Anda di halaman 1dari 48

BAB 1

PENDAHULUAN
Penyakit serebrovaskular merupakan penyebab paling sering defisit neurologis
non traumatik dengan onset cepat. Hal ini jauh lebih umum dari kejang atau tumor. Struktur
vaskular yang mengalami berbagai proses patologis kronis mempengaruhi integritas dinding
pembuluh darah. Diabetes, kolesterol yang tinggi, tekanan darah tinggi, dan merokok merupakan
faktor risiko untuk penyakit vaskular. Kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah
oleh mekanisme seperti deposisi ateroma yang menyebabkan stenosis luminal, kerusakan endotel
Yang mencetuskan trombogenesis, dan melemahnya dinding pembuluh mengakibatkan
pembentukan aneurisma atau diseksi (Halpern & Grady, 2015).
Proses ini dapat terjadi bersamaan. Misalnya, pembuluh darah yang berisi plak
ateromatosa akan memiliki diameter lumen yang mengecil. Plak juga mempengaruhi endotelium
dalam hal pembentukan trombus yang dapat menyebabkan oklusi akut total dari lumen pembuluh
darah. Aneurisma dan diseksi sering terjadi dalam pembuluh ateromatosa. Pola penyakit tertentu
yang relevan dengan sistem serebrovaskular termasuk ateromatosa dan trombotik oklusi karotis,
iskemia otak oleh karena emboli, dinding pembuluh darah pecah yang menyebabkan perdarahan,
struktur pembuluh darah yang berdinding tipis, khususnya pada aneurisma dan AVM (Halpern &
Grady, 2015).
Perdarahan intraserebral (PIS) berjumlah 10-30% dari seluruh kasus stroke di rumah sakit
dengan angka mortalitasnya 30-50% dalam waktu 6 bulan. Hanya 20% pasien yang dapat
kembali kemandiriannya dalam waktu 6 bulan. Klasifikasi ICH dibagi menjadi dua yaitu primer
dan sekunder. ICH primer terjadi pada perdarahan yang berasal dari ruptur spontan arteri kecil
atau arteriol yang sebelumnya mengalami kerusakan akibat hipertensi kronik atau angiopati
amiloid. PIS sekunder terjadi pada perdarahan akibat trauma, ruptur dari aneurisma atau
malformasi vaskuler, koagulopati, atau penyebab lainnya (Jha & Gupta, 2012).

BAB 2
LAPORAN KASUS

Identitas
Nama

: Tn. EN

Usia

: 38 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Jl. M. Said RT 32

Pekerjaan

: Swasta

Agama

: Islam

No. Rekam Medis

: 47.37.53

Masuk Rumah Sakit

: 13 Agustus 2015

Anamnesis
Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ke IGD RSUD AWS Samarinda karena tidak sadar sejak 30 menit SMRS.
Sebelumnya pasien mengeluhkan sakit kepala saat akan tidur pada pukul 00.30 WITA. Pasien
sempat diperiksa tekanan darahnya oleh keluarganya dengan hasil 200/110 mmHg, lalu pasien
meminum Amlodipin 5 mg. Untuk mengurangi keluhan sakit kepalanya pasien meminum obat
Paramex sebanyak 1 tablet, tak lama kemudian pasien mengalami muntah. Muntah berkali-kali
berisi makanan sebelum akhirnya pasien tidak sadarkan diri. Pasien segera dibawa oleh
keluarganya ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan pasien masih belum sadar. Saat di IGD pasien
diperiksa tekanan darahnya dengan hasil 200/100 mmHg. Diberikan cairan infus RL 20 tpm,
oksigen 3 lpm dengan OPA dan nasal kanul, dan dipasang kateter urin. Kesadaran pasien pulih
saat di IGD, namun pasien mengalami kelemahan anggota gerak dan pelo ketika pasien
berbicara.

Riwayat Penyakit Dahulu


-

Riwayat memiliki keluhan yang sama sebelumnya disangkal.

Pasien memiliki riwayat diabetes melitus sejak tahun 1997 (18 tahun). Pasien rutin kontrol ke
Poliklinik Penyakit Dalam RSUD AWS Samarinda dan mendapat terapi insulin.

Pasien memiliki riwayat hipertensi lebih kurang 20 tahun. Pasien tidak rutin meminum oat
antihipertensi.

Riwayat alergi, asma, dan penyakit jantung disangkal.

Riwayat MRS di ruang Anggrek RSUD AWS Samarinda tahun 2010, 2012, dan 2013 karena
diabetes melitus. Riwayat MRS operasi katarak pada kedua mata. Riwayat ambeien (+).

Pasien memiliki kolesterol yang tinggi, terakhir cek mencapai 400.

Riwayat Penyakit Keluarga


-

Terdapat riwayat DM tipe II pada keluarga pasien yaitu ibu pasien.

Terdapat riwayat hipertensi pada kedua orang tua pasien.

Riwayat alergi, asma, penyakit jantung pada keluarga disangkal.

Riwayat Kebiasaan
-

Riwayat merokok selama lebih kurang 20 tahun dan berhenti merokok 3 bulan yang lalu,
konsumsi alkohol (-) dan obat-obatan terlarang (-), rutin berolahraga (-)

Pemeriksaan fisik
-

Keadaan umum

: Pasien tampak lemah

Kesadaran

: Somnolen, GCS E4VtcM6

Tekanan darah

: 178/97 mmHg

Nadi

: 98x/menit

Pernafasan

: 16x/menit

Suhu

: 36,7C

Status Generalisata
Kepala dan leher
-

Umum
o Rambut

: Tidak ada kelainan

o Kulit muka

: Tidak terlihat kuning dan pucat

Mata
o Palpebra

: Tidak ada kelainan

o Konjungtiva

: Tidak anemis

o Sklera

: Tidak ada kelainan, iketerik (-)


o Pupil

: Anisokor, bentuk pipih/bulat, diameter

4mm/3mm, refleks cahaya (+/+)


-

Hidung
o Tidak ada deviasi septum
o Tidak ada sekret
o Tidak ada pernapasan cuping hidung

Telinga
o Bentuk normal
o Lubang telinga normal, tidak ada sekret
o Prosessus mastoideus tidak ada pembengkakan

Mulut
o Bibir tidak pucat maupun sianosis, nampak kering
o Gusi tidak ada perdarahan
o Mukosa normal, tidak hiperemis, tidak ada pigmentasi
o Lidah nkering
o Faring normal, tidak hiperemis

Leher
o Terdapat trakeostomy pada leher, sekret kekuningan
o Tidak teraba pembesaran kelenjar limfe

Toraks
Umum
-Bentuk dan pergerakan dada simetris
Cor
-

Inspeksi

: Iktus cordis tidak tampak

Palpasi

: Iktus cordis teraba pada ICS V mid clavicula sinistra

Perkusi

: Batas kanan pada garis parasternal dextra, batas kiri pada ICS V garis
mid clavicula sinistra

Auskultasi : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo
-Inspeksi

: Bentuk dada normal, gerakan napas tampak simetris

Palpasi

: Gerakan napas teraba simetris, fremitus raba dextra = sinistra

Perkusi

: Sonor dikedua lapangan paru

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronki (-), wheezing (-)

Abdomen
-

Inspeksi

: Flat

Palpasi

: Soefl, NTE (-), massa (-), hepar/lien/ginjal tidak teraba,


defans muscular (-)

Perkusi

Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal

: Timpani, asites (-)

Ekstremitas
Superior
-

Ekstremitas hangat, edema (+/+), CRT < 2 detik

Inferior
-

Ekstremitas hangat, edema tungkai (+/+),CRT < 2 detik

Pemeriksaan Neurologis
-

Diameter Pupil
Reflek Pupil
Reflek Kornea

Meningeal sign :
Kaku kuduk (-), Brudzinki I (-), Brudzinki II (-), Kernig sign (-)

: Anisokor, bentuk pipih/bulat, diameter 4mm/3mm


: +/+
: +/+

Cranial Nerves
Jenis Nervus
NI
Olfaktorius
N II
Optikus
N III
Okulomotorius

Jenis Pemeriksaan
Subjektif
Objektif
Tajam penglihatan
Lapangan pandang
Melihat warna
Pergerakan bola mata
Strabismus
Nystagmus
Eksoftalmus
Diameter pupil

Kanan
+
+

Kiri
+
+

sde
sde
sde
+
4 mm

sde
sde
sde
+
3mm

N IV
Trochlearis
NV
Trigeminus
N VI
Abduscens
N VII
Facialis
N VIII
Vestibulocochlearis
N IX
Glossopharyngeus,
NX
Vagus
N XI
Accesorius
N XII
Hypoglossus

Bentuk pupil
Refleks cahaya
Diplopia
Pergerakan bola

Pipih
+
sde
+

Bulat
+
sde
+

medial bawah
Membuka mulut
Mengunyah
Menggigit
Sensibilitas wajah
Pergerakan bola mata ke lateral

+
+
+
+
+

+
+
+
+
+

Mengerutkan dahi
Menutup mata
Memperlihatkan gigi
Perasaan lidah bagian depan

+
+
+
sde

+
+
+
sde

mata

ke

Suara berbisik
Pengangkatan arkus faring
Fungsi menelan
Menghasilkan suara (fonasi)

Sde
Sde
Sde

Mengangkat bahu
Memalingkan kepala
Deviasi lidah
Tremor lidah

+
+

+
+

sde
-

sde
-

Badan dan Ekstremitas


Bagian tubuh
Badan
Ekstremitas superior

Pemeriksaan
Sensibilitas taktil
Sensibilitas nyeri
Sensibilitas suhu
Pergerakan
Kekuatan

Kanan
+
+
sde

Kiri
+
+
Sde
+

Humerus

Antebrachii

Manus
Refleks fisiologis

Refleks biceps

Ekstremitas inferior

Refleks triceps
Refleks patologis

Hoffman tromner
Sensibilitas nyeri
Sensibilitas taktil
Pergerakan
Kekuatan

sde
sde

sde
sde
+

Femur

Cruris

Pedis
Refleks fisiologis

Refleks patella

Refleks achilles
Refleks patologis

Refleks babinski

Refleks chaddok

+
sde
sde
-

Sde
sde
-

Refleks oppenheim
Sensibilitas nyeri
Sensibilitas taktil
Laseque
Gerakan-gerakan Abnormal
-

Gerakan-gerakan abnormal pada pasien tidak dijumpai.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal
GDS
GDP
GD2JPP
Asam urat
Ureum
Creatinin
WBC

13/08/1

14/08

16/08/1

17/08/

18/08

19/08/

20/08/

21/08/

5
263

/15

15

/15

15

15

15

158

259
204
6,4
57,3
70,2
1,6
1,9
11.500

61,2

108,2

1,6

5,0
27.000

9.200

121

113,5

106,8
3,8

3,3

3,7
7.600

9.300

7.600

Normal

Satuan

60-150

mg/dL

60-100
70-150
2,5-7,0

mg/dL
mg/dL
mg/dL

10-40

mg.dL

0,5-1,5

mg/dL

4-10

103 /L

HCT
Hb

28,9
9,8

30
9,9

Platelet

286.000

217.000

LED
Kolesterol
TG
HDL
LDL
Hba1C
SGOT
SGPT

37-54
11-16

%
g/dl

150-450

103 /L

150-220
<200
P>35/W>25
<190

mg.dl
mg.dl
mg.dl
mg.dl

P<25/W< 31
P<31/W<32

mg.dl
mg.dl

3,2-4,5

g/dl

2,3-3,5

g/dl

6,6-8,7

mg.dl

0,3

0-1,0

mmol/L

0,1

0-0,25

mmol/L

0,2

0-0,75

mmol/L

1-6

menit

10

1-15

menit

2,3

Globulin
Protein

2,6

2,5

Direk
Bilirubin
Ind.
Bleeding

2,2

time
Clotting
time
APTT
PT
INR
HbsAg
Ab HIV
Na
K
Cl

24,9
8,1
97.000

27,2
9,0
82.000

105

93

334
7,5%
30
24
2,3

Total
Bilirubin

30,2
9,6
116.00

408

Albumin

Total
Bilirubin

32,1
10,0
145.00

2,1

2,2

2,5

2,3

2,1

28,3
13,6
1,10
NR
NR
135
3,5
111

28-34
Kontrol 13,2
NR
NR

144
4,2
112

145
4,3
127

158
3,8
118

Hasil Kultur Darah 21 Agustus 2015


Organisme: Klebseilla pneumoniae
Antibiotik resisten: Ampicillin, Cefotaxime, Ceftazidine, Ceftriaxone
Antibiotik sensitif: Meropenem, Gentamicin, Amoxocillin
Head CT-scan

Interpretasi Head CT-scan:


1. Identitas pasien: Bapak EN, Laki-laki, Usia 38 tahun
2. Tanggal pembuatan: 13 Agustus 2015
3. Evaluasi bone window: tidak nampak adanya fraktur
4. Evaluasi brain window: terdapat perdarahan inraserebral
5. Jumlah slice: Potongan axial 17 slice, sagital 2 slice, coronal 1 slice
6. Jarak antar slice: 10 mm = 1 cm
7. Evaluasi soft tissue: edema (-)
8. Evaluasi tulang: continue (+)
9. Evaluasi sulvian fissure: perdarahan (-)

10. Evaluasi sulcus gyrus: tidak menyempit, perdarahan (-)


11. Evaluasi sisterna mesenfalik: tidak menyempit
12. Evaluasi ventrikel: Ukuran tidak menyempit, perdarahan (-), terdapat midline shift ke
arah dekstra 1 cm.
Volume perdarahan: (p x l x t)/2 = (6,9 x 3 x 4)/2 = 82,8 cm3/2 = 41,4 cc
Follow Up
Hari/
Tanggal
13 Aug
2015

Lemah anggota

TD:179/100

gerak

RR: 20 x/i

kanan,

muntah
GDS 281

N: 89x/i
T: 36,70C

Somnolen, KU lemah
Ane(-/-) Ikt(-/-), edema palpebral (+/
+)
Ves (+/+), Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular,
Gallop (-), Murmur (-)
Soefl, flat, BU (+) N, NT (-)
Edema ekstremitas sup (+/+)
minimal, inf (+/+), akral hangat (+)
Status neurologis:
GCS E3VafasiaM6
Pupil anisokor pipih bulat 4

Hemiparese D +

Head up 300

Afasia

Nasal canul 2 lpm

ec.

motoric
Stroke

Hemoragik
(ICH)

Inj. Asam Traneksamat 4 x 1 g H-2


+

Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr IV H-2

+ DM tipe II

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp IV

(uncontrolled)

Amlodipin 10 mg I-0-0

PH-1

Neurodex 0-I-0
Inj.

Cek KDL, profil lipid, HbA1c


Konsul BS batal
+ Simvastatin 2 x 20 mg

GDS 231

gerak kanan

RR: 20 x/i

extra

Cek GDS (06.00)

St. sensorik: +

2015

amp

Inj. Apidra 3 x 4 IU (sc)

1 5

TD:185/100

Diet rendah garam

MMT 1 5 RF /+, RP +/-

Lemah anggota

Metoclopramid

selanjutnya Domperidon 3 x 1 tab

St. motorik:kesan lateralisasi D

Aug

Manitol infus 4 x 150 cc H-2

Hipertensi st. II

mm/3mm, RC (+/+)

14

IVFD Asering 80 cc/jam

N: 89x/i
T: 36,70C

Somnolen, KU lemah
Ane(-/-) Ikt(-/-), edema palpebral (+/
+)
Ves (+/+), Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular,
Gallop (-), Murmur (-)
Soefl, flat, BU (+) N, NT (-)
Edema ekstremitas sup (+/+)
minimal, inf (+/+), akral hangat (+)
Status neurologis:
GCS E3VafasiaM6
Pupil anisokor pipih bulat 4

Hemiparese D +

+ Trf. Albumin 20%


Head up 300

Afasia

Nasal canul 2 lpm

ec.

motoric
Stroke

Hemoragik
(ICH)

IVFD Asering 80 cc/jam


Inj. Asam Traneksamat 4 x 1 g H-2

Manitol infus 4 x 150 cc H-2

Hipertensi st. II

Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr IV H-2

+ DM tipe II

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp IV

(uncontrolled)

Amlodipin 10 mg I-0-0

PH-2

Neurodex 0-I-0
Inj.

Metoclopramid

amp

selanjutnya Domperidon 3 x 1 tab

extra

mm/3mm, RC (+/+)

Diet rendah garam

St. motorik:kesan lateralisasi D

Inj. Apidra 3 x 4 IU (sc)

MMT 1 5 RF /+, RP +/-

Cek GDS (06.00)


Cek KDL, profil lipid, HbA1c

1 5

Konsul BS batal

St. sensorik: +
+
15

Aug

2015

+ Simvastatin 2 x 20 mg

Lemah anggota

TD:175/99

N: 90 x/i

Hemiparese

gerak kanan

RR: 20 x/i

T: 36,50C

ec.

Somnolen, KU lemah
Ane(-/-) Ikt(-/-), edema palpebral (+/
+)
Ves (+/+), Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular,
Gallop (-), Murmur (-)
Soefl, flat, BU (+) N, NT (-)
Edema ekstremitas sup (+/+), inf (+/
+), akral hangat (+)
Status neurologis:
GCS E3VafasiaM5
Pupil anisokor pipih/bulat, diameter

GDS 450

Stroke

Hemoragik
(ICH)

+ Infus Albumin 20%


Head up 300
Nasal canul 2 lpm
IVFD Asering 80 cc/jam

Inj. Asam Traneksamat 4 x 1 g H-4

Hipertensi st. II

Manitol infus 4 x 150 cc H-4

+ DM tipe II

Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr IV H-4

(uncontrolled) +

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp IV

Dislipidemia

Amlodipin 10 mg I-0-0

Hipoalbuminem

Micardis 40 mg 0-0-I

ia + Sinusitis D

Neurodex 0-I-0

+ AKI PH-3

Diet rendah garam


Inj. Apidra 3 x 4 IU (sc)

4 mm/3mm, RC (+/+)

Cek GDS (06.00)

n. cranialis kesan parese n. V, VII,

Cek KDL, profil lipid, HbA1c

IX, XII

Simvastatin 2 x 20 mg

St. motorik:kesan lateralisasi D

Infus Albumin 20%

MMT 1 5 RF /+, RP +/-

Cek ulang albumin post koreksi

1 5

+ Nabic 3 x 1 tab

St. sensorik: +

+ Calos 1 x 1 tab

+ Trifed 3 x1 tab
+ Tramadol 3 x 1 amp dalam RL 20 tpm
Cek elektrolit/ 2 hari
Diet DM, rendah garam, cukup protein
(putih telur)

17

SaO2 68 pasang Jackson ris

Aug

2015

SaO2 96%

10.00
18 Aug

Penurunan

TD:119/81

N: 93 x/i

Stroke

Head up 300

2015

kesadaran

RR: 20 x/i

T: 36,50C

Hemoragik

Nasal canul 2 lpm

GDS 204
Albmn
2,1

Somnolen, KU lemah
Ane(-/-) Ikt(-/-), edema palpebral (+/
+)
Ves (+/+), Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular,
Gallop (-), Murmur (-)
Soefl, flat, BU (+) N, NT (-)
Edema ekstremitas sup (+/+), inf (+/

(ICH)

IVFD Asering 80 cc/jam

Hipertensi st. II

Inj. Asam Traneksamat 2 x 1 g H-7

+ DM tipe II

Manitol infus 2 x 150 cc H-7

(uncontrolled) +

Inj. Meropenem 3 x 1 gr IV

Dislipidemia

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp IV

Hipoalbuminem

+ Laxadin syr 3 x CI

+), akral hangat (+)


Status neurologis:
GCS E3V2M5
Pupil anisokor pipih/bulat, diameter

ia + Nefropathy

Diet sonde diet Diabetasol + putih

DM HP-6

telur
Inj. RI 3 x 8 IU (sc)

4mm/3mm, RC (+/+)

Cek GDS tiap pagi

n. cranialis kesan parese n. V, VII,

Cek KDL, profil lipid, HbA1c

IX, X, XII

Simvastatin 2 x 20 mg

St. motorik:kesan lateralisasi D

Cek ulang albumin post koreksi

MMT 1 5 RF /+, RP +/-

Nabic 3 x 1 tab
Calos 1 x 1 tab

1 5

Trifed 3 x1 tab

St. sensorik: sde

Cek elektrolit/ 2 hari


Cek ulang DL
Co. dr. Grace, Sp. BS, advice:
Pre OP besok 19 Agustus 2015
Persiapan: PRC II
Puasa
Cukur
Berryplast, Collacure
SIO
OK IBS
Anestesi
Post OP kembali ke Unit Stroke
dr. Sp. PD, advice:
Inj. RI 3 x 6 IU (sc)
jika GD < 110, Inj. RI 3 x 4 IU (sc)
Infus Albumin 20%
Diet DM 6 x 200 cc
ACC OP Jika GD <200
19
2015

Aug

Keluhan (-)

GCS E4V2M6
TD:164/74
RR: 18 x/i

N: 96 x/I
0

T: 36,7 C

Ane(-/-) Ikt(-/-), edema palpebral (+/


+), pupil anisokor bulat 4mm/3mm,
RC (+/+)
Thorak: Gerakan napas simetris,
fremitus raba simestris, sonor (+/+),
Vesikuler (+/+), Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular,
Gallop (-), Murmur (-)
BU (+) N, NT (-)
Edema ekstremitas sup (+/+), inf (+/
+), akral hangat (+)
Status neurologis:

Stroke

Cek UL
Pro
craniotomy

Hemoragik

trakeostomy hari ini di OK IBS

(ICH)

Hipertensi st. II
+ DM tipe II
PH-7

decompresi

GDS 255 Inj. Insulin 4 IU (sc) 231

GCS E3VtcM5
Pupil anisokor

pipih

bulat

mm/3mm, RC (+/+)
St. motoric:kesan lateralisasi D
RF /+, RP +/St. sensorik: sde
MMT 1 5
2 4
19

Aug

Keluhan (-)

2015

TD:136/75

N: 88 x/I

Post craniotomy

Head up 300

RR: 26 x/i

T: 36,60C

decompresi

NRM 12 lpm via TC

Ane(-/-) Ikt(-/-), edema palpebral (+/


+), pupil anisokor bulat 4 mm/3mm,
RC (+/+)
Thorak: Gerakan napas simetris,
fremitus raba simestris, sonor (+/+),
Vesikuler (+/+), Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular,
Gallop (-), Murmur (-)
BU (+) N, NT (-)
Edema ekstremitas sup (+/+), inf (+/
+), akral hangat (+)
Status neurologis:
GCS E3VtcM5
Pupil anisokor pipih bulat 4

20

Aug

2015
86%
01.00
WITA

Sesak,
menurun

saturasi

trakeostomy H-0

IVFD Asering 80 cc/jam

ec.

Inj. Meropenem 3 x 1 gr IV/ hari

Stroke

Hemoragik
(ICH)

Inj. Asam Traneksamat 3 x 500 mg


+

Manitol infus 4 x 150 cc

Hipertensi st. II

Inj. Metamizole 3 x 1 amp IV

+ DM tipe II

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp IV

PH-7

Inj. Kutoin 3 x 100 mg IV


Inj. RI 3 x 8 IU (sc)
Nevu Bisolvon/ 2 jam
Suction berkala
Rawat TC/hari

mm/3mm, RC (+/+)

Chest Fisioterapi

St. motoric:kesan lateralisasi D

Cek DL, Albumin, SE post OP

RF /+, RP +/-

Besok pindah Angsoka

St. sensorik: sde

Kultur sputum

MMT 1 5
2 4
TD:138/64

N: 96 x/I

Post craniotomy

Head up 300

RR: 24 x/i

T: 36,60C

decompresi

NRM 12 lpm via TC

Ane(-/-) Ikt(-/-), edema palpebral (+/


+), pupil anisokor bulat 4 mm/3mm,
RC (+/+)
Thorak: Gerakan napas simetris,
fremitus raba simestris, sonor (+/+),
Vesikuler (+/+), Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular,
Gallop (-), Murmur (-)
BU (+) N, NT (-)
Edema ekstremitas sup (+/+), inf (+/
+), akral hangat (+)
Status neurologis:
GCS E3VtcM5
Pupil anisokor pipih bulat 4
mm/3mm, RC (+/+)
St. motoric:kesan lateralisasi D

trakeostomy H-1

IVFD Asering 80 cc/jam

ec.

Inj. Meropenem 3 x 1 gr IV/ hari

Stroke

Hemoragik
(ICH)

Inj. Asam Traneksamat 3 x 500 mg


+

Manitol infus 4 x 150 cc

Hipertensi st. II

Inj. Metamizole 3 x 1 amp IV

+ DM tipe II

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp IV

PH-8

Inj. Kutoin 3 x 100 mg IV


Inj. RI 3 x 8 IU (sc)
Transfusi PRC 1 kolf
Nevu Bisolvon/ 2 jam
Suction berkala

RF /+, RP +/St. sensorik: sde

20

Aug

2015

Bengkak tangan
dan kaki

MMT 1 4
2 4
TD:130/74
RR: 24 x/i

N: 77 x/I
0

T: 36,7 C

Ane(-/-) Ikt(-/-),edema palpebral (+/


+), pupil anisokor bulat 4 mm/3mm,
RC (+/+)
Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular,
Gallop (-), Murmur (-)
BU (+) N, NT (-)
Edema ekstremitas sup (+/+), inf (+/
+), akral hangat (+)
Status neurologis:
GCS E3VtcM5
Pupil anisokor pipih bulat 4

97%
Alb 2,1
GDS 315

Post Craniotomy

Observasi vital sign + GCS + TIK

decompresi

Head up 300

trakeostomy H-1

NRM 7-10 lpm

ec.

IVFD Asering 80 cc/jam

Stroke

Hemoragik
(ICH)

Inj. Meropenem 3 x 1 gr IV/ hari


+

Inj. Asam Traneksamat 3 x 500 mg

Hipertensi st. II

Manitol infus 3 x 150 cc

+ DM tipe II +

Infus albumin 20%

AKI PH-8

Inj. Metamizole 3 x 1 amp IV


Inj. Ranitidin 2 x 1 amp IV
Inj. Kutoin 3 x 100 mg IV
Inj. RI 3 x 8 IU (sc)

mm/3mm, RC (+/+)

Simvastatin 2 x 20 mg

St. motoric:kesan lateralisasi D

Calos 2 x 1 tab

RF /+, RP +/-

Asam folat 2 x 1 tab

St. sensorik: sde

Nevu Bisolvon/ 2 jam

MMT 1 4
2 4

Suction berkala
Cek GDS (06.00 dan 22.00)
Cek ulang GDS puasa ekstra
Diet Diabetasol 4 x 200 cc, cukup protein
(putih telur)
Cek Ur, Cr/2 hari
Cek DL/ 12 jam
Rawat TC/hari
Ganti perban/2 hari

21
2015
99%

Aug

Bengkak tangan

TD:101/58

N: 90 x/i

Post Craniotomy

Chest Fisioterapi
Observasi vital sign + GCS + TIK Head

dan kaki

RR: 20 x/i

T: 36,70C

decompresi

up 300

Somnolen, KU lemah
Ane(-/-) Ikt(-/-), edema palpebral (+/
+)
Ves (+/+), Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular,
Gallop (-), Murmur (-)
Soefl, flat, BU (+) N, NT (-)
Edema ekstremitas sup (+/+), inf (+/
+), akral hangat (+)
Status neurologis:
GCS E3VtcM5
Pupil anisokor pipih bulat 4
mm/3mm, RC (+/+)

trakeostomy H-2

NRM 7-10 lpm

+ Hipertensi st.

IVFD Asering 80 cc/jam

II + DM tipe II

Inj. Meropenem 3 x 1 gr IV/ hari

Inj. Asam Traneksamat 3 x 500 mg

Nefropathy

DM

Obs.

Manitol infus 3 x 150 cc

Trombositopeni

Infus albumin 20%

a PH-9

Inj. Metamizole 3 x 1 amp IV


Inj. Ranitidin 2 x 1 amp IV
Inj. Kutoin 3 x 100 mg IV
Inj. RI 3 x 8 IU (sc)

St. motoric:kesan lateralisasi D

Simvastatin 2 x 20 mg

RF /+, RP +/-

Calos 2 x 1 tab

St. sensorik: sde

Asam folat 2 x 1 tab

MMT 1 4
2 4

Nevu Bisolvon/ 2 jam


Suction berkala
Cek GDS (06.00 dan 22.00)
Cek ulang GDS puasa ekstra
Diet Diabetasol 4 x 200 cc, cukup protein
(putih telur)
Cek Ur, Cr/2 hari
Cek DL/ 12 jam
Rawat TC/hari
Ganti perban/2 hari
Chest Fisioterapi
Kultur sputum
Inj. RI 10 IU (sc)
dr. Sp. PD, advice:
RI (sp) kec. 4 menit/jam
Cek GDS/2 jam, jika:
GD <150 Stop
GD 150-200 kec. 1 unit/jam
GD 200-300 kec. 2 unit/jam
GD 300-400 kec. 3 unit/jam
GD >400 kec. 4 unit/jam
Jika GD < 250 gr/dL, selama minimal 6

22
2015
94%

Aug

Bengkak tangan

TD:149/77

N: 76 x/i

Post Craniotomy

jam lapor ulang


Observasi vital sign + GCS + TIK

dan kaki

RR: 20 x/i

T: 36,80C

decompresi

Head up 300

Somnolen, KU lemah
Ane(-/-) Ikt(-/-), edema palpebral (+/
+)
Ves (+/+), Wh(-/-) Ro(-/-)
S1S2 tunggal, regular,
Gallop (-), Murmur (-)
Soefl, flat, BU (+) N, NT (-)
Edema ekstremitas sup (+/+), inf (+/
+), akral hangat (+)
Status neurologis:
GCS E3VtcM5
Pupil anisokor pipih bulat 4
mm/3mm, RC (+/+)
St. motoric:kesan lateralisasi D
RF /+, RP +/St. sensorik: sde

trakeostomy H-2

NRM 7-10 lpm

+ Hipertensi st.

IVFD Asering 80 cc/jam

II + DM tipe II

Inj. Meropenem 3 x 1 gr IV/ hari

Inj. Asam Traneksamat 3 x 500 mg

DM

Nefropathy
+

Obs.

Manitol infus 3 x 150 cc

Trombositopeni

Infus albumin 20%

a PH-10

Inj. Metamizole 3 x 1 amp IV


Inj. Ranitidin 2 x 1 amp IV
Inj. Kutoin 3 x 100 mg IV
Inj. RI 3 x 8 IU (sc)
Simvastatin 2 x 20 mg
Calos 2 x 1 tab
Asam folat 2 x 1 tab

MMT 1 4
2 4

Nevu Bisolvon/ 2 jam


Suction berkala
Cek GDS (06.00 dan 22.00)
Cek ulang GDS puasa ekstra
Diet Diabetasol 4 x 200 cc, cukup protein
(putih telur)
Cek Ur, Cr/2 hari
Cek DL/ 12 jam
Rawat TC/hari
Ganti perban/2 hari
Chest Fisioterapi
Kultur sputum
Inj. RI 10 IU (sc)
dr. Sp. PD, advice:
RI (sp) kec. 4 menit/jam
Cek GDS/2 jam, jika:
GD <150 Stop
GD 150-200 kec. 1 unit/jam
GD 200-300 kec. 2 unit/jam
GD 300-400 kec. 3 unit/jam
GD >400 kec. 4 unit/jam
Jika GD < 250 gr/dL, selama minimal 6
jam lapor ulang

Diagnosis
Diagnosis Masuk (IGD):
-

Stroke Hemoragik (ICH) + DM Tipe II Uncontrolled

Diagnosis Akhir:
ICH spontan
Hipertensi grade II
Pneumonia
DM Tipe II
Penatalaksanaan
Terapi dr. Sp. S:

Inj. Citicolin 2 x 250 mg

Inj. Manitol 4 x 150 cc

Inj. Asam traneksamat 4 x 1 g

Perdipine syringe pump 0,5 meq/kgBB/ 9 cc/jam

Inj. Ceftriaxone 2 x 1 g

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp

Terapi dr. Sp. PD:

Diet DM 2100 kal

Inj. Avidra 3 x 4 U SC

Cek GDS tiap pagi jam 06.00

Pembedahan: Craniotomi dekompresi


Trakeostomi
Terapi post Operasi:
-

Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
Inj. Metamizole 3 x 1 amp IV
Inj. Ranitidin 2 x 1 amp IV
Inj. Kutoin 3 x 100 mg IV
Inj. Asam Traneksamat 3 x 500 mg IV
Inj. Vitamin K 3 x 1 amp IV
Manitol 4 x 150 cc

Prognosis
Vitam

: dubia ad malam

Sanationam

: dubia

Functionam

: dubia

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

Perdarahan intraserebral oleh pembuluh darah yang abnormal atau kelainan struktur
menyumbang sekitar 15% dari kasus serebrovaskular akut. Hipertensi dan angiopati amyloid.
Paling berperan dalam menyebabkan perdarahan intraserebral, meskipun AVM, aneurisma,
trombosis vena, tumor, konversi hemoragik dari infark iskemik, dan infeksi jamur juga dapat
juga menjadi penyebabnya. Perdarahan intraserebral menyebabkan cedera dan disfungsi saraf
lokal serta dapat menyebabkan disfungsi global akibat efek massa bila cukup besar (Halpern &
Grady, 2015).
Stroke hemoragik biasanya terjadi pada daerah basal ganglia atau serebelum. Pasien
biasanya datang dengan tekanan darah yang tinggi dan memiliki riwayat hipertensi yang tidak
terkontrol. Pasien nampak letargi dan obtundasi, dibandingkan dengan pasien yang menderita
stroke iskemik. Penurunan status mental oleh karena dari pergeseran otak dan herniasi sekunder
akibat efek massa hematoma pada struktur yang dalam. Stroke iskemik tidak menyebabkan efek
massa akut; dan

karena itu, pasien masih dengan kesadaran normal dan terdapat defisit

neurologis yang fokal. Stroke hemoragik cenderung hadir dengan penurunan yang relatif
bertahap dalam fungsi neurologis sebagai akibat dari hematoma yang meluas (Halpern & Grady,
2015).
A Definisi
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di otak yang disebabkan
oleh rupturnya pembuluh darah otak. Perdarahan dapat terjadi di bagian manapun di otak.
Perdarahan dapat terjadi hanya pada satu hemisfer (lobar intracerebral hemorrhage), atau
dapat pula terjadi pada struktur dari otak, seperti thalamus, basal ganglia, pons, ataupun
cerebellum (deep intracerebral hemorrhage) (Castel & Kissel, 2006).
B Epidemiologi
Perdarahan intraserebral merupakan penyebab kedua terbanyak dari stroke, sekitar
10% sampai 15% dari semua stroke. PIS memiliki risiko kematian yang lebih tinggi, dengan
perkiraan angka kematian 35% hingga 52% dalam waktu 30 hari, hal ini lima kali lipat
daripada kematian akibat stroke iskemik (Smith & Eskey, 2011).

Di seluruh dunia insiden perdarahan intraserebral berkisar 10 sampai 20 kasus


per 100.000 penduduk dan meningkat seiring dengan usia. Perdarahan intraserebral lebih
sering terjadi pada pria daripada wanita, terutama yang lebih tua dari 55 tahun, dan
dalam populasi tertentu, termasuk orang kulit hitam dan Jepang. Selama periode 20 tahun
studi The National Health and Nutrition Examination Survey Epidemiologic menunjukkan
insiden perdarahan intraserebral antara orang kulit hitam adalah 50 per 100.000, dua kali
insiden orang kulit putih. Perbedaan dalam prevalensi hipertensi dan tingkat pendidikan
berhubungan dengan perbedaan resiko. Peningkatan risiko terkait dengan tingkat pendidikan
yang lebih rendah mungkin terkait dengan kurangnya kesadaran akan pencegahan primer dan
akses ke perawatan kesehatan. Insiden perdarahan intraserebral di Jepang yaitu 55 per
100.000 jumlah ini sama dengan orang kulit hitam. Tingginya prevalensi hipertensi dan
pengguna alkohol pada populasi Jepang dikaitkan dengan insiden. Rendahnya observasi
kadar kolesterol serum pada populasi ini juga dapat meningkatkan resiko perdarahan
intraserebral. Usia rata-rata pada umur 53 tahun, interval 40 75 tahun. Insiden pada lakilaki sama dengan pada wanita. Angka kematian 60 90 % (Castel & Kissel, 2006).
C Anatomi
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal
sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah
neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron berbeda-beda.
Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total,
tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial.
Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu sekitar 15% dari
darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar berfungsi normal. Otak mendapat
darah dari arteri. Yang pertama adalah arteri karotis interna yang terdiri dari arteri karotis
(kanan dan kiri), yang menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi
arteri cerebrum anterior. Yang kedua adalah vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian
belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri cerebrum posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri
cerebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri cerebrum posterior membentuk suatu
sirkulus willisi.

Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi. Fungsi-fungsi dari
otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik, sebagai pusat sensibilitas, sebagai
area broca atau pusat bicara motorik, sebagai area wernicke atau pusat bicara sensoris,
sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang berfungsi sebagai pusat koordinasi serta
batang otak yang merupakan tempat jalan serabut-serabut saraf ke target organ. Jika terjadi
kerusakan gangguan otak maka akan mengakibatkan kelumpuhan pada anggota gerak,
gangguan bicara, serta gangguan dalam pengaturan nafas dan tekanan darah. Gejala di atas
biasanya terjadi karena adanya serangan stroke (Luyendijk, 2005).
Perdarahan di putamen, thalamus, dan pons biasanya akibat ruptur a. lentikulostriata,
a. thalamoperforating dan kelompok basilar-paramedian. Sedangkan perdarahan di
serebelum biasanya terdapat di daerah nukleus dentatus yang mendapat pendarahan dari
cabang a. serebelaris superior dan a. serecelaris inferior anterior.
D Etiologi
Perdarahan intraserebral (PIS) berjumlah 10-30% dari seluruh kasus stroke di rumah sakit
dengan angka mortalitasnya 30-50% dalam waktu 6 bulan. Hanya 20% pasien yang dapat
kembali kemandiriannya dalam waktu 6 bulan. Klasifikasi ICH dibagi menjadi dua yaitu primer
dan sekunder. ICH primer terjadi pada perdarahan yang berasal dari ruptur spontan arteri kecil
atau arteriol yang sebelumnya mengalami kerusakan akibat hipertensi kronik atau angiopati
amiloid. PIS sekunder terjadi pada perdarahan akibat trauma, ruptur dari aneurisma atau
malformasi vaskuler, koagulopati, atau penyebab lainnya (Jha & Gupta, 2012).

Tabel 1. Penyebab sekunder PIS

Perdarahan intraserebral dapat disebabkan oleh:


Hipertensi. Hipertensi meningkatkan risiko relatif untuk terjadinya perdarahan intraserebral
sekitar empat kali lipat, mungkin karena untuk vasculopathy degeneratif kronis. Perdarahan
sering berada pada ganglia basalis, talamus, atau pons, dan menyebabkan kerusakan dari arteri
yang mengalami perforasi kecil yang merupakan percabangan dari arteri yang lebih besar
(Halpern & Grady, 2015).
Faktor yang berpotensi menjadi indikasi operasi meliputi: lokasi bekuan superfisial, usia muda,
pada hemisfer nondominan, deteorisasi yang cepat, dan efek massa yang signifikan. Namun, uji
klinis yang paling komprehensif sampai saat ini tidak menunjukkan hasil perbaikan keseluruhan
pasca operasi evakuasi perdarahan intraserebral, kecuali untuk kelompok pasien dengan
gumpalan <1 cm dari permukaan kortikal (Halpern & Grady, 2015).
Perdarahan intraserebral dengan hipertensi harus diterapi dengan baik. Manajemen medis
meliputi kontrol tekanan darah, normalisasi platelet dan fungsi pembekuan, fenitoin, dan
elektrolit. Intubasi dilakukan pada pasien yang tidak dapat dengan jelas mengikuti perintah,
untuk mencegah aspirasi dan hiperkarbia (Halpern & Grady, 2015).
Angiopati amiloid. Cerebral Amyloid Angiopathy adalah suatu perubahan vaskular yang unik
ditandai oleh adanya deposit amiloid di dalam tunika media dan tunika adventisia pada arteri
kecil dan arteri sedang di hemisfer serebral. Adanya amiloid patologis yang terdeposisi pada
pembuluh darah kecil kortikal berkaitan dengan integritas pembuluh darah dan cenderung
menyebabkan perdarahan yang lebih superfisial daripada perdarahan karena hipertensi. Amiloid
dapat mencetuskan perdarahan berulang kali. Lokasi perdarahan superfisial lebih udah
dievakuasi dibandingkan dengan perdarahan oleh karena hipertensi (Halpern & Grady, 2015).

Arteri-arteri yang terkena biasanya adalah arteri-arteri kortical superfisial dan arteri-arteri
leptomening. Sehingga perdarahan lebih sering di daerah subkortikal lobar ketimbang daerah
basal ganglia. Deposit amiloid menyebabkan dinding arteri menjadi lemah sehingga kemudian
pecah dan terjadi perdarahan intraserebral. Di samping hipertensi, amyloid angiopathy dianggap
faktor penyebab kedua terjadinya perdarahan intraserebral pada penderita lanjut usia.
Aneurisma serebral. Aneurisma adalah dilatasi dinding pembuluh darah dan yang paling sering
berbentuk seperti balon, tapi mungkin juga fusiform. Aneurisma biasanya terjadi di cabang
pembuluh besar (misalnya, arteri karotis interna bifurkasi), atau arteri yang lebih kecil (misalnya,
arteri komunikan posterior atau arteri ophthalmic). Sekitar 85% aneurisma muncul dari sirkulasi
anterior (karotis) dan 15% dari sirkulasi posterior (vertebrobasilar). Tabel menunjukkan
distribusi persentase aneurisma otak oleh lokasi. Aneurisma yang berdinding tipis dan beresiko
untuk pecah.
Tabel 2. Prevalensi Aneurisma berdasarkan lokasinya (Halpern & Grady, 2015).

Gambar 1. Anatomi sirkulus Willisi dan lokasi tersering untuk aneurisma (Halpern & Grady, 2015).

Arteriovenous Malformasi. AVM merupakan dilatasi abnormal arteri dan vena tanpa adanya
kapiler diantaranya. Nidus dari AVM mengandung massa kusut pembuluh darah tetapi tidak ada
jaringan saraf. AVM mungkin asimtomatik atau diketahui adanya saat SAH, perdarahan
intraserebral, atau kejang. AVM kecil menyebabkan perdarahan lebih sering daripada AVM
besar, yang disertai dengan kejang. Sakit kepala, bruit, atau defisit neurologi fokal merupakan
gejala yang jarang muncul (Halpern & Grady, 2015).
Tabel 4. Spetzler-Martin grading scale for AVM (Smith & Eskey, 2011).

Neoplasma intrakranial. Akibat nekrosis dan perdarahan oleh jaringan neoplasma yang
hipervaskular.

Faktor Risiko
Beban akibat stroke mencapai 40 miliar dollar setahun, selain untuk pengobatan dan
perawatan, juga akibat hilangnya pekerjaan serta turunnya kualitas hidup (Currie et al., 1997).
Kerugian ini akan berkurang jika pengendalian faktor risiko dilaksanakan dengan ketat (Cohen,
2000).
Tabel 3. Faktor Risiko Stroke

E Patofisiologi
Hipertensi adalah penyebab terbanyak dari perdarahan intraserebral spontan pada orang
dewasa. Mekanisme yang mendasari tampaknya terkait dengan efek dari tekanan darah sistemik
pada arteri kecil yang berasal dari pembuluh intrakranial utama. Secara khusus, pembuluh darah
ini arteri lenticulostriate yang berasal dari arteri serebral tengah, arteri thalamoperforating dan
thalamogeniculate berasal dari arteri serebral posterior, serta perforator pontine dan batang otak
berasal dari arteri basilar (Smith & Eskey, 2011).
Dalam merespons hipertensi, pembuluh darah kecil dapat mengembangkan hiperplasia
intima, hialinisasi intimal, dan degenerasi,medial sebagai predisposisi nekrosis fokal dan ruptur.
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa cedera pembuluh darah dapat menyebabkan
mikroaneurisma, diistilahkan aneurisma Charcot-Bouchard, yang rentan terhadap ruptur
berikutnya menyebabkan perdarahan mikro atau makro. Lokasi klasik perdarahan intraserebral

60% sampai 65% dari perdarahan di putamen dan kapsul internal 15% sampai 25% dalam
talamus, dan 5% sampai 10% di pons (Smith & Eskey, 2011).
Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu
15-20 detik dan kerusakan otak yang irreversibel terjadi setelah tujuh hingga sepuluh menit.
Penyumbatan pada satu arteri menyebabkan gangguan di area otak yang terbatas (stroke).
Mekanisme dasar kerusakan ini adalah selalu defisiensi energi yang disebabkan oleh iskemia.
Perdarahan juga menyebabkan iskemia dengan menekan pembuluh darah di sekitarnya.
Dengan menambah Na+/K+-ATPase, defisiensi energi menyebabkan penimbunan Na+ dan
Ca2+ di dalam sel, serta meningkatkan konsentrasi K + ekstrasel sehingga menimbulkan
depolarisasi. Depolarisasi menyebabkan penimbunan Cl- di dalam sel, pembengkakan sel, dan
kematian sel. Depolarisasi juga meningkatkan pelepasan glutamat, yang mempercepat kematian
sel melalui masuknya Na+ dan Ca2+.
Pembengkakan sel, pelepasan mediator vasokonstriktor, dan penyumbatan lumen
pembuluh darah oleh granulosit kadang-kadang mencegah reperfusi, meskipun pada
kenyataannya penyebab primernya telah dihilangkan. Kematian sel menyebabkan inflamasi,
yang juga merusak sel di tepi area iskemik (penumbra). Gejala ditentukan oleh tempat perfusi
yang terganggu, yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut.
Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan kelemahan otot
dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik (hemianestesia) akibat kerusakan girus lateral
presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi okular, hemianopsia, gangguan
bicara motorik dan sensorik, gangguan persepsi spasial, apraksia, dan hemineglect.
Penyumbatan arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan defisit sensorik
kontralateral, kesulitan berbicara serta apraksia pada lengan kiri jika korpus kalosum anterior dan
hubungan dari hemisfer dominan ke korteks motorik kanan terganggu. Penyumbatan bilateral
pada arteri serebri anterior menyebabkan apatis karena kerusakan dari sistem limbik.
Penyumbatan arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia kontralateral parsial dan
kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain itu, akan terjadi kehilangan memori.
Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di daerah yang
disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid anterior tersumbat, ganglia
basalis (hipokinesia), kapsula interna (hemiparesis), dan traktus optikus (hemianopsia) akan

terkena. Penyumbatan pada cabang arteri komunikans posterior di talamus terutama akan
menyebabkan defisit sensorik.
Penyumbatan total arteri basilaris menyebabkan paralisis semua eksteremitas dan otototot mata serta koma. Penyumbatan pada cabang arteri basilaris dapat menyebabkan infark pada
serebelum, mesensefalon, pons, dan medula oblongata. Efek yang ditimbulkan tergantung dari
lokasi kerusakan:

Pusing, nistagmus, hemiataksia (serebelum dan jaras aferennya, saraf vestibular).

Penyakit Parkinson (substansia nigra), hemiplegia kontralateral dan tetraplegia


(traktus piramidal).

Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anastesia) di bagian wajah
ipsilateral dan ekstremitas kontralateral (saraf trigeminus [V] dan traktus spinotalamikus).

Hipakusis (hipestesia auditorik; saraf koklearis), ageusis (saraf traktus salivarus),


singultus (formasio retikularis).

Ptosis, miosis, dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom Horner, pada kehilangan
persarafan simpatis).

Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus [X]). Paralisis otot lidah (saraf
hipoglosus [XII]), mulut yang jatuh (saraf fasial [VII]), strabismus (saraf okulomotorik
[III], saraf abdusens [V]).

Paralisis pseudobulbar dengan paralisis otot secara menyeluruh (namun kesadaran


tetap dipertahankan).
Kasus PIS umumnya terjadi di kapsula interna (70 %), di fossa posterior (batang otak dan

serebelum) 20 % dan 10 % di hemisfer (di luar kapsula interna). Gambaran patologik


menunjukkan ekstravasasi darah karena robeknya pembuluh darah otak dan diikuti adanya
edema dalam jaringan otak di sekitar hematom. Akibatnya terjadi diskontinuitas jaringan dan
kompresi oleh hematom dan edema pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak dan
penyempitan atau penyumbatannya sehingga terjadi iskemia pada jaringan yang dilayaninya,
maka gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi jaringan otak, kompresi pembuluh
darah otak / iskemia dan akibat kompresi pada jaringan otak lainnya.
Terdapat dua konsep baru yang penting bahwa perdarahan membesar dan meluas
beberapa jam setelah onset gejala (early haematoma growth) dan brain injury disertai edema

yang terjadi sehari setelahnya merupakan hasil dari proses inflamasi akibat trombin dan
produk akhir dari faktor koagulasi lainnya.
Early Haematoma Growth
Early haematoma growth terjadi berkaitan dengan neurological deterioration dan
prognosis klinis yang buruk. Sekitar 38% pasien mengalami peningkatan volume hematom lebih
dari 33% pada CT scan 3 jam setelah onset. Hanya sekitar 5% pasien 6 jam setelah onset.
Perihaematomal Brain Injury
Cedera jaringan otak dan edema sebagai hasil dari peningkatan tekanan intrakranial atau
herniasi otak karena adanya massa merupakan deteorisasi neurologi setelah hari pertama.
Pemeriksaan PET dan MRI yang dilakukan dalam kurun waktu 6 jam setelah onset gejala tidak
menunjukkan adanya jaringan iskemik pada daerah perihematom di otak. Dengan menggunakan
kontras, respons inflamasi yang diinduksi oleh hematom yang sangat besar telah diidentifikasi
yang menyebabkan pembengkakan otak berkurang dan cedera jaringan. Plasma, yang kaya
trombin dan produk akhir koagulasi lainnya, yang dilepaskan oleh gumpalan hematoma ke dalam
jaringan otak di sekitarnya, dan memicu proses inflamasi.
F Manifestasi Klinis
Identifikasi cepat dan akurat dari perdarahan adalah penting dalam penanganan stroke
akut, sebagai dasar terapi untuk pengelola stroke iskemik dan stroke hemoragik sangat berbeda.
Keduanya ditandai oleh onset relatif mendadak gejala dan defisit neurologis, jenis dan tingkat
keparahan yang akan bervariasi sesuai dengan jenis lesi, lokasi, dan ukuran (Smith & Eskey,
2011). Manisfestasi perdarahan intraserebral digambarkan sebagai suatu proses bertahap, dengan
memburuknya gejala dalam hitungan menit ke jam. Keluhan sakit kepala dan mual /muntah
lebih sering pada PIS daripada stroke iskemik (Smith & Eskey, 2011).
Secara umum gejala klinis PIS merupakan gambaran klinis akibat akumulasi darah di
dalam parenkim otak. PIS khas terjadi sewaktu aktivitas, onset pada saat tidur sangat jarang.
Perjalanan penyakitnya, sebagian besar (37,5-70%) per akut. Biasanya disertai dengan
penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran ini bervariasi frekuensi dan derajatnya tergantung

dari lokasi dan besarnya perdarahan tetapi secara keseluruhan minimal terdapat pada 60% kasus.
dua pertiganya mengalami koma, yang dihubungkan dengan adanya perluasan perdarahan ke
arah ventrikel, ukuran hematomnya besar dan prognosis yang jelek. Sakit kepala hebat dan
muntah yang merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial dijumpai pada PIS, tetapi
frekuensinya bervariasi. Tetapi hanya 36% kasus yang disertai dengan sakit kepal sedang muntah
didapati pada 44% kasus. Jadi tidak adanya sakit kepala dan muntah tidak menyingkirkan PIS,
sebaliknya bila dijumpai akan sangat mendukung diagnosis PIS atau perdarahn subarakhnoid
sebab hanya 10% kasus stroke oklusif disertai gejala tersebut. Kejang jarang dijumpai pada saat
onset PIS.
Defisit neurologis fokal. Jenis defisit tergantung pada area otak yang terlibat. Jika
belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang terdiri dari hemiparesis kanan,
kerugian hemisensory kanan, meninggalkan tatapan preferensi, bidang visual kana terpotong,
dan aphasia mungkin terjadi. Jika belahan nondominant (biasanya kanan)

terlibat, sebuah

sindrom hemiparesis kiri, kerugian hemisensory kiri, preferensi tatapan ke kanan, dan memotong
bidang visual kiri. Sindrom belahan nondominant juga dapat mengakibatkan pengabaian dan
kekurangan perhatian pada sisi kiri.
Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan kompresi batang
otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam tingkat kesadaran, apnea, dan
kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan cerebellar atau batang otak antara lain: ekstremitas
ataksia, vertigo atau tinnitus, mual dan muntah, hemiparesis atau quadriparesis, hemisensori atau
kehilangan sensori dari semua empat anggota, gerakan mata yang mengakibatkan kelainan
diplopia atau nistagmus, kelemahan orofaringeal atau disfagia, wajah ipsilateral dan kontralateral
tubuh. Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba.

Di sekitar setengah dari jumlah

penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama aktivitas. Namun, pada
orang tua, sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada. Gejala disfungsi otak menggambarkan
perkembangan yang terus memburuk sebagai perdarahan. Beberapa gejala, seperti kelemahan,
kelumpuhan, hilangnya sensasi, dan mati rasa, sering hanya mempengaruhi satu sisi tubuh.
Orang mungkin tidak dapat berbicara atau menjadi bingung. Visi dapat terganggu atau hilang.
Mata dapat menunjukkan arah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Mual, muntah, kejang, dan
hilangnya kesadaran yang umum dan dapat terjadi dalam beberapa detik untuk menit.

Tabel 5. Distribusi anatomi perdarahan intraserebral dan gejala yang diakibatkan (Halpern & Grady,
2015)

G Klasifikasi
Tipe perdarahan intaserebral yang tersering adalah seperti berikut:
1

Putaminal Hemorrhage
Antara sindroma klinis perdarahan yang tersering adalah disebabkan oleh
perdarahan putaminal dengan terjadinya penekanan pada daerah berdekatan dengan
kapsula interna. Gejala dan kelainan neurologic hampir bervariasi berdasarkan
kedudukan dan ukuran penekanan. Perdarahan putaminal khas dengan onset progresif
pada hampir duapertiga pasien, dan kurang dari sepertiga mempunyai gejala mendadak
dan hampir maksimal saat onset. Nyeri kepala tampil saat onset gejala hanya pada 14%
kasus dan pada setiap waktu hanya 28%; semua pasien menunjukkan berbagai
bentuk defisit motorik dan sekitar 65% mengalami perubahan reaksi terhadap pin-prick.
Perdarahan putaminal

kecil

menyebabkan

defisit

sedang

motorik

dan sensori

kontralateral. Perdarahan berukuran sedang mula-mula mungkin tampil dengan


hemiplegia flaksid, defisit hemisensori, deviasi konjugasi mata pada sisi perdarahan,
hemianopia homonim, dan disfasia bila yang terkena hemisfer dominan. Progresi
menjadi perdarahan masif berakibat stupor dan lalukoma, variasi respirasi, pupil tak
berreaksi yang berdilatasi, hilangnya gerak ekstra-okuler, postur motor abnormal, dan
respons Babinski bilateral.
Gejala muntah terjadi hampir setengah daripada penderita. Sakit kepala adalah
gejala tersering tetapi tidak seharusnya ada. Dengan jumlah perdarahan yang banyak,

penderita dapat segera masuk kepada kondisi stupor dengan hemiplegi dan kondisi
penderita akan tampak memburuk dengan berjalannya masa.
Walau bagaimanapun, penderita akan lebih sering mengeluh dengan sakit kepala
atau gangguan kepala yang dirasakan pusing. Dalam waktu beberapa menit wajah
penderita akan terlihat mencong ke satu sisi, bicara cadel atau aphasia, lemas tangan dan
tungkai dan bola mataakan cenderung berdeviasi menjauhi daripada ekxtremitas yang
lemah. Hal ini terjadi, bertahap mengikuti waktu dari menit ke jam di mana sangat kuat
mengarah kepada perdarahan intraserebral. Paralisis dapat terjadi semakin memburuk
dengan munculnya refleks Babinski yang mana pada awalnya dapat muncul unilateral
dan kemudian bisa bilateral dengan ekstremitas menjadi flaksid, stimulasi nyeri
menghilang, tidak dapat bicara dan memperlihatkan tingkat kesadaran stupor.
Karekteristik tingkat keparahan paling parah adalah dengan tanda kompresi batang otak
atas (koma); tanda Babinski bilateral; respirasi dalam, irregular atau intermitten; pupil
dilatasi dengan posisi tetap pada bagian bekuan dan biasanya adanya kekakuan yang
deserebrasi.

Gambar 2. Perdarahan Putaminal


2

Thalamic Hemorrhage
Sindroma klinis akibat perdarahan talamus sudah dikenal. Umumnya perdarahan
talamus kecil menyebabkan defisit neurologis lebih berat dari perdarahan putaminal.
Seperti perdarahan putaminal, hemiparesis kontralateral terjadi bila kapsula internal

tertekan. Namun khas dengan hilangnya hemisensori kontralateral yang nyata yang
mengenai kepala, muka, lengan, dan tubuh. Perluasan perdarahan ke subtalamus dan
batang otak berakibat gambaran okuler klasik yaitu terbatasnya gaze vertikal, deviasi
mata kebawah, pupil kecil namun bereaksi baik atau lemah. Anisokoria, hilangnya
konvergensi, pupil tak bereaksi, deviasi serong, defisit lapang pandang, dan nistagmus
retraksi juga tampak. Anosognosia yang berkaitan dengan perdarahan sisi kanan dan
gangguan bicara yang berhubungan dengan lesi sisi kiri tidak jarang terjadi. Nyeri kepala
terjadi pada 20-40 % pasien. Hidrosefalus dapat terjadi akibat penekanan jalur CSS.

Gambar 3. Perdarahan Thalamus


3

Perdarahan Pons
Perdarahan pons merupakan hal yang jarang terjadi dibandingkan dengan
perdarahan intraserebral supratentorial, tetapi 50% dari perdarahan infratentorial terjadi
di pons. Gejala klinik yang sangat menonjol pada perdarahan pons ialah onset yang tibatiba dan terjadi koma yang dalam dengan defisit neurologik bilateral serta progresif dan
fatal. Perdarahan ponting paling umum menyebabkan kematian dari semua perdarahan
otak. Bahkan perdarahan kecil segera menyebabkan koma, pupil pinpoint (1 mm) namun
reaktif, gangguan gerak okuler lateral, kelainan saraf kranial, kuadriplegia, dan postur
ekstensor. Nyeri kepala, mual dan muntah jarang.

Perdarahan Serebelum
Lokasi yang pasti dari tempat asal perdarahan di serebelum sulit diketahui.
Tampaknya sering terjadi di daerah nukleus dentatus dengan arteri serebeli superior
sebagai suplai utama. Perluasan perdarahan ke dalam ventrikel IV sering terjadi pada
50% dari kasus perdarahan di serebelum. Batang otak sering mengalami kompresi dan
distorsi sekunder terhadap tekanan oleh gumpalan darah. Obstruksi jalan keluar cairan
serebrospinal dapat menyebabkan dilatasi ventrikel III dan kedua ventrikel lateralis
sehingga dapat terjadi hidrosefalus akut dan peningkatan tekanan intrakranial dan
memburuknya keadaan umum penderita. Kematian biasanya disebabkan tekanan dari
hematoma yang menyebabkan herniasi tonsil dan kompresi medula spinalis.
Sindroma klinis perdarahan serebeler pertama dijelaskan secara jelas oleh Fisher.
Yang khas adalah onset mendadak dari mual, muntah, tidak mampu bejalan atau berdiri.
Tergantung dari evolusi perdarahan, derajat gangguan neurologis terjadi. Hipertensi
adalah faktor etiologi pada kebanyakan kasus. Duapertiga dari pasien dengan perdarahan
serebeler spontan mengalami gangguan tingkat kesadaran dan tetap responsif saat datang;
hanya 14% koma saat masuk. 50% menjadi koma dalam 24 jam, dan 75% dalam
seminggu sejak onset. Mual dan muntah tampil pada 95%, nyeri kepala (umumnya
bioksipital) pada 73%, dan pusing (dizziness) pada 55 %. Ketidakmampuan berjalan atau
berdiri pada 94 %. Dari pasien non koma, tanda-tanda serebeler umum terjadi termasuk
ataksia langkah (78 %), ataksia trunkal (65 %), dan ataksia apendikuler ipsilateral (65 %).
Temuan lain adalah palsi saraf fasial perifer (61%), palsi gaze ipsilateral (54 %),
nistagmus horizontal (51 %), dan miosis (30%). Hemiplegia dan hemiparesis jarang, dan
bila ada biasanya disebabkan oleh stroke oklusif yang terjadi sebelumnya atau
bersamaan. Triad klinis ataksia apendikuler, palsi gaze ipsilateral, dan palsi fasial perifer
mengarahkan pada perdarahan serebeler. Perdarahan serebeler garis tengah menimbulkan
dilema diagnostik atas pemeriksaan klinis. Umumnya perjalanan pasien lebih ganas dan
tampil dengan oftalmoplegia total, arefleksia, dan kuadriplegia flaksid.
Pada pasien koma, diagnosis klinis perdarahan serebeler lebih sulit karena
disfungsi batang otak berat. Dari pasien koma, 83 % dengan oftalmoplegia eksternal yang
lengkap, 53 % dengan irreguleritas pernafasan, 54 % dengan kelemahan fasial ipsilateral.
Pupil umumnya kecil; tak ada reaksi pupil terhadap sinar pada 40 % pasien.

Perdarahan Lober
Sindroma klinis akut perdarahan lober dijelaskan Ropper dan Davis. Hipertensi
kronik tampil hanya pada 31 % kasus, dan 4 % pasien yang koma saat datang. Perdarahan
oksipital khas menyebabkan nyeri berat sekitar mata ipsilateral dan hemianopsia yang
jelas. Perdarahan temporal kiri khas dengan nyeri ringan pada atau dekat bagian anterior
telinga, disfasia fluent dengan pengertian pendengaran yang buruk namun repetisi relatif
baik. Perdarahan frontal menyebabkan kelemahan lengan kontralateral berat, kelemahan
muka dantungkai ringan, dan nyeri kepala frontal. Perdarahan parietal mulai dengan nyeri
kepala temporal anterior ('temple') serta defisit hemisensori, terkadang mengenai tubuh
ke garis tengah. Evolusi gejala yang lebih cepat, dalam beberapa menit, namun tidak
seketika bersama dengan satu dari sindroma tersebut membantu membedakan perdarahan
lober dari stroke jenis lain. Kebanyakan AVM dan tumor memiliki lokasi lober.

Perdarahan intraserebral akibat trauma


Adalah perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak. Hematom intraserebral
pascatraumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera regangan
atau robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh darah intraparenkimal otak atau
kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter
sampai beberapa sentimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera. Intracerebral
hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 ml dalam substansi otak
(hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau petechial/bercak).

H Diagnosis
Hipertensi arterial dijumpai pada 91% kasus PIS. Tingginya frekuensi hipertensi
berkorelasi dengan tanda fisik lain yang menunjukkan adanya hipertensi sistemik seperti
hipertrofi ventrikel kiri dan retinopati hipertensif. Pemeriksaan fundus okuli pada kasus yang
diduga PIS mempunyai tujuan ganda yaitu mendeteksi adanya tanda-tanda retinopati hipertensif.
Gerakan mata, pada perdarahan putamen terdapat deviation conjugae ke arah lesi, sedang
pada perdarahan nukleus kaudatus terjadi kelumpuhan gerak horisontal mata dengan deviation
conjugae ke arah lesi. Perdarahan thalamus akan berakibat kelumpuhan gerak mata atas (upward

gaze palsy), jadi mata melihat ke bawah dan kedua mata melihat ke arah hidung. Pada
perdarahan pons terdapat kelumpuhan gerak horisontal mata dengan ocular bobbing.
Pada perdarahan putamen, reaksi pupil normal atau bila terjadi herniasi unkus maka pupil
anisokor dengan paralisis N. III ipsilateral lesi. Perdarahan di thalamus akan berakibat pupil
miosis dan reaksinya lambat. Pada perdarahan di mesensefalon, posisi pupil di tengah,
diameternya sekitar 4-6 mm, reaksi pupil negatif. Keadaan ini juga sering dijumpai pada herniasi
transtentorial. Pada perdarahn di pons terjadi pinpoint pupils bilateral tetapi masih terdapat
reaksi, pemeriksaannya membutuhkan kaca pembesar.
Pola pernafasan pada perdarahan diensefalon adalah Cheyne-Stroke, sedang pada lesi di
mesensefalon atau pons pola pernafasannya hiperventilasi sentral neurogenik. Pada lesi di
bagian tengah atau caudal pons memperlihatkan pola pernafasan apneustik. Pola pernafasan
ataksik timbul pada lesi di medula oblongata. Pola pernafasan ini biasanya terdapat pada pasien
dalam stadium agonal.6Cara yang paling akurat untuk mendefinisikan stroke hemoragik dengan
stroke non hemoragik adalah dengan CT scan tetapi alat ini membutuhkan biaya yang besar
sehingga diagnosis ditegakkan atas dasar adanya suatu kelumpuhan gejala yang dapat
membedakan manifestasi klinis antara perdarahan infark.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis stroke dan menyingkirkan
diagnosis bandingnya. Laboratorium yang dapat dilakukan pada penderita stroke diantaranya
adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan darah, kadar elektrolit, dan kadar serum glukosa.
Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan otak adalah
langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam basis kedaruratan. Pencitraan
otak membantu dalam diagnosis adanya perdarahan, serta dapat menidentifikasi komplikasi
seperti perdarahan intraventrikular, edem otak, dan hidrosefalus. Baik CT non kontras ataupun
MRI otak merupakan pilihan yang dapat digunakan.
CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dari
stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke dari patologi intrakranial
lainnya. CT non kontras dapat mengidentifikasi secara virtual hematoma yang berdiameter
lebih dari 1 cm.
MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih bisa diandalkan
daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat mengidentifikasi malformasi vaskular
yang mendasari atau lesi yang menyebabkan perdarahan.

Salah satu tujuan utama pencitraan yang dilakukan pada stroke dini adalah identifikasi dan
karakterisasi perdarahan. Dalam pengaturan yang ideal, pencitraan akan diperoleh dalam
waktu kurang dari 3 sampai 6 jam onset gejala, dimana darah relatif segar.
Tabel 6. Evolusi dari penampakan perdarahan pada CT-scan dan MRI

Penatalaksanaan
Semua penderita yang dirawat dengan intracerebral hemorrhage harus mendapat
pengobatan untuk :
1

Normalisasi tekanan darah

Pengurangan tekanan intrakranial

Pengontrolan terhadap edema serebral

Pencegahan kejang.
Hipertensi dapat dikontrol dengan obat, sebaiknya tidak berlebihan karena

adanya beberapa pasien yang tidak menderita hipertensi; hipertensi terjadi karena
cathecholaminergic discharge pada fase permulaan. Lebih lanjut autoregulasi dari aliran
darah otak akan terganggu baik karena hipertensi kronik maupun oleh tekanan intrakranial
yang meninggi. Kontrol yang berlebihan terhadap tekanan darah akan menyebabkan iskemia
pada miokard, ginjal dan otak.9
Dalam suatu studi retrospektif memeriksa dengan CT-Scan untuk mengetahui
hubungan tekanan darah dan pembesaran hematoma terhadap 79 penderita dengan PIS,
mereka menemukan penambahan volume hematoma pada 16 penderita yang secara
bermakna berhubungan dengan tekanan darah sistolik. Tekanan darah sistolik 160 mmHg

tampak berhubungan dengan penambahan volume hematoma dibandingkan dengan tekanan


darah sistolik 150 mmHg. Obat-obat anti hipertensi yang dianjurkan adalah dari golongan:
1

Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors

Angiotensin Receptor Blockers

Calcium Channel Blockers


Tindakan

segera

terhadap

pasien

dengan

PIS

ditujukan

langsung

terhadap pengendalian TIK serta mencegah perburukan neurologis berikutnya. Tindakan


medis seperti hiperventilasi, diuretik osmotik dan steroid (bila perdarahan tumoral)
digunakan untuk mengurangi hipertensi intrakranial yang disebabkan oleh efek massa
perdarahan. Sudah dibuktikan bahwa evakuasi perdarahan yang luas meninggikan survival
pada pasien dengan koma, terutama yang bila dilakukan segera setelah onset perdarahan.
Walau begitu pasien sering tetap dengan defisit neurologis yang jelas. Pasien
memperlihatkan tanda-tanda herniasi unkus memerlukan evakuasi yang sangat segera dari
hematoma. Angiogram memungkinkan untuk menemukan kelainan vaskuler. Adalah sangat
serius untuk memikirkan pengangkatan PIS yang besar terutama bila ia bersamaan dengan
hipertensi intrakranial yang menetap dan diikuti atau telah terjadi defisit neurologis walau
telah diberikan tindakan medis maksimal.
Adanya hematoma dalam jaringan otak bersamaan dengan adanya kelainan
neurologis memerlukan evakuasi bedah segera sebagai tindakan terpilih. Beratnya
perdarahan inisial menggolongkan pasien ke dalam tiga kelompok:
1

Perdarahan progresif fatal.


Kebanyakan pasien berada pada keadaan medis buruk. Perubahan hebat tekanan
darah mempengaruhi kemampuan otak untuk mengatur darahnya, gangguan elektrolit
umum terjadi dan pasien sering dehidrasi. Hipoksia akibat efek serebral dari perdarahan
serta obstruksi jalan nafas memperburuk keadaan. Perburukan dapat diikuti sejak saat
perdarahan dengan bertambahnya tanda-tanda peninggian TIK dan gangguan batang otak.
Pengelolaan inisial pada kasus berat ini adalah medikal dengan mengontrol tekanan darah
ke tingkat yang tepat, memulihkan kelainan metabolik, mencegah hipoksia dan

menurunkan tekanan intrakranial dengan manitol, steroid ( bila penyebabnya perdarahan


tumoral) serta tindakan hiperventilasi. GCS biasanya kurang dari 6.
2

Kelompok sakit ringan (GCS 13-15).

Kelompok intermediet, dimana perdarahan cukup berat untuk menimbulkan defisit


neurologis parah namun tidak cukup untuk menyebabkan pasien tidak dapat bertahan
hidup (GCS 6-12). Tindakan medikal di atas diberikan hingga ia keluar dari keadaan
berbahaya, namun keadaan neurologis tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Pada
keadaan ini pengangkatan hematoma dilakukan secara bedah.

Penilaian dan Pengelolaan Inisial


Pengelolaan spontan terutama tergantung keadaan klinis pasien serta etiologi,
ukuran serta lokasi perdarahan. Tak peduli apakah tindakan konservatif atau bedah yang
akan dilakukan, penilaian dan tindakan medikal inisial terhadap pasien adalah sama.
Saat pasien datang atau berkonsultasi, evaluasi dan pengelolaan awal harus
dilakukan bersama tanpa penundaan yang tidak perlu. Pemeriksaan neurologis inisial dapat
dilakukan dalam 10 menit, harus menyeluruh. Informasi ini untuk memastikan prognosis,
juga untuk membuat rencana tindakan selanjutnya. Pemeriksaan neurologis serial harus
dilakukan.
Tindakan standar adalah untuk mempertahankan jalan nafas, pernafasan, dan
sirkulasi. Hipoksia harus ditindak segera untuk mencegah cedera serebral sekunder akibat
iskemia. Pengamatan ketat dan pengaturan tekanan darah penting baik pada pasien
hipertensif maupun nonhipertensif. Jalur arterial dipasang untuk pemantauan yang
sinambung atas tekanan darah. Setelah PIS, kebanyakan pasien adalah hipertensif. Penting
untuk tidak menurunkan tekanan darah secara berlebihan pada pasien dengan lesi massa
intrakranial dan peninggian TIK, karena secara bersamaan akan menurunkan tekanan perfusi
serebral. Awalnya, usaha dilakukan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar
160 mmHg pada pasien yang sadar dan sekitar 180 mmHg pada pasien koma, walau nilai ini
tidak mutlak dan akan bervariasi tergantung masing-masing pasien. Pasien dengan hipertensi
berat dan tak terkontrol mungkin diperkenankan untuk mempertahankan tekanan darah
sistoliknya di atas 180 mmHg, namun biasanya di bawah 210 mmHg, untuk mencegah
meluasnya perdarahan oleh perdarahan ulang. Pengelolaan awal hipertensinya, lebih disukai

labetalol, suatu antagonis alfa-1, beta-1 dan beta-2 kompetitif. Drip nitrogliserin mungkin
perlu untuk kasus tertentu.
Gas darah arterial diperiksa untuk menilai oksigenasi dan status asam-basa.
Bila jalan nafas tidak dapat dijamin, atau diduga suatu lesi massa intrakranial pada pasien
koma atau obtundan, dilakukan intubasi endotrakheal. Cegah pemakaian agen anestetik yang
akan meninggikan TIK seperti oksida nitro. Agen anestetik aksi pendek lebih disukai. Bila
diduga ada peninggian TIK, dilakukan hiperventilasi untuk mempertahankan PCO2 sekitar
25-30 mmHg, dan setelah kateter Foley terpasang, diberikan mannitol 1,5 g/kg IV. Tindakan
ini juga dilakukan pada pasien dengan perburukan neurologis progresif seperti perburukan
hemiparesis,

anisokoria

progresif,

atau

penurunan

tingkat

kesadaran.

Dilakukan

elektrokardiografi, dan denyut nadi dipantau.


Darah diambil saat jalur intravena dipasang. Hitung darah lengkap, hitung
platelet, elektrolit, nitrogen urea darah, creatinin serum, waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial, dan tes fungsi hati dinilai. Foto polos dilakukan bila perlu.
Setelah penilaian secara cepat dan stabilisasi pasien, dilakukan CT-scan kepala
tanpa kontras. Sekali diagnosis PIS ditegakkan, pasien dibawa untuk mendapatkan
pemeriksaan radiologis lain yang diperlukan, ke unit perawatan intensif, kamar operasi atau
ke bangsal, tergantung status klinis pasien, perluasan dan lokasi perdarahan, serta etiologi
perdarahan. Sasaran awal pengelolaan adalah pencegahan perdarahan ulang dan mengurangi
efek massa, sedang tindakan berikutnya diarahkan pada perawatan medikal umum serta
pencegahan komplikasi.
Pencegahan atas Perdarahan Ulang
Perdarahan ulang jarang pada perdarahan hipertensif. Saat pasien sampai di
dokter, perdarahan aktif biasanya sudah berhenti. Risiko perdarahan ulang dari AVM dan
tumor juga jarang. Tindakan utama yang dilakukan adalah mengontrol tekanan darah seperti
dijelaskan di atas. Pada perdarahan karena aneurisma yang ruptur, risiko perdarahan ulang
lebih tinggi. Pertahankan tekanan darah 10-20 % di atas tingkat normotensif untuk
mencegah vasospasme, namun cukup rendah untuk menekan risiko perdarahan. Beberapa
menganjurkan asam aminokaproat, suatu agen antifibrinolitik. Namun manfaat serta
indikasinya tetap belum jelas.

Kasus dengan koagulasi abnormal, risiko perdarahan ulang atau perdarahan yang
berlanjut sangat nyata kecuali bila koagulopati dikoreksi. Pasien dengan kelainan perdarahan
lain dikoreksi sesuai dengan penyakitnya.
Mengurangi Efek Massa
Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal maupun bedah. Pasien
dengan peninggian TIK dan atau dengan area yang lebih fokal dari efek massa, usaha
nonbedah untuk mengurangi efek massa penting untuk mencegah iskemia serebral
sekunder dan kompresi batang otak yang mengancam jiwa. Tindakan untuk mengurangi
peninggian TIK antara lain:
1

Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial serta memperbaiki
drainase vena.

Manitol intravena (mula-mula 1,5 g/kg bolus, lalu 0,5 g/kg tiap 4-6 jam
untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L).

Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan penambahan bolus cairan
koloid bila perlu.

Ventrikulostomi dengan pemantauan TIK serta drainase CSS untuk mempertahankan TIK
kurang dari 20 mmHg.

Intubasi endotrakheal dan hiperventilasi, mempertahankan PCO2 25-30 mmHg.


Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS, peninggian kepala,

restriksi cairan, dan manitol biasanya memadai. Tindakan ini dilakukan untuk memperbaiki
tekanan perfusi serebral dan mengurangi cedera iskemik sekunder. Harus ingat bahwa
tekanan perfusi serebral adalah sama dengan tekanan darah arterial rata-rata dikurangi
tekanan intrakranial, hingga tekanan darah sistemik harus dipertahankan pada tingkat normal,
atau lebih disukai sedikit lebih tinggi dari tingkat normal. Diusahakan tekanan perfusi
serebral setidaknya 70 mmHg, bila perlu memakai vasopresor seperti dopamin intravena atau
fenilefrin.
Pasien sadar dipantau dengan pemeriksaan neurologis serial, pemantauan TIK
jarang diperlukan. Pada pasien koma yang tidak sekarat (moribund), TIK dipantau secara

rutin. Disukai ventrikulostomi karena memungkinkan mengalirkan CSS, karenanya lebih


mudah mengontrol TIK. Perdarahan intraventrikuler menjadi esensial karena sering terjadi
hidrosefalus akibat hilangnya jalur keluar CSS. Lebih disukai pengaliran CSS dengan
ventrikulostomi dibanding hiperventilasi untuk pengontrolan TIK jangka lama. Pemantauan
TIK membantu menilai manfaat tindakan medikal dan membantu memutuskan apakah
intervensi bedah diperlukan.
Pemakaian kortikosteroid untuk mengurangi edema serebral akibat PIS pernah
dilaporkan bermanfaat pada banyak kasus anekdotal. Namun penelitian menunjukkan bahwa
deksametason tidak menunjukkan manfaat, di samping jelas meningkatkan komplikasi
(infeksi dan diabetes). Namun digunakan deksametason pada perdarahan parenkhimal karena
tumor yang berdarah dimana CT-scan memperlihatkan edema serebral yang berat.
Perawatan Umum
Pasien dengan perdarahan intraventrikuler atau kombinasi dengan perdarahan
subarakhnoid atau parenkhimal akibat robeknya aneurisma nimodipin diberikan 60 mg
melalui mulut atau NGT setiap 4 jam. Belum ada bukti pemberian intravena lebih baik.
Namun penggunaan pada PIS non-aneurismal belum pasti.
Antikonvulsan diberikan begitu diagnosis PIS supratentorial ditegakkan, kecuali
bila perdarahan terbatas pada thalamus atau ganglia basal. Secara inisial disukai fenitoin,
karena kadar darah terapeutik dapat dicapai dalam 1 jam dengan pemberian IV, mudah
pemberiannya, dan efektif mencegah kejang umum. Pada dewasa, pembebanan 1 g IV (50
mg/menit) diikuti 300-400 mg IV atau oral perhari. Tekanan darah harus dipantau selama
pembebanan IV karena infus yang terlalu cepat dapat berakibat penurunan tekanan darah
mendesak. Sebagai tambahan, EKG harus dipantau karena fenitoin berkaitan dengan aritmia
cardiac termasuk pelebaran interval PR dan gelombang Q dengan diikuti kolaps vaskuler.
Kadar fenitoin dipantau ketat dan dosis disesuaikan hingga kadar fenitoin serum dalam
jangkauan terapeutik (10-20 g/ml) dan pasien bebas kejang.
Antikonvulsan lain seperti fenobarbital (60 mg/IV atau oral, dua kali sehari, kadar
terapeutik darah 20-40 g/ml) dan Carbamazepin (200 mg oral, 3-4 kali sehari, kadar
terapeutik 4-12 g/ml). Kejang bisa bersamaan dengan peninggian dramatik TIK dan tekanan
darah sistemik, yang dapat menyebabkan perdarahan, karenanya harus dicegah. Selain itu

hipoksia dan asidosis sering tampak selama aktifitas kejang, potensial untuk menambah
cedera otak sekunder.
Pengelolaan metabolik yang baik diperlukan pada pasien dengan PIS. Status
cairan, elektrolit serum, dan fungsi renal harus ditaksir berulang, terutama pada pasien
dengan restriksi cairan, mendapat manitol atau diuretika lain, atau tidak makan. Nutrisi
memadai adalah esensial.
Penatalaksanaan Operatif
Segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis tengah,
kembalinya tekanan intrakanial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan dan
mencegah pendarahan ulang. Indikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan
status neurologis, status radiologis, pengukuran tekanan intrakranial
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intracranial:
1

Massa hematoma kira-kira 40 cc

Massa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm

IED dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS 8
atau kurang.

Konstusio serebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau
pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.

Pasien-pasien

yang

menurun

kesadarannya

dikemudian

waktu

disertai

berkembangnya tanda- tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari 25
mmHg.
Decompressive Craniotomy

Teknik ini dilaporkan memberi keuntungan pada beberapa kondisi seperti hemispheric
ischaemia stroke dan ICH yang berkaitan dengan aneurysmal subarachnoid
haemorrhage.

Pada sebuah penelitian, 12 pasien dengan hypertensive ICH dilakukan decompressive


hemicraniectomy, 11 pasien (92%) selamat dan 6 pasien (54.5%) memiliki good
functional outcome.

Ukuran hematoma
Pencitraan dari PIS akut dapat membantu dalam mengelola pasien dan memprediksi
outcome neurologi pasien. Lokasi perdarahan dan keterlibatan struktur vital adalah prediktor
kuat dari outcome dan mempengaruhi kebutuhan akan tindakan pembedahan dekompresi.
Misalnya, perdarahan fossa posterior memiliki prognosis yang lebih buruk dan lebih sering
memerlukan tindakan pembedahan dekompresi. Total volume perdarahan adalah prediktor
kuat untuk terjadinya mortalitas dalam waktu 30 hari, terutama bila dikombinasikan dengan
pemeriksaan Glasgow Coma Scale score. Volume perdarahan dapat cepat diperkirakan pada
pencitraan cross sectional dengan menggunakan metode ABC/2, dimana A adalah diameter
hematoma maksimal, B adalah diameter diukur pada 90 derajat dari A, dan C adalah
perkiraan jumlah irisan mengandung hematoma dikalikan dengan ketebalan irisan (Smith &
Eskey, 2011).
Seiring dengan meningkatnya ukuran bekuan, outcome menjadi lebih buruk,
perdarahan dengan rukuran lebih dari 60 cm3 berkorelasi dengan outcomes yang buruk.
Jarak bekuan darah ke permukaan otak tampaknya mempengaruhi hasil relatif manajemen
nonsurgical dibandingkan dekompresi, gumpalan dengan jarak 1 cm dari permukaan otak
memiliki outcome yang lebih baik dengan pembedahan dekompresi (Smith & Eskey, 2011).
Perluasan hematoma
Selain ukuran dari hematoma, kemungkinan adanya perdarahan berkelanjutan dan
perluasan hematoma mempengaruhi outcome dan dapat menentukan intervensi yang akan
dilakukan. Adanya perluasan substansial PIS masih kontroversial pada beberapa studi,
terjadi pada 38% pasien dalam 24 jam pertama dalam 1 seri prospektif, sedangkan studi
menyatakan bahwa ekspansi setelah 24 jam jarang terjadi. Ekspansi dini hematoma
meningkatkan risiko kematian dan outcome fungsional yang buruk (Smith & Eskey, 2011).
Penggunaan manitol
Pada gangguan neurologis, Diuretic Osmotik (Manitol) merupakan jenis diuretik
yang paling banyak digunakan. Manitol adalah suatu Hiperosmotik Agent yang
digunakan dengan segera meningkat. Volume plasma untuk meningkatkan aliran darah
otak dan menghantarkan oksigen (Norma D McNair dalam Black, Joyce M, 2005). Ini

merupakan salah satu alasan manitol sampai saat ini masih digunakan untuk mengobati
klien menurunkan peningkatan tekanan intrakranial. Manitol selalu dipakai untuk terapi
edema otak, khususnya pada kasus dengan Hernisiasi. Manitol masih merupakan obat
magic untuk menurunkan tekanan intrakranial, tetapi jika hanya digunakan sebagai mana
mestinya. Bila tidak semestinya akan menimbulkan toksisitas dari pemberian manitol,
dan hal ini harus dicegah dan dimonitor.
Indikasi dan dosis pada terapi menurunkan tekanan intrakranial.
Terapi penatalaksanaan untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakranial
dimulai bilamana tekanan Intrakranial 20-25 mmHg. Management penatalaksanaan
peningkatan tekanan Intrakranial salah satunya adalah pemberian obat diuretik osmotik
(manitol), khususnya pada keadaan patologis edema otak. Tidak direkomendasikan untuk
penatalaksanaan tumor otak. Seperti yang telah dijelaskan di atas, diuretik osmotik
(manitol) menurunkan cairan total tubuh lebih dari kation total tubuh sehingga
menurunkan volume cairan intraseluler.
Dosis : Untuk menurunkan tekanan intrakranial, dosis manitol 0,25 1 gram/kgbb
diberikan bolus intravena, atau dosis tersebut diberikan intravena selama lebih dari
10 15 menit. Manitol dapat jugadiberikan atau dicampur dalam larutan Infus 1,5 2
gram/kgbb sebagai larutan 15-20% yang diberikan selama 30-60 menit. Manitol
diberikan untuk menghasilkan nilai serum osmolalitas 310 320 mOsm/L. Osmolalitas
serum sering kali dipertahankan antara 290 310 mOsm. Tekanan Intrakranial harus
dimonitor, harus turun dalam waktu 60 - 90 menit, karena efek manitol dimulai setelah
0,5 - 1 jam pemberian. Fungsi ginjal, elektrolit, osmolalitas serum juga dimonitor selama
pasien mendapatkan manitol. Perawat perlu memperhatikan secara serius, pemberian
manitol bila osmolalitas lebih dari 320 mOsm/L. Karena diureis, hipotensi dan dehidrasi
dapat terjadi dengan pemberian manitol dalam jumlah dosis yang banyak. Foley catheter
harus dipasang selama pasien mendapat terapi manitol. Dehidrasi adalah manisfestasi
dari peningkatan sodium serum dan nilai osmolalitas.
Obat Neuroprotektor :
1

Piracetam 1200 mg/kaplet

Indikasi : Kemunduran daya pikir, astenia, gangguan adaptasi, gangguan reaksi


psikomotor. Alkoholisme kronik dan adiksi. Disfungsi serebral sehubungan dengan
akibat pasca trauma.
Dosis : Oral sindroma psikoorganik yang berhubungan dengan penuaan, awal 6
kapsul atau 3 kaplet/hari dalam 2-3 dosis terbagi untuk 6 minggu. Pemeliharaan : 1,2
g/hr. Sindroma pasca trauma, awal 2 kapsul atau 1 kaplet 3x/hari sampai mencapai
efek yang diinginkan, lalu 1 kapsul atau kaplet/hari. Inj IM atau IV 1 g 3x/hari.
Pemberian obat : sesudah makan.
Kontra indikasi : Kerusakan ginjal parah, hipersensitif.
Efek samping : Keguguran, lekas marah, sukar tidur, gelisah, gemetar, agitasi, lelah,
gangguan GI, mengantuk.
Mekanisme kerja : piracetam adalah suatu nootropic agent.
Rencana edukasi :

Oleh karena piracetam seluruhnya dieliminasi melalui ginjal, peringatan harus


diberikan pada penderita gangguan fungsi ginjal, oleh karena itu dianjurkan
melakukan pengecekan fungsi ginjal.

Oleh karena efek piracetam pada agregasi platelet, peringatan harus diberikan
pada penderita dengan gangguan hemostatis atau perdarahan hebat.

Injeksi Citicoline
Indikasi : Gangguan kesadaran yang menyertai kerusakan atau cedera serebral,
trauma serebral, operasi otak, dan infark serebral. Mempercepat rehabilitasi tungkai
atas dan bawah pada pasien hemiplegia apopleksi.
Dosis : Gangguan kesadaran karena cedera kepala atau operasi otak 100-500 mg 12x/hari secara IV drip atau injeksi. Gangguan kesadaran karena infark serebral 1000
mg 1x/hari secara injeksi IV. Hemiplegia apopleksi 1000 mg 1x/hari secara oral atau
injeksi IV.
Pemberian obat : berikan pada saat makan atau di antara waktu makan.
Efek samping : hipotensi, ruam, insomnia, sakit kepala, diplopia.
Mekanisme kerja :

Citicoline meningkatkan kerja formatio reticularis dari batang otak, terutama


sistem pengaktifan formatio reticularis ascendens yang berhubungan dengan
kesadaran.

Citicoline mengaktifkan sistem pyramidal dan memperbaiki kelumpuhan


sistem motoris.

Citicoline menaikkan konsumsi O2 dari otak dan memperbaiki metabolisme


otak.

Prognosis
Kematian pada PIS mendekati 50% pada 1 tahun pertama. Prediktor independen
selama 30 hari dan mortalitas 1 tahun antara lain termasuk volume besar ICH, koma, usia
yang lebih tua, perdarahan intraventrikular dan lokasi infratentorial.
berguna skala penilaian klinis (skor ICH) yang menggabungkan lima elemen ini
memungkinkan estimasi cepat untuk mortalitas 30 hari pasien MRS (Jha & Gupta, 2012).

Kelima elemen tersebut dapat memperkirakan mortalitas selama 30 hari pasien di rawat di
rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

Halpern, C. H., & Grady, M. S. (2015). Neurosurgery. In F. C. Brunicardi, Schwarctz's Principles


of Surgery (pp. 1709-1754). New York: Mc Graw Hill Education.
Jha, A. N., & Gupta, V. (2012). Spontaneous Intracerebral Haemorrhage. In R. Ramamurthi, & P.
Tandon, Neurosurgery (pp. 1129-1131). Ney Delhi: Jaypee.
Luyendijk W. (2005). Intracerebral hemorrhage. In : Vinken FG, Bruyn GW, editors.
Handbook of Clinical Neurology. 660-719. New York : Elsevier.
Setyopranoto, I. (2011). Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK, 247-250.
Smith, S., & Eskey, C. (2011). Hemorrhagic stroke. Radiol Clin, 27-45.

Anda mungkin juga menyukai