Anda di halaman 1dari 15

5

BAB 2
Tinjauan Pustaka

2.1.Sejarah
Kondiloma akuminata sudah dikenal sejak zaman Romawi dan Yunani
kuno. Kondiloma berasal dari bahasa Yunani yang artinya tumor bulat,
dan akuminata berasal dari bahasa latin yang artinya titik yang tajam.
Sepertinya kedua istilah ini digunakan karena dari jauh kondiloma
akuminata terlihat seperti tumor kulit yang bulat, tetapi dari dekat
permukaannya terlihat seperti kumpulan kutil dengan permukaan yang
tidak rata (G.Dyment, 1996).

2.2.Definisi
Kondiloma akuminata adalah kelainan kulit berbentuk vegetasi
bertangkai dengan permukaan berjonjot dan disebabkan oleh virus yaitu
Human Papilloma Virus (HPV) jenis tertentu (Harahap, 2000; Handoko
2010). Menurut Zubier (2003) pada pasien kondiloma akuminata terjadi
kelainan berupa fibroepitelioma pada kulit dan mukosa.

2.3.Epidemiologi
Frekuensi terjadinya kondiloma akuminata pada pria dan wanita sama,
penyebarannya kosmopolit, dan transmisinya bisa melalui kontak kulit
langsung maupun hubungan seksual (Harahap, 2000; Handoko 2010).

2.4.Etiologi
Penyebab dari kondiloma akuminata adalah Human Papilloma Virus
(HPV). HPV adalah virus DNA yang merupakan virus epiteliotropik

Universitas Sumatera Utara

(menginfeksi epitel) dan tergolong dalam famili Papovaviridae (Handoko,


2010; Zubier, 2003).
Menurut Zubier (2003) sampai sekarang ini telah dapat diisolasi lebih dari
120 tipe HPV, sedangkan menurut Handoko (2010) sampai saat ini telah
dikenal sekitar 70 tipe HPV. Tapi tidak seluruhnya menyebabkan
kondiloma akuminata. Tipe yang pernah ditemui pada kondiloma
akuminata adalah tipe 6, 11, 16, 18, 30, 31, 33, 35, 39, 41, 42, 44, 51, 52,
dan 56 (Handoko, 2010). Dari semua tipe tersebut yang sering di jumpai
pada kondiloma akuminata adalah HPV tipe 6, 11, 16, dan 18 (Hunter,
Savin, dan Dahl, 2002; Oats dan Abraham, 2005; Kerdel dan JeminezAcosta, 2003; Wolff et al, 2008).
Adanya hubungan antara infeksi HPV tipe tertentu dengan terjadinya
karsinoma serviks maka HPV dibagi menjadi 2 berdasarkan terjadinya
displasia epitel dan keganasan yaitu (Zubier,2003):
1. HPV yang mempunyai resiko rendah (low risk)
Yaitu: HPV tipe 6 dan tipe 11
2. HPV yang mempunyai resiko tinggi (high risk) mempunyai potensi
onkogen yang tinggi
Yaitu: HPV tipe 16 dan tipe 18

2.5.Patogenesis
Kebanyakan infeksi HPV di daerah anogenital didapatkan
melalui hubungan seksual. Setelah akuisisi, HPV menginfeksi sel
basal dari anogenital epitelium. HPV bereplikasi dan berbentuk virion
saat sel basal berdiferensiasi dan tumbuh ke permukaan epitel.
Spektrum penyakit tergantung pada tingkat mitosis dan penggantian
epitel dengan sel basaloid yang immatur (V. Chin-Hong dan M.
Palefsky, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.6.Gejala Klinis
Masa inkubasi kondiloma akuminata berlangsung antara 1-8
bulan (rata-rata 2-3 bulan). HPV masuk ke dalam tubuh melalui
mikrolesi pada kulit, sehingga kondiloma akuminata sering timbul
pada daerah yang mudah mengalami trauma pada saat melakukan
hubungan seksual (Zubier, 2003).
Penyakit ini terutama terdapat di daerah lipatan yang lembab, misalnya
di daerah genitalia eksterna. Pada pria tempat predileksinya di
perineum dan sekitar anus, sulkus koronarius, glans penis, muara
uretra eksterna, korpus dan pangkal penis. Pada wanita di daerah vulva
dan sekitarnya, introitus vagina, kadang pada porsio uteri. Pada wanita
yang banyak mengeluarkan fluor albus atau wanita yang hamil
pertumbuhan penyakit lebih cepat (Handoko, 2010).
Untuk kepentingan klinis kondiloma akuminata dibagi dalam 3 bentuk
yaitu (Zubier, 2003):
1. Bentuk akuminata
Terutama dijumpai pada lipatan dan lembab. Terlihat vegetasi
bertangkai dengan permukaan yang berjonjot-jonjot seperti jari.
Beberapa kutil dapat bersatu membentuk lesi yang lebih besar
sehingga tampak seperti kembang kol. Lesi yang besar ini sering
dijumpai pada wanita yang mengalami fluor albus, pada wanita
hamil, dan pada keadaan imunitas terganggu.
2. Bentuk papul
Lesi bentuk papul biasanya didapati pada daerah dengan
keratinisasi sempurna, seperti batang penis, vulva bagian lateral,
daerah perianal dan perineum. Kelainannya berupa papul dengan
permukaan yang halus dan licin, multipel dan tersebar secara
diskret.

Universitas Sumatera Utara

3. Bentuk datar
Secara klinis, lesi bentuk ini terlihat sebagai makula atau
bahkan sama sekali tidak tampak dengan mata telanjang (infeksi
subklinis), dan baru terlihat setelah dilakukan tes asam asetat.
Dalam hal ini penggunaan kolposkopi sangat menolong.
Meskipun demikian perlu diingat bahwa tidak ada batasan yang
jelas antara ketiga bentuk tadi dan sering pula dijumpai bentuk-bentuk
peralihan. Selain ketiga bentuk klinis diatas, dijumpai juga bentuk
klinis yang lain yang telah diketahui berhubungan dengan keganasan
pada genitalia, yaitu:
1. Giant condyloma Buschke-Lowenstein
Bentuk ini diklasifikasikan sebagai karsinoma sel skuamosa
dengan keganasan derajat rendah. Hubungan antara kondiloma
akuminata

dengan

giant

condyloma

diketahui

dengan

ditemukannya HPV tipe 6 dan tipe 11. Lokalisasi lesi yang paling
sering adalah pada penis dan kadang-kadang pada vulva dan anus.
Klinis tampak sebagai kondiloma yang besar, bersifat invasif lokal
dan tidak bermetastasis. Secara histologis giant condyloma tidak
berbeda dengan kondiloma akuminata. Giant condyloma ini
umumnya refrakter terhadap pengobatan (Zubier, 2003; Kerdel dan
Jeminez-Acosta, 2003).
2. Papulosis Bowenoid
Secara klinis berupa papul likenoid berwarna coklat kemerahan
dan dapat berkonfluens menjadi plakat. Ada pula lesi yang
berbentuk makula eritematosa dan lesi yang mirip leukoplakia atau
lesi subklinis. Umumnya lesi multipel dan kadang-kadang
berpigmentasi. Berbeda dengan kondiloma akuminata, permukaan
lesi papulosis Bowenoid biasanya halus atau hanya sedikit

Universitas Sumatera Utara

papilomatosa. Gambaran histopatologik mirip penyakit bowen


dengan inti yang berkelompok, sel raksasa diskeratotik dan sebagai
mitotik atipik. Dalam perjalanan penyakitnya, papulosis Bowenoid
jarang menjadi ganas dan cenderung untuk regresi spontan
(Zubier, 2003; Wolff et al, 2008).

2.7.Pemeriksaan penunjang
1. Tes asam asetat
Bubuhkan asam asetat 5% dengan lidi kapas pada lesi
yang dicurigai. Dalam 1-5 menit lesi akan berubah warna
menjadi putih (acetowhite). Perubahan warna pada lesi di
daerah perianal perlu waktu lebih lama (sekitar 15 menit)
(Zubier, 2003; Wolff et al, 2008).
2. Kolposkopi
Merupakan tindakan yang rutin dilakukan di bagian
kebidanan, namun belum digunakan secara luas di bagian
penyakit kulit. Pemeriksaan ini terutama berguna untuk melihat
lesi kondiloma akuminata yang subklinis (Zubier, 2003).
Kolposkopi menggunakan sumber cahaya yang kuat dan lensa
binokular sehingga lesi dari infeksi HPV dapat diidentifikasi.
Biasanya kolposkopi digunakan bersama asam asetat untuk
membantu visualisasi dari jaringan yang terkena. Walaupun
awalnya kolposkopi didisain untuk memeriksa alat kelamin
wanita, aplikasi dari kolposkopi sudah dikembangkan untuk
memeriksa penis dan anus. Servikal kolposkopi dan anoskopi
resolusi tinggi biasanya dilakukan setelah tes sitologi yang
abnormal pada skrining dari kanker serviks dan anus (V. ChinHong dan M.Palefsky, 2007).

Universitas Sumatera Utara

10

3. Tes sitologi
Tes pap adalah dasar dari skrining kanker serviks dan
Cervikal Intraepithelial Neoplasia (CIN). Tes ini terbukti
sangat bermanfaat penerapannya karena sukses menurunkan
insiden dan mortalitas kanker serviks. Penggunaan tes sitologi
tidak berperan untuk mendiagnosa kutil kelamin, tetapi wanita
yang terkena kutil kelamin tetap harus diskrining dengan tes
pap. US Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
merekomendasikan pada dokter untuk melakukan tes pap
serviks saat melakukan pemeriksaan pelvik untuk skrining
Infeksi Menular Seksual (IMS) pada wanita yang tidak pernah
melakukan tes pap selama 12-36 bulan. Hal tersebut
dikarenakan wanita yang datang ke klinik pelayanan IMS
memiliki prevalensi mengalami CIN 5 kali lebih tinggi dari
pada wanita yang datang ke klinik pelayanan keluarga
berencana, dan riwayat IMS adalah faktor resiko kanker
serviks yang invasif (V. Chin-Hong dan M. Palefsky, 2007;
Oats dan Abraham, 2005).
Gambaran pemeriksaan sitologi serviks bisa normal
ataupun abnormal. Yang termasuk kategori abnormal adalah
High-grade squamous intraepithelial lesion (HSIL), low-grade
squamous intraepithelial lesions (LSIL), atypical squamous
mungkin yang undetermined significance (ASC-US), atau yang
mencurigakan sebagai HSIL (ASC-H).
Sama dengan hubungan antara kondiloma akuminata
dengan CIN, ada resiko dari anal intra epithelial neoplasia
pada pria dan wanita dengan kutil anogenital. Diyakini bahwa
kelompok tertentu seperti homoseksual, pria dan wanita
terinfeksi HIV tanpa memperhatikan seksual orientasinya,

Universitas Sumatera Utara

11

wanita dengan riwayat kanker vulva atau kanker serviks, dan


penerima transplantasi adalah kelompok dengan resiko terbesar
mengalami anal intraepithelial neoplasia dan kanker anus dan
harus diskrining dengan tes sitologi (V. Chin-Hong dan M.
Palefsky, 2007).
Tes sitologi anus dilakukan setiap 1-2 tahun. Tes ini
merupakan pemeriksaan yang murah dalam pencegahan kanker
anus

pada

homoseksual

penderita

HIV.

Sedangkan

homoseksual yang tidak terinfeksi HIV dilakukan tes sitologi


setiap 2-3 tahun. Untuk melakukan tes sitologi anus, kita
masukkan Dacron swab yang dibasahi dengan air ke saluran
anus, kemudian kita tarik perlahan sambil mempertahankan
tekanan ke saluran anus. Sehingga kita mendapatkan sel dari
rektum bagian bawah, squamocolumnar junction, dan saluran
anus.

Sama dengan sistem yang digunakan pada skrining

kanker serviks dan CIN, gambaran sitologi anus dibagi


menjadi normal, ASC-US, ASC-H, LSIL, dan HSIL. Individu
dengan gambaran sitologi yang abnormal dirujuk untuk
dilakukan pemeriksaan anoskopi, alat yang identik dengan
kolposkopi yang digunakan untuk pemeriksaan serviks, di
gunakan

untuk

membantu

mengidentifikasi

lesi

yang

menyebabkan gambaran sitologi yang abnormal (V. ChinHong dan M. Palefsky, 2007).
4. Histologi
Pemeriksaan histologis menunjukkan kelainan pada
epidermis, termasuk akantosis (menebalnya stratum spinosum),
parakeratosis (retensi nuklei di sel stratum korneum), dan
hiperkeratosis (menebalnya stratum korneum), menyebabkan
pembentukan papillomatosis yang khas. Karakteristik lain yang

Universitas Sumatera Utara

12

ditemukan dari pemeriksaan jaringan yang dibiopsi adalah


koilosit (sel epitel squamous dengan nukleus abnormal di
dalam halo sitoplasma yang besar). Biopsi tidak tarlalu
diperlukan untuk diagnosa kutil kelamin, mengingat tampilan
klinisnya yang khas. Bagaimanapun, disarankan melakukan
biopsi jika temuan atipikal seperti pigmentasi, ulserasi, masa
nodular, untuk menyingkirkan kemungkinan displasia tingkat
tinggi atau malignansi (V. Chin-Hong dan M. Palefsky, 2007;
Wolff et al, 2008).
5. Metode molekular
Menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan
teknologi hybrid capture adalah metode yang sensitif dan
spesifik dalam mendiagnosa infeksi HPV. PCR menggunakan
DNA polimerase primer spesifik untuk memperbesar DNA
HPV. HPV type-specific PCR assay telah tersedia. Hybrid
capture

menggunakan

RNA

probe

spesifik

untuk

mengidentifikasi tipe HPV tertentu yang dibagi menjadi


onkogenik (resiko tinggi) dan nononkogenik (resiko rendah),
tetapi tidak memberikan informasi tipe yang spesifik. PCR dan
metode hybrid capture dapat digunakan untuk mendiagnosa
infeksi HPV menggunakan spesimen sel dan jaringan yang
didapat dengan cara biopsi. Walaupun umumnya PCR dan
hybrid capture yang digunakan dalam penelitian, hanya hybrid
capture yang tidak dianjurkan FDA sebagi tambahan dalam
skrining sitologi serviks untuk mendeteksi CIN. PCR and
hybrid capture tidak rutin digunakan untuk diagnosa atau
penanganan dari kondiloma akuminata (V. Chin-Hong dan M.
Palefsky, 2007).

Universitas Sumatera Utara

13

6. Serologi
Enzym-lingked

imunoabsorbent

assay

(ELISA)

digunakan untuk mengukur IgG dan IgM pada infeksi HPV


dengan target partikel khusus seperti virus. Pasien dengan
kondiloma akuminata dan penyakit lain yang berhubungan
dengan infeksi HPV ditemukan memiliki respon serologi
spesifik terhadap HPV tipe 6 dan 11. Pentingnya mengukur
serologi HPV masih belum diketahui dan pengukuran ini hanya
digunakan untuk penelitian. Respon antibodi terhadap HPV
dapat bertahan untuk beberapa tahun atau berkurang dengan
pulihnya penyakit, dan mengindikasikan baik infeksi saat ini
atau infeksi yang lama. Saat ini belum ada indikasi klinis
pemeriksaan serologi HPV (V. Chin-Hong dan M. Palefsky,
2007).

2.8.Diagnosis Banding
1. Pearly penile papules
Secara klinis tampak sebagai papul berwarna sama
seperti warna kulit atau putih kekuningan, berukuran 1-2 mm,
tersebar

diskret,

mengelilingi

sulkus

koronarius

dan

memberikan gambaran seperti cobblestone. Papul-papul ini


merupakan varian anatomi normal dari kelenjar sebasea,
sehingga tidak memerlukan pengobatan (Zubier, 2003; Wolff
et al, 2008).
2. Kondiloma lata
Merupakan salah satu bentuk sifilis stadium II. Lesi
berupa papul-papul dengan permukaan yang lebih halus,
bentuknya lebih bulat daripada kondiloma akuminata, besar,
berwarna putih atau abu-abu, lembab, lesi datar, plakat yang

Universitas Sumatera Utara

14

erosif, ditemukan banyak spirochaeta pallidum. Terdapat pada


daerah lipatan yang lembab seperti anus dan vulva (Zubier,
2003; Handoko, 2010; Wolff et al, 2008; Hunter, Savin, dan
Dahl, 2002).
3. Veruka vulgaris
Vegetasi yang tidak bertangkai, kering dan berwarna
abu-abu atau sama dengan warna kulit (Handoko, 2010).
4. Karsinoma sel skuamosa
Vegetasi seperti kembang kol mudah berdarah dan
berbau. Kadang-kadang sulit dibedakan dengan kondiloma
akuminata. Pada lesi yang tidak memberikan respon pada
pengobatan perlu dilakukan pemeriksaan histopatologi (Zubier,
2003; Wolff et al, 2008).
5. Moluskum kontagiosum
Lesi dari poxvirus, moluskum kontagiosum, berupa papul
miliar kadang-kadang lentikular berbentuk kubah yang di
tengahnya terdapat delle. Bisa muncul di manapun di tubuh
kecuali telapak tangan dan telapak kaki. Berwarna putih seperti
lilin 2-5 mm, muncul bisa secara tunggal atau berkelompok,
kadang-kadang susah membedakannya dengan kondiloma
akuminata. Walaupun bisa sembuh sendiri pada pasien
imuokompeten, lesinya bisa sulit diobati pada pasien AIDS
dengan kadar CD4 T-sel yang rendah (V. Chin-Hong dan M.
Palefsky, 2007; Hunter, Savin, dan Dahl, 2002; Handoko,
2010).
6. Lichen planus, nevi dan keratosis seboroik kadang juga bisa
meragukan karena terlihat mirip dengan kondiloma akuminata
(V. Chin-Hong dan M. Palefsky, 2007; Wolff et al, 2008).

Universitas Sumatera Utara

15

2.9.Penatalaksanaan
Pemilihan cara pengobatan yang dipakai tergantung pada
besar, lokalisasi, jenis dan jumlah lesi, serta keterampilan dokter
yang melakukan pengobatan (Zubier, 2003). Ada beberapa cara
pengobatan KA yaitu:
1. Kemoterapi
a. Tingtur podofilin
Yang digunakan tingtur podofilin 15-25%. Setelah
melindungi kulit di sekitar lesi dengan vaselin agar tidak
terjadi iritasi, oleskan tingtur podofilin pada lesi dan
biarkan sampai 4-6 jam, kemudian cuci. Bila belum terjadi
penyembuhan boleh diulang setelah 3 hari. Pemberian obat
dilakukan seminggu dua kali. Setiap pemberian tidak boleh
melebihi 0,5 cc karena akan diserap dan bersifat toksik.
Gejala toksisitas adalah mual, muntah, nyeri abdomen,
gangguan alat nafas, dan keringat yang disertai kulit dingin.
Dapat pula terjadi kompresi sumsum tulang yang disertai
trombositopenia dan leukopenia. Tidak\boleh diberikan
pada wanita hamil karena dapat menyebabkan kematian
fetus. Cara pengobatan dengan pedofilin ini sering dipakai.
Hasilnya baik pada lesi yang baru, tetapi kurang
memuaskan pada lesi yang hiperkeratotik, lama atau yang
berbentuk pipih (Zubier, 2003: Handoko, 2010; Hunter,
Savin, dan Dahl, 2002; Oats dan Abraham, 2005).
b. Podofilotoksin 0,5% (podofiloks)
Bahan ini merupakan zat aktif yang terdapat dalam
podofilin. Setelah pemakaian podofiloks, dalam beberapa
hari akan terjadi destruksi pada jaringan kondiloma
akuminata. Reaksi iritasi pada pemakaian podofiloks lebih

Universitas Sumatera Utara

16

jarang terjadi dibandingkan dengan podofilin dan reaksi


sistemik belum pernah dilaporkan. Obat ini dapat dioleskan
sendiri oleh penderita sebanyak 2 kali sehari selama 3 hari
berturut-turut (Zubier, 2003; Hunter, Savin, dan Dahl,
2002; Oats dan Abraham, 2005; Kerdel dan JeminezAcosta, 2003).
c. Asam trikloroasetat
Digunakan larutan dengan konsentrasi 50%, dioleskan
setiap minggu. Pemberiannya harus hati-hati karena dapat
menimbulkan ulkus yang dalam. Dapat diberikan pada
wanita hamil (Handoko, 2010).
d. 5-Fluorourasil
Konsentrasinya antara 1-5% dalam krim. Obat ini
terutama untuk kondiloma akuminata yang lesinya terletak
pada

meatus

uretra

atau

di

atas

meatus

uretra.

Pemberiannya setiap hari sampai lesi hilang. Sebaiknya


penderitanya tidak miksi selama 2 jam setelah pengobatan
(Zubier, 2003; Handoko, 2010; Kerdel dan JeminezAcosta, 2003).
2. Tindakan bedah (Zubier, 2003; Handoko; 2010; V. Chin-Hong
dan M. Palefsky, 2007; Hunter, Savin, dan Dahl, 2002; Oats
dan Abraham, 2005).
a. Bedah skalpel
b. Bedah listrik
c. Bedah beku (N2 cair, N2O cair)
d. Bedah laser (CO2 laser)
3. Interferon
Pemberiannya dalam bentuk suntikan (intra muscular
atau intra lesi), bentuk krim (topical) dan dapat diberikan

Universitas Sumatera Utara

17

bersama pengobatan yang lain. Secara klinis terbukti interferon


alfa-, beta-, gama- bermanfaat dalam pengobatan infeksi HPV.
Interferon alfa diberikan dengan dosis 406 mU secara intra
muscular 3 kali seminggu selama 6 minggu atau dengan dosis
1-5 mU intramuscular selama 6 minggu. Interferon beta
diberikan dengan dosis 2 x 106 unit secara intramuskular atau
2 kali 10 mega IU secara intramuskular selama 10 hari
berturut-turut (Zubier, 2003; Handoko, 2010).
4. Immunoterapi
Pada penderita dengan lesi yang luas dan resisten
terhadap pengobatan dapat diberikan pengobatan bersama
imunostimulator (Zubier, 2003; Handoko, 2010).

2.10.

Pencegahan
Metode yang paling handal mencegah terinfeksi HPV adalah
menghindari hubungan seksual yang bebas dan berganti-ganti
pasangan. Setialah pada satu pasangan dan pastikan pasangan kita
juga setia pada kita. Kondom pria yang terbuat dari latex terbukti
memberi perlindungan terhadap infeksi dan juga penyakit yang
diakibatkan oleh HPV seperti kondiloma akuminata, CIN 2 atau3,
dan kangker serviks yang infasif. Walaupun tidak disarankan oleh
US Centers for Disease Control and Prevention (CDC), evaluasi
pasangan memberi kesempatan untuk skrining dan pemberian
edukasi tentang HPV dan IMS yang lain (V. Chin-Hong dan M.
Palefsky, 2007).
Pencegahan dengan vaksin menawarkan pilihan baru. Vaksin
multivalent terhadap 4 subtipe HPV (6, 11, 16, dan 18) sudah
diizinkan oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk
diberikan pada wanita berumur 9-26 tahun pada juni 2006. Di Cina

Universitas Sumatera Utara

18

dari penelitian yang dilakukan Wang dan Qiao (2008) pemberian


vaksin mencegah sampai 83% kasus kondiloma akuminata.
Vaksinasi ini menggunakan komponen utama dari kapsid protein
HPV yang dirangkai dalam partikel mirip virus, tidak mengandung
DNA HPV dan tidak infeksius. Vaksinasi dirancang untuk
meningkatkan antibodi sebelum terkena infeksi HPV (V. ChinHong dan M. Palefsky, 2007).

2.11. Komplikasi
Kondiloma akuminata memiliki resiko berkembang menjadi
kanker yang invasif. Bagaimanapun, individu dengan kondiloma
akuminata biasanya memiliki faktor resiko terkena HPV tipe
ongkogenik yang menyebabkan CIN dan anal intraepithelial
neoplasia.

Kondiloma

akuminata

dapat

berproliferasi

dan

membesar selama kehamilan dan dapat menyumbat panggul saat


proses persalinan pervaginam. Pada anak yang lahir dari ibu
penderita

kondiloma

akuminata

bisa

terjadi

respiratori

papillomatosis berulang tapi kejadiannya sangat jarang. Kutil


berkembang di tenggorokan bayi, biasanya di pita suara,
menyebabkan hoarseness dan stridor. Kutil tersebut biasanya
dibuang dengan cara bedah laser untuk menghindari kemungkinan
kegagalan bernafas. Karena prevalensi terjadinya respiratori
papillomatosis berulang rendah, proses persalinan secara seksio
sesarea biasanya tidak disarankan bagi wanita yang menderita
kondiloma akuminata (V. Chin-Hong dan M. palefsky, 2007).
Tetapi jika terjadi pertumbuhan kutil yang sangat besar, baik di
dalam vagina maupun vulva sehingga menghambat turunnya
kepala atau menyebabkan perdarahan yang banyak maka dianjurka
melakukan seksio sesarea (Prawirohardjo, 2002).

Universitas Sumatera Utara

19

2.12. Prognosis
Walaupun sering mengalami residif, prognosisnya baik. Faktor
predisposisi dicari, misalnya hygiene, adanya fluor albus, atau
kelembaban pada pria akibat tidak di sirkumsisi (Handoko,
2010).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai