Anda di halaman 1dari 13

Konsep Keselamatan dan Pencegahan Kecelakaan

Widodo Hariyono, A.Md., S.T., M.Kes


Pendahuluan
Dalam berbagai industri, baik barang maupun jasa, perlindungan
bagi keseluruhan proses produksi, yang termasuk di dalamnya berbagai
unsur

dalam

assetnya,

telah

menjadi

sebuah

keharusan

dalam

kepentingan yang utama. Tidak mungkin sebuah industri akan tetap eksis
dengan segala kendalanya jika saja elemen-elemen penyusunnya tidak
mempunyai rangkaian keterkaitan atau integrasi yang kuat, sementara
proses berjalan terus menerus. Keandalan yang dimaksudkan di sini
adalah ketika proses produksi berjalan dengan rangkaian kontinyuitas
yang selamat dan sehat dan menghasilkan produktivitas bagi industri yang
bersangkutan.
Kemajuan teknologi yang semakin bertambah, pada kenyataannya
tidak dapat dipungkiri. Dengan kemajuan itu, semakin kompleks dan
beragam pula berbagai jenis fasilitas, bahan, keahlian, dan juga resiko di
dalam berbagai jenis industri. Teknologi yang semakin tinggi dan maju
akan menimbulkan berbagai kemungkinan bahaya yang lebih besar,
sehingga akan memerlukan teknik-teknik pengendalian yang semakin rapi
dan efektif di dalam kompleksitas kerumitannya itu. Setiap kesalahan
dalam penanganan suatu masalah yang berkaitan dengan pemakaian alatalat berteknologi tinggi, maka dampak yang muncul dan mempengaruhi
masyarakat dan lingkungannya, akan menjadi beban tersendiri bagi
kehidupan manusia dalam berbagai komunitasnya.
Kesadaran akan pentingnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
dalam kurun waktu terakhir ini telah tumbuh dengan baik. Di berbagai
industri,

pengembangan

pemikiran

tentang

konsepsi

K3

dan

implementasinya telah sedemikian serius, yang hal itu sebenarnya muncul


oleh adanya pemaksaan pihak luar sebagai faktor ekstern. Tuntutan
masyarakat dan persaingan global dunia

industri mengenai mutu atau

kualitas produk dan layanan, telah memaksa setiap industri untuk


menetapi aturan-aturan yang menjadi syarat utama proses produksinya.
Jika sebuah industri ingin tetap eksis dalam juga kesadaran internal para
tenaga kerja untuk mendapatkan hak-haknya dalam kehidupan kerja
yang layak dan manusiawi, maka hal itupun menjadi tuntutan yang tidak
kalah pentingnya. Daya kritis dan kecerdasan masyarakat kita semakin
baik, persaingan produksi era global semakin ketat, keberlangsungan
sistem industri pun sangat ditentikan oleh mutu produksi yang handal,
produktifitas juga sudah pasti menjadi target perusahaan, maka investasi

yang cukup besar bagi kebutuhan dan persoalan K3 tidak lagi menjadi
hambatan bagi pihak manajemen untuk mengalokasikannya sedemikian
rupa dalam perusahaan.
__________________
Peserta Program Doktor (S-3) Bidang K3, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada

Pengertian Beberapa Istilah Dalam K3


Untuk mengetahui substansi K3, secara khusus harus diketahui
terlebih

dahulu

beberapa

istilah

yang

digunakan

sebagai

pijakan

pemahaman. Istilah-istilah ini dijelaskan sebagai hal mendasar dalam


keilmuwan K3, yaitu (Kanwil Propinsi DIY Depnaker, 1997):
1. Potensi bahaya (hazard) ialah suatu keadaan yang memungkinkan
atau dapat menimbulkan kecelakaan atau kerugian berupa cidera,
penyakit, kerusakan, atau menghambat kemampuan yang telah
ditetapkan.
2. Tingkat bahaya (danger) ialah ungkapan adanya potensi bahaya
secara relatif. Kondisi berbahaya mungkin saja ada, tetapi dapat
menjadi tidak begitu berbahaya karena telah dilakukan beberapa
tindakan pencegahan.
3. Resiko (risk) ialah kemungkinan terjadinya kecelakaan atau kerugian
pada periode waktu tertentu atau siklus operasi tertentu.
4. Insiden (incident) ialah kejadian yang tidak diinginkan, yang dapat
dan telah mengadakan kontak dengan sumber energi, yang melebihi
ambang batas badan atau struktur.
5. Kecelakaan (accident) ialah suatu kejadian yang tidak diduga semula
dan tidak dikehendaki, yang mengacaukan proses yang telah diatur
dari suatu aktivitas dan dapat menimbulkan kerugian, baik korban
manusia (mati, cacat tubuh, atau luka-luka) dan atau harta benda.
Kecelakaan kerja dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
-

Kecelakaan industri (industrial accident) ialah kecelakaan yang


terjadi di tempat

kerja karena adanya sumber bahaya atau

bahaya kerja.
-

Kecelakaan dalam perjalanan (community accident) ialah


kecelakaan yang terjadi

di luar tempat kerja, dalam kaitan

dengan adanya hubungan kerja.


6. Selamat (safe) ialah kondisi yang tidak mengandung kemungkinan
malapetaka atau bebas dari bahaya apapun.

7. Tindakan tidak selamat (unsafe action) ialah suatu pelanggaran oleh


manusia terhadap prosedur keselamatan yang telah ditetapkan,
yang memberikan peluang terhadap terjadinya kecelakaan.
8. Keadaan tidak selamat (unsafe condition) ialah kondisi atau keadaan
fisik yang berbahaya, yang mungkin dapat langsung mengakibatkan
kecelakaan.
9. Penyakit akibat kerja (man mad disease) ialah penyakit yang timbul
setelah pekerja yang sebelum bekerja terbukti sehat, terdeteksi
mendapat suatu penyakit.
10.

Pengobatan preventif (preventive medicine) ialah tindakan

pengobatan

sebagai

langkah

yang

paling

ekonomis

dalam

penanganan kesehatan karyawan.


11.

Keselamatan dan kesehatan kerja (occupational safety and

health):
-

Secara

filosofi

menjamin

ialah

keutuhan

suatu
dan

pemikiran

dan

kesempurnaan,

upaya

baik

untuk

jasmaniah

maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya dan manusia


pada

umumnya,

juga

hasil

dari

budayanya,

menuju

masyarakat utama.
-

Secara keilmuwan ialah ilmu pengetahuan dan penerapannya


dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan
dan penyakit akibat kerja.

Secara lebih khusus, Undang-undang nomor 1 tahun 1970, tentang


Keselamatan Kerja menjelaskan berbagai hal mengenai istilah, ruang
lingkup, syarat-syarat, dan beberapa hal lain yang terkait dengan K3.
aturan-aturan tersebut menjadi dasar dan pijakan, bagaimana K3 harus
menjadi tema pokok di dalam pengelolaan proses produksi dalam berbagai
bentuk industri.

Kecelakaan Kerja
Banyak faktor yang menjadi sebab terjadinya kecelakaan kerja. Ada
faktor yang hanya merupakan unsur tersendiri, ada pula berbagai faktor
yang menjadi unsur

penyebab secara bersama-sama. Berbagai teori

tentang penyebab kecelakaan kerja dijelaskan oleh banyak ahli, pada


pokoknya teori-teori tersebut atas berbagai pendapat dan pengamatan,
seperti yang tersebut di bawah ini:

1. Teori kebetulan murni (pure chance theory), bahwa kecelakaan terjadi


atas kehendak Tuhan, secara alami dan kebetulan saja kejadianya,
sehingga tak ada pola yang jelas dalam rangkaian peristiwanya.
2. Teori kecenderungan kecelakaan (accident prone theory), bahwa pada
pekerja tertentu lebih sering tertimpa kecelakaan, karena sifat-sifat
pribadinya yang memang cenderung untuk mengalami kecelakaan.
3. Teori tiga faktor utama (three main factors theory), bahwa penyebab
terjadinya kecelakaan adalah peralatan, lingkungan kerja, dan pekerja
itu sendiri.
4. Teori dua faktor (two factor theory), bahwa kecelakaan disebabkan oleh
kondisi berbahaya (unsafe condition) dan perbuatan berbahaya (unsafe
action)/
5. Teori faktor manusia (human factors theory), bahwa semua kecelakaan
kerja,

baik

langsung

maupun

tidak

langsung,

disebabkan

oleh

kesalahan manusia sendiri.


Pendekatan tradisioanal teori penyebab kecelakaan dikemukakan
oleh

Heinrich

perkembangan

pada

sekitar

kasus-kasus

tahun
atas

1920-an,

laporan

para

yang
ahli

diambil

dari

keselamatan.

Pendekatan kasus ini menjadi sebuah teori yang disebut sebagai teori
urutan domino (domino sequence theory). Tompikns (1982) memberikan
gambaran di dalam teori urutan domino Heirinch, yang pada intinya
adalah:
1. Luka-luka disebabkan oleh kecelakaan.
2. Kecelakaan disebabkan oleh tindakan tidak selamat oleh manusia atau
oleh kondisi mekanis yang tidak selamat.
3. Tindakan dan kondisi yang tidak selamat disebabkan oleh kesalahan
manusia.
4. Kesalahan manusia disebabkan oleh lingkungan atau diperoleh dari
kebiasaan.
5. Kebiasaan yang buruk menyebabkan terjadinya cidera.
Teori urutan domino tersebut merupakan lingkaran sebab-akibat atau
hubungan kausalitas yang beruntun, sehingga harus dilakukan perbaikan
dengan memotong satu penyebab dalam lingkaran tersebut. Jika salah
satu bagian dalam teori ini diatasi, maka siklus putarnya akan berhenti.
Model konseptual kecelakaan yang lain, dijelaskan oleh Helander
(1981), yang menyebutkan bahwa faktor-faktor peralatan, metode kerja,
dan tempat kerja adalah penyebab kegagalan sistem dalam suatu
pekerjaan. Akibat dari itu adalah menimbulkan tindakan kritis sebagai
jawaban kasus, sehingga terjadilah kecelakaan. Beberapa kasus penyebab

kecelakaan

kerja

sebenarnya

sederhana.

Namun,

pengabaian

yang

dilakukan telah menyebabkan kerugian serius pada proses kerja. Contohcontoh sederhana dalam hubungan antara tindakan dan kondisi yang tidak
selamat adalah pada pemindahan material yang sembarangan tempat dan
cara memindahkannya, pekerja yang tidak mengetahui tentang metode
kerjanya,

bermain

dan

bersenda-gurau

ketika

bekerja,

memanjat

peralatan yang bergerak tanpa alasan yang dibolehkan, mengangkut


bahan atau barang berlebihan dengan alat pemindah yang melampaui
kapasitas yang ditentukan, membuang kotoran atau sampah sembarangan
ditempat kerja, menggunakan peralatan tertentu tanpa izin, dan masih
banyak lagi yang lainnya. Semua contoh tersebut adalah sebagian kecil
saja penyebab terjadinya kecelakaan kerja.

Penyebab Kecelakaan Kerja


Organisasi

Kesehatan

Sedunia

(World

Health

Organization)

mendefinisikan kecelakaan sebagai suatu kejadian yang tidak dapat


dipersiapkan penanggulangan sebelumnya, sehingga menghasilkan cidera
yang riil (Phoon, 1988). Kecelakaan terdiri dari banyak kejadian yang
melibatkan tindakan-tindakan yang tidak direncanakan pada manusia atau
gerakan-gerakan obyek lain, yang menunjukkan ketidakinginan atau hasil
yang tidak diinginkan. Atau dengan kata lain, kecelakaan kerja dapat
dijelaskan sebagai kecelakaan yang timbul dalam pekerjaan, sehingga
menyebabkan korban jatuh. Kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan
yang berhubungan dengan pekerjaan pada suatu perusahaan atau
industri, baik berskala besar maupun kecil.
Kecelakaan dalam industri banyak disebabkan oleh aturan atau
kondisi kerja yang tidak aman. Tiga faktor utama penyebab kecelakaan
kerja (ILO, 1989) adalah: (1) Peralatan teknis. (2) Lingkungan kerja. (3)
Pekerja sendiri. Menurut Phoon (1988), penyebab kecelakaan kerja sangat
banyak, beragam, dan kompleks. Faktor utama yang dapat menimbulkan
lingkaran kejadian yang terpenting adalah oleh: (1) Lingkungan kerja. (2)
Metode kerja. (3) Pekerja sendiri. Namun, pada akhirnya semua kecelakaan
kerja, baik langsung maupun tidak langsung, diakibatkan oleh kesalahan
manusia sendiri. Adalah menjadi tanggung jawab pimpinan perusahaan
dalam kebijakannya menerapkan standar keselamatan yang tinggi di
perusahaanya.
Dari laporan-laporan yang dihasilkan di banyak industri, luka-luka
dan penyakit yang diakibatkan oleh pekerjaan mempunyai klasifikasi atau

derajat: (1) Fatal. (2) Kehilangan hari kerja,atau cacat. (3) Tidak fatal dan
tidak cacat, tetapi mengharuskan pemindahan pekerja ke bagian lain, atau
membutuhkan perlakuan medis tertentu, lebih dari sekedar pertolongan
pertama (McCormick dan Ilgen, 1985). Penyebab kecelakaan banyak yang
tidak dapat dihundarkan sebelumnya, sehingga biasanya diperlukan
pemecahannya melalui hubungan emoiris diantara variabel-variabel yang
relevan dengan kecelakaan yang terjadi. Seperti telah diuraikan di atas,
teori urutan domino-nya si Heinrich dapat menjelaskan hal tersebut.

Klasifikasi Kecelakaan
Dengan adanya proses produksi, beragam pula jenis resiko dan
kecelakaan yang dapat terjadi. Oleh sebab itu dilakukanlah klasifikasi dan
pencatatan jenis kecelakaan kerja. International Labour Organitation (ILO)
pada tahun 1952, dalam konferensi ahli statistik pekerja internasional ke10, membuat rincian sebagai erikut (International Labaour Office, 1989):
A. Klasifikasi kecelakaan dalam industri berdasarkan jenis kecelakaannya:
1. Orang jatuh.
2. Tertimpa benda jatuh.
3. Menginjak, melanggar, atau terpukul benda, di luar benda-benda
jatuhan.
4. Terperangkap atau terjepit.
5. Kehabisan tenaga atau penggerakan yang terlampau berat.
6. Terkena atau tersentuh benda panas.
7. Terkena atau tersentuh arus listrik.
8. Terkena atau tersentuh bahan-bahan yang merusak atau
mengandung radiasi.
9. Jenis-jenis lain yang tidak dikelompokkan, karena kekurangan data
yang cukup.
B. Klasifikasi kecelakaan dalam industri berdasarkan perantaraannya.
(Tidak dibahas di sini, lebih kearah keteknikan pabrik)
C.

Klasifikasi kecelakaan dalam industri berdasarkan sifat yang

diakibatkannya.
1. Patah tulang.
2. Terkilir.
3. Keseleo dan kejang-kejang.
4. Gegar otak dan luka dalam lainnya.
5. Amputasi dan enukleasi.
6. Cedera lainnya.
7. Luka-luka luar.
8. Memar dan retak.
9. Luka bakar.
10.
Keracunan akut.
11.
Dampak akibat cuaca, cahaya, dan kondisi sejenis.
12.
Sesak napas.
13.
Akibat arus listrik.
14.
Akibat radiasi.

15.
16.
D.

Luka majemuk dengan sifat yang berbeda-beda.


Luka-luka lain yang tak terkelompokkan.

Klasifikasi kecelakaan dalam industri berdasarka lokasi tempat luka-

luka ada tubuh.


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Kepala
Leher.
Badan.
Lengan.
Kaki.
Lokasi majemuk.
Luka umum.
Luka pada lokasi tubuh yang tak terkelompokkan.
Sistem klasifikasi majemuk ini memberikan pengertian bahwa

kecelakaan jarang hanya disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi biasanya
hasil dari beberapa faktor secara simultan. Klasifikasi jenis kecelakaan
menunjukkan

kejadian

yang

secara

langsung

menyebabkan

luka,

menunjukkan bagaimana obyek arau bahan penyebab luka mngenai orang


yang terluka. Hal ini sering dipandang sebagai kunci dalam menganalisis
masalah.

Penyelidikan Kecelakaan
Kecelakaan yang terjadi di dunia industri termasuk rumah sakit,
perlu penanganan dan penelitian yang cermat dan substantif. Tujuan
penyelidikan kecelakaan adalah untuk menemukan berbagai penyebab
kecelakaan, sehingga dapat ditentukan langkah-langkah pencegahan yang
tepat. Ada beberapa alasan tentang penyelidikan kecelakaan sebagai
berikut (ILO, 1989):
1. Mempelajari berbagai penyebab kecelakaan, sehingga kecelakaankecelakaan serupa akan dapat dicegah dengan perbaikan mekanis,
pengawasan yang lebih baik, atau dengan pelatihan kerja.
2. Menentukan perubahan atau penyimpangan yang menyebabkan
terjadinya kesalahan yang berakibat kecelakaan (analisis sistem
keselamatan).
3. Mengumumkan bahaya-bahaya tertentu kepada para karyawan dan
penyelianya, dan mengarahkan perhatian mereka pada upaya-upaya
pencegahan kecelakaan.
4. Menentukan

fakta

untuk

dipertanggungjawabkan

secara

resmi

(suatu penyelidikan yang semata-mata dilakukan untuk menentukan


siapa yang harus bertanggung jawab secara resmi).

Penyelidikan dapat dilakukan secara mendasar dengan menjawab berbagai


pertanyaan tentang keterjadian kecelakaan sebagai berikut:
-

Siapa yang terluka?

Apa yang terjadi dan faktor-faktor apa yang menyebabkan?

Kapan kecelakaan itu terjadi?

Di mana kecelakaan itu terjadi?

Mengapa kecelakaan itu sampai terjadi?

Bagaimana cara mencegah kecelakaan-kecelakaan serupa


agar jangan terulang ?

Penyelidikan kecelakaan harus selalu dilakukan di tempat kejadian.


Akan jauh lebih mudah bila para penyelidik mengamati situasi kecelakaan,
tepat seperti ketika kecelakaan itu terjadi. Dengan sendirinya, setelah
kecelakaan terjadi, tempat kejadian harus dibiarkan tak terganggu, kecuali
apabila

harus

diadakan

perubahan-perubahan

untuk

menjamin

keselamatan orang lain atau mencegah kerusakan lebih jauh.

Penghitungan Tingkat Kecelakaan


Untuk membandingkan angka kecelakaan antara suatu industri
dengan industri yang lain dalam jenis yang sama, perlu diperhitungkan
frekuensi

kecelakaan

yang

telah

pernah

terjadi.

Tingkat

frejuensi

kecelakaan adalah jumlah yang terluka untuk setiap juta jam kerja yang
dijalankan. Rumus di bawah ini menunjukkan tingkat frekuensi kecelakaan
yang terjadi (ILO), 1989):
F= Jumlah yang terluka x 1.000.000
Jumlah jam kerja sebenarnya
Berikut sebagai contoh perhitungan ini: Sebuah perusahaan dengan 500
pekerja, bekerja 50 minggu per tahun dengan 48 jam per minggunya.
Perusahaan ini mengalami 60 kecelakaan yang menyebabkan luka telah
terjadi untuk setiap 1 juta penyakit, kecelakaan dan alasan lain, sebesar
5% dari jumla waktu kerja. Jadi jumlah jam kerja (500 x 50 x 48 =
1.200.000) harus dikurangi 5% (60.000), dan memberikan angka jam kerja
nyata yang dijalankan sebesar 1.140.000, dengan demikian:
F = 60 x 1.000.000 = 52,63
1.140.000
Maka, tingkat frekuensi ini menunjukkan bahwa dalam 1 tahun, telah
terjadi lebih kurang 53 kecelakaan yang menyebabkan luka, untuk setiap 1

juta jam kerja. Selain itu sering juga disertakan perhitungan tingkat
keparahan

kecelakaan,

tetapi

masih

terdapat

ketidakseragaman

perhitungan diantara negara-negara anggota ILO, oleh sebab perbedaan


skala pada ukuran jumlah hari yang hilang akibat luka oleh kecelakaan.

Kerugian Akibat Kecelakaan


Heinrich

pada

tahun

1959

telah

menyusun

daftar

kerugian

terselubung akibat kecelakaan kerja, sebagai berikut:


1. Kerugian akibat hilangnya waktu karyawan yang luka.
2. Kerugian akibat hilangnya waktu karyawan lain yang berhenti
bekerja.
3. Kerugian akibat hilangnya waktu bagi para mandor, penyelia, atau
pimpinan lainnya.
4. Kerugian

akibat

penggunaan

waktu

dari

petugas

pemberi

pertolongan pertama.
5. Kerugian akibat rusaknya mesin, perkakas, atau peralatan lainnya.
6. Kerugian insidental akibat terganggunya produksi.
7. Kerugian akibat pelaksanaan sistem kesejahteraan dan maslahat
bagi karyawan.
8. Kerugian akibat keharusan untuk meneruskanpembayaran upah
penuh bagi karyawan yang dulu terluka setelah mereka kembali
bekerja.
9. Kerugian akibat hilangnya kesempatan memperoleh laba dari
produktivitas karyawan yang luka dan akibat dari mesin yang
menganggur.
10.

Kerugian yang timbul akibat ketegangan ataupun menurunnya

moral kerja.
11.

Kerugian biaya umum (overhead) per karyawan yang luka.


Nilai ekonomis kecelakaan erat hubungannya dengan nilai

ekonomis upaya pencegahan kecelakaan. Dengan makin banyaknya


uang yang ditanamkan untuk upaya pencegahan kecelakaan, maka
kerugian akibat kecelakaan itu sendiri akan berkurang. Walaupun
demikian, secara teoritis, bisa saja sampai pada suatu titik dimana nilai
untuk tindakan pencegahan kecelakaan jumlahnya lebih besar daripada
jumlah yang dapat diselamatkan dari total kerugian akibat kecelakaan.
Namun, bagaimanapun juga nilai uang tak dapat menggantikan jiwa
dan tubuh seseorang.

Pencegahan Kecelakaan
Pencegahan kecelakaan kerja secara umum terdiri dari empat
elemen (Singleton, 1991), yaitu dalam segi: (1) Rancangan, dengan
menggantikan perangkat keras (hardware) dalam hubungan pekerjaan
dengan manusia. (2) Program, dengan penyediaan instruksi dan
pelatihan yang memadai. (3) Pemeliharaan, dengan memelihara
keadaan perangkat keras dan keandalannya. (4) Sikap kerja operator,
dengan memelihara motivasi yang memadai, mencegah kelelahan yang
berlebihan, menggunakan aturan-aturan keselamatan yang tepat, dan
memelihara ketepatan dan keakuratan persyaratan.
Berbagai cara yang umum digunakan untuk meningkatkan keselamatan
kerja dalam industri, adalah hal-hal yang dapat disebutkan seperti di
bawah ini (ILO, 1989):
1. Peraturan-peraturan.
2. Standarisasi.
3. Pengawasan.
4. Riset teknis.
5. Riset medis.
6. Riset psikologis.
7. Riset statistik.
8. Pendidikan.
9. Pelatihan.
10.
Persuasi.
11.
Asuransi.
12.
Tindakan-tindakan.
Ada empat program yang berpengaruh positif bagi kesadaran
para pekerja untuk mewujudkan kesehatan kerja (Schilling), 1989),
yaitu: (1) Kebutuhan ekonomi untuk melindungi efesiensi kekuatan
kerja, (2) Mengubah sikap pekerja dan kegiatan kerja mereka terhadap
keselamatan dan kesehatan. (3) Melatih kepedulian yang menyebabkan
pemberian pertolongan bagi orang lain. (4) Pertumbuhan kompetisi
dalam keselamatan dan kesehatan kerja secara profesional. Tidak
hanya pemerintah dan pihak industri saja, tetapi tempat-tempat kerja
pribadi juga dipengaruhi oleh program tersebut, sehingga akan efektif
dalam pengendalian bahaya kerja dan promosi kesehatan. Adalah suatu
kebutuhan, bahwa upaya proteksi diri dalam pencegahan kecelakaan
kerja adalah tujuan pencapaian jangka panjang yang tidak pernah ada
putusnya.
Faktor Penyebab Penyakit Kerja

10

Berbicara mengenai penyakit akibat kerja, akan berhubungan


dengan faktor penyebab

terjadinya. Ada lima golongan pada faktor

penyebab penyakit jenis ini, yang ruang lingkup penyebabnya dapat


dirinci sebagai berikut (Silalahi dan Silalahi, 1991): (1) Golongan fisik,
yaitu meliputi bunyi dan getaran, suhu ruang kerja, radiasi sinar
rontgen

dan

sinar-sinar

radioaktif

lainnya,

tekanan

udara,

dan

penerangan atau pencahayaan. (2) Golongan kimia, yaitu meliputi debu


dan serbuk, kabut dari racun serangga, gas, uap, dan cairan beracun.
(3) Golongan biologis, yaitu meliputi tumbuh-tumbuhan atau penimbul
alergi, penyakit anthrax dari hewan. (4) Golongan fisiologis, yaitu
meliputi konstruksi mesin dan peralatan, sikap kerja, dan cara bekerja.
(5) Golongan psikologis, yaitu meliputi proses kerja, hubungan kerja,
dan suasana kerja.
Pencegahan Penyakit Akibat Kerja
Pencegahan jenis penyakit ini, paling tidak ada dua hal pokok
yaitu kesadaran manajemen untuk mencegah penyakit akibat kerja dan
pengaturan

tata

cara

pencegahannya,

pihak

manajemen

harus

mempunyai kesadaran bahwa penignkatan produktivitas kerja sebagai


tujuan semua jenis industri, sangat erat hubungannya dengan efesiensi
dan efektivitas pekerjaan. Elemen tersebut sangat tergantung pada
keadaan proses produksi, terutama kondisi fisik dan psikis tenaga kerja.
Pihak

manajemen

menjadi

begitu

penting

untuk

memfokuskan

persoalan produktivitas ini.


Lingkup pencegahan penyakit akibat kerja mempunyai tata cara
pencegahan aktif dan pasif dengan pokok-pokok tindakan sebagai
berikut (Silalahi dan Silalahi, 1991): (1) Subtitusi. (2) Isolasi. (3) Ventilasi
penyedotan. (4) Ventilasi umum. (5) Alat pelindung. (6) Pemeriksaan
kesehatan
Pemeriksaan

prakarya.

(7)

kesehatan

Pemeriksaan

khusus.

(9)

kesehatan

Penerangan

berkala.
prakarya.

(8)
(10)

Pendidikan Keselamtan dan Kesehatan Kerja (K3). Dalam hubungan


pencegahan ini, penanganan masalah higene, sanitasi, dan pengelolaan
limbah, menjadi begitu terkait erat dengan keadaan atau kondisi
lingkungan kerja. Pendektesian dini penyakit akibat kerja sebagai upaya
preventif harus benar-benar diupayakan di dalam seluruh lini produksi
pada apapun itu bentuk produksinya. Peran bidang K3 di industri, juga
khususnya Panitia K3 di rumah sakit, dituntut agar menampilkan
perannya secara maksimal sesuai dengan target-target produktifnya.

11

Penutup
Dengan pengenalan konsep-konsep dasar keselamatan dan
kesehatan kerja yang berisi tentang konsepsi kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja, maka pemahaman mengenai faktor-faktor
penyebab, sumber bahaya atau penyakit, data angka, penyelidikan
kasus, dan menganalisis secara metodologis, akan diperoleh beberapa
keuntungan inti dalam gambaran sebagai berikut:
1. Identifikasi tentang jenis dan macam sumber bahaya bagi
terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dapat
lebih mudah dilakukan dalam berbagai jenis pekerjaan di
industri, termasuk rumah sakit sebagai industri jasa.
2. Upaya-upaya yang dilakukan bagi pencegahan kecelakaan dan
penyakit

akibat

kerja

tidak

semata

oleh

sebab

teknis

pekerjaan, melainkan demi hak-hak kemanusiaan tenaga kerja


serta

keselamatan

dan

kesehatan

bersama

di

dalam

perusahaan.
3. Efektifitas dan efesiensi sebagai elemen-elemen produktifitas
dalam industri dapat ditingkatkan menjadi lebih baik, setelah
berbagai

upaya

pencegahan

dapat

dilakukan

dengan

kesungguhan maksimal dan profesional.


4. Pelaksanaan
menjadi

program

budaya

kerja

keselamatan
yang

dan

dipahami

kesehatan
dan

kerja

dilaksanakan

menyeluruh bagi segenap unsur di dalam perusahaan, mulai


dalam tingkatan pekerja lini terbawah sampai pada tingkat
manajemen puncak, tanpa pandang jabatan dan kedudukan.

Daftar Pustaka
Helander, M. 1981. Human Factors/Ergonomics for Building and Contruction.
Dalam John F. Peel
Brahtz (ed). A Wiley Series in Construction Management and
Engineering. New York: John Wiley and Sons, 13 52.
International Labour Office. 1989. Buku Pedoman Pencegahan Kecelakaan.
Jakarta: PT Pustaka
Binaman Pressindo.
Kantor Wilayah Propinsi DIY Departemen Tenaga Kerja. 1997. Modul
Pembinaan Operasional
Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Yogyakarta.
McCormick, E.J. dan Ilgen, D.R. 1985. Industrial and Organizational Psychology.
New Jersey:
Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs.

12

Ltd.

1 21.

Phoon, W.O. 1988. Practical Occupational Health. Singapore: P.G. Publishing Pte
Schilling, R.S.F. 1989. Development in Occupational Health.
Dalam H.A.
Waldron
(ed).
Occupational Health Practice. London: Butterworth & Co (Publisher) Ltd,

Silalahi, B.N.B. dan Silalahi, R.B. 1991. Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Pusataka Binaman Pressindo.
Singleton, W.T. 1991. Introduction to Ergonomics. Geneva: World Health
Organization.
Tompkins, J.A. 1982. Chapter 10.2 plant Layout. Dalam Gavriel Salvendy (ed).
Handbook of
Industrial Engineering. New York: John Wiley & Sons Inc, 10.2.1 34.

13

Anda mungkin juga menyukai