Anda di halaman 1dari 127

Syamsuddin Ramadlan al-Nawiy

KAEDAH-KAEDAH TAQLID

Tuntunan Islam Dalam Memilih dan Mengikuti Pendapat

MEMAHAMI KONSEP IJTIHAD DAN TAQLID


DENGAN BENAR

Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi

asalah ijtihad dan taqlid, merupakan salah satu isu besar


yang direspons dengan antusiasme sangat tinggi di
kalangan umat Islam. Betapa tidak, seluruh intelektual
muslim terkemuka sejak abad ke-18 hingga ke-20 M, baik ulama
reformis dan revivalis yang berideologi Islam, seperti Syah Waliyullah
al-Dahlawi (1702-1762), maupun intelektual modernis berideologi
sekuler, seperti Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), senantiasa
mendorong ijtihad di tengah umat dan bahkan mempraktikkannya.
Semuanya sepakat ingin membuka dan bahkan mendobrak pintu
ijtihad untuk mengatasi kemerosotan berpikir umat Islam yang telah
berlangsung lama sejak ditutupnya pintu ijtihad pada abad ke-4 H.
Namun sejauh ini usaha itu nampaknya belum berhasil secara
gemilang. Buktinya, secara kuantitas, praktik ijtihad masih langka.
Mujtahid masih sangat sedikit di tengah-tengah umat. Secara kualitas
pun, konsep ijtihad itu sendiri kadang dipahami secara kurang tepat
dan bahkan dipahami secara salah.
Tentang langkanya mujtahid, hal ini sangat jelas. Coba, apakah Anda
tahu, siapa mujtahid yang ada di negeri Anda sekarang ini? Bahkan
bukan hanya sekarang, sejak jaman keemasan Islam pun, jumlah
mujtahid memang relatif sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah
ulama di bidang lainnya (hadits, tafsir, dan sebagainya). Hal ini wajar,
sebab untuk menjadi seorang faqih (mujtahid) ilmu-ilmu yang harus
dikuasainya sangat banyak sehingga tak banyak orang yang mau
mencurahkan seluruh waktu hidupnya untuk menguasai ilmu-ilmu
itu. Di masa kejayaan Islam itu, jumlah mujtahid kira-kira 10 % saja
dari jumlah ulama di bidang-bidang ilmu keislaman lainnya. Abu

ii

Muhammad ar-Ramahurmuzy dalam kitab al-Fashil meriwayatkan


dari Asyat bin Anas bin Sirin,"Aku telah mendatangi kota Kufah maka
aku lihat di dalamnya ada 4000 orang yang sedang mempelajari
hadis, dan ada 400 orang yang menjadi faqih [mujtahid]." (Fathi
Muhammad Salim, al-Istidlal bi azh-Zhanni fi al-Aqidah, Beirut :
Darul Bayariq, 1994, hal. 32).
Tentang konsep ijtihad itu sendiri, kadang-kadang ia dipahami secara
kurang tepat, sehingga malah menjadi kontraproduktif dengan upaya
menggalakkan ijtihad di tengah umat. Pada masa Imam Suyuthi (849911 H), berkembang pesat paham yang mengatakan bolehnya zuatu
zaman kosong dari adanya mujtahid. Maka dari itu, ketika Imam
Suyuthi memproklamirkan kepada publik bahwa dirinya adalah
seorang mujtahid, masyarakat awam pun tidak percaya dan bahkan
mengecam beliau dengan keras. Imam Suyuthi pernah
mengumumkan,"Sungguh telah sempurna padaku alat-alat untuk
berijtihad, alhamdu lillah. Kalau Anda menginginkan aku untuk
menulis sebuah kitab untuk setiap masalah, lengkap dengan dalildalil naqli dan qiyasnya, disertai dasar-dasarnya, bantahanbantahannya, jawaban-jawabannya, serta perbandingan pendapat di
antara berbagai mazhab pada masalah itu, niscaya aku mampu untuk
melakukannya, alhamdu lillah." (Imam Suyuthi, Husnul Muhadharah,
Juz I hal. 339).
Imam Suyuthi pun kemudian meluruskan paham yang kurang tepat
mengenai ijtihad tersebut dengan menjelaskan tidak bolehnya suatu
zaman kosong dari mujtahid. Mujtahid wajib ada pada setiap masa.
Beliau menulis kitab al-Radd Ala Man Akhlada ila al-Ardh wa Jahila
anna al-Ijtihad Fardhun fi Kulli Ashrin (Bantahan Kepada Orang Yang
Ingin Hidup Kekal di Bumi dan Tidak Tahu Bahwa Ijtihad Itu Fardhu
Untuk Setiap Masa). Imam Suyuthi juga menulis kitab Taysir al-Ijtihad
(Memudahkan Ijtihad), yang dimaksudkan agar umat tidak
menganggap ijtihad sebagai hal yang super sulit, namun suatu hal

iii

yang mudah dan mungkin, selama syarat-syaratnya terpenuhi dengan


sempurna.
Dalam kitab Taysir al-Ijtihad ini, Imam Suyuthi menukilkan beberapa
riwayat yang menggugah. Antara lain beliau menukilkan perkataan
Syaikh Muhibuddin --ayah Syaikh Taqiyuddin Ibnu Daqiqil Ied-dalam kitabnya Talqih Al-Afham yang berkata,"Menjadi mujtahid
telah dianggap berat pada masa sekarang ini. Hal itu bukanlah karena
sulitnya mencari alat-alat ijtihad, melainkan karena berpalingnya
manusia dari kesibukan yang akan menghantarkan mereka pada
ijtihad." Imam Suyuthi juga menukilkan pendapat sebagian ulama
yang menegaskan,"Ijtihad pada zaman ini (zaman Imam Suyuthi, red),
lebih mudah daripada zaman permulaan Islam, sebab alat-alat ijtihad
berupa hadits-hadits dan lain-lain telah dibukukan dan mudah untuk
dirujuk. Ini beda dengan zaman permulaan Islam, sebab saat itu tak
ada satu pun alat-alat ijtihad yang terbukukan." (Imam Suyuthi,
Taysir al-Ijtihad, Makkah : Maktabah Tijariyah, hal. 28).
Pada masa sekarang, kesalahpahaman tentang ijtihad lebih gila lagi.
Kini ada kesalahpahaman ekstrem tentang ijtihad yang
didemostrasikan sangat gamblang oleh kelompok Islam liberal
(sekuler). Ini menjadi bukti lain belum berhasilnya upaya melahirkan
ijtihad yang sahih di tengah-tengah umat. Kesalahan ekstrem ini jelas
hanya akan menyesatkan umat dari hakikat ijtihad yang sebenarnya.
Menurut kaum liberal, ijtihad bukan dipahami sebagai usaha
sungguh-sungguh untuk mengistinbath hukum syariah dari dalil-dalil
syariah, melainkan sebagai upaya untuk menyesuaikan hukum Islam
dengan realitas masyarakat yang telah diformat dalam citra ideologi
kontemporer (kapitalisme-sekuler). Taufik Adnan Kamal dan Samsu
Rizal Panggabean mengatakan,"Dalam debat-debat modern,
pentingnya aplikasi ijtihad dikaitkan dengan kemungkinan yang
diberikannya untuk menyegarkan pemahaman Islam dan hukum

iv

Islam selaras dengan kondisi masyarakat kontemporer." (Politik


Syariat Islam dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta : Pustaka
Alvabet,2004, hal. 196).
Benar bahwa ijtihad memang dimaksudkan untuk menghadapi
tantangan zaman kekinian. Tapi bagi kaum liberal, ijtihad bukan
dipahami sebagai upaya menghukumi realitas kontemporer dengan
hukum Islam, melainkan upaya mengubah dan menyesuaikan hukum
Islam agar cocok dengan realitas kontemporer. Dalam konsep ijtihad
yang sahih, realitas tidak diasumsikan sebagai standar yang selalu
dianggap benar. Sebab realitas itu bukanlah wahyu yang pasti benar,
melainkan fakta yang tengah terjadi, yang bisa benar (sesuai wahyu)
dan bisa juga tidak benar (menyimpang dari wahyu). Sebaliknya
dalam benak kaum liberal, realitas telah dijadikan standar dan
dianggap sebagai kebenaran mutlak, sedangkan wahyu diasumsikan
sebagai sesuatu yang relatif dan harus mengikuti serta tunduk pada
realitas itu.
Bukti yang jelas untuk cara berpikir merusak itu adalah adanya draft
CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) yang
dimaksudkan sebagai usulan RUU alternatif untuk mengganti
Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama.
Tapi alhamdulillah draft itu sudah dibatalkan oleh Menteri Agama
Maftuh Basyuni.
Namun yang menyedihkan, Ketua Tim Pengarusutamaan Gender
Depag, Dr Siti Musdah Mulia, yang memimpin penyusunan draft itu
tanpa malu-malu berani mengklaim bahwa draft CLD KHI itu adalah
hasil ijtihad. (Tempo, 7 Nopember 2004, hal. 47).
Padahal draft tersebut telah melahirkan sejumlah pasal yang
menyeleweng jauh sekali dari Islam. Misalnya, mengharamkan
poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris pria dan wanita

(pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam jangka waktu


tertentu (pasal 28), menghalalkan perkawinan antar agama secara
bebas (pasal 54), dan sebagainya. Ini semua terjadi karena para
penyusun CLD KHI telah menundukkan hukum Islam di bawah realitas
kontemporer yang dibentuk oleh nilai-nilai peradaban Barat, yaitu
nilai-nilai gender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi.
Dengan kata lain, draft itu lahir sebagai hasil kesalahpahaman
ekstrem dalam memahami hakikat makna ijtihad.
Senapas dengan konsep ijtihad di atas, konsep taqlid juga tak jarang
kurang dipahami dengan baik oleh umat Islam. Tak jarang ulama
memilih pendapat secara seenaknya tanpa kaedah dan tanpa
standar. Fatwa ulama akhirnya ditundukkan kepada kepentingan dan
hawa nafsu manusia. Kita masih ingat, pada pertengahan tahun 80an, Prof KH Ibrahim Hosen LML (Komisi Fatwa MUI saat itu)
mengeluarkan fatwa bolehnya judi undian PORKAS. Fatwa itu
dimaksudkan untuk menyukseskan pembangunan, khususnya bidang
olah raga. Padahal PORKAS jelas-jelas merupakan judi (maysir) yang
haram hukumnya.
Selain itu, paham relativisme yang banyak bercokol di benak kaum
liberal, menambah parah kesalahpahaman seputar taqlid ini."Semua
adalah relatif (All is relative)," begitulah slogan mereka. Padahal
slogan ini bukan dari ulama apalagi dari Al-Qur`an dan As-Sunnah,
melainkan dari Michael Fackerrell, seorang missionaris Kristen asal
Amerika Serikat (Hamid Fahmi Zarkasyi, "Kebenaran", Majalah
Islamia, Vol III, No. 1, Th 2006).
Yang repot, paham relativisme Kristiani itu akhirnya dimasukkan ke
dalam wacana keislaman, lalu dihasilkan dikotomi begini : yang
berasal dari Tuhan, absolut kebenarannya. Sedang kalau dari
manusia, sifatnya relatif, siapa pun juga manusia itu. Maka
pemahaman Imam Syafii, Imam Maliki, atau imam siapa pun, semua

vi

relatif. Dan karena semuanya relatif, kita boleh memilih atau bahkan
membuang pendapat mereka dengan bebas.
Berangkat dari dikotomi yang absurd itu, kaum liberal akhirnya
memasukkan "fatwa-fatwa" mereka agar dianggap bagian dari
pendapat ulama yang boleh untuk ditaqlidi umat Islam. Hmm, enak
benar,ya? Buku Fiqih Lintas Agama (2004) yang ditulis Nurcholish
Madjid dkk (kaum sekuler) dan disponsori Yayasan Asia Foundation
(dari Amerika) merupakan contoh upaya menjajakan "fatwa-fatwa"
liberal dalam naungan konsep relativisme agama tersebut.
Tentu saja kaedah taqlid gaya liberal dengan dikotomi absolut-relatif
itu tidaklah benar. Sebab bahwasanya Tuhan itu Maha Mengetahui
dan pengetahuan-Nya absolut benar, itu sudah jelas. Maka tak perlu
dimasukkan dalam dikotomi. Sebab dikotomi yang seharusnya kita
miliki adalah dikotomi untuk pendapat di antara manusia, bukan
antara "pendapat" Tuhan dan pendapat manusia. Selain itu, dikotomi
sebelumnya itu sungguh tidak adil, karena meletakkan semua
pendapat manusia dalam posisi yang sama (sama-sama relatif).
Samakah pendapat orang berilmu dengan pendapat orang tak
berilmu? Samakah ulama dengan juhala (orang bodoh)? Maka,
dikotomi yang benar adalah, ada pendapat ulama yang benar dan
kuat (yang layak ditaqlidi), dan ada pendapat ulama yang salah atau
lemah (yang tidak layak ditaqlidi). Itulah dikotomi yang benar.
Nah, berkaitan dengan dikotomi itu, kehadiran buku Kaedah Taqlid
Tuntunan Islam Dalam Mengikuti dan Memilih Suatu Pendapat, karya
sahabat kami A. Said 'Aqil Humam 'Abdurrahman, patutlah disambut
dengan gembira. Buku ini dengan tepat memberikan pencerahan
mengenai kaedah-kaedah mengenai taqlid untuk membedakan mana
pendapat ulama yang layak diikuti dan mana yang tidak. Selain itu,
buku ini juga ingin berkontribusi dalam menjelaskan konsep ijtihad
secara benar.

vii

Semuanya bermuara pada satu keinginan besar untuk mengentaskan


umat Islam dari kemerosotan berpikirnya yang sangat dahsyat,
khususnya perihal aktivitas ijtihad dan taqlid. Buku ini kiranya sudah
bisa dianggap berhasil, jika bisa menghasilkan para muqallid yang
baik, bukan lagi muqallid bermasalah. Syukur-syukur bisa melahirkan
para mujtahid yang cemerlang di kemudian hari. Insya Allah.
Semoga tujuan mulia ini, tercapai pula adanya. Amin Ya Mujibas
Sailin.
Yogyakarta, 21 Mei 2006
Al-Faqir ila Rabbihi,
KH. Muhammad Shiddiq al-Jawi

viii

KATA PENGANTAR
Ketidaktahuan sebagian besar kaum Muslim terhadap kaedah taqlid
(mengikuti suatu pendapat) telah mengantarkan mereka mengikuti
pendapat secara serampangan dan asal-asalan. Sebagian mereka ada
yang mengikuti pendapat-pendapat pribadi ulama, bukan mengikuti
hukum syariat yang digali oleh 'ulama berdasarkan kaedah-kaedah
ijtihad. Sebagian lagi ada yang mengambil pendapat ulama hanya
untuk memenuhi kepentingan-kepentingan dunianya. Jika ia
menginginkan "hukum mubah"; ia akan bertaqlid kepada 'ulama yang
mengeluarkan fatwa mubah. Jika ia menginginkan "hukum wajib", ia
akan mengikuti 'ulama yang mewajibkan, dan seterusnya. Padahal,
perbuatan semacam ini sama artinya telah menundukkan hukum
syariat di bawah hawa nafsu dan kepentingannya. Mestinya, hawa
nafsu dan keinginan-keinginannya harus tunduk di bawah al-Quran
dan Sunnah, bukan sebaliknya.
Kadang-kadang, seorang Muslim dihadapkan pada ragam pendapat
dalam satu kasus. Sebagian ulama berpendapat boleh, sebagian lagi
tidak boleh, sebagian lagi sunnah, sebagian lagi makruh, dan
sebagian lagi haram. Lantas, ia harus mengikuti dan memilih yang
mana? Bagaimana tata cara memilih satu pendapat diantara
pendapat-pendapat itu?
Sebagian lagi menghukumi satu perbuatan dengan banyak hukum,
dan berpindah-pindah dari satu pendapat menuju pendapat yang
lain. Kadang-kadang ia sholat dengan tata cara madzhab Imam
Syafi'iy, kadang-kadang dengan madzhab Hanafiy, dan sebagainya.
Lebih ironis lagi, sebagian lagi tidak mengetahui kepada dan dengan
siapa ia bertaqlid? Apakah ia taqlid kepada hukum Syariat ataukah

ix

taqlid kepada pendapat manusia? Padahal, Islam telah mengatur


kaedah-kaedah taqlid yang ditujukan agar kaum Muslim yang tidak
mampu melakukan ijtihad tetap bertaqlid kepada hukum-hukum
Allah swt, bukan taqlid kepada hawa nafsu maupun keinginankeinginannya.
Untuk itu, harus ada penjelasan yang gamblang mengenai masalah ini
(taqlid), agar seorang muqallid benar-benar memahami ketentuan
Islam dalam memilih pendapat diantara banyaknya pendapat.
Dengan kata lain, harus ada buku panduan yang mampu menuntun
mereka agar tidak terjatuh pada taqlid buta, dan taqlid-taqlid yang
ditujukan untuk memenuhi kepentingan hawa nafsu yang bersifat
sesaat.
Buku yang ada di tangan Anda ini merupakan panduan agar taqlid
kita tidak menyimpang dari tuntunan Islam. Lebih dari itu, buku ini
juga ditujukan agar kita tetap mengikuti hukum Syariat, bukan
mengikuti pendapat pribadi ulama, hawa nafsu, dan kepentingankepentingan dunia; selalu mengikuti Allah swt dan RasulNya, dan
bukan mengikuti setan yang akan menjerumuskan kita ke neraka.
Wallahu A'lam bi al-Shawab

Penulis

DAFTAR ISI
MEMAHAMI KONSEP IJTIHAD DAN TAQLID DENGAN BENAR .............. i
KATA PENGANTAR .............................................................................. ix
DAFTAR ISI .......................................................................................... xi
BAB I MENGAPA HARUS MEMAHAMI KAEDAH TAQLID? ................... 1
Urgensi Kaedah Taqlid Bagi Seorang Muqallid ............................ 1
Taqlid: Solusi Bagi Non Mujtahid................................................. 3
BAB II KETENTUAN UMUM MENGENAI TAQLID .................................. 7
Definisi Taqlid.............................................................................. 7
Larangan Bertaqlid Dalam Masalah Aqidah ................................ 8
Bolehnya Taqlid Dalam Masalah Hukum Syariat ....................... 12
Orang Awam ('Amiy) Wajib Meminta Fatwa dan Mengikuti
'Ulama ....................................................................................... 18
Seorang Muqallid 'Amiy Tidak Boleh Meminta Fatwa Kecuali
Kepada Orang Yang Keilmuan dan Keadilannya Telah Ia Ketahui
.................................................................................................. 19
Jika Di Sebuah Negeri Hanya Ada Seorang Mufti Saja ............... 21
BAB III REALITAS TAQLID ................................................................... 23
Fakta "Taqlidnya Seorang Mujtahid" ......................................... 24
Taqlidnya Seorang Muqallid ...................................................... 28
Seorang Muqallid Boleh Mengajarkan Ilmu Yang Ia Ketahui ..... 33
Ketentuan Seorang Muqallid Di Hadapan Dua Pendapat .......... 35
BAB IV TARJIHNYA SEORANG MUQALLID .......................................... 38
Tarjihnya Seorang Muqallid ...................................................... 38
Muqallid 'Amiy dan Muqallid Muttabi'...................................... 41
BAB V PINDAH MADZHAB ................................................................. 44
Ijtihad Mujtahid Adalah Hukum Syariat Bagi Muqallid.............. 44
Seorang Muqallid Tidak Harus Terikat Dengan Satu Madzhab
Saja ............................................................................................ 46
Jika Muqallid Menentukan Salah Satu Madzhab Tertentu ........ 46
Kapan Seorang Muqallid Meninggalkan Pendapatnya .............. 47

xi

Sikap Seorang Muqallid Jika Mujtahid Mengubah Pendapatnya


.................................................................................................. 48
Hukum Muqallid Yang Sembrono .............................................. 49
BAB VI IMPLIKASI-IMPLIKASI TAQLID BAGI KAUM MUSLIM ............. 50
Taqlid dan Implikasinya Bagi Kemunduran Berfikir Umat Islam 52
BAB VII TARJIH DAN KETENTUANNYA ............................................... 56
Definisi Tarjih ............................................................................ 56
Beramal Dengan Dalil Yang Rajih .............................................. 57
Hakekat Pertentangan dan Mendahulukan Kompromi ............. 59
BAB VIII MEMAHAMI IJTIHAD............................................................ 68
Definisi Ijtihad ........................................................................... 68
Lingkup Ijtihad ........................................................................... 71
Syarat-syarat Mujtahid .............................................................. 72
Kesalahan Persepsi Seputar Ijtihad ........................................... 73
BAB IX RASULULLAH SAW BUKAN SEORANG MUJTAHID.................. 77
Memilih Pendapat Yang Terkuat ............................................... 78
Penjelasan Mengenai Ayat-Ayat Yang Digunakan Sandaran
Bolehnya Rasulullah saw Melakukan Ijtihad ............................. 87
Surat al-Anfaal Ayat 67 ....................................................... 90
Surat al-Taubah Ayat 43...................................................... 95
Surat al-Taubah Ayat 84...................................................... 97
Surat 'Abasa Ayat 1 3 ..................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 103

xii

BAB I
MENGAPA HARUS
MEMAHAMI KAEDAH TAQLID?
Urgensi Kaedah Taqlid Bagi Seorang
Muqallid

ada dasarnya, terikat dengan syariat Islam merupakan


kewajiban asasi seorang Muslim. Sebab, ketundukan dan
kepatuhan terhadap syariat Islam merupakan bukti keimanan
seorang Muslim kepada Allah swt dan RasulNya. Seseorang tidak
disebut Mukmin sejati jika ia tidak menerima hukum-hukum Allah
swt dengan penuh kerelaan dan keridloan. Seorang Mukmin mesti
menundukkan diri dan menerima hukum-hukum Allah swt tanpa ada
pilihan lagi.i
Selain itu, berbuat sesuai dengan hukum syariat merupakan salah
satu syarat agar amal perbuatan seseorang diterima oleh Allah swt ii.
Perbuatan apapun tidak akan pernah diterima Allah swt, jika tidak
sejalan dengan syariat Allah swt. Al-Quran telah menyatakan masalah
ini dengan sangat jelas. Allah swt berfirman:



"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.
Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.[alHasyr:7]
Ayat ini dengan sangat jelas menunjukkan, bahwa perbuatan seorang
muslim tidak akan diterima oleh Allah swt, bila tidak sesuai dengan
tuntunan hukum syariat. Dalam hadits shahih disebutkan:







"Nabi saw bersabda, "Orang yang melakukan penipuan akan
dimasukkan ke dalam api neraka, dan barangsiapa
mengerjakan suatu perbuatan yang tidak diperintahkan
kami, maka perbuatan itu tertolak."[HR. Bukhari]


"Dari 'Aisyah ra, ia berkata, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda," Siapa saja yang membuat-buat perkara baru
dalam urusan kami, padahal urusan itu tidak diperintahkan,
maka perkara itu tertolak." [HR. Bukhari; hadits ini
diriwayatkan oleh 'Abdullah bin Ja'far al-Makhramiy, 'Abdul
Wahid bin Abi Aun, dari Sa'id bin Ibrahim]; dan masih banyak
hadits-hadits lain yang menerangkan masalah ini.

Hadits-hadits ini menegaskan, bahwa seorang muslim wajib


memahami, terikat, dan beramal sesuai dengan hukum syariat.
Kewajiban untuk selalu terikat dengan syariat Islam mengharuskan
seseorang untuk menggali hukum syariat dari al-Quran dan Sunnah.
Sebab, satu-satunya cara untuk mengetahui hukum syariat dari dalil
syara' adalah ijtihad atau istinbath, tidak ada cara yang lain. Oleh
karena itu, hukum asal seorang Muslim harus menjadi seorang
Mujtahid, agar perbuatannya selalu sejalan dengan hukum syariat. iii

Taqlid: Solusi Bagi Non Mujtahid


Hanya saja, tidak semua orang mampu melakukan ijtihad atau
istinbath. Hanya orang-orang tertentu saja, yakni orang yang mampu
memenuhi syarat-syarat kelayakan ijtihad, yang boleh melakukan
proses ijtihad dan istinbath. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa
tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama. Ada orang yang
bodoh, ada yang cerdas, dan ada pula yang dianugerahi dengan
kejeniusan yang luar biasa. Orang-orang yang bodoh dan awam
terhadap dalil-dalil syara', tentu saja tidak mungkin melakukan proses
ijtihad dengan benar dan selamat. Orang-orang yang hanya
menguasai bidang ilmu tertentu namun tidak menguasai ilmu-ilmu
istinbath, juga tidak mungkin melakukan proses ijtihad untuk
menggali hukum syariat. Mesti demikian, tidak berarti bahwa orangorang yang tidak mampu melakukan ijtihad diberi keringanan untuk
tidak terikat dengan aturan Islam. Mereka tetap diwajibkan berbuat
sesuai dengan hukum syariat iv.
Syariat Islam telah memberikan jalan keluar bagi orang yang tidak
mampu melakukan proses ijtihad untuk tetap terikat dengan syariat
Islam. Jalan keluar itu adalah taqlid. Taqlid adalah mengikuti hukum
syariat yang digali oleh seorang mujtahid tanpa hujjah yang bersifat
mengikat. v

Akan tetapi, taqlid pun memiliki syarat-syarat dan kaedah-kaedah


yang mesti diikuti dan dipatuhi, sebagaimana ijtihad. Sebab, taqlid
adalah bagian dari perbuatan yang mesti didasarkan pada tuntunan
syariat. Taqlid tidak boleh dilakukan dengan cara semena-mena dan
asal-asalan. Jika seseorang bertaqlid tanpa mengikuti kaedah-kaedah
yang benar, bisa dipastikan taqlidnya didasarkan pada hawa nafsu.
Tidak hanya itu saja, seringkali seorang muqallid terjatuh dengan
taqlid yang membabi buta, atau memilih pendapat yang kira-kira bisa
sejalan dengan keinginan dan hawa nafsunya. Akhirnya, mereka
memilih suatu pendapat bukan untuk terikat dengan syariat Allah,
akan tetapi untuk memenuhi kepentingan-kepentingan dan
keinginan-keinginan mereka. Dalam kondisi semacam ini, orang
tersebut telah menundukkan hukum syariat di bawah hawa nafsunya,
bukan menundukkan hawa nafsunya di bawah ketentuan al-Quran
dan Sunnah. Jika suatu hukum sejalan dengan keinginan dan
kepentingannya; ia ambil hukum tersebut dan mengesampingkan
yang lain..
Sesungguhnya, ketidaktahuan seseorang terhadap kaedah taqlid
akan menjatuhkan seseorang pada plin-plan dalam berpendapat.
Kadang-kadang, untuk menghukumi satu perbuatan, ia memilih
pendapat madzhab ini, kadang-kadang ia memilih pendapat madzhab
yang lain lagi. Lebih buruk lagi, mereka malah pasrah dengan apa
yang dikatakan oleh pemimpin-pemimpinnya. Apa yang dikatakan
pemimpinnya harus ditaqlidi (diikuti), dan dianggap kebenaran
mutlak. Padahal pendapat para pemimpinnya sama sekali tidak
didasarkan pada al-Quran dan Sunnah. Bahkan, pendapat-pendapat
mereka telah menyimpang jauh dari tuntunan Islam. Lebih ironis lagi,
pemimpin-pemimpinnya juga terkenal fasik dan ahli bid'ah yang
seharusnya tidak boleh diikuti.
Jika keadaan ini dibiarkan terus berlanjut, tentunya kaum Muslim
akan semakin terjatuh pada taqlid yang didasarkan hawa nafsu,

bukan didasarkan ketentuan syariat Islam. Oleh karena itu,


memahami kaedah taqlid merupakan satu-satunya jalan agar kita
benar-benar mengikuti Allah dan RasulNya bukan malah mengikuti
hawa nafsu dan setan yang akan menceburkan kita ke dalam
kehinaan dan kenistaan. Allah swt telah menyindir masalah ini di
dalam sebuah firmanNya;

( .)


( .)

"Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam


neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami
ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul". Dan
mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah
menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar
kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).
Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali
lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". [alAhzab: 66- 68[
Dari sini kita bisa memahami, bahwa memahami kaedah taqlid
menjadi sangat penting. Sebab, seorang Muslim yang tidak mampu
melakukan ijtihad; ia diwajibkan taqlid (mengikuti) seorang mujtahid
agar dirinya memahami hukum syariat. Hanya saja, seorang muqallid
harus memahami kaedah taqlid terlebih dahulu, sebelum memilih
dan mengambil suatu pendapat. Bila seorang muqallid tidak
memahami kaedah taqlid, bisa dipastikan ia akan memilih suatu
pendapat berdasarkan hawa nafsu belaka. Lebih dari itu,
ketidaktahuan seorang Muslim akan kaedah taqlid, akan
menjatuhkan dirinya ke dalam taqlid-taqlid yang menyimpang atau

tidak sejalan dengan tuntunan syariat. Misalnya, taqlid kepada


pendapat orang-orang tertentu; atau taqlid kepada orang-orang yang
terkenal fasiq dan suka melanggar hukum syariat .
Untuk itu, "kaedah taqlid" ini harus dihadirkan kembali di tengahtengah kaum Muslim, agar kaum Muslim yang terus terpuruk ke
dalam kemunduran ini tidak semakin hancur dan binasa akibat
ketidaktahuan mereka terhadap ketentuan memilih dan mengambil
pendapat .

BAB II
KETENTUAN UMUM
MENGENAI TAQLID
Definisi Taqlid

ecara literal, taqlid diambil dari kata al-qaladzah allatiy


yuqallidu ghairahu bihaa." (kalung yang dikenakan kepada
orang lain). vi Sedangkan menurut istilah, taqlid adalah 'amal
biqauli al-ghairi min ghair hujjah mulzimah." (beramal dengan
mengikuti pendapat orang lain tanpa ada hujjah (dalil) yang bersifat
mengikat). vii" Misalnya, orang awam yang mengikuti pendapat orang
awam lainnya, atau seorang mujtahid yang mengikuti pendapat
mujtahid lainnya.
5F

6F

Menurut al-Amidiy, merujuknya seseorang kepada sabda Nabi saw,


atau ijma' Mujtahid di suatu masa, vonisnya seorang qadliy
berdasarkan kesaksian seorang yang adil, dan merujuknya seorang
muqallid kepada seorang mufti (pemberi fatwa) tidak terkategori
sebagai taqliid; dikarenakan tidak adanya hujjah lazim yang bisa
dijadikan pegangan. viii
7

Sedangkan menerima semua sabda Rasulullah saw yang


menunjukkan wajibnya menyakini kemukjizatan Rasul, wajibnya
menerima ijma' mengenai kewajiban menerima perkataan Rasulullah
saw, wajibnya menerima pendapat seorang mufti atau para saksi;
semua ini disebut dengan taqlid menurut 'urf (kebiasaan) pengguna
bahasa .ix
8F

Ibnu Hammam dalam al-Tahriir mengatakan, "Taqlid adalah berbuat


berdasarkan pendapat orang yang tidak memiliki hujjah, tanpa ada
alasan".x
9

Al-Qaffaal menyatakan, "Taqlid adalah mengikuti pendapat orang


yang anda sendiri tidak tahu dari mana pendapat itu berasal. "xi
10

Syaikh Abu Hamid dan Abu Manshur berpendapat, "Taqlid adalah


menerima pendapat orang lain tanpa ada hujjah atas pendapat
tersebut".xii
1

Larangan Bertaqlid Dalam Masalah


Aqidah
Seorang muslim dilarang (diharamkan) taqlid dalam masalah-masalah
'aqidah. Mayoritas 'ulama telah sepakat bahwa hukum bertaqlid
dalam masalah 'aqidah adalah haram. Hanya sebagian kecil ulama
yang membolehkan taqlid dalam masalah 'aqidah, yaitu, 'Ubaidullah
bin al-Hasan al-'Anbariy, kelompok Hasyawiyah, dan Ta'limiyyah. xiii
Sebagian yang lain malah berpendapat, wajibnya bertaqlid dalam
masalah 'aqidah. Menurut mereka al-nadhr (pengamatan) dan ijtihad
dalam masalah 'aqidah adalah haram .
12F

Imam al-Raziy dalam kitab al-Mahshuul dari mayoritas fuqaha


menyatakan, bahwa taqlid dalam masalah 'aqidah adalah boleh.
Namun, Ibnu Hajib tidak menuturkan pendapat ini kecuali dari al'Anbariy saja.
Sedangkan jumhur 'ulama berpendapat, bahwa taqlid dalam masalah
aqidah adalah haram. Abu Ishaq dalam Syarah al-Tartiib menuturkan
tentang kesepakatan para ahli ilmu dari berbagai golongan mengenai
haramnya taqlid dalam masalah 'aqidah. Abu al-Husain bin alQaththaan menyatakan, "Kami tidak melihat adanya iktilaf dalam hal
haramnya taqlid dalam masalah tauhid." Ibnu al-Sam'aniy
menuturkan, bahwa seluruh ahli ilmu kalam dan sekelompok fuqaha
telah sepakat mengenai haramnya taqlid dalam masalah 'aqidah.
Menurut Imam al-Haramain, dalam al-Syaamil, tak seorangpun yang
berpendapat bolehnya taqlid dalam masalah 'aqidah kecuali
kelompok Hanabilah. Sedangkan menurut Imam al-Isyfirainiy, yang
berpendapat bolehnya taqlid dalam masalah 'aqidah hanyalah ahli
dzahir.xiv
13

Menurut Imam al-Amidiy pendapat yang terkuat adalah pendapat


yang melarang taqlid dalam masalah 'aqidah. Pendapat ini juga dipilih
oleh Imam Syafi'iy, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam
Hanbal.
Adapun alasan-alasan yang melarang taqlid dalam masalah 'aqidah
adalah sebagai berikut;
Pertama, sesungguhnya pengamatan adalah wajib, sedangkan taqlid
telah meniadakan kewajiban untuk melakukan pengamatan dan
penelitian. Padahal hal semacam ini meninggalkan pengamatan dan
penelitian -- adalah perbuatan haram. Sebab, ia telah meninggalkan

kewajiban. Dalil wajibnya melakukan pengamatan adalah firman


Allah swt,
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut
membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang
Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia
hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu
segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh terdapat
tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang
memikirkan."[al-Baqarah:12]
Rasulullah saw bersabda, "Celakalah bagi siapa saja yang membaca
ayat ini, namun tidak pernah memikirkan isinya.". Hadits ini
merupakan ancaman bagi siapa yang meninggalkan pengamatan dan
pengkajian. Walhasil, hukum pengamatan dan pengkajian adalah
wajib.xv
14

Kedua; menurut Imam al-Amidiy, para ulama salaf berkonsensus


mengenai wajibnya makrifat kepada Allah swt, baik dalam hal yang
boleh bagi Allah dan apa yang tidak boleh bagi Allah swt. Barangkali
ada yang mengatakan, bahwa makrifat kepada Allah juga bisa
ditempuh dengan taqlid. Pendapat ini tertolak karena alasan-alasan
berikut ini; (1) orang yang memberikan fatwa dalam masalah 'aqidah
tidaklah maksum, dan tidak boleh dianggap maksum. Karena ia tidak
maksum, maka berita yang disampaikannya tidak wajib untuk
diimani. Jika berita yang disampaikannya tidak wajib diimani, berarti
berita yang disampaikannya tidak berfaedah kepada ilmu
(keyakinan). (2) sekiranya taqlid itu menghasilkan ilmu (keyakinan),
tentunya bagi orang yang mengikuti pendapat bahwa alam semesta
itu huduts (baru atau diciptakan) akan memperoleh keyakinan sama

10

seperti orang yang mengikuti pendapat bahwa alam semesta itu


qadam (awal atau pertama kali). Padahal hal semacam ini adalah
sesuatu yang mustahil; sebab dua keyakinan semacam ini tidak
mungkin dikompromikan. (3) sekiranya taqlid itu menghasilkan ilmu
(keyakinan), padahal keyakinan dalam masalah seperti itu kadangkadang bersifat dlaruriy atau nadzariy: tentunya keyakinan (ilmu)
tersebut tidak boleh bersifat dlaruriy. Jika tidak bersifat dlaruriy,
tentunya akan terjadi perbedaan di kalangan manusia. Padahal dalam
masalah 'aqidah tidak boleh ada perbedaan.
Ketiga, al-Quran telah mencela taqlid dalam masalah 'aqidah, namun
tidak dalam masalah syariat. Adapun nash yang melarang taqlid
dalam masalah 'aqidah adalah sebagai berikut;


( .)






( .)

"Bahkan mereka berkata, "Sesungguhnya kami mendapati
pada bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk
dengan mengikuti jejak mereka. Dan demikianlah bahwa
Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi
peringatanpun di suatu negeri, melainkan orang-orang yang
hidup mewah di negeri itu berkata, "Sesungguhnya kami
mendapati pada bapak kami menganut suatu agama, dan
sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.
(Rasul itu) berkata, : Apakah (kamu akan mengikutinya juga),
sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih

11

(nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kami dapati


yang dianut oleh bapak-bapak kalian"? xvi
15

Ayat ini jelas-jelas mencela orang-orang yang bertaqlid dalam


masalah keyakinan; dan masih banyak ayat-ayat lain yang mencela
kaum Muslim taqlid dalam masalah 'aqidah.
Selain itu, berpikir menyangkut masalah aqidah adalah mudah,
sebab, dalil-dalil yang berkenaan dengan aqidah sangat jelas (tidak
perlu ijtihad). xvii Imam Ahmad menyatakan, "Tanda yang
menunjukkan dangkalnya ilmu seseorang, bahwa ia bertaqlid kepada
orang lain dalam masalah aqidah". xviii
16F

17F

Menurut Abu Manshur, para 'ulama berbeda pendapat mengenai


orang yang beraqidah dengan jalan taqlid, atau tidak memahami
dalil-dalilnya. Mayoritas 'ulama berpendapat, mereka tetap Mukmin
yang akan mendapatkan syafa'at, namun berpredikat fasiq,
dikarenakan meninggalkan istidlal (proses berdalil). Pendapat
semacam ini dipegang oleh mayoritas ulama hadits. Imam al-Asy'ariy
dan mayoritas Mu'tazilah menyatakan: seseorang tidak akan
mendapat predikat Mukmin hingga ia meninggalkan taqlid. xix
18F

Namun, Imam Syaukani membantah pendapat itu dengan


menyatakan, bahwa mereka tetap Mukmin dan tidak boleh digelari
dengan gelar fasiq. Sebab, syariat tidak membebani seseorang
dengan sesuatu yang tidak sanggup dipikulnya xx.
19F

Bolehnya Taqlid Dalam Masalah Hukum


Syariat
Di dalam kitab Irsyaad al-Fuhuul, Imam Syaukani menyatakan, bahwa
para 'ulama berbeda pendapat mengenai bolehnya taqlid dalam

12

masalah syariat. Jumhur ahli ilmu berpendapat, bahwa taqlid dalam


masalah syariat dilarang secara mutlak. Imam al-Qarafiy menuturkan:
madzhab Malikiyyah dan mayoritas ulama menyatakan wajibnya
ijtihad dan membatilkan taqlid. Imam Ibnu Hazm menyatakan
konsensus para ulama untuk menolak taqlid dalam masalah syariat. xxi
20

Imam al-Amidiy memilih pendapat yang membolehkan seseorang


bertaqlid kepada seorang mujtahid. Beliau menyatakan, "Masyarakat
awam dan orang-orang yang tidak memiliki keahlian untuk
berijtihad, meskipun ia memiliki sebagian ilmu yang bisa digunakan
untuk berijtihad, wajib mengikuti pendapat para mujtahid, dan
mengambil fatwanya. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh ahli
pentahqiq dalam masalah ushul. xxii Menurutnya, pendapat ini
didukung oleh nash, ijma' dan akal pikiran .
21F

Adapun alasan-alasan yang membolehkan taqlid dalam masalah


syariat adalah sebagai berikut:
Pertama, Allah swt telah berfirman:
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orangorang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan,
jika kamu tidak mengetahui."[al-Nahl:4]
Ayat ini berlaku umum untuk setiap mukhaatib; sekaligus berisi
perintah untuk bertanya atas sesuatu yang tidak diketahui xxiii .
Meskipun konteks ayat ini berbicara mengenai penolakan terhadap
orang-orang Musyrik saat mereka mengingkari keberadaan Rasul
sebagai manusia biasa, akan tetapi lafadz yang terkan0dung di
dalamnya bersifat umum. Dalam kondisi semacam ini, tafsir ayat ini
harus dikembalikan pada kaedah "al-'ibrah bi 'umuum al-lafdz laisa bi
2F

13

khushuush al-sabab"; perngertian itu didasarkan pada keumuman


lafadz bukan didasarkan pada khususnya sebab. Dengan kata lain,
yang dijadikan dasar adalah keumuman lafadznya, bukan kekhususan
sebabnya. Oleh karena itu, tidak bisa dinyatakan, bahwa ayat ini
hanya berhubungan dengan perintah kepada orang Musyrik untuk
bertanya kepada ahlul kitab agar mereka mengetahui bahwa Allah
swt tidak pernah mengutus seorang Rasul kepada umat manusia
kecuali dari kalangan manusia. Dengan demikian, ayat ini merupakan
perintah kepada orang-orang Musyrik untuk bertanya mengenai
masalah yang tidak diketahuinya kepada ahlu dzikr. xxiv
23

Frase "fas- aluu" di sini datang dalam bentuk umum; maknanya


adalah, "bertanyalah kalian agar kalian mengetahui, bahwa Allah
tidak pernah mengutus Rasul kepada umat-umat sebelumnya, kecuali
dari kaum laki-laki (manusia biasa)." Dari sini bisa dilihat, bahwa
pertanyaan tersebut berhubungan dengan masalah pengetahuan
(makrifat), tidak berkaitan dengan masalah "keimanan" ('aqidah).
Sedangkan kata "ahlu al-dzikr", meskipun "musyar ilaihi (orang yang
disebutkan)" adalah ahlul kitab, akan tetapi sighatnya dalam bentuk
umum. Oleh karena itu, frasa "ahlu al-dzikr" di sini berlaku umum
untuk seluruh ahlu al-dzikr, dan tidak hanya berlaku untuk ahlul kitab
saja. xxv
24F

Kaum Muslim sendiri termasuk ahlu al-dzikr. Hal semacam ini telah
disebutkian di dalam al-Quran;
"Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka."[al-Nahl:44]
Walhasil, orang-orang yang memahami hukum-hukum syara'
tergolong ahlu al-dzikr; baik yang memiliki ilmu ijtihad maupun ilmu
talaqqin. Faktanya, seorang muqallid biasa bertanya mengenai

14

hukum-hukum Allah dalam satu atau beberapa masalah. Oleh karena


itu, ayat ini menunjukkan dengan jelas kebolehan taqlid dalam
masalah syariat. xxvi
Selain itu, kebolehan taqlid juga ditunjukkan di dalam sunnah.
Diriwayatkan dari Jabir ra; ada seorang laki-laki tertimpa batu hingga
kepalanya retak, lalu bermimpi junub. Kemudian, ia bertanya kepada
para sahabatnya, Apakah kalian mendapatkan untukku rukhshah
(keringanan) untuk bertayamum? Mereka menjawab, Kami tidak
mendapatkan untukmu rukhshah sementara engkau mampu
menggunakan air. Laki-laki itu mandi, tetapi setelah itu meninggal
dunia. Nabi saw berkata: "Adalah cukup baginya bertayamum dan
membalut kepalanya dengan kain, lalu menyapukan (debu) diatasnya
dan membasuh seluruh badannya." Beliau bersabda,"Mengapa
mereka tidak bertanya terlebih dahulu, jika tidak tahu.
Sesungguhnya, obat ketidaktahuan hanyalah bertanya."
Hadits ini menunjukkan, bahwa Rasulullah menganjurkan para
shahabat untuk bertanya mengenai hukum syara. Benarlah kata al-Syabi: Ada enam orang sahabat Rasulullah saw yang biasa
memberikan fatwa kepada orang-orang; yaitu Ibnu Masud, Umar
bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Kaab dan
Abu Musa al-Asyari ra. Biasanya, tiga orang meninggalkan pendapat
mereka dan mengikuti tiga orang yang lain; yaitu Abdullah
meninggalkan pendapatnya dan mengikuti pendapat Umar, Abu
Musa meninggalkan pendapatnya dan ikut pendapat Ali, dan Zaid
meninggalkan pendapatnya dan ikut pendapat Ubay bin Kaab. Ini
menunjukkan bahwa para sahabat menjadi rujukan kaum Muslim,
dan sebagian mereka bertaqlid kepada sebagian yang lain.
Adapun celaan taqlid yang terdapat di dalam al-Quran al-Karim,
hanyalah berhubungan dengan perkara keimanan bukan dalam
masalah hukum-hukum syara. Sebab, ayat-ayat tersebut hanya

15

berbicara pada konteks keimanan dan nashnya khusus membahas


masalah keimanan. Lagi pula ayat-ayat tersebut tidak bisa dicari-cari
illatnya. Firman Allah Swt:
"Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu
seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri,
melainkan orang-orang yang hidup mewah dinegeri itu
berkarta: Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami
menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah
pengikut jejak mereka. (Rasul itu) berkata: Apakah (kamu
akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu
(agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk dari pada apa
yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya? [alZukhruf: 23-24]
"(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari
orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa,
dan ketika segala hubungan antara mereka terputus sama
sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti:
Seandainya kami dapat kembali (kedunia) pasti kami akan
berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri
dari kami. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada
mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka,
dan sekali-kali mereka tidak keluar dari api neraka." [alBaqarah : 166-167]
"Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat
kepadanya? Mereka menjawab: Kami mendapati bapakbapak kami menyembahnya."[Al-Anbiya: 52-53]
Konteks pembicaraan (maudlu') ayat-ayat ini hanya berkaitan dengan
keimanan dan kekufuran saja. Keumumannya hanya meliputi
masalah keimanan dan kekufuran saja, dan tidak umum untuk segala

16

sesuatu. Nash-nash ini juga tidak mengandung illat dan tidak boleh
dicara-cari 'illatnya. Tidak bisa dikatakan bahwa yang dijadikan acuan
adalah umumnya lafadz bukan khususnya sebab. Kaedah ini bisa
diterapkan jika ayat-ayat tersebut dikaitkan dengan sebab nuzul,
yaitu kejadian yang menjadi penyebab turunnya ayat. Namun,
pernyataan itu tidak benar jika dikaitkan dengan maudlu (konteks
pembicaraan) ayat. Pada dasarnya, yang jadi acuan adalah konteks
pembicaraan ayat tersebut, sedangkan keumumannya terbatas pada
konteks pembicaraan ayat itu saja, dan tidak umum meliputi segala
hal yang tidak tercakup dalam konteks pembicaraannya. Juga tidak
bisa dinyatakan, bahwa ayat tersebut konteks pembicarannya
berkaitan dengan keimanan dan kekufuran, akan tetapi
penafsirannya juga berlaku untuk para muqallid; dengan asumsi
bahwa hukum itu beredar sesuai dengan ada atau tidak adanya 'illat.
Sebab, ayat-ayat tersebut tidak mengandung illat dan tidak boleh
dicari-cari 'illatnya; baik nash-nash yang berasal dari al-Quran
maupun Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada satu nash pun yang
melarang taqlid dalam masalah syariat. Nash-nash maupun realita
kaum Muslim pada masa Rasulullah dan para shahabat malah
menunjukkan bolehnya taqlid .xxvii
26

Taqlid bisa saja terjadi pada muttabi' maupun 'aamiy. Ini disebabkan
karena, Allah swt menamakan taqlid dengan ittibaa'. Allah swt
berfirman;
"(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari
orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa;
dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama
sekali."[al-Baqarah:166]
Selain itu, hukum syariat yang diadopsi seseorang kadang-kadang
diistinbathkan sendiri (mujtahid), atau kadang-kadang diistinbathkan

17

oleh orang lain, kemudian ia mengikuti pendapat orang lain itu


(muqallid). Sedangkan mengikuti pendapat orang lain adalah taqlid,
baik dengan hujjah yang bersifat mengikat, maupun tanpa hujjah.
Dengan demikian, muttabi' termasuk muqallid. Selain itu, ittibaa'
adalah mengkaji pendapat seorang mujtahid yang meliputi kajian
terhadap dalil-dalil yang digunakan istinbath oleh mujtahid tersebut
tanpa harus memberikan justifikasi terhadap dalil-dalil tersebut, atau
tanpa harus terikat dengan dalil-dalil tersebut .xxviii
27 F

Akan tetapi, jika anda telah memberikan justifikasi terhadap dalil


tersebut, atau terikat dengan dalil tersebut; memahami arah
istinbath dari hukum tersebut, dan anda sepakat terhadap istinbath
hukum tersebut, maka anda harus terikat dengan hujjah yang
membangun hukum tersebut. Walhasil, pendapat anda tak ubahnya
pendapat seorang mujtahid. Dalam kondisi semacam ini, anda adalah
seorang mujtahid, bukan seorang muttabi'. Atas dasar itu, ittibaa'
terkategori taqlid, sedangkan muttabi' (orang yang melakukan kajian)
termasuk seorang muqallid, meskipun ia memahami dalil .xxix
28F

Orang Awam ('Amiy) Wajib Meminta Fatwa


dan Mengikuti 'Ulama
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, dalam kitab al-Mustashfa fi 'Ilm Ushul
menyatakan, bahwa para shahabat telah terbiasa memberikan fatwa
kepada orang-orang awam, dan tidak pernah menyuruh orang-orang
awam untuk meraih derajat mujtahid. Keadaan ini telah dimaklumi
dan dituturkan berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir dari kalangan
'ulama maupun awam. Ini menunjukkan, bahwa taqlid telah dikenal
dan terjadi baik pada masa shahabat maupun masa-masa
berikutnya. xxx
29

18

Semua orang telah sepakat mengenai wajibnya orang awam memikul


taklif-taklif syariat. Sedangkan mewajibkan mereka meraih
kemampuan seperti seorang mujtahid adalah kemustahilan. Sebab,
hal ini pasti akan menyebabkan terputusnya kegiatan pertanian,
perindustrian, dan lain-lain dikarenakan kesibukan untuk menuntut
ilmu hingga meraih derajat mujtahid. Lebih dari itu, keadaan ini
justru akan menghancurkan kehidupan para ulama itu sendiri. Oleh
karena itu, tidak ada jalan lain bagi mereka (orang awam) selain
taqlid dalam masalah hukum syariat. xxxi Lebih lanjut Imam Ghazali
menyatakan,"Taqlid adalah menerima pendapat tanpa hujjah.
Sedangkan mereka (orang awam) wajib menerima pendapat yang
difatwakan. Ketentuan ini didasarkan pada ijma', sebagaimana
wajibnya seorang hakim menerima kesaksian, atau wajibnya kita
menerima khabar ahad". xxxii
30F

31

Seorang Muqallid 'Amiy Tidak Boleh


Meminta Fatwa Kecuali Kepada Orang
Yang Keilmuan dan Keadilannya Telah Ia
Ketahui
Pada dasarnya, seorang muqallid 'amiy wajib meminta fatwa kepada
orang-orang yang ia ketahui berilmu dan memiliki keadilan xxxiii. Ia
tidak boleh meminta fatwa kepada orang yang keilmuan dan
keadilannya tidak ia ketahui. Sebab, setiap orang yang diwajibkan
untuk mengikuti pendapat orang lain (muqallid), maka ia juga
diwajibkan untuk mengetahui keadaan orang yang diikutinya;
sebagaimana wajibnya umat Islam mengetahui dengan dirinya
sendiri, kemukjizatan Rasulullah. Seseorang tidak boleh menyakini
begitu saja, orang yang mengaku dirinya Rasulullah sementara itu,
orang tersebut tidak pernah dikenalnya. Seorang hakim juga wajib
mengetahui kondisi saksi, apakah ia adil atau tidak, sebelum
32F

19

memutuskan untuk menerima atau menolak kesaksiannya. Dan


seorang Mujtahid wajib mengetahui kondisi perawi hadits sebelum ia
menerima khabarnya. Atas dasar itu, orang awam wajib mengetahui
kondisi orang yang hendak ditanyai pendapatnya .xxxiv
3F

Lalu, jika keadilan seorang mujtahid tidak diketahui, apakah


seseorang dituntut untuk menelitinya? Menurut Imam al-Ghazali,
seorang awam tidak dituntut untuk meneliti keadilan seorang
Mujtahid yang tidak dikenalnya. Sebab, fakta menunjukkan, jika
seorang masuk ke sebuah negeri, ia hanya wajib bertanya siapa orang
alim di negeri itu, dan tidak dituntut untuk membuktikan
keadilannya. Demikian juga jika orang awam tidak tahu keilmuan
Mujtahid, ia tidak dituntut untuk menelitinya. Sebab, orang alim yang
sudah terkenal di suatu negeri, dan dikenal oleh masyarakat
setempat,
maka
keadilan
dan
keilmuannya
bisa
dipertanggungjawabkan, dan orang awam tidak perlu melakukan
kajian secara lebih mendalam mengenai keilmuan dan
keadilannya .xxxv
34F

Jika seorang diketahui kefasikannya, ia tidak boleh ditanyai


pendapatnya. Sebaliknya, jika seorang mufti diketahui keadilannya,
maka seorang awam baru boleh bertanya meminta fatwanya .xxxvi
35F

Jika seorang awam tidak mengetahui hal ihwal mufti (yang hendak
dimintai fatwanya), ia tidak perlu menolaknya, akan tetapi ia harus
bertanya terlebih dahulu mengenai keadilannya. Ini ditujukan agar ia
terhindar dari kedustaan dan kejahatan dari mufti tersebut.
Sesungguhnya, jiwa seorang mufti sudah terkenal memberikan fatwa
di suatu negeri, maka biasanya ia juga terkenal memiliki keadilan.
Sedangkan untuk menetapkan keadilan dan keilmuan seorang mufti,
seorang awam cukup menyandarkan kepada persangkaan kuatnya
(ghalabat al-dzan) yang didasarkan pada perkataan satu atau dua

20

orang adil, dan tidak harus bersandar pada bukti yang menyakinkan
(qath'iy). Jika ada satu atau dua orang adil mengatakan bahwa mufti
ini adil, maka seorang awam boleh mengambil fatwa dari orang
tersebut . xxxvii
36

Jika Di Sebuah Negeri Hanya Ada Seorang


Mufti Saja
Jika di sebuah negeri hanya ada seorang mufti saja, seorang awam
wajib merujuk kepada mufti tersebut. Namun, jika di sebuah negeri
terdapat banyak mufti, maka ia bisa bertanya kepada siapa saja, dan
tidak wajib hanya merujuk kepada salah satu mufti saja; seperti
halnya pada masa shahabat ra. Ada sebagian orang yang
berpendapat, bahwa seorang awam wajib mengikuti mufti yang
paling utama (afdlal). Jika orang-orang awam hendak meminta fatwa,
maka mereka memilih salah satu diantara mufti-mufti itu. Menurut
al-Ghazali, pendapat semacam ini bertentangan dengan ijma'
shahabat. Sebab, shahabat-shahabat yang paling utama dan kesohor
tidak pernah menghalang-halangi orang awam untuk meminta fatwa
kepada shahabat-shahabat lain yang keutamaan lebih rendah.
Sesungguhnya, orang-orang awam hanya diwajibkan merujuk kepada
mufti yang diketahui adil dan memiliki ilmu. Seluruh shahabat telah
memahami masalah ini.xxxviii
37

Namun demikian, jika dua orang mufti memfatwakan hukum yang


berbeda, maka; jika kedua orang mufti itu diketahui sama-sama adil
dan alim, maka orang awam boleh memilih salah satu diantara dua
mufti tersebut. Namun, jika diketahui bahwa salah seorang diantara
mufti-mufti tersebut adalah yang lebih adil dan alim, maka ia wajib
mengikuti mufti yang diyakininya lebih adil dan alim tersebut.
Misalnya, jika seseorang menyakini bahwa Imam Syafi'iy lebih alim
dibandingkan imam-imam yang lain, maka ia wajib mengikuti

21

pendapat Imam Syafi'iy dan dilarang mengambil pendapat imam lain


yang bertentangan dengan pendapat Imam Syafi'iy xxxix, hanya karena
ingin mengikuti hawa nafsunya. Keadaan ini mirip dengan seorang
mufti yang harus melakukan tarjih diantara dua dalil yang
bertentangan. Sedangkan tarjih yang bisa dilakukan oleh kalangan
awam adalah mengikuti pendapat mufti yang dianggapnya lebih alim
dan adil. xl Akan tetapi, bukan berarti seorang awam mesti harus
selalu merujuk kepada seorang Mujtahid saja. Seorang muqallid sahsah saja mengikuti seorang mujtahid untuk satu kasus, dan mengikuti
mujtahid yang lain untuk kasus yang berbeda. Akan tetapi, seorang
awam tidak diperbolehkan mengikuti pendapat dua orang mujtahid
untuk satu kasus yang sama. Sebab, hukum syara' atas satu
perbuatan harus berjumlah satu dan tidak boleh berbilang. xli
38F

39F

40

Jika seseorang telah berbulat tekad dan mengambil keputusan untuk


mengikuti satu madzhab tertentu, maka ia tidak boleh mengambil
pendapat selain pendapat madzhab yang dipilihnya itu. Namun
demikian, ada pula yang berpendapat diperbolehkan dirinya
mengambil pendapat mujtahid lainnya, sekiranya pendapat mujtahid
lain tersebut lebih kuat dibandingkan pendapat imam madzhabnya. xlii
41

22

BAB III
REALITAS TAQLID

ada dasarnya, taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain


tanpa hujjah yang bersifat mengikat. Oleh karena itu, sisi yang
dipentingkan dalam taqlid adalah mengikuti pendapat orang
lain; tanpa memandang lagi siapa yang melakukan taqlid; apakah
seorang mujtahid atau muqallid. Sebab, seorang mujtahid
diperbolehkan mengikuti pendapat mujtahid lain dalam satu
masalah, meskipun ia sendiri ahli dalam berijtihad. Benar, pada
konteks awalnya, seorang mujtahid jika telah berijtihad hingga
melahirkan sebuah hukum; dia dilarang mengikuti pendapat
Mujtahid lain. Namun, jika ia tidak melakukan ijtihad dalam suatu
masalah maka ia diperbolehkan taqlid kepada mujtahid yang lain. xliii
Dalam kondisi semacam ini, mujtahid tersebut disebut muqallid
dalam satu masalah itu saja. Ini menunjukkan, bahwa suatu pendapat
yang digali oleh seorang mujtahid kadang-kadang diikuti oleh seorang
mujtahid lain, atau diikuti oleh seorang muqallid.
42F

Adapun realitas taqlidnya seorang mujtahid dan muqallid dapat


diperinci sebagai berikut.

23

Fakta "Taqlidnya Seorang Mujtahid"


Seorang mujtahid yang memiliki kemampuan dan keahlian ijtihad
dalam suatu masalah, atau semua hal, jika ia berijtihad hingga
melahirkan suatu hukum syariat; ia tidak boleh bertaqlid kepada
mujtahid lainnya. xliv Ia juga tidak diperbolehkan meninggalkan hasil
ijtihadnya, kecuali karena empat sebab;
43F

a. Ijtihadnya Terbukti Lemah


Terbukti dengan sangat jelas, bahwa dalil-dalil yang dijadikan
sandaran pendapatnya lemah, sedangkan dalil yang
diketengahkan oleh mujtahid lain lebih kuat. Dalam kondisi
semacam ini, seorang mujtahid wajib meninggalkan pendapatnya
dan mengikuti dalil yang lebih kuat. Haram baginya tetap
bersikukuh dengan pendapatnya yang telah terbukti lemah. xlv Ia
tidak boleh menolak untuk mengambil hukum baru yang digali
oleh mujtahid baru, atau hukum yang belum pernah dinyatakan
oleh para mujtahid sebelumnya. Sebab, yang jadi patokan adalah
kekuatan dalilnya, bukan banyaknya orang yang menyatakan
pendapat itu, atau pendapat itu telah dikemukan ulama-ulama
dahulu. Selain itu, berpendapat dan beramal dengan pendapat
yang lebih rajih adalah wajib. Para shahabat ra bersepakat
memilih pendapat yang lebih rajih dalam berbagai masalah
hukum yang bertentangan. Oleh karena itu, kewajiban untuk
berpendapat dan beramal dengan pendapat yang rajih
didasarkan pada ijma' shahabat. Contohnya, para shahabat lebih
memilih khabar dari 'Aisyah ra daripada khabarnya Abu Hurairah,
mengenai masalah puasanya orang junub. Sebab, mereka
memahami, bahwa 'Aisyah lebih memahami Rasulullah saw
daripada Abu Hurairah ra xlvi. Selain itu, betapa banyak ijtihad
para shahabat yang terbukti kelemahannya di masa berikutnya.
4F

45F

24

Jika seorang mujtahid menyadari kelemahan dalilnya, sedangkan


dalil mujtahid lain lebih kuat berdasarkan tarjih yang ia lakukan
terhadap sebagian dalil, maka dalam kondisi semacam ini
mujtahid tersebut adalah seorang muqallid. Sebab, keadaan
mujtahid tersebut seperti halnya seorang muqallid yang
mentarjih atas suatu pendapat. Namun, jika ia menyadari
kelemahan dalilnya dan dalil mujtahid lain jelas-jelas lebih kuat
berdasarkan penelitian dan istinbathnya terhadap dalil, hingga
melahirkan suatu kesimpulan seperti kesimpulan mujtahid
lainnya itu, maka dalam kondisi semacam ini ia bukanlah seorang
muqallid, akan tetapi, ia tetap dianggap seorang mujtahid yang
telah menyadari kesalahan ijtihadnya yang pertama (qaul qadim),
kemudian ia mengadopsi ijtihadnya yang baru (qaul jadid). Hal
semacam ini seringkali dilakukan oleh Imam Syafi'iy ra. xlvii
b. Meyakini Mujtahid Lain Lebih Mumpuni
Jika seorang mujtahid memandang mujtahid lain lebih mumpuni
dan lebih ahli dalam suatu masalah; lebih banyak menguasai
dalil-dalil sam'iyyah, lebih kuat dalam memahami dalil-dalil
syara', dan lain sebagainya. Lalu, ia melakukan tarjih dengan
sebuah keyakinan bahwa mujtahid tersebut lebih dekat dengan
kebenaran dalam masalah tertentu, maka, dalam kondisi
semacam ini, ia boleh meninggalkan pendapatnya, dan mengikuti
pendapat mujtahid lain yang dianggapnya lebih paham dan lebih
menguasai bidang tersebut. Imam al-Sya'biy menuturkan, bahwa
Abu Musa pernah meninggalkan pendapatnya karena mendengar
pendapat Ali ra; Zaid juga meninggalkan pendapatnya dan
mengikuti pendapatnya Ubay bin Ka'ab, 'Abdullah bin Umar
meninggalkan pendapatnya dan mengikuti pendapat Umar bin
Khaththab. Juga dituturkan dalam sebuah hadits, bahwa Abu
Bakar dan Umar meninggalkan pendapatnya, dan mengikuti
pendapat Ali ra. Ini menunjukkan, bahwa seorang mujtahid bisa

25

saja mengikuti pendapat mujtahid lain didasarkan pada


ketsiqahannya (kepercayaannya) kepada mujtahid yang lain itu.
Akan tetapi, hal ini hukumnya hanyalah mubah bagi seorang
mujtahid, dan tidak wajib. xlviii
c. Jika Kepala Negara Telah Melegalisasi Hukum Tertentu
Jika kepala negara memutuskan untuk melegalisasi sebuah
hukum yang digali oleh mujtahid lain. Dalam kondisi semacam
ini, ketetapan kepala negara wajib untuk diikuti dan dilaksanakan
oleh seorang mujtahid, meskipun pendapat tersebut
bertentangan dengan pendapatnya. Ia mesti beramal dengan
pendapat yang dilegalisasi kepala negara, bukan pendapat
dirinya sendiri. Imam al-Amidiy menuturkan, bahwa para 'ulama
telah sepakat mengenai tidak bisa dihapuskannya ketetapan
penguasa
dalam
masalah-masalah
ijtihadiyyah
demi
kemaslahatan hukum. Namun, ketetapan penguasa bisa saja
dihapus jika bertentangan dengan nash-nash qath'iy. Jika
ketetapan penguasa (khalifah) bertentangan dengan dalil-dalil
dzanniy, maka ketetapannya tidak bisa dihapus. xlix
Masih menurut Imam al-Amidiy, para 'ulama telah sepakat
mengenai ketidakbolehan seorang khalifah melegalisasi hukum
yang bertentangan dengan hasil ijtihadnya dan taqlid kepada
mujtahid lain. Dalam kondisi semacam ini ketetapan hukum
khalifah bisa batal. Ini jika khalifah tersebut seorang mujtahid.
Jika seorang khalifah taqlid kepada seorang imam, kemudian ia
mengadopsi hukum yang bertentangan dengan pendapat
imamnya; hal ini harus dilihat dahulu. Jika ia berpendapat boleh
taqlid kepada imam yang lain, maka ketetapannya tidak batal.
Jika ia berpendapat tidak boleh taqlid kepada imam yang lain,
maka keputusannya bisa dihapuskan. l

26

d. Menjaga Kesatuan dan Persatuan Kaum Muslim


Jika dalam kondisi tertentu, kaum Muslim harus berbulat
pendapat demi menjaga kepentingan bersama dan demi utuhnya
persatuan dan kesatuan kaum Muslim, maka seorang mujtahid
bisa saja meninggalkan pendapatnya demi tujuan-tujuan
tersebut. Dalilnya adalah ijma' shahabat ra saat membai'at
'Abdurrahman bin 'Auf. Diriwayatkan, bahwa 'Abdurrahman bin
'Auf setelah bertanya kepada masyarakat baik secara terangterangan maupun rahasia, beliau lantas mengumpulkan
masyarakat di dalam masjid. Ia naik mimbar dan memanjatkan
doa panjang sekali. Setelah itu ia memanggil 'Ali bin Abi Thalib
seraya menggenggam tangannya. 'Abdurrahman bertanya
kepada 'Ali ra, "Apakah anda bersedia membai'atku untuk
memerintah sesuai dengan Kitabullah, Sunnah RasulNya, serta
ijtihadnya Abu Bakar dan Umar? Ali menjawab, "Aku akan
membaitmu atas dasar Kitabullah, Sunnah RasulNya, dan
ijtihadku." 'Abdurrahman bin 'Auf melepaskan tangannya.
Kemudian ia memanggil 'Utsman bin 'Affan, dan bertanya,
"Apakah anda bersedia membai'atku berdasarkan Kitabullah,
Sunnah RasulNya, dan ijtihadnya Abu Bakar dan 'Umar? 'Utsman
menjawab,
"Allaahumma,
bersedia."
'Abdurrahman
mendongakkan kepalanya ke atas masjid, sedangkan tangannya
masih memegang tangan 'Utsman bin 'Affan; dan berkata tiga
kali, "Ya Allah, dengarkanlah dan saksikanlah." Lalu, ia membaiat
'Utsman bin 'Affan, dan seluruh yang ada di masjid membaiat
'Utsman bin 'Affan. li
Dari kisah di atas terlihat dengan jelas, bahwa 'Abdurrahman
telah meminta seorang mujtahid, yakni 'Ali bin Abi Thalib untuk
meninggalkan ijtihadnya dan mengikuti ijtihadnya Abu Bakar dan
Umar ra dalam seluruh masalah. Para shahabat pun menyetujui
tindakan 'Abdurrahman bin 'Auf dan kemudian membaiat

27

'Utsman bin 'Affan. Bahkan, Ali yang menolak untuk


meninggalkan ijtihadnya juga turut membaiat 'Utsman bin 'Affan.
Akan tetapi, ketentuan semacam ini tidaklah wajib bagi seorang
mujtahid. Buktinya, 'Ali ra tidak bersedia meninggalkan
ijtihadnya. Tindakan 'Ali ini juga tidak diingkari oleh satupun
shahabat; ini berarti menunjukkan kemubahan (jaiz), bukan
kewajiban. lii
Inilah beberapa fakta taqlidnya seorang mujtahid kepada mujtahid
lain karena sebab-sebab tertentu.
Namun demikian, jika seorang mujtahid belum berijtihad untuk suatu
masalah, maka ia diperbolehkan taqlid kepada mujtahid lain, dan
tidak melakukan ijtihad dalam masalah itu. Sebab, hukum ijtihad
adalah fardlu kifayah, bukan fardlu 'ain. Jika seorang mujtahid
dihadapkan pada suatu masalah baru, maka ia tidak wajib melakukan
ijtihad dalam masalah tersebut. Akan tetapi, ia boleh saja berijtihad
maupun taqlid kepada mujtahid lain dalam masalah tersebut. Dalam
sebuah riwayat dituturkan, bahwa 'Umar pernah berkata kepada Abu
Bakar, "Lebih baik kami mengikuti pendapat anda." Dituturkan juga,
bahwa Ibnu Mas'ud pernah mengambil pendapat 'Umar bin
Khaththab. Perkara ini telah masyhur dan disaksikan oleh para
shahabat, dan mereka tidak pernah mengingkari perbuatan Umar
maupun Ibnu Ma'sud. Walhasil, bolehnya seorang mujtahid taqlid
kepada mujtahid lain merupakan konsensus para shahabat (ijma'
sukutiy). Sedangkan ijma' shahabat absah digunakan sebagai dalil
syara' liii.

Taqlidnya Seorang Muqallid


Adapun taqlidnya seseorang yang bukan mujtahid, baik muqallid
mutabbi' dan 'amiy dapat dirinci sebagai berikut. Pada dasarnya, jika
seorang muqallid di hadapkan pada satu masalah, ia wajib bertanya

28

kepada orang yang ia ketahui alim dan adil mengenai hukum atas
masalah tersebut liv. Sebab, Allah swt tidak akan menerima ibadah
yang didasarkan pada ketidaktahuan atau kebodohan. Ibadah harus
didasarkan pada ilmu. Allah swt berfirman;
"Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."[al-Baqarah:282].
Maknanya, Allah swt telah mengajarkan segala sesuatu kepada kamu
sekalian. Dengan demikian, ilmu itu sebelum taqwa. Sebab, perintah
untuk bertaqwa kepada Allah hanya akan tercapai jika ia telah diajari
dengan ilmu pengetahuan.
Di sisi yang lain, salah satu syarat agar amal perbuatan seseorang
diterima Allah swt adalah benar (shawab) sesuai dengan tuntunan
syariat Islam. Imam Fudlail bin Iyadl tatkala ditanya tentang ihsaan
al-amal, beliau menyatakan, "Sebuah amal baru bisa dikatakan
sebagai amal yang ihsan, tatkala amal tersebut memenuhi dua
prasyarat. Pertama, ikhlash. Kedua, benar.
Pertama, ikhlash. Ikhlash adalah, berbuat semata-mata mencari ridla
Allah swt. Banyak ayat yang memerintahkan seorang Muslim untuk
berbuat hanya untuk mendapatkan ridlo Allah swt, alias ikhlash.
Diantaranya adalah firman Allah swt, sebagai berikut:









"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka

29

mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian


itulah agama yang lurus". [al-Bayyinah:5]
Rasulullah saw bersabda, artinya, Sesunggguhnya amal itu
tergantung dengan niatnya. [muttafaq alaih].
Kedua, benar. Prasyarat berikutnya adalah benar. Imam Fudlail bin
Iyyadl menyatakan bahwa benar di sini adalah berbuat sesuai
dengan al-Quran dan Sunnah. Allah swt berfirman:



"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.
Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.[alHasyr:7]
Perbuatan seorang muslim tidak akan diterima oleh Allah swt, bila
tidak memenuhi dua prasyarat di atas. Kedua-duanya harus ada
tatkala seseorang mengerjakan sebuah amal. Meskipun seorang
muslim ikhlash dalam beramal, akan tetapi amalnya tersebut tidak
sesuai dengan hukum-hukum Islam, maka amal tersebut tertolak.
Sebaliknya, meskipun amal perbuatannya sesuai dengan al-Quran
dan Sunnah, namun tidak dilandasi dengan keikhlasan kepada Allah,
maka perbuatannya juga tertolak.
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:

30

"Nabi saw bersabda, "Orang yang melakukan penipuan akan


dimasukkan ke dalam api neraka, dan barangsiapa
mengerjakan suatu perbuatan yang tidak diperintahkan
kami, maka perbuatan itu tertolak."[HR. Bukhari]
Di dalam riwayat lain, juga dituturkan:


"Dari 'Aisyah ra, ia berkata, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda," Siapa saja yang membuat-buat perkara baru
dalam urusan kami, padahal urusan itu tidak diperintahkan,
maka perkara itu tertolak." [HR. Bukhari; hadits ini
diriwayatkan oleh 'Abdullah bin Ja'far al-Makhramiy, 'Abdul
Wahid bin Abi Aun, dari Sa'id bin Ibrahim]; dan masih banyak
hadits-hadits lain yang menerangkan masalah ini.
Agar perbuatan memenuhi syarat yang kedua, yakni benar, maka
sudah seharusnya bagi seorang Muslim belajar dan memahami
ketentuan-ketentuan Allah swt (syariat Allah). Tanpa memahami
ketentuan Allah swt, seorang Muslim mustahil bisa berbuat sesuai
dengan tuntunan Allah dan RasulNya. Dari sini bisa disimpulkan,
bahwa memahami syariat Islam yang berhubungan erat dengan amal
perbuatan, adalah aktivitas yang sangat urgen. Tanpa belajar hukum
syariat, kita tidak bisa menilai apakah perbuatan yang kita lakukan
telah sesuai dengan syariat atau belum. Padahal, benar dalam
beramal sesuai dengan tuntunan al-Quran dan Sunnah
merupakan salah satu syarat agar amal kita diterima oleh Allah swt.

31

Zaid bin Zubeir berkata, "Tidaklah diterima suatu perkataan


melainkan diiringi dengan perbuatan, dan tidak akan diterima
perkataan dan amal kecuali dengan niat; dan tidak akan diterima
perkataan, amal, dan niat kecuali sesuai dengan sunnah Nabi saw." lv
Imam Malik pernah berkata, "Sunnah adalah perahu Nabi Nuh.
Barangsiapa yang menumpanginya, maka ia akan selamat, dan
barangsiapa yang tidak menumpanginya akan tenggelam." lvi
Dengan demikian, seorang Muslim wajib memahami hukum syariat
sebelum melaksanakan suatu perbuatan. Sebab, ia diperintahkan
untuk beribadah kepada Allah dengan ilmu dan pengetahuan.
Bagi orang yang tidak bisa menggali hukum syariat langsung dari
dalil-dalil syariat; atau tidak bisa melakukan ijtihad; satu-satunya
jalan untuk memahami hukum syariat adalah bertanya kepada orang
paham syariat. Dengan kata lain, seorang muqallid wajib bertanya
mengenai hukum syariat kepada orang yang paham syariat sebelum
ia melaksanakan suatu perbuatan. Orang-orang awam di masa
shahabat ra tak henti-hentinya meminta fatwa kepada para mujtahid,
dan taqlid kepada mereka dalam masalah hukum syariat. Bahkan,
hampir-hampir mereka hanya bertanya mengenai status hukumnya
saja, tanpa pernah bertanya dalil-dalil yang digunakan istinbath oleh
para mujtahid yang mereka ikuti. Namun, para shahabat tidak pernah
melarang mereka, dan tidak seorangpun shahabat yang mengingkari
praktek demikian. Ini menunjukkan, bahwa taqlidnya orang awam
kepada orang alim telah menjadi ijma para shahabat. lvii

32

Seorang Muqallid Boleh Mengajarkan


Ilmu Yang Ia Ketahui
Seorang muqallid, selain boleh bertanya, atau taqlid terhadap
seorang mujtahid dalam masalah-masalah tertentu, ia juga
diperbolehkan belajar, dan mengajarkan ilmu tersebut kepada orang
lain. Tidak ada larangan baginya untuk mengajarkan hukum syariat
yang telah diketahuinya kepada orang lain. lviii
Jika seorang muqallid telah mengadopsi hukum syariat yang
diistinbathkan oleh seorang mujtahid, menyakini kebenarannya, dan
menjadikannya sebagai hukum syariat atas dirinya, maka ia wajib
beramal sesuai dengan hukum syariat tersebut. Ia dilarang beramal
dengan hukum syariat lain yang diistinbathkan oleh mujtahid lain.
Sebab, hukum syariat bagi dirinya adalah hukum syariat yang telah ia
tetapkan dan ia yakini kebenarannya. Sedangkan hukum syariat yang
berbeda dengan hukum syariat yang diadopsinya, bukanlah hukum
syariat (hukum Allah) bagi dirinya. Oleh karena itu, seorang muqallid
tidak boleh mengajarkan kepada orang lain, hukum syariat yang
berbeda dengan apa yang telah diadopsinya agar orang lain tersebut
beramal dengan pendapat itu. Bahkan, ia tidak boleh menyatakan,
bahwa pendapat tersebut adalah pendapat dirinya. Sebab, hukum
syariat yang tidak ia yakini kebenarannya bukanlah hukum syariat
bagi dirinya. lix Hanya saja, seorang muqallid yang telah mengetahui
suatu hukum, maka ia wajib mengajarkannya kepada orang lain. Ia
boleh mengajarkan apa saja yang ia ketahui kepada orang lain,
namun, ia tidak boleh memerintahkan orang lain untuk beramal
dengan hukum yang tidak diadopsi menjadi pendapatnya. Ia hanya
boleh mengatakan, bahwa hukum ini menurut 'ulama ini adalah
begini, sedangkan yang lain adalah begini; sedangkan menurut saya
yang benar adalah pendapat ulama ini. lx Sebab, jika ia
memerintahkan seseorang beramal dengan hukum yang tidak

33

diadopsinya, sama artinya ia memerintahkan seseorang untuk


beramal tidak dengan syariat Allah atas hak dirinya. lxi
Misalnya, seorang muqallid telah mengadopsi pendapat; nikah tanpa
wali adalah sah. Berarti, hukum syariat bagi dirinya adalah nikah
tanpa wali sah. Tatkala dirinya telah mengadopsi hukum ini, berarti,
ia wajib beramal dengan hukum tersebut, dan tidak boleh beramal
dengan hukum lain; misalnya nikah sah tanpa wali. Ia juga tidak boleh
mengajarkan "hukum nikah tanpa wali tidak sah" kepada orang lain,
agar orang lain itu beramal dengan hukum tersebut. Sebab, "hukum
nikah tanpa wali tidak sah" bukanlah hukum syariat bagi dirinya. Jika
ia menyuruh orang untuk beramal dengan hukum ini, sama artinya ia
menyuruh orang lain untuk berbuat tidak dengan hukum Allah atas
hak dirinya.
Benar, seorang muqallid wajib menyampaikan semua hukum yang ia
ketahui kepada orang lain. Ia dilarang menyembunyikan atau
merahasiakan ilmu kepada orang lain. Dalam satu hadits dituturkan,
bahwa Rasulullah saw bersabda, "



"Siapa saja yang ditanya tentang suatu ilmu yang
diketahuinya, kemudian ia menyembunyikan ilmu tersebut,
maka ia akan diberi tali kendali pada hari kiamat dengan tali
kendali dari api". [HR. Turmidziy]
Kata "ilmu" di sini bersifat umum, mencakup semua ilmu yang ia
ketahui, baik sedikit maupun banyak. Seorang Muslim dilarang
menyembunyikan ilmu yang ia ketahui kepada orang lain.

34

Hanya saja, orang yang belajar kepada pengajar tidak dianggap taqlid
kepada pengajar itu; namun, ia tetap muqallid kepada mujtahid yang
menggali hukum syariat yang diajarkan oleh pengajar tersebut.
Pengajar tersebut hanya berkedudukan sebagai pengajar saja, tidak
lebih. Sebab, taqlid tidak pernah terjadi kecuali kepada seorang
mujtahid. Walaupun pengajar tersebut memiliki kemampuan ilmu
yang luar biasa, bahkan disebut 'ulama, akan tetapi orang yang diajari
tetap tidak boleh taqlid kepada sang pengajar itu. Orang yang diajari
hanya boleh belajar kepada sang pengajar, tapi tidak boleh taqlid
kepadanya. lxii

Ketentuan Seorang Muqallid Di Hadapan


Dua Pendapat
Seorang muqallid tidak boleh memilih begitu saja dua pendapat yang
bertentangan; seperti halnya jika para mujtahid berbeda pendapat
dalam satu masalah. Bila seorang muqallid dihadapkan pada dua
hukum syariat yang berbeda ia diwajibkan untuk mentarjih salah satu
pendapat diantara dua pendapat tersebut. Seorang muqallid tidak
boleh menganggap, bahwa dua hukum syariat yang berbeda itu, jika
dinisbahkan kepada dirinya, adalah satu hukum syariat bagi dirinya;
sehingga ia boleh memilih begitu saja dua pendapat tersebut.
Akibatnya, ia memilih hukum syariat berdasarkan keinginan hawa
nafsunya. Kadang-kadang ia memilih pendapat mujtahid ini, kadangkadang memilih pendapat mujtahid lainnya untuk memenuhi
keinginan-keinginannya yang terus berubah. Jika ia menginginkan
hukum mubah, ia ikuti mujtahid yang mengeluarkan pendapat
mubah. Jika ia ingin hukum haram, ia ikuti mujtahid yang
mengharamkan dan seterusnya lxiii.

35

Padahal, hal semacam ini jelas-jelas dilarang di dalam Islam. Sebab,


Allah swt melarang kaum Muslim berhukum berdasarkan
kepentingan hawa nafsu. Alloah swt berfirman,"
"Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran."[al-Nisaa':135]
Selain itu, hukum syariat bagi seorang Mukmin hanyalah satu, tidak
boleh berbilang. Jika ia telah mengadopsi suatu hukum, maka hukum
tersebut adalah hukum Allah bagi dirinya, sedangkan yang lain,
bukanlah hukum syariat bagi dirinya. Dalam keadaan semacam ini, ia
tidak boleh memilih dan berbuat dengan dua hukum syariat; atau
berhukum dengan syariat yang tidak diadopsinya. lxiv
Jika seorang muqallid dihadapkan pada berbagai pendapat (hukum
syariat) yang dikeluarkan oleh seorang mujtahid, ia wajib melakukan
tarjih hingga menetapi satu hukum syariat. Bagi seorang muqallid,
kedudukan dua orang mujtahid yang mengeluarkan pendapat
(hukum syariat) yang bertentangan, tak ubahnya dengan seorang
mujtahid yang menghadapi dua dalil yang bertentangan. Seperti
halnya seorang mujtahid yang harus mentarjih dua dalil yang
bertentangan tersebut, seorang muqallid juga wajib mentarjih dua
pendapat yang dikeluarkan oleh dua orang mujtahid. Seorang
muqallid dilarang memilih salah satu pendapat diantara pendapatpendapat yang ada menurut kehendak dan hawa nafsunya. Sebab,
jika hal semacam ini diperbolehkan bagi seorang muqallid, tentunya
seorang penguasa atau hakim juga boleh memutuskan suatu perkara
berdasarkan kehendak dan hawa nafsunya. Padahal, hal ini jelas-jelas
bertentangan dengan ijma' shahabat dan nash yang sharih. lxv Allah
swt berfirman, "
"maka, putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah
turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka

36

dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang


kepadamu."[al-Maidah:49]
Atas dasar itu, jika seorang muqallid dihadapkan pada perbedaan dan
perselisihan pendapat antara dua orang mujtahid; ia wajib
mengembalikan perselisihan dan perbedaan pendapat itu kepada
Allah dan RasulNya; yakni merujuk kepada pendapat yang lebih rajih
(kuat). Sesungguhnya, mengembalikan perselisihan dan perbedaan
pendapat kepada Allah swt dan RasulNya akan menjauhkan seorang
muqallid dari mengikuti hawa nafsu dan syahwat. Walhasil, seorang
muqallid wajib melakukan tarjih jika dihadapkan pada dua pendapat
yang bertentangan. Dengan kata lain, ia wajib memilih satu pendapat
berdasarkan kaedah tarjih yang diridloi Allah swt dan RasulNya lxvi.
Sebab, ia tidak mungkin beramal dengan dua hukum yang saling
bertentangan, tanpa melakukan tarjih terlebih dahulu lxvii.
Adapun mengenai cara-cara muqallid melakukan tarjih diterangkan
pada bab berikutnya.

37

BAB IV
TARJIHNYA SEORANG MUQALLID
Tarjihnya Seorang Muqallid

eringkali seorang muqallid harus mentarjih seorang mujtahid


atas mujtahid yang lain, atau satu hukum atas hukum yang lain.
Ini didasarkan kenyataan, bahwa seorang Muslim; baik
mujtahid maupun muqallid, wajib beramal dengan satu hukum saja.
Ia dilarang beramal dengan dua hukum yang bertentangan. Dalam
kondisi semacam ini, seorang seorang Muslim diwajibkan untuk
melakukan tarjih atas pendapat-pendapat yang ada. lxviii
Adapun tarjih yang lazim dilakukan seorang muqallid sebelum
menetapi suatu pendapat --baik tarjih terhadap seorang mujtahid
atas mujtahid lainnya, maupun sebuah hukum syariat atas hukum
syariat yang lain--, adalah a'lamiyyah dan al-fahmu lxix . Qadli alNabhani menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu Mas'ud, bahwasanya
beliau ra pernah ditanya oleh Rasulullah saw, "Wahai 'Abdullah bin
Mas'ud!" Saya menjawab, "Ada apa yang Rasulullah?" Rasulullah
saw melanjutkan, "Tahukan engkau siapakah manusia yang paling
paham? Saya menjawab, "Allah dan RasulNya lebih memahami."

38

Rasulullah saw bersabda, "Manusia yang paling paham adalah orang


yang paling mengerti kebenaran ketika manusia berselisih paham;
meskipun ia sedikit amalnya dan berjalan merayap dengan
pantatnya." lxx.
Atas dasar itu, muqallid harus mentarjih (menguatkan) orang-orang
yang ia ketahui keilmuan dan keadilannya. Ini didasarkan kenyataan,
bahwa keadilan adalah syarat diterimanya kesaksian dari seorang
saksi. lxxi Jika orang yang bersaksi tidak adil, maka kesaksian dan
beritanya harus ditolak. Oleh karena itu, seorang peneliti hadits
hanya akan menerima riwayat-riwayat yang dituturkan oleh perawiperawi yang adil. Begitu pula seorang muqallid, ia mesti mengetahui
bahwa orang yang menyampaikan suatu hukum syariat kepadanya
adalah orang-orang yang keadilannya tidak perlu dipertanyakan.
Seorang muqallid dilarang bertanya atau meminta fatwa dari orangorang fasiq lxxii. Atas dasar itu, keadilan merupakan patokan dasar bagi
seorang muqallid untuk menerima pendapat dari seorang mufti. Jika
orang yang menyampaikan hukum syariat kepadanya adalah orang
yang adil, baik mujtahid maupun seorang mu'allim (pengajar); maka
ia wajib menerima hukum syariat tersebut; sebagaimana wajibnya
seorang Muslim menerima khabar ahad yang shahih lxxiii.
Sedangkan ilmu (al-fahmu) adalah murajih (orang yang dikuatkan).
Misalnya, jika seorang muqallid dihadapkan pada dua pendapat;
misalnya pendapat Imam Syafi'iy dan Imam Maliki, maka, bila dirinya
menyakini bahwa Imam Syafi'iy lebih paham dan lebih benar
pendapatnya dibandingkan Imam Malikiy, ia harus memilih pendapat
Imam Syafi'iy. Ia dilarang beramal dengan pendapat yang
bertentangan dengan pendapat Imam Syafi'iy lxxiv , hanya karena
mengikuti kehendak dan hawa nafsunya. Akan tetapi, seorang
muqallid wajib meninggalkan pendapat imamnya, dan mengikuti
pendapat imam yang lain, jika pendapat imam yang lain itu lebih
kuat, sedangkan pendapat imamnya terbukti lemah.

39

Seorang muqallid tidak harus terikat dengan pendapat madzhab


tertentu dalam semua masalah. Dalam masalah yang berbeda ia
boleh merujuk kepada imam madzhab yang lain. Misalnya, seorang
muqallid merujuk merujuk kepada pendapat imam Malik dalam
masalah puasa, sedangkan untuk masalah zakat merujuk kepada
imam Syafi'iy. Yang tidak diperbolehkan adalah, dalam satu masalah
mengikuti dua pendapat imam madzhab. Contohnya, seorang
muqallid merujuk kepada imam Malik dan Syafi'iy dalam masalah
yang sama, sholat misalnya. lxxv
Walhasil, obyek yang ditarjih dalam taqlid ada dua macam. Pertama,
obyek tarjih yang bersifat umum (murajjih al-'aam); yakni tarjih yang
berkaitan dengan orang yang hendak diikuti oleh seorang muqallid;
misalnya apakah ia hendak memilih Imam Malik atau Imam Syafi'iy.
Kedua, obyek tarjih yang bersifat khusus (murajjih khaash); yakni
tarjih yang berhubungan hukum syariat yang hendak diikutinya.
Kedua obyek yang hendak ditarjih ini, baik umum maupun khusus,
bisa didekati dengan a'lamiyyah. Untuk masalah-masalah dan
kejadian-kejadian yang terjadi di Madinah di era Imam Malik, maka
Imam Malik dianggap lebih memahami daripada Abu Yusuf.
Sedangkan masalah-masalah dan kejadian-kejadian yang terjadi di
Kufah di era Imam Ja'far, maka beliau dianggap lebih memahami
kejadian dan masalah tersebut dibandingkan Imam Ibnu Hanbal. Ini
jika ditinjau dari sisi masalah-masalah maupun kejadian-kejadian
yang terjadi. Adapun bila ditinjau dari sisi orang yang hendak diikuti,
maka semuanya dikembalikan kepada maklumat-maklumat yang
sampai ke telinga seorang muqallid dari seorang mujtahid.
Akan tetapi, a'lamiyyah bukan satu-satunya metode untuk
melakukan tarjih dalam masalah taqlid. Bahkan, a'lamiyyah tidak bisa
disebut sebagai tarjih hakiki (tarjih sebenarnya) jika ditinjau dari sisi
tarjih itu sendiri. A'lamiyyah adalah cara tarjih kepada orang yang
hendak diikuti (ditaqlidi) secara global. Adapun tarjih hakiki (tarjih

40

yang asli atau sebenarnya) adalah tarjih yang dinisbahkan kepada


hukum syariatnya, yakni kekuatan dalil yang menyangga hukum
syariat itu. Namun, karena muqallid tidak mengetahui dan
memahami dalil, tentunya, ia akan mentarjih pendapat dengan
metode a'lamiyyah. lxxvi

Muqallid 'Amiy dan Muqallid Muttabi'


Seorang muqallid, baik 'amiy maupun muttabi', boleh saja mengambil
pendapat dari seorang mujtahid jika telah terbukti bahwa pendapat
tersebut adalah hasil ijtihad; meskipun pembuktiannya berdasarkan
khabar ahad. Jika seorang muqallid menghadapi suatu masalah, dan
ia hanya mengetahui satu pendapat dari seorang mujtahid saja,
sedangkan pendapat-pendapat mujtahid lain dalam masalah itu tidak
ia ketahui; maka ia boleh mengambil hukum dari mujtahid yang ia
ketahui tersebut. lxxvii Sebab, ia hanya dituntut untuk mengetahui
hukum syariat, bukan mengkaji pendapat para mujtahid. Dalam
kondisi semacam ini, ia tidak dituntut untuk melakukan tarjih. Jika
seorang muqallid mengetahui ragam pendapat dari para mujtahid,
dan hendak mengambil salah satu pendapat diantara pendapatpendapat tersebut, maka ia wajib melakukan tarjih. Hanya saja, ia
tidak boleh mengambil salah satu pendapat, atau melakukan tarjih
berdasarkan kehendak hawa nafsunya dan kepentingankepentingannya. Sebab, tujuan diturunkannya syariat adalah agar
manusia tidak berhukum kepada hawa nafsu dan kepentingankepentingannya; sehingga, ia benar-benar beribadah kepada Allah
dengan tulus dan ikhlash. Dengan kata lain, ia harus melakukan tarjih
yang syar'iy, bukan tarjih yang ditujukan untuk memperturutkan
kepentingan dan hawa nafsu. lxxviii
Dari sini bisa dipahami, bahwa tarjih yang dilakukan oleh seorang
muqallid sangatlah beragam, tergantung dari kondisi muqallid itu
sendiri. Benar, a'lamiyyah adalah cara yang lazim digunakan oleh

41

hampir seluruh muqallid untuk mentarjih atau mengikuti suatu


pendapat. Akan tetapi, ada juga cara tarjih yang tidak ditempuh
dengan cara a'lamiyyah.
Biasanya, seorang muqallid 'amiy mengikuti pendapat seorang
mujtahid berdasarkan dua cara.
Pertama, seorang muqallid mengikuti pendapat seorang mujtahid
atau 'ulama berdasarkan kepercayaan dirinya terhadap keilmuan dan
ketaqwaan orang yang diikutinya, seperti kepercayaannya kepada
bapaknya, atau seorang alim ulama. Setelah ia mengetahui keilmuan
dan ketaqwaan orang yang diikutinya, selanjutnya ia taqlid kepada
orang tersebut. Sesungguhnya, tarjih semacam ini tetap bertumpu
pada agama (syariat Islam), bukan bertumpu atau berdasarkan hawa
nafsu.
Kedua, kadang-kadang ada muqallid 'amiy yang mengetahui hukum
syariat dan dalil-dalil mengenai wajibnya belajar fikih, hadits dan
sebagainya. Kemudian, ia mampu membedakan hukum syariat
beserta dalil-dalilnya, mengambil hukum syariat jika didasarkan pada
dalil-dalil syariat, dan ia tidak mengambil hukum syariat yang tidak
disertai dalilnya. Dalam kondisi semacam ini, seorang muqallid 'amiy
tidak boleh mengambil pendapat berdasarkan kepercayaannya
kepada mujtahid, akan tetapi ia harus mengambil hukum syariat
berdasarkan dalil. Dua cara ini lazim dilakukan oleh muqallid 'amiy;
yakni seorang muqallid yang tidak memiliki sebagian pengetahuan
yang lazim digunakan untuk ijtihad. Jika muqallid 'amiy berada dalam
dua kondisi ini telah mengetahui dalil, maka ia wajib meninggalkan
pendapat yang didasarkan pada ketsiqahannya (kepercayaannya)
kepada seorang mujtahid. Ia wajib mengambil pendapat berdasarkan
dalil syariat, bukan berdasarkan kepercayaannya terhadap seorang
mujtahid atau ulama. Oleh karena itu, jika seorang muqallid
menyakini bahwa dalil yang dijadikan sandaran mujtahid yang tidak

42

diikutinya lebih kuat, maka ia wajib meninggalkan pendapatnya dan


mengikuti pendapat mujtahid lain itu. lxxix Namun, jika ia tidak yakin
dengan kekuatan dalil mujtahid yang tidak diikutinya, maka ia tidak
harus meninggalkan pendapatnya, dan mengikuti mujtahid lain itu.
Sebab, ia tidak menemukan dalil yang lebih kuat.
Atas dasar itu, seorang muqallid 'amiy tidak boleh memilih-milih dan
mengikuti banyak madzhab berdasarkan hawa nafsu dengan
keinginannya. Ia tidak bisa dengan mudah mengambil pendapat dari
madzhab-madzhab yang berbeda untuk setiap masalah yang
dihadapinya. Akan tetapi, ia harus melakukan tarjih bila dihadapkan
banyak pendapat dan madzhab. lxxx

43

BAB V
PINDAH MADZHAB
Ijtihad Mujtahid Adalah Hukum Syariat
Bagi Muqallid

ada dasarnya, Allah swt tidak memerintahkan kaum Muslim


untuk mengikuti pendapat seorang mujtahid. Akan tetapi, Dia
hanya memerintahkan kaum Muslim untuk memahami dan
mengambil hukum syariat, bukan yang lain. Allah swt juga
memerintahkan kita untuk mengambil semua ketentuan yang telah
diturunkan kepada Nabi Mohammad saw lxxxi . Allah swt telah
berfirman;
"Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah;
dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat
keras hukumanNya."[al-Hasyr:7]
Berdasarkan ayat ini; seorang Muslim tidak diperbolehkan secara
syar'iy mengikuti seseorang selain Rasulullah saw. Namun demikian,
fakta taqlid telah menjadikan kaum Muslim mengikuti hukum syariat

44

yang digali oleh seorang mujtahid, menjadikannya sebagai imam


mereka; merujuk pendapat-pendapatnya; bahkan menjadikan
mereka sebagai imam madzhab. Semua ini semata-mata dilakukan
karena keterbatasan dan ketidakmampuan mereka dalam menggali
hukum syariat langsung dari dalil-dalil syariat. Akibatnya, kita
mengenal pengikut Imam Syafi'iy (Syafi'iyyah), Imam Abu Hanifah
(Hanafiyah), Imam Malik (Malikiyyah), Imam Ibnu Hanbal
(Hanabilah), Zaidiyyah, dan lain sebagainya. Orang-orang ini,
sesungguhnya bukan mengikuti Imam-imam Madzhab tersebut
maupun pendapat pribadi mereka, akan tetapi, mereka mengikuti
hukum syariat yang digali oleh Imam-imam Madzhab tersebut. Oleh
karena itu, apa yang mereka lakukan itu tetap sah menurut syariat
(syar'iy ); dikarenakan mereka hanya mengikuti hukum syariat.
Adapun jika mereka mengikuti person-person mujtahid tersebut,
bukan mengikuti ijtihadnya (hukum syariat yang digali oleh mujtahid
tersebut), maka perbuatan semacam ini tidak sah menurut syariat
(ghair syar'iy); dan apa yang diikutinya bukan termasuk hukum
syariat. Sebab, ia mengikuti pendapat seseorang yang tidak
bersumber pada perintah dan larangan Allah swt dan RasulNya. lxxxii
Atas dasar itu, seorang muqallid harus memahami; tatkala ia
mengikuti suatu madzhab, sesungguhnya ia hanya mengikuti hukum
syariat yang digali oleh imam Madzhab tersebut, dan bukan
mengikuti pendapat pribadi sang Imam. Sebab, jika ia mengikuti
pendapat pribadi seorang Mujtahid, bukan mengikuti hukum syariat
yang digali oleh Mujhtahid tersebut, berarti ia tidak mengikuti Allah
dan RasulNya, akan tetapi mengikuti manusia. Padahal, perbuatan
semacam ini adalah haram. lxxxiii

45

Seorang Muqallid Tidak Harus Terikat


Dengan Satu Madzhab Saja
Seorang muqallid tidak harus terikat dengan satu madzhab untuk
setiap persoalan yang ia hadapi. Ia boleh saja berpindah ke madzhab
yang lain untuk masalah-masalah yang berbeda. lxxxiv Dalilnya adalah
ijma' shahabat. Kaum awam di masa shahabat, biasa merujuk satu
masalah kepada shahabat satu, dan untuk masalah yang lain merujuk
kepada shahabat yang lain. Ini menunjukkan, bahwa orang awam
boleh saja mengambil pendapat dari satu madzhab untuk satu
masalah, dan mengambil pendapat dari madzhab lain, untuk masalah
yang berbeda. lxxxv

Jika Muqallid Menentukan Salah Satu


Madzhab Tertentu
Apabila seorang muqallid telah menentukan madzhab tertentu,
misalnya madzhab Syafi'iy atau Malikiy; dan berkata, "Saya berada di
atas madzhab Syafi'iy, dan terikat dengan madzhabnya", dalam
masalah ini perlu perincian lebih lanjut. Jika amal yang hendak ia
hukumi dengan pendapat madzhab lain, berhubungan dengan amal
perbuatan yang telah dihukumi dengan pendapat madzhab yang
diikutinya, maka maka dalam kondisi semacam ini ia dilarang
mengikuti pendapat madzhab yang lain. Namun jika amal perbuatan
yang hendak ia hukumi dengan pendapat madzhab yang lain tersebut
tidak berhubungan dengan amal perbuatan yang telah dihukuminya
dengan pendapat madzhabnya, maka ia tidak dilarang mengikuti
pendapat madzhab yang lain lxxxvi.
Oleh karena itu, muqallid semacam ini harus benar-benar
mengetahui syarat-syarat yang membolehkan dirinya untuk merujuk

46

kepada madzhab yang lain. Syaratnya adalah; masalah yang hendak


ia hukumi dengan pendapat madzhab lain tersebut tidak
berhubungan atau terpisah sama sekali dengan masalah
madzhabnya; dan jika ia meninggalkan pendapat madzhabnya; hal itu
tidak mengakibatkan kekacauan dalam hukum syariat. Namun jika
masalahnya saling berhubungan dan berkaitan dengan pendapat
madzhabnya, maka ia dilarang merujuk kepada pendapat madzhab
lain lxxxvii.
Suatu masalah dianggap berkaitan dengan masalah yang lain, jika
masalah tersebut menjadi syarat, atau menjadi rukun kesempurnaan
bagi masalah yang lain. Misalnya, sholat, wudlu, dan rukun-rukun
sholat. Seorang yang bermadzhab Syafi'iy tidak boleh mengikuti
pendapat Abu Hanifah dalam hal batal atau tidaknya wudlu,
sementara itu sholatnya tetap mengikuti pendapat Imam Syafi'iy. Ia
juga tidak boleh mengikuti pendapat yang membolehkan gerakan
lebih tiga kali di dalam sholat; atau pendapat yang mengatakan
bahwa membaca surat al-Fatihah bukan termasuk rukun sholat;
namun tetap mengerjakan sholat dengan bertaqlid kepada ulama
yang melarang gerakan tiga kali dalam sholat, dan berpendapat
bahwa membaca al-Fatihah termasuk rukun sholat. Hukum yang
boleh ditinggalkannya adalah yang tidak memberikan pengaruh bagi
perbuatan-perbuatan yang hendak dihukumi dengan pendapat
lain. lxxxviii

Kapan Seorang Muqallid Meninggalkan


Pendapatnya
Jika seorang muqallid mengadopsi suatu hukum, namun ia belum
menerapkan hukum tersebut dalam amal perbuatannya, maka ia
berhak meninggalkan hukum tersebut dan beramal dengan hukum
lain, berdasarkan kaedah-kaedah tarjih yang ditetapkan oleh syariat

47

Allah swt. Namun, jika mengadopsi suatu hukum, dan langsung


menerapkan hukum tersebut dalam perbuatannya, maka hukum
tersebut menjadi hukum Allah bagi dirinya, dan ia tidak boleh
meninggalkan hukum tersebut dan mengadopsi hukum lain; kecuali
jika hukum yang lain itu ia ketahui beserta dalil-dalilnya, sedangkan
hukum yang pertama tidak diketahui dalilnya; atau jika ia mengetahui
bahwa hukum yang lain tersebut lebih kuat dalilnya dibandingkan
hukum pertama berdasarkan kajian dan pengetahuannya. Dalam dua
kondisi semacam ini --pertama, mengerti dalil hukum dan kedua,
kekuatan dalil-- seorang muqallid wajib meninggalkan pendapatnya,
dan mengikuti pendapat yang lebih kuat dikarenakan kepuasaan
dirinya terhadap dalil hukum yang ia ikuti. Namun, jika ia tidak puas
atau belum qana'ah (setuju) dengan dalil pendapat yang lain, maka ia
tidak diperbolehkan meninggalkan pendapatnya, dan mengikuti
pendapat yang lain lxxxix.

Sikap Seorang Muqallid Jika Mujtahid


Mengubah Pendapatnya
Pada dasarnya, jika seorang mujtahid memfatwakan sebuah hukum
kepada seorang muqallid, misalnya sahnya nikah tanpa wali;
kemudian mujtahid tersebut mengubah ijtihadnya, maka menurut
Imam al-Amidiy, muqallid tadi harus menceraikan isterinya,
disebabkan perubahan ijtihad dari sang mufti. Masih menurut Imam
al-Amidiy, kasus semacam ini sama dengan ketika seorang muqallid
wajib mengubah arah kiblatnya, ketika mufti yang dimintai
pendapatnya mengubah fatwanya dikarenakan sebab-sebab
tertentu; misalnya karena salah menentukan arah kiblat. xc
89

48

Hukum Muqallid Yang Sembrono


Seorang Muqallid yang memilih suatu pendapat berdasarkan
pertimbangan mana yang paling ringan dan paling mudah bagi
dirinya, maka menurut Abu Ishhaq al-Maruziy, muqallid semacam ini
dihukumi fasiq. Sedangkan menurut Ibnu Abu Hurairah, muqallid
semacam tidak sampai jatuh ke derajat fasiq. Imam Ibnu Hanbal
mengatakan, "Seandainya seseorang beramal dengan pendapat
penduduk Kufah dalam masalah al-nabidz (khamer), dan beramal
dengan pendapat penduduk Madinah dalam masalah al-samaa'
(kesaksian), dan beramal dengan pendapat Mekah dalam masalah
mut'ah, maka muqallid semacam ini termasuk orang yang fasiq." xci
Ibnu 'Abd al-Salam mengatakan; jika seorang muqallid mengikuti
pendapat yang jelas-jelas telah masyhur keharamannya secara
syar'iy, maka ia berdosa. Namun, jika pendapat yang ia ikuti tersebut
tidak masyhur keharamannya, maka ia tidak berdosa. xcii
Di dalam Sunan al-Baihaqiy dituturkan dari al-Auza'iy, bahwa siapa
saja yang mengambil pendapat dari 'ulama-ulama yang asing
(nyleneh), maka ia telah keluar dari Islam. xciii

49

BAB VI
IMPLIKASI-IMPLIKASI TAQLID
BAGI KAUM MUSLIM

emunduran dan kelemahan kaum Muslim sejak abad 18 di


seluruh aspek kehidupan, lebih disebabkan karena merosotnya
taraf pemikiran mereka. Mayoritas kaum Muslim awam,
bahkan terasing dengan pemikiran-pemikiran Islam, baik yang
menyangkut masalah keyakinan maupun amal perbuatan. Yang
tersisa di benak dan hati mereka hanyalah kesadaran keIslaman,
serta beberapa pemikiran Islam. Keadaan ini semakin diperparah
dengan masuknya serangan pemikiran dan peradaban (ghazw al-fikr
wa ghazw al-tsaqafiy) yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam.
Akibatnya, warisan berharga yang dimiliki oleh kaum Muslim, yakni
pemikiran Islam tentang kehidupan, mulai ditinggalkan, diabaikan,
dilupakan, dan dimarginalkan oleh kaum Muslim sendiri. Mereka
lebih memahami keyakinan-keyakinan dan pemikiran-pemikiran kafir
barat daripada keyakinan-keyakinan dan pemikiran-pemikiran Islam.
Mereka lebih memahami dan mengerti sistem-sistem kehidupan
barat, yang notabene bertentang dengan Islam, daripada memahami
sistem-sistem kehidupan Islam. Mereka lebih memahami, baik hingga
taraf detailnya, sistem ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya ala

50

kafir barat. Namun, jika mereka diminta untuk menjelaskan sistem


ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya Islam, mereka terlihat
asing, bahkan sedikit mencibir. Padahal, pada saat yang sama mereka
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, kehancuran peradaban
umat manusia akibat diterapkan sistem kehidupan ala barat. Namun,
mengapa mereka tetap belum juga meninggalkan sistem kapitalistiksekuleristik yang menyebabkan kerusakan dan kebinasaan peradaban
umat manusia; dan tidak segera berpaling kembali kepada sistem
Islam yang agung dan mulia.
Namun demikian, nadir dari kaum Muslim masih menyimpan dan
menjaga warisan pemikiran itu hingga sekarang. Mereka juga terus
berusaha dan berjuang untuk menjaga eksistensi dan kesuciannya,
serta menyebarluaskan ke tengah-tengah kaum Muslim. Mereka juga
berusaha dengan keras untuk menampilkan ketinggian dan
keunggulan sistem Islam dibandingkan sistem-sistem yang lain.
Mereka juga terus melakukan serangan-serangan pemikiran dan
peradaban, hingga umat Islam menyadari kembali "betapa
berharganya" pemikiran dan peradaban Islam bagi umat manusia.
Mereka melakukan semua itu didorong oleh sebuah keyakinan,
bahwa umat Islam hanya akan bangkit dengan kebangkitan hakiki
jika pemikiran-pemikiran Islam yang menyeluruh dan sempurna telah
menyatu di dalam hati dan benak mereka. Dengan kata lain, mereka
paham benar, bahwa tugas menegakkan peradaban Islam harus
dimulai dengan menanamkan pemikiran Islam di benak kaum
Muslim, selanjutnya diterapkan secara menyeluruh dalam konteks
pribadi, masyarakat, dan negara. Mereka juga menyakini, bahwa
persoalan yang melanda umat manusia semata-mata dikarenakan
diterapkannya pemikiran dan sistem bukan Islam; dan satu-satunya
cara adalah menyingkirkan sistem ini dan diganti dengan sistem
Islam.

51

Taqlid dan Implikasinya Bagi


Kemunduran Berfikir Umat Islam
Qadliy al-Nabhani menyatakan, bahwa sebab-sebab kemunduran
umat Islam adalah "lemahnya pemahaman umat Islam" terhadap
Islam sendiri (dla'f al-syadiid li fahm al-islaam). Adapun penyebab
lemahnya pemahaman umat Islam terhadap Islam adalah
dipisahkannya potensi Arab dengan Islam. Yang dimaksud dengan
potensi Arab di sini adalah bahasa Arab dan semua hal yang
berhubungan potensi Islam yang sudah melekat dengan orang Arab.
Ini bisa dimengerti karena, bahasa Arab merupakan salah satu syarat
terpenting untuk melakukan proses ijtihad. Sedangkan ijtihad
merupakan unsur dlaruriy bagi kaum Muslim. Jika ijtihad mandeg,
maka proses penggalian hukum untuk menghukumi permasalahanpermasalahan baru juga akan terhenti. Jika keadaan ini dibiarkan
berlangsung, maka respon umat Islam terhadap persoalan-persoalan
baru akan melemah, dan lama-kelamaan mereka akan dengan
mudah menerima dan mengadopsi pemikiran-pemikiran yang berasal
dari luar Islam. Selain itu, penguasaan terhadap bahasa Arab juga
akan menjadi jaminan kualitas ijtihad yang dihasilkan. Untuk itu
penguasaan bahasa Arab, dan adanya proses ijtihad tidak boleh
terhenti hingga akhir zaman.
Hanya saja, ketika di negeri-negeri kaum Muslim diterapkan
kurikulum pendidikan sekuler, maka penguasaan kaum Muslim
terhadap tsaqafah Islam termasuk bahasa Arabyang sangat
dibutuhkan untuk proses ijtihad mulai melemah hingga taraf yang
sangat rendah. Hanya beberapa perguruan tinggi Islam yang masih
mempertahankan sistem pengajaran berbasis pada tsaqafah Islam.
Sayangnya, perguruan-perguruan tinggi tersebut kini tidak bebas juga
dari tekanan asing dan infiltrasi asing.

52

Akibatnya, sebagian besar kaum Muslim lebih suka bertaqlid


mengikuti kepada para 'ulama, dan tidak terpanggil untuk melakukan
ijtihad secara mandiri. Padahal, kualitas ulama dan fatwa-fatwanya
pun sudah mengalami kemerosotan. Ini terlihat dari fatwa-fatwa
yang mereka keluarkan untuk menjawab persoalan-persoalan umat
Islam lebih banyak merujuk kepada kitab-kitab syarah dan hasyiyah.
Tidak jarang juga metodologi penarikan fatwanya tidak sejalan
dengan kaedah-kaedah ijtihad yang benar. Di sisi yang lain,
keperibadian sebagian besar 'ulama sekarang juga mengalami
kemerosotan. Diantara mereka ada yang menjadi tukang fatwa
pemerintah fasik yang menghambakan dirinya kepada penguasapenguasa kafir. Kita juga menyaksikan mereka terlihat asyik masyuk
dengan para penguasa, dan berdiam diri terhadap sistem hukum dan
perundang-undangan kufur yang diterapkan di tengah-tengah umat
Islam. Lebih menyedihkan lagi, ada diantara mereka yang
memfatwakan bahwa sistem sekarang ini sudah final dan tidak perlu
diubah lagi. Mereka mengatakan, bahwa yang terpenting adalah
menerapkan nilai-nilai Islam di tengah budaya kapitalistiksekuleristik. Bahkan, tidak sedikit diantara mereka yang membuat
fatwa untuk memuluskan program-program jahat orang-orang kafir.
Misalnya, fatwa bolehnya mengkonsumsi riba meskipun sedikit;
fatwa nasionalisme Islam, dan lain sebagainya.
Di sisi yang lain, ada sekelompok kaum Muslim dengan alasan
pembaruan dan kebangkitan Islam, mereka melakukan ijtihad secara
serampangan dan asal-asalan. Benar, ijtihad harus tetap ada hingga
hari akhir, akan tetapi ijtihad harus dilakukan dengan tetap
mengindahkan syarat-syarat kelayakan ijtihad. Selain itu, ijtihad
harus dilakukan dengan metodologi yang selamat. Ijtihad terbuka
seluas-luasnya bagi kaum Muslim yang memiliki kelayakan dan
kredibilitas ijtihad, dan ia tertutup bagi kaum Muslim yang tidak
memiliki kelayakan dan kredibilitas ijtihad.

53

Meskipun taqlid diperbolehkan secara syar'iy, akan tetapi program


taqlid tidak layak dijadikan sebuah agenda propaganda yang mesti
disebarkan luaskan di kalangan kaum Muslim. Propaganda yang
mesti dilakukan adalah menyerukan kaum Muslim untuk menguasai
dan memahami hukum-hukum syariat secara mandiri, dan untuk
tetap melakukan ijtihad hingga akhir jaman. Sebab, secara tidak
langsung, taqlid yang tidak disertai dengan kaedah-kaedah yang
benarakan menyebabkan sejumlah masalah yang tidak bisa
dianggap enteng. Implikasi-implikasi negatif dari taqlid dapat
dijabarkan sebagai berikut.
Pertama, kecenderungan munculnya fanatisme kelompok dan
madzhab. Fanatisme kelompok dan madzhab ini tentunya akan
memberikan implikasi serius bagi keutuhan dan persatuan kaum
Muslim. Sebab, tidak jarang pertikaian dan permusuhan diantara
kaum Muslim disebabkan karena fanatisme kelompok dan madzab.
Selain itu, fanatisme kelompok dan madzhab ini juga akan
dimanfaatkan oleh orang-orang kafir sebagai celah untuk mengadu
domba kaum Muslim dan menghancurkan sendi ukhuwah Islamiyyah.
Kedua, acuan-acuan dalam mengambil dan menilai suatu pendapat
mulai tergeser. Kebanyakan muqallid dikarenakan keawaman
mereka terhadap tsaqafah Islamlebih menyandarkan kepada
person-person yang memberikan fatwa, bukan kualitas dari fatwa itu
sendiri. Mereka tidak lagi bisa membedakan mana fatwa yang
menyimpang, dan mana fatwa yang sejalan dengan al-Quran dan
Sunnah. Dengan dalih taqlid, mereka memilih-milih pendapat sesuka
hatinya. Untuk melihat kebenaran suatu pendapat mereka
menggunakan acuan, fatwa ini dikeluarkan pemerintah atau tidak.
Jika dikeluarkan pemerintah, pasti benarnya, dan ia harus
mengikutinya. Sebaliknya, ia akan menolak fatwa yang dikeluarkan
oleh ulama-ulama non pemerintah. Kadang-kadang ada sebagian
mereka yang menggunakan acuan organisasi tempat mereka

54

bernaung. Jika organisasinya mengeluarkan fatwa, dan bertentangan


dengan fatwa di luar organisasinya, mereka akan mengambil fatwa
yang berasal dari organisasinya. Padahal, bisa jadi fatwa
organisasinya benar-benar telah menyimpang dari Islam. Ini
menunjukkan, bahwa taqlid yang tidak didasarkan pengetehuan-bisa menggeser acuan kebenaran yang diakui di dalam Islam, menuju
acuan-acuan yang tidak Islamiy.
Ketiga, taqlid juga bisa menyebabkan keengganan atau merosotnya
motivasi untuk melakukan ijtihad. Padahal, ijtihad merupakan
jantung kehidupan bagi kaum Muslim. Sebab, masalah-masalah baru
harus segera direspon dan diberi status hukum. Jika motivasi ijtihad
lemah, maka kaum Muslim juga akan kehilangan motivasi untuk
memperdalam tsaqafah Islam. Jika penguasaan tsaqafah Islam lemah,
tentunya kualitas ijtihadnya juga rendah dan merosot.
Inilah beberapa implikasi negatif akibat adanya taqlid yang tidak
sesuai dengan tuntunan Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak
boleh terjebak dengan seruan "tertutupnya pintu ijtihad". Umat
Islam mesti bangkit, dan melengkapi dirinya dengan tsaqafah Islam
hingga dirinya mampu mengenali mana pendapat yang menyimpang
dan mana pendapat yang tidak menyimpang. Syukur-syukur jika
mereka mampu meningkatkan kemampuannya hingga meraih
derajat mujtahid.

55

BAB VII
TARJIH DAN KETENTUANNYA
Definisi Tarjih

ecara literal, tarjih adalah bentukan dari kata "rajaha" yang


artinya al-mizaan yarjuhu --bisa juga dibaca yarjahu-- (lebih
berat hingga miring ke salah satu sisinya).xciv Adapun makna
tarjih adalah itsbaat al-fadll fi ahad jaanibaiy al-mutaqaabilain au
ja'ala al-syai' raajihan (menetapkan salah satu yang lebih utama
(kuat) diantara dua perkara yang bertentangan atau menjadikan
perkara itu lebih kuat). xcv Menurut Imam al-Amidiy, tarjih bermakna
iqtiraan ahad al-shaalihain li dalaalat 'ala al-mathluub, ma'a
ta'arudlihimaa bimaa yuujibu al-'amal bihi wa ihmaal alaakhir."[memilih (membandingkan) salah satu hal yang shalih (baik)
agar diketahui salah satu perkara yang dituntut, beserta
pertentangan keduanya yang meniscayakan untuk beramal dengan
salah satunya dan mengabaikan yang lain." xcvi
Menurut Imam Syaukani, secara istilah, tarjih memiliki makna,
"iqtiraan al-imaarah bima taqwiy bihaa 'ala mu'aridlatihaa (memilih
(membandingkan) satu imarah (indikasi) yang bisa menguatkan

56

dirinya atas pertentangan keduanya). Dalam kitab al-Mahshuul


dituturkan, bahwa tarjih adalah menguatkan salah satu sisi atas sisi
yang lain, hingga diketahui bahwa salah satu sisi itu lebih kuat
dibandingkan sisi yang lain; lalu ia beramal dengan hukum yang
terkuat itu dan meninggalkan yang lainya xcvii.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa tarjih adalah
menetapkan hukum yang lebih kuat diantara dua hukum yang saling
bertentangan. Setelah diketahui hukum yang lebih kuat (rajih);
seorang Muslim dituntut untuk berbuat dengan hukum tersebut, dan
meninggalkan hukum yang ia lemahkan (al-marjuh).

Beramal Dengan Dalil Yang Rajih


Pada dasarnya, seorang Muslim wajib beramal dengan dalil yang
rajih. xcviii Ijma' shahabat ra telah menunjukkan dengan jelas, bahwa
beramal dengan dalil yang rajih dan meninggalkan dalil yang lemah
adalah kewajiban. Para shahabat ra lebih menguatkan hadits yang
diriwayatkan oleh 'Aisyah dibandingkan dengan khabar yang
dituturkan oleh Abu Sa'id al-Khudriy mengenai masalah orang yang
bersetubuh tetapi tidak keluar air mani; apakah ia wajib mandi atau
tidak. Berdasarkan riwayat Abu Sa'id, seorang yang bersetubuh tetapi
tidak keluar air maninya, maka ia tidak wajib mandi. Namun, riwayat
ini bertentangan dengan hadits Aisyah ra yang menuturkan bahwa
Rasulullah saw tetap mandi junub, meskipun tidak keluar air
maninya. 'Aisyah menuturkan, "Jika dua kemaluan bertemu maka
wajib mandi junub. Sesungguhnya aku melakukan hal itu dengan
Rasulullah saw, dan kami berdua mandi." Para shahabat lebih
mengutamakan riwayat Aisyah ra, dikarenakan beliau ra lebih
memahami masalah tersebut dibandingkan Abu Sa'id ra. Para
shahabat juga melemahkan riwayat Abu Hurairah yang menuturkan
tidak sahnya puasa dalam keadaan junub. Abu Hurairah
meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Siapa

57

saja bangun di waktu Shubuh dalam keadaan junub, maka tidak ada
puasa bagi dirinya." Para shahabat ra melemahkan riwayat ini dan
beramal dengan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. xcix Ali ra
juga lebih menguatkan khabarnya Abu Bakar ra, dan beliau tidak
pernah meminta Abu Bakar untuk bersumpah. Akan tetapi ia
meminta sumpah kepada selain Abu Bakar ra. Abu Bakar juga
menguatkan khabarnya al-Mughirah dalam masalah harta warisan
seorang nenek, yang juga disaksikan oleh Mohammad bin Maslamah.
Al-Hafidz al-Dzahabiy berkata, "Abu Bakar ra adalah orang berhatihati dalam menerima khabar. Ibnu Syihab meriwayatkan dari
Qubaishah bin Dzuaib bahwa seorang nenek datang kepada Abu
Bakar untuk menanyakan harta warisan untuk dirinya. Abu Bakar
menjawab, "Di dalam al-Quran saya tidak menemukan sesuatu untuk
dirimu, dan saya tidak mengetahui Rasulullah saw menyebut sesuatu
untuk dirimu. Kemudian, Abu Bakar bertanya kepada para shahabat
yang lain. Al-Mughirah berdiri dan berkata, "Saya mendengar
Rasulullah saw berkata, bahwa ia memberikan seperenam bagian
untuknya." Abu Bakar bertanya kepadanya, "Adakah orang lain yang
menyaksikan sabda Rasulullah saw tersebut? Setelah Maslamah bin
Mohammad memberikan kesaksian tentang hal itu, Abu Bakar
memberikan waris nenek itu berdasarkan sabda Rasulullah saw itu." c
'Umar juga menguatkan khabarnya Abu Musa al-Asy'ariy dalam
masalah ijin. ci
Para shahabat ra tidak pernah memutuskan suatu perkara dengan
pendapat dan qiyas kecuali setelah melakukan kajian terhadap nashnash syara', dan tidak menemukan ketetapan di dalamnya. Siapa saja
yang mengkaji secara mendalam perilaku mereka, dan realitas ijtihad
mereka, akan berkesimpulan bahwa para shahabat telah mewajibkan
beramal dengan dalil yang paling rajih.

58

Selain ijma' shahabat dalil yang mewajibkan beramal dengan dalil


yang rajih adalah sunnah Nabi saw. Tatkala beliau saw mengutus
Mu'adz bin Jabal ke Yaman, beliau menetapkan urut-urutan dalil
serta pengutamaan satu dalil atas dalil yang lain. cii
Imam al-Zarkasyiy dalam al-Bahr mengatakan, "Ketahuilah, Allah swt
tidak menetapkan seluruh hukum syariat di atas dalil-dalil qath'iy.
Akan tetapi Dia banyak menetapkannya berdasarkan dalil dzanniy,
dengan tujuan untuk memberikan keluasan kepada mukallaf. Ini
ditujukan agar mereka tidak hanya mengikuti satu madzhab saja
untuk melaksanakan dalil-dalil yang qath'iy. Jika telah ditetapkan,
bahwa yang diakui di dalam hukum-hukum syariat adalah dalil-dalil
dzanniy, dimana kadang-kadang diantara dalil-dalil tersebut ada
pertentangan pada aspek tampak (tekstual) dan tersembunyi
(kontekstual); maka wajib dilakukan tarjih diantara dua dalil yang
bertentangan tersebut; dan wajib beramal dengan dalil yang lebih
kuat." ciii

Hakekat Pertentangan dan Mendahulukan


Kompromi
Pertentangan (al-ta'aarudl) adalah al-tanaaqud (pertentangan). Jika
pertentangan terdapat pada dua buah khabar (berita), maka salah
satunya pasti dusta, padahal Allah swt dan RasulNya mustahil
melakukan kedustaan. Jika pertentangan terjadi pada dua hukum,
perintah atau larangan, haram atau mubah, maka kedua hukum
tersebut mustahil untuk dikompromikan. Bisa jadi, salah satu hukum
tersebut dusta, atau salah satu hukum tersebut datang terakhir dan
menghapuskan hukum sebelumnya. civ
Hanya saja, tatkala dua buah dalil terlihat saling bertentangan, maka
pertentangan itu tidak boleh serta merta diselamatkan dengan

59

dengan jalan mentarjih salah satu dalil di atas dalil yang lain, kecuali
jika beramal dengan dua dalil tersebut benar-benar tidak
dimungkinkan lagi. Jika masih mungkin mengamalkan dua buah dalil
itu, maka hal itu lebih utama. Sebab, mengamalkan dua dalil lebih
baik dan utama, dibandingkan mengabaikan atau menelantarkan
salah satu dalil secara menyeluruh. Ini didasarkan pada kenyataan,
bahwa asal dari adanya dalil adalah untuk diamalkan, bukan untuk
diabaikan atau ditelantarkan. Akan tetapi, beramal dengan dua dalil
tidak boleh didasarkan pada upaya untuk mencari-cari dalih semata,
akan tetapi harus tetap didasarkan pada makna yang ditunjukkan
oleh nash. cv
Misalnya, jika Nabi saw bersabda, "Sholat itu adalah kewajiban bagi
umatku; Sholat itu bukan kewajiban bagi umatku", maka sabda
pertama harus dipahami sholat bagi para mukallaf, sedangkan sabda
kedua pada konteks anak kecil, orang gila, dan orang-orang yang
berada dalam keadaan lemah atau tidak mampu; atau waktunya
belum masuk waktu sholat. Jika kita tidak mungkin
mengkompromikan keduanya, dan kita juga tidak mengetahui mana
hadits yang lebih dahulu turun, dan mana yang terakhir turun, maka
kita harus mentarjih salah satu dalil tersebut, dan memilih dalil yang
lebih kuat. cvi
Untuk itu, terlebih dahulu harus diupayakan untuk mengamalkan dua
dalil tersebut dengan jalan kompromi yang memungkinkan. Namun
jika upaya mengamalkan kedua dalil tersebut tidak dimungkinkan
lagi; langkah yang mesti dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Jika dua dalil tersebut sama-sama kuat dan sama-sama
mengandung makna umum, namun diketahui mana dalil yang
turun terakhir dan mana yang terlebih dahulu turun; maka dalil
yang terakhir turun telah menghapus dalil yang lebih awal turun.
Dengan kata lain, dalil yang terakhir turun telah menghapus

60

2.

3.

4.

5.

ketentuan hukum sebelumnya. Ketentuan ini tidak memandang


apakah kedua dalil tersebut dzanniy maupun qath'iy; berasal dari
al-Quran atau sunnah. Namun demikian, sunnah tidak bisa
menghapus ketentuan al-Quran, walaupun sunnah mutawatir. cvii
Jika waktu turunnya tidak diketahui, maka kedua dalil tersebut
adalah dzanniy, sebab tidak mungkin terjadi pertentangan
diantara dua dalil qath'iy cviii . Jika dalil-dalil tersebut bersifat
dzanniy, maka wajib dilakukan tarjih, hingga diketahui dalil yang
lebih kuat. cix
Adapun yang dimaksud dengan kekuatan dalil adalah kekuatan
dalil dari sisi (1) urut-urutan kekuatannya, (2) dan dari sisi
tingkatan kredibilitas dalil dalam proses istidlal pada setiap jenis
dalil-dalil dzanniy. Sesungguhnya dalil dzanniy ada dua macam,
pertama sunnah, dan kedua, qiyas. Masing-masing dalil ini
memiliki "tingkat kredibilitas" tersendiri di dalam proses tarjih.
Dari sisi urut-urutan kekuatan dalil; al-Quran lebih kuat
dibandingkan dengan sunnah, meskipun mutawatir. Sunnah
mutawatir lebih kuat daripada ijma'. Ijma' yang diriwayatkan
secara mutawatir lebih kuat daripada hadits ahad. Khabar ahad
lebih kuat dibandingkan dengan qiyas jika 'illatnya didapatkan
dengan cara dilalah, istinbath, atau qiyas. Jika 'illatnya
didapatkan dengan cara shurahah (jelas), maka urutan
kekuatannya tergantung dari dalil yang menjadi sandaran 'illat
tersebut. Jika 'illatnya diambil dari al-Quran, maka hukumnya
mengikuti hukum al-Quran. Jika 'illatnya diambil dari sunnah,
maka hukumnya mengikuti hukum sunnah. Jika 'illatnya diambil
dari ijma', maka hukumnya mengikuti hukum ijma'. cx
Dari sisi tingkat kredibilitas dalil dalam proses istinbath; dapat
dirinci sebagai berikut;
a. Yang dimaksud dengan kekuatan dalil jika dinisbahkan
kepada sunnah adalah kekuatan dari sisi sanad, matan, dan
makna (madlul).

61

b. Kekuatan dalil sunnah dari sisi sanad dapat diringkas


sebagai berikut;
(1) Kekuatan sanad yang disandarkan pada kekuatan
perawinya. Perawi langsung lebih kuat dibandingkan
perawi tidak langsung. Sebab, perawi langsung lebih
memahami apa yang diriwayatkannya daripada perawi
yang tidak secara langsung terlibat dalam masalah
tersebut. Misalnya, riwayat Abu Rafi' yang menyatakan,
bahwa Nabi saw menikahi Maimunah saat beliau saw
bertahallul; lebih kuat dibandingkan riwayat Ibnu 'Abbas
ra yang menuturkan bahwa Rasulullah saw menikahi
Maimunah saat ihram. Sebab, Abu Rafi' ra menjadi safir
(mediator) diantara keduanya, sekaligus menjadi
penerima nikahnya Maimunah dari Rasulullah saw. cxi
Atas dasar itu, hadits yang diriwayatkan oleh perawi
yang lebih paham (faqih) harus lebih dikuatkan
dibanding dengan perawi yang tidak paham (faqih) cxii.
Perawi yang meriwayatkan hadits berdasarkan hafalan
lebih dikuatkan daripada perawi yang meriwayatkan
hadits melalui tulisan. Sebab, hafalan lebih terhindar
dari kesamaran (syubhat), dibandingkan dengan
tulisan cxiii . Hadits yang diriwayatkan secara masyhur
lebih dikuatkan dibandingkan hadits yang tidak
masyhur. cxiv
(2) Kekuatan sanad yang disandarkan kepada kekuatan
riwayat itu sendiri. Khabar mutawatir lebih dikuatkan
dibandingkan dengan khabar ahad cxv. Khabar musnad
lebih diunggulkan dibandingkan khabar mursal. Sebab,
khabar musnad seluruh jatidiri perawinya diketahui,
sedangkan khabar mursal ada perawi yang tidak
diketahui jatidirinya. cxvi
(3) Kekuatan sanad yang disandarkan pada waktu
periwayatan. Perawi hadits yang meriwayatkan hadits

62

ketika telah baligh, lebih dikuatkan daripada perawi


yang meriwayatkan hadits ketika belum baligh. cxvii
(4) Kekuatan sanad yang disandarkan pada cara
periwayatan.
Hadits
yang
telah
disepakati
kemarfu'annya lebih dikuatkan daripada hadits yang
masih diperselisihkan kemarfu'annya. cxviii Hadits yang
dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah saw lebih
dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil
makna. cxix
(5) Kekuatan sanad yang disandarkan pada waktu
diturunkannya sebuah hadits (khabar). Hadits yang
bersifat muthlaq tanpa tarikh atau disebutkan
sejarahnya lebih dikuatkan dibandingkan hadits yang
bertarikh lebih awal. Sebab, hadits muthlaq yang tidak
disebutkan tarikhnya disamakan dengan hadits yang
tarikhnya belakangan cxx. Hadits yang diriwayatkan pada
akhir-akhir masa kehidupan Rasulullah saw lebih
dikuatkan. Demikian pula hadits yang diriwayatkan pada
saat menjelang wafatnya Rasulullah lebih dikuatkan
daripada khabar muthlaq. cxxi
c. Kekuatan khabar dari sisi matan (redaksi) dapat dirinci
sebagai berikut:
(1) Jika salah satu khabar berisikan perintah, sedangkan
yang lain berisikan larangan, maka larangan lebih
dikuatkan daripada perintah. Sebab, kebanyakan
larangan ditujukan untuk menghindari mafsadat
(kerusakan), sedangkan kebanyakan perintah ditujukan
untuk mewujudkan suatu mashlahat. Menolak mafsadat
mesti didahulukan daripada mengambil mashlahat;
"Dar`u al-mafaasid muqaddam 'ala jalb alMashaalih". cxxii
(2) Kadang kala suatu khabar mengandung perintah,
sedangkan yang lain memubahkan (membolehkan).

63

(3)

(4)

(5)

(6)

Dalam kondisi semacam ini, khabar yang memubahkan


lebih diunggulkan dibandingkan yang mengandung
perintah. Sebab, khabar yang memubahkan akan
mengalihkan tuntutan atau perintah ke arah
kemubahan. Sedangkan beramal dengan khabar yang
berisikan perintah pasti akan menelantarkan secara
menyeluruh dalil yang memubahkan. Padahal,
mengamalkan dua dalil itu lebih utama daripada
mengabaikan atau menelantarkan salah satu dalil. cxxiii
Kadang-kadang salah satu khabar tersebut mengandung
perintah sedangkan yang lain mengandung informasi
belaka (khabar). Dalam kondisi semacam ini, khabar
harus dikuatkan daripada perintah. Sebab, dilalah yang
ditunjukkan oleh khabar lebih kuat dibandingkan
perintah. Oleh karena itu, khabar tidak bisa dinasakh,
sedangkan perintah boleh dinasakh (dihapus). cxxiv
Khabar yang pertama berisikan larangan, sedangkan
yang kedua berisikan kemubahan. Khabar yang
memubahkan harus dikuatkan dibandingkan khabar
yang melarang; sebagaimana sebab dikuatkannya
kemubahan atas perintah. cxxv
Khabar yang pertama berisikan larangan, sedangkan
yang kedua hanya mengandung khabar (informasi)
belaka. Khabar harus dikuatkan dibandingkan
perintah. cxxvi
Kekuatan matan yang disandarkan kepada lafadz
khabar. Khabar yang lafadznya menunjukkan pengertian
hakiki (hakekat) harus dikuatkan daripada khabar yang
menunjukkan pengertian majaz cxxvii . Lafadz yang
mengandung hakekat syar'iyyah, harus dikuatkan
dibandingkan lafadz yang mengandung hakekat
lughawiyyah (pengertian bahasa) dan hakekat 'urfiyyah
(pengertian kebiasaan). Sebab, Nabi saw diutus untuk

64

menyampaikan dan menjelaskan syariat. Khabar yang


mengandung 'illat hukum lebih dikuatkan daripada
khabar yang tidak mengandung 'illat hukum. Sebab,
khabar yang mengandung 'illat lebih kuat ditinjau dari
sisi tasyri'iy (pensyari'atan) cxxviii.
d. Kekuatan khabar ditinjau dari madlul (makna) dapat diringkas
sebagai berikut:
(1) Jika salah satu khabar menunjukkan kemudahan,
sedangkan yang lain menunjukkan kesukaran; maka,
khabar yang maknanya menunjukkan kemudahan lebih
dikuatkan dibandingkan khabar yang maknanya
memberatkan atau menyukarkan. Ketentuan semacam
ini didasarkan pada firman Allah swt, "Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu."[al-Baqarah:185]; dan
juga firman Allah swt, "Dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan."[al-Hajj:78] cxxix
(2) Jika salah khabar menunjukkan pengharaman
sedangkan yang lain menunjukkan kemubahan; maka
khabar yang maknanya menunjukkan pengharaman
lebih dikuatkan dibandingkan khabar yang maknanya
menunjukkan kemubahan. Hal semacam ini ditentukan
berdasarkan sabda Rasulullah saw, "Jika yang haram
berkumpul dengan yang halal, maka yang haram
dimenangkan atas yang halal." Juga didasarkan pada
sabda Rasulullah saw, "Tinggalkanlah yang meragukanmu menuju kepada yang tidak meragukanmu." cxxx
(3) Jika salah satu khabar menunjukkan pengharaman
sedangkan yang lain menunjukkan kewajiban, maka
khabar yang menunjukkan pengharaman lebih
dikuatkan daripada yang menunjukkan kewajiban.
Sebab, kebanyakan pengharaman ditujukan untuk

65

menghindari mafsadat, sedangkan kewajiban ditujukan


untuk meraih manfaat. Padahal, menghindari mafsadat
lebih diutamakan daripada meraih maslahat. cxxxi
(4) Jika salah satu khabar menunjukkan kewajiban,
sedangkan yang lain menunjukkan kemubahan, maka
khabar yang menunjukkan kewajiban lebih dikuatkan
daripada yang menunjukkan kemubahan. Sebab,
meninggalkan kewajiban bisa menjatuhkan pelakunya
ke dalam dosa, sedangkan meninggalkan kemubahan
tidak menjatuhkan pelakunya ke dalam dosa. Menjauhi
dosa lebih diutamakan daripada perbuatan yang tidak
memberikan implikasi apapun. cxxxii
Ini adalah kekuatan dalil jika dinisbahkan kepada dalil sunnah.
Adapun kekuatan dalil jika dinisbahkan kepada qiyas dapat diringkas
sebagai berikut;
(1) Qiyas yang disandarkan kepada 'illat yang diambil dari nash-nash
qath'iy lebih dikuatkan daripada 'illat yang diambil dari nash-nash
yang tidak qath'iy. cxxxiii
(2) Qiyas yang disandarkan kepada 'illat shurahah (jelas), lebih
dikuatkan daripada qiyas yang didasarkan pada 'illat dalalah,
istinbath, dan qiyas. Qiyas yang didasarkan pada 'illat dalalah,
lebih dikuatkan daripada 'illat istinbat. Qiyas yang didasarkan
pada 'illat istinbath lebih dikuatkan daripada yang didasarkan
pada 'illat qiyas cxxxiv.
Atas dasar itu, kekuatan qiyas tergantung dari dua faktor; (1) dalil
yang membangun 'illat; dan (2) 'illat itu sendiri.
Inilah beberapa kaedah dasar yang mesti dimengerti sebelum
melakukan tarjih terhadap dalil. Hanya saja, tarjih hanya mungkin
dilakukan oleh muttabi', atau oleh seorang mujtahid. Oleh karena itu,

66

jika seorang muttabi' dan mujtahid dihadapkan pada dua dalil yang
saling bertentangan, maka keduanya wajib melakukan tarjih, hingga
diketahui dalil yang paling kuat. Jika dalil yang paling kuat berhasil
didentifikasi, maka mengamalkan dalil yang terkuat adalah wajib.

67

BAB VIII
MEMAHAMI IJTIHAD
Definisi Ijtihad

ecara literal, kata ijtihaad merupakan bentuk pecah dari kata


jaahada, yang artinya badzlu al-wusiy (mencurahkan
segenap kemampuan) cxxxv.

Menurut Imam al-Amidiy, secara literal kata ijtihad


bermakna,Istafraagh al-wusiy fi tahqiiq amr min al-umuur
mustalzim li al-kalafat wa al-musyaqqaq (mencurahkan seluruh
kemampuan dalam mentahqiq (meneliti dan mengkaji) suatu perkara
yang meniscayakan adanya kesukaran dan kesulitan) cxxxvi.
Imam Syaukaniy berpendapat, bahwa kata ijtihad diambil dari kata
al-juhd yang bermakna al-musyaqqah wa al-thaqah (kesukaran dan
kemampuan).
Ijtihad
digunakan
secara
khusus
untuk
menggambarkan sesuatu yang membawa konsekuensi kesulitan dan
kesukaran (kemampuan paling optimal). Sedangkan suatu usaha yang
tidak sampai pada taraf kesukaran dan kesulitan (musyaqqah) tidak
dinamakan dengan ijtihad. Dalam kitab al-Mahshuul disebutkan,

68

secara literal ijtihad bermakna istafraagh al-wusiy fi ayy fili


(mencurahkan segenap kemampuan pada setiap perbuatan). Untuk
itu, kata istafraagh al-wusiy hanya digunakan pada seseorang yang
membawa beban yang sangat berat, tidak bagi orang yang membawa
beban yang ringan. cxxxvii
Di kalangan ulama ushul, ijtihad diistilahkan dengan istafraagh alwusiy fi thalab al-dzann bi syaii min ahkaam al-syariyyah ala wajh
min al-nafs al-ajziy an al-maziid fiih; yakni mencurahkan seluruh
kemampuan untuk menggali hukum-hukum syara dari dalil-dalil
dzanniy, hingga batas dirinya merasa tidak mampu melakukan usaha
lebih dari apa yang telah dicurahkannya. cxxxviii
Berdasarkan definisi di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa iijtihad
adalah proses menggali hukum syara dari dalil-dalil yang bersifat
dzanniy dengan mencurahkan segenap tenaga dan kemampuan,
hingga dirinya tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari itu.
Walhasil, suatu aktivitas diakui sebagai ijtihad jika memenuhi tiga
point berikut ini.
Pertama, ijtihad hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat dzanniy.
Menurut al-Amidiy, hukum-hukum yang sudah qathiy tidak digali
berdasarkan proses ijtihad. Sebab hukum yang terkandung di dalam
nash-nash yang qath'iy (dilalahnya) sudah sangat jelas, dan tidak
membutuhkan interpretasi lain. Sebab, tidak ada pertentangan atau
multi interpretasi pada nash-nash yang qath'iy. Oleh karena itu,
ijtihad tidak berhubungan atau melibatkan dalil-dalil yang bersifat
qathiy, akan tetapi hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat
dzanniy. Atas dasar itu, ijtihad tidak berlaku pada perkara-perkara
aqidah, maupun hukum-hukum syara yang dilalahnya qathiy;
misalnya wajibnya potong tangan bagi pencuri, had bagi pezina,
bunuh bagi orang-orang yang murtad, dan lain sebagainya.

69

Kedua, ijtihad adalah proses menggali hukum syara, bukan proses


untuk menggali hal-hal yang bisa dipahami oleh akal secara langsung
(maqulaat), maupun perkara-perkara yang bisa diindera (almahsuusaat). Penelitian dan uji coba di dalam laboratorium hingga
menghasilkan sebuah teorema maupun hipotesa tidak disebut
dengan ijtihad.
Ketiga, ijtihad harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan
mengerahkan puncak tenaga dan kemampuan, hingga taraf ia tidak
mungkin melakukan usaha lebih dari apa yang telah dilakukannya.
Seseorang tidak disebut sedang melakukan ijtihad, jika ia hanya
mencurahkan sebagian kemampuan dan tenaganya, padahal, ia
masih mampu melakukan upaya lebih dari yang telah ia lakukan. cxxxix
Ijtihad berbeda dengan tarjih maupun baths al-masaail. Sebab,
tarjiih adalah aktivitas untuk meneliti, mengkaji, dan menetapkan
mana pendapat yang paling rajih (kuat) diantara pendapat-pendapat
yang ada. Sedangkan baths al-masaail tidak ada ubahnya dengan
tarjih, meskipun kadang-kadang juga dilakukan pembahasanpembahasan hukum-hukum tertentu berdasarkan kaedah-kaedah
ijtihad. Akan tetapi aktivitas semacam ini dilakukan secara
berkelompok, bukan individual. Padahal, ijtihaad adalah aktivitas
individual, bukan aktivitas kelompok. Selain itu, tarjih hanyalah salah
satu bagian dari proses ijtihad. Tarjih bukan satu-satunya proses yang
ada di dalam ijtihad, atau identik dengan ijtihad itu sendiri.
Hanya saja, kadang-kadang seseorang hanya mampu melakukan
ijtihad dalam masalah-masalah tertentu belaka, namun dalam
masalah yang lain ia tidak mampu melakukan ijtihad di dalamnya. cxl
Dari sini kita bisa memahami, bahwa untuk disebut mujtahid,
seseorang tidak harus mampu melakukan ijtihad dalam semua
masalah kehidupan (mujtahid muthlaq). Jika ia mampu menggali

70

hukum dalam masalah-masalah tertentu, maka dirinya juga layak


disebut sebagai seorang mujtahid (mujtahid fi mas'alah). cxli

Lingkup Ijtihad
Sebagaimana definisi ijtihad di atas, lingkup ijtihad hanya terbatas
pada penggalian hukum syara dari dalil-dalil dzanniy. Ijtihad tidak
boleh memasuki wilayah yang sudah pasti (atau qathiy), maupun
masalah-masalah yang bisa diindera dan dipahami secara langsung
oleh akal.
Di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang jelas penunjukkannya (qathiy),
ada pula ayat-ayat yang penunjukkannya dzanniy. Ijtihad tidak boleh
dilakukan pada ayat-ayat yang jelas (qathiy) maknanya, misalnya
masalah-masalah aqidah, kewajiban sholat lima waktu, zakat, puasa,
haji, dan lain sebagainya. Perkara-perkara semacam ini bukanlah
lingkup ijtihad. Sebab, masalah-masalah seperti ini sudah sangat jelas
dan tidak boleh ada kesalahan di dalamnya. Siapa saja yang salah
dalam mempersepsi perkara-perkara yang sudah qathiy, maka ia
telah terjatuh dalam dosa dan berhak mendapatkan adzab di sisi
Allah swt. Sedangkan kesalahan dalam perkara-perkara ijtihadiyyah
(dzanniy) tidak akan menjatuhkan pelakunya dalam dosa dan
maksiyat. cxlii
Ijtihad hanya terjadi dan berlaku pada wilayah furu (cabang) dan
dzanniy. Perkara-perkara semacam ini disebut perkara ijtihadiyyah.
Disebut demikian, karena ia masih membuka ruang terjadinya
perbedaan interpretasi. Adapun perkara yang melibatkan dalil
qathiy, tidak boleh disebut sebagai perkara ijtihadiyyah.
Haramnya memilih kepala negara yang berhaluan sekuler dan tidak
mendukung penerapan syariat Islam bukanlah perkara ijtihadiiyah.
Sebab, kebathilan dan pertentangan sekulerisme dengan Islam

71

adalah perkara qathiy. Kewajiban menerapkan syariat Islam dalam


kehidupan masyarakat dan negara juga merupakan perkara yang
pasti dan tidak boleh ada perselisihan. Begitu juga kewajiban
menegakkan kembali khilafah Islamiyyah, merupakan perkara pasti
yang tidak boleh ada perbedaan di kalangan muslim.
Sayangnya, sebagian orang malah menolak penerapan syariat Islam
dan penegakkan khilafah Islamiyyah dengan dalih ijtihad dan
ijtihadiyyah. Mereka menganggap bahwa perbedaan dalam masalah
semacam ini masih dalam kategori boleh. Alasannya, masing-masing
orang punya ijtihad sendiri-sendiri dan sah-sah saja bila hasil
ijtihadnya berbeda. Akibatnya, umat tidak bisa memilah mana
pendapat yang telah menyimpang dari syariat Islam, dan mana
pendapat yang masih terkategori pendapat Islamiy. Ketika
disampaikan bahwa berhukum dengan aturan Allah merupakan
kewajiban, dengan entengnya mereka menyatakan, Itu kan ijtihad
anda? Kami punya pendapat dan ijtihad sendiri dalam masalah ini.
Jika berbeda dengan anda, maka anda tetap harus menghargai
pendapat kami, dan tidak boleh menyalahkan kami. Bukankah salah
dalam ijtihad tidak berdosa?
Semua ini diakibatkan karena, umat tidak lagi memahami lingkup
ijtihad; mana yang terkategori perkara ijtihadiyyah dan mana yang
bukan. Akhirnya, umat tidak bisa membedakan pendapat Islamiy dan
pendapat yang telah menyimpang dari aqidah dan syariat Islam. Ini
disebabkan karena, umat tidak lagi memahami definisi ijtihad,
lingkup ijtihad serta syarat-syarat ijtihad.

Syarat-syarat Mujtahid
Seseorang layak melakukan ijtihad bila telah memenuhi syarat-syarat
berikut ini.

72

Pertama, memahami dalil-dalil samiyyah yang digunakan untuk


membangun kaedah-kaedah hukum. Yang dimaksud dengan dalil
samiyyah adalah al-Quran, Sunnah, dan Ijma. Seorang mujtahid
harus memahami al-Quran, Sunnah, dan Ijma, klasifikasi dan
kedudukannya. Ia juga harus memiliki kemampuan untuk memahami,
menimbang, mengkompromikan, serta mentarjih dalil-dalil tersebut
jika terjadi pertentangan. Kemampuan untuk memahami dan dalildalil samiyyah dan menimbang dalil-dalil tersebut merupakan syarat
pokok bagi seorang mujtahid. cxliii
Kedua, memahami arah penunjukkan dari suatu lafadz (makna yang
ditunjukkan lafadz) yang sejalan dengan lisannya orang Arab dan para
ahli balaghah.
Syarat kedua adalah kemampuan dalam memahami seluk beluk
bahasa Arab, atau kemampuan untuk memahami arah makna yang
ditunjukkan oleh suatu lafadz. Seorang mujtahid disyaratkan harus
memiliki kemampuan bahasa yang mencakup kemampuan untuk
memahami makna suatu lafadz, makna balaghahnya, dalalahnya,
serta pertentangan makna yang dikandung suatu lafadz serta mana
makna yang lebih kuat setelah dikomparasikan dengan riwayat
tsiqqah dan perkataan ahli bahasa. Seorang mujtahid tidak cukup
hanya mengerti dan menghafal arti sebuah kata berdasarkan
pedoman kamus. Akan tetapi, ia harus memahami semua hal yang
berkaitan dengan kata tersebut dari sisi kebahasaan. cxliv

Kesalahan Persepsi Seputar Ijtihad


Pertama, sebagian kaum muslim memahami bahwa semua orang
berhak dan layak melakukan ijtihad. Mereka berdalil bahwa setiap
mukallaf dibekali Allah dengan akal yang sama, dan setiap mukmin
wajib mengerti hukum syara berdasarkan pemahamannya sendiri.

73

Untuk itu, setiap orang berhak melakukan ijtihad meskipun ijtihadnya


bisa jadi salah.
Mereka juga beralasan bahwa ijtihad harus tetap ada hingga hari
kiamat untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang terus
berkembang. Untuk itu, jika setiap orang tidak diberi hak berijtihad,
tentunya akan terjadi stagnasi ijtihad. Padahal stagnasi ijtihad tidak
boleh terjadi di tengah-tengah masyarakat Islam.
Benar, setiap muslim diperintahkan untuk terikat dengan aturan
Allah swt, dan seseorang tidak mungkin bisa terikat dengan aturan
Allah bila ia tidak mengerti hukum syara. Padahal, jalan satu-satunya
untuk menggali hukum adalah ijtihad. Oleh karena itu, adanya ijtihad
merupakan kewajiban bagi kaum muslim. Namun demikian, ijtihad
sebagaimana definisinyaadalah aktivitas yang sangat sulit dan
berat. Ijtihad juga membutuhkan syarat-syarat yang tidak mudah.
Hanya orang-orang yang memiliki kelayakan dan kemampuan saja
yang berhak melakukan ijtihad. Orang-orang yang tidak memiliki
kemampuan dan kelayakan tentu tidak akan mampu melakukan
ijtihad sesuai dengan tuntunan Allah swt. Jika ia memaksakan diri
berijtihad, tentu saja hukum yang digalinya lebih banyak didasarkan
pada hawa nafsunya, bukan didasarkan pada dalil-dalil syara dan
kaedah istinbath yang benar. Padahal Allah swt melarang kaum
muslim berhukum berdasarkan hawa nafsunya. Allah swt berfirman:
Hendaklah kamu putuskan perkara diantara mereka dengan
hukum-hukum yang telah diturunkan Allah, dan janganlah
kalian ikuti hawa nafsu mereka.[al-Maidah:49]
Ijtihad memang harus dilakukan hingga akhir zaman untuk mejawab
persoalan-persoalan baru yang tidak ditemukan pada masa
sebelumnya. Akan tetapi, ini tidak berarti semua orang memiliki hak
untuk melakukan ijtihad dengan alasan agar ijtihad tidak mandeg.

74

Syarat-syarat kelayakan untuk melakukan ijtihad tetap harus


dipenuhi. Orang yang tidak memiliki kemampuan dan memenuhi
syarat-syarat ijtihad dilarang melakukan ijtihad. Dengan kata lain,
pintu ijtihad tertutup bagi orang yang tidak memenuhi syarat
kelayakan ijtihad, dan terbuka seluas-luasnya bagi siapa saja yang
memenuhi syarat ijtihad.
Kedua, dengan dalih ijtihad dan masalah ijtihadiyyah, banyak orang
yang akhirnya bersifat permissive terhadap keragaman pendapat.
Padahal, tidak jarang perbedaan pendapat dalam masalah itu sudah
menyangkut hal-hal yang bersifat ushul, bukan lagi furu. Contohnya
perbedaan pendapat di kalangan kaum muslim tentang wajibnya
menegakkan syariat Islam. Ada sebagian kaum muslim berpendapat
bahwa tidaklah perlu kita menerapkan syariat Islam, yang penting
substansinya. Sebagian yang lain berpendapat bahwa syariat Islam
harus diterapkan secara utuh dan menyeluruh. Perbedaanperbedaan pendapat dalam hal semacam ini sesungguhnya adalah
perbedaan pendapat yang dilarang dalam Islam. Sebab, masalah
wajibnya menegakkan syariat Islam bukanlah masalah ijtihadiyyah.
Nash-nash syara dengan sharih menyatakan bahwa seorang Muslim
diwajibkan untuk menerapkan syariat Allah swt, dan berbuat sesuai
dengan tuntunan syariat.
Untuk itu, umat Islam harus mewaspadai mana masalah ijtihadiyyah,
atau furu yang kaum muslim boleh berbeda pendapat, dan mana
masalah ushul yang tidak boleh ada perselisihan dan perbedaaan.
Ketiga; dengan alasan ijtihadiyyah juga sebagian kaum muslim telah
menutup diri dari pendapat lain. Dengan kata lain, mereka enggan
untuk mencari dan mengkaji mana pendapat yang paling kuat dan
benar berdasarkan prinsip quwwatu al-dalil (kekuataan argumentasi).
Dalam masalah furu, meskipun kaum muslim diperbolehkan berbeda
pendapat dan pandangan, akan tetapi mereka diperintahkan untuk

75

mencari dan memilih pendapat yang paling rajih dan kuat. Sebab,
seorang muslim diwajibkan untuk beramal dengan hukum yang
dianggapnya paling benar dan kuat. Ia tidak boleh beramal dengan
hukum yang dianggapnya salah dan lemah. Atas dasar itu, seorang
muslim tidak boleh menolak pendapat yang lebih kuat dan rajih.
Bersikukuh pada pendapat yang sudah terbukti lemah dan ringkih
adalah tindakan dosa yang dicela oleh Islam.
Prinsipnya, kaum muslim tidak boleh berbeda pendapat dalam
masalah ushul. Sedangkan dalam masalah furu mereka harus
mencari pendapat yang terkuat dan terbenar berdasarkan kaedah
quwwat al-daliil. Sebab, bolehnya kaum muslim berbeda pendapat
dalam masalah furu tidak menafikan wajibnya kaum muslim mencari
dan memegang pendapat yang paling kuat dan rajih.

76

BAB IX
RASULULLAH SAW
BUKAN SEORANG MUJTAHID

i dalam kitab Irsyad al-Fuhuul disebutkan, bahwa para 'ulama


telah sepakat bolehnya Rasulullah saw berijtihad dalam
masalah-masalah keduniaan, seperti pengaturan perang,
strategi-strateginya, dan lain sebagainya. cxlv Kesepakatan ulama
dalam masalah ini bolehnya Nabi saw berijtihad dalam masalah
keduniaan dituturkan oleh al-Raziy dan Ibnu Hazm. Akan tetapi,
mereka berbeda pendapat mengenai bolehnya Nabi saw berijtihad
dalam masalah-masalah diniyah. cxlvi Menurut Imam Syaukani,
minimal ada tiga madzhab yang masyhur mengenai masalah ini;
Pertama, Nabi saw tidak melakukan ijtihad dalam perkara-perkara
diniyah (syariat), dikarenakan beliau selalu memutuskan berdasarkan
nash yang diwahyukan kepadanya. Oleh karena itu, beliau saw
senantiasa menunggu turunnya wahyu ketika ditanya persoalanpersoalan yang berhubungan dengan urusan diniyah. Beliau tidak
pernah menurunkan suatu ketetapan hukum berdasarkan ijtihad
beliau saw, akan tetapi selalu menanti ketetapan langsung dari Allah
swt. Ini menunjukkan bahwa Nabi saw tidak pernah melakukan

77

ijtihad dalam perkara-perkara diniyah. Madzhab semacam ini


dituturkan oleh Imam Abu Manshur dari ashhaab al-ra'yi. Al-Qadliy di
dalam kitab al-Taqriib menyatakan, bahwa semua orang yang
menafikan qiyas membolehkan ijtihad bagi Rasulullah saw. AlZarkasyiy menuturkan, bahwa pendapat ini dipilih oleh Ibnu Hazm.
Kedua, madzhab yang berpendapat, bahwa Nabi saw boleh
melakukan ijtihad. Pendapat semacam ini dipegang oleh jumhur para
'ulama. Mereka berhujjah, bahwa Allah swt telah memerintahkan
Nabi saw, sebagaimana umatnya, untuk mengkaji dan memikirkan
ayat-ayat Allah swt. Mereka juga mengetengahkan dalil-dalil yang
menurut klaim mereka menunjukkan ijtihadnya Rasulullah saw; yakni
dalam kasus pemberian ijin kepada orang-orang munafik saat perang.
Ketiga, madzhab yang berpendapat menahan diri dari pendapat
tersebut di atas. Di dalam kitab Syarah al-Risalah, Al-Shirafiy
menyatakan, bahwa pendapat ini dipegang oleh Madzhab Syafi'iy;
sebab Syafi'iy menyatakan pendapat-pendapat tersebut, akan tetapi
tidak memilih salah satu darinya. Pendapat ini dipilih oleh al-Qadliy
Abu Bakar al-Baqilaniy dan al-Ghazali. cxlvii

Memilih Pendapat Yang Terkuat


Pendapat terkuat adalah pendapat madzhab yang pertama. Qadliy alNabhani dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah berpendapat,
bahwa Nabi saw tidak berijtihad dalam perkara-perkara diniyyah.
Menurut Qadliy al-Nabhani, pendapat yang menyatakan bahwa
Rasulullah saw berijtihad dalam beberapa masalah hukum syariat,
kemudian ijtihadnya salah, lantas, Allah swt membetulkan
(mengoreksi) kesalahan ijtihad tersebut; sama saja mendakwa
Rasulullah saw menyampaikan syariat kepada umat manusia dari
hasil ijtihadnya sendiri; dan bukan berasal dari wahyu Allah swt.

78

Selain itu, pendapat tersebut akan memberikan konsekuensi, bahwa


Rasulullah saw tidak maksum dalam menyampaikan (tabligh)
beberapa syariat Islam kepada umat manusia. Pendapat semacam ini
bolehnya Rasulullah saw berijtihad-- jelas-jelas salahnya, baik secara
'aqliy maupun naqliy.
Pada dasarnya, Mohammad saw adalah seorang Nabi dan Rasul.
Sebagaimana Nabi dan Rasul lainnya, beliau mashum dalam perkara
tabligh risalah (penyampaian risalah) dari Allah Swt. Kemashuman
beliau saw dalam hal tabligh risalah tidak perlu diragukan lagi dan
telah ditunjukkan oleh dalil 'aqli. Dalil-dalil syara yang qathi
dilalahnya juga telah menunjukkan, bahwa tabligh risalah
(penyampaian risalah) Nabi saw baik yang global maupun terperinci
datang hanya berdasarkan wahyu. Allah Swt berfirman: "Katakanlah
(hai Muhammad): Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan
kepada kamu sekalian dengan wahyu. [al-Anbiya: 45]
Makna ayat ini adalah,"Wahai Mohammad katakanlah kepada
mereka, bahwa,"Aku memberi peringatan kepada kalian hanya
berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadaku saja." Dengan kata
lain, "peringatanku kepada kalian hanya terbatas pada wahyu
belaka." Di lain ayat, Allah swt berfirman:
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya)."[al-Najm: 3-4]
Sesungguhnya, frase "maa yantiqu" dalam ayat di atas berbentuk
umum; mencakup al-Quran dan Sunnah. Tidak ada satupun indikasi
baik dari al-Quran maupun sunnah-- yang mengkhususkan maknanya
hanya pada al-Quran saja. Ayat ini tetap bersifat umum, mencakup
semua yang dikatakan oleh Nabi saw (al-Quran dan Sunnah). Dengan
kata lain, semua ucapan beliau saw yang berhubungan dengan

79

syariat, pasti bersumber dari wahyu. Tidak benar jika dinyatakan,


bahwa frase "ma yanthiqu" pada ayat di atas, khusus hanya al-Quran
saja, tidak mencakup sunnah. Sebab, lafadz "ma yanthiqu" di atas
datang dalam bentuk umum, mencakup al-Quran dan sunnah.
Hanya saja, ada dalil-dalil lain yang mengkhususkan pengertian frase
"ma yanthiqu" di atas. Artinya, tidak semua hal yang beliau ucapkan
dan lakukan selalu bersumber dari wahyu, dan Rasulullah saw
maksum di dalamnya. Adapun yang mentakhshish pengertian ayat di
atas adalah perkara-perkara yang berhubungan dengan; pertama,
urusan-urusan yang berhubungan dengan kemashlahatan keduniaan,
kedua, penetapan uslub, sarana dan prasana untuk melaksanakan
hukum syariat. Dalam dua perkara ini Rasulullah saw tidaklah
makshum. Dengan kata lain, apa yang diucapkan dan dilakukan oleh
Rasulullah saw dalam dua perkara ini bukan berasal dari wahyu Allah
swt. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan frase "ma yanthiqu " di
atas hanya khusus untuk masalah-masalah tasyri', aqidah, hukum,
dan lain sebagainya, dan tidak berlaku untuk dua perkara di atas.
Pertama. Dalam urusan-urusan kemashlahatan dunia dan
pengaturan taktik dan strategi perang, Rasulullah saw biasa
memutuskan berdasarkan pertimbangan beliau sendiri, bukan
berdasarkan wahyu. Dalam masalah-masalah seperti ini, Rasulullah
saw tidaklah maksum, dan sangat mungkin terjatuh ke dalam
kesalahan. Namun, kesalahan dalam masalah ini tidak menyebabkan
dosa. Misalnya, dalam kasus penyerbukan kurma, ternyata Rasulullah
saw tidak tepat. Rasul saw bersabda,"Kalian lebih mengetahui
tentang perkara (dunia) kalian."
Di dalam perang Badar, Rasul saw telah menetapkan posisi tertentu
untuk bertahan. Akan tetapi, Khubaib bin Mundzir, mengajukan
pertanyaan kepada Rasulullah saw, " Apakah (penentuan tempat) ini
(ditetapkan oleh) wahyu dari Allah atau hanya berupa pendapat atau

80

(taktik) perang atau tipu daya? Rasul menjawab: Ini adalah


pendapat, (taktik) perang dan tipu daya." Selanjutnya Khubaib bin
Mundzir mengajukan usul kepada Rasulullah saw untuk bertahan di
tempat yang lain. Rasulullah saw meninggalkan pendapatnya dan
mengikuti pendapat Khubaib bin Mundzir.
Dalil-dalil ini telah mengkhususkan pengertian surat al-Najm di atas.
Dengan kata lain, apa yang diucapkan dan dilakukan oleh Rasulullah
saw dalam urusan keduniawian, pengaturan perang, taktik dan
strategi, bukanlah berasal dari wahyu Allah swt, akan tetapi berasal
dari pendapat beliau sendiri.
Kedua. Konteks wahyu yang terdapat pada surat al-Najm di atas
hanya berkaitan dengan masalah-masalah tasyri', akidah, hukumhukum dan lain-lain; namun tidak berhubungan dengan perkaraperkara yang berkaitan dengan penetapan uslub, sarana, dan
prasarananya. Benar, topik yang dibahas di dalam surat al-Najm
tersebut di atas bersifat umum, akan tetapi umum pada konteks
pembahasannya, dan tidak berlaku umum mencakup segala sesuatu.
Wahyu yang terdapat di dalam surat al-Najm di atas hanya berbicara
pada konteks tasyri', 'aqidah, hukum, dan lain-lain. Konteks
pembahasannya hanya berhubungan dengan masalah-masalah
semacam ini. Oleh karena itu, ayat di atas hanya berlaku umum pada
konteks-konteks semacam ini (tasyri', aqidah, hukum, dan lain-lain),
dan tidak berlaku pada konteks yang lain, yakni penetapan uslub dan
wasilah. Sebab, yang mentakhshish keumuman ayat tersebut adalah
konteks pembicaraannya. Sedangkan konteks pembicaraannya
adalah masalah-masalah tasyri', aqidah, hukum, dan lain-lain.
Benar, pengertian (al-'ibrah) itu diambil dari umumnya lafadz, bukan
diambil dari khususnya sebab (asbaab al-nuzul). Yang dimaksud
sebab di sini adalah peristiwa-peristiwa yang melatar belakangi
turunnya al-Quran. Sedangkan konteks ayat tersebut tidak hanya

81

berhubungan dengan peristiwa yang melatar belakanginya (sebab


nuzulnya), akan tetapi berlaku umum untuk seluruh kejadian yang
masih berada dalam konteks pembicaraannya, dan tidak berlaku
umum mencakup segala sesuatu. Adapun konteks pembahasan
wahyu adalah memberikan peringatan; yakni menyampaikan tasyri'
dan hukum-hukum. Alllah swt telah menyatakan hal ini di beberapa
tempat;
"Katakanlah (hai Muhammad): Sesungguhnya aku hanya
memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu.
[al-Anbiya: 45]
"Tidak
diwahyukan
kepadaku,
melainkan
bahwa
sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan
yang nyata." [Shad: 70]
Ayat ini menjelaskan, bahwa yang dimaksud wahyu adalah perkaraperkara yang dibawa (Rasulullah saw) yang beruhubungan dengan
masalah akidah, hukum-hukum dan segala perkara yang harus
ditablighkan dan dijadikan sebagai peringatan; dan tidak
berhubungan dengan penggunaan uslub-uslub maupun perbuatanperbuatan beliau yang bersifat jibilliyah (tabiat); yakni perbuatan
yang telah menjadi tabiat manusia, seperti berjalan, berbicara,
makan dan lain-lain. Topik wahyu hanya berhubungan dengan
perkara-perkara 'aqidah dan hukum syariat, dan tidak berhubungan
dengan uslub-uslub, sarana dan prasarana. yang tidak termasuk
'aqidah dan hukum.
Atas dasar itu, setiap perkara yang dibawa oleh Rasul saw yang beliau
saw diperintahkan untuk menyampaikannya kepada umat manusia,
baik yang berhubungan dengan perbuatan maupun pemikiran hamba
adalah wahyu dari Allah Swt.

82

Wahyu di sini mencakup perkataan, perbuatan dan diamnya


Rasulullah saw. Allah Swt berfirman:
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.
Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." [alHasyr: 7]
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu. [al-Ahzab : 21]
Dengan demikian, perkataan Rasul, perbuatan dan diamnya
merupakan dalil syara. Dengan kata lain, semuanya adalah wahyu
Allah Swt.
Nabi saw menerima wahyu dan menyampaikan sesuatu yang datang
kepada beliau dari Allah Swt; dan menyelesaikan setiap perkara
sesuai dengan wahyu. Beliau saw tidak pernah dari wahyu. Allah Swt
berfirman:
"Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan
kepadaku.[al-Anaam: 50]
"Katakanlah: Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang
diwahyukan dari Tuhanku kepadaku." [al-Araaf: 203]
Maksud ayat ini adalah, "Aku tidak mengikuti apapun kecuali apa
yang telah diwahyukan kepadaku dari Tuhanku." Beliau
mencukupkan diri mengikuti apa yang diwahyukan oleh Allah swt.
Kenyataan ini terlihat jelas dari shighat (bentuk) umum pada nash
tersebut. Oleh karena itu, semua hal yang berhubungan dengan apaapa yang harus disampaikan oleh Rasulullah saw (tabligh risalah)
adalah wahyu.

83

Kenyataan tasyri' juga menunjukkan, bahwa Rasulullah saw dalam


menjelaskan hukum-hukum kepada manusia selalu berjalan sesuai
dengan wahyu. Beliau saw menunggu wahyu dalam berbagai macam
hukum, seperti dzihar, lian dan lain-lain. Beliau tidak berkata,
berbuat, dan membuat persetujuan (taqrir) dalam konteks tasyri',
kecuali didukung oleh wahyu dari Allah Swt. Kadang-kadang, para
sahabat tidak bisa memastikan apakah hukum yang diputuskan oleh
Rasulullah saw itu berdasarkan pendapat beliau sendiri, ataukah
berhubungan dengan sarana dan prasarana. Oleh karena itu, mereka
bertanya kepada Rasulullah, apakah hal itu ditetapkan berdasarkan
wahyu, pendapat beliau saw, atau hasil permusyawaratan dengan
shahabatnya yang lain? Jika Rasul menjawab bahwa ketetapan itu
adalah wahyu, para shahabat terdiam. Sebab, mereka mengetahui
bahwa ketetapan tersebut bukan berasal dari pendapat beliau
sendiri. Namun, jika Rasul menyatakan, bahwa ketetapan tersebut
hanya pendapat beliau sendiri dan termasuk hal-hal yang masih bisa
dimusyawarahkan, maka mereka bersama-sama mendiskusikannya
dengan Rasul. Kadang-kadang Rasul mengikuti pendapat mereka,
seperti yang terjadi pada peristiwa Badar, Uhud dan Khandaq. Dalam
perkara yang tidak berhubungan dengan tabligh; yakni persoalan
penyerbukan kurma, beliau saw mengatakan: "Engkau lebih
mengetahui perkara (dunia) kalian. " Ini menunjukkan, bahwa apa
yang ditetapkan oleh Rasulullah saw dalam masalah-masalah seperti
ini bukan berasal dari wahyu, akan tetapi berasal dari pendapat
beliau sendiri.
Seandainya Rasulullah saw berbicara pada konteks tasyri' namun
tidak berdasarkan wahyu dari Allah swt, tentunya beliau saw tidak
perlu menunggu-nunggu datangnya wahyu untuk memutuskan
perkara-perkara tasyri' tersebut, dan para shahabat tidak perlu
bertanya kepada beliau saw, apakah ketentuan ini wahyu atau
bukan. Ini menunjukkan, bahwa Rasulullah saw tidak berijtihad baik
secara 'aqliy maupun syar'iy.

84

Adapun secara syar'iy, banyak ayat yang menunjukkan bahwa semua


perkara yang bersumber dari Rasulullah saw adalah wahyu. Allah swt
berfirman:
"Katakanlah (hai Muhammad): Sesungguhnya aku hanya
memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu."
[al-Anbiya: 45]
"Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan
kepadaku. [TQS. al-Anaam: 50]
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." [al-Najm: 3-4]
Secara 'aqliy, beliau seringkali menunggu wahyu untuk menjawab
kasus-kasus hukum yang mendesak untuk segera diselesaikan.
Seandainya beliau boleh berijtihad, tentunya beliau tidak akan
menunda untuk memutuskan suatu ketetapan hukum, dan segera
berijtihad. Akan tetapi, beliau saw menunggu wahyu dari Allah swt
untuk memutuskan masalah-masalah tersebut. Kenyataan ini
menunjukkan, bahwa beliau tidak berijtihad. Ini juga menunjukkan,
bahwa beliau tidak boleh berijtihad. Sebab, jika beliau dibolehkan
berijtihad, tentu beliau tidak akan menunda-nunda penentuan suatu
hukum pada saat mendesak untuk segera diputuskan.
Selain itu, Nabi saw adalah uswatun hasanah (teladan yang baik)
yang wajib diikuti. Jika beliau berijtihad, tentunya ini akan membuka
peluang terjadinya kesalahan. Wakupun keputusannya salah, kita
pun wajib mengikutinya. Akhirnya, perintah mengikuti kesalahan
menjadi sebuah kelaziman. Padahal, hal ini jelas-jelas bathilnya.
Sebab, Allah tidak mungkin memerintahkan kita untuk mengikuti
yang salah.

85

Di sisi yang lain, Rasulullah saw mashum dalam perkara tabligh


risalah (penyampaian risalah). Beliau saw tidak boleh salah dalam
masalah tabligh risalah. Sebab, kesalahan dalam hal tabligh risalah
jelas-jelas bertentangan dengan sifat kenabian dan kerasulan.
Keimanan kepada Nabi dan Rasul, memutlakkan adanya pengakuan
kemaksuman mereka dalam hal tabligh risalah. Oleh karena itu, Nabi
saw mustahil terjatuh ke dalam kesalahan dalam perkara-perkara
yang harus beliau sampaikan untuk umat manusia dari Tuhannya.
Walhasil, Rasulullah saw sama sekali tidak boleh berijtihad. Semua
hal yang berkaitan dengan hukum yang beliau sampaikan baik
melalui ucapan, perbuatan, dan diamnya, adalah adalah wahyu dari
Allah Swt, bukan hasil ijtihadnya sendiri.
Tidak bisa dinyatakan, bahwa Allah tidak akan membiarkan beliau
saw melakukan kesalahan, dan Dia pasti akan segera menjelaskan
dan mengoreksi kesalahan tersebut. Sebab, walaupun ijtihadnya
salah, kaum Muslim tetap diwajibkan untuk mengikuti dan
melaksanakan "ijtihad yang salah itu" sampai ada penjelasan
berikutnya dari Allah swt. Penjelasan inilah yang akan menggantikan
keputusan sebelumnya; dan kaum Muslim diperintahkan untuk
mengikutinya dan meninggalkan pendapat yang pertama. Pendapat
seperti ini jelas-jelas salahnya. Sebab, Allah swt tidak layak Allah
menyuruh manusia untuk mengikuti kesalahan, kemudian menyuruh
mereka untuk meninggalkannya dan mengikuti yang benar.
Selain itu, Rasul juga tidak layak menyampaikan suatu hukum kepada
kaum Muslim, kemudian mengatakan,"Hukum ini salah, karena
berasal dari pendapat saya sendiri, dan yang benar adalah hukum
yang berasal dari Allah swt, yakni hukum ini." Lalu, beliau
memerintahkan mereka agar meninggalkan hukum yang pertama
karena hukum tersebut salah, dan kemudian baru menyampaikan
kepada mereka hukum yang benar. Tidak bisa dinyatakan pula,
bahwa perkara yang syari tidak boleh didasarkan pada dalil 'aqliy;

86

akan tetapi harus didasarkan pada argumentasi yang syar'iy juga.


Sedangkan perkara 'aqidah dalilnya harus 'aqliy dan syar'iy. Tidak bisa
dinyatakan seperti ini. Sebab, masalah "apakah Nabi saw seorang
mujtahid atau bukan" termasuk perkara 'aqidah, bukan termasuk
perkara syari'ah. Sedangkan dalil 'aqidah harus 'aqliy dan syar'iy. Oleh
karena itu, masalah ini harus didasarkan pada hujjah 'aqliyyah dan
syar'iyyah.
Tidak bisa diterima juga pendapat yang mengatakan, bahwa Rasul
melakukan ijtihad dalam beberapa hukum, namun Allah belum
mengakui dan menetapkan hasil ijtihad itu. Kemudian, Allah swt
mengoreksi hasil ijtihad tersebut dan menurunkan ayat-ayat yang
menjelaskan hukum yang sebenarnya. Pendapat semacam ini tidak
bisa diterima. Sebab, Nabi saw tidak berijtihad dalam perkara tabligh
risalah, atau perkara-perkara hukum secara mutlak. Akan tetapi,
hukum-hukum itu selalu ditetapkan berdasarkan nash al-Quran dan
Sunnah yang telah sampai kepada beliau saw. Beliau tidak pernah
menyampaikan masalah-masalah tasyri, akidah, hukum-hukum dan
yang lain, kecuali berasal dari wahyu Allah swt. Apabila wahyu belum
turun, maka beliau menunggu sampai turunnya wahyu.

Penjelasan Mengenai Ayat-Ayat Yang


Digunakan Sandaran Bolehnya Rasulullah
saw Melakukan Ijtihad
Orang-orang yang berpendapat bolehnya Rasulullah saw berijtihad
mengetengahkan ayat-ayat berikut ini untuk menguatkan
pendapatnya. Padahal, jika diteliti secara jernih dan mendalam, ayat
ini sama sekali tidak menunjukkan bolehnya Rasulullah saw
melakukan ijtihad. Ayat-ayat itu adalah sebagai berikut;

87

"Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan


sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. [alAnfaal : 67]
"Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin
kepada mereka (untuk tidak pergi berperang)." [al-Taubah:
43]
"Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan
(jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan
janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya."[alTaubah: 84]
"Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena
telah datang seorang buta kepadanya."[Abasa: 1-2]
Selain itu, masih banyak ayat-ayat lain yang memiliki pengertian
senada. Sesungguhnya, ayat-ayat ini tidak menunjukkan adanya
ijtihad hukum dan ijtihad dalam masalah tabligh risalah kepada umat
manusia.
Ayat-ayat ini hanyalah teguran kepada Rasulullah saw atas
pelaksanaan aktivitas yang kurang tepat (khilaf al-aula). Ayat-ayat di
atas sama sekali tidak menunjukkan adanya kesalahan Rasulullah saw
dalam penyampaian sebuah hukum, lalu datang ketentuan baru yang
membetulkan atau mengoreksi kesalahan hukum yang pertama.
Sebab, tak satupun ayat yang menjelaskan kesalahan hukum tertentu
maupun kesalahan ijtihad Rasulullah saw yang disampaikan kepada
umat manusia, dikarenakan beliau saw harus menyampaikan hukum
yang benar. Yang benar adalah; Rasulullah saw hanyalah
melaksanakan sebuah hukum yang telah turun kepada beliau
sebelumnya dan telah beliau sampaikan kepada manusia; kemudian

88

beliau kurang tepat dalam memilih pelaksanaan hukum yang lebih


tepat. (khilaf al-aula)
Namun, teguran ini bukanlah tasyri' baru yang menghasilkan hukum
baru. Sebab, hukum tersebut telah diturunkan sebelumnya, dan telah
disampaikan oleh Rasulullah saw kepada umat manusia. Teguran
tersebut hanya berhubungan dengan ketidaktepatan dalam memilih
mana hukum yang lebih tepat untuk dilaksanakan; dan tidak
menunjukkan kesalahan ijtihad beliau dalam masalah hukum. Ayatayat di atas juga tidak menunjukkan adanya pensyariatan hukum
baru, maupun revisi atas kesalahan ijtihad Rasulullah saw. Ayat-ayat
di atas hanya berisi teguran terhadap Rasulullah saw yang kurang
tepat memilih mana ketentuan yang lebih baik atau lebih utama
(khilaf al-ula). Sebab, ketentuan hukumnya telah ada dan telah
ditetapkan sebelumnya. Sedangkan para Nabi dan Rasul
diperbolehkan secara syar'iy maupun 'aqliy melakukan khilaf al-ula.
Alasannya, khilaf al-aula adalah; di sana ada perkara-perkara mubah;
akan tetapi diantara perkara-perkara yang mubah itu ada salah satu
perkara yang lebih utama atau lebih layak untuk dilaksanakan;
ataupun disana ada perkara-p-perkara mandub (sunnah), akan tetapi
diantara perkara-perkara yang mandub itu ada perkara yang lebih
layak dipilih dan dilaksanakan. Contohnya, seseorang boleh-boleh
saja memilih hidup di desa atau di kota. Akan tetapi, tinggal di kota
lebih utama dibandingkan tinggal di desa bagi orang yang ingin
memantau urusan pemerintahan, agar ia bisa melakukan koreksi
terhadap para penguasa. Sedangkan memilih tinggal di desa adalah
perbuatan khilaf al-aula (menyalahi hal yang lebih layak atau utama).
Contoh lain; bersedekah secara sembunyi-sembunyi ataupun terangterangan adalah perkara yang mandub. Akan tetapi sedekah secara
sembunyi-sembunyi lebih utama dibandingkan secara terangterangan. Dengan kata lain, bersedekah secara terang-terangan
merupakan perbuatan khilaf al-aula (menyalahi keutamaan).

89

Rasul saw boleh melakukan perkara-perkara yang termasuk khilaf alaula. Bahkan, beliau saw boleh melakukan segala hal yang tidak
termasuk maksiat. Sebab, beliau telah melakukan perkara yang
termasuk khilaf al-aula sehingga Allah menegur beliau karena
perbuatannya itu. Siapa saja yang mencermati ayat-ayat di atas, pasti
akan berkesimpulan bahwa manthuq, mafhum, dan dilalah
(penunjukkan) telah menunjukkan hal ini (khilaf al-aula).

Surat al-Anfaal Ayat 67


Sebagian kaum Muslim yang berpendapat bolehnya Rasulullah saw
melakukan ijtihad bersandar kepada surat al-Anfaal ayat 67. Allah swt
berfirman;
"Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan
sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi."
[al-Anfaal :67]
Ayat ini menunjukkan disyariatkannya hukum tawanan perang
dengan syarat setelah berhasil melumpuhkan sejumlah besar musuh
di muka bumi. Hal itu diperkuat oleh firman Allah Swt:
"Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka
tawanlah mereka." [Muhammad: 4]
Akan tetapi, hukum mengenai tawanan perang tidak terdapat di
dalam surat al-Anfaal ayat 67, yakni,"Tidak patut, bagi seorang Nabi
mempunyai tawanan." [al-Anfal: 67]; akan tetapi telah diturunkan
sebelumnya di dalam surat Mohammad yang dinamakan juga
dengan surat al-Qital (perang). Surat Mohammad ini lebih awal turun
dibandingkan surat al-Anfaal. Allah Swt berfirman:

90

"Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan


perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga
apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah
mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka
atau menerima tebusan sampai perang berhenti."
[Muhammad: 4]
Oleh karena itu, hukum mengenai tawanan perang telah disampaikan
dan dikenal sebelum turunnya surat al-Anfaal ayat 67. Dari sini bisa
dipahami, bahwa surat al-Anfaal ayat 67 di atas hanya berhubungan
dengan teguran Allah swt kepada Rasulullah saw atas ketidaktepatan
beliau dalam memilih mana yang lebih utama (khilaf al-aula). Surat
al-Anfaal ayat 67 sama sekali tidak berbicara mengenai hukum
tawanan perang, maupun mengoreksi kesalahan ijtihad Rasulullah
saw. Dengan kata lain, surat al-Anfaal ayat 67 hanya berisi teguran
kepada Rasulullah saw, bahwa beliau saw tidak layak memiliki atau
mengambil tawanan perang sebelum berhasil melumpuhkan
sejumlah besar musuh-musuhnya. Sebab, makna "al-itskaanu"
adalah melakukan pembunuhan dan menimbulkan ketakutan yang
luar biasa.
Kenyataan, para sahabat telah membunuh sejumlah besar musuh
hingga mereka berhasil memenangkan pertempuran. Adapun
melumpuhkan sejumlah besar musuh di sini tidak disyaratkan harus
membunuh seluruh musuh. Namun, cukup membunuh sebagian
besar saja. Ketika sebagian besar musuh berhasil dilumpuhkan boleh
dilakukan penawanan terhadap tawanan perang. Oleh karena itu,
bolehnya menawan musuh telah ditetapkan di dalam surat
Mohammad ayat 4, sebelum diturunkannya surat al-Anfaal ayat 67.
Ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw tidak melakukan ijtihad
dalam masalah hukum tawanan perang. Beliau hanya melaksanakan
ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah swt sebelumnya,
yakni bolehnya menawan musuh setelah melumpuhkan sejumlah

91

besar musuh. Dengan kata lain, surat al-Anfaal ayat 67 sama sekali
tidak mengandung hukum baru (hukum tawanan perang), maupun
mengoreksi kesalahan ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Ayat tersebut hanya berisi teguran kepada Rasulullah saw dalam hal
khilaf al-aula. Sebab, ketentuan mengenai tawanan perang sudah
ditetapkan dan turun sebelum turunnya surat al-Anfaal ayat 67, dan
Rasulullah saw tidak melakukan ijtihad dalam masalah tertentu, akan
tetapi hanya melaksanakan hukum yang telah turun kepadanya
(surat Mohammad ayat 4].
Atas dasar itu, keputusan Rasulullah saw untuk menawan musuh usai
perang Badar, tidak termasuk perkara tasyri' baru, lalu datang ayat
yang menjelaskan kesalahannya. Tindakan Rasulullah saw menawan
musuh usai perang Badar bukanlah dosa yang menyalahi hukum yang
diturunkan Allah Swt, akan tetapi menunjukkan bahwa Rasul
menerapkan hukum tentang tawanan perang yang terdapat dalam
surat Muhammad ayat 4.
"Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka."
[Muhammad: 4]
Dalam kasus perang Badar ini, yang lebih utama adalah
memperbanyak lagi pembunuhan terhadap musuh sehingga
kegentaran dan rasa takut pada diri musuh lebih dahsyat lagi.
Selanjutnya, turunlah surat al-Anfaal ayat 67 yang menegur
ketidaktepatan Rasulullah dalam memilih perkara yang lebih utama.
Benar, surat al-Anfaal ini hanya berisi teguran kepada Rasulullah saw
dikarenakan menetapkan keputusan yang menyalahi perkara yang
lebih utama. Sebab, ketetapan sebelumnya (surat Mohammad ayat
4) telah membolehkan Rasulullah saw untuk memilih antara
melakukan penawanan atau membunuh tawanan perang. Hanya
saja, Rasulullah saw memutuskan untuk menawan tawanan perang;
padahal pilihan ini bukanlah keputusan yang lebih utama.

92

Selanjutnya, Allah menurunkan surat al-Anfaal ayat 67 untuk


menegur Rasulullah saw yang menyalahi perkara yang lebih utama
(khilaf al-aula).
Dari sini bisa dipahami dengan sangat jelas, bahwa surat al-Anfaal
bukanlah tasyri' baru, maupun koreksi atas ijtihad Rasulullah saw
yang salah. Redaksi lengkap surat al-Anfaal ayat 67 adalah sebagai
berikut:
"Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan
Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." [al-Anfaal: 67]
Frase ini memperkuat teguran yang terdapat di ayat tersebut. Makna
ayat ini adalah, "Kamu telah mengambil tawanan perang, padahal
kalian belum sampai pada taraf melumpuhkan musuh secara besarbesaran. Ini semua dikarenakan ketamakan dalam mengharapkan
tebusan mereka; yakni agar kamu bisa meraup harta benda dari hasil
tebusan perang. Akan tetapi, Allah swt menghendaki terbunuhnya
mereka lebih banyak lagi di medan pertempuran, dan tidak
menghendaki kamu untuk mengambil tawanan perang." Topik yang
dibahas pada ayat ini adalah persoalan menawan musuh (tawanan
perang); sedangkan kemegahan hidup dunia hanyalah implikasi dari
tawanan perang, Ayat ini bukan teguran karena mengambil tebusan,
melainkan teguran atas tindakan beliau saw menawan musuh
sebelum melumpuhkannya secara besar-besaran. Dengan demikian,
frase ini merupakan penyempurna makna keseluruhan makna yang
terkandung mulai dari awal ayat;
"Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan
sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi.
Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan

93

Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah


Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Anfaal: 67]
Adapun firman Allah swt :
Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu
dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena
tebusan yang kamu ambil. [al-Anfal : 68]
Ayat ini bukan ancaman Allah yang berupa adzab terhadap
pengambilan tebusan, akan tetapi hanya menunjukkan akibat-akibat
yang mungkin timbul karena menawan musuh sebelum pada taraf
melumpuhkan mereka secara besar-besaran. Sebab, ini merupakan
kerugian peperangan, dan dimungkinkan bisa menyebabkan jatuhnya
musibah bagi kaum Muslim; yakni pembunuhan balik dari pihak kafir;
dan ini merupakan azab besar yang bukan berasal dari azab Allah.
Oleh karena itu, maksud surat al-Anfaal ayat 68 ini adalah,
"Seandainya Allah tidak memberitahu kalian, bahwa kalian akan
mendapatkan kemenangan (pertolongan), niscaya kalian akan
tertimpa pembunuhan, pelumpuhan dari musuh-musuh kalian;
dikarenakan kalian telah mengambil tawanan perang sebelum
berhasil pada taraf melumpuhkan musuh sebesar-besarnya." AlQuran sendiri menggunakan kata "adzab" untuk "terbunuh di dalam
peperangan." Allah swt berfirman, "
"Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa
(meng'adzab) mereka dengan (perantaraan) tangantanganmu. [at-Taubah: 14]
Selain itu, ayat itu (surat al-Anfaal ayat 68) tidak mungkin bermakna
adzab dari Allah swt. Ini didasarkan kenyataan bahwa, seruannya
bersifat umum mencakup Rasul dan kaum Mukmin. Jika ayat tersebut
dianggap pembenaran suatu ijtihad, niscaya hal itu termasuk perkara

94

yang dimaafkan. Sebab, mereka (Rasulullah saw dan kaum Mukmin)


tidak layak mendapatkan adzab Allah. Begitu pula jika ayat tersebut
dianggap sebagai teguran terhadap perkara khilaf al-aula sebagaimana kenyataannya- maka ini pun tidak layak juga
memperoleh azab dari Allah. Sebab, Nabi saw boleh-boleh saja dan
tidak akan berdosa tatkala melakukan khilaf al-aula. Oleh karena itu,
kata "adzab" di dalam surat al-Anfaal tersebut tidak mungkin
bermakna adzab Allah swt. Makna yang tepat adalah pembunuhan
dan penghinaan dari musuh-musuh kaum Muslim.
Sedangkan hadits-hadits yang menuturkan sebab turunnya ayat-ayat
ini, adalah ahad, dan tidak layak digunakan hujjah dalam perkara
'aqidah; termasuk masalah apakah Rasul saw boleh berijtihad atau
tidak. Hadits-hadits tersebut bertentangan dengan dalil-dalil qathi,
yakni surat Muhammad tentang hukum tawanan perang yang
ditujukan kepada Rasulullah saw. Sedangkan hadits-hadits tersebut
menunjukkan sebaliknya, yakni para shahabatlah yang memberikan
pendapatnya kepada Rasulullah saw. Padahal, masalah hukum
tentang tawanan termasuk hukum syara, dimana Rasul dalam
perkara ini menunggu wahyu. Dalam masalah seperti ini beliau tidak
bermusyawarah dengan para shahabatnya maupun melaksanakan
apa yang mereka musyawarahkan dengan beliau saw; lalu turun
wahyu yang mengoreksi kesalahan hukum yang telah ditetapkan
Rasulullah saw berdasarkan ijtihad maupun musyawarah dengan
para shahabat. Oleh karena itu seluruh hadits yang menerangkan dua
ayat tersebut tertolak secara dirayah (matan hadits) dan tidak bisa
dijadikan hujjah.

Surat al-Taubah Ayat 43


Sebagian kaum Muslim yang berpendapat bolehnya Rasulullah saw
melakukan ijtihad juga bersandar kepada firman Allah swt :

95

"Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin


kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas
bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan
sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta? [alTaubah: 43]
Ayat ini tidak menunjukkan adanya ijtihad; akan tetapi, ia hanya
menunjukkan ketidaktepakatan Rasulullah saw dalam memilih
perkara yang lebih utama (khilaf al-aula). Sebab, ada ketentuan
sebelumnya yang membolehkan Rasulullah saw untuk memberikan
ijin kepada siapa saja yang ia kehendaki. Alasannya terdapat sebelum
diturunkan ayat ini, yaitu pada surat an-Nur ayat 62. Allah Swt
berfirman:
"Maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena
sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu
kehendaki di antara mereka. [al-Nuur: 62]
Ayat ini diturunkan setelah surah al-Hasyr mengenai perang
Khandaq. Sedangkan surat al-Taubah ayat 43:
"Semoga Allah memaafkanmu." [al-Taubah : 43]; diturunkan
mengenai perang Tabuk pada tahun ke-9 Hijrah. Walhasil, hukum ijin
perang telah diketahui, dan Rasulullah saw di dalam surat al-Nuur
ayat 62 diperbolehkan untuk memberikan ijin kepada siapa saja yang
beliau kehendaki; termasuk ijin terhadap orang munafik.
Hanya saja, di dalam fragmen surat al-Taubah tersebut terdapat kisah
yang menuturkan kondisi kaum Muslim menjelang perang Tabuk.
Perang ini adalah perang yang terjadi di tengah kondisi yang sangat
sulit dan genting bagi kaum Muslim. Tindakan yang paling tepat
untuk Rasulullah saw pada saat itu adalah tidak memberikan ijin
kepada orang-orang munafik untuk tidak mengikuti perang. Ketika

96

beliau mengizinkan mereka -persisnya pada saat perang Tabuk- Allah


Swt memberi teguran atas keputusan beliau saw itu. Allah menegur
Rasulullah karena melakukan tindakan yang kurang tepat (khilaf alaula). Ayat tersebut bukan koreksi terhadap kesalahan ijtihad beliau
atau penentuan tasyri' baru yang tidak sesuai dengan hukum
pemberian izin. Akan tetapi, ayat ini hanyalah teguran berkaitan
dengan khilaf al-aula.

Surat al-Taubah Ayat 84


Surat al-Taubah ayat 84 ini juga tidak berhubungan dengan bolehnya
Rasulullah saw melakukan ijtihad dalam perkara diniyyah. Allah swt
berfirman:
"Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan
(jenazah) seorang yang mati diantara mereka, dan janganlah
kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya
mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka
mati dalam keadaan fasik. [al-Taubah: 84]
Sesungguhnya, ayat ini diturunkan setelah firman Allah swt:
"Maka jika Allah mengembalikanmu kepada satu golongan
dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk
ke luar (pergi berperang), maka katakanlah: Kamu tidak
boleh ke luar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh
memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah
rela tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena itu
duduklah (tinggallah) bersama orang-orang yang tidak ikut
berperang. Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka. [alTaubah : 83-84]

97

Allah telah menjelaskan dalam ayat:


"Maka jika Allah mengembalikanmu kepada satu golongan dari
mereka. [al-Taubah: 83); agar beliau saw tidak mengikutsertakan
mereka dalam peperangan. Ini ditujukan untuk menghina dan
melecehkan mereka, agar mereka tidak mendapatkan kemuliaan
jihad dan bepergian bersama Rasulullah saw. Setelah itu, langsung
dijelaskan larangan menyembahyangkan jenazah mereka;
"Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan
(jenazah) seorang yang mati di antara mereka." [al-Taubah:
84]
Pada dasarnya ayat ini (al-Taubah ayat 84) hanya menjelaskan
bentuk penghinaan dan serangan kepada orang-orang munafik agar
keberadaan mereka terkikis habis. Ayat ini sama sekali tidak
menunjukkan, bahwa Rasulullah saw telah berijtihad untuk
menetapkan sebuah hukum baru. Ayat ini hanyalah tasyri' yang
berhubungan dengan orang-orang munafik, dan bagaimana
memperlakukan orang-orang munafik agar mereka mendapatkan
kehinaan, dan derajatnya turun lebih rendah dibandingkan kaum
Muslim. Oleh karena itu, ayat tersebut, baik ditinjau dari sisi
manthuq dan mafhum, sama sekali tidak menunjukkan adanya ijtihad
Nabi saw dan koreksi atas kesalahan ijtihadnya. Akan tetapi, ayat ini
sejiwa dengan ayat-ayat yang berhubungan dengan orang-orang
munafik yang disebutkan berulang-ulang di dalam surat ini juga.
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan sebab turunnya ayat
tersebut tidak layak dijadikan sebagai dalil dalam masalah akidah.
Sebab hadits-hadits tersebut diriwayatkan secara ahad. Sedangkan
hadits ahad tidak layak digunakan dalil dalam perkara 'aqidah. Selain
itu, hadits-hadits itu mengesankan bahwa Umar mencegah Rasul
untuk mensholatkan jenazah orang munafik, seolah-olah hendak

98

mencegah beliau saw untuk melakukan suatu perbuatan yang bisa


melahirkan hukum syariat baru; atau ia hendak mencegah beliau saw
agar tidak mengerjakan suatu ibadah yang telah ditetapkan
hukumnya sebelumnya, kemudian Rasulullah saw berdiam diri; dan
selanjutnya mengikuti pendapat Umar ra setelah turunnya wahyu.
Hal semacam ini tidak boleh terjadi pada diri Rasulullah saw. Matan
hadits ini bertentangan dengan keberadaan Rasul sebagai Nabi. Oleh
karena itu, hadits tersebut harus ditolak dari sisi dirayah (matannya).
Adapun hadits yang mengisahkan bahwa Rasul pernah memberikan
bajunya kepada Abdullah bin Ubay pemuka orang-orang munafik-yang ingin shalat diatas kain tersebut. Allah swt telah
mengungkapkan aibnya setelah perang Bani Musthaliq, hingga
anaknya menghadap Rasul untuk meminta ijin kepada beliau saw,
jika beliau saw hendak membunuh 'Abdullah, biarlah dirinya yang
akan melaksanakannya. Selanjutnya, Allah Swt menurunkan surat alMunafiqun setelah perang Bani Mushtaliq;
"Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah
terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka.
Bagaimanakah
mereka
sampai
dipalingkan
(dari
kebenaran)?" [al-Munafiqun: 4]
Selanjutnya, Allah berfirman kepada beliau:
"Kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati.
[al-Munafiqun: 3];
lalu, Allah swt berfirman lagi;
"Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang
munafik itu benar-benar orang pendusta."[al-Munafiqun: 1]

99

Setelah itu, Rasul datang dan memberikan kainnya kepada pemimpin


kaum munafik; dan beliau hendak menshalatkan pemimpin kaum
munafik itu; namun, Umar mencegahnya.
Pengertian hadits ini bertentangan dengan banyak ayat. Ayat yang
terdapat di dalam surat at-Taubah turun pada tahun ke-9 H,
beberapa tahun setelah turunnya surat al-Munafiqun. Kenyataan ini
menunjukkan, bahwa hadits-hadits Umar, hadits tentang kain, dan
hadits-hadits lain yang berhubungan dengan kisah orang Munafik
tersebut bertentangan dengan realitas perlakuan kaum Muslim
terhadap orang-orang munafik setelah perang Bani Musthaliq. Selain
itu, hadits-hadits tersebut juga bertentangan dengan ayat-ayat yang
turun sebelumnya mengenai orang-orang munafik. Walhasil, haditshadits tersebut matannya harus ditolak.

Surat 'Abasa Ayat 1 3


Allah swt berfirman;
"Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena
telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu
barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa)."
[Abasa : 1-3]
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa Rasulullah saw melakukan ijtihad.
Pada dasarnya, Rasulullah diperintahkan untuk menyampaikan
dakwah kepada seluruh manusia, dan mengajarkan Islam kepada
kaum Muslim. Dua tugas ini dilakukan oleh Rasulullah saw setiap
saat. Suatu hari, Abdullah bin Ummi Maktum yang telah masuk Islam
ingin mempelajari Islam dari Rasulullah saw. Ia mendatangi
Rasulullah saw, sedangkan di rumah beliau saw ada para pemuka
Quraisy, seperti Utbah, Syaibah -keduanya anak Rabiah- Abu Jahal
bin Hisyam, Abbas bin Abdul Muttalib, Umayah bin Khalaf dan Walid

100

bin Mughirah. Beliau saw mengajak mereka memeluk Islam, dengan


tujuan agar keislaman mereka mampu menarik yang lainnya.
Selanjutnya Ibnu Ummi Maktum berkata kepada Nabi, yang tengah
berbicara dengan para pemuka Quraisy,"Ya Rasulullah, bacakan
kepadaku dan ajari aku sesuatu yang telah diajarkan Allah kepada
engkau" Ia mengulang-ulang permintaannya itu, disebabkan karena
dia tidak mengetahui kesibukan Rasulullah dengan para pemuka
Quraisy. Rasulullah saw tidak suka karena pembicaraannya dipotong;
dan beliau saw berpaling darinya. Setelah itu, turunlah surat 'Abasa.
Pada dasarnya, Rasulullah saw telah diperintahkan untuk
menyampaikan Islam (tabligh) dan mengajarkan Islam. Saat itu,
beliau tengah melaksanakan tugas tabligh, dan berpaling dari orang
yang meminta pengajaran dikarenakan kesibukannya melakukan
penyampaian. Seharusnya, beliau mengutamakan Ibnu Ummi
Maktum. Sebab, tindakan yang utama adalah mengajari Ibnu Ummi
Maktum. Hanya saja Rasulullah saw memilih untuk tidak memenuhi
permintaannya, dan langsung mendapatkan teguran dari Allah.
Berpalingnya Rasulullah saw dari Ibnu Ummi Maktum adalah
tindakan menyalahi perkara yang lebih utama (khilaf al-aula). Dalam
kasus ini, tidak ada ijtihad, penentuan hukum baru, maupun koreksi
atas kesalahan ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Yang ada
hanyalah penerapan hukum Allah yang hukumnya telah ditetapkan
sebelumnya, dan beliau saw menyalahi perkara yang lebih utama;
kemudian Allah menegur ketidaktepatan beliau saw dalam memilih
tindakan yang lebih utama.
Demikianlah, anda telah dijelaskan dengan penjelasan yang jernih
dan mendalam, bahwa Rasulullah saw tidak melakukan ijtihad.
Semua perkara yang berhubungan dengan tasyri', 'aqidah, dan
hukum, berasal dari wahyu, dan bukan berasal dari ijtihad beliau
sendiri. Lebih dari itu, beliau tidak boleh melakukan ijtihad baik
secara 'aqliy maupun syar'iy. Dengan kata lain, Rasulullah saw
bukanlah seorang Mujtahid, akan tetapi ia adalah seorang Rasul yang

101

menyampaikan apa-apa yang wajib ia sampaikan dari Tuhannya


berdasarkan wahyu. Sedangkan wahyu bisa berujud lafadz dan
makna seperti al-Quran al-Karim; atau maknanya saja seperti sunnah.

102

DAFTAR PUSTAKA
Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, ed. Pertama, 1417
H/1996 M, Daar al-Fikr, Beirut,Libanon
Imam al-Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haqq min 'Ilm alUshuul, tanpa tahun, Daar al-Fikr, Beirut, Libanon.
Imam al-Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul,1420 H/2000 M, Daar
al-Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, Libanon.
Imam Mohammad bin Abu Bakar al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah,
1401 H/1981 M, Daar Fikr, Beirut, Libanon.
Imam al-Raziy, al-Mahshuul, 1400 H, Jaami'ah al-Imaam Mohammad
bin Sa'ud al-Islamiyyah, Riyadl.
Imam al-Juwainiy Abu al-Ma'aliy, al-Burhaan fi Ushuul al-Fiqh, ed. 4,
1418 H, al-Wafaa', al-Manshurah, Mesir.
Imam Mohammad bin Idris al-Syafi'iy, al-Risalah, 1358 H, tanpa
penerbit, Kairo.

103

Abu Ishaq Ibrahim bin 'Aliy al-Syiraziy, al-Luma' fi Ushuul al-Fiqh,


ed.1, 1405 H/1985 M, Daar al-Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, Libanon.
'Abd al-Qaadir bin Badraan al-Dimasyqiy, al-Madkhal li Ibn Badraan,
1401 H, Muassat al-Risalah, Beirut.
'Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisiy, Raudlat al-Naadzir,
ed. 2, 1399 H, Jaami'ah al-Imaam Mohammad bin Sa'ud alIslamiyyah, Riyadl.
Ahmad bin 'Ali al-Raaziy al-Jashshash, al-Fushuul fi al-Ushuul, ed.1,
1405 H, Wuzaraat al-Auqaf wa al-Syu'un al-Islaamiyyah, Kuwait.
Mohammad bin Mohammad bin Mohammad al-Ghazaliy Abu alHamid, al-Mankhuul, ed.2, 1400, Daar al-Fikr, Beirut, Libanon.
'Abd al-Rahiim bin al-Hasan al-Asnawiy, al-Tamhiid, ed.1, 1400 H,
Muassat al-Risalah, Beirut, Libanon.
Ibrahim bin Musa al-Lakhamiy al-Gharnaathiy al-Malikiy, alMuwaafiqaat, Daar al-Ma'rifah, Beirut.
Qadliy al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, ed. 4, juz 1, 1415
H/1994 M, Daar al-Ummah, Beirut, Libanon
Ahmad bin 'Ali al-Anshoriy, Mizaan al-Kubra, tanpa tahun, Penerbit
Thaha Putra, Semarang, Indonesia.

104

Dalam masalah ini, Allah swt telah menerangkan dengan sangat gamblang di dalam
banyak ayat; diantaranya:




( 60)

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah


beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal
mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila
dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah
telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang
munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati)
kamu."[al-Nisaa:60-61]
Imam Ibnu al-Arabiy menjelaskan, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
perselisihan antara orang Yahudi dengan orang Munafiq. Orang Yahudi dan Munafiq
menyampaikan masalah mereka kepada Rasulullah saw. Perkara itu diputuskan oleh
Rasulullah saw. Akan tetapi, orang munafiq tidak rela. Selanjutnya, mereka
mengajukan perkara mereka kepada Abu Bakar, namun orang munafiq itu juga tidak
rela. Lalu, mereka mengajukan perkara mereka kepada Umar. Umar masuk ke dalam
rumah dan mengambil pedangnya. Orang munafiq itu dipenggal kepalanya hingga
mati. Keluarga orang munafiq itu melaporkan perkara itu kepada Rasulullah saw.
Umar berkata, Wahai Rasulullah, ia telah menolak keputusanmu. Rasulullah
menjawab, Engkau adalah al-Faruuq Lalu, turunlah firman Allah swt, surat alNisaa:65 [Ibnu al-Arabiy, Ahkaam al-Quraan, Juz I, ed.I, Daar al-Fikr, 1988, hal.577.
Lihat juga pada Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, juz II, hal.97; Ibnu Hajar, al-Kaaf
al-Syaaf, hal.45]
Thaghut di sini bermakna, semua aturan atau hukum selain hukum Allah swt. [Imam
Abdurrahman Nashir al-Sadiy, Taisiir al-Kariim al-Rahman fi Tafsiir Kalaam alManaan, hal.90.] Imam Malik, sebagaimana dikutip oleh Ibnu al-Arabiy
menyatakan, thaghut adalah semua hal selain Allah yang disembah manusia.
Misalnya, berhala, pendeta, ahli sihir, atau semua hal yang menyebabkan syirik.
[Ibnu al-Arabiy, Ahkaam al-Quraan, Juz I, ed.I, Daar al-Fikr, 1988, hal. 578]

105

Di tempat lain, al-Quran juga menyatakan hal ini dengan sangat jelas dan tegas. Alah
swt berfirman:






Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan
yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.[al-Nisaa:65]
Tatkala menafsirkan ayat ini, Imam al-Sadiy, menyatakan,Allah swt telah
bersumpah atas nama dirinya, sesungguhnya mereka tidak beriman sampai mereka
menjadikan Rasulullah saw sebagai hakim yang akan memutuskan perkara-perkara
yang mereka perselisihkan..Akan tetapi, mereka tidak cukup hanya bertahkim
kepada Rasul saja, akan tetapi, mereka harus menghilangkan keraguan, perasaan
sempit, dan kesamaran di dalam hati mereka tatkala bertahkim kepada Rasulullah
sawBarangsiapa menolak untuk berhukum kepada Rasulullah saw dan tidak mau
terikat dengan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, maka ia telah kafir.
[Imam Abdurrahman Nashir al-Sadiy, Taisiir al-Kariim al-Rahman fi Tafsiir Kalaam
al-Manaan, hal.93-94]
ii
Syarat ini didasarkan sabda Rasulullah saw yang termaktub di dalam sebuah hadits
shahih:

"Nabi saw bersabda, "Orang yang melakukan penipuan akan dimasukkan ke


dalam api neraka, dan barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak
diperintahkan kami, maka perbuatan itu tertolak."[HR. Bukhari]. Di dalam
riwayat lain, juga dituturkan:

"Dari 'Aisyah ra, ia berkata, bahwasanya Rasulullah saw bersabda," Siapa saja
yang membuat-buat perkara baru dalam urusan kami, padahal urusan itu tidak
diperintahkan, maka perkara itu tertolak." [HR. Bukhari; hadits ini diriwayatkan

106

oleh 'Abdullah bin Ja'far al-Makhramiy, 'Abdul Wahid bin Abi Aun, dari Sa'id bin
Ibrahim]; dan masih banyak hadits-hadits lain yang menerangkan masalah ini.
Zaid bin Zubeir berkata, "Tidaklah diterima suatu perkataan melainkan diiringi
dengan perbuatan, dan tidak akan diterima perkataan dan amal kecuali dengan niat;
dan tidak akan diterima perkataan, amal, dan niat kecuali sesuai dengan sunnah Nabi
saw."[Fauziy Sanqarith, Taqarrub ila al-Allah, bab Ihsaan al-'Amal]. Imam Malik
pernah berkata, "Sunnah adalah perahu Nabi Nuh. Barangsiapa yang
menumpanginya, maka ia akan selamat, dan barangsiapa yang tidak
menumpanginya akan tenggelam."[ibid, bab Ihsaan al-'Amal]
iii
Qadliy al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 1, hal. 194-197.
iv
Mayoritas ulama berpendapat, bahwa kaum Muslim diperbolehkan taqlid dalam
masalah syariat saja. Sedangkan taqlid dalam masalah 'aqidah adalah perbuatan
haram. Lihat, Imam al-Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal. 370-373; Imam alAmidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal.348-354; Imam al-Syaukani, Irsyaad
al-Fuhuul, hal. 265-268. Penjelasan rincinya dapat dilihat pada bab berikutnya.
v
Penjelasan definitif mengenai taqlid dapat disimak pada kitab-kitab Ushul Fiqh;
misalnya, Imam al-Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal. 370; Imam al-Amidiy,
al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal.347; Imam al-Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul,
hal. 265; dan lain-lainnya.
vi
Imam Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 265; Imam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah,
hal. 548; lihat juga Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 347;
Imam Al-Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal. 370-371; Hafidz Tsana alAllah al-Zahidiy, Taujih al-Qaariy, hal. 145; Imam al-Syiraziy, al-Luma' fi Ushuul alFiqh, juz 1, hal. 125.
vii
Imam al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 1, hal. 347
viii
Ibid, hal. 347
ix
Ibid, hal. 347
x
Imam Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 265
xi
Ibid, hal. 265; lihat juga Fairuz al-Abadiy al-Syiraziy, al-Tabashshurah, juz 1, hal 401
xii
Ibid, hal. 265
xiii
Al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkam, juz 2, hal. 348
xiv
Imam al-Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 266; Imam al-Syiraziy,al-Luma' fi Ushuul
al-Fiqh, juz 1, hal. 125
xv
Imam al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 348
xvi
Al-Quran, al-Dzukruf:22-24
xvii
Lihat dan bandingkan dengan perkataan Imam Ibnu Jauzi dalam kitab, "Talbis
Iblis", hal. 82, "Sesungguhnya dalil menyangkut aqidah adalah sangat jelas (tidak
memerlukan ijtihad). Hal ini tidak sulit diketahui oleh orang yang berakal.
xviii
Ibid, hal. 82.

107

xix

Imam Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 266


Ibid, hal. 266
xxi
Ibid, hal. 267
xxii
Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 351; Fairuz al-Abadiy
al-Syiraziy, al-Tabashshurah, juz 1, hal 401; Imam al-Syiraziy, al-Luma' fi Ushuul alFiqh, juz 1, hal. 126
xxiii
Ibid, juz 2, hal. 351-352
xxiv
Qadli al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 217-218
xxv
Ibid, hal. 218
xxvi
Ibid, hal. 218.
xxvii
Ibid, hal.219
xxviii
Ibid, hal. 220
xxix
Ibid, hal. 220
xxx
Hujjat al-Islaam Imam al-Ghazali, Al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal. 372-373
xxxi
Ibid, hal. 372-373
xxxii
Ibid, hal. 372-373
xxxiii
Imam Ibrahim bin Ali al-Syiraziy, al-Luma' fi Ushuul al-Fiqh, juz 1, hal. 126
xxxiv
Ibid, hal. 373
xxxv
Ibid, hal. 373; lihat dan bandingkan dengan Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul
al-Ahkaam, juz 2, hal. 353-354
xxxvi
Ibid, hal. 373
xxxvii
Lihat dan bandingkan dengan Hujjat al-Islam Imam al-Ghazali, Al-Mustashfa fi
'Ilm al-Ushuul, hal. 373
xxxviii
Ibid, hal. 374
xxxix
Ibid, hal. 374
xl
Ibid, hal. 374
xli
Imam Syaukani dalam Irsyaad al-Fuhuul menyatakan, bahwa Imam Nawawiy dan
Ibnu Burhan menguatkan pendapat yang menyatakan; seorang awam tidak harus
terikat dengan madzhab tertentu. Mereka berhujjah dengan ijma' shahabat yang
tidak menolak taqlidnya seorang awam kepada seorang shahabat dalam satu
masalah, dan taqlid kepada shahabat yang lain untuk masalah yang berbeda.
Pendapat semacam ini juga dipegang oleh pengikut Madzhab Hanbali. Lihat Imam
Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 282. Lihat juga al-Nabhani, al-Syakhshiyyah alIslaamiyyah, juz 1, hal. 228
xlii
Ibid, hal. 262
xliii
Lihat penjelasan masalah ini di dalam Kitab al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, karya
Imam al-Ghazali, hal. 368-370. Tatkala membahas apakah seorang Mujtahid wajib
berijtihad, ataukah ia juga boleh taqlid kepada mujtahid lainnya; Imam al-Ghazali
menuturkan beberapa pendapat dalam masalah ini. Sebagian 'ulama melarang
xx

108

mujtahid untuk taqlid kepada mujtahid lain. Menurut beliau, yang berpendapat
bolehnya seorang Mujtahid taqlid kepada Mujtahid lain dalam masalah tertentu
adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rawahiyah, dan Sofyan al-Tsauri.
Sementara itu, Mohammad bin Hasan berkata, 'Seorang alim harus mengikuti orang
yang lebih alim dari dirinya, dan ia tidak boleh taqlid kepada orang yang tidak alim,
atau orang yang setara dengan dirinya." Sedangkan ulama Iraq berpendapat
bolehnya seorang mujtahid taqlid kepada mujtahid lain, dalam hal yang ia fatwakan,
atau yang menjadi kekhususannya. Lihat pula Qadliy al-Nabhani, al-Syakhshiyyah alIslaamiyyah, juz 1, hal. 221. Di dalam kitab al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkam, Imam alAmidiy menyatakan, Abu 'Aliy al-Jubaiy berkata, "Lebih utama jika seorang mujtahid
melakukan ijtihad. Jika ia tidak berijtihad dan meninggalkan keutamaan; ia boleh
bertaqlid kepada salah seorang shahabat; sebab menurut pandangannya para
shahabat lebih rajih dibandingkan orang-orang setelah mereka. Jika ia hendak
meminta fatwa, maka ia boleh memilih salah satu pendapat shahabat yang ia
kehendaki, dan ia tidak boleh mengikuti selain mereka. Pendapat ini dipegang oleh
Imam Syafi'iy dalam Qaul Qadimnya. Sebaian ulama lain berpendapat, mujtahid
boleh taqlid kepada salah seorang shahabat atau tabi'in, dan tidak boleh selain
mereka. Mohammad bin Hasan berkata, "Seorang alim boleh saja taqlid kepada
orang yang lebih alim, namun ia tidak boleh taqlid kepada orang yang tidak alim,
atau setara dengan dirinya; baik dari kalangan shahabat maupun bukan. Ibnu
Syuraih berpendirian, bahwa seorang mujtahid boleh taqlid kepada mujtahid yang
lain, jika ia ada udzur. Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuwaih, dan Sofyan alTsauri berpendapat; seorang mujtahid boleh taqlid kepada mujtahid lain secara
mutlak.."[Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 336-337]
xliv
Imam al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 336
xlv
Bandingkan dengan pendapat Imam Syaukani dalam masalah ini. Beliau
berpendapat, seorang Mujtahid dalam kondisi apapun tidak boleh meninggalkan
pendapatnya
xlvi
al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 358
xlvii11
Qadliy al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 221-222
xlviii
Qadli al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 222-223
xlix
Imam al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 335
l
Ibid, hal. 335-336; lihat pula Imam al-Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal.
367-368
li
Qadliy al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 223-224
lii
Ibid, hal. 224
liii
Ibid, hal. 224. Lihat kembali penjelasan sebelumnya mengenai perbedaan
pendapat 'ulama mengenai bolehnya seorang mujtahid taqlid kepada mujtahid yang
lain. Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuwaih, dan Sofyan al-Tsauri

109

berpendapat; seorang mujtahid boleh taqlid kepada mujtahid lain secara mutlak.."
[Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 336-337]
liv
al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 353; Imam al-Ghazali, alMustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal. 373
lv
Fauziy Sanqarith, Taqarrub ila al-Allah, bab Ihsaan al-'Amal
lvi
Ibid, bab Ihsaan al-'Amal
lvii
Imam al-Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal. 372, Qadli al-Nabhani, alSyakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 225; al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul alAhkaam, juz 2, hal. 353-356
lviii
Qadli al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 225
lix
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, jika seorang muqallid beramal dengan
pendapat penduduk Kufah dalam masalah
lx
Ibid, juz 1, hal. 225
lxi
Ibid, juz 1, hal. 225-226; bandingkan dengan al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul alAhkaam, juz 2, hal. 357
lxii
Bandingkan dengan Hujjat al-Islam Imam al-Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm alUshuul,hal. 374-375; lihat jga al-Nabhani, ibid, juz 1, hal. 226
lxiii
Lihat dan bandingkan dengan Imam al-Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal,
373;Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 357-358; Lihat,
Ahmad bin 'Ali al-Anshoriy, al-Miizaan al-Kubra, hal. 11
lxiv
Ibid, hal 226
lxv
Ibid, hal. 226
lxvi
Ibid, hal. 227
lxvii
Ibid, hal, 226-227
lxviii
Lihat dan bandingkan dengan Imam al-Syaukani, Irsyaad allFuhuul, hal. 273- dan
seterusnya; Imam al-Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal. 373-374; Imam alAmidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 356
lxix
Yang dimaksud dengan a'lamiyyah adalah siapa yang paling mengetahui atas
suatu perkara. Dalam konteks taqlid, yang dimaksud dengan a'lamiyyah adalah
mentarjih dua pendapat yang didasarkan pada prinsip siapa diantara kedua mujtahid
tersebut yang ketaqwaan dan keilmuannya lebih unggul dibandingkan dengan yang
lain. Jika seorang muqallid mengikuti pendapat berdasarkan keyakinan bahwa
mujtahid yang mengeluarkan pendapat tersebut lebih taqwa, wara', dan lebih
paham dibandingkan dengan mujtahid lainnya, maka metode tarjih semacam ini
disebut a'lamiyyah.
lxx
Ibid, hal. 227
lxxi
Pendapat semacam ini dipegang oleh Imam al-Syafi'iy, Ahmad bin Hanbal, dan Ibn
Syuraih al-Qafal; mayoritas para fuqaha dan ulama ushul. Mereka berpendapat,
bahwa di mata seorang muqallid, dua orang mujtahid yang hendak diikutinya tak

110

ubahnya dengan dua dalil yang saling bertentangan di mata seorang mujtahid.
Dalam keadaan semacam ini, seorang mujtahid wajib melakukan tarjih atas dua dalil
tersebut. Sebagaimana mujtahid, seorang muqallid 'amiy juga diwajibkan untuk
melakukan tarjih terhadap dua orang mujtahid yang hendak diikutinya. [Imam alAmidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 356]
lxxii
Imam al-Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal, 373-374
lxxiii
Imam al-Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal. 373-4; lihat pula Qadliy alNabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 227
lxxiv
Ibid, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal. 374; al-Nabhani, al-Syakhshiyyah alIslaamiyyah, juz 1, hal. 227
lxxv
Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 357; al-Nabhani, alSyakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 233-234
lxxvi
Imam al-Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal. 374
lxxvii
Ibid, hal. 373-374
lxxviii
al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 230
lxxix
Ibid, juz 1, hal. 231
lxxx
Ibid, juz 1, hal. 231
lxxxi
Qadliy al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 232
lxxxii
Ibid, hal. 232
lxxxiii
Ibid, hal. 232
lxxxiv
Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 357; lihat juga Imam
al-Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 272. Pendapat semacam ini dikuatkan oleh
Imam Nawawiy dan Ibnu Burhan. Mereka berhujjah dengan ijma' shahabat yang
tidak mengingkari taqlidnya orang awam kepada salah satu diantara mereka untuk
satu masalah, dan taqlid kepada yang lain dalam masalah yang berbeda.
lxxxv
Ibid, hal. 357
lxxxvi
Ibid, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 357
lxxxvii
Ibid, hal.357
lxxxviii
Qadliy al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 233-234
lxxxix
Ibid, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 233; lihat juga penjelasan Imam
Syaukani dalam Irsyaad al-Fuhuul, hal. 272," Jika seorang muqallid telah menetapkan
madzhab tertentu; para ulama berbeda pendapat apakah ia boleh meninggalkan
pendapat Imamnya dan mengambil pendapat madzhab lain dalam perkara-perkara
yang lain. Sebagian ulama berpendapat tidak boleh, sedangkan yang lain
berpendapat boleh. Ada pula yang berpendapat, jika ia beramal dalam suatu
perkara, maka ia tidak boleh pindah, dan jika tidak beramal dalam suatu perkara
maka ia boleh pindah ke madzhab lain. Ada pula yang berpendapat, jika perbuatan
tersebut telah dikerjakannya berdasarkan pendapat madzhabnya, maka ia tidak
boleh pindah; namun jika perbuatan itu belum dikerjakannya, maka ia boleh pindah.

111

Pendapat semacam ini dipegang oleh Imam al-Haramain. Ada pula yang
berpendapat, jika ia memiliki dugaan kuat (ghalabat al-dzan) bahwa pendapat
madzhab lain dalam masalah tersebut lebih kuat maka ia boleh berpindah ke
madzhab yang lain; dan jika tidak maka ia tidak boleh pindah madzhab."
xc
Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 336
xci
Imam al-Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 272
xcii
Ibid, hal. 272
xciii
Ibid, hal. 272
xciv
Imam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 234
xcv
Imam al-Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haqq min 'Ilm al-Ushuul, hal.
272. Lihat dan bandingkan dengan Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam,
juz 2, hal. 357
xcvi
al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 357
xcvii
op.cit, hal. 273
xcviii
al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 358; Imam al-Ghazali, alMustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal. 375-376
xcix
Ibid, hal. 358; lihat juga Qadli al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1,
hal. 238
c
al-Hafidz al-Dzahabiy, Tadzkirah al-Huffadz, juz 1, hal. 3. Hadits ini dikeluarkan oleh
Imam Malik dalam kitab Al-Muwatha', juz 2, hal. 513. Hadits ini juga diriwayatkan
oleh Abu Dawud, al-Turmudziy, dan Ibnu Majah.
ci
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatha', juz 2, hal. 964; dan alRisalah, hal. 435
cii
Ibid, hal. 359
ciii
Imam al-Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 273
civ
Imam al-Ghazali, Al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal.376
cv
Lihat Qadli al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 239. Lihat juga
penjelasan Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal. 376
cvi
Imam al-Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal. 376
cvii
Qadliy al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 240. Pendapat yang
menyatakan, bahwa al-Quran tidak bisa dinasakh oleh sunnah mutawatir adalah
pendapat yang dipegang oleh Imam Syafi'iy dan shahabat-shahabatnya; Imam
Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat dari dua riwayat yang berasal dari
beliau; mayoritas Mutakallimin dari kelompok al-Asyaa'irah dan Mu'tazilah, Fuqaha
dari kalangan Imam Malik, serta shahabat-shahabat Abu Hanifah dan Ibnu Syuraih.
[al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 104]. Ibnu Sam'aniy
menuturkan, bahwa Imam al-Syafi'iy di dalam banyak bukunya telah menyatakan
pendapat semacam ini; yakni al-Quran tidak boleh dinasakh dengan sunnah,
meskipun mutawatir. Menurut Abu Manshur, ulama Syafi'iyyah telah sepakat

112

mengenai ketidakbolehan menasakh al-Quran dengan sunnah.[lihat Imam alSyaukani, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 191]
cviii
Imam al-Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 274. Imam Zarkasyiy menyatakan
kesepakatan ulama mengenai ketidakmungkinan pertentangan dua dalil qath'iy di
dalam al-Bahr. Imam al-Raaziy mengatakan di dalam al-Mahshuul, "Tidak boleh ada
pertentangan di dalam dalil-dalil yang menyakinkan." Di dalam kitab al-Ihkaam fi
Ushuul al-Ahkaam, Imam al-Amidiy juga menyatakan, bahwa pertentangan tidak
mungkin terjadi di dalam dalil-dalil yang qath'iy.[Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul
al-Ahkaam, juz 2, hal. 359]
cix
Lihat Imam al-Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 274-275
cx
Qadliy al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 240-241
cxi
Imam al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 360
cxii
Imam al-Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 276-277; al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul
al-Ahkaam, juz 2, hal. 361; Imam al-Ghazaliy, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul,
cxiii
al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 361
cxiv
Ibid, hal. 360
cxv
Ibid, hal. 362
cxvi
Ibid, hal. 362
cxvii
Ibid, hal. 361
cxviii
Ibid, hal. 364
cxix
Ibid, hal. 364
cxx
Qadliy al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 242
cxxi
Ibid, hal. 242
cxxii
al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 365
cxxiii
Ibid, hal. 366
cxxiv
Ibid, hal. 366
cxxv
Ibid, hal. 366
cxxvi
Ibid, hal. 366
cxxvii
Ibid, hal. 367
cxxviii
Ibid, hal. 370; lihat juga Qadli al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1,
hal. 243
cxxix
Ibid, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 375
cxxx
Ibid, hal. 372. Hanya saja, sebagaimana penuturan Imam al-Amidiy, para ulama
masih berbeda pendapat dalam masalah ini. Imam Ahmad bin Hanbal, al-Karakhiy,
al-Raaziy, dan ulama-ulama madzhab Abu Hanifah berpendapat bahwa khabar yang
menunjukkan keharaman lebih dikuatkan dibandingkan yang memubahkan. Abu
Hasyim dan 'Isa bin Aban berpendapat, kekuatannya sama.
cxxxi
Ibid, hal. 373
cxxxii
Qadli al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 244

113

cxxxiii

Ibid, hal. 244


Ibid, hal. 244
cxxxv
al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal.114, kata jahada
cxxxvi
al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz II, hal. 309; Imam Syaukaniy,
Irsyaad al-Fuhuul, hal.250
cxxxvii
Imam Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal.250
cxxxviii
ibid, hal. 309. Lihat juga, Qadliy al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz
I, hal.197
cxxxix
al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz II, hal.309
cxl
Bandingkan dengan Imam al-Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 254-255
cxli
Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 310.
cxlii
al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz II, hal 311
cxliii
Imam al-Amidiy, menyatakan, "Syarat-syarat seorang Mujtahid dalam berijtihad
ada dua; (1) ia harus mengetahui Wujud Allah SWT, Shifat-shifat WajibNya, serta
KesempurnaanNya; dan ia juga mengetahui bahwa Allah swt adalah Wajib al-Wujud
(Wajib Ada) karena DzatNya, Hidup, Mengetahui, Memiliki Kemampuan,
Berkehendak, Berkata-kata, hingga tergambar dariNya masalah taklif. Ia harus
menyakini Rasulullah, dan semua syariat manqul yang diturunkan kepadanya,
mukjizat yang dimilikinya, tanda-tanda kenabian yang menakjubkan, agar semua
pendapat dan hukum yang disandarkan kepada beliau saw benar-benar haq. Namun
demikian, seorang mujtahid tidak disyaratkan menguasai ilmu kalam secara rinci dan
mendalam, seperti halnya ulama-ulama ahli kalam yang masyhur. Akan tetapi, ia
cukup mengetahui perkara-perkara yang berhubungan dengan masalah keimanan
seperti yang telah kami sampaikan di atas. Seorang mujtahid juga tidak disyaratkan
mengetahui dalil-dalil syariat secara terperinci hingga taraf bisa menetapkan dan
memilah-milahkan dalil, dan melenyapkan kesamaran dari dalil-dalil tersebut,
sebagaimana ahli Ushul. Namun, ia hanya cukup mengetahui dalil-dalil yang
berhubungan perkara-perkara tersebut secara global, dan tidak harus rinci. (2)
Seorang Mujtahid harus mengetahui dan memahami sumber-sumber hukum syariat
beserta bagian-bagiannya; metodologi penetapannya, arah dilalah atas madlulmadlulnya, perbedaan martabatnya, syarat-syaratnya. Ia juga harus mengetahui
arah tarjihnya jika terjadi pertentangan diantara dalil-dalil tersebut, dan bagaimana
cara menggali hukum dari dalil tersebut. Ia juga mampu melakukan tarjih dan
penetapan dalil; serta mampu menguraikan (memisahkan) pertentangannya. Hal ini
akan tercapai jika ia mengetahui dan memahami perawi-perawi hadits, serta cara
melakukan jarh wa ta'diil, mana yang shahih dan mana yang tidak; seperti Imam
Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Mu'in. Ia juga harus memahami asbab nuzul (latar
belakang turunnya ayat), nasikh dan mansukh yang terdapat di dalam nash-nash
syariat. Ia juga harus mengetahui bahasa Arab dan ilmu nahwu. Hanya saja, tidak
cxxxiv

114

disyaratkan ia harus memiliki kemampuan dalam hal bahasa seperti halnya alAsmu'iy, atau mahir dalam masalah nahwu, seperti Imam Sibawaih dan Khalil. Akan
tetapi, ia cukup memahami konteks-konteks bahasa Arab, serta percakapanpercakapan yang biasa terjadi diantara mereka; hingga taraf bisa membedakan
dalalah al-lafadz yang terdiri dari dalalah al-muthabiqah, al-tadlmiin, dan iltizam. Ia
juga harus mengetahui mufrad dan murkab, makna kulliy dan juz'iy, haqiqah dan
majaz, makna tungga (al-tawathiy) dan makna pecah (al-muystarak), taraduif dan
tabaayun, nash dan dzahir, umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad, manthuq
dan mafhum, dalalah iqtidla' dan isyarah, tanbih wa al-ima', dan lain-lain.
cxliv
Qadliy al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz I, hal.213-216. Bandingkan
juga dengan Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkam, juz II, hal. 309-311
cxlv

Imam al-Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 255; lihat juga al-Amidiy, al-Ihkaam fi
Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hal. 311; al-Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal. 346.
cxlvi
Imam al-Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 255-256. Menurut Qadliy al-Nabhani,
Rasulullah saw dalam masalah-masalah keduniaan, dan pengaturan peperangan,
seperti penetapan taktik dan strategi perang, beliau menetapkan keputusan
berdasarkan pendapatnya sendiri atau bermusyawarah dengan para shahabat.
Dalam masalah-masalah seperti ini Rasulullah saw tidak maksum, dan bisa saja
terjatuh ke dalam kesalahan. Hanya saja, walaupun Rasulullah saw menetapkan
keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri dalam masalah semacam ini (urusan
dunia dan taktik perang), tidak bisa dinyatakan juga bahwa Rasulullah saw
melakukan ijtihad (ijtihad menurut istilah ulama ushul) dalam urusan keduniaan dan
penentuan tatktik perang. Sebab, yang dimaksud ijtihad adalah proses mencurahkan
segenap tenaga dan kemampuan untuk menggali hukum syariat dari dalil-dalil
dzanniy.
cxlvii
Ibid, hal. 256

115

Anda mungkin juga menyukai