Referat Limfoma Maligna
Referat Limfoma Maligna
LIMFOMA MALIGNA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Limfoma malignum adalah tumor ganas primer dari kelenjar limfe dan
jaringan limfatik di organ lainnya. Ia merupakan salah satu keganasan sistem
hematopoietik, terbagi menjadi 2 golongan besar, yaitu limfoma Hodgkin (HL)
dan limfoma non-Hodgkin (NHL). Belakangan ini insiden Infoma meningkat relatif
cepat. Sekitar 90% limfoma Hodgkin timbul dan kelenjar limfe, hanya 10% timbul dari
jaringan limfatik di luar kelenjar limfe. Sedangkan limfoma non-Hodgkin 60% timbul
dari kelenjar limfe, 40% dari jaringan limfatik di luar kelenjar. Jika diberikan terapi
segera dan tepat, angka kesembuhan limfoma Hodgkin dapat mencapai 80% lebih,
menjadi tumor ganas dengan efektivitas terapi tertinggi dewasa ini. Prognosis
limfoma non-Hodgkin lebih buruk, tapi sebagian dapat disembuhkan. Dengan
semakin mendalam riset atas limfoma malignum, kini dalam hal klasifikasi jenis
patologik, klasifikasi stadium, metode terapi, diagnosis dan penilaian atas lesi residif dan
berbagai aspek lain limfoma telah mengalami kemajuan pesat, ini sangat membantu dalam
meningkatkan ratio kesembuhan limfoma.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Limfoma maligna adalah neoplasma ganas primer pada kelenjar getah
bening/system limfatis, dan ditandai oleh pembesaran kelenjar getah bening yang
terkena. Dapat dibedakan menjadi dua, limfoma Hodgkin dan limfoma Non Hodgkin.
B. Insidensi
Insidensi penyakit Hodgkin (morbus Hodgkin; MH) kira-kira 3 per 100.000
penderita per tahun. Pada pria insidensinya sedikit lebih tinggi daripada wanita.
Perbandingan pria dan wanita adalah 3 : 2. Pada morbus Hodgkin distribusi menurut
umur berbentuk bimodal yaitu terdapat dua puncak dalam distribusi frekuensi. Puncak
pertama terjadi pada orang dewasa muda antara umur 18 35 tahun dan puncak kedua
terjadi pada orang diatas umur 50 tahun. Selama dekade terakhir terdapat kenaikan
berangsur-angsur kejadian morbus Hodgkin, terutama bentuk nodular sklerotik pada
golongan umur lebih muda.
Insiden Limfoma Non Hodgkin 8 kali lipat Limfoma Hodgkin, insiden baru
tahun 2004 di amerika serikat 50.000 kasus lebih, di china di perkirakan lebih dari
40.000 kasus. Insiden NHL meningkat sangat pesat. Ras orang kulit putih memiliki
risiko lebih tinggi daripada orang kulit hitam di Amerika dan Asia. Jenis kelamin
rasio laki dan perempuan sekitar 1.4:1, tetapi rasio dapat bervariasi tergantung pada
subtipe NHL, karena menyebar pada mediastinum primer besar misalnya B-sel
limfoma terjadi lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria. Usia untuk semua
subtipe NHL lebih dari 60 tahun, kecuali untuk pasien dengan grade tinggi limfoma
noncleaved lymphoblastic dan kecil, yang merupakan jenis yang paling umum NHL
diamati pada anak-anak dan dewasa muda. pada pasien berusia 35-64 tahun hanya
16% kasus pada pasien lebih muda dari 35 tahun.
Etiologi
Terdapat kaitan jelas antara HL dan infeksi virus EB. Pada kelompok terinfeksi
HIV, insiden HL agak meningkat dibanding masyarakat umum, selain itu manifestasi
klinis HL yang terkait HIV sangat kompleks, sering kali terjadi pada stadium lanjut
penyakit, mengenai regio yang jarang ditemukan, seperti sumsum tulang, kulit,
meningen, dll.
Infeksi virus dan regulasi abnormal imunitas berkaitan dengan timbulnya
NHL, bahkan kedua mekanisme tersebut saling berinteraksi. Virus RNA, HTLV-1
berkaitan dengan lekemia sel T dewasa; virus imunodefisiensi humanus (HIV)
menyebabkan AIDS, defek imunitas yang diakibatkan berkaitan dengan timbulnya
limfoma sel B keganasan tinggi; virus hepatitis C (HCV) berkaitan dengan
timbulnya limfoma sel B indolen. Gen dari virus DNA, virus Ebstein Barr
(EBV) telah ditemukan terdapat di dalam genom sel limfoma Burkitt Afrika; infeksi
kronis Helicobacter pylori berkaitan jelas dengan timbulnya limfoma lambung,
terapi eliminasi H. pylori dapat menghasilkan remisi pada 1/3 lebih kasus limfoma
lambung. Defek imunitas dan regulasi-menurun imunitas berkaitan dengan
timbulnya NHL, termasuk AIDS, reseptor cangkok organ, sindrom defek imunitas
kronis, penyakit autoimun. Obat seperti fenitoin dan radiasi dapat menimbulkan setiap
fase penyakit dari penyakit limfoproliferatif hingga limfoma.
Patogenesis morbus Hodgkin mungkin kompleks dan masih banyak hal yang
kurang jelas dalam bidang ini.
Klasifikasi
Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang dalam
hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian mononuklear)
dengan gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang menentukan sistem
klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang lalu telah dikembangkan
oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku sebagai dasar pembagian penyakit
Hodgkin.
Dibedakan empat bentuk utama. Bentuk nodular sklerotik (HB-NS) terciri
oleh adanya varian sel Hodgkin, sel lakunar, dalam latar belakang limfosit, granulosit,
sel eosinofil, dan histiositik. Sel Reed-Sternberg tidak sangat sering. Kelenjar limfe
sering mempunyai susunan nodular, dengan di dalamnya terlihat pita-pita jaringan
ikat yang sedikit atau kurang luas yang sklerotik.
Pada bentuk sel campuran (HD-MC) latar belakang juga terdiri dari granulosit,
eosinofil, sel plasma, dan histiosit, tetapi disini banyak terlihat sel Reed-Sternberg.
Diagnosis bentuk miskin limfosit (HD-LD) di negara industri sudah jarang
dibuat. Gambaran ini ternyata sering berdasar atas (sub) tipe morbus Hodgkin atau
limfoma non-Hodgkin. Bentuk kaya limfosit (HD-LP) terciri oleh varian sel Hodgkin
yang lain, sel L dan H dengan latar belakang limfosit kecil dan histiosit reaktif.
(Klasifikasi Lukes-Butler dan Rye, 1966)
Tipe utama
Sub-tipe
Frekuensi
}5%
Difus
Bentuk nodular sclerosis (NS)
70-80%
10-20%
Reticular
Fibrosis difus
}1%
Mengenai sifat sel Reed-Sternberg masih banyak hal yang belum jelas.
Dianggap dapat merupakan sel T atau sel B yang teraktivasi, yang sedikit banyak
dikuatkan oleh data biologi molecular; hanya pada bentuk kaya limfosit karakter sel B
jelas.
550
Manifestasi klinis
Pembesaran kelenjar limfesuperfisialis menempati 60% lebih, diantaranya
kelenjar limfe bagian leher 60-80%, bagian axial 6-20%, inguinal 6-12%, kelenjar
limfe mandibula, pre atau retro auricular, dll relative sedikit. Pmebesaran seringkali
asimetri, konsistensi padat atau kenyal, tidak nyeri, pada stadium dini tidak melekat,
dapat menimbulkan tanda invasi dan kompresi setempat. Splenomegali umunya
banyak ditemukan pada LH. Hepatomegali dan gangguan fungsi hati, terjadi pada
stadium lanjut. Kelainan tulang rangka sekitar 0-15%, berupa nyeri tulang dan fraktur
patologis. Kelainan pada kulit, dapat berupa massa, nodul, ulkus, pruritus, dll. Dapat
juga ditemukan kelainan neural berupa paralisis.
Gejala sistemik yang khas yang berupa demam, keringat malam dan
penurunan berat badan 10% yang disebut dengan gejala B.
Perbedaan karakteristik klinis Limfoma Hodgkin (HL) dan Limfoma
nonHodgkin (NHL)
Limfoma Hodgkin (HL)
limfatik ekstranodi
Berderajat
keganasan
tinggi.
Sering
Berkembang
relatif
lebih
perjalanan penyakit lebih panjang, reaksi lebih pendek, mudah kambuh, prognosis
terapi lebih baik
lebih buruk
Perubahan hematologik
Pada limfoma Hodgkin sering terdapat anemia normositik normokrom,
kausa anemia sering kali adalah menurunnya produksi dan peningkatan
destruksi, tapi anemia hemolitik dengan tes Coomb positif tidak sampai 1%.
Granulosit sering meningkat hingga timbul lekositosis, sebagian pasien dapat
menunjukkan peningkatan eosinofil granulosit, limfosit sering menurun, terutama pada
stadium lanjut, jumlah absolut limfosit dapat <1 x 109/L. Pada HL dengan demam,
kadang kala teijadi reaksi lekemik, jumlah total lekosit dapat mencapai 50 x 10 9/L
lebih.
Apusan sumsum tulang pada HL sering menunjukkan hiperproliferasi granulosit,
sering disertai peningkatan histiosit dan sel plasma, sehingga menyerupai gambaran
'sumsum tulang infeksius'. Apusan sumsum tulang jarang dapat menemukan sel R-S,
tapi biopsi sumsum tulang (tennasuk biopsi pungsi) dapat menemukan sel R-S (inti
dobel atau tunggal) pada infiltrasi fokal atau difus sumsum tulang, juga sering disertai
hiperplasia fibrosa dalam sumsum tulang. Jika menemukan secara jelas fibrosis
(dibuktikan biopsi sumsum tulang, atau berkali-kali pungsi `aspirasi kering' sumsum
tulang dengan pansitopenia), sangat kuat menunjukkan invasi tumor ke sumsum
tulang. HL sering terdapat peningkatan laju endap darah, ini dapat menjadi indikator
Limfoma
jenis
limfo blastik'
dengan
meningkat,
IgM
menurun,
pada
stadium
lanjut
50%
menunjukkan
karsinoma paru tipe sentral, pemeriksaan bronkoskopi dan tomografi hilus pulmonal
area mediastinum membantu membedakan antara keduanya.
Kasus tanpa limfadenopati superfisial, dengan gejala demam, diagnosis lebih
sulit, bila dicurigai limfoma malignum, dapat dipertimbangkan untuk pemeriksaan CT
abdomen untuk menemukan lesi retroperitoneal, ada kalanya dapat dipertimbangkan untuk
laparotomi eksploratif.
Pembesaran kelenjar getah bening akibat infeksi akut, menyebabkan
hiperplasia kelenjar tersebut hingga secara klinis teraba membesar. Secara klinis akan
ditemukan : lesi Primer sumber infeksi dan pembesaran kelenjar getah bening
regioner, yang disertai tanda tanda umum peradangan berupa dolor, robor, kolor,
tumor dan funsio laesa. Misalnya, ada sakit gigi atau karies dentis atau infeksi
stomatitis sering diikuti pembesaran kelenjar getah bening submandibuler
(limfadenitis submandibuler), apabila lesi infeksi primer sudah diobati, maka
limfadenitis akuta inipun akan sembuh secara berangsur. Limfadenitis Kronis
disebabkan oleh infeksi kronis. Infeksi kronis nonspesifik misalnya pada keadaan
seseorang dengan faringitis kronis akan ditemukan pembesaran kelenjar getah bening
leher (limfadenitis). Pembesaran di sini ditandai oleh tanda radang yang sangat
minimal dan tidak nyeri. Pembesaran kronis yang spesifik dan masih banyak di
Indonesia adalah akibat tuberkulosa. Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh
pembesaran kelenjar getah benng, padat / keras, multiple dan dapat berkonglomerasi
satu sama lain.
Stadium
Untuk pembagian stadium masih selalu digunakan klasifikasi Ann Arbor.
Dalam suatu pertemuan kemudian diadakan beberapa perubahan.
Atas dasar penetapan stadium klinis pada penyakit Hodgkin pada 60%
penderita penyakitnya terbatas pada stadium I atau II. Pada 30% penderita terdapat
perluasan sampai stadium III dan pada 10-15% terdapat pada stadium IV. Ini berbeda
dengan limfoma non-Hodgkin, yang biasanya terdapat pada stadium III-IV.
Tiap penderita dengan penyakit Hodgkin harus diterapi dengan tujuan kuratif.
Ini juga berlaku untuk penderita dalam stadium III dan IV dan juga untuk penderita
dengan residif sesudah terapi pertama.
Ini berarti bahwa terapi harus cepat dimulai dan bahwa ini tidak boleh
dihentikan atau dikurangi tanpa alasan yang berat. Sebelum mulai terapi harus ada
pembicaraan antara radioterapis dan internis untuk menentukan program terapi.
Tabel 4. Pilihan terapi pertama pada morbus Hodgkin
Terapi pertama
Stadium I II
Stadium IIIA
Jadi, penderita dalam stadium I atau II dengan faktor resiko ini secara
inisial harus diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan penyinaran. Tahun-tahun
akhir ini pada umumnya ada tendensi untuk juga stadium I dan II penderita tanpa
faktor resiko tambahan diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan radiasi. Alasan
untuk ini adalah bahwa misalnya sebagai akibat penyinaran lapangan mantel
sesudah 10-15 tahun, juga terdapat kenaikan kemungkinan timbul masalah
kardial.
2. Stadium IIIA
Jika dalam stadium III perluasannya hanya terbatas, radiasi memang
mungkin, misalnya dalam situasi klinis stadium klinik II pada laparotomi terdapat
perluasan terbatas di limpa atau perut atas. Penyinaran harus terdiri dari radiasi
lapangan mantel dan radiasi Y terbalik (radiasi total node). Pada stadium klinik
III lebih dipilih penanganan dengan kemoterapi. Penderita ini diterapi sebagai
pasien dalam stadium IIIB IV.
3. Stadium IIIB IV
Penderita dalam stadium ini diterapi dengan kemoterapi (Longo, 1990).
Skema MOPP yang telah lama sebagai pilihan pertama tampaknya digeser oleh
skema MOPP/ABV. Dalam hal ini pada hari ke-1 dan ke-8 dapat diberikan
berbagai obat. Dari penelitian ternyata bahwa dengan pilihan ini kemungkinan
penyembuhan lebih besar daripada dengan MOPP saja.
Pada penderita yang lebih tua juga digunakan skema ChlVPP, yang pada
umumnya lebih baik ditoleransi. Mengenai efek samping kemoterapi disamping
efek akut yang terjadi (misalnya nausea, vomitus, depresi sumsum tulang, dan
kerontokan rambut), juga harus diperhatikan efek samping yang timbul
kemudian.
Beberapa kombinasi kemoterapi yang banyak dipakai pada morbus Hodgkin
Dosis
Hari
1 5 8 15
2
(mg/m )
keMOPP
Nitrogen
mustard
Vinkristin
Procarbazine
Prednisone
i.v.
++
1,4
i.v.
++
100
p.o.
25
p.o.
p.o.
i.v.
++
100
p.o.
25
p.o.
25
i.v.
++
10
i.v.
++
i.v.
++
250
i.v.
++
i.v.
1,4
i.v.
100
p.o.
40
p.o.
35
i.v.
i.v.
10
i.v.
80
p.o.
100
p.o.
ChlVPP
Chlorambusil
Vinblastin
Procarbazine
Prednisone
ABVD
Adriamisin
Bleomisin
Vinblastin
DTIC
MOPP/ABV
Nitrogen
mustard
Vinkristin
Procarbazine
Prednisone
Adriamisin
Vinblastin
Bleomisin
CEP
CCNU
Etoposid
Prednimustin
80
p.o.
difus,
limfoma
limfoplasmasitik,
limfoma
zona
marginal
splenik,
plasmasitoma, limfoma sel B zona marginal ekstra nodal, limfoma sel B zona
marginal nodus limfatikus, limfoma folikular, granuloma limfoproliferatif, dll.
Kebanyakan pasien saat diagnosis sudah tergolong stadium lanjut, hanya sekitar
10-20% pasien termasuk stadium I-II. Pasien stadium lanjut (III-IV) sangat sedikit
yang berpeluang sembuh, terapi umumnya bersifat paliatif. Limfoma indolen
stadium I-II umumnya diradioterapi (area terkena + area drainase), bila sebelum
radioterapi diberikan kemoterapi
dengan
formula
FND
kemungkinan
dapat
meningkatkan masa survival bebas penyakit jangka panjang. Kasus stadium .IIIA pasca
kemoterapi ditambah radioterapi lokal dapat memperbaiki masa survival tanpa penyakit
DF S5 tahun sekitar 60%), masih kontroversial apakah dapat disembuhkan. Pasien stadium
IIIB-IV berdasarkan ukuran tumor, ada tidaknya tanda desakan, gejala sistemik,
laju progresi tumor dan faktor lain, secara terpisah dilakukan observasi, kemoterapi
iv, dl
iv, dl
iv (dosis maks. 2mg), dl
po, d1-5
2) Formula M-BACOD
MTX
CF
BLM
ADR
CTX
3000mg/m2
100mg/m2
4U/m2
45mg/m2
600mg/m2
1,4mg/m2
6mg/m2
VCR
DXM
iv, dl
d1-5
3)
Formula CHOP-Rituximab
750 mg/m2
CTX
ADR
50 mg/m
iv, d3
2
VCR
1,4 mg/m
Pred.
100 mg/m2
Rituximab
iv, d3
375 mg/m
iv, dl
4)
FDR
MIT
DXM
Formula FMD.
25mg/m2
10mg/m
20mg/m2
iv, d1-5
2
iv, dl
iv, d1-5
800 mg/m 2
CTX
ADR
200 mg/m
40 mg/m2
VCR
1,5 mg/m2
iv, dl
iv, d2-5
iv, dl
iv (dosis max. 2mg), d1,8
MTX
CF
6,7 g/m
192 mg/ m 2
MTX
12 mg
<10-8
it, d15
Ara-C
70 mg
it, d1,3
IVAC
IFO
VP-16
1500 mg/m 2
60 mg/m
Ara-C
2g/m
iv, drip 2jam ql2h x4, dl-2
MTX
12mg/m2
iv, d5
CODOX-M dan IVAC setiap 3 minggu bergantian.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Penerbit FKUI. BukuAjar Onkologi Klinis Ed. 2. 2008. Jakarta: FKUI; Hal 547563
Hoppe RT, Advani RH, Ambinder RF, et al. Hodgkin disease/lymphoma. J Natl
Compr Canc Netw. Jul 2008;6(6):594-622.
Jaffe ES, Harris NL, Stein H, Vardiman JW, eds. World Health Organization
Classification of Tumours: Pathology and Genetics of Tumours of
Haematopoietic and Lymphoid Tissues. Lyon, France: IARC Press; 2001.
Molina A, Pezner RD. Non-Hodgkin's lymphoma. In: Pazdur R, Coia LR, Hoskins
WJ, Wagman LD, eds. Cancer Management: A Multidisciplinary Approach. 5th
ed. Melville, NY: PRR, Inc; 2000:583-618.
Thomas RK, Re D, Wolf J, Diehl V. Part I: Hodgkin's lymphoma--molecular biology
of Hodgkin and Reed-Sternberg cells. Lancet Oncol. Jan 2004;5(1):11-8.
Vose JM. Current approaches to the management of non-Hodgkin''s lymphoma. Semin
Oncol. Aug 1998;25(4):483-91.