dari https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Liberalisme&oldid=14350333
[13] Wakil Presiden Indonesia. (2018, Januari 19). Di Wikipedia, Ensiklopedia Bebas.
Diakses pada 02:53, Januari 19, 2018, dari https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Wakil_Presiden_Indonesia&oldid=13560297
[17] Komisi Yudisial Republik Indonesia. (2018, Januari 19). Di Wikipedia, Ensiklopedia
Bebas. Diakses pada 02:53, Januari 19, 2018, dari https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Komisi_Yudisial_Republik_Indonesia&oldid=13560233