Anda di halaman 1dari 3

4 TAHAPAN MEMBANGUN BUDAYA K3

Tahapan pertama dinamakan Reactive atau Natural Instincts, artinya kita membutuhkan
K3 setelah adanya kejadian/cedera/ kecelakaan. Setiap orang menjadi sibuk setelah ada
kecelakaan. Pada tahap ini tidak mungkin untuk mewujudkan zero accident (nihil
kecelakaan).

Tahapan kedua dinamakan Dependent, artinya kita melaksanakan K3 apabila disuruh atau
sedang diawasi. Pada tahap ini sulit untuk mencapai zero accident (nihil accident).

Tahapan ketiga dinamakan Independent, artinya kita melaksanakan K3 hanya untuk


kepentingan diri kita sendiri. Pada tahap ini ada kesempatan untuk mencapai zero accident
(nihil accident).

Tahapan keempat adalah Interdependent, artinya kita melaksanakan K3 bukan hanya


untuk kita sendiri, akan tetapi kita akan saling mengingatkan/memperhatikan apabila ada
sesama rekan sekerja ada yang lupa/lalai dalam menerapkan budaya K3. Pada tahap ini
peluang untuk mencapai zero accident(nihil kecelakaan) terbuka lebar.

APA YANG AKAN KITA LAKUKAN

Mencari tahu ada pada tahapan berapa kita saat ini, kemudian mengevaluasi diri akan K3,
Meningkatkan kesadaran diri sendiri akan pentingnya K3,
Selalu mengutamakan K3 dalam kegiatan sehari-hari untuk mewujudkan zero accident (nihil
kecelakaan) dan lingkungan kerja yang aman.

Menuju Perusahaan Berbudaya K3


Dengan mengetahui di tingkat mana budaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
perusahaan anda berada, kita dapat menentukan program K3 yang paling efisien dan efektif
untuk meningkatkan kinerja K3 perusahaan.

Saat ini, sebagian besar kecelakaan berasal dari kesalahan (error) atau pelanggaran
(violation) pekerja. Langkah besar yang harus ditempuh adalah membangun budaya K3 yang
baik, sehingga mempengaruhi perilaku pekerja secara positif, yang pada akhirnya akan
menurunkan tingkat kesalahan dan pelanggarannya.
Budaya bisa kita definisikan secara sederhana sebagai perilaku, nilai-nilai dan keyakinan
yang menjadi dasar ‘cara melakukan sesuatu’.

International Association of Oil & Gas Producers (OGP) memberikan klasifikasi tahapan
budaya K3 perusahaan. Dengan mengetahui di posisi mana perusahaan anda berada, kita juga
mengetahui apa saja yang diperlukan untuk meningkatkan budaya K3 perusahaan.

Kelima tingkatan budaya K3 ini merupakan pengembangan 3 tingkatan budaya organisasi


Westrum (1985), yaitu: patologis, reaktif, kalkulatif, proaktif, generatif.

Di tahapan paling bawah (patologis), bisa terlihat dari tidak ada atau kurangnya kemauan
organisasi untuk mengenali dan/atau menangani isu yang menyebabkan buruknya kinerja K3.
Di tahapan paling atas (generatif), praktek kerja aman dipandang sebagai kebutuhan dan
bagian yang diinginkan oleh pekerjaan apapun.

Organisasi yang memiliki budaya patologis, meyakini bahwa pekerja -umumnya yang ada di
level rendah- menjadi penyebab kecelakaan. Mereka menerapkan hanya yang diwajibkan
undang-undang/peraturan, termasuk inspeksi dan audit yang dipersyaratkan, untuk
menghindari tuntutan hukuman. K3 dipandang sebagai hambatan dalam bekerja.

Organisasi di tahap budaya reaktif sudah memandang K3 sebagai sebuah hal yang penting,
namun masih mempercayai bahwa sebagian besar masalah ada di tingkatan pekerja terendah.
Kemampuan K3 perusahaan dan karyawan masih minim dan hanya menginginkan program-
program K3 yang sederhana. Contohnya, jika kelalaian untuk memakai sabuk pengaman
ketika berkendara diindentifikasi dalam investigasi kecelakaan, maka kampanye penggunaan
sabuk pengaman dipandang sudah cukup; perilaku tidak aman lain yang berkontribusi dalam
kecelakaan berkendara semisal memacu kendaraan melebihi batas kecepatan, kemungkinan
besar tidak di akan ditindaklanjuti.

Organisasi berbudaya kalkulatif meyakini bahwa sistem manajemen K3 memiliki pengaruh


dalam mendongkrak kinerja. Perusahaan di tingkat ini telah mempunyai banyak program dan
pelatihan K3. Program-program yang ada lebih ke arah pencapaian target angka scorecard,
contohnya: pencapaian jumlah pekerja yang dilatih ketimbang menilai kompetensi pekerja
setelah pelatihan. Profesional K3 perusahaan dilihat sebagai pemeran utama pelaksana
program K3 dan bertanggungjawab atas kinerja K3 perusahaan. Organisasi berbudaya
kalkulatif mempertimbangkan pelaksaaan program K3 berdasarkan kebutuhan untuk
memperbaiki isu kinerja, terutama terkait kecelakaan yang dihadapi, semisal kampanye
berkendara aman untuk menangani isu tingginya angka kecelakaan berkendara.

Organisasi yang proaktif sudah memandang K3 sebagai nilai inti (fundamental core), dan
para pimpinan di setiap line secara tulus peduli kepada kesehatan dan keselamatan semua
pekerja dan kontraktornya. Organisasi proaktif memahami bahwa penyebab utama
kecelakaan terletak pada kegagalan manajemen sistem. Data, termasuk informasi pendukung
kejadian nyaris celaka (nearmiss), dipergunakan sebagai target scorecard kinerja. Perbaikan
berkelanjutan menjadi tujuan yang jelas bagi semua di organisasi yang proaktif.

Sementara itu, organsisasi yang berbudaya generatif merupakan organisasi yang memiliki
kemampuan tertinggi dalam memenuhi sendiri kebutuhan organsisasinya, organisasi di tahap
ini terus berusaha untuk mengerti lingkungan pekerjaannya. Program-progam K3 yang dipilih
dan dipergunakan merupakan program yang disukai para pekerja -merasa nyaman
dengannya. Program yang sifatnya wajib bagi pekerja bisa memberikan hasil yang kontra
produktif, karena tidak memberikan kepercayaan yang penuh. Di tahap organisasi generatif,
semua pekerja merasa nyaman dan tidak ragu untuk menyoroti permasalahan yang nyata atau
bahkan isu yang mungkin menyebabkan masalah. Pekerja merasa diberdayakan untuk
menyelesaikan permasalahan K3, dan para pimpinan memberikan dukungan yang diperlukan.

Budaya K3 erat sekali kaitannya dengan kepercayaan, kredibilitas dan perilaku para
pimpinannya. Dan untuk mencapai budaya K3 perusahaan yang mapan bukanlah sebuah
akhir dari perjalanan, karena membangun budaya K3 merupakan usaha terus menerus
perbaikan berkelanjutan.

Penyusun: Syamsul Arifin, SKM


HES Specialist, Chevron Indonesia Company
Alumni K3 FKM UI

Anda mungkin juga menyukai