Anda di halaman 1dari 4

Purwanto / Analisis Kemampuan Inkuiri dan Hasil Belajar Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Model Pembelajaran

Berbassis Model Hierarki Of Inquiry

107

Analisis Kemampuan Inkuiri dan Hasil Belajar Siswa Sekolah Menengah


Pertama melalui Model Pembelajaran berbasis Model Hierarki Of Inquiry
Purwanto1, Winny Liliawati1, Rahmat Hidayat2
1

Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI


Mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI
Jl. Setiabudhi No 229 Bandung
poenkpwt@gmail.com
2

Abstrak Pembelajaran fisika di SMP masih menekankan kepada penguasaan konsep, belum melatihkan kemampuankemampuan dasar sains kepada diri siswa seperti kemampuan berinkuiri. Rendahnya kemampuan inkuiri ini tidak terlepas
dari model pembelajaran yang digunakan selama ini. Metode yang sering digunakan dalam pembelajaran fisika masih
didominasi oleh guru. Penerapan proses pembelajaran fisika belum dilakukan secara optimal dan harus segera di ditemukan
langkah yang tepat untuk memperbaiki proses pembelajaran fisika. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut
adalah melalui model pembelajaran dengan menerapkan model Hierarki of Inquiry. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu quasi eksperiment sedangkan desain penelitian yang digunakan yaitu One Group Pretest-Posttest Design. Instrumen
yang digunakan yaitu tes dan lembar observasi. Hasil penelitian yang dilakukan pada 36 siswa, menunjukan kemampuan
berinkuiri siswa berada pada kategori kurang terampil dengan nilai IPK sebesar 36,62%. Hasil belajar siswa pada ranah
kognitif secara keseluruhan meningkat dengan nilai <g> 0,53 dengan kategori sedang, aspek afektif pada kategori cukup
terampil sebesar 69%, dan aspek psikomotor pada kategori cukup terampil sebesar 62,33%. Kesimpulan dari penelitian ini
bahwa dengan menggunakan model pembelajaran level of inquiry dapat melatihkan kemampuan berinkuiri siswa, hasil
belajar siswa pada ranah afektif, dan hasil belajar siswa pada ranah psikomotor.
Kata kunci: Model Pembelajaran Level of Inquiry, Kemampuan berinkuiri, kognitif, afektif, dan psikomotor
Abstract Learning physics at Junior High School still emphasizing to mastery concept, yet not to train ability of basic
science, such as inquiry ability. Because of a model of learning is used during this time. A method that often used in the
learning of physics are still dominated by the teacher. The application of a learning process of physics has not been performed
optimally and should be immediately in found the right steps to improve the learning process of physics. Effort to overcome the
problem is through a model of learning by applying a model of a hierarchy of inquiry. Methods used in this research are quasi
experiment while design research is one group pretest-posttest design. An instrument use tests and sheets of observation. The
research conducted by students, on 36 showed the ability of inquiry. The study result of inqury ability students is less skillful
with value amounting to 36,62.The domain of cognitive overall increases with the value of gain 0,53 with medium category,
the aspect of affective is enough skilled set at 69 %, and psychomotor is enough skilled at 62,33 %. The conclusion of this
research that with use the model of learning level of inquiry can be train students inquiry skill, affective, and psychomotor.
Key words: Level of Inquiry model, Students inquiry skill, cognitive, affective, and psychomotor

I. PENDAHULUAN
Proses pembelajaran sains dapat membangkitkan rasa
ingin tahu untuk mendorong siswa agar melakukan proses
penyelidikan ilmiah hingga mendapatkan jawaban dari
pertanyaan yang dikembangkan berdasarkan hasil analisis
terhadap fakta (doing sains). Melalui sains, bukan hanya
penguasaan sekumpulan pengetahuan yang berupa faktafakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga
merupakan suatu proses penemuan.
Fisika sebagai salah satu mata pelajaran sains dapat
dijadikan sebagai media yang sangat baik dalam melatih
berbagai kemampuan peserta didik. Melalui fenomena sains
dimana siswa dapat melatih kemampuan: mengamati,
menganalisa, berhipotesa, memprediksi, merangkai,
mengukur dan menarik kesimpulan. Kemampuan-

kemampuan tersebut berdampak pada perkembangan


potensi diri siswa dapat tumbuh dan terbentuk dengan baik.
Salah satu upaya untuk menyajikan Fisika sebagai
produk dan proses penemuan adalah dengan model
pembelajaran berbasis inkuiri. Hal ini sejalan dengan apa
yang dinyatakan oleh Gulo [1] bahwa strategi inkuiri berarti
suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara
maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan
menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga
mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan
penuh percaya diri sehingga dengan model pembelajaran
tersebut kemampuan berinkuiri siswa diharapkan dapat
tumbuh dan berkembang. Hal inilah yang hingga kini
dirasakan masih menjadi persoalan besar dalam
pembelajaran fisika. Pembelajaran fisika di sekolah
khususnya sekolah menengah pertama masih menekankan

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVII HFI Jateng & DIY, Solo, 23 Maret 2013
ISSN : 0853-0823

108

Purwanto / Analisis Kemampuan Inkuiri dan Hasil Belajar Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Model Pembelajaran
Berbassis Model Hierarki Of Inquiry

kepada penguasaan konsep, belum melatihkan kemampuankemampuan dasar sains kepada diri siswa misalnya
kemampuan berinkuiri. Rendahnya kemampuan inkuiri ini
tidak terlepas dari model pembelajaran yang digunakan
selama ini. Metode yang sering digunakan dalam
pembelajaran fisika masih didominasi oleh guru.
Gambaran permasalahan di atas menunjukkan bahwa
proses pembelajaran fisika belum dilakukan secara optimal
dan harus segera di ditemukan langkah yang tepat untuk
memperbaiki proses pembelajaran fisika. Upaya yang
dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan
mengembangkan model pembelajaran dengan menerapkan
model Hierarki of Inquiry. Pada jurnal Levels of Inquiry:
Using inquiry spectrum learning sequences to teach
science yang dikembangkan oleh Carl J. Wenning [2]
memperkenalkan sebuah model pembelajaran berbasis
inkuiri yang dikenal dengan model pembelajaran Hierarki of
Inquiry atau level kegiatan berinkuiri. Pada jurnal tersebut
Wenning mengelompokan kedalam lima level tingkat
kesulitan menerapkan inkuiri. Kelima level inkuiri itu
adalah discovery learning, interactive demonstration,
inquiry lesson, inquiry lab dan hypothetical inquiry.
II. LANDASAN TEORI
A. Model Pembelajaran Level of Inquiry
Hierarki dapat diartikan sebagai urutan pelaksanaan suatu
kegiatan, sehingga hierarchy of inquiry diartikan sebagai
urutan kegiatan pembelajaran berinkuiri. Wenning
mengelompokkan ke dalam lima level dalam menerapkan
kegiatan berinkuiri yaitu discovery learning, interactive
demonstration, inquiry lesson, inquiri lab dan hypothetical
inquiry [3,4]. Ke lima level pembelajaran inkuiri tersebut
diurutkan berdasarkan dua hal, yaitu kecerdasan intelektual
dan pihak pengontrol. Kecerdasan intelektual adalah
kecerdasan yang dimiliki oleh siswa dalam mengikuti
pembelajaran dengan metode tertentu, sedangkan pihak
pengontrol adalah pihak yang mengontrol kegiatan
pembelajaran. Pihak pengontrol adalah pihak yang
mendominasi dalam melaksanakan setiap tahapan
pembelajaran,
yaitu berperan dalam menemukan
permasalahan, melakukan percobaan, hingga merumuskan
kesimpulan. Tabel 1 menyatakan urutan pelaksanaan
pembelajaran inkuiri yang di jabarkan oleh Wenning pada
jurnal Level of inquiry : Hierarchies of pedagogical
practices and inquiry processes.
Tabel 1 Urutan Pelaksanaan Model Pembelajaran Level of Inquiry.
Discovery
Learning
Rendah
Guru

Int
Inquiry
Inquiry
Dem
Lesson
Lab
Kecerdasan Intelektual
Pihak Pengontrol

Pure Hyp Inquiry


Applied HypInquiry
Tinggi
Siswa

Urutan pelaksanaan pembelajaran inkuiri pada tabel


diatas bergerak dari arah kiri kekanan. Peningkatan
kecerdasan yang dimiliki siswa dalam pelaksanaan kegiatan
inkuiri, bergerak dari bagian kiri ke bagian kanan, dimana
pendekatan inkuiri pada bagian paling kiri cocok diterapkan
pada siswa yang memiliki kecerdasan rendah sedangkan

metode pada bagian paling kanan cocok diterapkan pada


siswa yang memiliki kecerdasan tinggi. Begitu pula
perubahan pihak pengontrol dari guru ke siswa bergerak dari
kiri ke kanan, dimana bagian paling kiri guru lebih banyak
mengontrol dan mendominasi kegiatan pembelajaran
sehingga siswa bersifat pasif, sedangkan bagian paling
kanan siswa lebih banyak mengontrol pembelajaran dan
guru hanya mendampingi dan mengawasi pembelajaran.
B. Tahapan-tahapan Model Pembelajaran Level of Inquiry
1. Discovery Learning (belajar penemuan)
Fokus dari discovery learning bukan pada pencarian
aplikasi pengetahuan, melainkan untuk membangun
pengetahuan secara induktif dari pengalaman-pengalaman.
Kegiatan pembelajaran diawali dengan memanfaatkan
pengalaman siswa untuk menciptakan permasalahan. Jika
tidak ada permasalahan yang dikemukakan, kegiatan awal
dapat diganti dengan sebuah percobaan sederhana yang
kemudian diangkat menjadi permasalahan. Permasalahan
tersebut dipecahkan oleh siswa dengan mendapatkan
bantuan guru berupa pertanyaan- pertanyaan pembimbing
sampai diperoleh kesimpulan.
2. Interactive Demonstration
Interactive demonstration secara umum berisi demonstrasi
guru mengenai sebuah percobaan sains, yang kemudian
berlangsung interaktif [5] karena adanya prediksi dan
explanation (bagaimana sesuatu dapat terjadi) dari siswa.
Percobaan sains yang dilakukan biasanya merupakan sebuah
peragaan mengenai peristiwa yang biasa terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Setelah melakukan peragaan, guru
berperan untuk menanyakan dan meningkatkan prediksi
siswa, menghadirkan respon-respon, mengumpulkan
pelajaran lebih lanjut, dan membantu siswa untuk mencari
kesimpulan dari fakta-fakta.
3. Inquiry Lesson
Tahap kegiatan inquiry lesson merupakan tahap transisi
antara demonstrasi dan laboratory experiences (kegiatan
laboratorium). Dalam tahap ini, terdapat kegiatan
eksperimen sains yang lebih kompleks daripada demonstrasi
interaktif.
Eksperimen
dilakukan
dengan
mempertimbangkan adanya variabel-variabel percobaan
yang saling mempengaruhi proses eksperimen. Siswa pun
mulai mengidentifikasi jenis-jenis variabel dan mengontrol
variabel-variabel tersebut. Dalam tahap ini, bimbingan dari
guru lebih banyak diberikan secara langsung menggunakan
pertanyaan membimbing.
4. Inquiry Lab
a. Guided Inquiry Lab
Tahap guided inquiry lab merupakan tahapan selanjutnya
dari model pembelajaran level of inquiry dan merupakan
tahap awal dari aktivitas laboratorium yang dimaksud disini
ialah kegiatan eksperimen yang meliputi keterampilan
mengidentifikasi variabel, mengontrol variabel, dan
menghitung data. Adapun ciri khusus dari tahap guided
inquiry lab ialah adanya kegiatan pre-lab atau diskusi

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVII HFI Jateng & DIY, Solo, 23 Maret 2013
ISSN : 0853-0823

Purwanto / Analisis Kemampuan Inkuiri dan Hasil Belajar Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Model Pembelajaran
Berbassis Model Hierarki Of Inquiry

diawal pembelajaran serta adanya multiple leading


questioning (pertanyaan yang menuntun) dari guru untuk
melakukan prosedur. Kegiatan pre-lab berperan dalam
mengaktifkan pengetahuan terdahulu siswa dan memberikan
umpan balik kepada instruktur tentang pengetahuan
terdahulu
tersebut,
sedangkan
multiple
leading
questioning atau pertanyaan penuntun berperan sebagai
suatu prosedur percobaan tidak langsung.
b. Bounded Inquiry Lab
Tahap lainnya pada level inquiry lab adalah bounded
inquiry lab. Peningkatan pada tahap ini ialah pada
kemampuan dan kemandirian siswa untuk merancang dan
mengadakan eksperimen tanpa banyaknya panduan dari
guru serta adanya pre-lab yang jelas. Pertanyaan panduan
dari guru tidak sebanyak pada guided inquiry lab, sedangkan
kegiatan pre-lab lebih berfokus pada aspek eksperimental
seperti keselamatan lab serta penggunaan perlindungan
peralatan lab.
c. Free Inquiry Lab
Tahap terakhir dari inquiry lab ialah free inquiry lab.
Sesuai dengan namanya, kegiatan ini memberikan
kebebasan yang lebih banyak bagi siswa dibandingkan
dengan aktivitas lab sebelumnya. Pada tahap ini siswa
mengidentifikasi sebuah masalah untuk dipecahkan dan
kemudian menyusun sebuah rancangan eksperimen.
Panduan guru diganti dengan panduan dari siswa sendiri,
sedangkan aktivitas pre-lab ditiadakan. Karena free inquiry
lab membutuhkan kemampuan yang lebih dari siswa, maka
tahap ini jarang digunakan dalam kelas regular. Adapun
penggunaannya lebih banyak dilakukan diluar kelas regular
oleh mahasiswa pada semester panjang untuk melakukan
proyek.
5. Hipothetical Inquiry
a. Pure Hypothetical Inquiry
Pure Hypothetical Inquiry pada dasarnya merupakan riset
yang dilakukan hanya memperluas pemahaman hukum
alam. Dalam hal ini siswa menghubungkan secara empiris
penjelasan hipotesis dari hukum-hukum dan menggunakan
hipotesis tersebut untuk menjelaskan fenomena-fenomena
fisika. Hasil yang akan diperoleh dari tahap ini ialah
pembuktian dari hukum-hukum sebelumnya atau
pembuktian mengenai kesalahan dari hukum-hukum
tersebut yang mengakibatkan munculnya teori-teori baru.
b. Applied Hypothetical Inquiry
Tahap ini menempatkan seluruh siswa berperan aktif
sebagai pemecah permasalahan yang ada dalam kehidupan
nyata, siswa harus membangun sebuah masalah untuk
memformulasikan hipotesis dari fakta-fakta, kemudian
memberikan argumen yang logis untuk mendukung
hipotesis mereka.
III. METODE PENELITIAN/EKSPERIMEN
Metode penelitian yang digunakan adalah Quasi
Experiment dengan desain penelitian One group PretestPosttest Design. populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh siswa kelas IX di salah satu SMPN di Kota Bandung

109

dengan sampel salah satu kelas IX dengan siswa berjumlah


36 orang yang diambil dengan metode sampel bertujuan
(purposive sampling). Data yang terkumpul terdiri atas dua
jenis, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data
kuantitatif yang diperoleh berupa data hasil tes tertulis untuk
mengetahui hasil belajar siswa ranah kognitif. Sedangkan
untuk data kualitatif, diperoleh dari lembar observasi
kemampuan berinkuiri, lembar observasi aktivitas siswa
untuk melihat hasil belajar ranah afektif dan psikomotor.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 2 menunjukaan kemampuan berinkuiri siswa yang
terlihat selama proses pembelajaran dengan menggunakan
model pembelajarn level of inquiry untuk setiap level
kegiatan berinkuiri.
Tabel 2. Rekapitulasi Nilai IPK Kemampuan Berinkuiri Siswa.
Level Inquiry
NIlai IPK Kategori
51,08%
Kurang terampil
Discovery learning
28,7 %
Sangat
kurang
Interactive
terampil
demonstration
40,59%
Kurang terampil
Inquiry lesson
26,16%
Sangat
kurang
Inquiry lab
terampil
Rata-rata kemampuan 36,62%
Kurang terampil
berinkuiri siswa

Kemampuan berinkuiri siswa yang terlihat selama proses


pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran
level of inquiry berada pada kategori kurang terampil
dengan rata-rata nilai IPK sebesar 36,62%, artinya
kemampuan berinkuiri siswa yang muncul selama proses
pembelajaran dengan menggunakan model level of inquiry
hanya tergolong kurang terampil. Dengan nilai IPK
kemampuan berinkuiri siswa pada level discovery learning
sebesar 51,08% berada pada kategori kurang terampil, nilai
IPK kemampuan berinkuiri siswa pada level interactive
demonstration sebesar 28,7% berada pada kategori sangat
kurang terampil, nilai IPK kemampuan berinkuiri siswa
pada level inquiry lesson sebesar 40,59% berada pada
kategori kurang terampil, sedangkan nilai IPK kemampuan
berinkuiri pada level inkuiri lab sebesar 26,16% berada pada
kategori sangat kurang terampil.
Kemampuan berinkuiri siswa pada level discovery
learning memiliki nilai IPK kemampuan berinkuiri paling
tinggi, hal ini disebabkan karena pada level discovery
learning guru banyak memberikan pertanyaan membimbing
untuk menuntun siswa dalam mengkontruksi pengetahuan
siswa. Sedangkan kemampuan berinkuiri siswa pada level
inquiry lab memiliki nilai IPK kemampuan berinkuiri paling
rendah,
hal ini disebabkan karena guru mengurangi
intensitas dalam memberikan pertanyaan membimbing
kepada siswa dalam membentuk konsep, siswa kesulitan
dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan untuk
mengetahui kuat arus listrik dan tegangan listrik yang
mengalir pada rangkaian listrik yang dipasang secara seri
dan pararel. Umumnya siswa mengalami kesulitan dalam

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVII HFI Jateng & DIY, Solo, 23 Maret 2013
ISSN : 0853-0823

110

Purwanto / Analisis Kemampuan Inkuiri dan Hasil Belajar Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Model Pembelajaran
Berbassis Model Hierarki Of Inquiry

merangkai alat ukur untuk mengukur arus listrik dan


tegangan listrik disuatu rangkaian pararel.
Selain pada level inquiry lab, kemampuan berinkuiri
siswa pada level interactive demonstration berada pada
kategori sangat kurang terampil, hal ini disebabkan oleh
kurang seriusnya siswa dalam melakukan penyelidikan
untuk mencari hubungan antara variabel-variabel yang telah
ditemukan dari level discovery learning, hal ini terjadi
karena guru mengalami kesulitan dalam pengelolaan waktu
sehingga proses pembelajaran pada level interactive
demonstration dilakulan diluar jam pelajaran fisika. Selain
pengelolaan waktu, guru juga mengalami kesulitan dalam
menampilkan permasalahan dari sebuah fenomena, sehingga
guru memerlukan waktu untuk menampilkan permasalahan
yang akan dipelajari melalui sebuah percobaan listrik
sederhana berupa satu buah baterai, satu buah lampu, dan
kabel secukupnya.
Hasil belajar untuh ranah kognitif diperoleh bahwa terjadi
peningkatan dengan nilain gain ternormalisasi kategori
sedang [6]. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rekapitulasi Skor Gain Ternormalisasi Hasil Belajar
Siswa pada Ranah Kognitif
Rata-rata
<g>
Kategori
Pretest
Posttest
45,2
0,53
Sedang
2,30

Untuk lebih jelas rekapitulasi nilai IPK hasil belajar


siswa pada ranah afektif selama diterapkan model
pembelajaran level of inquiry dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rekapitulasi Nilai IPK Hasil Belajar Siswa pada Ranah
Afektif
Pertemuan ke1
2
3
IPK
66 %
74 %
67 %
Rata-rata IPK
69%

Hasil belajar siswa pada ranah afektif selama diterapkan


model level of inquiry sebesar 69% dengan cukup terampil.
Pada pertemuan pertama nilai IPK hasil belajar pada ranah
afektif sebesar 66% dengan cukup terampil, pada pertemuan
kedua nilai IPK hasil belajar pada ranah afektif meningkat
menjadi 74% dengan kategori cukup terampil, sedangkan
pada pertemuan ketiga terjadi penurunan nilai IPK hasil
belajar pada ranah afektif sebesar 67% dengan kategori
cukup terampil.
Tabel 5. Rekapitulasi Nilai IPK Hasil Belajar Siswa pada Ranah
Psikomotor
Pertemuan ke1
2
3
IPK
61 %
63 %
63 %
Rata-rata Nilai IPK
62,33%

Berdasarkan Tabel 5, perkembangan skor rata-rata hasil


belajar siswa pada ranah psikomotor selama diterapkan
model level of inquiry sebesar 62,33% dengan cukup
terampil. Pada pertemuan pertama, nilai IPK hasil belajar
pada ranah psikomotor sebesar 61% dengan kategori cukup
terampil. Pada pertemuan kedua, nilai IPK hasil belajar
siswa pada ranah psikomotor meningkat menjadi 63%
dengan kategori cukup terampil. Sedangkan pada pertemuan
ketiga, nilai IPK hasil belajar siswa pada ranah psikomotor
sebesar 63% dengan cukup terampil.

V. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukan kemampuan berinkuiri siswa
berada pada kategori kurang terampil dengan nilai IPK
sebesar 36,62%. Hasil belajar siswa pada ranah kognitif
secara keseluruhan meningkat dengan nilai <g> 0,53 dengan
kategori sedang, aspek afektif pada kategori cukup terampil
sebesar 69%, dan aspek psikomotor pada kategori cukup
terampil sebesar 62,33%. Kesimpulan dari penelitian ini
bahwa dengan menggunakan model pembelajaran level of
inquiry dapat melatihkan kemampuan berinkuiri siswa, hasil
belajar siswa pada ranah afektif, dan hasil belajar siswa pada
ranah psikomotor.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kepada Kepala Sekolah dan guru-guru serta
siswa-siswi SMPN 10 Bandung yang sudah memberikan
tempat dan waktunya untuk melaksanakan penelitian ini.
Serta, DIKTI yang telah mendanai hibah penelitian ini
dalam program DIA BERMUTU di Jurusan Pendidikan
Fisika UPI tahun 2012-2013
PUSTAKA
[1]. Trianto, Model Pembelajaran Terpadu, Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2010, hal166
[2]. Wenning Carl J.. (2010). Levels of inquiry: Using inquiry
spectrum learning sequences to teach science. Journal
Physics Teacher of Education vol 5 no 4 hal 11-19.
[3]. Wenning, C.J. (2005a). Levels of inquiry: Hierarchies of
pedagogical practices and inquiry processes. Journal of
Physics Teacher Education Online, 2(3), February2005,pp.311.Available:http://www.phy.ilstu.edu/pte/publications/levels
_of_inquiry.pdf
[4]. Wenning, C.J. (2005b). Implementing inquiry-based
instruction in the science classroom: A new model for solving
the improvement-of-practice problem. Journal of Physics
Teacher Education Online, 9-15
[5]. Violeta, S. (2010) The Learning Physics Impact of Interactive
Lecture Demonstration. Problem of Education in the 21th
Century vol 24 hal 120-129.
[6]. Hake, Richard R. (1998). Analizing Change/Gain Score. USA:
Dept: Of Physics, Indiana University.

Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVII HFI Jateng & DIY, Solo, 23 Maret 2013
ISSN : 0853-0823

Anda mungkin juga menyukai