BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
No. MR
Tanggal lahir
Usia
Jenis kelamin
Status marital
Status ekonomi
Alamat
Agama
Suku
Kewarganegaraan
Pekerjaan
Tanggal masuk
Waktu masuk
II.
: Tn. RNH
: SHLK. 0000065xxx
: 29 September 1978
: 32 tahun
: Laki-laki
: Menikah
: Menengah
: Legok - Tangerang
: Islam
: Jawa
: Indonesia
: Karyawan
: 6 Januari 2011
: Pk 19.25 WIB
Pasien mengalami sakit perut dan tidak bisa buang air besar selama 2 hari
terakhir. Pasien mengaku bahwa dia memang jarang makan buah dan sayur. Sebelum
mengalami keluhan ini pasien juga bercerita bahwa dia sempat makan di pinggir jalan,
tapi biasanya tidak apa-apa.
Pasien juga sekarang mengalami penurunan nafsu makan dan merasa lemah.
Pasien tidak memperhatikan apakah terdapat perubahan pada berat badannya, namun
ukuran pakaian dan celana biasa-biasa saja. Buang air kecil tidak mengalami gangguan.
Pada anggota keluarga tidak didapati keluhan yang sama seperti pasien. Pasien tidak
berpergian ke daerah-daerah tertentu sebelumnya. Pasien sempat berobat ke dokter dan
diberikan beberapa obat namun pasien tidak ingat namanya dan obatnya sudah habis
dimakan namun keluhan tetap ada.
3) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat diabetes mellitus, hipertensi, dan alergi disangkal oleh pasien. Dia belum
pernah mengalami sakit berat apalagi hingga dirawat di rumah sakit sebelumnya.
4) Riwayat penyakit keluarga
Pada anggota keluarga tidak didapati keluhan yang sama seperti pasien.
Sepengetahuan pasien, di keluarganya tidak ada riwayat asma, diabetes mellitus,
hipertensi, ataupun alergi.
5) Riwayat sosial ekonomi dan pribadi
Pasien merokok setengah bungkus rokok sehari sejak berusia 26 tahun. Pasien
tidak memiliki kebiasaan minum-minuman beralkohol serta menggunakan narkoba.
: Baik
: Kompos mentis (GCS 15)
: 120/90
: 76 x / menit
: 16 x / menit
: 37.6C
: 65,2 kg
: 181 cm
: 19,90
2
Status Gizi
: Baik
Status Interna
Kepala
Normosefali, tidak ada tanda trauma atau benjolan. Rambut hitam, tidak mudah
Mata
dicabut.
Konjungtiva kanan dan kiri tidak anemis, tidak ada sklera ikterik pada kedua mata,
Telinga
Hidung
Tenggorok
Gigi dan Mulut
epistaksis (-).
Hiperemis (-), T2/T2, trakea di tengah.
Bibir tampak normal, tidak ada sianosis dan tidak ada deviasi. Lidah kotor dengan
Leher
tepi hiperemis / coated tongue. Gigi geligi normal dan tidak ada karies.
Tidak tampak adanya luka maupun benjolan. Tidak teraba adanya pembesaran
Toraks
bawah
Kuku
Hasil
Satuan
Nilai Normal
Hemoglobin
14,62
g/dl
13,20 - 17,30
Hematokrit
43,96
40,00 - 52,00
Eritrosit
5,07
10^6/l
4,40 - 5,90
Leukosit
3,56 ()
10^3/l
3,80 - 10,60
Basofil
01
Eosinofil
13
Band neutrofil
26
Segmen neutrofil
44 ()
50 70
Limfosit
46 ()
25 40
Monosit
28
Trombosit
Biokimia
193,6
10^3/l
150,000 - 440,000
SGOT (AST)
56 ()
u/l
5-34
SGPT (ALT)
85 ()
u/l
0-55
Darah Lengkap
Hitung jenis
Fungsi Ginjal
Ureum
21
mg/dl
< 50
Creatinine
0,80
mg/dl
0,70-1,30
Uric acid
3,9
mg/dl
3,50-7,20
98
mg/dl
<200
Sodium (Na)
141
mmol/l
137-145
Potassium (K)
4,1
mmol/l
3,6-5
104
mmol/l
98-107
Elektrolit
Chloride (Cl)
Widal
S. typhi O
1/640
S. paratyphi AO
S. paratyphi BO
S. paratyphi CO
1/160
S. paratyphi AH
S. paratyphi BH
S. paratyphi CH
S. typhi H
Urinalisis
Maksroskopik:
-
Warna
: kuning
Penampakan
: jernih
Berat jenis
: 1,005 (N: 1,000-1,030)
pH
: 6,5 (N: 4,5-8,00)
Leucocyte esterase : - sel/l
Nitrit
:Protein
: - mg/dl
Glukosa
: - mg/dl
Keton
: - mg/dl
Urobilinogen
: 0,20 mg/dl (N: 0,10-1,00)
Bilirubin
:5
Darah samar
: - sel/l
Mikroskopik :
o
o
o
o
o
o
V. RESUME
Pasien mengalami demam sejak 8 hari yang lalu dan lebih sering timbul pada malam hari.
Demam awalnya tidak terlalu dirasa tinggi namun semakin lama semakin panas pada hari-hari
berikutnya. Demam sempat tinggi hingga menggigil namun suhu tidak diukur. Selain itu, pasien
juga mengalami sakit kepala disertai mual +, muntah . Sakit kepala dirasakan di kepala bagian
depan dan lebih sering pada malam hari. Skala nyeri kepala menurut pasien 5. Sakit kepala tidak
berputar dan tidak dipengaruhi oleh perubahan pada posisi. Pasien mengalami sakit perut dan
tidak bisa buang air besar selama 2 hari terakhir.
Sebelum mengalami keluhan ini pasien juga bercerita bahwa dia sempat makan di pinggir
jalan. Pasien juga sekarang mengalami penurunan nafsu makan dan merasa lemah. Pasien tidak
memperhatikan apakah terdapat perubahan pada berat badannya. Buang air kecil tidak
mengalami gangguan. Pada anggota keluarga tidak didapati keluhan yang sama seperti pasien.
Pasien tidak berpergian ke daerah-daerah tertentu sebelumnya. Pasien sempat berobat ke dokter
dan diberikan beberapa obat namun pasien tidak ingat namanya dan obatnya sudah habis
dimakan namun keluhan tetap ada.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan lidah kotor dengan tepi hiperemis (coated tongue),
hepatomegali, nyeri tekan pada kuadran epigastrium dan hipokondrium kanan, dan bising usus
yang menurun (3x per menit).
Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein. Bahan
makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak
menimbulkan banyak gas. Jenis makanan untuk penderita dengan kesadaran
menurun ialah makanan cair yang dapat diberikan melalui NGT. Bila pasien sadar
dan nafsu makan baik, maka dapat diberikan makanan lunak.
5. Banyak minum untuk mecegah dehidrasi karena pasien mengalami diare dan
demam.
IX. Prognosis
Ad vitam
Ad fungsionam
Ad sanactionam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia
X. Analisa Kasus
Pada pasien didapatkan manifestasi klinis berupa demam sejak 8 hari sebelum masuk
rumah sakit yang lebih sering timbul pada malam hari. Demam awalnya tidak terlalu dirasa
tinggi namun semakin lama semakin panas pada hari-hari berikutnya. Pasien juga mengalami
sakit kepala, mual tanpa disertai muntah, nyeri perut, serta konstipasi. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan hepatomegali serta nyeri tekan pada kuadran epigastrium dan hipokondrium kanan.
Dari gejala-gejala tersebut yang dapat dipikirkan adalah demam tifoid dan demam
dengue karena sama-sama memiliki gejala prodromal seperti demam, sakit kepala frontal,
muntah, serta nyeri perut dan pada pemeriksaan dapat ditemukan hepatomegali.
Demam dengue adalah penyakit menular akibat virus dengue yang diperantarai oleh
nyamuk aedes aegypti yang hidup di negara-negara tropis dan menimbulkan gejala demam akut
disertai gejala penyerta lain seperti sakit kepala seperti melayang, pegal dan rasa nyeri di otot,
gangguan pada pencernaan berupa nyeri epigastrium, mual bahkan muntah, nyeri perut, susah
buang air besar, serta diare pun bisa ditemukan pada 5-6 % kasus demam dengue. Penyakit ini
9
dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak-anak.
Pada demam dengue awalnya dapat asimtomatik (50%-90%), namun dapat juga berupa penyakit
demam non-spesifik atau timbul gejala-gejala klasik demam dengue.
Demam dengue muncul mendadak dengan kisaran suhu antara 39.5-41.4C. Demam
umumnya muncul pada hari ketiga dan berlangsung selama 5-7 hari. Demam dapat disertai oleh
rasa menggigil, mengakibatakan kulit eritematosa, dan flushing pada wajah. Demam bersifat
bifasik karena demam akan menurun selama 1-2 hari kemudian meningkat kembali sehingga
membentuk grafik pelana kuda. Pada masa penurunan suhu inilah masa kritis dimulai dimana
penyakit pasien berisiko berkembang menjadi demam berdarah dengue atau bahkan dengue
shock syndrome. Setelah demam biasanya muncul mialgia yang dapat berlangsung hingga
beberapa minggu, namun gejala mialgia tidak ditemukan pada pasien ini. Sakit kepala pada
demam dengue dapat timbul di area frontal dan retro-orbita. Pada pasien didapati nyeri kepala
frontal.
Malaria juga dijadikan diagnosis banding demam tifoid karena pada malaria ditemukan
demam, sakit kepala, malaise, nyeri sendi dan tulang, anoreksia, nyeri perut, diare, dan
hepatomegali. Malaria juga merupakan penyakit endemik di beberapa daerah di Indonesia. Dari
anamnesis diketahui pasien tidak melakukan perjalanan ke tempat-tempat selain Tangerang dan
sekitarnya. Selain itu malaria juga memiliki pola demam yang khas yaitu demam intermiten,
sedangkan demam yang dialami pasien adalah demam remiten dimana suhu badan dapat turun
setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu dapat mencapai 2.
Diagnosis banding yang lain adalah influenza. Influenza merupakan penyakit infeksi akut
saluran pernapasan terutama ditandai oleh demam menggigil, mialgia, sakit kepala, dan sering
disertai gejala pilek, sakit tenggorok, dan batuk non produktif. Lama sakitnya berkisar antara 2-7
hari dan biasanya sembuh sebdiri karena disebabkan oleh virus influenza tipe A, B, dan C. Pada
pasien tidak ditemukan gejala-gejala infeksi saluran napas sehingga diagnosis banding ini dapat
disingkirkan.
Jika dilihat pola demam pasien yang cenderung meningkat pada malam hari dan
peningkatan suhu yang semakin tinggi setelah masuk minggu kedua, ditambah dengan adanya
sakit kepala frontal, dan konstipasi maka diagnosis sementara adalah suspek demam tifoid.
10
Namun hal ini masih perlu dibuktikan dengan beberapa pemeriksaan. Untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid harus terbukti ditemukannya kuman Salmonella typhi pada kultur dengan
spesimen darah pada akhir minggu pertama, spesimen urin pada minggu ketiga, atau spesimen
feses pada minggu kedua dan ketiga.
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif
Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik
mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.
Istilah demam tifoid sebaiknya tidak dikacaukan dengan tifus yang sering disebutkan
oleh masyarakat awam karena istilah tifus mengarah kepada suatu kelompok penyakit infeksius
yang disebabkan oleh organisme Rickettsial yang dapat mengakibatkan penyakit demam akut.
Penyakit tifus ditransmisikan oleh vektor artropoda seperti Pediculosis corporis yang
mengandung Rickettsia prowazekii yaitu agen etiologi tifus ke manusia. Gejala-gejala demam
tifoid memang mirip dengan tifus maka dinamakan tifoid (menyerupai tifus).
Salmonellosis dibagi menjadi 2 yaitu demam tifoid/enterik yang disebabkan oleh S.typhi
dan S.paratyphi serta salmonellosis nontifoidal yang disebabkan oleh S.typhimurium dan
S.enteritidis. Transmisi salmonellosis nontifoidal berasal dari makanan yang terkontaminasi
misalnya daging yang kurang matang, makanan laut, produk susu sapi yang tidak terpasteurisasi,
dan makanan mentah lainnya. Transmisi S.enteritidis terutama berasal dari telur. Infeksi juga
dapat terjadi apabila seseorang terpapar dengan hewan terutama reptil. Pada salmonellosis
nontifoidal manifestasi klinis yang timbul adalah demam hingga menggigil, mual, muntah, nyeri
abdominal, diare dengan konsistensi cair tanpa darah, nyeri kepala, tenesmus, dan mialgia yang
timbul 6-48 jam setelah terpapar organisme penyebab. Demam biasanya membaik dalam 48 jam.
Pada beberapa kasus yang jarang dapat yang dapat ditemukan diare bervolume banyak seperti
pada kolera namun dapat sembuh secara spontan dalam 3-7 hari.
Jika organisme Salmonella masuk ke dalam tubuh manusia sebanyak 103-106 maka
individu tersebut akan terinfeksi. Infeksi Salmonella dapat mengakibatkan 3 sindroma yang
berbeda, yaitu enterokolitis nontifoidal, penyakit fokal nontifoidal, atau demam tifoid/demam
enterik. Infeksi ekstraintestinal yang dapat terjadi pada salmonellosis nontifoidal adalah
bakteriemia (5% kasus) yang dapat berkembang menjadi infeksi lokal seperti aneurisma aortik,
11
abses, meningitis, pneumonia, infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Penyakit fokal nontifoidal
diakibatkan oleh bakteriemia yang sementara ataupun permanen. Hampir semua organ dapat
terkena, namun lokasi-lokasi yang rentan terkena biasanya merupakan organ yang memang
memiliki abnormalitas atau kelainan struktural.
Demam yang timbul sebagai gejala demam tifoid merupakan akibat dari terangsangnya
makrofag oleh kuman Salmonella typhi sehingga makrofag melepas sitokin, interleukin, dan
mediator-mediator inflamasi lainnya yang dapat mengganggu termoregulasi tubuh sehingga
timbullah demam. Demam biasanya berkisar antara suhu 39 - 40 C.
Konstipasi pada demam tifoid terjadi akibat Peyers patches mengalami inflamasi
sehingga membengkak dan motilitas usus mengalami penurunan. Namun demam tifoid juga
dapat memiliki gejala diare khususnya diare sekretorik akibat endotoksin Salmonella typhi.
Bahkan pada beberapa kasus juga ditemukan demam tifoid dengan gejala diare terlebih dahulu
disusul oleh konstipasi beberapa hari kemudian.
Hepatomegali yang ditemukan dalam pemeriksaan fisik dapat timbul akibat makrofag
yang
melawan
kuman
Salmonella
typhi
dan
mati
dibawa
ke
organ-organ
RES
12
telah lama sembuh. Pemeriksaan widal tidak selalu positif walaupun penderita sungguh-sungguh
menderita demam tifoid.
Sebaliknya titer dapat positif (False Positive) pada keadaan tertentu seperti didapatkan
Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal akibat infeksi kuman E. coli patogen
dalam usus, Pada neonates dimana zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta,
terdapat infeksi silang dengan Rickettsia (Weil Felix), serta akibat imunisasi secara alamiah
karena masuknya basil peroral atau pada keadaan infeksi subklinis.
Pada kasus ini pasien sempat pergi ke dokter dan diberi obat namun pasien tidak
mengetahui namanya dan obat sudah habis dimakan dan keluhan tetap ada, hal tersebut
dimungkinkan karena obat yang diberikan tidak cocok untuk pengobatan mikroorganisme
penyebab penyakit atau kemungkinan yang kedua adalah pasien mengalami resistensi obat.
Saran pemeriksaan tambahan untuk kasus ini adalah pemeriksaan IgG anti-Salmonella,
kultur mikroorganisme dari spesimen darah, uji resitensi dan sensitivitas obat untuk menentukan
pemilihan obat yang cocok bagi pasien, namun karena menunggu hasilnya lama maka
pengobatan tetap dimulai sesuai protokol yang ada.
Pada pasien ini dapat diberikan obat pilihan utama saat ini yaitu golongan
Fluoroquinolone selama 5-7 hari seperti Ciprofloksasin 20 mg/kgbb/hari selama 6 hari atau
Levofloksasin 10 mg/kgbb/hari selama 1-2 minggu atau Ofloxacin 20 mg/kgbb/hari selama 7
hari. Namun, jika resistensi terjadi terhadap golongan Fluoroquinolone, maka pasien dapat
diberikan golongan Cephalosporin generasi ketiga seperti Ceftriaxone 1-2 gram intravena atau
intramuskular selama 5 hari atau 3 gram dalam 3 hari dan Cefotaxime 1-2 gram intravena atau
intramuskular.
13
BAB II
PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif
Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik
mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.1
14
Pada tahun 2000, terdapat sekitar 21,6 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dan
diantaranya menyebabkan 216.500 kematian. Insidensi demam tifoid di Asia Tengah, Selatan,
dan Tenggara serta Afrika Selatan mencapai lebih dari 100 kasus per 100.000 populasi setiap
tahunnya.2,3
Di Indonesia sendiri demam tifoid merupakan penyakit endemik dan tergolong penyakit
menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Menurut
data dari Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun
1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000
penduduk.1
Manifestasi klinis yang timbul pada penderita demam tifoid adalah demam yang
berkepanjangan dimana awalnya tidak terlalu tinggi namun lama kelamaan terus meningkat,
dapat disertai rasa menggigil, sakit kepala, berkeringat, batuk, malaise, dan atralgia. Gejalagejala saluran pencernaan bervariasi mulai dari diare, konstipasi, mual, muntah, sampai
anoreksia.4
Karena demam tifoid merupakan endemik di negara ini dan insidensinya yang masih
tinggi, pencegahan dan tatalaksana penting diketahui sehingga tidak menimbulkan komplikasi
seperti perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, dan komplikasi ekstra-intestinal seperti
meningitis, miokarditis, pleuritis, pneumonia, hepatitis,
kolesistitis, glomerulonefritis,
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
15
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif Salmonella
typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear
dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.1
Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit
menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah.
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada
tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per
10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai
dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596
menjadi 26.606 kasus. Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid pada tahun 1996 sebesar
1,08% dari seluruh kematian di Indonesia. 1,2,3
Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu S. typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B, dan S. paratyphi C. Demam yang disebabkan oleh S. Typhi cenderung untuk
menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yang lain. Salmonella merupakan
bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul.
Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan
gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob
dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen
fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4 C (130 F) selama 1 jam atau 60
C (140 F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang
rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam
sampah, bahan makannan kering, agen farmakeutika, dan bahan tinja. Salmonella memiliki
antigen somatik O dan antigen flagella H. Antigen O adalah komponen lipopolisakarida
16
dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas.
Antigen Vi adalah simpai atau kapsul kuman. Masa inkubasi S. typhi adalah 3-21 hari.
Patogenesis
Salmonella typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Jika IgA
kurang baik pertahanannya, maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan
menuju ke lamina propia. Di lamina propia kuman akan berkembangbiak. Sebagian kuman
akan ditangkap dan digagosit oleh sel mononuklear, namun masih dapat hidup di dalam
makrofag tersebut, dibawa ke Payers patch ileum distal, menuju kelenjar getah bening
mesenterika, melalui duktus toraksikus ke sirkulasi darah, terjadilah bakteriemi I namun
masih asimtomatik. Setelah berkembangbiak di RES dan tersebar ke organ-organ RES seperti
hati dan limpa, kuman akan keluar dari makrofag, berkembangbiak di luar sel atau ruang
sinusoid dan masuk lagi ke dalam sirkulasi darah, maka terjadilah bakteriemi II yang dapat
menimbulkan gejala-gejala sistemik.
Dari hepar, kuman masuk ke kantong empedu, berkembangbiak, dan diekskresi secara
intermiten ke lumen usus bersama-sama dengan cairan empedu. Sebagian akan keluar lewat
feses, dan sisanya akan menembus usus masuk ke darah.
Interaksi Salmonella typhi dengan makrofag memunculkan mediator-mediator lokal sehingga
peyers patches mengalami hiperplasi jaringan, nekrosis dan ulkus (hipersensitivitas tipe
IV/lambat). Secara imunulogi, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah
melekatnya Salmonella typhi pada mukosa usus. Imunitas humoral sistemik, diproduksi IgM
dan IgG untuk memudahkan fagositosis Salmonella typhi oleh makrofag. Imunitas seluler
berfungsi untuk membunuh Salmonalla intraseluler.
Pada gejala sistemik timbul demam, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi
sumsum tulang, bahkan nekrosis organ bila pembuluh darah di sekitar peyers patches
mengalami erosi dan perdarahan.
17
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi Salmonella Typhi berlangsung selama 3-21 hari. Transmisi atau penularannya
dapat terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi S. typhi. Selama masa
inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan,
yaitu:
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung tiga minggu. Bersifat febris remiten dan
suhu tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, biaasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.
Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggun ketiga
suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah. Lidah ditutupi
selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, dapat disertai tremor.
Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa
membesar disertai nyeri pada saat perabaan. Dapat ditemukan gejala konstipasi, diare, dan
kombinasi keduanya. Selain itu dapat disertai gejala mual dan muntah.
3. Gangguan kesadaran (gejala susunan saraf pusat)
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah. Pada punggung dan anggota gerak dapat
ditemukan rose spots, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit.
Rose spots biasanya ditemukan dalam akhir minggu pertama demam pada 25% kasus.
Kadang-kadang ditemukan bradikardia dan mungkin pula ditemukan epistaksis.
18
Rose spots
pada
abdomen
seorang
pasien
dengan
demam
tifoid akibat Salmonella typhi.
Diagnosa
Diagnosa demam tifoid dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
ditunjang oleh pemeriksaan laboratorik seperti ditemukannya leukopenia, anesonofilia, dan
limfositosis relatif pada permulaan timbulnya gejala. Mungkin terdapat anemia dan
trombositopenia ringan.
Pada pemeriksaan sumsung tulang dapat ditemukan gambaran sumsum tulang berupa
hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag sedangkan sistem eritropoesis, granulopoesis,
dan trombopoesis berkurang.
Pada biakan empedu dapat ditemukan kuman Salmonella typhi dalam darah penderita
biasanya dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan
feces dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu pemeriksaan
yang positif dari contoh darah digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan
19
pemeriksaan negatif dari contoh urin dan fases 2 kali berturt-turut digunakan untuk
menentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh dan bukan karier.
Pemeriksaan Widal dapat dipakai untuk mendukung adanya diagnosis demam tifoid, namun
sekarang pemeriksaan Widal sudah mulai ditinggalkan. Prinsip pemeriksaannya ialah reaksi
aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen Salmonella
typhi. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan
mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang
masih menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk menegakkan diagnosis yamg perlu diperlukan
ialah titer zat anti tehadap antigen O. titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau
menunjukkan kenaikan yang progresif diperlukan untuk membuat diagnosis. Titer tersebut
mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer terhadap antigen H
tidak diperlukan untuk diagnosis karena dapat tetap tinggi setelah mendapat imunisasi atau
penderita telah lama sembuh. Tidak selalu pemeriksaan widal positif walaupun penderita
sungguh-sungguh menderita demam tifoid sebagaimana terbukti pada autopsi setelah
penderita meninggal dunia.
Sebaliknya titer dapat positif (False Positive) pada keadaan tertentu seperti didapatkan Titer
O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal akibat infeksi kuman E. coli patogen
dalam usus, Pada neonates dimana zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta,
terdapat infeksi silang dengan Rickettsia (Weil Felix), serta akibat imunisasi secara alamiah
karena masuknya basil peroral atau pada keadaan infeksi subklinis.
Diagnosis Banding
Bila tedapat demam yang lebih dari satu minggu sedangkan penyakit yang dapat
menerangkan penyebab demam tersebut belum jelas, penyakit-penyakit yang perlu dipikirkan
selain demam tifoid adalah demam dengue, influenza, tuberkulosis, malaria, dan lain-lain.
Tatalaksana
Tatalaksana meliputi tatalaksana medikamentosa dan non-medikamentosa.
20
a. Tatalaksana medikamentosa
Obat pilihan utama adalah golongan Fluoroquinolone selama 5-7 hari seperti
Ciprofloksasin 20 mg/kgbb/hari selama 6 hari atau Levofloksasin 10 mg/kgbb/hari
selama 1-2 minggu. Namun golongan Fluoroquinolone tidak boleh diberikan pada anakanak karena akan mengganggu pertumbuhan tulang karena mempercepat penutupan
epifisis. Maka dapat diganti dengan obat golongan Cephalosporin generasi ketiga seperti
Ceftriaxone dan Cefotaxime. Pada orang dewasa yang resisten terhadap golongan
Fluoroquinolone juga dapat diberikan golongan Cephalosporin generasi ketiga seperti
Ceftriaxone 1-2 gram intravena atau intramuskular selama 5 hari atau 3 gram dalam 3
hari dan Cefotaxime 1-2 gram intravena atau intramuskular.
Dulu obat pilihan utama adalah kloramfenikol, kecuali bila penderita mengalami
resistensi dapat diberikan obat lain misalnya ampisilin, kotrimoksasol, dan lain-lain.
Dianjurkan pemberian kloramfenikol dengan dosis yang tinggi, yaitu 100 mg/kgbb/hari,
diberikan 4 kali sehari peroral atau intramuskular atau intravena bila diperlukan.
Pemberian kloramfenikol dosis tinggi tersebut memberikan manfaat yaitu waktu
perawatan dipersingkat dan relaps tidak terjadi. Akan tetapi mungkin pembentukan zat
anti kurang, oleh karena basil terlalu cepat dimusnahkan. Penderita yang pulang perlu
diberikan suntikan vaksin Tipa.
Pada wanita hamil tidak boleh diberikan Kloramfenikol karena dapat menimbulkan
partus prematurus pada trimester ketiga dan kematian janin intrauterine. Tiamfenikol juga
tidak aman diberikan karena bersifat teratogenik pada trimester pertama. Maka pada
wanita hamil dapat diberian Ampicilin 50-150 mg/kgbb untuk 2 minggu, Amoxicilin 50150 mg/kgbb untuk 2 minggu, dan Ceftriaxone 1-2 gram intravena atau intramuscular
selama 5 hari atau 3 gram dalam 3 hari.
21
Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai. Misalnya pemberian cairan
intravena untuk penderita dengan dehidrasi dan asidosis. Bila terdapat bronkopneumonia
harus ditambahkan Penicilin dan lain-lain.
b. Tatalaksana non-medikamentosa
1. Isolasi penderita dan disinfeksi pakaian dan ekskreta untuk mencegah penularan
kuman ke orang-orang sekitar pasien.
2. Bedrest.
Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali yaitu istirahat mutlak,
berbaring terus di tempat tidur. Seminggu kemudian boleh duduk dan selanjutnya boleh
duduk dan berjalan.
3. Perawatan yang baik dilakukan untuk mencegah komplikasi, mengingat sakit yang
lama, lemah, anoreksia dan lain-lain.
4. Pengaturan diet.
Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein. Bahan makanan
tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak
gas. Susu 2 kali satu gelas sehari perlu diberikan. Jenis makanan untuk penderita dengan
kesadaran menurun ialah makanan cair yang dapat diberikan melalui NGT. Bila pasien
sadar dan nafsu makan baik, maka dapat diberikan makanan lunak.
5. Banyak minum untuk mecegah dehidrasi karena pasien mengalami diare dan demam.
22
Komplikasi
1. Komplikasi intestinal umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal. Pada usus halus
dapat terjadi :
a. Perdarahan usus. Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan
darah samar pada tinja dengan menggunakan benzidin. Bila perdarahan banyak
terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tandatanda renjatan.
b. Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelah itu dan terjadi
pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang
dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang
dibuat dalam keadaan tegak.
c. Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi
usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang (defense muscular) dan nyeri pada tekanan.
2. Komplikasi ekstra-intestinal yang terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis
(bakteremia) yaitu meningitis, kolesistis, ensefalopati dan lain-lain. Selain itu, komplikasi
ekstra-intestinal dapat terjadi karena infeksi sekunder misalnya pada bronkopneumonia.
Dehidrasi dan asidosis dapat timbul akibat masukan makanan yang kurang dan perspirasi
akibat suhu tubuh yang tinggi.
Prognosis
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat berobat.
Mortalitas pada penderita yang dirawat ialah 6%. Prognosis menjadi buruk bila terdapat
gejala klinis yang berat seperti:
1. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinu.
23
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
24
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p1752-1757
2. Centers for Disease Control and Prevention. Typhoid fever. October 5, 2010. [cited 2011 Jan
8]. [Internet] Available at: http://www.cdc.gov/nczved/divisions/dfbmd/diseases/typhoid_fever/
3. Klotchko A, Mark RW. Salmonellosis. Mar 31, 2009. [cited 2011 Jan 11]. [Internet] Available
at: http://emedicine.medscape.com/article/228174-overview
4. Fauci AS, et al. Harrisons Manual of Medicine. 17th ed. New York: McGraw Hill; 2009. p
456-457
5. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid and parattyphoid fever. Lancet. Aug 2005;366:74962.
6. Brusch J. Typhoid fever. April 8, 2010. [cited 2011 Jan 11]. [Internet] Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview
7. Klotchko A. Salmonellosis. Mar 31, 2009. [cited 2011 Jan 8]. [Internet] Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/228174-media
8. Kim AY, Goldberg MB, Rubin RH. Salmonella infections. In: Gorbach SL, Bartlett JG,
Blacklow NR, eds. Infectious Diseases. 3rd ed. Lippincott Williams and Wilkins; 2004:68.
25