Bab 1 Pendahuluan
Bab 1 Pendahuluan
PENDAHULUAN
Penyakit serebrovaskular merupakan penyebab paling sering defisit neurologis
non traumatik dengan onset cepat. Hal ini jauh lebih umum dari kejang atau tumor. Struktur
vaskular yang mengalami berbagai proses patologis kronis mempengaruhi integritas dinding
pembuluh darah. Diabetes, kolesterol yang tinggi, tekanan darah tinggi, dan merokok merupakan
faktor risiko untuk penyakit vaskular. Kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah
oleh mekanisme seperti deposisi ateroma yang menyebabkan stenosis luminal, kerusakan endotel
Yang mencetuskan trombogenesis, dan melemahnya dinding pembuluh mengakibatkan
pembentukan aneurisma atau diseksi (Halpern & Grady, 2015).
Proses ini dapat terjadi bersamaan. Misalnya, pembuluh darah yang berisi plak
ateromatosa akan memiliki diameter lumen yang mengecil. Plak juga mempengaruhi endotelium
dalam hal pembentukan trombus yang dapat menyebabkan oklusi akut total dari lumen pembuluh
darah. Aneurisma dan diseksi sering terjadi dalam pembuluh ateromatosa. Pola penyakit tertentu
yang relevan dengan sistem serebrovaskular termasuk ateromatosa dan trombotik oklusi karotis,
iskemia otak oleh karena emboli, dinding pembuluh darah pecah yang menyebabkan perdarahan,
struktur pembuluh darah yang berdinding tipis, khususnya pada aneurisma dan AVM (Halpern &
Grady, 2015).
Perdarahan intraserebral (PIS) berjumlah 10-30% dari seluruh kasus stroke di rumah sakit
dengan angka mortalitasnya 30-50% dalam waktu 6 bulan. Hanya 20% pasien yang dapat
kembali kemandiriannya dalam waktu 6 bulan. Klasifikasi ICH dibagi menjadi dua yaitu primer
dan sekunder. ICH primer terjadi pada perdarahan yang berasal dari ruptur spontan arteri kecil
atau arteriol yang sebelumnya mengalami kerusakan akibat hipertensi kronik atau angiopati
amiloid. PIS sekunder terjadi pada perdarahan akibat trauma, ruptur dari aneurisma atau
malformasi vaskuler, koagulopati, atau penyebab lainnya (Jha & Gupta, 2012).
BAB 2
LAPORAN KASUS
Identitas
Nama
: Tn. EN
Usia
: 38 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Jl. M. Said RT 32
Pekerjaan
: Swasta
Agama
: Islam
: 47.37.53
: 13 Agustus 2015
Anamnesis
Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ke IGD RSUD AWS Samarinda karena tidak sadar sejak 30 menit SMRS.
Sebelumnya pasien mengeluhkan sakit kepala saat akan tidur pada pukul 00.30 WITA. Pasien
sempat diperiksa tekanan darahnya oleh keluarganya dengan hasil 200/110 mmHg, lalu pasien
meminum Amlodipin 5 mg. Untuk mengurangi keluhan sakit kepalanya pasien meminum obat
Paramex sebanyak 1 tablet, tak lama kemudian pasien mengalami muntah. Muntah berkali-kali
berisi makanan sebelum akhirnya pasien tidak sadarkan diri. Pasien segera dibawa oleh
keluarganya ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan pasien masih belum sadar. Saat di IGD pasien
diperiksa tekanan darahnya dengan hasil 200/100 mmHg. Diberikan cairan infus RL 20 tpm,
oksigen 3 lpm dengan OPA dan nasal kanul, dan dipasang kateter urin. Kesadaran pasien pulih
saat di IGD, namun pasien mengalami kelemahan anggota gerak dan pelo ketika pasien
berbicara.
Pasien memiliki riwayat diabetes melitus sejak tahun 1997 (18 tahun). Pasien rutin kontrol ke
Poliklinik Penyakit Dalam RSUD AWS Samarinda dan mendapat terapi insulin.
Pasien memiliki riwayat hipertensi lebih kurang 20 tahun. Pasien tidak rutin meminum oat
antihipertensi.
Riwayat MRS di ruang Anggrek RSUD AWS Samarinda tahun 2010, 2012, dan 2013 karena
diabetes melitus. Riwayat MRS operasi katarak pada kedua mata. Riwayat ambeien (+).
Riwayat Kebiasaan
-
Riwayat merokok selama lebih kurang 20 tahun dan berhenti merokok 3 bulan yang lalu,
konsumsi alkohol (-) dan obat-obatan terlarang (-), rutin berolahraga (-)
Pemeriksaan fisik
-
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
: 178/97 mmHg
Nadi
: 98x/menit
Pernafasan
: 16x/menit
Suhu
: 36,7C
Status Generalisata
Kepala dan leher
-
Umum
o Rambut
o Kulit muka
Mata
o Palpebra
o Konjungtiva
: Tidak anemis
o Sklera
Hidung
o Tidak ada deviasi septum
o Tidak ada sekret
o Tidak ada pernapasan cuping hidung
Telinga
o Bentuk normal
o Lubang telinga normal, tidak ada sekret
o Prosessus mastoideus tidak ada pembengkakan
Mulut
o Bibir tidak pucat maupun sianosis, nampak kering
o Gusi tidak ada perdarahan
o Mukosa normal, tidak hiperemis, tidak ada pigmentasi
o Lidah nkering
o Faring normal, tidak hiperemis
Leher
o Terdapat trakeostomy pada leher, sekret kekuningan
o Tidak teraba pembesaran kelenjar limfe
Toraks
Umum
-Bentuk dan pergerakan dada simetris
Cor
-
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Batas kanan pada garis parasternal dextra, batas kiri pada ICS V garis
mid clavicula sinistra
Pulmo
-Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Abdomen
-
Inspeksi
: Flat
Palpasi
Perkusi
Ekstremitas
Superior
-
Inferior
-
Pemeriksaan Neurologis
-
Diameter Pupil
Reflek Pupil
Reflek Kornea
Meningeal sign :
Kaku kuduk (-), Brudzinki I (-), Brudzinki II (-), Kernig sign (-)
Cranial Nerves
Jenis Nervus
NI
Olfaktorius
N II
Optikus
N III
Okulomotorius
Jenis Pemeriksaan
Subjektif
Objektif
Tajam penglihatan
Lapangan pandang
Melihat warna
Pergerakan bola mata
Strabismus
Nystagmus
Eksoftalmus
Diameter pupil
Kanan
+
+
Kiri
+
+
sde
sde
sde
+
4 mm
sde
sde
sde
+
3mm
N IV
Trochlearis
NV
Trigeminus
N VI
Abduscens
N VII
Facialis
N VIII
Vestibulocochlearis
N IX
Glossopharyngeus,
NX
Vagus
N XI
Accesorius
N XII
Hypoglossus
Bentuk pupil
Refleks cahaya
Diplopia
Pergerakan bola
Pipih
+
sde
+
Bulat
+
sde
+
medial bawah
Membuka mulut
Mengunyah
Menggigit
Sensibilitas wajah
Pergerakan bola mata ke lateral
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Mengerutkan dahi
Menutup mata
Memperlihatkan gigi
Perasaan lidah bagian depan
+
+
+
sde
+
+
+
sde
mata
ke
Suara berbisik
Pengangkatan arkus faring
Fungsi menelan
Menghasilkan suara (fonasi)
Sde
Sde
Sde
Mengangkat bahu
Memalingkan kepala
Deviasi lidah
Tremor lidah
+
+
+
+
sde
-
sde
-
Pemeriksaan
Sensibilitas taktil
Sensibilitas nyeri
Sensibilitas suhu
Pergerakan
Kekuatan
Kanan
+
+
sde
Kiri
+
+
Sde
+
Humerus
Antebrachii
Manus
Refleks fisiologis
Refleks biceps
Ekstremitas inferior
Refleks triceps
Refleks patologis
Hoffman tromner
Sensibilitas nyeri
Sensibilitas taktil
Pergerakan
Kekuatan
sde
sde
sde
sde
+
Femur
Cruris
Pedis
Refleks fisiologis
Refleks patella
Refleks achilles
Refleks patologis
Refleks babinski
Refleks chaddok
+
sde
sde
-
Sde
sde
-
Refleks oppenheim
Sensibilitas nyeri
Sensibilitas taktil
Laseque
Gerakan-gerakan Abnormal
-
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal
GDS
GDP
GD2JPP
Asam urat
Ureum
Creatinin
WBC
13/08/1
14/08
16/08/1
17/08/
18/08
19/08/
20/08/
21/08/
5
263
/15
15
/15
15
15
15
158
259
204
6,4
57,3
70,2
1,6
1,9
11.500
61,2
108,2
1,6
5,0
27.000
9.200
121
113,5
106,8
3,8
3,3
3,7
7.600
9.300
7.600
Normal
Satuan
60-150
mg/dL
60-100
70-150
2,5-7,0
mg/dL
mg/dL
mg/dL
10-40
mg.dL
0,5-1,5
mg/dL
4-10
103 /L
HCT
Hb
28,9
9,8
30
9,9
Platelet
286.000
217.000
LED
Kolesterol
TG
HDL
LDL
Hba1C
SGOT
SGPT
37-54
11-16
%
g/dl
150-450
103 /L
150-220
<200
P>35/W>25
<190
mg.dl
mg.dl
mg.dl
mg.dl
P<25/W< 31
P<31/W<32
mg.dl
mg.dl
3,2-4,5
g/dl
2,3-3,5
g/dl
6,6-8,7
mg.dl
0,3
0-1,0
mmol/L
0,1
0-0,25
mmol/L
0,2
0-0,75
mmol/L
1-6
menit
10
1-15
menit
2,3
Globulin
Protein
2,6
2,5
Direk
Bilirubin
Ind.
Bleeding
2,2
time
Clotting
time
APTT
PT
INR
HbsAg
Ab HIV
Na
K
Cl
24,9
8,1
97.000
27,2
9,0
82.000
105
93
334
7,5%
30
24
2,3
Total
Bilirubin
30,2
9,6
116.00
408
Albumin
Total
Bilirubin
32,1
10,0
145.00
2,1
2,2
2,5
2,3
2,1
28,3
13,6
1,10
NR
NR
135
3,5
111
28-34
Kontrol 13,2
NR
NR
144
4,2
112
145
4,3
127
158
3,8
118
Lemah anggota
TD:179/100
gerak
RR: 20 x/i
kanan,
muntah
GDS 281
N: 89x/i
T: 36,70C
Somnolen, KU lemah
Ane(-/-) Ikt(-/-), edema palpebral (+/
+)
Ves (+/+), Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular,
Gallop (-), Murmur (-)
Soefl, flat, BU (+) N, NT (-)
Edema ekstremitas sup (+/+)
minimal, inf (+/+), akral hangat (+)
Status neurologis:
GCS E3VafasiaM6
Pupil anisokor pipih bulat 4
Hemiparese D +
Head up 300
Afasia
ec.
motoric
Stroke
Hemoragik
(ICH)
+ DM tipe II
(uncontrolled)
Amlodipin 10 mg I-0-0
PH-1
Neurodex 0-I-0
Inj.
GDS 231
gerak kanan
RR: 20 x/i
extra
St. sensorik: +
2015
amp
1 5
TD:185/100
Lemah anggota
Metoclopramid
Aug
Hipertensi st. II
mm/3mm, RC (+/+)
14
N: 89x/i
T: 36,70C
Somnolen, KU lemah
Ane(-/-) Ikt(-/-), edema palpebral (+/
+)
Ves (+/+), Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular,
Gallop (-), Murmur (-)
Soefl, flat, BU (+) N, NT (-)
Edema ekstremitas sup (+/+)
minimal, inf (+/+), akral hangat (+)
Status neurologis:
GCS E3VafasiaM6
Pupil anisokor pipih bulat 4
Hemiparese D +
Afasia
ec.
motoric
Stroke
Hemoragik
(ICH)
Hipertensi st. II
+ DM tipe II
(uncontrolled)
Amlodipin 10 mg I-0-0
PH-2
Neurodex 0-I-0
Inj.
Metoclopramid
amp
extra
mm/3mm, RC (+/+)
1 5
Konsul BS batal
St. sensorik: +
+
15
Aug
2015
+ Simvastatin 2 x 20 mg
Lemah anggota
TD:175/99
N: 90 x/i
Hemiparese
gerak kanan
RR: 20 x/i
T: 36,50C
ec.
Somnolen, KU lemah
Ane(-/-) Ikt(-/-), edema palpebral (+/
+)
Ves (+/+), Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular,
Gallop (-), Murmur (-)
Soefl, flat, BU (+) N, NT (-)
Edema ekstremitas sup (+/+), inf (+/
+), akral hangat (+)
Status neurologis:
GCS E3VafasiaM5
Pupil anisokor pipih/bulat, diameter
GDS 450
Stroke
Hemoragik
(ICH)
Hipertensi st. II
+ DM tipe II
(uncontrolled) +
Dislipidemia
Amlodipin 10 mg I-0-0
Hipoalbuminem
Micardis 40 mg 0-0-I
ia + Sinusitis D
Neurodex 0-I-0
+ AKI PH-3
4 mm/3mm, RC (+/+)
IX, XII
Simvastatin 2 x 20 mg
1 5
+ Nabic 3 x 1 tab
St. sensorik: +
+ Calos 1 x 1 tab
+ Trifed 3 x1 tab
+ Tramadol 3 x 1 amp dalam RL 20 tpm
Cek elektrolit/ 2 hari
Diet DM, rendah garam, cukup protein
(putih telur)
17
Aug
2015
SaO2 96%
10.00
18 Aug
Penurunan
TD:119/81
N: 93 x/i
Stroke
Head up 300
2015
kesadaran
RR: 20 x/i
T: 36,50C
Hemoragik
GDS 204
Albmn
2,1
Somnolen, KU lemah
Ane(-/-) Ikt(-/-), edema palpebral (+/
+)
Ves (+/+), Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular,
Gallop (-), Murmur (-)
Soefl, flat, BU (+) N, NT (-)
Edema ekstremitas sup (+/+), inf (+/
(ICH)
Hipertensi st. II
+ DM tipe II
(uncontrolled) +
Inj. Meropenem 3 x 1 gr IV
Dislipidemia
Hipoalbuminem
+ Laxadin syr 3 x CI
ia + Nefropathy
DM HP-6
telur
Inj. RI 3 x 8 IU (sc)
4mm/3mm, RC (+/+)
IX, X, XII
Simvastatin 2 x 20 mg
Nabic 3 x 1 tab
Calos 1 x 1 tab
1 5
Trifed 3 x1 tab
Aug
Keluhan (-)
GCS E4V2M6
TD:164/74
RR: 18 x/i
N: 96 x/I
0
T: 36,7 C
Stroke
Cek UL
Pro
craniotomy
Hemoragik
(ICH)
Hipertensi st. II
+ DM tipe II
PH-7
decompresi
GCS E3VtcM5
Pupil anisokor
pipih
bulat
mm/3mm, RC (+/+)
St. motoric:kesan lateralisasi D
RF /+, RP +/St. sensorik: sde
MMT 1 5
2 4
19
Aug
Keluhan (-)
2015
TD:136/75
N: 88 x/I
Post craniotomy
Head up 300
RR: 26 x/i
T: 36,60C
decompresi
20
Aug
2015
86%
01.00
WITA
Sesak,
menurun
saturasi
trakeostomy H-0
ec.
Stroke
Hemoragik
(ICH)
Hipertensi st. II
+ DM tipe II
PH-7
mm/3mm, RC (+/+)
Chest Fisioterapi
RF /+, RP +/-
Kultur sputum
MMT 1 5
2 4
TD:138/64
N: 96 x/I
Post craniotomy
Head up 300
RR: 24 x/i
T: 36,60C
decompresi
trakeostomy H-1
ec.
Stroke
Hemoragik
(ICH)
Hipertensi st. II
+ DM tipe II
PH-8
20
Aug
2015
Bengkak tangan
dan kaki
MMT 1 4
2 4
TD:130/74
RR: 24 x/i
N: 77 x/I
0
T: 36,7 C
97%
Alb 2,1
GDS 315
Post Craniotomy
decompresi
Head up 300
trakeostomy H-1
ec.
Stroke
Hemoragik
(ICH)
Hipertensi st. II
+ DM tipe II +
AKI PH-8
mm/3mm, RC (+/+)
Simvastatin 2 x 20 mg
Calos 2 x 1 tab
RF /+, RP +/-
MMT 1 4
2 4
Suction berkala
Cek GDS (06.00 dan 22.00)
Cek ulang GDS puasa ekstra
Diet Diabetasol 4 x 200 cc, cukup protein
(putih telur)
Cek Ur, Cr/2 hari
Cek DL/ 12 jam
Rawat TC/hari
Ganti perban/2 hari
21
2015
99%
Aug
Bengkak tangan
TD:101/58
N: 90 x/i
Post Craniotomy
Chest Fisioterapi
Observasi vital sign + GCS + TIK Head
dan kaki
RR: 20 x/i
T: 36,70C
decompresi
up 300
Somnolen, KU lemah
Ane(-/-) Ikt(-/-), edema palpebral (+/
+)
Ves (+/+), Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular,
Gallop (-), Murmur (-)
Soefl, flat, BU (+) N, NT (-)
Edema ekstremitas sup (+/+), inf (+/
+), akral hangat (+)
Status neurologis:
GCS E3VtcM5
Pupil anisokor pipih bulat 4
mm/3mm, RC (+/+)
trakeostomy H-2
+ Hipertensi st.
II + DM tipe II
Nefropathy
DM
Obs.
Trombositopeni
a PH-9
Simvastatin 2 x 20 mg
RF /+, RP +/-
Calos 2 x 1 tab
MMT 1 4
2 4
22
2015
94%
Aug
Bengkak tangan
TD:149/77
N: 76 x/i
Post Craniotomy
dan kaki
RR: 20 x/i
T: 36,80C
decompresi
Head up 300
Somnolen, KU lemah
Ane(-/-) Ikt(-/-), edema palpebral (+/
+)
Ves (+/+), Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular,
Gallop (-), Murmur (-)
Soefl, flat, BU (+) N, NT (-)
Edema ekstremitas sup (+/+), inf (+/
+), akral hangat (+)
Status neurologis:
GCS E3VtcM5
Pupil anisokor pipih bulat 4
mm/3mm, RC (+/+)
St. motoric:kesan lateralisasi D
RF /+, RP +/St. sensorik: sde
trakeostomy H-2
+ Hipertensi st.
II + DM tipe II
DM
Nefropathy
+
Obs.
Trombositopeni
a PH-10
MMT 1 4
2 4
Diagnosis
Diagnosis Masuk (IGD):
-
Diagnosis Akhir:
ICH spontan
Hipertensi grade II
Pneumonia
DM Tipe II
Penatalaksanaan
Terapi dr. Sp. S:
Inj. Ceftriaxone 2 x 1 g
Inj. Avidra 3 x 4 U SC
Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
Inj. Metamizole 3 x 1 amp IV
Inj. Ranitidin 2 x 1 amp IV
Inj. Kutoin 3 x 100 mg IV
Inj. Asam Traneksamat 3 x 500 mg IV
Inj. Vitamin K 3 x 1 amp IV
Manitol 4 x 150 cc
Prognosis
Vitam
: dubia ad malam
Sanationam
: dubia
Functionam
: dubia
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
Perdarahan intraserebral oleh pembuluh darah yang abnormal atau kelainan struktur
menyumbang sekitar 15% dari kasus serebrovaskular akut. Hipertensi dan angiopati amyloid.
Paling berperan dalam menyebabkan perdarahan intraserebral, meskipun AVM, aneurisma,
trombosis vena, tumor, konversi hemoragik dari infark iskemik, dan infeksi jamur juga dapat
juga menjadi penyebabnya. Perdarahan intraserebral menyebabkan cedera dan disfungsi saraf
lokal serta dapat menyebabkan disfungsi global akibat efek massa bila cukup besar (Halpern &
Grady, 2015).
Stroke hemoragik biasanya terjadi pada daerah basal ganglia atau serebelum. Pasien
biasanya datang dengan tekanan darah yang tinggi dan memiliki riwayat hipertensi yang tidak
terkontrol. Pasien nampak letargi dan obtundasi, dibandingkan dengan pasien yang menderita
stroke iskemik. Penurunan status mental oleh karena dari pergeseran otak dan herniasi sekunder
akibat efek massa hematoma pada struktur yang dalam. Stroke iskemik tidak menyebabkan efek
massa akut; dan
karena itu, pasien masih dengan kesadaran normal dan terdapat defisit
neurologis yang fokal. Stroke hemoragik cenderung hadir dengan penurunan yang relatif
bertahap dalam fungsi neurologis sebagai akibat dari hematoma yang meluas (Halpern & Grady,
2015).
A Definisi
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di otak yang disebabkan
oleh rupturnya pembuluh darah otak. Perdarahan dapat terjadi di bagian manapun di otak.
Perdarahan dapat terjadi hanya pada satu hemisfer (lobar intracerebral hemorrhage), atau
dapat pula terjadi pada struktur dari otak, seperti thalamus, basal ganglia, pons, ataupun
cerebellum (deep intracerebral hemorrhage) (Castel & Kissel, 2006).
B Epidemiologi
Perdarahan intraserebral merupakan penyebab kedua terbanyak dari stroke, sekitar
10% sampai 15% dari semua stroke. PIS memiliki risiko kematian yang lebih tinggi, dengan
perkiraan angka kematian 35% hingga 52% dalam waktu 30 hari, hal ini lima kali lipat
daripada kematian akibat stroke iskemik (Smith & Eskey, 2011).
Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi. Fungsi-fungsi dari
otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik, sebagai pusat sensibilitas, sebagai
area broca atau pusat bicara motorik, sebagai area wernicke atau pusat bicara sensoris,
sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang berfungsi sebagai pusat koordinasi serta
batang otak yang merupakan tempat jalan serabut-serabut saraf ke target organ. Jika terjadi
kerusakan gangguan otak maka akan mengakibatkan kelumpuhan pada anggota gerak,
gangguan bicara, serta gangguan dalam pengaturan nafas dan tekanan darah. Gejala di atas
biasanya terjadi karena adanya serangan stroke (Luyendijk, 2005).
Perdarahan di putamen, thalamus, dan pons biasanya akibat ruptur a. lentikulostriata,
a. thalamoperforating dan kelompok basilar-paramedian. Sedangkan perdarahan di
serebelum biasanya terdapat di daerah nukleus dentatus yang mendapat pendarahan dari
cabang a. serebelaris superior dan a. serecelaris inferior anterior.
D Etiologi
Perdarahan intraserebral (PIS) berjumlah 10-30% dari seluruh kasus stroke di rumah sakit
dengan angka mortalitasnya 30-50% dalam waktu 6 bulan. Hanya 20% pasien yang dapat
kembali kemandiriannya dalam waktu 6 bulan. Klasifikasi ICH dibagi menjadi dua yaitu primer
dan sekunder. ICH primer terjadi pada perdarahan yang berasal dari ruptur spontan arteri kecil
atau arteriol yang sebelumnya mengalami kerusakan akibat hipertensi kronik atau angiopati
amiloid. PIS sekunder terjadi pada perdarahan akibat trauma, ruptur dari aneurisma atau
malformasi vaskuler, koagulopati, atau penyebab lainnya (Jha & Gupta, 2012).
Arteri-arteri yang terkena biasanya adalah arteri-arteri kortical superfisial dan arteri-arteri
leptomening. Sehingga perdarahan lebih sering di daerah subkortikal lobar ketimbang daerah
basal ganglia. Deposit amiloid menyebabkan dinding arteri menjadi lemah sehingga kemudian
pecah dan terjadi perdarahan intraserebral. Di samping hipertensi, amyloid angiopathy dianggap
faktor penyebab kedua terjadinya perdarahan intraserebral pada penderita lanjut usia.
Aneurisma serebral. Aneurisma adalah dilatasi dinding pembuluh darah dan yang paling sering
berbentuk seperti balon, tapi mungkin juga fusiform. Aneurisma biasanya terjadi di cabang
pembuluh besar (misalnya, arteri karotis interna bifurkasi), atau arteri yang lebih kecil (misalnya,
arteri komunikan posterior atau arteri ophthalmic). Sekitar 85% aneurisma muncul dari sirkulasi
anterior (karotis) dan 15% dari sirkulasi posterior (vertebrobasilar). Tabel menunjukkan
distribusi persentase aneurisma otak oleh lokasi. Aneurisma yang berdinding tipis dan beresiko
untuk pecah.
Tabel 2. Prevalensi Aneurisma berdasarkan lokasinya (Halpern & Grady, 2015).
Gambar 1. Anatomi sirkulus Willisi dan lokasi tersering untuk aneurisma (Halpern & Grady, 2015).
Arteriovenous Malformasi. AVM merupakan dilatasi abnormal arteri dan vena tanpa adanya
kapiler diantaranya. Nidus dari AVM mengandung massa kusut pembuluh darah tetapi tidak ada
jaringan saraf. AVM mungkin asimtomatik atau diketahui adanya saat SAH, perdarahan
intraserebral, atau kejang. AVM kecil menyebabkan perdarahan lebih sering daripada AVM
besar, yang disertai dengan kejang. Sakit kepala, bruit, atau defisit neurologi fokal merupakan
gejala yang jarang muncul (Halpern & Grady, 2015).
Tabel 4. Spetzler-Martin grading scale for AVM (Smith & Eskey, 2011).
Neoplasma intrakranial. Akibat nekrosis dan perdarahan oleh jaringan neoplasma yang
hipervaskular.
Faktor Risiko
Beban akibat stroke mencapai 40 miliar dollar setahun, selain untuk pengobatan dan
perawatan, juga akibat hilangnya pekerjaan serta turunnya kualitas hidup (Currie et al., 1997).
Kerugian ini akan berkurang jika pengendalian faktor risiko dilaksanakan dengan ketat (Cohen,
2000).
Tabel 3. Faktor Risiko Stroke
E Patofisiologi
Hipertensi adalah penyebab terbanyak dari perdarahan intraserebral spontan pada orang
dewasa. Mekanisme yang mendasari tampaknya terkait dengan efek dari tekanan darah sistemik
pada arteri kecil yang berasal dari pembuluh intrakranial utama. Secara khusus, pembuluh darah
ini arteri lenticulostriate yang berasal dari arteri serebral tengah, arteri thalamoperforating dan
thalamogeniculate berasal dari arteri serebral posterior, serta perforator pontine dan batang otak
berasal dari arteri basilar (Smith & Eskey, 2011).
Dalam merespons hipertensi, pembuluh darah kecil dapat mengembangkan hiperplasia
intima, hialinisasi intimal, dan degenerasi,medial sebagai predisposisi nekrosis fokal dan ruptur.
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa cedera pembuluh darah dapat menyebabkan
mikroaneurisma, diistilahkan aneurisma Charcot-Bouchard, yang rentan terhadap ruptur
berikutnya menyebabkan perdarahan mikro atau makro. Lokasi klasik perdarahan intraserebral
60% sampai 65% dari perdarahan di putamen dan kapsul internal 15% sampai 25% dalam
talamus, dan 5% sampai 10% di pons (Smith & Eskey, 2011).
Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu
15-20 detik dan kerusakan otak yang irreversibel terjadi setelah tujuh hingga sepuluh menit.
Penyumbatan pada satu arteri menyebabkan gangguan di area otak yang terbatas (stroke).
Mekanisme dasar kerusakan ini adalah selalu defisiensi energi yang disebabkan oleh iskemia.
Perdarahan juga menyebabkan iskemia dengan menekan pembuluh darah di sekitarnya.
Dengan menambah Na+/K+-ATPase, defisiensi energi menyebabkan penimbunan Na+ dan
Ca2+ di dalam sel, serta meningkatkan konsentrasi K + ekstrasel sehingga menimbulkan
depolarisasi. Depolarisasi menyebabkan penimbunan Cl- di dalam sel, pembengkakan sel, dan
kematian sel. Depolarisasi juga meningkatkan pelepasan glutamat, yang mempercepat kematian
sel melalui masuknya Na+ dan Ca2+.
Pembengkakan sel, pelepasan mediator vasokonstriktor, dan penyumbatan lumen
pembuluh darah oleh granulosit kadang-kadang mencegah reperfusi, meskipun pada
kenyataannya penyebab primernya telah dihilangkan. Kematian sel menyebabkan inflamasi,
yang juga merusak sel di tepi area iskemik (penumbra). Gejala ditentukan oleh tempat perfusi
yang terganggu, yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut.
Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan kelemahan otot
dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik (hemianestesia) akibat kerusakan girus lateral
presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi okular, hemianopsia, gangguan
bicara motorik dan sensorik, gangguan persepsi spasial, apraksia, dan hemineglect.
Penyumbatan arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan defisit sensorik
kontralateral, kesulitan berbicara serta apraksia pada lengan kiri jika korpus kalosum anterior dan
hubungan dari hemisfer dominan ke korteks motorik kanan terganggu. Penyumbatan bilateral
pada arteri serebri anterior menyebabkan apatis karena kerusakan dari sistem limbik.
Penyumbatan arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia kontralateral parsial dan
kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain itu, akan terjadi kehilangan memori.
Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di daerah yang
disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid anterior tersumbat, ganglia
basalis (hipokinesia), kapsula interna (hemiparesis), dan traktus optikus (hemianopsia) akan
terkena. Penyumbatan pada cabang arteri komunikans posterior di talamus terutama akan
menyebabkan defisit sensorik.
Penyumbatan total arteri basilaris menyebabkan paralisis semua eksteremitas dan otototot mata serta koma. Penyumbatan pada cabang arteri basilaris dapat menyebabkan infark pada
serebelum, mesensefalon, pons, dan medula oblongata. Efek yang ditimbulkan tergantung dari
lokasi kerusakan:
Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anastesia) di bagian wajah
ipsilateral dan ekstremitas kontralateral (saraf trigeminus [V] dan traktus spinotalamikus).
Ptosis, miosis, dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom Horner, pada kehilangan
persarafan simpatis).
Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus [X]). Paralisis otot lidah (saraf
hipoglosus [XII]), mulut yang jatuh (saraf fasial [VII]), strabismus (saraf okulomotorik
[III], saraf abdusens [V]).
yang terjadi sehari setelahnya merupakan hasil dari proses inflamasi akibat trombin dan
produk akhir dari faktor koagulasi lainnya.
Early Haematoma Growth
Early haematoma growth terjadi berkaitan dengan neurological deterioration dan
prognosis klinis yang buruk. Sekitar 38% pasien mengalami peningkatan volume hematom lebih
dari 33% pada CT scan 3 jam setelah onset. Hanya sekitar 5% pasien 6 jam setelah onset.
Perihaematomal Brain Injury
Cedera jaringan otak dan edema sebagai hasil dari peningkatan tekanan intrakranial atau
herniasi otak karena adanya massa merupakan deteorisasi neurologi setelah hari pertama.
Pemeriksaan PET dan MRI yang dilakukan dalam kurun waktu 6 jam setelah onset gejala tidak
menunjukkan adanya jaringan iskemik pada daerah perihematom di otak. Dengan menggunakan
kontras, respons inflamasi yang diinduksi oleh hematom yang sangat besar telah diidentifikasi
yang menyebabkan pembengkakan otak berkurang dan cedera jaringan. Plasma, yang kaya
trombin dan produk akhir koagulasi lainnya, yang dilepaskan oleh gumpalan hematoma ke dalam
jaringan otak di sekitarnya, dan memicu proses inflamasi.
F Manifestasi Klinis
Identifikasi cepat dan akurat dari perdarahan adalah penting dalam penanganan stroke
akut, sebagai dasar terapi untuk pengelola stroke iskemik dan stroke hemoragik sangat berbeda.
Keduanya ditandai oleh onset relatif mendadak gejala dan defisit neurologis, jenis dan tingkat
keparahan yang akan bervariasi sesuai dengan jenis lesi, lokasi, dan ukuran (Smith & Eskey,
2011). Manisfestasi perdarahan intraserebral digambarkan sebagai suatu proses bertahap, dengan
memburuknya gejala dalam hitungan menit ke jam. Keluhan sakit kepala dan mual /muntah
lebih sering pada PIS daripada stroke iskemik (Smith & Eskey, 2011).
Secara umum gejala klinis PIS merupakan gambaran klinis akibat akumulasi darah di
dalam parenkim otak. PIS khas terjadi sewaktu aktivitas, onset pada saat tidur sangat jarang.
Perjalanan penyakitnya, sebagian besar (37,5-70%) per akut. Biasanya disertai dengan
penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran ini bervariasi frekuensi dan derajatnya tergantung
dari lokasi dan besarnya perdarahan tetapi secara keseluruhan minimal terdapat pada 60% kasus.
dua pertiganya mengalami koma, yang dihubungkan dengan adanya perluasan perdarahan ke
arah ventrikel, ukuran hematomnya besar dan prognosis yang jelek. Sakit kepala hebat dan
muntah yang merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial dijumpai pada PIS, tetapi
frekuensinya bervariasi. Tetapi hanya 36% kasus yang disertai dengan sakit kepal sedang muntah
didapati pada 44% kasus. Jadi tidak adanya sakit kepala dan muntah tidak menyingkirkan PIS,
sebaliknya bila dijumpai akan sangat mendukung diagnosis PIS atau perdarahn subarakhnoid
sebab hanya 10% kasus stroke oklusif disertai gejala tersebut. Kejang jarang dijumpai pada saat
onset PIS.
Defisit neurologis fokal. Jenis defisit tergantung pada area otak yang terlibat. Jika
belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang terdiri dari hemiparesis kanan,
kerugian hemisensory kanan, meninggalkan tatapan preferensi, bidang visual kana terpotong,
dan aphasia mungkin terjadi. Jika belahan nondominant (biasanya kanan)
terlibat, sebuah
sindrom hemiparesis kiri, kerugian hemisensory kiri, preferensi tatapan ke kanan, dan memotong
bidang visual kiri. Sindrom belahan nondominant juga dapat mengakibatkan pengabaian dan
kekurangan perhatian pada sisi kiri.
Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan kompresi batang
otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam tingkat kesadaran, apnea, dan
kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan cerebellar atau batang otak antara lain: ekstremitas
ataksia, vertigo atau tinnitus, mual dan muntah, hemiparesis atau quadriparesis, hemisensori atau
kehilangan sensori dari semua empat anggota, gerakan mata yang mengakibatkan kelainan
diplopia atau nistagmus, kelemahan orofaringeal atau disfagia, wajah ipsilateral dan kontralateral
tubuh. Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba.
penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama aktivitas. Namun, pada
orang tua, sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada. Gejala disfungsi otak menggambarkan
perkembangan yang terus memburuk sebagai perdarahan. Beberapa gejala, seperti kelemahan,
kelumpuhan, hilangnya sensasi, dan mati rasa, sering hanya mempengaruhi satu sisi tubuh.
Orang mungkin tidak dapat berbicara atau menjadi bingung. Visi dapat terganggu atau hilang.
Mata dapat menunjukkan arah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Mual, muntah, kejang, dan
hilangnya kesadaran yang umum dan dapat terjadi dalam beberapa detik untuk menit.
Tabel 5. Distribusi anatomi perdarahan intraserebral dan gejala yang diakibatkan (Halpern & Grady,
2015)
G Klasifikasi
Tipe perdarahan intaserebral yang tersering adalah seperti berikut:
1
Putaminal Hemorrhage
Antara sindroma klinis perdarahan yang tersering adalah disebabkan oleh
perdarahan putaminal dengan terjadinya penekanan pada daerah berdekatan dengan
kapsula interna. Gejala dan kelainan neurologic hampir bervariasi berdasarkan
kedudukan dan ukuran penekanan. Perdarahan putaminal khas dengan onset progresif
pada hampir duapertiga pasien, dan kurang dari sepertiga mempunyai gejala mendadak
dan hampir maksimal saat onset. Nyeri kepala tampil saat onset gejala hanya pada 14%
kasus dan pada setiap waktu hanya 28%; semua pasien menunjukkan berbagai
bentuk defisit motorik dan sekitar 65% mengalami perubahan reaksi terhadap pin-prick.
Perdarahan putaminal
kecil
menyebabkan
defisit
sedang
motorik
dan sensori
penderita dapat segera masuk kepada kondisi stupor dengan hemiplegi dan kondisi
penderita akan tampak memburuk dengan berjalannya masa.
Walau bagaimanapun, penderita akan lebih sering mengeluh dengan sakit kepala
atau gangguan kepala yang dirasakan pusing. Dalam waktu beberapa menit wajah
penderita akan terlihat mencong ke satu sisi, bicara cadel atau aphasia, lemas tangan dan
tungkai dan bola mataakan cenderung berdeviasi menjauhi daripada ekxtremitas yang
lemah. Hal ini terjadi, bertahap mengikuti waktu dari menit ke jam di mana sangat kuat
mengarah kepada perdarahan intraserebral. Paralisis dapat terjadi semakin memburuk
dengan munculnya refleks Babinski yang mana pada awalnya dapat muncul unilateral
dan kemudian bisa bilateral dengan ekstremitas menjadi flaksid, stimulasi nyeri
menghilang, tidak dapat bicara dan memperlihatkan tingkat kesadaran stupor.
Karekteristik tingkat keparahan paling parah adalah dengan tanda kompresi batang otak
atas (koma); tanda Babinski bilateral; respirasi dalam, irregular atau intermitten; pupil
dilatasi dengan posisi tetap pada bagian bekuan dan biasanya adanya kekakuan yang
deserebrasi.
Thalamic Hemorrhage
Sindroma klinis akibat perdarahan talamus sudah dikenal. Umumnya perdarahan
talamus kecil menyebabkan defisit neurologis lebih berat dari perdarahan putaminal.
Seperti perdarahan putaminal, hemiparesis kontralateral terjadi bila kapsula internal
tertekan. Namun khas dengan hilangnya hemisensori kontralateral yang nyata yang
mengenai kepala, muka, lengan, dan tubuh. Perluasan perdarahan ke subtalamus dan
batang otak berakibat gambaran okuler klasik yaitu terbatasnya gaze vertikal, deviasi
mata kebawah, pupil kecil namun bereaksi baik atau lemah. Anisokoria, hilangnya
konvergensi, pupil tak bereaksi, deviasi serong, defisit lapang pandang, dan nistagmus
retraksi juga tampak. Anosognosia yang berkaitan dengan perdarahan sisi kanan dan
gangguan bicara yang berhubungan dengan lesi sisi kiri tidak jarang terjadi. Nyeri kepala
terjadi pada 20-40 % pasien. Hidrosefalus dapat terjadi akibat penekanan jalur CSS.
Perdarahan Pons
Perdarahan pons merupakan hal yang jarang terjadi dibandingkan dengan
perdarahan intraserebral supratentorial, tetapi 50% dari perdarahan infratentorial terjadi
di pons. Gejala klinik yang sangat menonjol pada perdarahan pons ialah onset yang tibatiba dan terjadi koma yang dalam dengan defisit neurologik bilateral serta progresif dan
fatal. Perdarahan ponting paling umum menyebabkan kematian dari semua perdarahan
otak. Bahkan perdarahan kecil segera menyebabkan koma, pupil pinpoint (1 mm) namun
reaktif, gangguan gerak okuler lateral, kelainan saraf kranial, kuadriplegia, dan postur
ekstensor. Nyeri kepala, mual dan muntah jarang.
Perdarahan Serebelum
Lokasi yang pasti dari tempat asal perdarahan di serebelum sulit diketahui.
Tampaknya sering terjadi di daerah nukleus dentatus dengan arteri serebeli superior
sebagai suplai utama. Perluasan perdarahan ke dalam ventrikel IV sering terjadi pada
50% dari kasus perdarahan di serebelum. Batang otak sering mengalami kompresi dan
distorsi sekunder terhadap tekanan oleh gumpalan darah. Obstruksi jalan keluar cairan
serebrospinal dapat menyebabkan dilatasi ventrikel III dan kedua ventrikel lateralis
sehingga dapat terjadi hidrosefalus akut dan peningkatan tekanan intrakranial dan
memburuknya keadaan umum penderita. Kematian biasanya disebabkan tekanan dari
hematoma yang menyebabkan herniasi tonsil dan kompresi medula spinalis.
Sindroma klinis perdarahan serebeler pertama dijelaskan secara jelas oleh Fisher.
Yang khas adalah onset mendadak dari mual, muntah, tidak mampu bejalan atau berdiri.
Tergantung dari evolusi perdarahan, derajat gangguan neurologis terjadi. Hipertensi
adalah faktor etiologi pada kebanyakan kasus. Duapertiga dari pasien dengan perdarahan
serebeler spontan mengalami gangguan tingkat kesadaran dan tetap responsif saat datang;
hanya 14% koma saat masuk. 50% menjadi koma dalam 24 jam, dan 75% dalam
seminggu sejak onset. Mual dan muntah tampil pada 95%, nyeri kepala (umumnya
bioksipital) pada 73%, dan pusing (dizziness) pada 55 %. Ketidakmampuan berjalan atau
berdiri pada 94 %. Dari pasien non koma, tanda-tanda serebeler umum terjadi termasuk
ataksia langkah (78 %), ataksia trunkal (65 %), dan ataksia apendikuler ipsilateral (65 %).
Temuan lain adalah palsi saraf fasial perifer (61%), palsi gaze ipsilateral (54 %),
nistagmus horizontal (51 %), dan miosis (30%). Hemiplegia dan hemiparesis jarang, dan
bila ada biasanya disebabkan oleh stroke oklusif yang terjadi sebelumnya atau
bersamaan. Triad klinis ataksia apendikuler, palsi gaze ipsilateral, dan palsi fasial perifer
mengarahkan pada perdarahan serebeler. Perdarahan serebeler garis tengah menimbulkan
dilema diagnostik atas pemeriksaan klinis. Umumnya perjalanan pasien lebih ganas dan
tampil dengan oftalmoplegia total, arefleksia, dan kuadriplegia flaksid.
Pada pasien koma, diagnosis klinis perdarahan serebeler lebih sulit karena
disfungsi batang otak berat. Dari pasien koma, 83 % dengan oftalmoplegia eksternal yang
lengkap, 53 % dengan irreguleritas pernafasan, 54 % dengan kelemahan fasial ipsilateral.
Pupil umumnya kecil; tak ada reaksi pupil terhadap sinar pada 40 % pasien.
Perdarahan Lober
Sindroma klinis akut perdarahan lober dijelaskan Ropper dan Davis. Hipertensi
kronik tampil hanya pada 31 % kasus, dan 4 % pasien yang koma saat datang. Perdarahan
oksipital khas menyebabkan nyeri berat sekitar mata ipsilateral dan hemianopsia yang
jelas. Perdarahan temporal kiri khas dengan nyeri ringan pada atau dekat bagian anterior
telinga, disfasia fluent dengan pengertian pendengaran yang buruk namun repetisi relatif
baik. Perdarahan frontal menyebabkan kelemahan lengan kontralateral berat, kelemahan
muka dantungkai ringan, dan nyeri kepala frontal. Perdarahan parietal mulai dengan nyeri
kepala temporal anterior ('temple') serta defisit hemisensori, terkadang mengenai tubuh
ke garis tengah. Evolusi gejala yang lebih cepat, dalam beberapa menit, namun tidak
seketika bersama dengan satu dari sindroma tersebut membantu membedakan perdarahan
lober dari stroke jenis lain. Kebanyakan AVM dan tumor memiliki lokasi lober.
H Diagnosis
Hipertensi arterial dijumpai pada 91% kasus PIS. Tingginya frekuensi hipertensi
berkorelasi dengan tanda fisik lain yang menunjukkan adanya hipertensi sistemik seperti
hipertrofi ventrikel kiri dan retinopati hipertensif. Pemeriksaan fundus okuli pada kasus yang
diduga PIS mempunyai tujuan ganda yaitu mendeteksi adanya tanda-tanda retinopati hipertensif.
Gerakan mata, pada perdarahan putamen terdapat deviation conjugae ke arah lesi, sedang
pada perdarahan nukleus kaudatus terjadi kelumpuhan gerak horisontal mata dengan deviation
conjugae ke arah lesi. Perdarahan thalamus akan berakibat kelumpuhan gerak mata atas (upward
gaze palsy), jadi mata melihat ke bawah dan kedua mata melihat ke arah hidung. Pada
perdarahan pons terdapat kelumpuhan gerak horisontal mata dengan ocular bobbing.
Pada perdarahan putamen, reaksi pupil normal atau bila terjadi herniasi unkus maka pupil
anisokor dengan paralisis N. III ipsilateral lesi. Perdarahan di thalamus akan berakibat pupil
miosis dan reaksinya lambat. Pada perdarahan di mesensefalon, posisi pupil di tengah,
diameternya sekitar 4-6 mm, reaksi pupil negatif. Keadaan ini juga sering dijumpai pada herniasi
transtentorial. Pada perdarahn di pons terjadi pinpoint pupils bilateral tetapi masih terdapat
reaksi, pemeriksaannya membutuhkan kaca pembesar.
Pola pernafasan pada perdarahan diensefalon adalah Cheyne-Stroke, sedang pada lesi di
mesensefalon atau pons pola pernafasannya hiperventilasi sentral neurogenik. Pada lesi di
bagian tengah atau caudal pons memperlihatkan pola pernafasan apneustik. Pola pernafasan
ataksik timbul pada lesi di medula oblongata. Pola pernafasan ini biasanya terdapat pada pasien
dalam stadium agonal.6Cara yang paling akurat untuk mendefinisikan stroke hemoragik dengan
stroke non hemoragik adalah dengan CT scan tetapi alat ini membutuhkan biaya yang besar
sehingga diagnosis ditegakkan atas dasar adanya suatu kelumpuhan gejala yang dapat
membedakan manifestasi klinis antara perdarahan infark.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis stroke dan menyingkirkan
diagnosis bandingnya. Laboratorium yang dapat dilakukan pada penderita stroke diantaranya
adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan darah, kadar elektrolit, dan kadar serum glukosa.
Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan otak adalah
langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam basis kedaruratan. Pencitraan
otak membantu dalam diagnosis adanya perdarahan, serta dapat menidentifikasi komplikasi
seperti perdarahan intraventrikular, edem otak, dan hidrosefalus. Baik CT non kontras ataupun
MRI otak merupakan pilihan yang dapat digunakan.
CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dari
stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke dari patologi intrakranial
lainnya. CT non kontras dapat mengidentifikasi secara virtual hematoma yang berdiameter
lebih dari 1 cm.
MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih bisa diandalkan
daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat mengidentifikasi malformasi vaskular
yang mendasari atau lesi yang menyebabkan perdarahan.
Salah satu tujuan utama pencitraan yang dilakukan pada stroke dini adalah identifikasi dan
karakterisasi perdarahan. Dalam pengaturan yang ideal, pencitraan akan diperoleh dalam
waktu kurang dari 3 sampai 6 jam onset gejala, dimana darah relatif segar.
Tabel 6. Evolusi dari penampakan perdarahan pada CT-scan dan MRI
Penatalaksanaan
Semua penderita yang dirawat dengan intracerebral hemorrhage harus mendapat
pengobatan untuk :
1
Pencegahan kejang.
Hipertensi dapat dikontrol dengan obat, sebaiknya tidak berlebihan karena
adanya beberapa pasien yang tidak menderita hipertensi; hipertensi terjadi karena
cathecholaminergic discharge pada fase permulaan. Lebih lanjut autoregulasi dari aliran
darah otak akan terganggu baik karena hipertensi kronik maupun oleh tekanan intrakranial
yang meninggi. Kontrol yang berlebihan terhadap tekanan darah akan menyebabkan iskemia
pada miokard, ginjal dan otak.9
Dalam suatu studi retrospektif memeriksa dengan CT-Scan untuk mengetahui
hubungan tekanan darah dan pembesaran hematoma terhadap 79 penderita dengan PIS,
mereka menemukan penambahan volume hematoma pada 16 penderita yang secara
bermakna berhubungan dengan tekanan darah sistolik. Tekanan darah sistolik 160 mmHg
segera
terhadap
pasien
dengan
PIS
ditujukan
langsung
labetalol, suatu antagonis alfa-1, beta-1 dan beta-2 kompetitif. Drip nitrogliserin mungkin
perlu untuk kasus tertentu.
Gas darah arterial diperiksa untuk menilai oksigenasi dan status asam-basa.
Bila jalan nafas tidak dapat dijamin, atau diduga suatu lesi massa intrakranial pada pasien
koma atau obtundan, dilakukan intubasi endotrakheal. Cegah pemakaian agen anestetik yang
akan meninggikan TIK seperti oksida nitro. Agen anestetik aksi pendek lebih disukai. Bila
diduga ada peninggian TIK, dilakukan hiperventilasi untuk mempertahankan PCO2 sekitar
25-30 mmHg, dan setelah kateter Foley terpasang, diberikan mannitol 1,5 g/kg IV. Tindakan
ini juga dilakukan pada pasien dengan perburukan neurologis progresif seperti perburukan
hemiparesis,
anisokoria
progresif,
atau
penurunan
tingkat
kesadaran.
Dilakukan
Kasus dengan koagulasi abnormal, risiko perdarahan ulang atau perdarahan yang
berlanjut sangat nyata kecuali bila koagulopati dikoreksi. Pasien dengan kelainan perdarahan
lain dikoreksi sesuai dengan penyakitnya.
Mengurangi Efek Massa
Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal maupun bedah. Pasien
dengan peninggian TIK dan atau dengan area yang lebih fokal dari efek massa, usaha
nonbedah untuk mengurangi efek massa penting untuk mencegah iskemia serebral
sekunder dan kompresi batang otak yang mengancam jiwa. Tindakan untuk mengurangi
peninggian TIK antara lain:
1
Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial serta memperbaiki
drainase vena.
Manitol intravena (mula-mula 1,5 g/kg bolus, lalu 0,5 g/kg tiap 4-6 jam
untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L).
Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan penambahan bolus cairan
koloid bila perlu.
Ventrikulostomi dengan pemantauan TIK serta drainase CSS untuk mempertahankan TIK
kurang dari 20 mmHg.
restriksi cairan, dan manitol biasanya memadai. Tindakan ini dilakukan untuk memperbaiki
tekanan perfusi serebral dan mengurangi cedera iskemik sekunder. Harus ingat bahwa
tekanan perfusi serebral adalah sama dengan tekanan darah arterial rata-rata dikurangi
tekanan intrakranial, hingga tekanan darah sistemik harus dipertahankan pada tingkat normal,
atau lebih disukai sedikit lebih tinggi dari tingkat normal. Diusahakan tekanan perfusi
serebral setidaknya 70 mmHg, bila perlu memakai vasopresor seperti dopamin intravena atau
fenilefrin.
Pasien sadar dipantau dengan pemeriksaan neurologis serial, pemantauan TIK
jarang diperlukan. Pada pasien koma yang tidak sekarat (moribund), TIK dipantau secara
hipoksia dan asidosis sering tampak selama aktifitas kejang, potensial untuk menambah
cedera otak sekunder.
Pengelolaan metabolik yang baik diperlukan pada pasien dengan PIS. Status
cairan, elektrolit serum, dan fungsi renal harus ditaksir berulang, terutama pada pasien
dengan restriksi cairan, mendapat manitol atau diuretika lain, atau tidak makan. Nutrisi
memadai adalah esensial.
Penatalaksanaan Operatif
Segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis tengah,
kembalinya tekanan intrakanial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan dan
mencegah pendarahan ulang. Indikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan
status neurologis, status radiologis, pengukuran tekanan intrakranial
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intracranial:
1
IED dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS 8
atau kurang.
Konstusio serebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau
pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.
Pasien-pasien
yang
menurun
kesadarannya
dikemudian
waktu
disertai
berkembangnya tanda- tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari 25
mmHg.
Decompressive Craniotomy
Teknik ini dilaporkan memberi keuntungan pada beberapa kondisi seperti hemispheric
ischaemia stroke dan ICH yang berkaitan dengan aneurysmal subarachnoid
haemorrhage.
Ukuran hematoma
Pencitraan dari PIS akut dapat membantu dalam mengelola pasien dan memprediksi
outcome neurologi pasien. Lokasi perdarahan dan keterlibatan struktur vital adalah prediktor
kuat dari outcome dan mempengaruhi kebutuhan akan tindakan pembedahan dekompresi.
Misalnya, perdarahan fossa posterior memiliki prognosis yang lebih buruk dan lebih sering
memerlukan tindakan pembedahan dekompresi. Total volume perdarahan adalah prediktor
kuat untuk terjadinya mortalitas dalam waktu 30 hari, terutama bila dikombinasikan dengan
pemeriksaan Glasgow Coma Scale score. Volume perdarahan dapat cepat diperkirakan pada
pencitraan cross sectional dengan menggunakan metode ABC/2, dimana A adalah diameter
hematoma maksimal, B adalah diameter diukur pada 90 derajat dari A, dan C adalah
perkiraan jumlah irisan mengandung hematoma dikalikan dengan ketebalan irisan (Smith &
Eskey, 2011).
Seiring dengan meningkatnya ukuran bekuan, outcome menjadi lebih buruk,
perdarahan dengan rukuran lebih dari 60 cm3 berkorelasi dengan outcomes yang buruk.
Jarak bekuan darah ke permukaan otak tampaknya mempengaruhi hasil relatif manajemen
nonsurgical dibandingkan dekompresi, gumpalan dengan jarak 1 cm dari permukaan otak
memiliki outcome yang lebih baik dengan pembedahan dekompresi (Smith & Eskey, 2011).
Perluasan hematoma
Selain ukuran dari hematoma, kemungkinan adanya perdarahan berkelanjutan dan
perluasan hematoma mempengaruhi outcome dan dapat menentukan intervensi yang akan
dilakukan. Adanya perluasan substansial PIS masih kontroversial pada beberapa studi,
terjadi pada 38% pasien dalam 24 jam pertama dalam 1 seri prospektif, sedangkan studi
menyatakan bahwa ekspansi setelah 24 jam jarang terjadi. Ekspansi dini hematoma
meningkatkan risiko kematian dan outcome fungsional yang buruk (Smith & Eskey, 2011).
Penggunaan manitol
Pada gangguan neurologis, Diuretic Osmotik (Manitol) merupakan jenis diuretik
yang paling banyak digunakan. Manitol adalah suatu Hiperosmotik Agent yang
digunakan dengan segera meningkat. Volume plasma untuk meningkatkan aliran darah
otak dan menghantarkan oksigen (Norma D McNair dalam Black, Joyce M, 2005). Ini
merupakan salah satu alasan manitol sampai saat ini masih digunakan untuk mengobati
klien menurunkan peningkatan tekanan intrakranial. Manitol selalu dipakai untuk terapi
edema otak, khususnya pada kasus dengan Hernisiasi. Manitol masih merupakan obat
magic untuk menurunkan tekanan intrakranial, tetapi jika hanya digunakan sebagai mana
mestinya. Bila tidak semestinya akan menimbulkan toksisitas dari pemberian manitol,
dan hal ini harus dicegah dan dimonitor.
Indikasi dan dosis pada terapi menurunkan tekanan intrakranial.
Terapi penatalaksanaan untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakranial
dimulai bilamana tekanan Intrakranial 20-25 mmHg. Management penatalaksanaan
peningkatan tekanan Intrakranial salah satunya adalah pemberian obat diuretik osmotik
(manitol), khususnya pada keadaan patologis edema otak. Tidak direkomendasikan untuk
penatalaksanaan tumor otak. Seperti yang telah dijelaskan di atas, diuretik osmotik
(manitol) menurunkan cairan total tubuh lebih dari kation total tubuh sehingga
menurunkan volume cairan intraseluler.
Dosis : Untuk menurunkan tekanan intrakranial, dosis manitol 0,25 1 gram/kgbb
diberikan bolus intravena, atau dosis tersebut diberikan intravena selama lebih dari
10 15 menit. Manitol dapat jugadiberikan atau dicampur dalam larutan Infus 1,5 2
gram/kgbb sebagai larutan 15-20% yang diberikan selama 30-60 menit. Manitol
diberikan untuk menghasilkan nilai serum osmolalitas 310 320 mOsm/L. Osmolalitas
serum sering kali dipertahankan antara 290 310 mOsm. Tekanan Intrakranial harus
dimonitor, harus turun dalam waktu 60 - 90 menit, karena efek manitol dimulai setelah
0,5 - 1 jam pemberian. Fungsi ginjal, elektrolit, osmolalitas serum juga dimonitor selama
pasien mendapatkan manitol. Perawat perlu memperhatikan secara serius, pemberian
manitol bila osmolalitas lebih dari 320 mOsm/L. Karena diureis, hipotensi dan dehidrasi
dapat terjadi dengan pemberian manitol dalam jumlah dosis yang banyak. Foley catheter
harus dipasang selama pasien mendapat terapi manitol. Dehidrasi adalah manisfestasi
dari peningkatan sodium serum dan nilai osmolalitas.
Obat Neuroprotektor :
1
Oleh karena efek piracetam pada agregasi platelet, peringatan harus diberikan
pada penderita dengan gangguan hemostatis atau perdarahan hebat.
Injeksi Citicoline
Indikasi : Gangguan kesadaran yang menyertai kerusakan atau cedera serebral,
trauma serebral, operasi otak, dan infark serebral. Mempercepat rehabilitasi tungkai
atas dan bawah pada pasien hemiplegia apopleksi.
Dosis : Gangguan kesadaran karena cedera kepala atau operasi otak 100-500 mg 12x/hari secara IV drip atau injeksi. Gangguan kesadaran karena infark serebral 1000
mg 1x/hari secara injeksi IV. Hemiplegia apopleksi 1000 mg 1x/hari secara oral atau
injeksi IV.
Pemberian obat : berikan pada saat makan atau di antara waktu makan.
Efek samping : hipotensi, ruam, insomnia, sakit kepala, diplopia.
Mekanisme kerja :
Prognosis
Kematian pada PIS mendekati 50% pada 1 tahun pertama. Prediktor independen
selama 30 hari dan mortalitas 1 tahun antara lain termasuk volume besar ICH, koma, usia
yang lebih tua, perdarahan intraventrikular dan lokasi infratentorial.
berguna skala penilaian klinis (skor ICH) yang menggabungkan lima elemen ini
memungkinkan estimasi cepat untuk mortalitas 30 hari pasien MRS (Jha & Gupta, 2012).
Kelima elemen tersebut dapat memperkirakan mortalitas selama 30 hari pasien di rawat di
rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA