Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Batu saluran kemih merupakan gangguan sistem saluran kemih ketiga setelah infeksi
saluran kemih (ISK) dan BPH (Benign Prostat Hyperplasy). Data dalam negeri penderita batu
saluran kemih semakin tahun semakin meningkat.
Di Indonesia penyakit batu saluran kemih masih menempati porsi terbesar dari jumlah
pasien di klinik urologi. Insidensi dan prevalensi yang pasti dari penyakit ini di Indonesia
belum dapat ditetapkan secara pasti.
Dari data dalam negeri yang pernah dipublikasi didapatkan peningkatan jumlah penderita
batu ginjal yang mendapat tindakan di RSUPN-Cipto Mangunkusumo dari tahun ke tahun
mulai 182 pasien pada tahun 1997 menjadi 847 pasien pada tahun 2002, peningkatan ini
sebagian besar disebabkan mulai tersedianya alat pemecah batu ginjal non-invasif ESWL
(Extracorporeal shock wave lithotripsy) yang secara total mencakup 86% dari seluruh
tindakan (ESWL, PCNL, dan operasi terbuka).
Dari data di luar negeri didapatkan bahwa resiko pembentukan batu sepanjang hidup (life
time risk) dilaporkan berkisar 5-10% (EAU Guidelines). Laki-laki lebih sering dibandingkan
wanita (kira-kira 3:1) dengan puncak insidensi antara dekade keempat dan kelima, hal ini
kurang lebih sesuai dengan yang ditemukan di RSUPN-CM.
Insiden terjadinya batu ginjal (nephrolithiasis) di Amerika utara, dan Eropa diestimasikan
mencapai 0,5%. Sedangkan di Amerika prevalesninya meningkat dari 3,2% menjadi 5,2%
dalam dua tahun. Nephrolitiasis merupakan penyakit berulang, dengan tingkat kekambuhan
50% dalam 5-10 tahun dan 75% dalam 20 tahun. Sekali berulang, maka risiko berulang
selanjutnya akan meningkat dan intervalnya akan semakin pendek. Insiden nephrolithiasis,
banyak terjadi pada wanita dibandingkan pada laki- laki. Batu kapur merupakan jenis batu
terbanyak yang ditemukan pada nephrolitiasis yaitu lebih dari 80%, kemudian batu asam urat
sebanyak 5- 10% .
Prevalensi penyakit ginjal di Indonesia diperkirakan sebesar 13% pada laki-laki
dewasa dan 7% pada perempuan dewasa. Angka kejadian batu ginjal di Indonesia tahun
2002 berdasarkan data yang dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh Indonesia adalah
sebesar 37.636 kasus baru, dengan jumlah kunjungan sebesar 58.959 orang. Sedangkan

jumlah pasien yang dirawat adalah sebesar 19.018 orang, dengan jumlah kematian adalah
sebesar 378 orang (Taher, et al., 2005)

Penyakit batu saluran kemih di bagi atas batu saluran kemih bagian atas yang
meliputi batu pada ginjal dan ureter, serta batu saluran kemih bagian bawah yang meliputi
batu pada buli-buli dan urethra. Komposisi batu pada saluran kemih itu sendiri mengandung
unsur : kalsium oksalat atau kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP),
xanthyn, sistin, silikat, dan senyawa lainnya. Sedangkan Jenis dari batu pada saluran kemih
itu kita bagi menjadi dua yaitu batu kalsium dan batu nonkalsium yang terdiri dari batu
struvit, batu asam urat, batu sistin, batu xanthyn, dan batu silikat. Pada saat ini kita akan lebih
membahas secara mendalam tentang batu staghorn (Staghorn Calculi).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak dirongga retroperitoneal
bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke
medial. Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat struktur-struktur pembuluh
darah, sistem limfatik, sistem saraf, dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal.
Besar dan berat ginjal sangat bervariasi. Hal ini tergantung pada jenis kelamin, umur,
serta ada tidaknya ginjal pada sisi yang lain. Pada autopsi klinis didapatkan bahwa
ukuran ginjal orang dewasa rata-rata adalah 11.5 cm x 6 cm x 3.5 cm. Beratnya
bervariasi antara 120-170 gram atau kurang lebih 0.4% dari berat badan (Purnomo,
2008).
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrus tipis dan mengkilat yang disebut kapsula
fibrosa (true kapsul) ginjal dan diluar kapsul ini terdapat jaringan lemak perirenal. Di
sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula adrenal / suprarenal
yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersama-sama ginjal dan jaringan lemak
perirenal dibungkus oleh fasia Gerota. Fasia ini berfungsi sebagai barier yang
menghambat meluasnya perdarahan dari parenkim ginjal serta mencegah ekstravasasi
urine pada saat terjadi trauma ginjal. Selain itu fasia Gerota dapat pula berfungsi
sebagai barier dalam menghambat penyebaran infeksi atau menghambat metastasis
tumor ginjal ke organ sekitarnya. Di luar fasia Gerota terdapat jaringan lemak
retroperitoneal atau disebut jaringan lemak para renal (Purnomo, 2008 dan Frederic,
2006 ).
Di sebelah posterior, Ginjal dilindungi oleh otot-otot punggung yang tebal serta
tulang rusuk ke XI dan XII sedangkan disebelah anterior dilindungi oleh organ-organ
intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, dan duodenum; sedangkan
ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas, jejenum, dan kolon (Purnomo,
2008).
Secara anatomis ginjal terbagi menjadi dua bagian yaitu korteks dan medulla
ginjal. Di dalam korteks terdapat berjuta-juta nefron sedangkan di dalam medula
banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang
terdiri atas, tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus distalis, dan duktus

kolegentes. Darah yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di


dalam glomeruli kemudian di tubuli ginjal, beberapa zat yang masih diperlukan tubuh
mengalami reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa metabolisme mengalami sekresi bersama
air membentuk urine. Setiap hari tidak kurang 180 liter cairan tubuh difiltrasi di
glomerulus dan menghasilkan urine 1-2 liter. Urine yang terbentuk di dalam nefron
disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalikes ginjal untuk kemudian disalurkan
ke dalam ureter. Sistem pelvikalikes ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum,
kaliks mayor, dan pielum/pelvis renalis. Mukosa sistem pelvikalikes terdiri atas epitel
transisional dan dindingnya terdiri atas otot polos yang mampu berkontraksi untuk
mengalirkan urine sampai ke ureter (Frederic, 2006).

Gambar 2.1. Struktur Ginjal


Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang
langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena
sentralis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end
arteri yaitu arteri yang tidak mempunyai anstomosis dengan cabang-cabang dari arteri
lain, sehingga jika terdapat kerusakan pada salah satu cabang arteri ini, berakibat
timbulnya iskemia/nekrosis pada daerah yang dilayaninya (Purnomo, 2008).
Tiga proses penting dalam ginjal yaitu, filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus dan
seksresi tubulus. Filtrasi glomerulus melewati tiga lapisan yang membentuk membran
glomerulus, lapisan pertama adalah dinding kapiler glomerulus, lapisan kedua lapisan
gelatinosa asesuler yang dikenal sebagai membran basal dan lapisan yang ketiga
lapisan dalam kapsul bowman. Ketiga lapisan ini memiliki karakteristik yang
berbeda-beda dalam kerjanya (Guyton & Hall, 2007; Sherwood, 2010).

Reabsorbsi tubulus merupakan suatu proses perpindahan zat-zat bersifat


selektif dari lumen tubulus menuju kapiler peritubulus dan diedarkan ke seluruh
tubuh. Sekresi tubulus merupakan proses perpindahan zat-zat bersifat selektif
termasuk H+ dan K+, serta ion-ion organik yang dari kapiler peritubulus ke lumen
tubulus (Guyton & Hall, 2007; Sherwood, 2010).
A. Definisi Nefrolithiasis
Nefrolithiasis atau yang sering disebut dengan batu ginjal merupakan suatu
keadaan yang tidak normal di dalam ginjal dimana terdapat komponen kristal dan
matriks organik (Sjabani, 2006).
Batu staghorn adalah batu bentuknya yang menyerupai tanduk, dan mempunyai
cabang-cabang. Batu jenis ini dapat berukuran kecil atau besar tergantung dari ukuran
ginjalnya (Liou, 2009).

Gambar 2.2 Nephrolithiasis

B. Etiologi
Batu ginjal dapat disebabkan oleh peningkatan pH urine (misalnya batu kalsium
bikarbonat) atau penurunan pH urine (misalnya batu asam urat). Konsentrasi bahanbahan pembentuk batu yang tinggi di dalam darah dan urine serta kebiasaan makan
atau obat-obatan tertentu juga dapat merangsang pembentukan batu. Segala sesuatu
yang menghambat aliran urine dan menyebabkan stasis (tidak ada pergerakan) urine
meningkatkan pembentukan batu (Corwin, 2009).

Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya


batu saluran kemih pada seseorang, yaitu faktor intrinsic dan faktor ekstrinsik.
Faktor intrinsic:
a. Herediter (keturunan): penyakit ini diduga diturunkan dari orang tua
b. Umur: paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun
c. Jenis kelamin: jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan
pasien perempuan
Faktor ekstrinsik:
a. Geografi: pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih
yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt
(sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di Afrika Selatan hampir tidak dijumpai
penyakit batu saluran kemih.
b. Iklim dan temperature
c. Asupan air: kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air
yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
d. Diet: diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit
batu saluran kemih
e. Pekerjaan: penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak
duduk atau kurang aktivitas atau sedentary life.
C. Gejala Klinik
Keluhan yang disampaikan oleh pasien tergantung pada posisi atau letak batu,
besar batu dan penyulit yang telah terjadi.Keluhan yang paling sering dirasakan oleh
pasien adalah nyeri pada pinggang. Nyeri ini mungkin bias berupa nyeri kolik ataupun
bukan kolik. Nyeri kolik terjadi karena aktifitas otot polos sistem kaliks maupun
ureter

meningkat

dalam

usaha

untuk

mengeluarkan

batu

dari

saluran

kemih.Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat


sehingga terjadi peregangan dari saraf terminal yang memberikan sensasi nyeri. Nyeri
nonkolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis atau
infeksi ginjal (Purnomo, 2009).
Hematuria seringkali dikeluhkan oleh pasien akibat trauma pada mukosa
saluran kemih yang disebabkan oleh batu.Kadang- kadang hematuria didapatkan dari
pemeriksaan urinalisis berupa hematuria mikroskopik.Jika didaptakan demam harus
dicurigai adanya urosepsis. Dapat juga ditemukan mual muntah dikarenakan adanya
jalur syaraf yang menginervasi pelvis ginjal, lambung dan intestine melalui axis
celiacus dan syaraf vagal afferent (Purnomo, 2009).
D. Jenis Batu

Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur kalsium oksalat atau kalsium
fosfat, asam urat, magnesium ammonium fosfat (MAP), xanthyn, sistin dan silikat.
1. Batu Kalsium
Batu jenis ini paling banyak dijumpai yaitu kurang lebih 70-80% dari seluruh
kemih.Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat atau
campuran dari kedua unsur itu.
Faktor terjadinya batu kalsium adalah :
a. Hiperkalsiuri ( kadar kalsium urin > 250- 300 mg/24 jam). Dapat terjadi karena
hiperkalsiuri absorbtif (karena peningkatan absorbsi kalsium melalui usus).
Hiperkalsiuri renal dapat terjadi karena adanya gangguan kemampuan
reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal, hiperkalsiuri resorptif terjadi karena
adanya peningkatan reasorpsi kalsium tulang, yang banyak terjadi pada
hiperparatiroidisme primer atau pada tumor paratiroid.
b. Hiperoksaluri, merupakan ekskresi oksalat urin yang melebihi 45 gram perhari.
Keadaan ini banyak dijumpai pada pasien yang mengalami gangguan pada usus
sehabis menjalani pembedahan usus dan pasien yang banyak mengkonsumsi
makanan yang kaya akan oksalat, diantaranya teh, kopi, jeruk dan bayam.
c. Hiperurikosuria, merupakan keadaan dimana kadar asam urat di dalam urin
melebihi 850 mg/24 jam. Asam urat yang berlebihan dalam urin sebagai inti
batu atau nidus dalam terbentuknya batu kalsium oksalat. Sumber asam urat
didalam urine berasal dari metabolisme endogen.
d. Hipositraturia
Dalam urin, sitrat bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium sitrat, sehingga
menghalangi ikatan kalsium dengan okalat atau fosfat.Hipositrat dapat terjadi
pada, sindrom malabsorbsi atau pemakaian thiazide jangka lama.
e. Hipomagnesuria
Magnesium bertindak sebagai penghambat magnesium oksalat sehingga
mencegah ikatan kalsium dengan oksalat.Penyebab tersering hipomagnesuria
adalah penyakit inflamasi usus yang diikuti gangguan malabsorbsi.
2. Batu Struvit
Batu struvit disebut juga batu infeksi, karena terbentuknya batu ini disebabkan
oleh adanya infeksi saluran kemih.Kuman penyebab infeksi ini adalah kuman
golongan pemecah urea atau urea splitter yang dapat menghasilkan enzim urease
dan merubah urin menjadi bersuasana basa.Suasana basa ini yang memudahkan
garam- garam magnesium, ammonium, fosfat dan karbonat membentuk batu
magnesium ammonium fosfat (MAP).
3. Batu asam urat

Penyakit batu asam urat banyak diderita oleh pasien penyakit gout, penyakit
mieloproliferatif, pasien

yang mendapatkan terapi antikanker dan banyak

menggunakan obat urikosurik ( thiazide,salisilat).Sumber asam urat berasal dari


diet yang mengandung purin dan metabolisme endogen dalam tubuh. Asam urat
relatif tidak larut dalam urin sehingga dalam keadaan tertentu mudah sekali
membentuk kristal asam urat.
4. Batu jenis lain
Batu sistin, xanthin, batu triamterene dan batu silikat sangat jarang
dijumpai.Batu sistin dapat terjadi karena kelainan metabolisme sistin.Batu xanthin
terbentuk karena penyakit bawaan berupa defisiensi enzim xanthin oksidase yang
mengkatalis perubahan hipoxanthin menjadi xanthin dan xanthin asam urat
(Purnomo, 2009).
E. Patofisiologi
Batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat- tempat
yang sering mengalami hambatan dalam urin (stasis urin), yaitu pada sistem kaliks
ginjal atau buli- buli. Adanya kelainan pada pelvikaliks, divertikel, obstruksi
infravesika kronis seperti pada hiperplasia prostat benigna, striktura dan buli- buli
neurogenik merupakan keadaan- keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan
batu (Purnomo, 2009).
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan- bahan organik
maupun anorganik yang terlarut dalam urin. Kristal- kristal tersebut tetap berada
dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urin jika tidak ada keadaan- keadaan
tertentu yang menyebabkan presipitasi kristal. Kristal- kristal yang saling mengadakan
presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi,
dan menarik bahan- bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun
ukuranya cukup besar, agregatkristal masih rapuh dan belum cukup mampu
menghambat saluran kemih. Untuk itu agregrat kristal menempel pada epitel saluran
kemih (membentuk retensi kristal), dan bahan- bahan lain diendapkan pada agregrat
tersebut sehingga membentuk batu yang cukup besar sehingga menyumbat saluran
kemih (Purnomo, 2009).
Kondisi metastable dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid didalam
urine, konsentrasi solute dalam urin, laju aliran urin di dalam saluran kemih, atau

adanya korpus alineum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu
(Purnomo, 2009).
Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu kalsium, baik yang
berikatan dengan oksalat maupun fosfat membentuk batu kalsium oksalat dan kalsium
fosfat, sedangkan sisanya berasal dari batu asam urat, batu magnesium ammonium
fosfat (batu infeksi), batu xanthyn, batu sistein dan batu jenis lainnya. Meskipun
patogenensis pembentukan batu- batu diatas hampir sama, tetapi suasana didalam
saluran kemih yang memungkinkan terbentuknya jenis batu itu tidak sama. Misalnya
asam urat mudah terbentuk dalam suasana asam sedangkan batu magnesium
ammonium fosfat terbentuk karena urine bersifat basa (Purnomo, 2009).
F. Penegakan Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis, dapat dilakukan dengan anamnesa, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi.
1. Laboratorium
Pemeriksaan sedimen urin menunjukkan adanya leukosituria, hematuria, dan
dijumpai

kristal-kristal

pementuk

batu.

Pemeriksaan

kultur

urin

dapat

menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea. Pemeriksaan faal ginjal


bertujuan untuk mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal dan
untuk mempersiapkan pasien menjalani pemeriksaan foto IVU. Perlu juga
diperiksa kadar elektrolit yang disuga sebagai faktor penyebab timbulnya batu
saluran kemih (antara lain kadar: kalsium, oksalat, fosfat, maupun urat dalam
darah maupun dalam urin) (Purnomo, 2008).
2. Foto Polos Abdomen
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya
batu radio-opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kasium
fosfat bersifat radio-opak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain,
sedangkan batu asam urat bersifat non-opak (radio-lusent) (Purnomo, 2008).
3. Intra Venous Urography atau Pielografi Intra Vena (PIV)
PIV adalah pemerikasaan gold standart untuk mendeteksi adanya obstruksi pada
pasien dengan fungsi ginjal yang normal, tidak alergi dengan kontras dan tidak
sedang hamil. PIV dapat menilai anatomi dan fungsi dari organ traktus urinarius
yang mengalami obstruksi.
Pada obstruksi urinarius yang akut maka pada PIV akan terlihat:

(a). Obstruksi nefrogram


(b). Terlambatnya pengisian kontras pada sistem urinarius
(c). Dilatasi dari system urinarius, mungkin juga terjadi ginjal membesar
(d). Dapat juga terjadi ruptur fornix akibat extravasasi traktus urinarius (Purnomo,
2008; Sylvia dan Lorraine, 2003).
4. USG
USG merupakan alat yang baik untuk mengevaluasi ginjal pada pasien azotermia,
alergi terhadap kontras, wanita yang sedang hamil, atau pada anak-anak, faal
ginjal yang menurun. Informasi yang signifikan mengenai parenkim ginjal dan
sistem urinarius dapat diperoleh tanpa adanya expose dengan radiasi dan material
kontras yang dapat menimbulkan nefrotoxic dan reaksi anaplastik. Pemeriksaan
USG dapat menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan
sebagai echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis, atau pengerutan ginjal
(Purnomo, 2008).
G. Penatalaksanaan
1. Medika mentosa
Terapi medika mentosa yang diberikan bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri dan
memperlancar aliran urin dengan pemberian diuretik.Minum banyak air
dimaksudkan untuk mendorong batu keluar.
2. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsi)
ESWL adalah pemecah batu, baik batu ginjal, batu ureter proksimal, atau batu bulibuli tanpa melalui tidakan invasive dan tanpa pembiusan.Batu dipecah menjadi
fragmen-

fragmen

kecil

sehingga

mudah

dikeluarkan

melalui

saluran

kemih.Pecahan batu yang sedang keluar dapat menimbulkan nyeri kolik dan
menyebabkan hematuria.
3. Endourologi
Tindakan endourologi adalah tindakan invasive minimal untuk mengeluarkan batu
saluran kemih yang terdiri atas pemecah batu dan kemudian mengeluarkanya dari
saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung kedalam saluran kemih.Alat
tersebut dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan).
Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai tenaga
hidraulik, energi gelombang suara atau energi laser. Beberapa tindakan endourologi
adalah:
a. PNL (Percutaneus Nephro Litholapaxy), yaitu mengeluarkan batu yang berada
didalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke sistem

kaliks melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah
terlebih dahulu menjadi fragmen- fragmen kecil.
b. Litotripsi yaitu memecah batu buli- buli atau batu uretra dengan memasukkan
alat pemecah batu (litotriptor) ke dalam buli- buli. Pecahan batu dikeluarkan
dengan eavakuator ellik.
c. Ureteroskopi atau uretero renoskopi yaitu memasukkan alat ureteroskopi per
uretram guna melihat keadaan ureter atau sistem pielo kaliks ginjal. Dengan
memakai energi tertentu, batu yang berada di dalam ureter maupun sistem
pelvikaliks dapat dipecah dengan bantuan ureteroskopi atauureterorenoskopi
ini.
d. Ekstraksi dormia yaitu mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya
melalui alat keranjang dormia.
4. Bedah Laparoskopi
Pembedahan laparoskopi untuk mengambil batu saluran kemih, cara ini banyak
dipakai untuk mengambil batu ureter.
5. Pembedahan terbuka antara lain pielotomi atau nefrolitotomi untuk mengambil
batu pada ginjal dan ureterolitotomi untuk batu di ureter (Purnomo, 2009).

H. Pencegahan
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, maka perlu dilakukan pencegahan.
Pencegahan yang dilakukan dapat berupa :
1. Menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan diusahkan produksi urin
sebanyak 2-3 liter perhari.
2. Diet untuk mengurangi kadar zat- zat komponen pembentuk batu.
3. Olahraga yang cukup.
4. Pemberian medikamentosa (Purnomo, 2009)
Beberapa diet yang dianjurkan :
1. Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urin dan
menyebabkan suasana urin menjadi lebih asam.
2. Rendah oksalat.
3. Rendah garam karena natriuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuri.
4. Rendah purin (Purnomo, 2009)
I. Komplikasi
1. Obstruksi, karena aliran urin terhambat oleh batu.
2. Infeksi saluran kemih
Infeksi dapat terjadi karena batu menimbulkan inflamasi saluran kemih dan
terhambatnya aliran urin.
3. Gagal ginjal akut
Gagal ginjal akut dapat terjadi karena urin yang tidak dapat mengalir, akan kembali
lagi ke ginjal, menekan bagian dalam ginjal dan mempengaruhi aliran darah

keginjal, sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada organ tersebut (Nevins,


2010)

BAB IV
KESIMPULAN
1. Batu ginjal (nefrolithiasis) adalah suatu keadaan yang tidak normal di dalam ginjal
dimana terdapat komponen kristal dan matriks organic
2. Batu staghorn adalah demikian karena bentuknya yang menyerupai tanduk, dan
mempunyai cabang- cabang.batu jenis ini dapat berukuran kecil atau besar tergantung
dari ukuran ginjalnya
3. Etiologi batu ginjal terdiri dari 2 faktor yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor
instrinsik herediter, umur, jenis kelamin. Faktor ekstrinsik geografi, iklim, diet, pekerjaan.
4. Jenis batu saluran kencing, kalsium, batu struvit, batu asam urat, dan batu jenis lain.
5. Penegakan diagnosis batu ginjal yaitu dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang seperti foto polos abdomen, ultrasonografi, pielografi
intravena.
6. Penatalaksanaan bisa dengan medikamentosa, ESWL,endourologi. Bedah laparoskopi.
7. Komplikasi ISK, Obstruksi, gagal ginjal akut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Akmal Taher, (2007). Guidelines penatalaksanaan penyakit batu saluran kemih 2007.
Jakarta : PP-IAUI
2. Shah J, Whitfield HN, (2002). Urolithiasis through the ages. kosong : BJU Int
3. Pearle MS, Calhoun EA, Curhan GC, (2005). Urologic disease in America project:
Urolithiasis. kosong : J Urol
4. Griffin DG, (2003). A review of the heritability of idipathic nephrolithiasis. kosong :
J. Clin. Pathol
5. Gama R, Schweitzer, (1999). Renal calculus: a unique presentation of coeliac disease.
kosong : BJU Int
6. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 2009.
Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
7. Hines, R. L., Marschall, K. E. 2008. Stoeltings Anethesia and Co-existing Disease.
5th edition. New York: Elsevier.
8. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.

Anda mungkin juga menyukai