Anda di halaman 1dari 25

BAB II ISI

2.1.

Rente Dalam Perikanan Tangkap Ekonomi dalam perikinan melibatkan pemanfaatan aset publik (dalam

hal ini sumberdaya ikan) yang memerlukan perhatian yang serius dari pengelola sumberdaya ikan. Selain itu sumberdaya ikan juga melibatka biaya korbanan dimana biaya yang keluarkan untuk menangkap ikan bisa saja dimanfaatkan untuk kepentingan lain yang memberikan manfaat sosial lainnya. Oleh Karena itu aspek pengelolaan sumberdaya ikan memerlukan pertimbangan khusus menyangkut aspek efesiensi pengelolaan perikanan tersebut. 2.1.1 Konsep Rente Ekonomi Salah satu konsep ekonomi yang penting untuk menjadi perhatian adalah konsep rente ekonomi. Rent atau rente dapat diartikan sebagai nilai dari input produktif ketika digunakan melebihi biaya yang diperlukan. Rente ekonomi pada dasarnya adalah surplus, yakni perbedaan antara harga yang diperoleh dari pengunaan sumberdaya dengan biaya per unit input yang digunakan untuk menjadikan sumberdaya tersebut menjadi suatu komoditas. Rente tidak lain adalah residual setelah seluruh biaya dibayarkan dan biasanya diterima oleh pemilik sumber daya. Rente ekonomi sering dibedakan antara Scarcity Rent atau rente ekonomi yang ditimbulakan karena sifat kelangkaan sumberdaya dan rente Ricardian (Ricardian rent) atau different rent. Dalam konteks perikanan rente ekonomi terdistribusi dalam pelaku perikanan (nelayan dan pemilik modal) dan pemerintah sebagai wakil publik dalam hal kepemilikan sumberdaya ikan. Rente dalam perikanan dibagi menjadi rente sumberdaya (Resource Rent) dan Rente IntraMarginal (Intramarginal Rent) yang setara dengan rente Ricardian. Konteks perikanan tangkap, tidak bisa mengendalikan output atau ikan yang di tangkap karena hal ini ditentukan oleh ketersediaan alam dan sering digambarkan dalam variabel input seperti jumlah kapal, jumlah tenaga kerja, gross tonnage, dsb yang lebih mudah dikendalikan.

(a) (b) Gambar 1. Rente sumber daya perikanan (Sumber : Ekonomi perikanan ahmad fauzi 2010) Gambar a) menggambarkan situasi perikanan di ukur dari pelaku usaha individu tanpa investasi kebijakan. Pelaku memperoleh surplus sebesar daerah abef yang identik dengan surplus produsen. Surplus ini juga merupakan intramarginal rent yakni keuntungan diatas keuntungan normal. Pada gambar b) jika pemerintah melakukan intervensi kebijakan, dan intervensi tersebut mampu mengendalikan input perikanan, maka penerimaan rata-rata (AR) meningkat dari AR1 menjadi AR2. Peningkatan penerimaan ini akan mengahasilkan dua surplus yakni rente sumber daya sebesar daerah abcd dan intramarginal rent sebesar daerah dcef . Rente sumber daya abcd ini sebagian merupakan surplus ekonomi yang seharusnya diterima oleh pemerintah sebagai imbalan atas biaya pengelolaan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam mengelola sumberdaya ikan.

Gambar 1. Perikanan dengan rente sumberdaya negatif (Sumber : Ekonomi perikanan ahmad fauzi 2010)

Rente yang positif bisa dihasilkan dari pengelolaan yang baik, sebaliknya rente negatif bisa di tunjukan dari pengelolaan perikanan yang buruk. Penerimaan marginal (yang juga merupakan penerimaan rata-rata pasa struktur pasar yang kompetitif) berada dibawah titik minimum biaya rata-rata. Dalam situasi ini rente sumberdaya menjadi negatif dan pelaku perikanan yang mengalami kerugian ekonomi ini di istilahkan sebagai nelayan yang ekstra marginal, dengan demikian kerugian negatif ini juga sering di istilahkan sebagai ektra marginal rent.

2.1.2

Rente semu Rente semu biasanya terjadi pada perikanan yang mengalami kekurangan

investasi atau sebaliknya. Ketika perikanan masih baru berkembang dan inventasi masih sedikit (jumlah kapal masih sedikit dibandingkan dengan ketersediaan sumberdaya) maka rasio produksi per input akan cenderung tinggi dan para pelaku perikanan akan memperoleh surplus ekonomi yang relatif tinggi. Surplus ekonomi yang tinggi ini dalam jangka menengah dan panjang akan menarik penambahan input. Dengan demikian surplus ini tidak akan bersifat permanen dan bisa hilang dalam jangka panjang. Situasi sebaliknya akan terjadi ketika perikanan mengalami kelebihan investasi. Dalam situasi seperti ini terlalu banyak armada perikanan yang beroperasi dan sebagian besar dari armada tersebut tidak memiliki alternatif penggunaaan lain di luar perikanan. Dengan kata lain biaya korbanan juga pendapatan yang diperoleh untuk tetap bertahan dalam perikanan rendah. Rente ekonomi dalam kedua situasi di atas pada hakikatnya adalah rente ekonomi jangka pendek yang diakibatkan oleh fenomena temporer akibat kelebihan investasi maupun kekurangan investasi.

2.1.3

Pengukuran Rente Ekonomi Perikanan Pada prinsipnya pendekatan perhitungan rente sumber daya ini dapat di

kategorikan dalam tiga pendekatan utama yakni : 1. Pendekatan surplus Pendekatan ini digunakan pada kasus dimana pemerintah tidak melakukan investasi kebijakan sehingga rente sumberdaya langsung di terma oleh pelaku

ekonomi sebagai surplus produsen (Producers Surplus). Dalam konteks formal, Resourse Rent (RR) adalah luas daerah yang dibatasi oleh kurva biaya dan harga atau RR = PS = P0x0 - MC (x) dx Penggunakan metode ini memiliki keterbatasan hanya pada satu komoditas, dengan demikian meski secara teoritis pendekatan ini relatif sederhana namun dalam konteks aplikasi perhitungan rente ekonomi seperti ini kurang banyak di terapkan.

2. Pendekatan Harga Bersih Metode ini banyak di gunakan dalam rangka makro nasional khususnya terkait dengan pehitungan neraca sumber daya alam. Formula perhitungan dengan pendekatan net price adalah : RR = TR (TC+CE+CFC+NP) NP = rK Dimana RR TR IC CE = Resource Rent (Rente sumber daya) = Penerimaan Total = Konsumsi antara (Intermedite consumption) = Pembayaran terhadap tenaga kerja

CFC = Pembayaran modal tetap NP = Keuntungan normal yang dihitung dari perkalian nilai modal yang diinvestasikan dengan suku bunga (r) atau sering dikenal sebagai biaya korbanan dari modal. Komponen didalam kurung sebenarnya adalah biaya marjinal ekstraksi sumber daya (Marginal Cost). Dalam studi empiris, perhitungan biaya marjinal ini sering sulit ditemukan sehingga dalam praktiknya perhitungan rente ekonomi melalui pendekatan ini sering didekati dengan menggunakan biaya rata-rata. Metode ini bisa dikembangkan untuk multi komoditas dengan merinci komponen biaya untuk mengekstrak sumber daya ikan. Penggunaan metode ini lebih banyak mengendalikan data nasional yang umumnya tercatat pada kantor statistik nasional atau semacam Badan Pusat

Statistik (BPS) di Indonesia. Kesulitan utama dalam menggunakan pendekatan ini adalah 1) kebanyakan data statistik Indonesia tidak merinci komponenkomponen tersebut terhadap perikanan karena sektor perikanan berada dalam gugus sektor pertanian dalam pencatatan statistiknya. Oleh karenanya jika harus menggunakan pendekatan Net Price maka terlebih dahulu diperlukan disagregasi komponen-komponen tersebut dari data statistik nasional dan 2) Kesulitan timbul adalah penentuan tingkat biaya korbanan atas modal atau tingkat r yang tepat bagi sektor perikanan.

3. Keragaan Finansial dan Keragaan Ekonomi Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan data hasil survey dari industri penangkapan ikan kemudian dirinci berdasarkan komponen biaya yang dikeluarkan oleh industri tersebut. Pendekatan ini secara oprasional perhitungannya memang relatif lebih mahal untuk melakukan pengumpulan data tersebut. Secara teoritis perhitungan rente ekonomi dengan pendekatan ini pada hakikatnya adalah menjabarkan konsep Copes (1986) diatas dengan fokus menghitung komponen rente ekonominya.

4. Pendekatan Bioekonomi Pendekatan untuk menghitung rente ekonomi perikanan adalah dengan pendekatan bioekonomi dimana rente sumber daya dihitung berdasarkan selisih antara nilai dari ikan yang ditangkap dengan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk mengkestrasksi.

2.1.4

Mekanisme Pengumpulan Rente Ekonomi Mekanisme dimana rente sumberdaya ikan dapat di nikmati bukan hanya

oleh pelaku perikanan namun juga publik secara umum. Mekanisme tersebut di sebut Rent Capture/Rent Recovery. Ada beberapa mekanisme yang umum digunakan dalam perikanan yaitu diantaranya :

1. Pungutan rente (Rent Charge) Pungutan rente merupakan pembayaran atas upaya yang digunakan untuk menghasilkan ikan yang dapat dipasarkan. Pembayaran ini setara dengan nilai atas sumber daya ikan sebelum ikan tersebut di tangkap. Pembayaran ini bisa dalam bentuk pungutan atas ikan yang didaratkan baik di tentukan dengan nilai tetap per kilogram ikan yang didaratkan atau proporsional terhadap nilai ikan tersebut atau kombinasi dari keduanya.

Frekuensi pungutan bisa diterapkan secara regular atau dibayar sekali dimuka, keduanya memiliki kekurangan dan kelebihan. Jika diterapkan sekali dimuka memang akan menghindari masalah yang timbul dalam menduga nilai sumber daya namun demikian penerapan pembayaran seperti ini akan menghadapi masalah ketidak sempurnaan informas karena informasi mengenai input maupun harga output bisa berubah-rubah setiap saat

2. Individual Transferable Quota (ITQ) Mekanisme rente melalui penjualan sebagian hak dari pemilikan sumberdaya ikan. Ketika jumlah kuota sudah ditetapkan pemerintah, kuota tersebut dapat di lelang kepada pengguna sumberdaya dengan nilai yang sesuai dengan nilai sumberdaya ikan yang di eksploitasinya.

5. Rente sumber daya

Rente Ekonomi Sumberdaya (Sumber PKSPL-IPB,2000)

2.2 Transformasi kurva dari sistem biologi-ekonomi Perikanan Hubungan antara biologi perikanan dan aspek ekonomi tidaklah berifat simetris. Disatu sisi kenenaran biologi yang bersifat independen terhadap ekonomi, artinya kita bisa menganalisis aspek biologi suatu stock ikan tanpa pertimangan ekonomi sekalipun, namun tidak demkian sebaliknya. Aspek ekonomi dari eksploitasi stock ikan sangat bergantung pada karakteristik biologi dari stock ikan itu sendiri. Kombinasi analisis dari kedua spek tersebut secara simultan dikenal dengan analisis bioekonomi perikanan. Konteks biologi ikan per fase ditunjukan pada aspek pertumbuhan ikan yang menajdi dasar teori bioekonomi perikanan, dinamika pertumbuhan ikan dapat ditulis dalam persamaan basis dinamika populasi ikan yaitu dx = rx (1-x/K) persamaan (1) dt dimana K adalah kapasitas daya dukung lingkungan, x adalah notasi untuk stock ikan, r adalah presentasi pertumbuhan. Dari persamaan tersebut diperoleh kurva logistik yang bersifat pure compensation. Bentuk fungsi perumbuhan yang bersifat pure compensation adalah sebagai berikut F (x)

K x Gambar 1. Kurva pertumbuhan pure compensation

Bentuk kurva logistic yang bersifat pure compensation ini memiliki sifat konvergensi kea rah carring capacity. Dengan kata lain titik carring capacity merupakan titik keseimbangan dimana pada periode tertentu populasi bergerak kearah keseimbangan. Hal ini bisa dilihat dari komponen didalam kurung. Jika populasi berada pada kisaran 0 < x < K maka komponen yang berada dalam kurung akan positif sedangkan jika populasi berada pada tingkat K< x maka komponen yang ada dalam kurung menjadi negative dan laju pertumbuhan akan berkurang (ini ditunjukan oleh panah yang bergerak kea rah kiri). Pergerakan

kearah titik keseimbanagn pada daya dukung lingkungan ini bisa ditujukan pada gambar 2 dibawah ini, dimana selama periode waktu tertentu dari t = 0 samapai t populasi atau stock mengalami konvergen secara asimtotik F (x)

(t) Gambar 2. Dinamika fungsi kompensasi murni ke keseimbangan daya dukung Bentuk kedua dari fungsi logistic dapat terjadi jika r(x) merupakan fungsi yang meningkat terhadap x pada kisaran nilai tersebut terjadi karena proses yang disebut depensation. Fungsi logistic yang memiliki sifat depensation pada kisaran 0 < x < a dan mengalami compensation pada kisaran a < x <K. F (x)

10

Bentuk lain yang mungkin terjadi pada kurva logistic adalah kurva depensasi kritis, terjadi manakala pertumbuhan stok mengalami pertumbuhan negatif pada kisaran 0<x<a. Karena nilai x = a adalah titik perailihan dari pertumbuhan yang Negative Ke Pertumbuhan Positif Maka Titik X=A DiseBut Sebagai Tingkat Populasi Minimum Viable Stock (MVS).

F (x)

a b

Gambar 3. Kurva pertumbuhan depensasi kritis Ekstraksi sumberday aikan merupakan aktivitas ekonomi yang menggunakan input seperti tenaga kerja, kapal, mesin bahan bakar dll. Komponenen input tersebut harus dibeli melalui pasar oinput sehingga ada komponen biaya dikeluarkan. Proses trasformasi input, sumberdaya ikan dan manfaat ekonomi hasus dilakuakn melalui proses produksi. Keberadaan proses produksi oleh manusia tentu mengubah perilaku dinamika sumberdaya ikan. Dampak produksi terhadap stok dapat digambarkan apda kurva dibawah ini F (x) Gmax

h=a

x1

K/2 x1 K x Gambar 4. Dampak produksi terhadap stock ikan

11

Dengan memahami unit input (effort) maka fungsi produksi perikanan dalam bentuk yang paling sederhana bisa di tulis h = f (E) atau h = E1/2 , bentuk produksi diatas sudahmemenuhi syarat minimum fungsi produksi yang cembung dan mengalami laju peningkatan yang menurun dapat di lihat dari kurva dibawah ini h

E Gambar 1. Fungsi produksi perikanan sederhana

Fungsi produksi diatas hanya satu variabelinput. Hal ini tentu saja terlalu sederhana F (x). Beberapa hal yang menyangkut dampak dari aktivitas peangkapan terhadap stok 1) saat tingkat upya E1 diberlakukan maka diperoleh jumlah tangkapan sebesar h1 kemudian upaya dinaikan sebesar E2 maka hail tangkapan menjadi h2 F(x) h2 h3 h1 h1= qxE3 h3= qxE3 h2= qxE3

x1 K/2 x1 K x Gambar 5. Dampak produksi terhadap stok ikan

Hasil kurva nemunjukan bahwa dalam hal sumberdaya ikan peningkatan input tidak selalu berkolerasi dengan peningkatan output karena adanya faktor alam yang membatasi.

12

Hubungan antara input dan output dikenal dalam persamaan h = qKE 1- qE .Persamaan yield effort Lestari (2) r dimana menghasilkan kurva F (x)

hmsy

Emsy

Emaks

Upaya

Gambar 6. Kurva yeild effort lestari Konstanta c perunit input menggambarkan biaya perunit input juga menggambarkan biaya korbanan dari input yang digunakan. Jika biaya penerimaan dan biaya tersebut dipetakan maka mengasilkan grafik

F (x) Penerimaan Biaya (Rp)

TC = cE

TSR = yE-E2

Upaya Gambar 6. Kurva penerimaan lestari (TSR) dan kurva biaya Dua kesinambungan utama yang mendasari efesiensi ekonmomi pengolahan perikanan. Kesinambungan pertama terjani damnakala kurva TSR

13

dengan TC bersinggungan pada titik A. Titik ini terjadi pada tingkat input sebesae E F (x) Penerimaan Biaya (Rp) B A TC = cE

TSR = yE-E2

E0 Emsy

Upaya

Gambar 7. Keseimbangan ekonomi gmodel Gordon-Schaefer Pada titik A sebagai keseimbangan dalam konsisi akses terbuka. Pada konsisi perikanan dengan akses terbuka surplus manfaat ekonom akan menimbulakan daya tarik armada lain untuk berpartisipasi dalam perikanan atau terjadi peanmbanahan input, hal tersebut akan terus belangsung sampai rente ekonomi terus berkuras dan begitu sebaliknya, sehingga hanya pada titik E = E proses exit dan entry akan berhenti dan di titik tersebut terjadi keseimbangan akses terbuka. Pada garis BC mengahsilkan manfaat ekonomi yang maksimum tingkat input pada keseimbangan ini terjadi pada E0.Diantara titik keseimbanagn ketiga yakni kurva TSR mencapai titik maksimum yang berhubungan dengan titik input sebesar Emsy. Pada titk input ini meski kurva TSR mencapai titik maksimum namun jarak TC bukanlah jarak sebesar (tidak menghasilkan rente ekonomi yang maksimum sehinga input tidak dikatakan optimal secaera sosial)

14

2.3 Penurunan rumus Model Gordon Scherfer Model Gordon-Schaefer secara sederhana menggunakan dua persamaan dasar yakni dx = rx (1-x/K) Persmaan dinamika populasi ikan (1) dt h = qxE........... Persamaan fungsi produksi (2) Sehingga dapat disatukan menjadi dx = rx (1-x/K) - qxE Persamaan (3) dt Dapat dibaca laju pertumbuhan ikan pada periode t sama dengan pertumbuhan populasi ikan di kurangi penagkapan. Jika dilihat dari parsamaan (3) bisa di pecahkan untuk menentukan nilai x atau biomas pada periode t melalui teknik pemecahan kalulus. Namun dalam pengelolaan perikanan variabel x adalah variabel yang tidak diamati sementara pengolahan perikanan bekerja dengan variabel yang dapat di amati yakni input yang digunakan ( effort) dan output yang dihasilkan (produksi atau h) sehingga untuk mencapai tujuan tersebut persamaan diatas di trasformsikan menjadi eprsamaan yang dapat diamati. Hal ini dapat dilakukan dengan mengansumsikan kondisi keseimbangan jangka panjang dimana keseimbangan jangka panjang perubahan laju pertumbuhan mendekati nol (Lim (dx/dt) 0) maka persemaanya tersebut menajdi x=K 1- qE r ..Persamaan (4)

x adalah variabel stock dan variabel input (E). Dengan mensubstitusikan variabel x ini kembali ke persamaan (2) maka menjadi h = qKE 1- qE r .Persamaan yield effort Lestari (5)

persamaan ini menggambarkan hubungan antara ouput h dan imput E dalam bentuk persamaan kuadrat terhadap E. Penggunaan asumsi keseimbangan secara tidak langsung juga menghasilkan kurva yang menghubungkan antra unit upaya dengan biomas/stock melalui persamaan E(x) = 1 F(x) .Persamaan upaya lestari (6) q x khusus untuk dungsi pertumbuhan logistik ditulis dengan persamaan

15

E(x) = r 1- x q K

. Persamaan upaya lestari (7)

Dalam persprektif model schaefer, pengolahan sumberdaya ikan yang terbaika dalah pada saat produksi lestrai berada pada titik kurva yield effort. Titik ini kemudian dikenal sebagai Maximum Sustainable Yield atau dikenal dengan MSY. Pada tingkat output sebesar MSY input yang dibutuhkan adalah sebesar E msy. Secara matematis tingkat input sebesar ini bisa di tentukan dengan memecahkan turunana pertama persamaan (5) terhadap effort Emsy = r .. Persamaan (8) 2q Jika disubstitusikan nilai Emsy kembali kepersamaan (5) maka di peroleh tangkapan pada tingkat MSY hmsy = rK.Persamaan (9) 4 Dengan diketahui nilai pada tingkat MSY maka tingkat stock pada lever dapat di hitung melalui persamaan xmsy = hmsy = rK/4 = K. Persamaan (10) qEmsy qr/2q 2 Menyadari kelemahan pendekatan MSY kemudian gordon mengembangkan aspek ekonomi pengolahan perikanan dengan berbasis model biologi Schaefer. Model tersebut dinamakan Model Gordon Scherfer. Rente ekonomi diperoleh dari selisih antara penerimaan total lestari (Total Sustainable Revenue = TSR) dengan biaya yang dikeluarkan. TSR ini diperoleh dari perkalian antara harga persatuan ikan yang di jual dengan produksi lestari. Sehingga secara mateatis dapat dibua dalam rumus TSR = ph(E) = pqKE 1- qE R ... Persamaan (10)

Persamaan tersebut dapat disederhanakan menjadi y = pqK dn = (pq2K)/r Sehingga menjadi TSR = yE- E2 Gordon juga menyatakan total biaya (TC) bersifat linier terhadap output TC = cE... Persamaan (11) Manfaat ekonomi bisa dihitung dari selisih antara penerimaan dan biaya sehingga menggabungkan persamaan (10) dan persamaan (11)

16

= TSR TC = pqKE 1 - qE r

- cE ..... Persamaan (12)

untuk memahami pengukuran relatif dari dari model Gordon Schaefer persamaan (10) dan persamaan (11) ditrasformasikan dalam ukuran marjinal rata-rata sehingga penerimaan rata-rata Average Sustanable Revernue (ASR) adalah ASR = TSR = pqK pq2KE.... Persamaan (13) E r Penerimaan marjinal (Maginal Sustainable Revenue) dapat diperoleh dengan menurunkan persamaan (10) terhadap E MSR = TSR = pqK- 2 pq2K E....... Persamaan (14) E r Keseimbangan MEY diperoleh pada saat kurva MSR berpotongan dengan MC (Marginal Cost) dan berkorelasi dengan titik input sebesar Eo dengan penurunan / E = 0 atau / E = pqK 2 pq2K E = c r = MSR = MC 2.4 Kasus model Gordon Scherfer Jika diketahui bahwa parameter bioekonomi suatu perikanan adalah r=0,5, q=0,005,K=200,p=5 dan c=0,5 1. Buatlah kurva yield effort untuk model G-S hmsy = rK = 0,5 x 200 = 25 4 4 Emsy = r = 0,5 = 50 2q 2 x 0,005 Emax = 2 x EMSY = 2x 50 = 100 Xmsy = K = 200 = 100 2 2

17

kurva yield effort untuk model G-S


30

hmax

25 20 15 10 5 0 0 20 40 50 60 80 100 120

Emsy 2. Buatlah kurva TR dan TC = pgk = pg2k r TR = (E E2) = pgk E pg2k E2 r 2 = prx-prx K = 0,5 x 5 x 100 - 5 x 5 x 10.000 200 = 125 TC = c.E = cr crx q qk = 0,5 x 0,5 - 0,5 x 0,5 x 100 0,005 0,005 x 200 = 50 25 = 25 = TR-TC = 125-25 = 100

Emax

18

Xo = k + kc 2 2pqk = 200 + 200 + 0,5 2 2x5x0,005x200 = 100 + 10 = 110 Xpo = = c pq

0,5 5x0,005 = 20 E = r_ 1 - rc q 2pq2k = 0,5 0,005 = 90 1 0,5 x 0,5 2x5x0,0052x200

Eo = r rc 2q 2pq2k = 0,5 0,05 0,01 2(5x(0,05)2x200 = 45

19

Kurva TR dan TC
30

hmax Ho

25 20 15

10 5 0 0 20 40 45 50 60 45 80 100 120

Eo

Emsy

3. Hitung Effort optimal dalam kondisi sole owner dan open access ! a. Open access E = r 1- c = 0,5 1 0,5 = 100 (0,9) = 90 q pqk 0,005 5 (0,005)(200) b. Sole owner Eo = r 1- c 2q pqk = 0,5 1 0,5 2x0,005 5 (0,005)(200)

= 50 (0,9) = 45

4. Hitung panen optimal dalam kondisi sole owner dan open access ! a. Open access h = rc 1- c = 0,5x0,5 1 0,5 = 10 (0,9) = 9 pq pqk 5 x 0,005 5 (0,005)(200) b. Sole owner ho = rk 1+ c 4 pqk 1 0,5 5(0,005)(200) = 25 (1.1) (0,9) = 24,75 5. Bahas hasil analisis

1-c = pqk

0,5 x200 4

1 + 0,5 5(0,005)(200)

20

Dari hasil yang di peroleh bahwa effort dari sole owner dari effort open akses atau dengan kata lain input yang dibutuhkan pada rezim sole owner hanya separuh dari input yang dibutuhkan pada rezim akses terbuka 6. Apa yang terjadi pada effort jika biaya naik 50% ? a. Open access E = r 1- c = 0,5 1 0,25 = 100 (0,95) = 95 q pqk 0,005 5 (0,005)(200) b. Sole owner Eo = r 1- c 2q pqk = 0,5 1 0,25 = 50 (0,95) = 47,5 2x0,005 5 (0,005)(200)

7. Apa yang terjadi pada panen jika biaya naik 25% ? a. Open access h = rc 1- c = 0,5x0,625 1 0,625 pq pqk 5 x 0,005 5 (0,005)(200) = 12,5(0,875)= 10,93 b. Sole owner ho = rk 1+ c 4 pqk 1 0,625 5(0,005)(200) = 25 (1.125) (0,875) = 24,60 8. Bahas kedua kenaikan tersebut dampaknya pada perikaan open access dan sole owner Apabila terjadi perubahan pada harga per satuan output (harga naik) maka dampaknya terhadap produksi dan upaya dalam kondisi akses terbuka maupun rezim sole owner akan berimplikasi bahwa kenaikan harga output akan menyebabkan terjadinya peningkatan upaya, dampak kenaikan harga terhadap tingkat upaya akan berpengaruh positif. Namun rezim dari pengelolaan open acess dan sole owner berbeda, dari hasil perhitungan dapat dilihat bahwa kenaikan harga yang sama menyebabkan kenaikan upaya pada perikanan yang dimiliki sole owner sebesar dari kondisi open access. Sedangkan dampak dari kenaikan harga pada produksi (panen) secara intuisi dapat diduga akan menaikan jumlah

1-c = pqk

0,5 x200 4

1 + 0,625 5(0,005)(200)

21

tangkap, dengan kata lain kenaikan harga ikan akan menimbulkan tekanan terhadap sumberdaya dengan berkurangnya stok ikan yang tersedia

2.5 Bio-economic modelling dalam aplikasi kebijakannya di Indonesia. Sumber daya ikan cenderung bersifat tervuka dan akan mengarah kepada pengelolaan yang tidak efisien, hal ini di sebabakan karena terlau banyak input yang digunakan pada perikanan sementra manfaat ekonomi yang di hasilkan sangat sedikit. Sementra itu Overfishing dan Overcapacity menjadi masalah serius dalam pengelolaan perikanan. Jika kita melihat dari teori Gordon maka salah satu cara mengembalikan perikanan pada tingkat pengelolaan yang optimal adalah dengan mengukuhkan hak dengan melalui rezim sole owner. Hal ini didasarkan pada argument bahwa mereka yang diberikan hak untuk mengelola sumber daya akan memiliki inisiatif untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan yang efisien secara ekonomis. Kepemilikan sumberdaya ikan melalui individu secara praktis akan sulit diterapkan, oleh karena itu kesepakan konvesional memberikan wewenag kepada pemerintah sebagai wakil publik atas kepemilikan sumber daya untuk menjadi sole ownlership dari sumber daya ikan tersebut. Contoh contoh kebijakan dalam perikanan tangkap di Indonesia dari implementasi dalam teori Gordon-Schaefer yaitu sebagai berikut : 1. Perizinan (Lisensi) Dengan menerapkan perizinan bukan saja ekstraksi dapat di kendalikan namun pemerintah juga memperoleh penerimaan dari sumber daya ikan. Perizinan menerapkan kaidah user fee principles dimana penggunaan sumber daya membayar hak atas ekstraksi sumber daya tersebut. Dari prinsip ini ada 3 hal yang di peroleh yaitu 1) Dengan adanya lisensi, perilaku free riders (Gratisan) dapat di hindari, prilaku gratisan akan mengarah kepada prilaku pemburuan rente yang akan memicu ekstrasi sumber daya ikan secara berlebihan dan akan mneguras sumberdaya ikan. Dengan adanya perizinanan perilaku ini bisa dikurangi atau dengan MCS (Monitoring.Control and Surveikance) yang baik dapat di hilangkan sama sekali. 2) Dengan adanya lisensi mereka yang kapasitas ekstraksinya rendah hanya membayar

22

oprasional terhadap kapsitas tersebut atau pembayarannya kecil dan sebaliknya. 3) Dengan adanya perizinanan, hanya mereka yang meliliki izin yang boleh memiliki akses terhadap sumberdaya sehingga tragedy of the common atau lebih dikenal dengan tragedy of open access bisa di hindari. Pada kenyataannya perizinan hanya berdampak kecil terhadap pengelolaan perikanan karena tetap menerapkan rezim akses terbuka, manfaat ekonomi tidak dihasilkan dan perikanan tetap dalam kondisi tidak efisien. Salah satu solusi yang lebih bermanfaat adalah menetapkan perizinann pada tingkat maximum economic yield (MEY) dan membawa tingkat upaya (effort) pada level tersebut. Dengan adanya informasi mengenai stock yang akurat penerepan perizinann dapat diakukan melalui basis per sepsis. Besaran per spesies ini berdasarkan pada nilai ekonomi yang dihasilkan oleh armada perikanan dan dikombinasikan dengan sifat dari sumber daya ikan. Selain itu perizinan dihitung dengan kapasitas dan karakteristik nelayan atau pelaku perikanan. 2. Pajak a. Pajak terhadap input perikanan (effort) Besaran pajak yang membawa unit upaya pada level MEY ini merupakan pajak optimal, namun pada praktiknya sulit untuk menentukan tingkat pajak optimal karena komponen effort bisa sangat beragam dan sulit menentukan komponen mana yang tepat yang harus di terapkan pajak. Ketika pajak diterapkan pada salah satu input misalnya gross tonnage maka akan terjadi subsstitusi dari input yang dikenakan pajak ke input yang tidak di kenakan pajak misalnya dengan menambah tenaga kerja, dengan demikian pajak semacam ini tidak berlaku efektif terhadap pengurangan kelebihan upaya pada perikanan. b. Pajak terhadap output Kebijakan pajak terhadap output berupa pajak per kg ikan yang di tangkap, meski penerapan pajak untuk mengkoreksi kelebihan upaya terlihat sangat mudah namun dalam praktiknya penerapan pajak pada sumberdaya perlu di cermati secara hati-hati. Beberapa kelemahan tipe ini adalah kesulitan

23

enforcement. Ikan yang didaratkan oleh nelayan dijual pada level pemasaran yang berbeda misalnya pengempul, pedagang, pemilik restoran dan sebagainya sehingga sulit menentukan tingkat pajak. Selain itu penerapan jenis pajak ini memungkinkan peraku perikanan untuk menghindari pembayaran pajak dengan mendaratkan pada tempat yang berbeda sehinga menyulitkan pemerintah untuk memperoleh data yang akurat dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan yang bertanggung jawab da berkelanjutan. 3. Kuota Penerapan kuota terhadap produksi (tangkap) mampu menghilangkan eksternalitas negarif yang sering terjadi pada perikanan. Dengan adanya kuota fenomena berlomba-lomba mencari ikan yang sering terjadi bisa dihilangkan karena setiap perilaku industri di pastikan akan memeperoleh bagian untuk menangkap. Selain itu kuota akan mendorong terjadinya efisiensi capital dan tenaga kapital dan tenaga kerja yang digunakan karena kuota memberikan hak kepemilikan secara parsial kepada nelayan, namun demikian penerapan kuota tidak menajmin terjadinya peningkatan input pada perikanan dan

menungkinkan terjadinya fenomena penumpukan Kapital. Selain itu kota bisa saja di tentukan secara lelang atau di jual dengan harga tertentu sehingga menentukan cara yang tepat akan menimbulkan biaya administrasi. Selain itu highgrading bisa timbul Karen apemilik kuota akan mengisi kuota iakan-ikan yang bernilai ekonomis tinggi sehingga by catch yang gilirannya akan menyulitkan pada pendugaan stock ikan. 4. Tangkapan MSY, Maksimum Berimbang Lestari DKP melakukan pendugaan potensi perikanan tangkap Indonesia berdasarkan metode perhitungan yang dikembangkan sejak tahun 1930. Schaefer, mencoba mengatasi kesulitan ini pada tahun 1950-an dengan metode berdasarkan analisis data effort atau upaya dengan hasil tangkap (Smith, 1988). Metode inilah yang digunakan oleh DKP, seperti juga banyak institusi perikanan lainnya di dunia, untuk menduga potensi hasil tangkapan (PCI 2001a; 2001b; 2001c; Venema, 1996). Secara esensial, DKP menelusuri informasi tentang jumlah armada

24

perikanan dengan jumlah total hasil tangkapan dari armada tersebut, dengan perhitungan sederhana bisa dihasilkan suatu penduga potensi hasil tangkap dan juga ukuran atau jumlah alat yang beroperasi untuk menghasilkan potensi tersebut. Potensi hasil tangkapan ini sering disebut dengan hasil

tangkapanmaksimum berimbang lestari (maximum sustainable yield), atau MSY. Terkait dengan kebijakan perikanan tangkap di Indonesia, sasaran pengelolaan ditentukan dari nilai MSY. Dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, sasaran pengelolaan perikanan tangkap Indonesia telah ditetapkan 80% dari nilai MSY (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005). Karena keuntungan ekonomi maksimum berada di bawah nilai MSY (Gulland, 1983), prinsip kehati-hatian pada kasus ini cukup beralasan, baik secara logika maupun dalam perhitungan ekonomi (rupiah). Publikasi terakhir memperoleh dugaan MSY sekitar 5,0 juta ton (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003a). Sebelumnya ada 5 (lima) studi yang sudah dilakukan terkait dengan MSY, yaitu: (a) Martosubroto, melalui tinjauan data akhir tahun 1980an yang didapatkan dari Dirjen Perikanan Tangkap bersama Balai Penelitian Perikanan Laut, (b) Dirjen Perikanan Tangkap 1995 melalui tinjauan data sejak awal tahun 1980an, (c) Indonesia/FAO/DANIDA 1995 melalui pengkajian semua data yang tersedia (Venema, 1996), (d) Pusat Riset Perikanan Tangkap melaui riset pengkajian stok bersama LIPI (Pusat Riset Perikanan Tangkap, 2001) dan (e) tinjauan ulang oleh Pacific Consultants International (PCI, 2001c). PCI menyajikan 6 (enam) penduga terhadap nilai MSY yang satu sama lain berbeda, bervariasi antara 3,67 sampai 7,7 juta ton. Hasil pendugaan terakhir pada tahun 2001 mendapatkan nilai 6,4 juta ton. Pada 25 Maret 2003, Komisi Pengkajian Stok Nasional memutuskan untuk melakukan pengkajian ulang terhadap hasil estimasi MSY tersebut (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003a). Sebagai kesimpulan, penduga terhadap MSY bervariasi dua kali lipat, sementara penduga dari hasil terakhir mendapatkan nilai tengah diantara yang terendah dan tertinggi, yaitu 5,0 ton per tahun. Menurut statistik terakhir, produksi perikanan tangkap Indonesia adalah 4,4 juta ton pada tahun 2002 (Departemen

25

Kelautan dan Perikanan, 2003c). Apakah perbedaan antara nilai MSY dengan produksi riil ini bisa diartikan sebagai ruang untuk memperluas armada perikanan? Jawabannya adalah tidak bisa. Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan, terkait dengan perhitungan nilai MSY. Pertama, hasil perhitungan sangat tergantung dari kualitas statistik perikanan yang digunakan sebagai input. Kedua, metode perhitungan selalu berdasarkan atas sejumlah asumsi yang sangat jarang sekali terpenuhi, dua asumsi yang paling penting diantaranya adalah stok ikan berada dalam kondisi keseimbangan serta hasil tangkap-per-unit-usaha (hasil tangkap per armada per hari) merupakan petunjuk yang baik bagi ukuran besarnya populasi. Yang terakhir, dan sering kali terjadi pada kasus perikanan tangkap Indonesia, adalah hasil dari perhitungan diterjemahkan berbeda dari kondisi seharusnya.

5. Kebijakan berbasus pengendalian stock yaitu diantaranya sebagai berikut : a. Daerah perlindungan laut atau Marie Protected Area b. Marine Ranching c. Restocking d. Kebijakan-kebijakan pengendalian pencemaran dan perilndungan habitat 6. Kebijakan bebasis non pasar yaitu diantaranya sebagai berikut : a. Pengukuhan hak perikanan tradisional b. Konsumsi selektif c. Ecolabelling d. Pengelolaan melalui pengasuhan e. Livelihood approach Dari beberapaka kebijakan lain, kebijakan ini lebih banyak pada penyadaran sifatnya voluntary maupun mandatory tanpa harus intensif bebasis pasar.

26

DAFTAR PUSTAKA

Fauzi, Ahmad.2010. Ekonomi perikanan pengelolaan).Gramedia pustaka utama. Jakarta

(teori

kebijakan

dan

Mukhtar.Api. Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Di Indonesia http://mukhtar-api.blogspot.com/2012/11/kebijakan-pengelolaan-perikanantangkap.html. (diakses tanggal 15 januari 2013pukul 19.00).

Anda mungkin juga menyukai