Muscle Relaxant
Muscle Relaxant
Oleh:
Agustina, S.Ked
04094705055
Pembimbing:
dr. Kusuma Harimin, SpAn
Oleh:
Agustina, S.Ked
(04094705055)
Pembimbing:
dr. Kusuma Harimin, SpAn
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Departemen Anestesi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr.
Mohammad Hoesin Palembang periode 25 Januari 1 Februari 2010.
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat dan
karunia-Nya sehingga Penyusun dapat menyelesaikan referat yang berjudul Farmakologi Obat
Obat Pelumpuh Otot. Referat ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)
di Departemen Anestesi dan Reanimasi, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Kusuma Harimin, SpAn selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan referat ini, serta
semua pihak yang telah membantu hingga selesainya referat ini.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini disebabkan
keterbatasan kemampuan Penyusun. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak sangat Penyusun harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Mudahmudahan referat ini dapat memberi manfaat bagi yang membacanya.
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul............................................................................................................
Halaman Pengesahan..................................................................................................
ii
Kata Pengantar............................................................................................................
iii
Daftar Isi.....................................................................................................................
iv
Pendahuluan................................................................................................................
Struktur Kimia...............................................................................................
Mekanisme Kerja...........................................................................................
Dosis..............................................................................................................
Efek Samping.................................................................................................
12
12
Intubasi...........................................................................................................
13
Mencegah Fasikulasi......................................................................................
14
14
15
15
Pelepasan Histamin........................................................................................
15
Metabolisme di Hati.......................................................................................
16
Ekskresi Renal...............................................................................................
16
16
18
Atracurium.....................................................................................................
18
Cisatracurium.................................................................................................
20
Mivacurium....................................................................................................
22
Doxacurium....................................................................................................
23
Pancuronium..................................................................................................
24
Pipecuronium.................................................................................................
26
Vecuronium....................................................................................................
27
Rocuronium....................................................................................................
29
30
30
Pemilihan Obat...........................................................................................................
31
PENDAHULUAN
Obat-obat
spasmolitik biasa disebut pelumpuh otot kerja pusat dan digunakan terutama untuk
menangani nyeri punggung kronis dan kondisi fibromialgia.
kolinesterase spesifik atau kolinesterase asli ditemukan dalam end-plate membran sel
motorik yang berdekatan dengan reseptor asetilkolin. Akhirnya, terjadi penutupan ion
channel menimbulkan repolarisasi. Ketika pembentukan potensial aksi terhenti, channel
natrium pada membran sel otot juga menutup. Kalsium kembali masuk ke retikulum
sarkoplasma dan sel otot akan berelaksasi.
Struktur Kimia
Semua obat pelumpuh otot memiliki kemiripan struktur dengan asetilkolin.
Sebagai contoh, suksinilkolin adalah dua molekul asetilkolin yang berikatan pada kedua
ujungnya.
struktur ganda asetilkolin dalam satu dari dua tipe sistem cincin besar dan semi-kaku. Ciri
kimiawi lain yang dimiliki oleh semua pelumpuh otot adalah keberadaan satu atau dua
atom amonium kuartener yang memberi muatan positif pada nitrogen untuk berikatan pada
reseptor nikotinik membuat obat-obat ini sulit larut dalam lemak dan menghambat entrinya
ke sistem saraf pusat.
Mekanisme Kerja
Seperti yang telah disebut sebelumnya, obat pelumpuh otot depolarisasi sangat
mirip dengan asetilkolin dan dapat segera berikatan pada reseptor asetilkolin dan
membentuk potensial aksi otot. Namun, obat-obat ini tidak dimetabolisme oleh
asetilkolinesterase dan konsentrasinya dalam celah sinaptik tidak turun dengan cepat
sehingga memperpanjang depolarisasi end-plate otot.
Depolarisase end-plate secara kontinu menimbulkan relaksasi otot karena
pembukaan lower gate di sekitar persimpangan channel natrium sangat singkat. Setelah
eksitasi awal dan pembukaan, channel natrium akan menutup dan tidak dapat membuka
kembali sampai repolarisasi end-plate. End-plate tidak dapat berepolarisasi sepanjang
pelumpuh otot depolarisasi terus mengikatkan diri pada reseptor asetilkolin; disebut blok
fase I.
Setelah beberapa waktu, pemanjangan depolarisasi end-plate dapat menyebabkan
perubahan ionik dan konformasional di dalam reseptor asetilkolin, inisiasi depolarisasi
end-plate akan menurun dan membran mengalami repolarisasi.
Meskipun membran
mengalami repolarisasi, membran tidak dapat dengan mudah mengalami depolarisasi lagi
karena telah mengalami desensitisasi. Mekanisme fase desensitisasi tidak diketahui, namun
beberapa bukti mengindikasikan bahwa blok channel mungkin lebih penting dari pada aksi
agonis pada reseptor dalam fase II aksi blok suksinilkolin. Blok fase II secara klinis
menyerupai blok obat pelumpuh otot nondepolarisasi.
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi mengikat diri ke reseptor asetilkolin tapi tidak
mampu menginduksi perubahan konformasional yang dibutuhkan untuk pembukaan
channel. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan dengan reseptornya, tidak tercetus
potensial end-plate. Blokade saraf-otot terjadi bila hanya satu subunit yang diblok. Oleh
sebab itu, obat pelumpuh otot depolarisasi bekerja sebagai agonis reseptor, sedangkan obat
pelumpuh otot nondepolarisasi berfungsi sebagai antagonis kompetitif.
Mekanisme Nonklasik Blokade Saraf-Otot
Beberapa obat mungkin dapat mengganggu fungsi reseptor asetilkolin tanpa
bertindak sebagai agonis ataupun antagonis. Obat-obat ini mengganggu fungsi normal
tempat ikatan pada reseptor asetilkolin atau pada pembukaan dan penutupan reseptor
channel. Obat-obat ini termasuk agen anestetik inhalasi, anestetik lokal, dan ketamin.
Membran lipid reseptor asetilkolin adalah tempat kerja agen yang penting.
Obat-obat tertentu juga dapat menyebabkan penutupan ataupun pembukaan
blokade channel. Selama blokade channel yang tertutup, obat-obat ini secara fisik
menyumbat channel, mencegah kation lewat baik saat asetilkolin sudah mengaktivasi
reseptor ataupun belum. Pembuka blokade channel digunakan secara dependen karena
obat-obat ini memasuki dan mengobstruksi channel reseptor asetilkolin hanya setelah
dibuka oleh ikatan asetilkolin. Relevansi klinis dari blokade channel adalah bahwa
peningkatan konsentrasi asetilkolin dengan inhibitor kolinesterase tidak dapat mengatasi
blokade saraf-otot. Obat-obat yang dapat menimbulkan blokade channel termasuk
neostigmin, antibiotik tertentu, kokain, dan kuinidin.
Reseptor asetilkolin nikotinik prejunksional telah diindentifikasi pada ujung saraf
dari NM. Meskipun peran fisiologisnya masih belum jelas, aksi prejunksional untuk
beberapa obat pelumpuh otot mungkin signifikan.
Gambar 2 .
Contoh
hubungan
dosisrespons.
Angka
yang
tercantum
adalah
nilai
perkiraan
untuk
rocuronium.
Obat-obat pelumpuh otot mempengaruhi otot skeletal yang kecil dan cepat (mata,
digiti) sebelum otot abdomen (diafragma). Onset blokade saraf-otot setelah pemberian obat
pelumpuh otot nondepolarisasi adalah lebih cepat namun kurang intens pada otot-otot
laring (pita suara) dari pada otot perifer (m.adductor pollicis). Efek sparing obat pelumpuh
otot nondepolarisasi pada otot-otot laring mungkin merefleksikan peran tipe serabut otot
10
skeletal. Otot yang berperan dalam penutupan glotis (m.thyroarytenoid) adalah tipe
kontraksi cepat, di mana m.adductor pollicis terutama dibentuk oleh tipe serabut lambat.
Konsentrasi reseptor asetilkolin lebih banyak pada otot serabut cepat sehingga dibutuhkan
jumlah reseptor yang lebih banyak untuk memblok otot tipe cepat dibanding otot tipe
lambat. Semakin cepat onset kerja pada otot pita suara dari pada m.adductor pollicis
semakin cepat pula ekuilibrium konsentrasi plasma dan konsentrasi pada otot-otot jalan
napas saat dibandingkan dengan m.adductor pollicis. Dengan obat pelumpuh otot
nondepolarisasi kerja sedang dan kerja singkat, periode paralisis otot laring adalah cepat
dan hilang sebelum mencapai efek maksimum pada m.adductor pollicis. Hal penting yang
harus diperhatikan adalah dosis obat yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat tertentu
blokade diafragma adalah dua kali lipat dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan
blokade yang sama dari m.adductor pollicis. Telah diketahui bahwa monitoring m.adductor
pollicis adalah indikator relaksasi otot laring yang jelek (m.cricothyroid) sedangkan
stimulasi saraf fasial dan monitoring respons m.orbicularis oculi lebih merefleksikan onset
blokade saraf-otot diafragma. Oleh karena itu, m.orbicularis oculi lebih disukai dari pada
m.adductor pollicis sebagai indikator blokade otot laring.
dan hepatik dibantu oleh fraksi pemberian obat yang besar karena sifatnya yang mudah
mengalami ionisasi sehingga mempertahankan konsentrasi plasma obat yang tinggi dan
juga mencegah reabsorpsi renal obat yang dieksresi. Penyakit ginjal sangat mempengaruhi
farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi kerja lama. Obat pelumpuh otot tidak
terlalu kuat terikat pada protein plasma (sampai 50%) dan tampaknya bila ada perubahan
ikatan protein tidak akan menimbulkan efek yang signifikan pada eksresi ginjal obat
pelumpuh otot.
Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah pemberian
cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma dicirikan dengan
penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan yang lebih lambat
(klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran darah, anestesi inhalasi
memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada farmakokinetik obat pelumpuh otot.
Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatil mencerminkan aksi farmakodinamik,
seperti dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang
dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi
volatil.
Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein, dehidrasi, atau
perdarahan akut, dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi
dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat
dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat
intravena.
untuk relaksasi otot untuk memfasilitasi intubasi trakea. Suksinilkolin memiliki beberapa
efek samping yang dapat membatasi bahkan kontraindikasi pada keadaan tertentu.
Dosis
Dosis suksinilkolin untuk fasilitasi intubasi trakea adalah 1 mg/kgBB IV. Dosis
tersebut setara untuk 3,5 4 kali ED 95. Secara konsep, pemberian dosis 1mg/kgBB pada
pasien yang terpreoksigenasi akan dihubungkan dengan
hipoksemia arteri signifikan. Pernafasan spontan terjadi dalam 5 menit setelah paralisis
akibat pemberian suksinilkolin. Durasi rata-rata sebelum mencapai 90% tingkat kedutan
setelah pemberian 1 mg/kgBB adalah lebih besar dari 10 menit. Dengan demikian,
diperkirakan orang dewasa yang sudah dipreoksigenasi dapat mengalami 8 menit apnea
sebelum saturasi oksigen arteri menurun ke 90%.
Dosis dapat bervariasi antara 0,5 1,5 mg/kgBB, dosis kurang dari 1 mg/kgBB
tidak mempersingkat waktu terjadi pergerakan diafragma atau pernafasan spontan. Selain
itu, pada keadaan di mana blokade saraf-otot penuh sangat diperlukan, dosis 1,5 mg/kgBB
masih tepat.
13
14
15
16
yang timbul adalah rigiditas otot rahang sebagai respons normal tidak mudah
dibedakan dengan rigiditas otot rahang akibat hipertermia malignan.
Spasme otot skeletal juga dapat terjadi pada pemberian suksinilkolin pada
pasien dengan kongenital miotonia atau distrofi miotonia. Kontraksi yang terusmenerus dapat mempengaruhi ventilasi paru dan membahayakan hidup.
Obat pelumpuh otot secara klinis dibagi menjadi kelompok kerja lama, kerja
sedang, dan kerja singkat. Perbedaan onset, durasi kerja, waktu pulih, metabolisme, dan
klirens dipengaruhi oleh keputusan klinis untuk memilih satu obat dibanding obat yang
lain. Berbagai variasi respons yang dicetus oleh obat pelumpuh otot nondepolarisasi terjadi
karena perbedaan farmakokinetik.
Ciri Blokade Saraf-Otot Nondepolarisasi
Respons otot skeletal saat terjadi blokade saraf-otot nondepolarisasi seperti yang
dicetuskan oleh stimulasi elektrik dari stimulator saraf perifer, antara lain: a) penurunan
respons kedutan terhadap stimulus tunggal, b) respons tidak bertahan (lemah) selama
stimulasi berkelanjutan, c) rasio TOF < 0,7, d) potensiasi post-tetanik, e) potensiasi obat
pelumpuh otot nondepolarisasi yang lain, f) antagonisme untuk obat antikolinesterase, g)
tidak terjadi fasikulasi saat onset blokade saraf-otot nondepolarisasi.
Kontraksi otot skeletal adalah fenomena all or none. Setiap serabut otot skeletal
berkontraksi dengan maksimal atau tidak berkontraksi sama sekali. Oleh karena itu, ketika
respons kedutan menurun beberapa serabut berkontraksi normal, sedangkan yang lain
terblok secara total. Kontraksi otot skeletal yang lemah terhadap stimulasi elektrik terus
menerus menerangkan bahwa beberapa serabut otot lebih suseptibel untuk diblok oleh obat
pelumpuh otot membutuhkan pelepasan asetilkolin lebih besar yang berkelanjutan untuk
mencetus responsnya.
17
Intubasi
Tidak satu pun dari obat pelumpuh otot yang tersedia saat ini menyamai onset
cepat atau durasi kerja singkat suksinilkolin. Namun, onset obat pelumpuh otot dapat
dipercepat dengan menggunakan dosis yang lebih besar atau dosis awal. ED95 adalah dosis
efektif obat pada 95% individu. Satu sampai dua kali dosis ED 95 biasa dipakai untuk
intubasi. Meskipun dengan dosis intubasi yang lebih besar mempercepat onset, namun
dapat mengeksaserbasi efek samping dan memperpanjang durasi blokade. Sebagai contoh
dosis 0,15 mg/kgBB pancuronium dapat memberi kondisi intubasi dalam 90 detik, tapi
akan timbul hipertensi dan takikardia yang lebih nyata- dan blok yang ireversibel selama
lebih dari 60 menit. Konsekuensi dari durasi kerja yang panjang adalah kesulitan yang
terjadi dalam membalikkan blokade secara keseluruhan, khususnya pada pasien usia tua
dan mereka yang menjalani pembedahan abdomen. Menurut aturan umum, semakin poten
obat pelumpuh otot nondepolarisasinya, semakin panjang kecepatan onsetnya, namun
potensi yang lebih besar membutuhkan dosis yang lebih kecil, yang kemudian akan
menurunkan pengantaran obat ke NMJ.
Kemunculan obat kerja singkat dan kerja sedang meningkatkan penggunaan dosis
awal. Secara teoritis pemberian 10 15% dari dosis intubasi sebelum induksi akan
membantu penempatan cukup banyak reseptor sehingga paralisis akan cepat terjadi saat
relaksans yang seimbang diberikan. Penggunaan dosis awal dapat memberikan kondisi
yang sesuai untuk intubasi dalam waktu 60 detik pemberian rocuronium atau 90 detik
setelah pemberian obat nondepolarisasi kerja sedang lain. Dosis awal biasanya tidak
mencapai paralisis yang signifikan secara klinis, yang membutuhkan sekitar 75 80%
reseptor yang terblok (batas aman saraf otot). Pada beberapa pasien, dosis awal
menempati cukup banyak reseptor untuk membuat distres, dispneu, diplopia, atau disfagia;
pada keadaan demikian, pasien harus ditenangkan dan induksi anestesi harus dilanjutkan
tanpa menunda. Dosis awal dapat menyebabkan deteriosasi signifikan dalam fungsi
respirasi (misal penurunan kapasitas vital paksa) dan dapat menuju desaturasi oksigen pada
pasien dengan cadangan paru terbatas. Efek negatif ini sering terjadi pada pasien usia tua.
Perlu diingat bahwa kelompok otot memiliki variasi dalam sensitivitas obat
pelumpuh otot. Sebagai contoh, otot-otot laring yang sangat penting dalam intubasi pulih
18
dari blokade lebih cepat dari pada m. adductor pollicis yang dimonitor oleh stimulator
saraf perifer.
Mencegah Fasikulasi
Untuk mencegah fasikulasi dapat diberikan 10-15% dosis intubasi obat pelumpuh
otot nondepolarisasi 5 menit sebelum pemberian suksinilkolin. Meskipun sebagian besar
obat nondepolarisasi dapat digunakan untuk tujuan ini, tubocurarine dan rocuronium
adalah yang paling baik efikasinya. Karena terdapat antagonisme antara sebagian besar
obat nondepolarisasi dengan fase I blok, dosis suksinilkolin yang berikutnya harus
dinaikkan menjadi 1,5 mg/kgBB.
Rumatan Relaksasi Otot
Setelah intubasi, paralisis otot diperlukan untuk membantu proses pembedahan,
misalnya pada operasi abdomen, atau dalam manajemen anestesi misal dalam
mengendalikan ventilasi. Variabilitas antara pasien dalam respons terhadap dosis obat
pelumpuh otot tidak dapat ditekankan secara berlebihan. Monitoring fungsi saraf-otot
dengan stimulator saraf membantu mencegah dosis yang berlebihan atau dosis yang
kurang dan juga mencegah paralisis otot yang serius dalam ruang pemulihan. Dosis
rumatan dengan bolus intermiten atau infus kontinu harus dipandu dengan stimulator saraf
dan tanda-tanda klinis (usaha pernapasan spontan atau pergerakan).
kurang pada senyawa yang memiliki hubungan dekat (vecuronium dan pancuronium)
memunculkan teori bahwa potensiasi adalah hasil dari sedikit perbedaan mekanisme kerja.
Efek Samping Otonom
Pada dosis klinis, obat nondepolarisasi mungkin mempunyai perbedaan efek yang
signifikan pada reseptor kolinergik muskarinik dan nikotinik. Beberapa agen yang lebih
tua (tubocurarine dan pada cakupan yang lebih sempit, metocurine) memblok ganglia
otonom, menghambat kemampuan sistem saraf simpatis untuk meningkatkan kontraktilitas
dan denyut jantung sebagai respons terhadap hipotensi dan stres intraoperatif yang lain.
Sebaliknya, pancuronium (dan gallamine) memblok reseptor vagal muskarinik di nodus
sinoatrial, berakibat pada takikardi. Semua obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang baru
termasuk
atracurium,
cisatracurium,
mivacurium,
doxacurium,
vecuronium,
dan
pipecuronium adalah obat-obat tanpa efek otonom dalam penggunaan dosis yang
direkomendasikan.
Pelepasan Histamin
Pelepasan histamin dari sel mast dapat berakibat bronkospasme, flushing kulit, dan
hipotensi akibat vasodilatasi perifer. Baik atracurium maupun mivacurium adalah dua agen
yang dapat mencetus pelepasan histamin, khususnya pada dosis yang lebih tinggi.
Penyuntikan lambat dan premedikasi antihistamin H1 dan H2 mengurangi efek samping
ini.
Metabolisme di Hati
Hanya pancuronium dan vecuronium yang dimetabolisme secara signifikan oleh
hati. Metabolit yang aktif berkontribusi dalam efek klinis kedua agen tersebut. Vecuronium
dan rocuronium sangat bergantung pada eksresi empedu. Secara klinis, gagal hati
memperpanjang blokade pancuronium dan rocuronium, dengan efek yang lebih sedikit
pada vecuronium dan tanpa efek pada pipecuronium. Atracurium, cisatracurium, dan
mivacurium adalah agen yang dimetabolisme secara ekstensif, namun bergantung pada
mekanisme ekstrahepatik. Penyakit hati berat tidak mempengaruhi klirens atracurium
20
21
4. Usia
Neonatus mempunyai sensitivitas yang meningkat pada obat pelumpuh otot
nondepolarisasi karena NMJ yang imatur. Sensitivitas ini tidak harus diikuti dengan
penurunan kebutuhan dosis karena neonatus memiliki ruang ekstraseluler yang
lebih besar menyediakan volume distribusi yang lebih besar.
5. Interaksi Obat
Seperti yang disebut sebelumnya, banyak obat mengaugmentasi blokade
obat nondepolarisasi. Obat-obat ini memiliki beberapa tempat interaksi: struktur
prejunksional, reseptor kolinergik postjunksional, dan membran otot.
6. Penyakit yang Diderita
Penyakit saraf atau otot memiliki efek yang besar pada respons individual
terhadap pelumpuh otot. Sirosis hepatis dan gagal ginjal kronik berakibat pada
peningkatan volume distribusi dan penurunan konsentrasi plasma pada obat-obat
yang larut dalam air seperti pelumpuh otot. Di sisi yang lain, obat yang bergantung
pada ekskresi melalui hati atau ginjal mungkin memperpanjang klirens. Oleh
karena itu, bergantung pada obat yang terpilih, dibutuhkan dosis inisial yang lebih
tinggi, namun dengan dosis rumatan yang lebih besar.
7. Kelompok Otot
Onset dan intensitas blokade bervariasi di antara kelompok otot. Hal ini
mungkin karena perbedaan dalam aliran darah, jarak dari sirkulasi sentral, atau tipe
serabut otot yang berbeda. Lebih jauh, sensitivitas relatif terhadap sekelompok otot
mungkin bergantung pada pemilihan pelumpuh otot. Secara umum, diafragma,
rahang, laring, dan otot-otot wajah (m.orbicularis oculi) berespons dan pulih lebih
cepat dari relaksasi otot dibanding ibu jari. Muskulatur glotis juga cukup resisten
terhadap blokade yang seringkali terbukti selama laringoskopi. ED95 otot-otot laring
hampir dua kali m.adductor pollicis. Kondisi intubasi yang baik biasanya
dihubungkan dengan respons kedutan m.orbicularis oculi yang hilang.
Dengan pertimbangan banyak faktor yang mempengaruhi durasi dan
magnitudo relaksasi otot, maka respons individu terhadap obat pelumpuh otot harus
22
Atracurium
Struktur Fisik
Atracurium adalah kelompok kuartener, struktur benzylisoquinoline membuat cara
degradasi senyawa ini menjadi unik. Obat ini merupakan gabungan dari 10
stereoisomer.
Cisatracurium
Struktur Fisik
Cisatracurium adalah stereoisomer atracurium yang empat kali lebih poten.
Atracurium mengandung sekitar 15% cisatracurium.
Metabolisme dan Ekskresi
Seperti atracurium, cisatracurium mengalami degradasi dalam plasma pada pH dan
suhu fisiologis melalui eliminasi Hoffman yang tidak tergantung organ. Metabolitnya
(acrylate monokuartener dan laudanosine) tidak memiliki efek blokade saraf-otot
intrinsik. Karena potensinya yang besar, jumlah laudanosine yang dihasilkan lebih
sedikit dibandingkan atracurium. Esterase nonspesifik tidak berperan dalam
metabolisme cisatracurium. Metabolisme dan eliminasi tidak terpengaruh oleh
keadaan ginjal maupun hati. Variasi minor dalam pola farmakokinetik yang berkaitan
dengan umur tidak menyebabkan perubahan signifikan pada durasi kerja.
25
Dosis
Dosis intubasi adalah 0,1 0,15 mg/kgBB dalam 2 menit dan menghasilkan
blokade otot dengan durasi kerja sedang. Rata kecepatan infus adalah antara 1,0 2,0
g/kg/menit. Potensi cisatracurium sama dengan vecuronium dan lebih poten
dibanding atracurium.
Cisatracurium harus disimpan dalam pendingin (28C) dan harus digunakan
dalam waktu 21 hari bila disimpan pada suhu ruangan.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Tidak seperti atracurium, cisatracurium tidak menyebabkan peningkatan kadar
histamin plasma. Cisatracurium tidak mempengaruhi denyut jantung atau tekanan
darah, juga tidak menimbulkan efek otonom, bahkan pada dosis setinggi 8 kali ED95.
Efek samping cisatracurium yang berkaitan dengan toksisitas laudanosine (dengan
tingkat yang lebih rendah karena potensinya yang lebih besar), sensitivitas pH dan
suhu, dan inkompatibilitas kimia.
3.
Mivacurium
Struktur Fisik
Mivacurium adalah derivat benzylisoquinoline.
Doxacurium
Struktur Fisik
Doxacurium adalah senyawa benzylisoquinoline yang erat berhubungan dengan
mivacurium dan atracurium.
Metabolisme dan Ekskresi
Relaksans kerja lama dan poten ini mengalami tingkat hidrolisis yang rendah oleh
kolinesterase plasma. Seperti obat pelumpuh otot kerja lama yang lain, rute utama
eliminasinya adalah melalui ekskresi ginjal. Ekskresi hepatobiliaris hanya sedikit
berperan dalam klirens doxacurium.
Dosis
Kondisi intubasi trakea yang adekuat dalam 5 menit membutuhkan dosis
doxacurium 0,05 mg/kg. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis inisial 0,02
mg/kg diikuti dosis 0,005 mg/kg. Doxacurium dapat diberikan dalam dosis yang
disesuaikan dengan usia pada pasien muda dan orang tua, meskipun pada orang tua
dapat dijumpai durasi kerja yang memanjang.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Doxacurium tidak memiliki efek samping kardiovaskuler dan pelepasan histamin.
Karena potensinya yang lebih besar, doxacurium memiliki onset kerja yang sedikit
lebih lambat dari pada pelumpuh otot nondepolarisasi kerja lama yang lain (4 6
menit). Durasi kerjanya sama dengan pancuronium yaitu 60 90 menit.
28
5.
Pancuronium
Struktur Fisik
Pancuronium memiliki cincin steroid yang ditempati dua molekul asetilkolin yang
termodifikasi (pelumpuh otot biskuartener).
ventrikuler
rentan. Kombinasi
pancuronium,
6.
Pipecuronium
Struktur Fisik
Pipecuronium memiliki struktur steroid yang sangat mirip dengan pancuronium.
Dosis
Pipecuronium sedikit lebih poten dibanding pancuronium dan dosis intubasi adalah
antara 0,06 0,1 mg/kg. Dosis relaksasi rumatan dapat dikurangi sekitar 20% bila
dibandingkan dengan pancuronium. Bayi butuh lebih sedikit pipecuronium pada dasar
dosis per kilogram dari pada anak-anak atau dewasa. Profile farmakologi
pipecuronium tidak berubah secara relatif pada pasien usia lanjut.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Keuntungan utama pipecuronium dibanding pancuronium adalah efek samping
kardiovaskulernya yang kurang karena penurunan ikatan pada reseptor muskarinik
jantung. Seperti relaksans steroid yang lain, pipecuronium tidak menyebabkan
pelepasan histamin. Onset dan durasi kerja mirip dengan pancuronium.
7.
Vecuronium
Struktur Fisik
Vecuronium adalah pancuronium yang kurang satu grup metil kuartener (pelumpuh
otot
monokuartener).
Sedikit
perubahan
struktur
memberi
efek
samping
adalah obat yang cukup aman pada pasien dengan gagal ginjal, durasi kerjanya akan
memanjang dengan sebab yang tidak jelas. Durasi kerja vecuronium yang singkat
disebabkan oleh waktu paruh eliminasinya yang lebih pendek dan klirens yang lebih
cepat dibandingkan pancuronium. Pemberian vecuronium jangka panjang pada pasien
yang dirawat dalam perawatan intensif menyebabkan perpanjangan blokade (sampai
beberapa hari), yang mungkin disebabkan oleh akumulasi metabolit aktif 3-hidroksi,
perubahan klirens obat, atau perkembangan dari polineuropati. Faktor risikonya antara
lain jenis kelamin wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid jangka panjang atau dosis
tinggi, dan sepsis. Oleh karena itu, pasien-pasien ini harus dimonitor dengan ketat dan
dosis vecuronium harus dititrasi dengan hati-hati. Pemberian pelumpuh otot jangka
panjang dan diikuti dengan pengurangan ikatan asetilkolin pada reseptor nikotinik
postsinaptik yang lama, dapat menimbulkan keadaan yang mirip denervasi kronik dan
disfungsi reseptor dan paralisis. Efek saraf-otot vecuronium memanjang pada pasien
dengan AIDS. Toleransi terhadap obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga dapat
terjadi setelah pemakaian lama.
Dosis
Vecuronium ekuipoten dengan pancuronium dan dosis intubasinya adalah 0,08
0,12 mg/kg. Dosis inisial 0,04 mg/kg diikuti dengan dosis tambahan 0,01 mg/kg setiap
15 20 menit membantu relaksasi intraoperatif. Sebagai alternatif, infus 1 2
g/g/menit menghasilkan rumatan relaksasi yang baik.
Umur tidak mempengaruhi kebutuhan dosis inisial, meskipun dosis tambahan
jarang dibutuhkan pada neonatus dan bayi. Sensitivitas terhadap vecuronium pada
wanita 30% lebih dibanding pria yang dibuktikan dengan tingkat blokade yang lebih
besar dan durasi kerja yang lebih panjang (ditemukan juga pada pancuronium dan
rocuronium). Penyebab dari sensitivitas ini mungkin berhubungan dengan perbedaan
jumlah massa lemak dan otot, ikatan protein, volume distribusi atau aktivitas
metabolic. Durasi kerja vecuronium juga dapat memanjang pada pasien postpartum
karena perubahan dalam aliran darah atau uptake hati.
Vecuronium dikemas dalam bentuk bubuk 10 mg yang direkonstitusi dengan 5 atau
10 mL air bebas tanpa pengawet sesaat sebelum digunakan. Vecuronium dan tiopental
32
dapat membentuk presipitat yang dapat mengobstruksi aliran dalam kanul vena dan
dapat menyebabkan emboli paru.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Kardiovaskuler
Hingga dosis 0,28 mg//kg, vecuronium tidak memiliki efek kardiovaskuler.
Potensiasi bradikardia yang diinduksi opioid dapat diamati pada beberapa pasien.
Gagal Hati
Meskipun bergantung pada ekskresi bilier, durasi kerja vecuronium biasanya tidak
memanjang dengan signifikan pada pasien dengan sirosis, kecuali diberikan dengan
dosis yang lebih tinggi 0,15 mg/kg.
8.
Rocuronium
Struktur Fisik
Rocuronium adalah steroid monokuartener analog vecuronium, namun dirancang
untuk memberikan onset kerja yang cepat.
33
Rocuronium tidak mengalami metabolisme dan dieliminasi terutama oleh hati dan
sedikit oleh ginjal. Durasi kerjanya tidak terlalu dipengaruhi oleh penyakit ginjal, tapi
cukup memanjang oleh gagal hati berat dan kehamilan. Rocuronium tidak memiliki
metabolit aktif, dan mungkin merupakan pilihan yang lebih baik dari pada vecuronium
untuk infus yang lama (misal pada unit perawatan intensif). Pasien usia lanjut dapat
mengalami durasi kerja yang memanjang karena massa hati yang menurun.
Dosis
Rocuronium kurang potent dibanding pelumpuh otot steroid lain. Dosis untuk
intubasi 0,45 0,9 mg/kg i.v dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis yang lebih
rendah dari 0,4 mg/kg dapat memungkinkan pembalikan 25 menit setelah intubasi.
Rocuronium intramuskuler (1 mg/kg untuk bayi, 2 mg/kg untuk
anak-anak)
menyebabkan paralisis pita suara dan diafragma untuk intubasi, namun belum akan
terjadi 3 6 menit kemudian (injeksi deltoideus onsetnya lebih cepat dari pada
quadricep) dan dapat dibalikkan setelah 1 jam.
Infus rocuronium membutuhkan dosis 5 12 g/kg/menit. Rocuronium durasi
kerjanya akan memanjang pada pasien usia lanjut. Dosis inisial akan meningkat pada
penyakit hati lanjut, kemungkinan akibat volume distribusi yang lebih besar.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Rocuronium pada dosis 0,9 1,2 mg/kg memiliki onset kerja yang mendekati
suksinilkolin (60 90 detik) sehingga cocok sebagai alternatif untuk induksi urutan
cepat, tapi dengan durasi kerja yang jauh lebih panjang. Durasi kerja sedangnya
sebanding dengan vecuronium atau atracurium.
Rocuronium (0,1 mg/kg) adalah obat yang cepat (90 detik) dan efektif (menurun
fasikulasi dan myalgia postoperative) untuk precurarisasi terutama pada pemberian
suksinilkolin. Rocuronium juga memiliki kecenderungan vagolitik.
Pelumpuh Otot Lain
Pelumpuh otot yang sudah lama seperti tubocurarine, metocurine, gallamine,
alcuronium, rapacuronium, dan decamethonium tidak lagi diproduksi atau digunakan.
Tubocurarine adalah agen pelumpuh otot pertama, yang sering menyebabkan hipotensi dan
34
Pemilihan Obat
Pemilihan jenis pelumpuh otot yang digunakan dipengaruhi oleh onset kerja, durasi
kerja, dan kemungkinan efek samping yang diinduksi oleh obat karena kerja obat pada
tempat lain selain NMJ. Efek samping yang tidak diharapkan adalah respons kardiovaskuler
karena pelepasan histamin yang dicetuskan oleh obat pelumpuh otot nondepolarisasi
benzylisoquinolinium. Onset yang cepat dan durasi yang singkat seperti yang ditimbulkan
oleh suksinilkolin dan pada cakupan yang lebih sedikit (mivacurium) bermanfaat saat
intubasi trakea merupakan alasan pemberian obat pelumpuh otot. Rocuronium adalah
satu-satunya obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang onset kerjanya singkat menyerupai
35
suksinilkolin, tapi dengan durasi kerja yang lebih panjang. Jika diperlukan blokade sarafotot yang dipertahankan dalam periode tertentu maka obat pelumpuh otot nondepolarisasi
adalah obat pilihan untuk dosis intermiten atau sebagai infus kontinu. Saat tidak diperlukan
onset cepat blokade saraf-otot, relaksasi otot untuk fasilitasi intubasi trakea dapat dipilih
obat pelumpuh otot nondepolarisasi. Beberapa obat pelumpuh otot nondepolarisasi dapat
menimbulkan penurunan tekanan darah sistemik yang signifikan akibat pelepasan histamin
(atracurium atau mivacurium) atau dapat meningkatkan denyut jantung (pancuronium).
Efek sirkulasi yang dicetus oleh obat ini biasa dihindari bila terdapat keadaan seperti
hipovolemia, penyakit arteri koroner, atau penyakit katup jantung. Sebaliknya, bradikardi
yang dicetuskan oleh anestetik opioid yang ditutupi sampai batas tertentu oleh efek
peningkatan denyut jantung oleh pancuronium dan tidak dapat ditutupi oleh obat pelumpuh
otot nodepolarisasi yang tidak memiliki efek sirkulasi (vecuronium, rocuronium,
cisatracurium, doxacurium, pipecuronium).
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Neuromuscular blocking agents. In:
Clinical Anesthesiology. 4th ed. McGraw Hills Company. 2006.
2. White PF, Katzung BG. Skeletal muscle relaxants. In: Basic and clinical
pharmacology. 10th ed. McGraw Hills Company. 2007.
3. Francois D, Bevan DR. Pharmacology of muscle relaxants and their antagonists. In:
Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical anesthesia. 6th ed. Lippincott
Williams & Wilkins. 2006.
4. Stoelting RK. Neuromuscular blocking drugs. In: Pharmacology and physiology in
anaesthetic practice. 4th ed. Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins. 2006.
5. Taylor P. Agents acting at the neuromuscular junction and autonomic ganglia. In:
Brunton LL, ed. Goodman & Gilmans the pharmacological basis of therapeutics.
11th ed. New York: McGraw Hills Company. 2006.
36
AGEN
Suksinilkolin
Kelompok
Senyawa
Dikolin ester
Sifat Farmakologis
Durasi sangat singkat;
depolarisasi
Durasi lama; kompetitif
Doxacurium
(NUROMAX)
Mivacurium
(MIVACRON)
Pancuronium
(PAVULON)
Pipecuronium
(ARDUAN)
Rocuronium
(ZEMURON)
Vecuronium
(NORCURON)
2-4
30-60
4-6
90-120
2-4
12-18
Ammonio steroid
4-6
120-180
Ammonio steroid
2-4
80-100
Ammonio steroid
1-2
30-60
Ammonio steroid
2-4
60-90
37
Degradasi Hoffman;
Hidrolisis oleh plasma
kolinesterase, eliminasi
ginjal
Eliminasi ginjal
Hidrolisis oleh plasma
kolinesterase
Eliminasi ginjal
Eliminasi ginjal;
metabolisme hati dan klirens
Metabolisme hati
Metabolisme hati dan
klirens; Eliminasi ginjal