Anda di halaman 1dari 32

Pembuatan Film Misteri Lagu Lingsir Wengi Bertema Mitos dengan

Menggunakan Teknik Omnibus

TUGAS AKHIR

PROGRAM STUDI
DIV KOMPUTER MULTIMEDIA

Oleh:
Jody Rahwoyo
11.51016.0024

INSTITUT BISNIS DAN INFORMATIKA STIKOM


SURABAYA
2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tujuan yang ingin di capai dalam Tugas Akhir ini yaitu membuat sebuah
karya film misteri lagu Lingsir Wengi yang mengangkat tentang mitos dengan
menggunakan teknik omnibus. Hal ini dapat memberikan pandangan atau persepsi
baru kepada masyarakat terhadap mitos. Tujuan ini dilatarbelakangi oleh
kurangnya pemahaman masyarakat khususnya masyarakat Indonesia terhadap
mitos lagu Lingsir Wengi.
Kehidupan memiliki keberlangsungan perjalanan peristiwa atau disebut juga
cerita. Sidi Gazalba (1981: 221) beranggapan bahwa sejarah mengenai sesuatu hal
yang sudah dilalui, sedang berlangsung, juga masa mendatang. Pada tiap daerah
mereka memiliki perjalanan cerita masing-masing. Indonesia adalah salah satu
negara yang memiliki cukup banyak cerita, salah satu diantaranya adalah mitos
dari banyak daerah di tanah air seperti mitos lagu Lingsir Wengi.
Mitos pada suatu daerah sering kali dianggap masih misteri atau masih
simpang siur (Bertens, 1985: 389). Banyak masyarakat menggambarkan cerita
tersebut dengan penyajian yang berbeda mengenai suatu peristiwa atau mitos
tersebut. Sehingga timbul sebagai catatan peristiwa yang terlalu dilebih-lebihkan
di masyarakat luas.
Banyaknya mitos yang telah berkembang pada masyarakat luas yang
ternyata belum dapat dipastikan kebenarannya Kees bertens (1989: 18). Namun

agar tidak menyesatkan masyarakat tentang cerita tersebut maka perlu di


informasikan atau disampaikan secara benar. Agar mitos tersebut masih tetap
pada kemurniannya maka dibutuhkan upaya untuk menjaga cerita tersebut agar
tidak lagi tercemar dengan hal-hal baru lainnya (tidak sesuai dengan faktanya).
Salah satu cara yang efektif untuk menjaga dan menyampaikan sebuah
cerita adalah melalui film. Wibowo (2006: 196) mengatakan bahwa film adalah
alat untuk menyampaikan berbagai pesan kepada khalayak melalui sebuah media
cerita. Film juga merupakan media ekspresi artistik sebagai suatu alat bagi para
seniman dan insan perfilman dalam rangka mengutarakan gagasan-gagasan dan
ide cerita. Secara esensial dan substansial film memiliki power yang akan
berimplikasi terhadap komunikan masyarakat.
Secara harifah, Sumarno (1996: 27), mengatakan bahwa film adalah sebuah
seni mutakhir dari abad ke-20 yang dapat menghibur, mendidik, melibatkan
perasaan,

merangsang

pemikiran,

dan

memberikan

dorongan

terhadap

penontonnya. Film dapat membantu mempublikasikan mitos yang terdapat pada


suatu daerah tersebut kepada masyarakat luas, Sebagai kelanjutan dari kegunaan
film ini adalah untuk menjelaskan pandangan baru tentang mitos.
Banyak masyarakat berpandangan bahwa mitos adalah sesuatu yang
cenderung bersifat mistik ataupun menyeramkan. Namun Heddy Shri AhimsaPutramitos (2001: 75) beranggapan bahwa mitos adalah cerita prosa rakyat yang
menceritakan kisah berlatar masa lampau, serta dianggap benar-benar terjadi oleh
masyarakat sekitar (daerah) munculnya cerita tersebut. sedangkan mitos selalu

erat kaitannya dengan misteri dimana cerita tersebut belum benar-benar


terpecahkan, sehingga genre film yang dipilih adalah misteri.
Seperti yang kita lihat, sudah menjadi budaya

Indonesia khususnya

budaya Jawa yang selalu mengkaitkan sesuatu dengan hal-hal mistis dengan
mitos. Salah satunya adalah misteri lagu Lingsir Wengi dengan Kuntilanak.
Seringkali orang menganggap bahwa lagu Lingsir Wengi adalah lagu yang dapat
memanggil arwah penasaran atau kuntilanak. Semenjak kepopuleran film layar
lebar kuntilanak, mitos yang mengkaitkan lagu Lingsir Wengi dengan
kuntilanak ramai di perbincangkan oleh masyarakat luas yang menjadikan lagu
tersebut bisa mendatangkan arwah penasaran.
Lingsir Wengi awal mulanya adalah lagu yang di ciptakan oleh Sunan
Kalijaga di masa beliau menyebarkan agama Islam di Nusantara (Indonesia). Lagu
ini sebenarnya di ciptakan oleh Sunan Kalijaga sebagai sebuah media seni untuk
melakukan dakwah pengajaran agama Islam. Judul sebenarnya dari lagu ini adalah
Kidung Lingsir Wengi, yang dahulu juga Sunan Kalijaga sering sekali
menyanyikan lagu ini ketika beliau selesai menjalankan sholat malam agar
berguna untuk mencega segala gangguan-gangguan yang akan di timbulkan oleh
makhluk tak kasat mata. Dalam perkembangannya, lagu ini dinyanyikan oleh
banyak ibu pada jaman dahulu untuk menidurkan anak-anaknya ketika menjelang
tidur karena sebenarnya lagu tersebut berisi doa-doa untuk meminta perlindungan
kepada Tuhan. Sunan Kalijaga menciptakan kidung Lingsir Wengi dengan
memakai pakem gending Jawa yaitu Macapat. Pakem Macapat ini terdiri dari 11
macam pakem yang salah satunya yaitu pakem Durma yang dipakai dalam Lingsir

Wengi. Lagu-lagu yang memakai Pakem Durma harus mencerminkan suasana


yang keras, sangar, suram, kesedihan, bahkan bisa mengungkapkan sesuatu yang
mengerikan dalam kehidupan. Oleh sebab itu, lagu Lingsir Wengi dilantunkan
dengan perasaan yang lembut, tempo pelan, dan sangat menyayat hati.
Untuk itu beragam mitos dengan suguhan yang berbeda di tengah
masyarakat memungkinkan untuk dibuat banyak cerita dan dikemas dalam bentuk
film. . Mengacu pada buku David Scott Diffrient yang berjudul Omnibus Films
(2014: 50), maka film ini memiliki beberapa segmen didalamnya dengan jalinan
cerita yang berbeda, pemain yang berbeda, namun memiliki kesamaan benang
merah didalamnya. Omnibus dapat memperlihatkan wacana kepada penontonnya
bahwa ekspetasi seseorang ketika menonton film adalah duduk selama sekitar 1,5
jam untuk menonton satu cerita. Namun dengan menggarap film omnibus para
penikmat film disajikan dengan beberapa segmen didalam 1 film dengan jalinan
cerita yang berbeda yang memiliki sesuatu yang menghubungkan beberapa hal
(faktor) sehingga menjadi satu kesatuan.
Tujuan yang ingin di capai dalam Tugas Akhir ini yaitu membuat sebuah
karya film misteri yang mengangkat tentang mitos lagu Lisngsir Wengi
menggunakan teknik omnibus yang dapat memberikan pandangan atau persepsi
baru kepada masyarakat terhadap lagu tersebut. Hal ini dilatarbelakangi oleh
kurangnya pemahaman masyarakat khususnya masyarakat Indonesia.
Dari keseluruhan hal-hal yang menjadi dasar pemikiran tersebut maka
dipilihlah judul Tugas Akhir ini yaitu Pembuatan Film Misteri Lagu Lingsir
Wengi Yang Mengangkat Tentang Mitos Menggunakan Teknik Omnibus

yang diharapkan dapat menjadi sarana untuk masyarakat mampu memahami


Mitos dalam sebuah pandangan yang berbeda. Harapan dari Tugas Akhir ini
adalah masyarakat semakin mengerti dan mencoba meluruskan mitos yang
beredar di masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dibuat, maka rumusan masalah yang
akan dikaji adalah:
1.

Bagaimana membuat film misteri dengan teknik omnibus yang mengangkat


tentang mitos lagu Lingsir Wengi di Indonesia?

2.

Bagaimana membuat cerita yang menarik untuk film pertama dan kedua
dalam teknik omnibus?

1.3 Batasan Masalah


Tugas Akhir ini hanya membuat Film misteri lagu Lingsir Wengi yang
mengangkat tentang mitos menggunakan teknik omnibus yang berisikan
mengenai:
1.

Pengembangan

cerita

dan

suasana

misteri

dibatasi

dalam

unsur

kesalahpahaman tentang lagu Lingsir Wengi.


2.

Pengembangan durasi film seluruhnya mengikuti kategori film pendek.

3.

Pengerjaan film Omnibus yang dibatasi dalam wilayah Jawa Timur.

4.

Pembuatan film Omnibus yang di batasi hanya 2 cerita dalam 1 film yang
menghubungkan satu kesatuan.

1.4 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam Tugas Akhir pembuatan film ini
sebagai berikut:
1.

Menghasilkan sebuah karya dengan teknik omnibus berbentuk film misteri


yang dapat memberikan pandangan baru terhadap lagu Lingsir Wengi kepada
masyarakat.

2.

Membuat sebuah film dengan memaksimalisasi pengerjaan durasi namun


audiens tetap memahaminya.

1.5 Manfaat
Selain dari beberapa tujuan tersebut, film ini diharapkan dapat bermanfaat
dalam hal:
1.

Teoritis
a. Membuka pikiran masyrakat mengenai lagu Lingsir Wengi

dan

memberikan pandangan atau persepsi baru kepada masyarakat terhadap


kesalahpahaman tentang lagu Lingsir Wengi.
2.

Praktis
a. Menjadi sebuah wadah untuk mengeksplorasi karya yang mampu
memberikan wawasan kepada masyarakat umum mengenai misteri lagu
Lingsir Wengi.

BAB II
LANDASAN TEORI

Dalam Bab II ini akan dijelaskan berbagai teori-teori dari sumber


kepustakaan yang melandasi setiap pemecahan permasalahan dalam Tugas Akhir
ini.
2.1 Film
Secara harfiah, film diartikan sebagai selaput tipis yang berisi gambar
negatif yang akan memunculkan ilusi gambar bergerak saat dijalankan dengan
proyektor. Namun, sebagai sebuah seni, Sumarno (1996: 27), mengatakan bahwa
film adalah sebuah seni mutakhir dari abad 20 yang dapat menghibur, mendidik,
melibatkan perasaan, merangsang pemikiran, dan memberikan dorongan terhadap
penontonnya. Sehubungan dengan itu, Andre Bazin (2009: 32), seorang teoris dan
kritikus film berpengaruh dari Perancis, mengatakan bahwa esensi artistik sebuah
film terletak pada kemampuannya untuk mereproduksi realitas yang menjadikan
film sebagai media yang memiliki jangkauan paling dekat dengan masyarakat.
Hubungan yang dekat antara film dan masyarakat ini dijelaskan oleh James
Monaco (1981: 106) sebagai sebuah nilai positif yang dapat dimanfaatkan dengan
baik. Salah satunya adalah sebagai umpan atau pancingan. James Monaco
mencontohkan, film dengan pesan anti kekerasan justru seharusnya menampilkan
kekerasan yang dimaksud dan menampilkan bahayanya. Hal semacam ini disebut
James Monaco sebagai panggilan, atau cara sebuah film memanggil target

penontonnya. Sedangkan pesan yang ingin dikomunikasikan dapat ditempatkan


dalam pengadeganan atau konten dari film tersebut.
Film, berdasarkan durasinya, dibagi menjadi film panjang dan film pendek.
Menurut Derek Hill dalam Gotot Prakosa, (1997: 43), Film pendek pada
hakikatnya bukanlah sebuah reduksi dari film cerita panjang, ataupun sekedar
wahana pelatihan belaka. Film pendek memiliki karakteristiknya sendiri yang
berbeda dengan film cerita panjang, bukan lebih sempit dalam pemaknaan, atau
bukan lebih mudah. Sebagai analogi, dalam dunia sastra, seorang penulis cerpen
yang baik belum tentu dapat menulis cerpen dengan baik; begitu juga sebaliknya,
seorang penulis novel, belum tentu dapat memahami cara penuturan simpleks dari
sebuah cerpen. Sebagai sebuah media ekspresi, film pendek selalu terimajinalisasi
dari sudut pandang penonton karena tidak mendapatkan media distriusi dan
eksibisi yang pantas seperti yang didapatkan cerpen di dunia sastra.

2.2 Genre Misteri


Mistery-Horor dalam buku M. Bayu Widagdo Winastwan Gora S (2007: 27)
menjelaskan sebuah genre khusus dunia perfilman. Dikatakan genre khusus
karena meskipun cakupannya sempit dan berkisar pada hal yang itu-itu saja, tetapi
genre itu cukup mendapatkan perhatian dari para penonton. Hal tersebut
disebabkan keingintahuan manusia pada sebuah dunia yang membuat di dunia lain
tersebut. Kunci suksesnya terletak pada cara mengemas dan menyajikan
visualisasi hantu dan kontruksi dramatik skenario. Selain itu, alur cerita juga harus

masuk akal sehingga tidak ada ganjalan dan sanggahan penonton sesudah
permutaran film.
Perkembangan dunia film saat ini memunculkan genre film sebagai hasil
dari kolaborasi beberapa di antaranya, misalnya komedi laga, horor komedi,
drama komedi, drama laga, horo laga, roman laga, dan semacamnya. Sekali lagi,
hal itu tidak berpengaruh terhadap produksi film saja, tetapi juga memperkata dan
mempermudah penyebutan karakter penyajian secara keseluruhan dalam sebuah
karya film.

2.3 Film Omnibus


Mengacu pada buku David scott Diffrient yang berjudul Omnibus Films
(2014: 50) Berasal dari kata latin omnibus yang artinya untuk semua. Dengan
demikian definisi Film omnibus adalah di dalam satu film terdapat beberapa
segemen dengan visualisasi yang berbeda yang memiliki sesuatu yang
menghubungkan beberapa faktor sehingga menjadi satu kesatuan, misalnya faktor
yang menghubungkan tentang genre film tersebut.

2.4 Mitos
Analisis struktural Levi-Strauss atas mitos diilhami oleh teori informasi
(leach,1974). Dalam perspektif teori ini, mitos bukan hanya dongeng pengantar
tidur, tetapi juga kisah yang memuat pesan. Pesan ini tidak tersimpan dalam
sebuah mitos tunggal, tetapi dalam keseluruhan mitos. Dengan dasar pandangan
diatas, Levi-Strauss menetapkan landasan analisisstrukturalnya terhadap mitos.

Pertama, jika mitos dipandang sebagai sesuatu yang bermakna, maka makna tidak
terdapat pada unsur yang berdiri sendiri, terpisah satu dengan yang lain, tapi bila
unsur-unsur tersebut dikombinasikan satu dengan yang lain. Kedua, walaupun
mitos tersmasuk dalam kategori bahasa, namun hanya ciri-ciri tertentu dari mitos
yang bertemu dengan ciri-ciri bahasa. Oleh karena itu bahasa mitos
memperlihatkan ciri yang lain. Mitos dimata Levi-Strauss adalah gejala
kebahasaan yang berbeda dengan gejala kebahasaan yang dipelajari oleh ahli
linguistik.
Mitos sebagai suatu bahasa memiliki tatabahasa sendiri dan Levi-Strauss
berupaya mengungkapkan tatabahasa ini dengan menganalisi unsure terkecil dari
mitos, yaitu mytheme. Mytheme menurut Levi-Strauss adalah unsure-unsur dalam
kontruksi wacana kritis (mythical discourse), yang merupakan satuan yang
bersifat kosokbali (oppositional), relatif dan negatif. Mengikuti pandangan
Jakobson tentang fenom mytheme dikatakan oleh Levi-Strauss sebegai purely
differential and contentless sign (1985; 145).oleh kerena itu dalam menganalisis
mitos atau cerita, makna dari kata yang ada dalam cerita harus dipisahkan dengan
miteme yang juga berupa kalimat atau rangkaian kata-kata dalam cerita tersebut.
Suatu cerita tidak memberikan makna yang pasti dan mapan pada pendengarnya,
tetapi hanya memberikan kisi-kisi. Kisi ini dapat ditentukan dengan melihat
aturan yang mendasari kontruksinya.

2.5 Mitos dan Nalar Manusia


Para ahli antropologi sebaiknya memperhatikan mekanisme kerja nalar
manusia dan memahami strukturnya. Hal ini menunjukan bahwa dari sifat
nirsadar dari fenimena sosial. Levi-Strauss ingin mengetahui prinsip atau dasar
universal nalar manusia. Prinsip ini akan tercermin dan bekerja dalam cara
manusia menalar, dalam orang modern maupun orang primif menalar.
Selanjutnya, logika dasar atau nalar manusia mestinya terwujud dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui bahwa nalar mengikuti struktur tertentu
dalam bekerjanya, perlu analisis aktifitas yang merupakan perwujudan dari nalar
tersebut.
Berbagai ragam budaya pada dasarnya merupakan perwujudan dari nalar.
Tetapi tidak semua fenomena mudah dianalisis untuk menemukan strukturnya.
Misalnya sistem kekerabatan dan perkawinan, merupakan wujud dari adanya
struktur dalam nalar manusia, tapi fenomena tersebut tidak sepenuhnya berada di
bawah kendali nalar manusia, karena unsur-unsur materi seperti demogradi dan
ekologi turut menentukan pola atau wujud sistem tersebut pada tataran empiris.
Ole karena itu gejala itu gejala sosial tidak cukup untuk dijadikan dasar bagi
upaya memperlihatkan adanya upaya memperlihatkan adanya kekangan struktural
dibalik fenomena budaya. Fenomena budaya lain yang lebih sesuai adalah mitos.
Pengertian mitos dalam strukturalisme Levi-Strauss berbeda dengan pengertian
dalam

kajian

mitologi.

Mitos

dalam

pandangan

Levi-Strauss,

tidak

dipertentangkan dengan sejarah atau kenyataan, karena perbedaan makna dari dua
konsep ini yang dianggap oleh suatu masyarakat atau kelompok sebagai sejarah

atau kisah yang benar-benar terjadi, bisa dianggap sebagai dongeng yang tidak
diyakini kebenarannya oleh masyarakat lainnya. Mitos juga bukan kisah yang suci
karena definisi suci problematis. Mitos dalam konteks strukturalisme Levi-Strauss
adalah dongeng. Dongeng merupakan kisah atau cerita yang lahir dari imajinasi
khayalan manusia, walaupun unsur-unsur khayalan tersebut berasal dari
kehidupan sehari-hari. Dalam dongeng ini khayalan manusia memperoleh
kebebasan, karena tidak ada larangan bagi manusia untuk menciptakan dongeng.
Hal yang menarik adalah dongeng yang mirip atau agak mirip satu sama
lain, baik pada unsurnya, bagiannya atau beberapa episodenya. Levi-Strauss tidak
yakin kalau persamaan atau kemiripan ini karena suatu kebetulan, karena
kesamaan ini muncul beberapa kali dan memperlihatkan kecenderungan atau pola
tertentu. Kemiripan ini tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan teori evolusi
dan teori difusi kebudayaan.
Pada tataran yang lebih kongkrit, teori tersebut tidak selalu mampu
menjelaskan berbagai macam kesamaan antar gejala kebudayaan misalnya kesaam
berbagai benda budaya. Pada tataran yang lebih abstrak atau mengenai hal yang
abstrak teori tersebut akan mengalami kesulitan yang lebih besar untuk
menjelaskan persamaan berbagai macam gejala kebudayaan. Selain itu, kesamaan
dan kemiripan antar berbagai mitos pada banyak suku bangsa di dunia, hampir
tidak mungkin dijelaskan sebagai hasil dari kontak kebudayaan, karena suku
bangsa tersebut berjauhan jaraknya satu sama lain.

2.6 Lingsir wengi


lingsir wengi seliramu tumeking sirno
Ojo tangi nggonmu guling
Awas jo ngetoro
Aku lagi bang wingo-wingo
Jin setan kang tak utusi
Dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet
Yang artinya:
Menjelang malam, dirimu akan lenyap
Jangan bangun dari tempat tidurmu
Awas jangan menampakkan diri
Aku sedang dalam kemarahan besar
Jin dan setan yang kuperintah, menjadi perantara
Untuk mencabut nyawamu.
Sudah menjadi budaya orang Indonesia yang selalu mengkaitkan sesuatu
dengan hal-hal yang mistis dan mitos. Salah satunya adalah Lingsir wengi dengan
Kuntilanak. Seringkali orang menganggap bahwa lingsir wengi adalah lagu mistis
yang dapat memanggil salah satu sosok makhluk halus yaitu kuntilanak.
Kepolueran lingsir wengi sebenarnya bermula ketika sebuah film layar lebar
Indonesia tentang kuntilanak dimana ketika lagu itu dinyanyikan maka akan
mengundang kehadiran kuntilanak, semenjak film tersebut memliki rating yang

tinggi, mitos lingsir wengi pun kian melejit dan menjadikan lingsir wengi identik
dengan kuntilanak.
lingsir wengi awal mulanya adalah lagu yang di ciptakan oleh Sunan
Kalijaga di masa beliau menyebarkan agama Islam di Nusantara (Indonesia). Lagu
ini sebenarnya di ciptakan oleh Sunan Kalijaga sebagai sebuah media seni untuk
melakukan dakwah pengajaran agama Islam. Judul sebenarnya dari lagu ini adalah
Kidung lingsir wengi, yang dahulu juga Sunan Kalijaga sering sekali
menyanyikan lagu ini ketika beliau selesai menjalankan sholat malam agar
berguna untuk mencega segala gangguan-gangguan yang akan di timbulkan oleh
makhluk tak kasat mata. Dalam perkembangannya, lagu ini dinyanyikan oleh
banyak ibu pada jaman dahulu untuk menidurkan anak-anaknya ketika menjelang
tidur karena sebenarnya lagu tersebut berisi doa-doa untuk meminta perlindungan
kepada Tuhan. Sunan Kalijaga menciptakan kidung Lingsir Wengi dengan
memakai pakem gending Jawa yaitu Macapat. Pakem Macapat ini terdiri dari 11
macam pakem yang salah satunya yaitu pakem Durma yang dipakai dalam Lingsir
Wengi. Lagu-lagu yang memakai Pakem Durma harus mencerminkan suasana
yang keras, sangar, suram, kesedihan, bahkan bisa mengungkapkan sesuatu yang
mengerikan dalam kehidupan. Oleh sebab itu, lagu Lingsir Wengi dilantunkan
dengan perasaan yang lembut, tempo pelan, dan sangat menyayat hati.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN DAN PERANCANGAN KARYA

Pada bab ini akan dijelaskan metode yang digunakan untuk pengambilan
data-data yang menunjang pembuatan Tugas Akhir serta pengolahannya yang
akan berujung pada perancangan karya Tugas Akhir.

3.1 Metodologi
Dalam penelitian yang mendukung pembuatan karya ini digunakan
metodologi penelitian kualitatif, yang dijelaskan oleh Strauss & Corbin (2003: 73)
sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur
statistik atau bentuk hitungan lainnya. Metodologi kualitatif dipilih karena
penelitian ini akan digunakan untuk mengkaji suatu permasalahan secara
mendalam (in-depth analysis).

3.2 Teknik Pengumpulan Data


Berdasarkan kebutuhan peneliti dalam Pembuatan Film misteri tentang
mitos menggunakan teknik omnibus cerita maka dikumpulkanlah data-data yang
diperoleh dengan menggunakan beberapa teknik sebagai berikut:
1.

Studi Literatur
Studi Literatur merupakan pengambilan data-data teoritis dari buku-buku.
Dalam studi literatur ini kajian yang diteliti meliputi 3 topik yaitu mitos,
omnibus, film dan misteri

Berikut ini merupakan beberapa buku yang digunakan untuk penelitian kajian
tersebut.
a. Heddy Shri Ahmisa-Putra memaparkan mitos atau dongeng merupakan
perwujudan dari pemikiran-pemikiran masyarakat sederhana tersebut
dimana hal-hal yang tidak masuk akal ditemukan. Kemiripan dongeng
satu dengan yang lain, walaupun dongeng-dongeng tersebut berasal dari
daerah yang berbeda-beda, dipandang bukanlah suatu kebetulan oleh
Levi-Strauss (75; 1). Kemiripan ini menjadi Levi-Strauss untuk mengkaji
nalar manusia. Alasan lain dikajinya mitos adalah persamaannya dengan
bahasa dimana mitos dan bahasa kedua-duanya adalah media komunikasi
untuk menyampaikan pesan dan juga adanya aspek langue dan parole
dalam mitos yang ditunjukan dengan berbedanya mitos dalam reversible
dan non-reversible.
b. Kata film omnibus berasal dari bahasa laitin yang artinya untuk
semuanya. Mungkin ini sebabnya dalam suatu film omnibus, ada genre
berbeda beda yang ditawarkan. Drama, komedi, horor, thriller, dan
ronkom. Dalam suatu omnibus boleh ada satu tema, atau satu sutradara,
atau satu penulis, atau satu actor yang selalu muncul. Definisi Film
omnibus (www.esquiere.co.id) adalah film yang didalamnya terdapat
beberapa beberapa segmen cerita. Dengan jalinan cerita yang berbeda,
namun memiliki sesuatu yang menghubungkan beberapa hal sehingga
menjadi satu kesatuan, misalnya mempunyai kesamaan genre pada film
tersebut.

c. What Is Cinema? (2009) oleh Andre Bazin, seorang kritikus film dari
Perancis yang menuliskan kriteria-kriteria sebuah film yang baik. Dari
buku ini peneliti mengambil beberapa poin tentang peranan sebuah film
dan kedekatannya dengan masyarakat karena fungsinya adalah sebagai
cerminan kehidupan dan reproduksi realitas.
d. Misteri dengan segala teori (id.wiktionary.org) adalah kenyataan yang
begitu luhur sehingga secara mendasar melampaui daya tangkap manusia.
Apapun yang semakin dapat dimengerti atau dihayati, tetapi tidak pernah
ditangkap seluruhnya sehingga tetap merupakan rahasia menyangkut
kehadiran.
2.

Observasi
Observasi dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih dalam
tentang perilaku masyarakat Indonesia terhadap pemahaman yang kurang di
masyarakat mengeni mitos lagu lingsir wengi. Observasi ini dilakukan
secara pasif, dengan mengamati komentar-komentar pengguna internet
dalam artikel-artikel pemberitaan mitos di Indonesia khususnya Pulau Jawa.
Internet dirasa tepat sebagai wadah observasi ini karena internet merupakan
media massa di mana masyarakat berperan aktif mencari informasi. Artikelartikel yang dituju adalah artikel-artikel yang terpajang paling atas di
halaman pencarian Google, sebagai Most Used Search Engine, dengan kata
kunci pencarian mitos Indonesia dalam berita. Berikut beberapa komentar
yang didapat dalam observasi ini.

Gambar 3.1 pemberitaan mitos di Indonesia daun kelor melegenda


(Sumber: www.merdeka.com)

Gambar 3.2 pemberitaan mitos di Indonesia metode detoks Cuma mitos


(sumber: cnnindonesia.com)

Gambar 3.3 Pemberitaan Mitos Lagu lingsir wengi


(Sumber: citizen6.liputan6.com)
Dari observasi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya yang dijadikan
mitos karena nilai dan norma-norma kebudayaan itu sendiri.

3.

Study Eksiting
Demi mendukung pembuatan karya Tugas Akhir ini, dilakukan beberapa
studi eksisting kepada film-film misteri untuk melihat bagaimana
pengerjaan film omnibus misteri dalam sebuah film omnibus. Beberapa film
yang diambil sebagai sample, antara lain:

a. Takut (2008)
Film takut ini merupakan sebuah film omnibus yang bergenre horor
misteri. Film yang disutradarai oleh 7 sutradara dengan 6 cerita ini
menceritakan seorang yang ketakutan setelah melakukan perbuatan yang
tidak di inginkan. Di film 1-6 ini kejadian terror selalu menjumpainya.

Gambar 3.4 poster takut


(sumber: google.com)

b. Perempuan Punya Cerita (2008)


perempuan punya cerita merupakan kumpulan 4 film pendek yang
dikemas dalam sebuah film drama Indonesia yang dirilis pada tahun
2008. Film ini dibuat dengan subjek mereka memakai perspektif
perempuan. Film ini terdiri dari 4 segmen yang terdiri dari 4 sutradara

dan 2 penulis skenario yang berbeda. Keistimewaan omnibus pada film


ini terlihat pada jalan cerita yang menggambil tentang kehidupan
perempuan sebenarnya. Vivian Idris dan Melissa karim adalah penulis
skenario yang berhasil membuat film ini menjadi salah satu film
omnibus dengan predikat film terbaik.

Gambar 3.5 poster Rectoverso


(sumber: google.com)

4.

Wawancara
Wawancara untuk Tugas Akhir ini dilakukan secara langsung kepada
narasumber untuk mendapatkan informasi lebih dalam perihal mitos.
Narasumber dan hasil wawancara dijabarkan dalam poin-poin berikut.

a. Eko Nugroho
Eko Nugroho merupakan ketua pendiri komunitas wisata mistis di
Bandung yang di dirikan pada tanggal 10 April 2011. Komunitas wisata
mistis adalah sebuah wadah perkumpulan atau komunitas yang memiliki
kesamaan hobi dan minat, yaitu berpetualang, menginvestigasi, dan
meluruskan mitos-mitos yang beredar di Indonesia. Wawancara dilakukan
dengan menggunakan jejaring sosial (gmail) pada tanggal 20 Agustus
2015. Eko Nugroho mengatakan beberapa dari pandangannya tentang
lagu lingsir wengi sebagai berikut:
lingsir wengi seliramu tumeking sirno
Ojo tangi nggonmu guling
Awas jo ngetoro
Aku lagi bang wingo-wingo
Jin setan kang tak utusi
Dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet
Yang artinya:
Menjelang malam, dirimu akan lenyap
Jangan bangun dari tempat tidurmu
Awas jangan menampakkan diri
Aku sedang dalam kemarahan besar
Jin dan setan yang kuperintah, menjadi perantara
Untuk mencabut nyawamu.

Film kuntilanak merupakan awal mula terjadinya kesalahpahaman


mengenaik makna lagu lingsir wengi. Di dalam film ini, durmo lingsir
wengi dijadikan tembang yang dinyanyikan Julie Estelle untuk memanggil
para kuntilanak. Sehingga masyarakat banyak yang menghubungkan lagu
ini dengan hal-hal yang berbau mistik. Durma adalah salah satu pakem
lagu dalam macapat. Macapat adalah kumpulan lagu jawa yang
mencakup

11

pakem

(maskumambang,

mijil,

sinom,

kinanthi,

Asmarandana, gambuh, dhandhanggula, durma, pangkur, megatruh,


pucung). Tradisi macapat ini diperkirakan sudah mulai ada sejak jaman
akhir kerajaan majapahit. Budaya di jadikan mitos karena nilai dan
norma-norma kebudayaan itu sendiri.
Dapat disimpulkan dari wawancara ini bahwa lagu lingsir wengi
merupakan tembang-tembang macapat yang mempunyai filosofi setiap
liriknya dan bukan lagu yang pemanggil arwah gentayangan seperti pada
film kuntilanak. Sehubungan dengan keaslian wawancara ini, terlampir
surat pernyataan dari Eko Nugroho terlampir dalam lampiran 1.
b. Muhammad Yogi
Muhammad Yogi adalah merupakan seorang budayawan yang telah
berkiprah sebagai seorang Seniman budayawan kurang lebih selama 10
tahun. Dalam kesehariannya, Muhammad Yogi terjun langsung di
masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan
memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik guna
menumbuhkan nilai-nilai norma tersebut. Wawancara dilakukan pada hari

Kamis, 20 Agustus 2015 pukul 15.00 WIB, bertempat di jalan Rana


Wijaya No. 1 Kepanjen, Jombang. Dengan menyandang masih sebagai
keturunan diningrat di keluarganya, Muhammad Yogi menyatakan
beberapa pendapat tentang lagu lingsir wengi dalam pandangannya
sebagai berikut:
Pada dasarnya dalam gending Jawa lagu ini sebenarnya termasuk pakem
durma yang mencerminkan sifatnya keras, sangar dan suram bahkan
terkadang mengerikan bagi kehidupan. Makna dari lagu lingsir wengi
sendiri ini berarti pergeseran waktu dari magrib menuju malam hari dan
di waktu malam hari menurut sosiolog kebudayaan jawa adalah malam
yang diyakini sebagian orang penuh dengan aura mistis dan penuh
dengan kekuatan sepiritual yang tinggi dalam sepirituaitas jawa atau
sepiritualitas Nusantara.
Kesimpulan yang didapat dari wawancara dengan Muhammad Yogi
adalah bahwa dalam lagu lingsir wengi mempunyai makna untuk menolak
bala atau mencegah perbuatan makluk gaib yang ingin menggangu. Selain
itu makna lagu tersebut tersirat menyatakan sebuah doa. Surat pernyataan
dari Muhammad Yogi bersangkutan dengan wawancara ini telah
tercantum dalam lampiran 2.

3.3 Teknik Analisis Data


Dari data-data yang telah dikumpulkan di atas, maka dapat ditarik melalui
masing-masing kesimpulannya yang disusun secara sistematis dalam tabel
berikut.
Tabel 3.1 Analisis Data
MATERI
Definisi Film

SUMBER

KESIMPULAN

Studi Pustaka

Berpengaruh

- Sumarno (1996: 27) Film merupakan Masyarakat


reproduksi

realitas

mempengaruhi

sehingga

dan

diterima

mudah
oleh

masyarakat.
Definisi Genre Studi Pustaka
Misteri

Ditujukan

Sukar dimengerti
untuk

membuat

rasa

penasaran akan cerita tersebut


- Berkaitan dengan hal-hal mistis.
Fungsi teknik Studi Literatur
omnibus

Dominan

Memaksimalisasikan

penyampaian

cerita dalam film.


Membangun suasana dan nuansa dalam
film.
Karakter

Studi Eksisting

teknik

- takut : Karakter scene yang mencekam.

omnibus

perempuan

Penuh teka-teki

punya

cerita:

teknik

omnibus
Mitos

Wawancara
- Budaya yang dijadikan mitos karena
nilai dan norma-norma kebudayaan itu
sendiri

Kebudayaan

di

Mitos

di Observasi

Indonesia

Hal-hal

yang

- perwujudan dari pemikiran-pemikiran irasional


masyarakat

sederhana

terhadap

kebudayaan tersebut dimana hal-hal


yang tidak bernalar selalu berkaitan.

3.4 Segmenting, Targeting, Positioning (STP)


Segmenting, Targeting, dan Positioning merupakan pemetaan segmentasi
pemasaran produk secara modern (Kotler, 1995: 315). Pemetaan ini dilakukan
untuk memfokuskan penentuan komponen strategi suatu produk agar dapat
bersaing dengan produk yang sebelumnya ada di pasar. Pemetaan dalam Tugas
Akhir ini dilakukan untuk menentukan pasar dengan hasil pembuatan produk
berupa film tentang mitos lagu Lingsir wengi.
Pada bagian segmenting, Kotler (2008: 37) menjelaskan pengertian
segmenting sebagai pembagian atau pengelompokkan pasar yang heterogen
menjadi homogeni atau memiliki kesamaan variabel. Dengan dasar segmentasi
psikografi, segmenting dari film ini mengambil dasar variabel interest (minat)
masyarakat. Dengan materi tentang mitos, maka minat yang dipilih adalah budaya
dan kepercayaan.
Mengerucutkan dari segmenting, perlu dilakukan targeting, sebagai titik
fokus yang membatasi pertimbangan-pertimbangan keputusan pada produk
(Kotler, 2008: 61). Targeting untuk film ini dilakukan dengan dasar geografi,
yaitu Indonesia. Hal ini dikarenakan permasalahan utama yang melatarbelakangi

pembuatan film ini adalah kurangnya pemahaman masyarakat di Indonesia


tentang mitos.
Setelah menentukan segmen dan target, maka yang perlu dilakukan untuk
pemasaran sebuah produk adalah positioning. Positioning adalah image atau
pencitraan yang ingin dibangun oleh produsen untuk ditanamkan dalam benak
konsumen dari sebuah produk. Dalam pembuatan film ini, pencitraan yang ingin
dicapai adalah sebagai film misteri yang dapat menjelaskan sejarah mitos lagu
Lingsir Wengi yang sebenarnya. Pencitraan ini dapat membuat film ini menjadi
unggul karena selama ini belum ada film yang mengungkit tentang sejarah mitos
sebagai kebijaksanaan kuno dengan teknik omnibus.

3.5 Keyword
Dari analisa data dan STP yang telah dijelaskan dalam poin 3.3 dan 3.4,
diambil beberapa poin yang dapat diolah dan ditarik kesimpulan secara
keseluruhan dalam sebuah keyword.
Kata-kata yang akan dimasukkan dalam pencarian keyword dari analisa data
adalah berpengaruh di masyarakat (studi pustaka), sukar dimengerti (studi
pustaka), dominan (studi literatur), kebudayaan (wawancara), penuh teka-teki
(studi eksisting), kebijaksanaan kuno (studi pustaka), hal-hal yang irasional
(Observasi). Sedangkan dari STP, kata-kata yang akan dimasukkan ke dalam
pencarian keyword adalah budaya dan kepercayaan (segmenting), Indonesia
(targeting), dan sejarah mitos (positioning). Pencarian keyword yang akan
dijadikan sebagai acuan perancangan karya diilustrasikan dalam bagain berikut

Gambar 3.5 Keyword


(Sumber: Olahan peneliti)

Kata kunci yang dapat ditarik dari kombinasi kesimpulan-kesimpulan pada


analisa data adalah Legend atau dapat diterjemahkan sebagai Legenda. Sebagai
pertimbangan pengembangan karya menurut keyword, Oxford Dictionaries
(www.oxforddictionaries.com) mencatat lebih dari 100 kata yang berhubungan
erat dengan Legend atau Legenda, di antaranya adalah tradisi, mitos, misterius,
fiksi, fakta, fabel, fenomena, kisah, riwayat, dongeng, tokoh yang terkenal, cerita
kuno.
Dalam pembuatan film Misteri Lagu Lingsir Wengi bertema mitos. Dapat di
tarik kesimpulan, definisi legend (legenda) yang di maksud dalam pencapaian

keyword ini merupakan cerita/ peristiwa kuno yang berhubungan dengan sejarah
tetapi tidak di anggap suci dan merupakan bauaran antara fakta dengan fiksi.

3.6 Sinopsis
Film 1
Awal mula film ini menceritakan tentang permasalahan yang terjadi pada 3
mahasiswa bernama Firman, Dio, dan Kiki yang tinggal di sebuah kontrakan baru.
Di mulai dari Firman, adalah mahasiswa yang sangat mempelajari dan
menerapkan tentang kebudayaan spiritual jawa (aliran Islam Kejawen). Dia sering
melakukan ritual-ritual olahan rohani. Sunan kali jaga (Raden Said), beliau inilah
yang menjadi panutan Firman bahkan panutan orang-orang Jawa saat ini. Sunan
Kali Jaga (Raden Said) menjadikan kesenian dan budaya sebagai kendaraan
dakwahnya. Salah satu kendaraan Sunan Kali Jaga dalam penyebaran ajarannya
dalam melalui tembang/ kidung yang setiap malam di lantunkan oleh firman pada
malam hari bertujuan untuk berdoa agar mendapatkan perlindungan. Dio dan Kiki
adalah mahasiswa semester akhir yang berteman lama dengan Firman dan
mengajak Firman untuk mengontrak 1 rumah.
Dimulai dari permasalahan pada rumah yang mereka tinggal sudah lama
kosong disebabkan beberapa tahun lalu satu keluarga yang tinggal dirumah
tersebut telah meninggal dunia karena kecelakaan mobil waktu pergi berlibur.
akhirnya rumah tersebut menjadi anker dan banyak kejadian-kejadian aneh sejak
DIo dan Kiki tinggal disana. hal ini dalam pandangan Dio dan Kiki di sangkut

pautkan dengan perilaku Firman yang notabene melakukan ritual-ritual, tirakat,


dan olahan rohani.
Akhirnya Kiki

melakukan

tindakan

memanggil

paranormal

untuk

mengetahui apa yang terjadi, dan Kiki pun menceritakan kesibukan Firman
kepada paranormal itu. Paranormal itu membantah kalau sebenarnya kejadiankejadian aneh itu disebabkan oleh Firman. Kemudian Paranormal itu pun bercerita
sesungguhnya apa yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Gazalba, Sidi. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bratara


Kees Bertens. 1989. Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales Ke Aristoteles. Yogyakarta:
Kanisius
Shri Ahmisa P, Heddy. 2001. Strukturalisme Levi Strauss: Mitos Dan Karya Sastra.
Yogyakarta.
Sumarno, Marselli. 1996. Dasar-Dasar Apresiasi Film Dan D.A Peransi & Film. Solo
Scott Diffrient, David. 2014. Omnibus Film: Theorizing Transauthorial Cinema, Edinburgh
University Press
Wibowo, Fred. 2007. Teknik produksi progam telefisi. Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai