tengelam, dari ujung ke ujung dan sudut ke sudut dan tidak ada aktivitas tektonik.
Di dalam lempeng yang stabil tersebut, selanjutnya muncul pusat panas (hotspot) dari lapisan
astenosfer yang mengakibatkan adanya transfer panas secara tidak normal ke lempeng di
atasnya. Transfer panas tersebut dapat berupa magma mafik atau ultramafik yang naik ke
permukaan. Panas dari hot spot tersebut melelehkan batuan batuan di sekitarnya hingga
menyebabkan munculnya sesar-sesar normal yang menyebabkan terjadinya penurunan
(subsidence). Panas yang terus menerus terjadi menyebabkan hilangnya seluruh lempeng asal
akibat pelelehan yang digantikan dengan magma mafik membentuk lantai samudera baru. Panas
naik ke permukaan dari aliran konveksi yang tetap terkonsentrasi pasa pusat pemekaran di
tengah ocean basin baru, sehingga ocean basin memperluas batas kerak benua yang baru
terbentuk bergerak jauh dari sumber panas dan kemudian mendingin. Kerak dingin yang lebih
padat daripada kerak hangat (sebagai passive continental margin) mendingin lalu tenggelam,
dimana pada awalnya akan berlangsung secara cepat dan akhirnya melambat pada waktu thermal
decay (peluruhan panas).
Bouguer
negatif
(pada
daratan).
Cekungan
fleksural
yang
Fleksur
litosfer
dapat
menyebabkan
subsiden
primer
atau
tengah
samudera
(mid
oceanic
ridges),
pegunungan
laut
Buckling litosfer
Buckling litosfer telah teridentifikasi
(Australia
tengah,
Asia
tengah,
Kanada,
di
beberapa
Eropa
barat.
benua
Panjang
pegunungan.
Pada
kasus
ini,
teori
elastisitas
linear
Gambar 6. Beberapa tipe periodic buckling oleh gaya kompresional F, h1, dan h2 yang
masing-masing merupakan ketebalan kerak kompeten dan mantel, yang melipat
wavelength 1 dan 2.
Orogenic Wedges
Foreland basins secara dinamik berasosiasi dengan sabuk orogenik.
Evolusi orogenic wedge penting dalam perkembangan cekungan pada
berbagai cara: (i) Wedge mewakili supracrustal load pada lempeng foreland;
foreland, (ii)
Gambar 7. Model evolusi accretionary wedge dari muda ke tua (Platt, 1986). (a) Fase awal
dengan akresi frontal yang dominan. (b) underplating skala lokal merupakan
model dominan akresi, (c) underplating berlanjut dan pemanjangan resultan telah
mengangkat batuan tekanan tinggi ke permukaan, (d) pada stage dewasa,
underplating dan ekstensi telah membawa batuan tekanan tinggi ke level erosi.
Gambar 8. (a) Active margin dengan bivergent wedge yang diwakili dengan prisma akresi
dan retrobasin yang diwakili oleh forearc basin, dan probasin pada suatu palung
samudera. (b) zona kolisi benua-benua dengan cekungan pro-foreland dan retroforeland. (c) model geodinamik, menunjukkan deformasi kerak pada titik S, di
mana mantel lempeng di sebelah kiri, bergerak dengan kecepatan tangensial
konstan V.
Gambar 9. Evolusi perkembangan bivergent wedge (dari Willett el at., 1993) dari sebuah
pengangkatan blok diikat dengan dua zona shear berpasangan berpusat pada S
(a), pada sebuah bivergent wedge asimetris (b), dan retrowedge sebagai
pergerakan deformasi ke lempeng atas (c).
(buoyancy)
negatif
pada
downgoing
slab
(slab-pull
effect).
Kompleks subduksi membentuk zona shear yang relatif tipis di atas kerak
samudera tersubduksi.
Gambar 10. Tiga fase evolusi unsur regangan bidang terbatas (Beaumont et al., 1996a)
dari fase subduksi (fase 1) sampai ke fase kolisi (fase 3).
lempeng dan mempenetrasi kerak atau sesar transcurent yang terfokus hanya pada setting
intraplate dan hanya melibatkan pensesaran pada bagian atas dari kerak(Sylvester, 1988).
Kebanyakan cekungan yang dibentuk oleh sesar strike-slip memiliki ukuran relatif kecil,
beberapa puluh kilometer panjangnya, meskipun beberapa dapat mencapai ukuran hingga 50
km(Nilsen dan Sylvester, 1995). Cekungan ini dapat menunjukkan bukti adanya relif syndepositional lokal yang signifikan, seperti dijumpainya kehadiran baji konglomerat yang dibatasi
di kedua bagian sayap oleh sesar. Karena cekungan strike-slip dapat hadir dalam beberapa
setting, mereka dapat diisi baik oleh sedimen marin maupun nonmarin, tergantung pada setting
yang ada. Sedimen yang dijumpai pada cekungan ini cenderung cukup tebal, karena tingkat
sedimentasinya yang tinggi yang dihasilkan oleh proses pengerosian yang cepat dari tinggian di
sekitar cekungan ini, serta ditandai dengan adanya beberapa perbedaan fasies lokal.
Seperti yang dijelaskan pada poin sebelumnya, cekungan pada setting transform dapat
dibagi menjadi transtensional, transpresional, atau transrotasional tergantung pada keadaan
apakah cekungan tersebut dibentuk oleh mekanisme ekstensi, kompresi, atau rotasi dari blok
krustal di sepanjang sistem sesar strike-slip. Cekungan Ridge, California adalah salah satu
contoh yang baik dari cekungan transpresional purba.
Pergerakan strike-slip dari sesar San Gabriel pada zaman Pliosen/Miosen mengakibatkan
terbentuknya cekungan danau dengan ukuran 15 km hingga 40 km, dimana sedimen dengan
ketebalan hingga lebih dari 9000 meter terakumulai(Link dan Osborne, 1978). Pada awalnya,
cekungan danau ini terbuka(Gambar ____a), memberi kesempatan pada sedimen deltaik dan
turbidit untuk terbentuk. Sebagai hasil dari displacement sesar strike-slip selanjutnya, drainase
eksternal menjadi terhambat pada bagian selatan dan cekungan danau ini menjadi sistem
tertutup. Pada fase penutupan, kipas alluvial, fluvial, delta, dan sedimen barier bar terakumulasi
di sepanjang batas dari danau ini, sedangkan lumpur silisiklastik, lumpur zeolit, dolomit, dan
stromatolit terbentuk pada bagian pusat dari cekungan(Gambar ______b.).
Gambar 6. Rekonstruksi paleoenviroment cekungan Ridge California saat terjadinya (a) proses
pembukaan, fase laut dalam dan lakustrin dan (b) proses penutupan, fase laut dangkal-lakustrin.
2.4 Pengisian Cekungan Sedimen
2.4.1 Kontrol dari Stratigrafi Cekungan
Pembahasan sebelumnya lebih banyak difokuskan kepada karakteristik struktural dari
suatu cekungan sedimen dan proses tektonik yang membentuk cekungan tersebut. Kendati
demikian analisis cekungan lebih menitik beratkan pada endapan sedimen yang mengisi
cekungan tersebut. Fokus dari cabang ilmu geologi ini mencakup proses yang menghasilkan
isian dari suatu cekungan, karakteristik dari produk sedimen dan batuan sedimennya, dan aspek
genetik serta signifikansi ekonomis dari batuan tersebut. Faktor-faktor yang mengontrol dan
mempengaruhi proses pengendapan suatu sedimen antara lain adalah:
-
Aspek litologi dari batuan asal (contohnya granit, batuan metamorf, dll) yang hadir di
area sumber sedimen, yang mengontrol komposisi sedimen yang berasal dari batuan ini.
Relief, kemiringan lereng, dan iklim di area sumber sedimen, yang mengontrol intensitas
pengendapan, dan juga intensitas transportasi sedimen dari area sumber sedimen menuju
ke cekungan pengendapan.
Intensitas penurunan cekungan bersama dengan intensitas naik atau turunnya muka air
laut.
Ukuran dan bentuk dari cekungan sedimen.
Proses stratigrafi sebagaimana didefinisikan dalam Allen & Allen (2005) adalah ilmu
pengenalan dan interpretasi struktur genetik stratigrafi. Tujuan mendasar dari proses stratigrafi
adalah untuk memahami mekanisme yang terjadi untuk berbagai arsitektur stratigrafi yang
ditemukan di cekungan sedimen. Konsep utama dari proses stratigrafi adalah penghancuran
ruang akomodasi dan jumlah sedimen yang disediakan.Isian sedimen pada cekungan secara
umum dikendalikan oleh tiga variabel utama:
-
Subsidence
"Sifat termal dan mekanik litosfer mengerahkan kontrol penting pada pembentukan
cekungan sedimen" (Steckler, 1990). Tingkat subsidence termal dan besarnya dan
distribusi subsidence akibat pembebanan bervariasi dalam cekungan pada tatanan
Atau dapat diartikan pula bila suatu sungai dengan muatan sedimen yang besar mengalir dari
bukit atau pegunungan, dan masuk ke dataran rendah, maka akan terjadi perubahan gradien
kecepatan yang drastis, sehingga terjadi pengendapan material yang cepat, yang dikenal sebagai
kipas aluvial, berupa suatu onggokan material lepas, berbentuk seperti kipas, biasanya terdapat
pada suatu dataran di depan suatu gawir. Biasanya material kasar diendapkan dekat kemiringan
lereng, sementara yang halus terendapkan lebih jauh pada pedataran, tetapi secara keseluruhan
lingkungan ini mengendapkan sendimen-sendimen yang berukuran besar seperti bongkahan
batuan.
3. Sungai
Berdasarkan morfologinya sistem sungai dikelompokan menjadi 4 tipe sungai, sungai lurus
(straight), sungai teranyam (braided), sungai anastomasing, dan sungai kekelok (meandering).
Pertama Sungai lurus (Straight), Sungai lurus umumnya berada pada daerah bertopografi terjal
mempunyai energi aliran kuat atau deras. Energi yang kuat ini berdampak pada intensitas erosi
vertikal yang tinggi, jauh lebih besar dibandingkan erosi mendatarnya. Kondisi seperti itu
membuat sungai jenis ini mempunyai pengendapan sedimen yang lemah, sehingga alirannya
lurus tidak berbelok-belok (low sinuosity). Kedua Sungai kekelok (Meandering) , pada sungai
tipe ini erosi secara umum lemah sehingga pengendapan sedimen kuat. Erosi horisontalnya lebih
besar dibandingkan erosi vertikal, perbedaan ini semakin besar pada waktu banjir. Hal ini
menyebabkan aliran sungai sering berpindah tempat secara mendatar. Ini terjadi karena adanya
pengikisan tepi sungai oleh aliran air utama yang pada daerah kelokan sungai pinggir luar dan
pengendapan pada kelokan tepi dalam. Ketiga Sungai teranyam, Biasanya tipe sungai teranyam
ini diapit oleh bukit di kiri dan kanannya. Endapannya selain berasal dari material sungai juga
berasal dari hasil erosi pada bukit-bukit yang mengapitnya yang kemudian terbawa masuk ke
dalam sungai. Runtunan endapan sungai teranyam ini biasanya dengan pemilahan dan kelulusan
yang baik, sehingga bagus sekali untuk batuan waduk (reservoir). Keempat Sungai
anastomasing, energi alir sungai tipe ini rendah. Ada perbedaan yang jelas antara sungai
teranyam dan sungai anastomosing. Pada sungai teranyam (braided), aliran sungai menyebar dan
kemudian bersatu kembali menyatu masih dalam lembah sungai tersebut yang lebar. Sedangkan
untuk sungai anastomasing adalah beberapa sungai yang terbagi menjadi beberapa cabang sungai
kecil dan bertemu kembali pada induk sungai pada jarak tertentu.
4. Danau
Danau atau Lacustrin adalah suatu lingkungan tempat berkumpulnya air yang tidak
berhubungan dengan laut. Lingkungan ini bervariasi dalam kedalaman, lebar dan salinitas yang
berkisar dari air tawar hingga hipersaline. Pada lingkungan ini juga dijumpai adanya delta,
barried island hingga kipas bawah air yang diendapkan dengan arus turbidit. Danau juga
mengendapkan klastika dan endapan karbonat termasuk oolit dan terumbu dari alga. Pada daerah
beriklim kering dapat terbentuk endapan evaporit. Endapan danau ini dibedakan dari endapan
laut dari kandungan fosil dan aspek geokimianya. Danau dapat terbentuk melalui beberapa
mekanisme, yaitu berupa pergerakan tektonik sebagai pensesaran dan pemekaran; proses glasiasi
seperti ice scouring, ice damming dan moraine damming (penyumbatan oleh batu); pergerakan
tanah atau hasil dari aktifitas volkanik sebagai penyumbatan lava atau danau kawah hasil
peledakan.
5. Delta
Proses pembentukan delta adalah akibat akumulasi dari sedimen fluvial (sungai) pada
lacustrine atau marine coastline. Delta merupakan sebuah lingkungan yang sangat komplek
dimana beberapa faktor utama mengontrol proses distribusi sedimen dan morfologi delta, faktorfaktor tersebut adalah regime sungai, pasang surut (tide), gelombang, iklim, kedalaman air dan
subsiden (Tucker, 1981). Untuk membentuk sebuah delta, sungai harus mensuplai sedimen
secara cukup untuk membentuk akumulasi aktif, dalam hal ini prograding system. Secara
sederhana ini berarti bahwa jumlah sedimen yang diendapkan harus lebih banyak dibandingkan
dengan sedimen yang terkena dampak gelombang dan pasang surut. Dalam beberapa kasus,
pengendapan sedimen fluvial ini banyak berubah karena faktor diatas, sehingga banyak
ditemukan variasi karakteristik pengendapan sedimennya, meliputi distributary channels, rivermouth bars, interdistributary bays, tidal flat, tidal ridges, beaches, eolian dunes, swamps,
marshes dan evavorites flats (Coleman, 1982). Ketika sebuah sungai memasuki laut dan terjadi
penurunan kecepatan secara drastis, yang diakibatkan bertemunya arus sungai dengan
gelombang, maka endapan-endapan yang dibawanya akan terendapkan secara cepat dan
terbentuklah sebuah delta. Deposit (endapan) pada delta purba telah diteliti dalam urutan umur
stratigrafi, dan sedimen yang ada di delta sangat penting dalam pencarian minyak, gas, batubara
dan uranium.
6. Pantai, Pulau Barrier, dan Gumuk Pasir
Transfor sedimen sepanjang pantai merupakan gerakan sedimen di daerah pantai yang
disebabkan oleh gelombang dan arus yang dibangkitkannya (Komar : 1983). Transfor sedimen
ini terjadi di daerah antara gelombang pecah dan garis pantai akibat sedimen yang dibawanya
(Carter, 1993). Menurut Triatmojo (1999) transfor sedimen sepanjang pantai terdiri dari dua
komponen utama yaitu transfor sedimen dalam bentuk mata gergaji di garis pantai dan transfor
sedimen sepanjang pantai di surf zone. Transfor sedimen pantai banyak menimbulkan fenomena
perubahan dasar perairan seperti pendangkalan muara sungai erosi pantai perubahan garis pantai
dan sebagainya (Yuwono, 1994). Fenomena ini biasanya merupakan permasalahan terutama pada
daerah pelabuhan sehingga prediksinya sangat diperlukan dalam perencanaan ataupun penentuan
metode penanggulangan. Menurut Triatmojo (1999) beberapa cara yang biasanya digunakan
antara lain adalah :Melakukan pengukuran debit sedimen pada setiap titik yang ditinjau,
sehingga secara berantai akan dapat diketahui transfor sedimen yang terjadi, Menggunakan peta/
foto udara atau pengukuran yang menunjukan perubahan elevasi dasar perairan dalam suatu
periode tertentu. Cara ini akan memberikan hasil yang baik jika di daerah pengukuran terdapat
bangunan yang mampu menangkap sedimen seperti training jetty, groin, dan sebagainya, Rumus
empiris yang didasarkan pada kondisi gelombang dan sedimen pada daerah yang di tinjau. Bukit
pasir bervariasi dalam ukuran butir dari 1,6 - 0,1 mm. Endapan bukit pasir umumnya terdiri dari
tekstur pasir yang terpilah baik dan kebundaran baik juga ;kaya akan kwarsa. Endapan bukit
pasir di pantai mungkin kaya akan mineral berat dan fragmen batuan yang tidak stabil. Bukit
pasir di pantai yang terjadi didaerah tropis banyak mengandung ooid, fragmen cangkang, atau
butiran karbonat lainnya. Bukit pasir yang terdapat di daerah gurun dapat mengandung gypsum
seperti White Sand, New Mexico. Bukit pasir dapat pula terbentuk di muka pantai. Meskipun
demikian hanya terjadi pada pantai pada daerah kering dimana vegetasi (tumbuhan) tidak ada.
Angin kering yang kuat dengan arah tegak lurus pantai secara aktif memindahkan pasir menjadi
gundukan pasir. Hanya sedikit gugusan bukit pasir di muka pantai yang terjadi pada daerah curah
hujan rendah.
7. Rawa
Rawa adalah daerah di sekitar sungai atau muara sungai yang cukup besar yang merupakan
tanah lumpur dengan kadar air relative tinggi. Wilayah rawa yang luas terdapat di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Papua (Irian Jaya). Daerah berawa-rawa terjadi mengikuti perluasan
daratan karena meditasi akuatis. Oleh karena itu, rawa dapat dijumpai pada tempat-tempat yang
syarat-syarat sedimentasi akuatisnya memungkinkan, misalnya daerah-daerah pantai Papua (Irian
Jaya), pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera dan pantai Kalimantan. Bila sungai dipasok lebih
banyak sedimen dari pada kemampuan sungai untuk membawa sedimen tersebut, maka akan
diendapkan material berlebih pada dasar kanal sebagai sand and gravel bars. Pengendapan ini
mendorong sungai untuk memecah kanal menjadi dua atau lebih kanal sehingga terbentuklah
pola sungai teranyam (braided river).
8. Lagoon
Lagun atau Lagoon adalah suatu kawasan berair dangkal yang masih berhubungan dengan
laut lepas, dibatasi oleh suatu punggungan memanjang (barrier) dan relatif sejajar dengan pantai
(Gambar VII.15). Maka dari itu lagun umumnya tidak luas dan dangkal dengan energi rendah.
Beberapa lagun yang dianggap besar, misalnya Leeward Lagoon di Bahama luasnya hanya
10.000 km dengan kedalaman + 10 m (Jordan, 1978, dalam Bruce W. Sellwood, 1990). Akibat
terhalang oleh tanggul, maka pergerakan air di lagun dipengaruhi oleh arus pasang surut yang
keluar/masuk lewat celah tanggul (inlet). Kawasan tersebut secara klasik dikelompokkan sebagi
daerah peralihan darat - laut (Pettijohn, 1957), dengan salinitas air dari tawar (fresh water)
sampai sangat asin (hypersalin). Keragaman salinitas tersebut akibat adanya pengaruh kondisi
hidrologi, iklim dan jenis material batuan yang diendapkan di lagun. Lagun di daerah kering
memiliki salinitas yang lebih tinggi dibanding dengan lagun di daerah basah (humid), hal ini
dikarenakan kurangnya air tawar yang masuk ke daerah itu. Berdasarkan batasan-batasan
tersebut diatas maka batuan sedimen lagun sepintas kurang berarti dalam aspek geologi. Akan
tetapi bila diamati lebih rinci mengenai aspek lingkungan pengendapannya, lagun akan dapat
bertindak sebagai penyekat perangkap stratigrafi minyak. Transportasi material sedimen di lagun
dilakukan oleh, air pasang energi ombak, angin yang dengan sendirinya dikendalikan iklim
sehingga akan mempengaruhi kondisi biologi dan kimia lagun.
9. Laut Dangkal (Shelf Environment)
Daerah shelf merupakan daerah lingkungan pengendapan yang berada diantara daerah laut
dangkal sampai batas shelf break . Heckel (1967) dalam Boggs (1995) membagi lingkungan
shelf
ini
menjadi
dua
jenis,
perikontinental
(marginal)
dan
epikontinental
epeiric). Perikontinental shelf adalah lingkungan laut dangkal yang terutama menempati daerah
di sekitar batas kontinen (transitional crust) shelf dengan laut dalam. Perikontinental seringkali
kehilangan sebagian besar dari endapan sedimennya (pasir dan material berbutir halus lainnya),
karena endapan-endapan tersebut bergerak memasuki laut dalam dengan proses arus traksi dan
pergerakan graviti (gravity mass movement). Karena keberadaannya di daerah kerak transisi
(transitional crust), perikontinental juga sering menunjukan penurunan (subsidence) yang besar,
khususnya pada tahap awal pembentukan cekungan, yang dapat mengakibatkan terbentuknya
endapan yan tebal pada daerah ini (Einsele, 1992). Sedangkan epikontinental adalah lingkungan
laut yang berada pada daerah kontinen (daratan) dengan sisi-sisinya dibatasi oleh beberapa
daratan. Daerah ini biasanya dibentuk jauh dari pusat badai (storm) dan arus laut, sehingga
seringkali terproteksi dengan baik dari kedua pengaruh tersebut. Jika sebagian dari daerah epeiric
ini tertutup, maka ini akan semakin tidak dipengaruhi oleh gelombang dan arus tidal. Skema
penampang lingkungan pengendapan laut (Boggs, 1995) Ada enam faktor yang mempengaruhi
proses sedimentasi pada lingkungan shelf (Reading, 1978), yaitu : 1. kecepatan dan tipe suplai
sedimen 2. tipe dan intensitas dari hidrolika regime shelf 3. fluktuasi muka air laut 4. iklim 5.
interaksi binatang sedimen 6. faktor kimia Pasir shelf modern sebagian besar (70%) adalah
berupa relict sedimen, meskipun kadang-kadang daerah shelf ini menerima secara langsung
suplai pasir dari luar daerah, seperti dari mulut sungai pada saat banjir dan dari pantai pada saat
badai (Drake et al, 1972 dalam Reading, 1978). Endapan sedimen pada lingkungan shelf modern
umumnya sangat didominasi oleh lumpur dan pasir, meskipun kadang-kadang dijumpai
bongkah-bongkah relict pada beberapa daerah.
10. Reefs
Terumbu atau reef merupakan lingkungan yang unik yang sangat berbeda dari bagian
lingkungan pengendapan lainnya di lingkungan paparan (shelf). Terumbu ini umumnya dijumpai
pada bagian pinggir platform paparan luar (outer-shelf) yang hampir menerus sepanjang arah
pantai, sehingga merupakan penghalang yang efektif terhadap gerakan gelombang yang
melintasi paparan tersebut. Disamping terumbu berkembang seperti massa yang menyusur
sepanjang garis pantai diatas, juga dapat berkembang sebagai patch yang terisolir dalam
paparan bagian dalam atau inner-shelf . Istilah lain untuk terumbu ini, ada yang menyebutnya
dengan carbonate buildup atau bioherm. Tetapi para pekerja karbonat tidak menyetujui
penggunaan istilah terumbu hanya dibatasi untuk carbonat-buildup atau inti yang kaku,
pertumbuhan koloni organisme, atau carbonat - buildup lainnya yang tidak memiliki inti
kerangka yang kaku. Wilson (1975) menggunakan istilah carbonat-buildup untuk tubuh yang
secara lokal, terbatas secara lateral, merupakan hasil proses relief tofografi, dan tanpa
mengaitkan dengan hiasan pembentuk internalnya.
11. Laut Dalam
Sekitar 70% daerah bumi ini merupakan daerah cekungan laut dengan alas kerak samudra
tipe basaltis. Daerah cekungan laut dalam merupakan daerah yang pada bagian atanya dibatasi
oleh lingkungan shelf pada zona break, secara topografi ditandai dengan kemiringan yang curam
(lebih besar) dibandingkan dengan shelf. Berdasarkan dari fisiografinya, lingkungan laut dalam
ini dibagi menjadi tiga daerah yaitu, continental slope, continental rise dan cekungan laut dalam .
Prinsip elemen dari Kontinental margin (Drake, C.L dan Burk, 1974 dalam Boggs, 1995) Lereng
benua (continental slope) dan continental rise merupakan perpanjangan dari shelf break.
Kedalaman lereng benua bermula dari shelf break dengan kedalaman rata-rata 130 m sampai
dengan 1500-4000 m. Kemiringan pada lereng benua ini sekitar 40, walaupun ada variasi pada
lingkungan delta (20) dan pada lingkungan koral (450) (Boggs, 1995). Sedangkan kemiringan
pada continental rise biasanya lebih kecil dibandingkan kemiringan pada lereng benua. Karena
lerengnya yang cukup curam dibandingkan paparan, pada lereng benua ini sering merupakan
daerah dari pergerakan arus turbidit. Continental rise biasanya tidak akan ada pada daerah
convergen atau aktif margin dimana subduksi berlangsung. Morfologi pada lereng benua ini
sering menunjukan bentuk cembung, kecuali pada daerah-daerah yang yang mempunyai stuktur
sangat aktif. Volume endapan sedimen yang dapat mencapai lereng benua dan continental rise ini
akan sangat bergantung pada lebarnya shelf dan jumlah sedimen yang ada. Continental rise dan
cekungan laut dalam membentuk sekitar 80% dari total dasar laut.
2.5 Evolusi Pengisian Sedimen
2.5.1 Evolusi Sejarah Subsidence
Teori geosinklin menyatakan bahwa suatu daerah sempit pada kerak bumi mengalami
depresi selama beberapa waktu sehingga terendapkan secara ekstrem sedimen yang tebal. Proses
pengendapan ini menyebabkan subsidence (penurunan) pada dasar cekungan. Endapan sedimen
yang tebal dianggap berasal dari sedimen akibat proses orogenesa yang membentuk
pengunungan lipatan dan selama proses ini endapan sedimen yang telah terbentuk akan
mengalami metamorfosa.Pada intinya, golongan ilmuwan menganggap bahwa gaya yang bekerja
pada bumi merupakan gaya vertical. Artinya, semua deformasi yang terjadi diakibatkan oleh
gaya utama yang berarah tegak lurus dengan bidang yang terdeformasi.
depresi selama beberapa waktu sehingga terendapkan secara ekstrim sedimen yang tebal. Proses
pengendapan ini menyebabkan subsidence (penurunan) pada dasar cekungan. Endapan sedimen
yang tebal dianggap berasal dari sedimen akibat proses orogenesa yang membentuk
pengunungan lipatan dan selama proses ini endapan sedimen yang telah terbentuk akan
mengalami metamorfosa.Terdeformasinya batuan di dalamnya dapat dijelaskan sebagai akibat
dari menyempitnya cekungan, sehingga batuan di dalamnya terlipat dan tersesarkan. Pergerakan
ini terjadi akibat adanya gaya penyeimbang atau isostasi.Kelemahan dari teori yakni tidak
bisanya menjelaskan asal-usul vulkanik. Pada intinya, golongan ilmuwan menganggap bahwa
gaya yang bekerja pada bumi merupakan gaya vertical. Artinya, semua deformasi yang terjadi
diakibatkan oleh gaya utama yang berarah tegak lurus dengan bidang yang terdeformasi.
2.5.1 Evolusi Sejarah Subsidence
Teori geosinklin menyatakan bahwa suatu daerah sempit pada kerak
bumi mengalami depresi selama beberapa waktu sehingga terendapkan
secara ekstrem sedimen yang tebal. Proses pengendapan ini menyebabkan
subsidence (penurunan) pada dasar cekungan. Endapan sedimen yang tebal
dianggap berasal dari sedimen akibat proses orogenesa yang membentuk
pengunungan lipatan dan selama proses ini endapan sedimen yang telah
terbentuk akan mengalami metamorfosa. Pada intinya, golongan ilmuwan
menganggap bahwa gaya yang bekerja pada bumi merupakan gaya vertical.
Artinya, semua deformasi yang terjadi diakibatkan oleh gaya utama yang
berarah tegak lurus dengan bidang yang terdeformasi.
Gambar 15. Contoh evolusi cekungan sedimen dan kaitannya dengan subsidence
Teori
ini
dikonsep
oleh
Hall
pada
tahun1859
yang
kemudian
dipublikasikan oleh Dana pada tahun 1873. Teori ini bertujuan untuk
menjelaskan terjadinya endapan batuan sedimen yang sangat tebal, ribuan
meter dan memanjang seperti pada Pegunungan Himalaya, Alpina dan
Andes.
Konsep
tersebut
menyatakan
bahwa
geosinklin
terbentuk
memanjang atau seperti cekungan dalam skala ribuan meter, yang terus
menurun akibat dari akumulasi batuan sedimen dan volkanik.Sedangkan
geosinklin adalah suatu daerah sempit pada kerak bumi mengalami depresi
selama beberapa waktu sehingga terendapkan secara ekstrim sedimen yang
tebal. Proses pengendapan ini menyebabkan subsidence (penurunan) pada
dasar cekungan. Endapan sedimen yang tebal dianggap berasal dari
sedimen akibat proses orogenesa yang membentuk pengunungan lipatan
dan selama proses ini endapan sedimen yang telah terbentuk akan
mengalami metamorfosa. Terdeformasinya batuan di dalamnya dapat
dijelaskan sebagai akibat dari menyempitnya cekungan, sehingga batuan di
dalamnya terlipat dan tersesarkan. Pergerakan ini terjadi akibat adanya gaya
penyeimbang atau isostasi. Kelemahan dari teori yakni tidak bisanya
menjelaskan
asal-usul
vulkanik.
Pada
intinya,
golongan
ilmuwan
menganggap bahwa gaya yang bekerja pada bumi merupakan gaya vertical.
Artinya, semua deformasi yang terjadi diakibatkan oleh gaya utama yang
berarah tegak lurus dengan bidang yang terdeformasi.
2.5.2 Sejarah Termal
Temperatur merupakan parameter yang paling penting untuk dipelajari
dalam
kaitannya
terhadap
evolusi
cekungan.
Pemodelan
cekungan
Parameter
bahan
thermofisik
dari
batuan
sedimen
mengisi
tengelam, dari ujung ke ujung dan sudut ke sudut dan tidak ada aktivitas
tektonik. Di dalam lempeng yang stabil tersebut, selanjutnya muncul pusat
panas (hotspot) dari lapisan astenosfer yang mengakibatkan adanya transfer
panas secara tidak normal ke lempeng di atasnya. Transfer panas tersebut
dapat berupa magma mafik atau ultramafik yang naik ke permukaan. Panas
dari hot spot tersebut melelehkan batuan batuan di sekitarnya hingga
menyebabkan munculnya sesar-sesar normal yang menyebabkan terjadinya
penurunan (subsidence).
Sejarah termal cekungan secara umum juga dapat disebabkan dari
adanya peningkatan gradient termal seiring dengan adanya peningkatan
kedalaman. Semakin kuat akomodasi seuatu cekungan terhadap material
sedimen, semakin besar pula suhu sistem termal yang terjadi seiring dengan
peningkatan jumlah sedimen.
Referensi:
1. Dickinson. 1993. Basin Geodynamics. Basin Research. Geological Society of American
Bulletin (5): 195-196.
2. Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Gunungapi. 2006. Gunungapi.
3. Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Gunungapi. 2006. Gempabumi dan
4.
5.
6.
7.
Tsunami.
www.volcanolive.com/highest.html
www.infoplease.com/ipa/A0001439.html
http://www.wikipedia.org/wiki/pacific_ring_of_fire
www.volcano.si.edu/world/find_regions.cmf