Anda di halaman 1dari 19

258

Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

ARAHAN SPASIAL TEKNOLOGI DRAINASE


UNTUK MEREDUKSI GENANGAN
DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI WATU BAGIAN HILIR

Diah Ayu Kusumadewi1, Ludfi Djakfar2, Moh. Bisri2


2

1
Mahasiswa Program Magister Universitas Brawijaya Malang
Dosen Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya Malang.

Abstrak: Tingginya perkembangan penduduk menyebabkan tingginya kebutuhan akan hunian beserta
sarana prasarana pendukungnya, padahal luas wilayah relatif tetap. Hal ini menyebabkan tingginya alih
fungsi ruang terbuka menjadi terbangun. Sehingga apabila terjadi hujan, selalu terdapat genangan. Sub
Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Watu bagian Hilir adalah salah satu lokasi yang cukup diminati pengembang untuk membangun perumahan. Tercatat di lokasi studi terjadi peningkatan jumlah lokasi genangan dengan lama genangan dan tinggi genangan yang bervariasi. Di sisi lain belum ada penanganan
genangan dengan pendekatan tata ruang air, sehingga tercipta penataan ruang daratan dengan memberikan ruang yang semestinya bagi air untuk dapat masuk secara maksimal ke dalam tanah melalui proses
infiltrasi.
Tujuan penelitian ini adalah memberikan arahan spasial teknik drainase untuk mereduksi genangan di
Sub DAS Watu bagian Hilir. Metode yang dipakai adalah metode deskriptif, melalui analisa penggunaan
lahan, analisa resapan air, analisa laju limpasan permukaan, dan analisa sistem drainase, Analisis dilakukan terhadap data eksisting Tahun 2010 dengan data pada Tahun 2030 berdasarkan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2010-2030. Berdasar analisa, pada tahun 2010, luas ruang terbangun
adalah 207,36 Ha (31,82%) dan ruang terbuka 444,36 Ha (68,18%). Pada Tahun 2030 terjadi peningkatan
ruang terbangun menjadi 417,97 Ha (64,13%) diikuti penurunan ruang terbuka menjadi 233,75 Ha
(35,87%). Terjadi penurunan daya resap air dari 240.888,40 m3/tahun pada Tahun 2010 menjadi 117.444,40
m3/tahun pada Tahun 2030. Dan terjadi peningkatan laju aliran permukaan dari 118,622 m3/detik pada
Tahun 2010 menjadi 136,874 m3/detik pada Tahun 2030. Dari hasil analisa sistem drainase diperoleh
kondisi eksisting 33% tidak tersedia drainase, 17% Saluran drainase tertutup bangunan, 6% Saluran
drainase berfungsi ganda sebagai saluran irigasi, 10% Saluran drainase terlalu kecil, 14% Saluran
drainase tanpa inlet atau bibir saluran lebih tinggi daripada muka jalan, 11% Saluran drainase tidak
terpelihara atau saluran ditumbuhi rumput, dan 8% Saluran dalam kondisi baik
Dengan melihat data hasil analisis yang ada serta kajian teorinya, maka Arahan spasial teknologi drainase
untuk mereduksi genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu bagian Hilir adalah sistem eko-drainase
atau drainase ramah lingkungan, yang menyinergikan praktek penataan ruang dengan konservasi air.
Arahan spasial eko-drainase di Sub DAS Watu bagian Hilir adalah (1). Pemisahan antara saluran drainase
yang mengalirkan air limbah rumah tangga dengan saluran drainase air hujan, (2). Pembuatan sumur
resapan individu pada koridor jalan utama, terutama pada bangunan hunian menengah, hunian besar,
sarana perdagangan dan jasa, sarana industri dan pergudangan, sarana pendidikan dan kesehatan, (3).
Pembuatan sumur resapan kolektif pada bangunan dengan kepadatan tinggi, terutama bangunan hunian
sangat kecil dan kecil/sederhana, dan (4). Membuat kolam resapan bagi perumahan formal pada topografi
cekungan.
Abstract: The high population growth have led to higher demand for housing and supporting infrastructure, but the area is relatively fixed. This leads causing high conversion of open space to be built. So if it
rains, there is always a pool. In downstrean Sub Water Catchment Area of Watu is one of the quite interested
location
for developers to build housing. Recorded at the studied location, increased number of sites pool with long
pool and varying height of pools. On the other hand there has been no approach to handling spatial puddle
of water, so as to create spatial land by providing an appropriate space for water to enter the maximum into
the ground through infiltration process.
The purpose of this study is to provide the spatial direction of drainage techniques to reduce puddles on the
Lower Sub-basin Watu. The method used were descriptive method, through the analysis of land use, water
absorption analysis, analysis of the rate of surface runoff and drainage system analysis. Analyses were
258

Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu

259

performed on data with the data existing in the year 2010 based on the end year plan from Kota Malang
Spatial Plan Year 2010-2030. Based on the analysis, in 2010, woke up the living space is 207.36 ha
(31.82%) and 444.36 ha of open space (68.18%). In the year 2030 an increase in space woke up onto
417.97 ha (64.13%) followed by reduction of open space to be 233.75 ha (35.87%). A decrease in water
absorption of the Year 2010 m3/year 240,888.40 to 117,444.40 m3/year in the year 2030. And an increase
in flow rate on the surface of m3/second 118.622 136.874 m3/second Year 2010 to the Year 2030. From the
analysis of the drainage system obtained 33% of the existing conditions are not available drainage, drainage channels covered 17% of the building, 6% of the drainage channels double as irrigation canals,
drainage channels 10% too small, 14% with no inlet or drainage channels lip channels higher than face
the street, 11% poorly maintained drainage channel or channels overgrown with grass, and 8% tract in
good condition.
By looking at the result of data analysis and assessment of existing theory, then the directives of spatial
technology to reduce the pool of drainage in Sub Water Catchment Area of Watu is the eco-drainage
technology or drainage eco-friendly environment, which synergize with the spatial practices of water
conservation. Spatial direction of eco-drainage in the Lower Sub-basin Watu are (1). The separation
between the drainage channel that drains domestic wastewater with rain water drainage, (2). Preparation
of individual wells on the main road corridors, particularly in the residential building medium, large
residential, commercial and service facilities, industry and warehousing facilities, education and health
facilities, (3). Making collective wells at high density buildings, especially residential buildings are very
small and small / simple, and (4). Creating a catchment pond for formal housing in the topography of the
basin.

Genangan adalah peristiwa manakala kawasan dipenuhi air karena tidak ada drainase yang mematus
air tersebut keluar kawasan (Sobirin,2007). Jadi, genangan berhubungan erat dengan resapan dan saluran
drainase. Genangan didefinisikan sebagai sekumpulan air yang berhenti mengalir di tempat-tempat yang
bukan merupakan badan air.
Genangan ditengarai oleh sebagian pengamat
perkotaan dan lingkungan hidup, sebagai salah satu
akibat adanya konflik kepentingan dan kebutuhan antara manusia dengan air. Konflik tersebut meliputi
konflik antara ruang terbangun dengan ruang terbuka
hijau, konflik antara tata ruang bangunan dengan tata
ruang air, dan konflik antara penataan ruang dengan
pengelolaan sumber daya air.
Konflik antara ruang terbangun dengan ruang
terbuka hijau yaitu meningkatnya ruang terbangun
menyebabkan berkurangnya ruang terbuka hijau,
yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan aliran
permukaan dan berkurangnya air yang meresap ke
dalam tanah menjadi air tanah. Padahal bagi sebagian
orang, perubahan penggunaan lahan tidak terbangun
menjadi terbangun mengandung arti telah terjadi peningkatan nilai ekonomi lahan.
Konflik antara tata ruang bangunan dengan tata
ruang air yaitu terisinya suatu ruang untuk bangunan
harus diikuti dengan penataan arah aliran air. Air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Maka
pada saat mendirikan bangunan, harus selalu dibuatkan pengarah aliran menuju badan air. Sehingga air
yang jatuh di atas permukaan yang terbangun, terarah
jalannya menuju badan air, dan tidak mencari jalan

sendiri atau bahkan berkumpul di luar badan air. Jadi


menata ruang untuk pendirian bangunan harus satu
paket dengan menata ruang untuk jalannya air di sekitar rencana bangunan dimaksud.
Konflik antara penataan ruang dengan pengelolaan sumber daya air yaitu penataan ruang lebih
cenderung direncanakan dengan pendekatan wilayah
administrasi. Sedangkan pengelolaan sumber daya
air dilakukan dengan pendekatan wilayah sungai atau
melalui unit daerah aliran sungai. Disamping itu, konflik tersebut menyangkut konservasi sumber daya
air dalam pengelolaan sumber daya air dan kawasan
budidaya dalam penataan ruang. Di satu sisi untuk
memenuhi aspek konservasi sumber daya air adalah
bagaimana bisa menahan aliran permukaan (run off)
yang sebesar-besarnya dan memberi kesempatan selama-lamanya air untuk masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Di sisi lain adalah adanya kawasan budidaya
dalam penataan ruang, yang biasanya berada pada
kawasan konservasi.
Tidak ada pembangunan yang tidak menggunakan ruang. Pembangunan gedung, jalan, saluran, dan
semua bentuk pembangunan fisik lainnya selalu
menggunakan ruang. Oleh karena itu, pembangunan
selalu menjadi kambing hitam bagi sebagian orang
atas terjadinya genangan. Jadi pembangunan di satu
ruang tertentu mengakibatkan genangan di ruang
yang lain.
Menata ruang daratan dengan memberikan tempat yang semestinya bagi air untuk dapat masuk secara maksimal ke dalam tanah melalui proses infiltrasi
adalah upaya menata ruang air. Dengan demikian

260

Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

kapasitas limpasan (run off) air menjadi minimal dan


berdampak pada konservasi air tanah. Selain itu, hal
lain yang harus dipertimbangkan dalam tata ruang
air adalah dengan memahami bahwa air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah dan air membutuhkan jalan atau tempat untuk mengalir, baik melalui
sistem alami berupa sungai, maupun sistem buatan
berupa saluran buatan.
Rachmat Fajar Lubis dalam Majalah Inovasi Online ISSN: 0917-8376 Vol. 7 XVIII Juni 2006, menulis
bahwa Air merupakan salah satu parameter kendali
dalam tata ruang. Pengembangan tata ruang sangat
berdampak terhadap siklus air yang ada di suatu
wilayah sungai. Siklus air tersebut maksudnya adalah
siklus hidrologi, yaitu siklus keseimbangan antara air
hujan, air permukaan, dan air bawah tanah (air tanah).
Air yang harusnya meresap sebagai infltrasi dan menjadi imbuhan bagi air tanah bila terhalang akan berakibat meningkatnya aliran permukaan dan menyebabkan genangan air bila tidak diarahkan masuk ke
badan air.
Perkembangan suatu kota biasanya ditandai dengan indikator pertumbuhan penduduk yang tinggi,
akibat semakin tingginya minat penduduk untuk bisa
bekerja dan bertempat tinggal di kota tersebut, sehingga arus urbanisasi semakin meningkat. Peningkatan jumlah penduduk biasanya diikuti dengan tuntutan penyediaan sarana dan prasarananya. Konsekuensi logis dari rantai perkembangan kota ini adalah
terjadinya perubahan fungsi guna lahan atau alih fungsi lahan. Pengalihan fungsi lahan di perkotaan cenderung ke arah penutupan lahan dengan bahan-bahan
yang tidak tembus air (impervious) seperti semen
dan aspal, sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan hidrologi. Kondisi seperti ini akan semakin parah apabila kapasitas saluran drainase yang
diharapkan mampu membawa air ke sungai tidak
mencukupi, sehingga menimbulkan genangan di tempat-tempat tertentu yang apabila dibiarkan akan semakin meluas dan menimbulkan kerusakan fungsi
prasarana kota lainnya.
Drainase merupakan suatu sistem yang dibuat
untuk menangani persoalan kelebihan air, baik yang
berada di atas maupun di bawah permukaan. Drainase bukan satu-satunya metode untuk mengatasi
genangan, namun dengan kondisi sistem drainase
yang baik, dapat mengurangi dampak buruk akibat
kelebihan air pada permukaan tanah.
Kota Malang, sebagai kota orde 2 di wilayah
Propinsi Jawa Timur, yang memiliki cuaca cukup bersahabat dan lingkungan pendidikan yang menarik,
menjadi daya tarik dan alternatif hunian yang nyaman
bagi sebagian masyarakat. Perkembangan Kota Ma-

lang, yang diikuti dengan peningkatan daya tarik ekonomi kota, peningkatan laju urbanisasi, dan pada
akhirnya peningkatan penyediaan prasarana hunian
dan fasilitas sarana pendukungnya, membawa konsekuensi tidak terelakkannya pengalihfungsian lahan,
dari lahan dengan tutupan vegetasi menjadi lahan dengan tutupan beton, aspal, dan material tutupan lahan
yang tidak tembus air.
Fenomena terjadinya genangan akibat curah hujan di Kota Malang saat ini juga sudah mulai tampak
umum dan semakin meluas, terutama pada saat terjadi
hujan dengan intensitas tinggi dan cukup lama. Hal
ini tentunya cukup mengejutkan mengingat Kota Malang adalah kota yang memiliki topografi dataran tinggi, dan dilintasi sungai-sungai besar yang berfungsi
sebagai drainase utama (main drain).
Sejak sekitar Tahun 1995, genangan menjadi bagian dari masalah serius yang timbul di Kota Malang.
Air banyak menggenang di ruang manfaat jalan (rumaja) bahkan kadang prasarana jalan menjadi jalannya air karena kapasitas prasarana saluran drainase
tidak mencukupi, karena tidak adanya jalur air menuju
saluran drainase, atau karena posisi jalan lebih rendah
daripada inlet saluran drainase. Penanganan per titik
genangan telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Malang, tetapi tidak menyelesaikan permasalahan secara tuntas. Bahkan titik-titik genangan semakin banyak dan meluas. Penanganan genangan oleh Pemerintah Kota Malang yang cenderung melihat satu
titik genangan, bukan satu sistem genangan, membuat
genangan sebenarnya hanya beralih tempat.
Pembangunan dan perkembangan bangunan di
Kota Malang tidak dapat dihindarkan dan dihentikan,
akan tetapi perlu dilakukan penataan pemanfaatan
ruang dengan memperhatikan tata ruang airnya, maksudnya tetap memberikan tempat yang semestinya
bagi air untuk dapat masuk secara maksimal ke dalam
tanah melalui proses infiltrasi dan mampu mengarahkan air untuk mengalir ke badan air sehingga tercipta
ruang yang mampu meminimasi dan mengeleminir
terjadinya genangan akibat pembangunan.
Genangan seharusnya bukan masalah bagi Kota
Malang, mengingat keadaan topografi Kota Malang
yang berada pada daerah pegunungan/dataran tinggi
dengan ketinggian rata-rata 380 667 meter di atas
permukaan laut dengan kemiringan yang bervariasi
sebagian besar antara 0 15% serta terdapat sungaisungai besar yang membelah Kota Malang. Sebagai
suatu drainase alam, perananan sungai-sungai yang
ada di Kota Malang sebenarnya sangat membantu
dalam usaha menata dan mengembangkan sistem
drainase kota.

Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu

Sungai-sungai yang melewati Kota Malang adalah Sungai Brantas, Sungai Metro, Sungai Amprong,
Sungai Bango, dan Sungai Sukun. Kelima Sungai tersebut membentuk Daerah Aliran Sungai (DAS)
Brantas Hulu, DAS Metro dan DAS Amprong. Sungai Sukun membentuk Sub DAS Sukun yang merupakan bagian dari DAS Metro. Sedangkan Sungai
Bango membentuk Sub DAS Bango yang merupakan
bagian dari DAS Amprong.
Pada Tahun 2006, Pemerintah Kota Malang telah membuat Studi Drainase Berbasis Daerah Pengaliran Sungai (DPS) untuk DPS Metro, DPS Brantas,
DPS Bango, DPS Amprong, dan DPS Sukun. Akan
tetapi solusi yang disampaikan dalam studi tersebut
hanya solusi teknis struktural, yakni hanya penanganan struktural fisik prasarana saluran drainasenya. Padahal dengan pendekatan DPS, ada banyak solusi
non struktural yang bisa dilakukan.
Banjir di Kota Malang mengakibatkan banyak
rumah terendam di Kelurahan Bandungrejosari, Kecamatan Sukun, Kota Malang. Di kelurahan itu, sebagian besar rumah terendam air setinggi 170 cm
dan 80 orang warga diungsikan ke tempat yang lebih
aman di rumah-rumah penduduk (http://www.tempo
interaktif.com tanggal 21 Nopember 2005). Hal ini
sangat mengejutkan, mengingat lokasi dimaksud luas
ruang terbukanya jauh lebih besar dibandingkan luas
ruang terbangunnya.
Pemerintah Kota (Pemkot) Malang menyatakan
11 lokasi di Kota Malang sebagai daerah rawan banjir yang lokasinya tersebar di dalam kota atau jalan
protokol, sedangkan sisanya di daerah pinggiran. Salah satunya adalah Jalan Sudanco Supriadi, dan sekitarnya. Beberapa lokasi genangan yang cukup parah di pinggiran kota adalah di Kelurahan Bandungrejosari dan sekitarnya yang saat ini mulai banyak
dilirik sebagai lokasi-lokasi hunian (http:// www.
tempointeraktif.com tanggal 25 Nopember 2005).
SDN 1 Bandungrejosari tutup karena tergenang,
setelah selama 2 (dua) hari Kota Malang dilanda hujan terus menerus. Pusat perbelanjaan di wilayah kecamatan Klojen juga menjadi titik-titik genangan yang
belum bisa dipecahkan (http://www.kompas.com
tanggal 17 Pebruari 2010)
Bisnis properti yang semakin marak menjadi penyebab utama terjadinya banjir di perkotaan. Area
parkir air berubah fungsi menjadi lokasi bangunan.
Hak air untuk meresap ke dalam tanah terhalangi
lapisan kedap air, tanpa ada pengganti bagi daerah
resapan. Peristiwa ini menjadi dosa bersama seluruh
stakeholder pembangunan kota (Rudianto dalam
http://www.bebasbanjir2025.com tanggal 4 Januari
2011).

261

Studi yang dilakukan penulis, dilatarbelakangi kurang adanya arahan spasial teknologi drainase untuk
mengurangi genangan tanpa menghambat pembangunan. Lokasi yang dipilih adalah Sub Daerah Aliran
Sungai (Sub DAS) Watu bagian Hilir, yang secara
administratif adalah Kelurahan Bandungrejosari dan
Kelurahan Bakalankrajan Kecamatan Sukun. Sub
DAS Watu bagian Hilir adalah salah satu unit Daerah
Aliran Sungai (DAS) Metro yang merupakan bagian
dari Satuan Wilayah Sungai (SWS) Brantas. Kedua
kelurahan tersebut merupakan 2 (dua) kelurahan dari
57 (lima puluh tujuh) kelurahan di Kota Malang, yang
cukup diminati para pengembang perumahan.
Pada area Sub DAS Watu bagian Hilir, luas area
terbangunnya lebih kecil dibandingkan luas area yang
belum terbangun, akan tetapi setiap terjadi hujan yang
cukup lama atau hujan dengan intensitas relatif tinggi,
selalu ditemui lokasi-lokasi yang tergenang, dengan
tinggi dan durasi genangan yang bervariasi. Dengan
minat yang tinggi dari pengembang perumahan untuk
mendirikan bangunan hunian sebagai perumahan formal disertai fasilitas sarana dan prasarana pendukungnya, maka wilayah lokasi studi memiliki kecenderungan potensi genangan yang meningkat, dan apabila tidak dilakukan tindakan akan menimbulkan dampak negatif seperti gangguan terhadap aktivitas atau
ketidaknyamanan penduduk dan ketidaksehatan lingkungan.

Perumusan Masalah
Dari latar belakang maka rumusan masalahnya
adalah: Bagaimana arahan spasial mengurangi genangan tanpa menghambat pembangunan di Sub
DAS Watu bagian Hilir?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat
maka tujuan dari studi ini adalah menganalisis arahan
spasial teknologi drainase untuk mengurangi genangan tanpa menghambat pembangunan di Sub DAS
Watu bagian Hilir.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dengan dilakukannya Studi ini adalah:
1. Bagi Pemerintah Kota Malang: Sebagai masukan pada Pemerintah Kota Malang, mengenai
pentingnya membangun dengan menyeimbangkan antara kepentingan tata ruang dan konservasi air.
2. Bagi Akademisi: Memberi informasi tentang konsep mengurangi genangan, tanpa mengkambinghitamkan pembangunan

262

3.

Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

Bagi masyarakat Kota Malang secara umum:


Memberi informasi dan sebagai pembuka
wawasan akan pentingnya menyeimbangkan
penataan ruang dan konservasi air.

Ruang Lingkup Materi


Berdasarkan tujuan studi, maka materi yang dibahas meliputi:
1. Tinjauan spasial adalah tinjauan keruangan, dalam hal ini adalah satu kesatuan Sub Daerah
Aliran Sungai Watu bagian Hilir, meliputi ruang
terbangun dan tidak terbangun.
2. Teknologi drainase adalah metode drainase atau
metode mengelola kelebihan air di agar tidak
menggenang dan menimbulkan dampak lanjutan.
Kondisi drainase di lokasi studi dititikberatkan
sampai dengan saluran drainase pengumpul dan
pembawa, tanpa perhitungan detail kapasitas saluran.
3. Genangan adalah sekumpulan air yang tidak meresap ke dalam tanah dan tidak mengalir ke lokasi yang lebih rendah, diidentifikasikan dengan
limpasan air permukaan
4. Tinjauan tata ruang air dianalogikan melalui penataan jalannya air, agar air hujan yang jatuh
dikelola jalannya air yang meresap dan jalannya
air yang mengalir menuju saluran drainase utama
(main drain. Daya resap air ditinjau secara spasial, tanpa meninjau jenis tanahnya, karena jenis
tanah di wilayah studi relatif homogen dengan
daya serap yang relatif seragam.

Ruang lingkup wilayah

Gambar 1. SWS Brantas

Gambar 2. DAS Metro

Pembatasan ruang lingkup wilayah dilakukan


untuk memfokuskan lokasi studi, berkaitan dengan
keterbatasan waktu kajian. Wilayah studi yang dipilih
adalah sub Daerah Aliran Sungai Watu bagian Hilir
yakni Sub DAS Watu yang masuk dalam sebagian
wilayah Kelurahan Bandungrejosari dan Kelurahan
Bakalankrajan, Kecamatan Sukun, Kota Malang. Sub
DAS Watu merupakan salah satu unit Daerah Aliran
Sungai Metro. Sungai Metro merupakan sungai orde
2 dari Sungai Brantas. Orientasi lokasi studi disajikan
pada Gambar 1 Gambar 4.

TINJAUAN PUSTAKA
Ruang Terbangun
Ketersediaan ruang adalah tidak tak terbatas.
Bila pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar terdapat pemborosan manfaat ru-

Gambar 3. Sub DAS Watu

Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu

263

c.

2.

Gambar 4. Sub DAS Watu Bagian Hilir

ang dan penurunan kualitas ruang. Oleh karena itu,


diperlukan penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran, jenis kegiatan, fungsi
lokasi, kualitas ruang, dan estetika lingkungan (Anonim, 2007: 5).
Di wilayah perkotaan, ruang terbagi atas Ruang
terbuka dan Ruang terbangun. Ruang terbuka yakni
lahan tanpa atau dengan sedikit bangunan atau dengan jarak bangunan yang saling berjauhan, dan dapat berupa pertamanan, tempat olah raga, tempat
bermain anak-anak, pekuburan, serta daerah hijau
pada umumnya (Kamus Tata Ruang, 1998: 94).
Tata guna tanah di perkotaan pada umumnya
terdiri dari dua jenis penggunaan (Jayadinata, 1992:
23), yaitu sebagai berikut:
1. Kawasan terbangun, yaitu kawasan atau area
yang telah terisi oleh bangunan fisik seperti perumahan, fasilitas umum dan sosial, serta prasarana kota lainnya.
2. Kawasan tidak terbangun, yaitu kawasan atau
area yang belum mendapatkan perlakuan fisik,
berupa lahan kosong, ruang terbuka hijau, pertanian, dan lain sebagainya.

Banjir dan Genangan


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1990: 313), Genangan berasal dari kata
genang yang artinya terhenti mengalir. Sehingga
pengertian genangan air adalah air yang berhenti
mengalir pada suatu area tertentu yang bukan merupakan badan air atau tempat air. Namun demikian
bagi masyarakat secara umum, baik genangan maupun banjir disamaratakan istilahnya sebagai banjir.
Banjir dan genangan yang terjadi di suatu lokasi
diakibatkan antara lain oleh sebab-sebab berikut ini
(Kodoatie dan Roestam Sjarief, 2005: 71):
1. Sebab pengaruh tindakan manusia:
a. Perubahan tata guna lahan (land use),
b. Pembuangan sampah,

Kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase,


d. Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat,
e. Penurunan tanah,
f. Tidak berfungsinya sistem drainase lahan,
g. Bendung dan bangunan air,
h. Kerusakan bangunan pengendali banjir.
Sebab alami:
a. Erosi dan sedimentasi,
b. Curah hujan,
c. Pengaruh fisiografi/geofisik sungai,
d. Kapasitas sungai dan drainase yang tidak
memadai,
e. Pengaruh air pasang,
f. Penurunan tanah,
g. Drainase lahan.

Perubahan tata guna lahan merupakan penyebab utama banjir dibandingkan dengan yang lainnya (Kodoatie dan Roestam Sjarief, 2005: 73).
Terdapat 2 (dua) pendekatan dalam pengendalian banjir dan genangan air (Anonim, 2003: 3-1):
1. Pengendalian Struktural (Pengendalian terhadap
banjir)
Dilakukan melalui kegiatan rekayasa teknis, terutama dalam penyediaan prasarana dan sarana
serta penanggulangan banjir.
2. Pengendalian Non Struktural (Pengendalian terhadap Pemanfaatan Ruang)
Dilakukan untuk meminimalkan kerugian yang
terjadi akibat bencana banjir, baik korban jiwa
maupun materi, yang dilakukan melalui pengelolaan daerah pengaliran, pengelolaan kawasan
banjir, flood proofing, penataan sistem permukiman, sistem peringatan dini, mekanisme perijinan, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan
upaya pembatasan (limitasi) pemanfatan lahan
dalam rangka mempertahankan keseimbangan
ekosistem.

Daerah Aliran Sungai (DAS) /


Daerah Pengaliran Sungai (DPS)
Daerah Aliran Sungai menurut Undang-Undang
No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (2004:
8) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan
satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh
aktivitas daratan.

264

Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

Definisi lain yaitu suatu daerah tertentu yang


bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anakanak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam
fungsinya menampung air yang berasal dari air hujan
dan sumber-sumber air lainnya yang penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut; daerah sekitar sungai,
meliputi punggung bukit atau gunung yang merupakan
tempat sumber air dan semua curahan air hujan yang
mengalir ke sungai, sampai daerah dataran dan muara
sungai. Ada yang menyebut dengan Daerah Pengaliran Sungai (DPS) dan Daerah Tangkapan Air
(DTA). Dalam istilah bahasa Inggris juga ada beberapa macam istilah, yaitu Catchment Area, Watershed, atau River Basin.
Sedangkan menurut Asdak (1995: 4), Daerah
Pengaliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang
secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung
gunung yang menampung dan menyimpan air hujan
untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. DAS berfungsi menampung, menyimpan,
dan mengalirkan air (hujan) sehingga untuk keseimbangan hidrologis memerlukan daerah yang berfungsi: resapan air, kontrol erosi dan limpasan permukaan.
Jadi Daerah Pengaliran sebuah sungai adalah
daerah tempat presipitasi (hujan) mengkonsentrasi
ke sungai (Sosrodarsono dan Kensaku Takeda, 1999:
169).

Hidrologi Perkotaan
Siklus hidrologi menunjukkan gerakan air di permukaan bumi. Selama berlangsungnya Siklus hidrologi, yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali
lagi ke laut yang tidak pernah habis, air akan tertahan
(sementara) di sungai, danau/waduk, dalam tanah
sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia atau
makhluk lain (Asdak, 1995: 7).

Gambar 5. Siklus hidrologi

Siklus hidrologi merupakan konsep dasar tentang


keseimbangan air secara global di bumi. Siklus ini
juga menunjukkan semua hal yang berhubungan dengan air (Kodoatie dan Roestam Sjarief, 2005: 8).
Dengan perkembangan suatu wilayah atau kawasan,
terutama perkotaan, tidak dapat dihindari adanya pembangunan yang apabila tidak dilaksanakan secara terpadu dan meyeluruh (terintegrasi dan holistik) akan
mempengaruhi proses-proses alami dalam siklus hidrologi yang akhirnya menyebabkan terganggunya
keseimbangan hidrologi.
Di dalam hidrologi perkotaan, pengaruh urbanisasi dan perubahan penggunaan lahan berperan penting. Aspek-aspek urbanisasi yang berpengaruh terhadap proses hidrologi perkotaan adalah (1) meningkatnya kepadatan penduduk, dan (2) meningkatnya
kepadatan bangunan di daerah perkotaan (Liong, 1991
dalam Anwar 2002).

Kemampuan Resap Air Hujan


Resapan air dalam tanah ialah suatu proses penambahan jumlah air ke dalam ruang di antara butir
tanah yang kosong sehingga jenuh air melalui proses
infiltrasi dan perkolasi (Anonim, 2004: II-7). Infiltrasi
adalah perjalanan air ke dalam tanah sebagai akibat
gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi
(gerakan air ke arah vertikal). Setelah keadaan jenuh
pada lapisan tanah bagian atas terlampaui, sebagian
dari air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam
sebagai akibat gaya gravitasi bumi dan dikenal sebagai proses Perkolasi (Asdak, 1995: 212). Laju
maksimal gerakan air masuk ke dalam tanah dinamakan kapasitas infiltrasi, yang mana terjadi ketika
intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam
menyerap kelembaban tanah. Sebaliknya apabila intensitas hujan lebih kecil daripada kapasitas infiltrasi,
maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan.
Proses infiltrasi melibatkan tiga proses yang saling tidak tergantung, namun saling terkait (Asdak,
1995: 213), yakni:
(1). Proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah
(2). Tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah
(3). Proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain
(bawah, samping, dan atas)
Jadi infiltrasi adalah unsur dalam siklus hidrologi
yang membawa air meresap ke dalam tanah sehingga
menambah air tanah. Apabila tanah tertutup oleh lapisan yang kedap air, maka air hujan yang jatuh akan
langsung melimpas. Hal ini menunjukkan bila dalam

Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu

265

suatu hamparan lahan yang tadinya tanah kosong


atau tanah bervegetasi berubah menjadi lahan yang
diisi bangunan, maka kemampuan resap air hujan di
kawasan tersebut berkurang, dan limpasan permukaan bertambah.
Sunarto (1985) dalam Susilawati (2000: 19)
menggunakan formula perhitungan jumlah air yang
meresap ke dalam suatu kawasan sebagai berikut:
Ia

fH A
1000

(1)

dimana:
Ia = imbuhan alami (sebelum terjadi perubahan
fungsi lahan) (m3/tahun)
f
= angka koefisien resapan
H = curah hujan tahunan (mm)
A = luas kawasan terbuka (m2)
Dalam rumus di atas luas kawasan adalah A
m2, bagian berupa atap bangunan (yang akan menangkap air hujan untuk diresapkan) mempunyai luas
sebesar A m2, yang mana merupakan persentase
terhadap luasan A tersebut. Bagian yang terbuka (tidak dilakukan penyemenan) dimana air hujan dapat
meresap secara alami mempunyai luasan sebesar
A m2. Sisa seluas (100% - ) tidak dapat diresapi
oleh air.
Daya resap air suatu area tergantung dari beberapa faktor antara lain ialah Jenis tanah, Kelerengan tanah, Jenis tutupan lahan, Intensitas dan durasi
curah hujan. Dari berbagai hal yang berpengaruh dalam perhitungan daya resap air itu, maka faktor jenis
tutupan lahan dan faktor kemiringan lahan yang mempunyai pengaruh cukup besar. Pengaruh tersebut di
dalam rumus Sunarto (1985) dalam Susilawati (2000:
19) direpresentasikan dalam parameter f (koefisien
resapan). Besarnya koefisien f adalah
f =1 c
(2)
dimana:
c
= koefisien limpasan (run off) yang harganya
tergantung dari jenis pengunaan lahan dan
kelerengan lahan (sebagaimana Tabel 2.3)

Limpasan Permukaan
Bilamana curah hujan mencapai permukaan tanah, maka seluruh atau sebagiannya akan meresap
ke dalam tanah. Bagian yang tidak teresap akan menjadi limpasan permukaan (surface run off) (Sosrodarsono, 1999: 71).
Perubahan tata guna lahan merupakan penyebab
utama banjir dibandingkan dengan yang lainnya. Secara kuantitatif pengaruh perubahan tata guna lahan
ditunjukkan dalam gambar 6 (Kodoatie, 2005: 74)

Gambar 6. Peningkatan debit puncak akibat perubahan


tata guna lahan

Perubahan tata guna lahan memberikan kontribusi dominan kepada aliran permukaan (run off).
Hujan yang jatuh ke tanah, airnya akan menjadi aliran
permukaan di atas tanah dan sebagian meresap ke
dalam tanah tergantung kondisi tanahnya.
Faktor penutup lahan akan cukup signifikan dalam pengurangan ataupun peningkatan aliran permukaan. Hutan yang lebat mempunyai tingkat penutup
lahan yang tinggi, sehingga apabila hujan turun ke
wilayah tersebut, faktor penutup lahan ini akan sangat memperlambat kecepatan aliran permukaan,
bahkan bisa terjadi kecepatannya mendekati nol (0).

Gambar 7. Ilustrasi perubahan debit akibat perubahan


tata guna lahan (Kodoatie, 2005: 76)

Pengaruh tata guna lahan pada aliran permukaan


dinyatakan dalam koefisien aliran permukaan (c), yaitu bilangan yang menunjukkan perbandingan antara
besarnya aliran permukaan dan besarnya curah hujan.
Angka koefisien aliran permukaan ini merupakan salah satu indikator untuk menentukan kondisi fisik suatu
DAS. Nilai c berkisar antara 0 sampai 1. Nilai c = 0
menunjukkan bahwa semua air hujan terintersepsi
dan terinfiltrasi ke dalam tanah, sebaliknya untuk nilai
c = 1 menunjukkan bahwa semua air hujan mengalir
sebagai aliran permukaan.
Untuk memperkirakan volume aliran permukaan,
digunakan metode Rasional, dengan bentuk persamaan matematika adalah (Suripin, 2004: 79):

266

Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

Q p 0,002778 C I A

(3)

Dimana:
Q p = laju aliran permukaan (debit) puncak (m3/
detik)
C = koefisien limpasan permukaan (0 C 1)
I
= intensitas hujan (mm/jam)
A = luas DAS (Ha)
Penggunaan rumus Rasional untuk tata guna
lahan tidak homogen adalah (Suripin, 2004: 82):
n

Q p 0,002778 I Ci Ai

(4)

i 1

Dimana:
C i = koefisien aliran permukaan jenis penutup
tanah i
A i = luas lahan dengan jenis penutup tanah i

Tata Ruang
Tata Ruang adalah pengaturan ruang berdasarkan berbagai fungsi dan kepentingan tertentu, dengan
perkataan lain, pengaturan tempat bagi berbagai kegiatan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan semua
pihak secara adil, menghindari persengketaan serta
menjamin kelestarian lingkungan dibutuhkan proses
yang dalam Undang-undang No. 26 tahun 2007 disebut penataan ruang (www.cifor.cfiar.org).
Penataan ruang sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan sistem
yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya
(Anonim, 2007: 6).
Rencana tata ruang berisi kebijakan pokok pemanfaatan ruang berupa struktur dan pola pemanfaatan ruang dalam kurun waktu tertentu. Struktur
ruang dibentuk untuk mewujudkan susunan dan tatanan pusat-pusat permukiman yang secara hirarkis
dan fungsional saling berhubungan. Sedangkan pola
pemanfaatan ruang disusun untuk mewujudkan keserasian dan keselarasan pemanfaatan ruang bagi
kegiatan budidaya dan non budidaya (lindung), yang
meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara,
dan tata guna sumber daya alam lainnya (Anonim,
2007: 32).
Pemanfaatan ruang adalah rangkaian program
kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan
di dalam rencana tata ruang (Anonim, 2007: 34).
Kegiatan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
diselenggarakan melalui kegiatan:
a. Perijinan terhadap pemanfaatan ruang
b. Pengawasan terhadap pemanfaatan ruang
c. Penertiban terhadap pemanfaatan ruang

Pengelolaan Air Hujan


Untuk mendapatkan solusi pengendalian banjir
perlu perubahan referensi. Referensi lama yang
mengkaitkan banjir kota dengan drainase kota ternyata tidak menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Referensi baru yang diperkenalkan oleh Triweko (2000) adalah pengendalian banjir dengan pengelolaan air hujan. Sebelum air hujan melimpas ke
saluran drainase atau ke badan jalan, air hujan tersebut dikelola dengan teknik tertentu sehingga tidak
menjadi limpasan permukaan.
Prinsip dari pengelolaan air hujan tersebut adalah
setiap pemilik lahan bertanggung jawab terhadap air
hujan yang jatuh di atas lahan mereka. Usaha yang
harus dilakukan adalah mengatur limpasan air hujan
yang keluar dari lahan agar tidak melebihi debit maksimum sebelum lahan tersebut dibangun. Hal ini bisa
dilakukan dengan membangun sumur resapan, membangun daerah resapan (percolation basin) pada
halaman yang menggunakan perkerasan kedap air
atau menggunakan perkerasan lolos air (paving
Block atau grass block). Strategi ini merupakan
upaya memperbesar resapan air hujan ke dalam tanah dan memperkecil aliran permukaan sebagai penyebab banjir.
Penyelesaian banjir kota dengan paradigma drainase perkotaan perlu digeser dengan paradigma pengelolaan air hujan (stormwater management). Pergeseran paradigma lama dan paradigma baru dideskripsikan pada Tabel 1.

Sumur Resapan Individual


Sumur Resapan Air Hujan adalah prasarana untuk menampung dan meresapkan air ke dalam tanah.
Air hujan yang ditampung dan diresapkan, berasal
dari bidang tanah, atap bangunan dan permukaan tanah yang dikedapkan untuk menjaga keseimbangan
sistem tata air di lingkungan permukiman. Sumur resapan hanya menampung air hujan, bukan air limbah.
Sumur resapan merupakan sumur atau lubang
pada permukaan tanah yang dibuat untuk menampung air hujan agar dapat meresap ke dalam tanah.
Sumur resapan digali dengan kedalaman di atas muka
air tanah (Kusnaedi, 2000: 1).
Tujuan utama dari sumur resapan ini adalah
memperbesar masuknya air ke dalam tanah sebagai
air resapan (infiltrasi). Dengan demikian, air akan
lebih banyak masuk ke dalam tanah dan sedikit yang
mengalir sebagai aliran permukaan (run off). Semakin banyak air yang mengalir ke dalam tanah berarti akan banyak tersimpan air tanah di bawah permukaan bumi. Air tersebut dapat dimanfaatkan kembali melalui sumur-sumur.

Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu

267

Tabel 1. Paradigma lama dan baru dalam penyelesaian banjir perkotaan


No.
1.

Paradigma Lama
Air hujan merupakan bencana, jadi harus segera
dibuang agar tidak menimbulkan genangan

2.

Untuk itu dibangun saluran drainase untuk


pembuang air hujan

3.

Titik pusat perhatian terletak pada daerah yang


dilindungi, dampak permasalahn sebelah hilir
tidak dipikirkan

4.

Ruang lingkup permasalahan hanya terbatas pada


aspek kuantitas air saja
Penyelesaian asalah secara partial, terbatas pada
usaha untuk menghindari genangan

5.

Paradigma Baru
Air hujan merupakan rahmat, jadi harus dikelola
dengan baik. T erjadinya genangan memang harus
dihindari, tetapi tidak berarti bahwa air hujan harus
dibuan.
Untuk itu selain sistem saluran drainase juga
dibangun kolam penahan untuk mengendalikan aliran
air hujan.
Cakrawala pendangan meliputi Daerah Aliran Sungai
(DAS). Penyelesaian masalah air hujan di sebelah
hulu jangan sampai menimbulkan masalah di sebelah
hilir.
Ruang lingkup permasalahan tidak hanya terbatas
pada kuantitas air, tetapi juga pada aspek kualitas air.
Penyelesaian masalah secara terpadu selain
menghindari genangan juga memikirkan kelestarian
sumber daya air.

Sumber: Triweko dalam Mukhori (2001: 28)

Prinsip kerja sumur resapan adalah menyalurkan


dan menampung air hujan ke dalam lubang atau sumur agar air dapat memiliki waktu tinggal di permukaan tanah lebih lama sehingga sedikit air dapat meresap ke dalam tanah.

Gambar 9. Tata letak sumur resapan (Kusnaedi, 2000:


14)
Gambar 8. Prinsip kerja sumur resapan penampungan
air hujan (Kusnaedi, 2000: 6)
Tabel 2.

Jarak minimal sumur resapan dengan bangunan lainnya

Kondisi yang ada

Bangunan/bangunan
Batas pemilikan
Sumur air minum
Aliran air (sungai)
Pipa air minum
Jalan
Pohon besar
Sumber: Kusnaedi, 2000: 13

Jarak minimal
dengan sumur
resapan (m)
3,00
1,50
10.50
30.00
3,00
1,50
3,00

Sumur resapan yang dapat diterapkan di perkotaan dapat berupa sumur resapan individual dan kolektif (Kusnaedi, 2000: 12). Sumur resapan individual
adalah sumur resapan yang dibuat secara pribadi untuk masing-masing rumah. Biaya pembuatan dan pemeliharaan diserahkan kepada pemiliknya. Letak sumur resapan harus memperhatikan keadaan lingkungan setempat. Dengan demikian sumur resapan akan
berfungsi dengan baik tanpa menimbulkan dampak
baru bagi kepentingan lainnya (Kusnaedi, 2000: 13).

Sumur Resapan Kolektif


Sumur resapan kolektif adalah sumur resapan
yang dibangun secara bersama-sama dalam satu kawasan tertentu. Sumur resapan ini dapat dibuat per
sepuluh rumah, per blok, satu RT, atau satu kawasan

268

Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

Gambar 12 Ilustrasi Model Sumur resapan dalam


(Kusnaedi, 2000: 30)
Gambar 10 Ilustrasi Sumur resapan individual
(Kusnaedi, 2000: 20)

(3). Parit berorak, bila kedalaman muka air tanahnya


dangkal (< 5 m) dan ketersediaan lahannya sempit.

permukiman. Model yang bisa diterapkan di antaranya:


(1). Kolam resapan, bila kedalaman muka air tanahnya dangkal (< 5 m) dan ketersediaan lahannya
luas.

Gambar 13 Ilustrasi Model Parit berorak (Kusnaedi,


2000: 31)

Saluran Air Hujan Pracetak Berlubang


Saluran air hujan pracetak berlubang adalah saluran air hujan yang dibuat dari bahan beton bertulang
dengan sistem pracetak dan diberi lubang pada dasar
saluran. Fungsinya mengalirkan limpasan air hujan
ke badan air dan meresapkan sebagian air hujan.
Tujuannya untuk menjaga keseimbangan sistem tata
air di lingkungan permukiman. Air yang mengalir ke
saluran resapan adalah air hujan, bukan air limbah.
Gambar 11. Ilustrasi Model Kolam resapan (Kusnaedi,
2000: 29)

(2). Sumur dalam, bila kedalaman muka air tanahnya


dalam (> 5 m) dan ketersediaan lahannya sempit.

Kepadatan Bangunan
Kepadatan bangunan menggambarkan persentase lahan yang tertutup bangunan (land coverage)
pada suatu lingkungan/bagian kota. Biasa diistilahkan
dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) atau Building Coverage Ratio (BCR).

Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu

Gambar 14 Saluran air hujan pracetak berlubang


terpasang di lingkungan permukiman

Kepadatan bangunan dinyatakan dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB), yaitu merupakan koefisien perbandingan antara luas lantai dasar bangunan
terhadap luas persil/kaveling/blok peruntukan, atau
angka perbandingan luas lahan yang tertutup bangunan dan bangunan-bangunan dalam tiap petak peruntukan dibanding dengan luas petak peruntukan.
BCR KDB

Luas Bangunan
x 100%
Luas lahan

Drainase
Air hujan yang jatuh di suatu kawasan perlu dialirkan atau dibuang, caranya dengan pembuatan saluran yang dapat menampung air hujan yang mengalir
di permukaan tanah tersebut. Sistem saluran di atas
selanjutnya dialirkan ke sistem yang lebih besar. Sistem yang paling kecil juga dihubungkan dengan saluran rumah tangga dan dan sistem saluran bangunan
infrastruktur lainnya, sehingga apabila cukup banyak
limbah cair yang berada dalam saluran tersebut perlu
diolah (treatment). Seluruh proses tersebut di atas
yang disebut dengan sistem drainase (Kodoatie, 2010:
95).
Bagian infrastruktur (sistem drainase) dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang
berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga
lahan dapat difungsikan secara optimal. Dirunut dari
hulunya, bangunan sistem drainase terdiri dari saluran

269

penerima (interceptor drain), saluran pengumpul


(collector drain), saluran pembawa (conveyor
drain), saluran induk (main drain) dan badan air
penerima (receiving waters). Di sepanjang sistem
sering dijumpai bangunan lainnya, seperti gorong-gorong, siphon, jembatan air (aquaduct), pelimpah, pintu-pintu air, bangunan terjun, kolam tandon dan stasiun
pompa. Pada sistem drainase yang lengkap, sebelum
masuk ke badan air penerima air diolah dahulu pada
instalasi pengolah air limbah (IPAL), khususnya untuk sistem tercampur. Hanya air yang telah memliki
baku mutu tertentu yang dimasukkan ke dalam badan
air penerima, biasanya sungai, sehingga tidak merusak
lingkungan (Suripin, 2004:8)
Sampai saat ini perancangan drainase didasarkan pada filosofi bahwa air secepatnya mengalir dan
seminimal mungkin menggenangi daerah layanan.
Tapi dengan semakin timpangnya perimbangan air
(pemakaian dan ketersedian) maka diperlukan suatu
perancangan drainase yang berfilosofi bukan saja
aman terhadap genangan tapi juga sekaligus berasas
pada konservasi air (Sunjoto,1987:4).
Drainase Ramah Lingkungan atau Eko-drainase
adalah pengelolaan drainase yang tidak menimbulkan
dampak yang merugikan bagi lingkungan. Drainase
ramah lingkungan didefinisikan sebagai upaya mengelola kelebihan air dengan cara sebesar-besarnya
diresapkan ke dalam tanah secara alamiah atau
mengalirkan ke sungai dengan tanpa melampaui kapasitas sungai sebelumnya. Dalam drainase ramah
lingkungan, justru kelebihan air pada musim hujan
harus dikelola sedemikian sehingga tidak mengalir
secepatnya ke sungai. Namun diusahakan meresap
ke dalam tanah, guna meningkatkan kandungan air
tanah untuk cadangan pada musim kemarau. Konsep
ini sifatnya mutlak di daerah beriklim tropis dengan
perbedaan musim hujan dan kemarau yang ekstrem
seperti di Indonesia. Konsepnya adalah mengelola
limpasan permukaan dengan cara mengembangkan
fasilitas untuk menahan air hujan. Berdasarkan fungsinya, fasilitas penahan air hujan dapat dikelompokkan
menjadi dua tipe, yaitu tipe penyimpanan dan tipe
peresapan (Suripin, 2004:231). Pola tersebut adalah:
a. Pola detensi (menampung air sementara), misalnya dengan membuat kolam penampungan,
b. Pola retensi (meresapkan), antara lain dengan
membuat sumur resapan, saluran resapan, bidang resapan atau kolam resapan.

Tata Ruang Air


Tata ruang air adalah bagaimana menata ruang
daratan dengan memberikan tempat yang semesti-

270

Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

nya bagi air untuk dapat masuk secara maksimal ke


dalam tanah melalui proses infiltrasi. Dengan demikian kapasitas run off air menjadi minimal. Untuk
mencapai hal ini maka bidang resapan air baik di
hulu dan hilir harus memadai. Bidang resapan air di
bagian hulu yang paling baik adalah apabila fungsi
kawasan hutan dapat maksimal. Artinya, luas kawasan hutan yang ada harus dapat menampung sebesar-besarnya jumlah hujan yang turun. Sedangkan
di bagian hilir, cara yang banyak dilakukan adalah
dengan memaksimalkan luas dan fungsi hutan kota,
ruang terbuka hijau publik maupun perorangan serta
bidang resapan lainnya (http://www.pu.go.id/isu
strategis/view/21)
Hal lain yang mendasar harus dipertimbangkan
dalam tata ruang air adalah dengan memahami bahwa air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah
dan air membutuhkan jalan (saluran) baik sistem alami (sungai, anak sungai) maupun saluran buatan (saluran drainase). Saluran-saluran tersebut harus dapat
dilalui air dengan kapasitas maksimal sepanjang
tahun.
Kodoatie (2010:18) mendefinisikan tata ruang
air sebagai wujud struktur ruang air dan pola ruang
air. Struktur ruang air adalah susunan pusat-pusat
sumber daya air dan sistem infrastruktur keairan yang
berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi
masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan
fungsional. Pola ruang air adalah distribusi peruntukan
ruang air dalam suatu wilayah. Peruntukan ruang
dibagi dua yaitu untuk fungsi lindung sumber daya
air (daerah konservasi) dan untuk fungsi budi daya
sumber daya air (pendayagunaan sumber daya air).

METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian merupakan pekerjaan ilmiah yang harus dilakukan secara sistematis, teratur dan tertib,
baik mengenai prosedurnya maupun dalam proses
berpikir tentang materinya (Nawawi, 2005: 1). Sifat
ilmiah menitikberatkan kegiatan penelitian sebagai
usaha menemukan kebenaran yang objektif. Kebenaran itu dapat berbentuk hasil pemecahan masalah
atau pengujian hipotesis, dan mungkin pula berupa
pembuktian tentang adanya sesuatu yang semula belum ada, tetapi diduga mungkin ada.
Tugas pokok penelitan terapan adalah mengungkapkan sebab-sebab terjadinya suatu masalah (diagnose) yang dinilai kurang menguntungkan bagi kehidupan manusia. Berdasarkan rumusan kesimpulan
tentang kondisi masalah dan sebab-sebabnya, tugas
berikutnya adalah menyusun implementasi dan sa-

ran-saran tindakan berupa alternative untuk mengatasi, memperbaiki, dan menyelesaikan masalah yang
diteliti.
Tugas-tugas penelitian terapan bila dihubungkan
dengan tugas-tugas penelitian sebagai kegiatan ilmiah,
dapat dipilah sebagai berikut (Nawawi, 2005: 29):
1. Tugas Eksplenatif (Explanation)
Mampu mendeskripsikan dan menjelaskan kondisi masalah yang dihadapinya.
2. Tugas Prediktif (Prediction)
Kemampuan memperkirakan sesuatu yang akan
terjadi, jika ada atau tidak adanya suatu gejala
tertentu.
3. Tugas Kontrol (Control)
Dilakukan berupa penyusunan implementasi dan
saran-saran tindakan, dalam mengatur gejalagejala tertentu, agar masalah yang dihadapi dapat
diatasi.
Studi ini termasuk dalam jenis penelitian terapan
sebagai penelitian deskriptif. Masalah terapan yang
diteliti berkaitan dengan fenomena makin meluasnya
ruang terbangun yang mengindikasikan makin meluas
pula genangan di lokasi studi, yang secara logika karena tidak diindahkannya hak air untuk meresap ke
dalam tanah menjadi imbuhan alami bagi simpanan
air tanah sebagai fungsi konservasi air.

Metode Penelitian
Metode merupakan cara, sedang kebenaran
yang akan diungkapkan adalah tujuan. Penggunaan
metode dimaksudkan agar kebenaran yang diungkapkan benar-benar dibentengi dengan bukti ilmiah
yang kuat. Oleh karena itu metode dapat diartikan
sebagai prosedur atau rangkaian cara yang sistematik
dalam mengggali kebenaran ilmiah (Nawawi, 2005:
71).
Metode yang digunakan dalam membahas studi
ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif dapat
diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang
diselidiki, dengan menggambarkan/melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak.
Dalam studi ini, metode deskriptif yang diterapkan, menggunakan bentuk studi kasus, artinya penelitian dibatasi pada kasus di lokasi studi.

Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data adalah metode pencatatan peristiwa-peristiwa atau hal-hal atau keterangan-keterangan atau karakteristik-karakteristik
sebagian atau seluruh elemen populasi yang akan

Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu

menunjang atau mendukung penelitian (Hasan, 2002:


83).
Berdasarkan caranya, metode pengumpulan data dalam studi ini terdiri dari data primer dan data
sekunder

Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh atau
dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang
melakukan penelitan atau yang bersangkutan yang
memerlukannya (Hasan, 2002: 82).
Survey untuk mengumpulkan data primer yang
dilakukan adalah:
1. Observasi (pengamatan lapangan), yaitu merupakan pengumpulan data yang dilakukan melalui
pengamatan yang dilakukan, ini berarti terhadap
data yang diamati harus tidak sekedar dilihat tetapi begitu dilihat langsung diperhatikan, jika perlu
ditanya dan dicatat segala sesuatunya. Observasi
penelitian meliputi pengamatan terhadap aspek
pemanfaatan ruang atau ragam penggunaan lahan dan kondisi saluran drainase, di wilayah lokasi studi.
2. Dokumentasi
Untuk melengkapi perolehan data, dilakukan pula dokumentasi hasil observasi lapangan dalam
bentuk foto mengenai kondisi saluran drainase
eksisting pada lokasi studi, mulai saluran pengumpul dan saluran pembawa.

Data sekunder
Data sekunder adalah data yang dikutip dari sumber lain, yang kemungkinan sudah merupakan data
dari tangan kedua, ketiga, dan seterusnya.

Populasi dan Sampel


Dalam penelitian ini, tidak diambil sampel. Pengamatan dilakukan terhadap seluruh populasi wilayah
studi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
arahan spasial teknologi drainase agar genangan di
lokasi studi terreduksi. Jadi jenis populasi yang menjadi obyek penelitian yaitu seluruh ruang terbangun,
Tabel 3. Instansi dan Data yang Dibutuhkan
No .
Instansi
1.
Bappeda Kota Malang

2.
3.
4.

Balai Pengembangan Sumberdaya Air


Wilayah Sungai Bango Gedangan
Perum Jasa Tirta I
Dinas Pekerjaan Umum Kota Malang

271

ragam penggunaan lahan, dan saluran drainase (pengumpul dan pembawa) di lokasi studi.

Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah kondisi-kondisi yang
oleh peneliti dimanipulasikan, dikontrol atau diobservasi dalam suatu penelitian (Narbuko, 2005: 118).
Sedang Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa yang dimaksud variabel penelitian adalah segala sesuatu yang
akan menjadi obyek pengamatan penelitian. Jadi, variabel penelitian meliputi faktor-faktor yang berperan
dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti.
Variabel penelitian merupakan himpunan beberapa gejala yang berfungsi sama dalam suatu masalah
(Nawawi, 2005: 49). Di dalam satu variabel terdapat
satu atau lebih gejala, yang mungkin pula terdiri dari
berbagai aspek atau unsur sebagai bagian yang tidak
terpisahkan.
Jenis variabel dalam penelitian terapan (Nawawi,
2005: 49) ada beberapa, namun tidak semua variabel
harus ada dalam suatu penelitian. Jenis variabel tersebut adalah:
1. Variabel bebas (Independence Variable)
Variabel bebas adalah himpunan sejumlah gejala
yang memiliki pula berbagai aspek atau unsur,
yang berfungsi mempengaruhi atau menentukan
munculnya variabel lain yang disebut variabel
terikat. Adanya variabel ini tidak dipengaruhi atau
tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya variabel
lain.
2. Variabel terikat (Dependence Variable)
Variabel terikat adalah himpunan sejumlah gejala
yang memiliki pula sejumlah aspek atau unsur
di dalamnya, yang berfungsi menerima atau menyesuaikan diri dengan kondisi variabel lain, yang
disebut variabel bebas. Muncul atau tidaknya
variabel ini tergantung pada ada atau tidaknya
variabel bebas.
3. Variabel kontrol (Control Variable)
Variabel kontrol merupakan himpunan gejala
yang memiliki berbagai aspek atau unsur di da-

Data yang dibutuhkan


Naskah Akademis, Peta, dan Legalitas hukum Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota Malang
Malang dalam Angka
Data-data hidrologi seperti curah hujan, debit maksimum,
kemiringan sungai, luas DAS
Peta SWS Brantas dan pembagian DAS nya
Data genangan
Data dan Peta penggunaan lahan eksisting

272

4.

5.

6.

Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

lamnya, yang berfungsi untuk mengendalikan


agar variabel terikat yang muncul bukan karena
pengaruh variabel lain, tetapi benar-benar karena
pengaruh variabel bebas yang tertentu.
Variabel antara (Intervining Variable)
Variabel antara merpakan himpunan sejumlah
gejala yang memiliki beberapa aspek atau unsur
di dalamnya, yang berfungsi mengendalikan
agar variabel terikat yang muncul benar-benar
karena pengaruh variabel bebas, dengan memperhitungkan pengaruhnya pada kedua variabel
tersebut.
Variabel Ekstrane (Extranicus Variable)
Variabel ekstrane merupakan himpunan sejumlah gejala yang memiliki beberapa aspek atau
unsur di dalamnya, yang fungsinya mempengaruhi variabel bebas, sehingga pengaruhnya terhadap variabel terikat dapat berkurang atau berubah.
Variabel Moderator
Variabel moderator merupakan himpunan sejumlah gejala yang memiliki berbagai aspek atau unsur di dalamnya, yang berfungsi mendominasi
dalam kondisi suatu masalah, tanpa dihubungkan
satu dengan yang lain.

Variabel yang digunakan dalam studi ini dapat


dijelaskan sebagai berikut:
1. Variabel bebasnya adalah penggunaan lahan dan
kondisi saluran drainase eksisting,
Karena adanya penggunaan lahan mempengaruhi munculnya variabel lain, yaitu ruang terbangun dan genangan, di samping itu kondisi saluran
drainase eksisting juga dapat mempengaruhi
munculnya variabel genangan.
2. Variabel terikatnya adalah ruang terbangun, genangan, dan kemampuan meresap air,
Karena variabel ruang terbangun dan kemampuan meresap air muncul akibat adanya variabel
penggunaan. Kemampuan meresap air mengakibatkan munculnya variabel genangan. Di samping itu variabel genangan juga bisa muncul karena variabel kondisi saluran drainase eksisting.
3. Variabel kontrolnya adalah jenis tanah,
Karena variabel jenis tanah bias mempengaruhi
variasi kemampuan meresap dan genangan. Sehingga variabel jenis tanah dikontrol dengan cara
dieliminasi melalui menghilangkan variabel tersebut.
4. Variabel antaranya tidak ada,
5. Variabel ekstranenya tidak ada,
6. Variabel moderatornya tidak ada.

Metode Analisis
Analisis data merupakan proses pengelompokan
data terpilih dalam kategori yang memiliki kesamaan
tema untuk menyelesaikan permasalahan atau hipotesa awal (Moleong, Lexy, 2000:64).

Analisis Penggunaan Lahan


Tahap awal studi adalah identifikasi penggunaan
lahan di lokasi studi. Identifikasi dilakukan dengan
membaca peta eksisting lokasi studi, kemudian mencocokkan (cross check) kondisi lapang lokasi studi
dengan peta tersebut. Hal ini menjadikan peta yang
digunakan adalah mendekati kondisi eksisting lokasi
studi. Plotting peta meliputi ragam penggunaan lahan,
meliputi;
- perumahan/permukiman,
- perdagangan dan jasa,
- industri dan pergudangan,
- fasilitas umum dan sosial, serta
- ruang terbuka hijau.
Masing-masing ragam penggunaan lahan ini kemudian dianalisis luasannya.
Selanjutnya adalah menganalisis luasan ruang
terbangun dan ruang terbuka (saat ini belum terbangun). Ruang terbangun adalah ruang yang didirikan
bangunan, dimana bila air jatuh di atasnya, maka air
tidak dapat meresap ke dalam tanah. Sedangkan ruang terbuka, atau saat ini masih belum terbangun,
adalah ruang yang belum ada bangunannya, dimana
bila air jatuh di atasnya, maka air masih bisa meresap
ke dalam tanah.
Berikutnya untuk melihat gambaran pada Tahun
akhir Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang,
yakni pada Tahun 2030, digunakan peta pola ruang.
Untuk memprediksi luasan ruang terbangun dan ruang terbukanya, untuk penggunaan lahan perumahan/
permukiman, perdagangan dan jasa, industry dan pergudangan, serta fasilitas umum dan sosial, dikalikan
dengan rerata Koefisien Dasar Bangunan yakni 70%.
Sedangkan untuk luasan ruang terbuka adalah 30%
nya ditambahkan luasan ruang terbuka hijau pada
peta pola ruang tersebut.

Analisis Resapan Air Hujan


Untuk menghitung jumlah air yang meresap, digunakan persamaan (1) Perhitungan dilakukan terhadap kondisi eksisiting dan kondisi akhir tahun perencanaan Rencana tata Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2010 2030.

Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu

Analisis Limpasan Permukaan


Untuk menghitung aliran permukaan (run off),
artinya air yang tidak meresap dan menjadi air larian
mengalir ke lokasi yang lebih rendah, digunakan persamaan (4). Air larian ini mengalir terus, dan apabila
terdapat cekungan maka akan menimbulkan genangan. Perhitungan dilakukan terhadap kondisi eksisiting
dan kondisi akhir tahun perencanaan Rencana tata
Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2010 2030.

Analisis Sistem Drainase


Analisis sistem drainase dilakukan dengan melakukan pendataan dan evaluasi kondisi saluran drainase eksisting pada saluran pengumpul dan pembawa, atau setara dengan saluran drainase sekunder.
Kemudian dikelompokkan kondisi saluran tersebut
dengan beberapa kategori.

Analisis Arahan Spasial Teknologi Drainase


Dengan melihat seluruh hasil analisis di atas, dihubungkan dengan kerangka teori yang ada, maka
dilakukan arahan penanganan keruangan teknik
mengalirkan air hujan dan system drainase yang ada
di lokasi studi, agar mengurangi potensi genangan
akibat meluasnya penggunaan lahan.

Watu dengan panjang 3.032,30 m, serta sebagian Sungai Metro dengan panjang 1.728,50 m. Lokasi studi
berada sekitar 440 500 m di atas permukaan laut.
Jumlah penduduk di lokasi studi berjumlah 39.260
jiwa, dengan tingkat pertumbuhan 2,9% per tahun.
Penduduk wilayah lokasi studi adalah 33% penduduk
asli dan 67% pendatang. Ini menunjukkan bahwa pendatang banyak menghuni kawasan permukiman di
lokasi studi. Pendatang terbanyak berasal dari Madura.
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat pada lokasi studi didominasi oleh mata pencaharian menggarap lahan sawah (38%). Sedangkan 18% adalah
Pegawai Negeri Sipil (PNS), 25% bekerja di bidang
swasta, dan sisanya adalah pelajar. Kehidupan bertetangga secara garis besar sangat harmonis, dan menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dan gotong royong.

Analisis Penggunaan Lahan


Penggunaan lahan di lokasi studi sangat beragam, dengan dominasi ruang terbuka hijau seluas
410,45 Ha, dimana seluas 129,98 Ha adalah tegalan
dan 280,47 Ha adalah sawah.
Tabel 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Gambaran Umum Lokasi Studi
Lokasi studi adalah Sub Daerah Aliran Sungai
Watu bagian Hilir, yang merupakan sisi hilir Sub DAS
Watu. Sub DAS Watu merupakan salah satu unit
Daerah Aliran Sungai Metro. Sungai Metro merupakan sungai orde 2 dari Sungai Brantas, dengan
panjang 54,5 km dari hulu hingga hilir, dan bermuara
pada Sungai Brantas dengan elevasi + 300 m, sedangkan bagian hulu pada mata air elevasinya + 2.700
m. Kemiringan Sungai Metro rata-rata 0,044, dan
dikategorikan sebagai sungai dengan pengaliran sedang. DAS Metro terdiri dari 13 Sub DAS, seperti
diuraikan pada Tabel 1.1. Sebagai gambaran orientasi
lokasi studi, Sub DAS Watu bagian Hilir disajikan
pada Gambar 1.1 sampai dengan Gambar 1.4, pada
Bab I.
Sub DAS Watu memiliki luas daerah tangkapan
3.433 Ha. Sungai-sungai pada Sub DAS Watu adalah
Sungai Curah Clumprit dengan panjang 5.768 km,
Sungai Watu dengan panjang 9.829 km, Sungai Glundeng dengan panjang 7.319 km, Sungai Sanan dengan
panjang 11.958 km, dan Sungai Wangkal dengan panjang 5.725 km.
Sub DAS Watu bagian Hilir, sebagai lokasi studi,
memiliki luas 651,72 Ha, dan dilewati sebagian Sungai

273

No.
1
2
3
4
5
6
7

Ragam penggunaan lahan eksisting Sub DAS


Watu bagian Hilir
Penggunaan Lahan
Perumahan/Permukiman
Perdagangan dan Jasa
Industri dan pergudangan
Sarana Umum dan Sosial
Ruang Terbuka Hijau : tegalan
Ruang Terbuka Hijau : sawah
Utilitas jalan
Total

Luas (Ha)
222,64
4,28
9,23
5,12
129,98
242,00
38,47
651,72

Sumber: identifikasi dan analisa

Gambar 15 Penggunaan lahan eksisting di Sub DAS


Watu bagian Hilir

274

Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

Maka dapat diperoleh luas ruang terbuka dan


ruang terbangun eksisting pada lokasi studi.
Luas Ruang terbangun: 207,36 Ha
Luas Ruang terbuka: 444,36 Ha
Kondisi eksisting ini kemudian dibandingkan dengan rencana pola ruang berdasar Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2010-2030 yang
telah menjadi Peraturan Daerah Kota Malang No. 4
Tahun 2011.
Tabel 5
No.
1
2
3
4
5
6

Ragam penggunaan lahan berdasar RTRW


Kota Malang 2010-2030
Penggunaan Lahan
Perumahan/Permukiman
Perdagangan dan Jasa
Industri dan pergudangan
Sarana Umum dan Sosial
Ruang Terbuka Hijau :
tegalan
Utilitas jalan
Total

Luas (Ha)
477,64
8,07
9,23
10,15
82,22
64,41
651,72

Analisa Resapan Air


Dengan demikian resapan air pada kondisi eksisting
adalah: 240.888,40 m3/tahun.
Sedangkan resapan air pada kondisi berdasarkan
RTRW 2010 2030 adalah 117.444,40 m3/tahun
Sehingga terdapat penurunan daya resap air sebesar
123,444 m3/tahun selama 20 tahun.

Analisa Limpasan Permukaan


Dengan demikian laju aliran permukaan pada kondisi
eksisting adalah = 118,622 m3/detik
Sedangkan laju aliran permukaan pada kondisi berdasarkan RTRW 2010 2030 adalah = 136,874 m3/
detik
Sehingga terapat peningkatan laju aliran permukaan
sebesar 18,252 m3/detik selama 20 tahun.

Analisa Sistem Drainase


Tabel 7. Rekapitulasi kondisi saluran drainase eksisting
No.
1

Sumber: analisa

Maka dapat diperoleh luas ruang terbuka dan


ruang terbangun berdasar RTRW Tahun 2010-2030
pada lokasi studi.
Luas Ruang terbangun = 417,97 Ha
Luas Ruang terbuka = 233,75 Ha

2
3
4
5

Tabel 6. Perbandingan Ruang terbuka dan terbangun


No.

1
2

Kategori

Ruang
Terb angun
Ruang
Terb uka
Total

Berdasar
Eksi sting
(Ha)
207,36

31,82

Berdasar
RTRW
2 010 2030
417,97

444,36

68,18

233,75

651,72

6 4, 13
3 5, 87

651,72

Sumber: Hasil identifikasi

Kondisi saluran drainase


Tidak tersedia saluran
drainase
Saluran drainase tertutup
bangunan
Saluran drainase berfungsi
ganda sebagai saluran irigasi
Saluran drainase terlalu kecil
Saluran drainase tanpa inlet
atau bibir saluran lebih tinggi
daripada muka jalan
Saluran drainase tidak
terpelihara atau saluran
ditumbuhi rumput
Saluran dalam kondisi baik

Prosentase
33%
17%
6%
10%
14%

11%

8%

Selain itu, tidak ditemui adanya sumur resapan


pada kavling hunian, walaupun dari lampiran Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dinyatakan harus membangun sumur resapan air hujan. Juga tidak ada kolam
tampungan yang berfungsi sebagai konservasi air di
lokasi cekungan-cekungan strategis.

Analisa Arahan Spasial Sistem dan Teknik


Drainase

Gambar 16. Penggunaan Lahan berdasar Pola Ruang


RTRW Tahun 2010-2030 di Sub DAS Watu bagian
Hilir

Data di atas menunjukkan bahwa terdapat peningkatan luas ruang terbangun yang memberikan
pengaruh secara signifikan pada penurunan resap
air dan peningkatan laju limpasan permukaan. Apabila
kondisi ini tidak diarahkan, maka akan mengganggu
siklus hidrologi dan penataan air akan menimbulkan
daya rusak bagi sarana prasarana terbangun serta
menimbulkan penurunan kesehatan apabila sampai
terjadi genangan yang masuk ke bangunan hunian.

Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu

Di samping itu fungsi penataan ruang menjadi tidak


bersinergis dengan fungsi konservasi air.
Agar kondisi tersebut menjadi minimal, perlu sinergitas antara konsep penataan ruang dengan konservasi air, sehingga penataan kawasan perkotaan
yang cenderung dipenuhi bangunan tetap memberikan
hak kepada air untuk meresap, sehingga air tidak
mengganggu kawasan terbangun dan tidak menimbulkan daya rusak pada kawasan perkotaan.
Strategi yang diperlukan adalah:
1. Perlu pembedaan antara saluran drainase yang
mengalirkan air limbah rumah tangga dengan saluran drainase yang menampung dan memfasilitasi jalannya air untuk mengalir ke tempat yang
lebih rendah bagi air hujan.
2. Membuat sumur resapan individu pada bangunan
hunian menengah, hunian besar, bangunan sarana perdagangan dan jasa, bangunan fungsi industri dan pergudangan, serta bangunan sarana
pendidikan dan kesehatan. Sumur resapan individu menampung air hujan yang jatuh pada atap
bangunan, dihubungkan dengan talang menuju
ke sumur resapan agar air yang tertampung
mempunyai keleluasaan meresap dan memberikan imbuhan bagi air tanah, sebagai fungsi konservasi air. Khusus untuk bangunan kesehatan,
perlu dilengkapi dengan Instalasi Pengolah Air
Limbah (IPAL) yang berfungsi mengolah air kotor menjadi air yang siap dilepas ke saluran drainase umum.
3. Membuat sumur resapan kolektif pada bangunan
hunian sangat kecil dan bangunan kecil/sederhana. Sumur resapan kolektif menampung air
hujan pada beberapa atap bangunan yang kemudian dihubungkan dengan talang menuju ke
saluran resapan air hujan.
4. Membuat kolam resapan bagi perumahan formal pada topografi cekungan, sehingga air hujan
yang jatuh di jalan lingkungan perumahan formal mengalir menuju kolam resapan. Kolam resapan dapat juga menjadi lokasi wisata dan sarana umum untuk berkumpul bagi penduduk lingkungan sekitar. Kolam resapan dihubungkan denga saluran pracetak berlubang, sehingga bila
volume kolam resapan melebihi kapasitas kolam,
maka akan mengalir melalui saluran dimaksud,
dengan tetap memiliki kesempatan untuk meresap.
5. Sumur resapan juga dibuat untuk menampung
air hujan yang jatuh ke jalan, sehingga kesempatan air untuk meresap terwadahi. Alternatif
lainnya adalah membuat saluran pracetak ber-

6.

7.

8.

9.

275

lubang untuk menampung air hujan yang jatuh


ke jalan aspal/beton.
Penataan, pengawasan, dan pemberian insentifdisinsentif pagi pengembang perumahan formal,
agar memiliki perhatian lebih pada pembuatan
utilitas saluran drainase dan pemfungsiannya,
agar meringankan beban pemerintah dalam menyediakan prasarana kawasan perkotaan.
Pemisahan antara saluran drainase dengan saluran irigasi. Hal ini sangat prinsip, mengingat
saluran drainase memiliki kapasitas yang semakin besar ke arah hulu, sedangkan saluran drainase memiliki kapasitas yang semakin besar ke
arah hilir. Sehingga memiliki fungsi yang bertolah
belakang.
Semaksimal mungkin saluran air hujan tidak ditutup bangunan, melainkan ditutup ram besi, sehingga memberikan kontribusi positif dalam menampung air hujan. Saluran yang boleh ditutup
bangunan adalah saluran drainase air limbah, tetapi tidak sepanjang saluran ditutup.
Memberikan jalur pengarah aliran air menuju saluran air hujan, semacam inlet pengarah, agar
air mengalir menemukan jalannya menuju ke saluran penampung air hujan, dimana saluran dimaksud adalah saluran pracetak berlubang agar
peresapan air hujan tetap berfungsi.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan Latar belakang penelitian, kajian
teori terkait rumusan masalah, analisis permasalahan
dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa perlu sinergitas antara penataan kawasan yang cenderung bersifat fisik pembangunan dengan konservasi
air, sehingga tercipta penataan ruang daratan dengan
memberikan ruang yang semestinya bagi air untuk
dapat masuk secara maksimal ke dalam tanah melalui
proses infiltrasi atau peresapan, agar pembangunan
(penambahan ruang terbangun) tidak menimbulkan
genangan. Secara spasial, teknologi drainase yang
diperlukan pada lokasi studi, yaitu Sub DAS Watu
bagian Hilir, adalah teknologi eko-drainase, yaitu drainase ramah lingkungan. Eko-drainase ini merupakan
kombinasi antara pola detensi (menampung sementara) dan pola retensi (meresapkan).
Arahan spasial teknologi drainase untuk mereduksi genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu
bagian Hilir adalah:
1. Pemisahan antara saluran drainase yang mengalirkan air limbah rumah tangga dengan saluran
drainase air hujan,

Jurnal Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012, hlm 258276

276

2.

3.

4.

Pembuatan sumur resapan individu pada koridor


jalan utama, terutama pada bangunan hunian
menengah, hunian besar, sarana perdagangan
dan jasa, sarana industri dan pergudangan, sarana pendidikan dan kesehatan.
Pembuatan sumur resapan kolektif pada bangunan dengan kepadatan tinggi, terutama bangunan
hunian sangat kecil dan kecil/sederhana.
Membuat kolam resapan bagi perumahan formal pada topografi cekungan

Saran
Saran bagi penelitian
Perlu dilakukan studi serupa dengan variabel
yang lebih banyak dan kompleks.
Saran bagi Pemerintah Kota Malang
Dengan kewenangannya, disarankan memulai
menetapkan aturan terkait sinergitas antara penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang
Tahun 2010 2030 dengan Konservasi Air.
Saran bagi masyarakat
Dengan kemampuannya, disarankan pengembang tidak semata-mata berorientasi pada nilai ekonomi lahan tetapi juga harus menyeimbangkan nilai
ekonomi lahan dengan nilai-nilai konservasi yang manfaatnya tidak diukur dengan ekonomi saat ini.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta.
2007.
Anonim. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Buletin
Warta Kebijakan No. 5.www.cifor.cfiar.org. Center for
International Forestry Research. Jakarta. Agustus
2002.
Anonim. Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Di Kawasan Rawan Bencana Banjir. Ditjen Penataan
Ruang Departemen Permukiman dan Prasarana
Wilayah. Jakarta. 2003.
Anonim. Undang-Undang Republik Indonesia No. 7
Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Penerbit
Pustaka Widyatama. Yogyakarta. 2004
Anonim. Konflik Kepentingan Dalam Pengelolaan
Sumber Daya Air. Penerbit Bigraf Publishing bekerja
sama dengan STTL Yogyakarta. Yogyakarta. 2004.
Anonim. Kebijakan Penanggulangan Bencana. Kolokium Hasil Litbang Ditjen Perumahan dan Permukiman,
Departemen Kimpraswil. Bandung. 2002.

Anonim. Peraturan Daerah Kota Malang No. 4 Tahun


2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Malang Tahun 20102030. Pemerintah Kota Malang. 2011.
Asdak, C. 1995. Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Yogyakarta: UGM Press.
Catanese, A.J., & Snyder, JC. 1996. Perencanaan Kota.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Edie, E. Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(Das) Terpadu. http://www.bappenas.go.id. 2003.
Jayadinata, J.T. 1986. Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan Dan Wilayah. Penerbit
ITB. Bandung.
Kodoatie, R.J., dan Roestam, S. 2005. Pengelolaan Sumber
Daya Air Terpadu. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Kodoatie, R.J., dan Roestam, S. 2010. Tata Ruang Air.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
Kodoatie, R.J., dan Sugiyanto. 2002. Banjir, Beberapa Penyebab Dan Metode Pengendaliannya Dalam Perspektif Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Kusnaedi. 2000. Sumur Resapan Untuk Permukiman Perkotaan Dan Pedesaan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Linsley, R.K., dan Joseph, B.F. 1994. Teknik Sumber Daya
Air. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Maryono, A. 2002. Eko-Hidraulik Pembangunan Sungai.
Yogyakarta: Penerbit Program Magister Sistem Teknik
Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada.
Maryono, A. 2004. Menangani Banjir, Kekeringan, Dan
Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada University Press.
Mirsa, R. 2012. Elemen Tata Ruang Kota. Jogjakarta: Graha
Ilmu.
Nawawi, H., dan Mimi, M. 2005. Penelitian Terapan. Jogjakarta: Gajah Mada University Press.
Santoso, G. 2005. Fundamental Metodologi Penelitian
Kuantitatif Dan Kualitatif. Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher.
Seth, R., and Norman, E.P. 2001. Hydrological Processes.
USA: John Wiley & Sons, Ltd.
Soefaat (et al). 1997. Kamus Tata Ruang. Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum bekerja sama dengan Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia. Jakarta.
Sosrodarsono, S., dan Kensaku, T. 1999. Hidrologi Untuk
Pengairan. Jakarta: Pradnya Paramita.
Tarigan, R.M.R.P. 2004. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Penerbit PT. Bumi Aksara.
Sunjoto. 1987. Sistem Drainase Air Hujan Yang Berwawasan Lingkungan. Jogjakarta: Makalah PAU Ilmu
Teknik Universitas Gajah Mada.
Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan. Jogyakarta: Penerbit Andi.
Wesli. 2008. Drainase Perkotaan. Jogjakarta: Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai