Jurnal Air
Jurnal Air
1
Mahasiswa Program Magister Universitas Brawijaya Malang
Dosen Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya Malang.
Abstrak: Tingginya perkembangan penduduk menyebabkan tingginya kebutuhan akan hunian beserta
sarana prasarana pendukungnya, padahal luas wilayah relatif tetap. Hal ini menyebabkan tingginya alih
fungsi ruang terbuka menjadi terbangun. Sehingga apabila terjadi hujan, selalu terdapat genangan. Sub
Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Watu bagian Hilir adalah salah satu lokasi yang cukup diminati pengembang untuk membangun perumahan. Tercatat di lokasi studi terjadi peningkatan jumlah lokasi genangan dengan lama genangan dan tinggi genangan yang bervariasi. Di sisi lain belum ada penanganan
genangan dengan pendekatan tata ruang air, sehingga tercipta penataan ruang daratan dengan memberikan ruang yang semestinya bagi air untuk dapat masuk secara maksimal ke dalam tanah melalui proses
infiltrasi.
Tujuan penelitian ini adalah memberikan arahan spasial teknik drainase untuk mereduksi genangan di
Sub DAS Watu bagian Hilir. Metode yang dipakai adalah metode deskriptif, melalui analisa penggunaan
lahan, analisa resapan air, analisa laju limpasan permukaan, dan analisa sistem drainase, Analisis dilakukan terhadap data eksisting Tahun 2010 dengan data pada Tahun 2030 berdasarkan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2010-2030. Berdasar analisa, pada tahun 2010, luas ruang terbangun
adalah 207,36 Ha (31,82%) dan ruang terbuka 444,36 Ha (68,18%). Pada Tahun 2030 terjadi peningkatan
ruang terbangun menjadi 417,97 Ha (64,13%) diikuti penurunan ruang terbuka menjadi 233,75 Ha
(35,87%). Terjadi penurunan daya resap air dari 240.888,40 m3/tahun pada Tahun 2010 menjadi 117.444,40
m3/tahun pada Tahun 2030. Dan terjadi peningkatan laju aliran permukaan dari 118,622 m3/detik pada
Tahun 2010 menjadi 136,874 m3/detik pada Tahun 2030. Dari hasil analisa sistem drainase diperoleh
kondisi eksisting 33% tidak tersedia drainase, 17% Saluran drainase tertutup bangunan, 6% Saluran
drainase berfungsi ganda sebagai saluran irigasi, 10% Saluran drainase terlalu kecil, 14% Saluran
drainase tanpa inlet atau bibir saluran lebih tinggi daripada muka jalan, 11% Saluran drainase tidak
terpelihara atau saluran ditumbuhi rumput, dan 8% Saluran dalam kondisi baik
Dengan melihat data hasil analisis yang ada serta kajian teorinya, maka Arahan spasial teknologi drainase
untuk mereduksi genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu bagian Hilir adalah sistem eko-drainase
atau drainase ramah lingkungan, yang menyinergikan praktek penataan ruang dengan konservasi air.
Arahan spasial eko-drainase di Sub DAS Watu bagian Hilir adalah (1). Pemisahan antara saluran drainase
yang mengalirkan air limbah rumah tangga dengan saluran drainase air hujan, (2). Pembuatan sumur
resapan individu pada koridor jalan utama, terutama pada bangunan hunian menengah, hunian besar,
sarana perdagangan dan jasa, sarana industri dan pergudangan, sarana pendidikan dan kesehatan, (3).
Pembuatan sumur resapan kolektif pada bangunan dengan kepadatan tinggi, terutama bangunan hunian
sangat kecil dan kecil/sederhana, dan (4). Membuat kolam resapan bagi perumahan formal pada topografi
cekungan.
Abstract: The high population growth have led to higher demand for housing and supporting infrastructure, but the area is relatively fixed. This leads causing high conversion of open space to be built. So if it
rains, there is always a pool. In downstrean Sub Water Catchment Area of Watu is one of the quite interested
location
for developers to build housing. Recorded at the studied location, increased number of sites pool with long
pool and varying height of pools. On the other hand there has been no approach to handling spatial puddle
of water, so as to create spatial land by providing an appropriate space for water to enter the maximum into
the ground through infiltration process.
The purpose of this study is to provide the spatial direction of drainage techniques to reduce puddles on the
Lower Sub-basin Watu. The method used were descriptive method, through the analysis of land use, water
absorption analysis, analysis of the rate of surface runoff and drainage system analysis. Analyses were
258
Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu
259
performed on data with the data existing in the year 2010 based on the end year plan from Kota Malang
Spatial Plan Year 2010-2030. Based on the analysis, in 2010, woke up the living space is 207.36 ha
(31.82%) and 444.36 ha of open space (68.18%). In the year 2030 an increase in space woke up onto
417.97 ha (64.13%) followed by reduction of open space to be 233.75 ha (35.87%). A decrease in water
absorption of the Year 2010 m3/year 240,888.40 to 117,444.40 m3/year in the year 2030. And an increase
in flow rate on the surface of m3/second 118.622 136.874 m3/second Year 2010 to the Year 2030. From the
analysis of the drainage system obtained 33% of the existing conditions are not available drainage, drainage channels covered 17% of the building, 6% of the drainage channels double as irrigation canals,
drainage channels 10% too small, 14% with no inlet or drainage channels lip channels higher than face
the street, 11% poorly maintained drainage channel or channels overgrown with grass, and 8% tract in
good condition.
By looking at the result of data analysis and assessment of existing theory, then the directives of spatial
technology to reduce the pool of drainage in Sub Water Catchment Area of Watu is the eco-drainage
technology or drainage eco-friendly environment, which synergize with the spatial practices of water
conservation. Spatial direction of eco-drainage in the Lower Sub-basin Watu are (1). The separation
between the drainage channel that drains domestic wastewater with rain water drainage, (2). Preparation
of individual wells on the main road corridors, particularly in the residential building medium, large
residential, commercial and service facilities, industry and warehousing facilities, education and health
facilities, (3). Making collective wells at high density buildings, especially residential buildings are very
small and small / simple, and (4). Creating a catchment pond for formal housing in the topography of the
basin.
Genangan adalah peristiwa manakala kawasan dipenuhi air karena tidak ada drainase yang mematus
air tersebut keluar kawasan (Sobirin,2007). Jadi, genangan berhubungan erat dengan resapan dan saluran
drainase. Genangan didefinisikan sebagai sekumpulan air yang berhenti mengalir di tempat-tempat yang
bukan merupakan badan air.
Genangan ditengarai oleh sebagian pengamat
perkotaan dan lingkungan hidup, sebagai salah satu
akibat adanya konflik kepentingan dan kebutuhan antara manusia dengan air. Konflik tersebut meliputi
konflik antara ruang terbangun dengan ruang terbuka
hijau, konflik antara tata ruang bangunan dengan tata
ruang air, dan konflik antara penataan ruang dengan
pengelolaan sumber daya air.
Konflik antara ruang terbangun dengan ruang
terbuka hijau yaitu meningkatnya ruang terbangun
menyebabkan berkurangnya ruang terbuka hijau,
yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan aliran
permukaan dan berkurangnya air yang meresap ke
dalam tanah menjadi air tanah. Padahal bagi sebagian
orang, perubahan penggunaan lahan tidak terbangun
menjadi terbangun mengandung arti telah terjadi peningkatan nilai ekonomi lahan.
Konflik antara tata ruang bangunan dengan tata
ruang air yaitu terisinya suatu ruang untuk bangunan
harus diikuti dengan penataan arah aliran air. Air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Maka
pada saat mendirikan bangunan, harus selalu dibuatkan pengarah aliran menuju badan air. Sehingga air
yang jatuh di atas permukaan yang terbangun, terarah
jalannya menuju badan air, dan tidak mencari jalan
260
lang, yang diikuti dengan peningkatan daya tarik ekonomi kota, peningkatan laju urbanisasi, dan pada
akhirnya peningkatan penyediaan prasarana hunian
dan fasilitas sarana pendukungnya, membawa konsekuensi tidak terelakkannya pengalihfungsian lahan,
dari lahan dengan tutupan vegetasi menjadi lahan dengan tutupan beton, aspal, dan material tutupan lahan
yang tidak tembus air.
Fenomena terjadinya genangan akibat curah hujan di Kota Malang saat ini juga sudah mulai tampak
umum dan semakin meluas, terutama pada saat terjadi
hujan dengan intensitas tinggi dan cukup lama. Hal
ini tentunya cukup mengejutkan mengingat Kota Malang adalah kota yang memiliki topografi dataran tinggi, dan dilintasi sungai-sungai besar yang berfungsi
sebagai drainase utama (main drain).
Sejak sekitar Tahun 1995, genangan menjadi bagian dari masalah serius yang timbul di Kota Malang.
Air banyak menggenang di ruang manfaat jalan (rumaja) bahkan kadang prasarana jalan menjadi jalannya air karena kapasitas prasarana saluran drainase
tidak mencukupi, karena tidak adanya jalur air menuju
saluran drainase, atau karena posisi jalan lebih rendah
daripada inlet saluran drainase. Penanganan per titik
genangan telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Malang, tetapi tidak menyelesaikan permasalahan secara tuntas. Bahkan titik-titik genangan semakin banyak dan meluas. Penanganan genangan oleh Pemerintah Kota Malang yang cenderung melihat satu
titik genangan, bukan satu sistem genangan, membuat
genangan sebenarnya hanya beralih tempat.
Pembangunan dan perkembangan bangunan di
Kota Malang tidak dapat dihindarkan dan dihentikan,
akan tetapi perlu dilakukan penataan pemanfaatan
ruang dengan memperhatikan tata ruang airnya, maksudnya tetap memberikan tempat yang semestinya
bagi air untuk dapat masuk secara maksimal ke dalam
tanah melalui proses infiltrasi dan mampu mengarahkan air untuk mengalir ke badan air sehingga tercipta
ruang yang mampu meminimasi dan mengeleminir
terjadinya genangan akibat pembangunan.
Genangan seharusnya bukan masalah bagi Kota
Malang, mengingat keadaan topografi Kota Malang
yang berada pada daerah pegunungan/dataran tinggi
dengan ketinggian rata-rata 380 667 meter di atas
permukaan laut dengan kemiringan yang bervariasi
sebagian besar antara 0 15% serta terdapat sungaisungai besar yang membelah Kota Malang. Sebagai
suatu drainase alam, perananan sungai-sungai yang
ada di Kota Malang sebenarnya sangat membantu
dalam usaha menata dan mengembangkan sistem
drainase kota.
Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu
Sungai-sungai yang melewati Kota Malang adalah Sungai Brantas, Sungai Metro, Sungai Amprong,
Sungai Bango, dan Sungai Sukun. Kelima Sungai tersebut membentuk Daerah Aliran Sungai (DAS)
Brantas Hulu, DAS Metro dan DAS Amprong. Sungai Sukun membentuk Sub DAS Sukun yang merupakan bagian dari DAS Metro. Sedangkan Sungai
Bango membentuk Sub DAS Bango yang merupakan
bagian dari DAS Amprong.
Pada Tahun 2006, Pemerintah Kota Malang telah membuat Studi Drainase Berbasis Daerah Pengaliran Sungai (DPS) untuk DPS Metro, DPS Brantas,
DPS Bango, DPS Amprong, dan DPS Sukun. Akan
tetapi solusi yang disampaikan dalam studi tersebut
hanya solusi teknis struktural, yakni hanya penanganan struktural fisik prasarana saluran drainasenya. Padahal dengan pendekatan DPS, ada banyak solusi
non struktural yang bisa dilakukan.
Banjir di Kota Malang mengakibatkan banyak
rumah terendam di Kelurahan Bandungrejosari, Kecamatan Sukun, Kota Malang. Di kelurahan itu, sebagian besar rumah terendam air setinggi 170 cm
dan 80 orang warga diungsikan ke tempat yang lebih
aman di rumah-rumah penduduk (http://www.tempo
interaktif.com tanggal 21 Nopember 2005). Hal ini
sangat mengejutkan, mengingat lokasi dimaksud luas
ruang terbukanya jauh lebih besar dibandingkan luas
ruang terbangunnya.
Pemerintah Kota (Pemkot) Malang menyatakan
11 lokasi di Kota Malang sebagai daerah rawan banjir yang lokasinya tersebar di dalam kota atau jalan
protokol, sedangkan sisanya di daerah pinggiran. Salah satunya adalah Jalan Sudanco Supriadi, dan sekitarnya. Beberapa lokasi genangan yang cukup parah di pinggiran kota adalah di Kelurahan Bandungrejosari dan sekitarnya yang saat ini mulai banyak
dilirik sebagai lokasi-lokasi hunian (http:// www.
tempointeraktif.com tanggal 25 Nopember 2005).
SDN 1 Bandungrejosari tutup karena tergenang,
setelah selama 2 (dua) hari Kota Malang dilanda hujan terus menerus. Pusat perbelanjaan di wilayah kecamatan Klojen juga menjadi titik-titik genangan yang
belum bisa dipecahkan (http://www.kompas.com
tanggal 17 Pebruari 2010)
Bisnis properti yang semakin marak menjadi penyebab utama terjadinya banjir di perkotaan. Area
parkir air berubah fungsi menjadi lokasi bangunan.
Hak air untuk meresap ke dalam tanah terhalangi
lapisan kedap air, tanpa ada pengganti bagi daerah
resapan. Peristiwa ini menjadi dosa bersama seluruh
stakeholder pembangunan kota (Rudianto dalam
http://www.bebasbanjir2025.com tanggal 4 Januari
2011).
261
Studi yang dilakukan penulis, dilatarbelakangi kurang adanya arahan spasial teknologi drainase untuk
mengurangi genangan tanpa menghambat pembangunan. Lokasi yang dipilih adalah Sub Daerah Aliran
Sungai (Sub DAS) Watu bagian Hilir, yang secara
administratif adalah Kelurahan Bandungrejosari dan
Kelurahan Bakalankrajan Kecamatan Sukun. Sub
DAS Watu bagian Hilir adalah salah satu unit Daerah
Aliran Sungai (DAS) Metro yang merupakan bagian
dari Satuan Wilayah Sungai (SWS) Brantas. Kedua
kelurahan tersebut merupakan 2 (dua) kelurahan dari
57 (lima puluh tujuh) kelurahan di Kota Malang, yang
cukup diminati para pengembang perumahan.
Pada area Sub DAS Watu bagian Hilir, luas area
terbangunnya lebih kecil dibandingkan luas area yang
belum terbangun, akan tetapi setiap terjadi hujan yang
cukup lama atau hujan dengan intensitas relatif tinggi,
selalu ditemui lokasi-lokasi yang tergenang, dengan
tinggi dan durasi genangan yang bervariasi. Dengan
minat yang tinggi dari pengembang perumahan untuk
mendirikan bangunan hunian sebagai perumahan formal disertai fasilitas sarana dan prasarana pendukungnya, maka wilayah lokasi studi memiliki kecenderungan potensi genangan yang meningkat, dan apabila tidak dilakukan tindakan akan menimbulkan dampak negatif seperti gangguan terhadap aktivitas atau
ketidaknyamanan penduduk dan ketidaksehatan lingkungan.
Perumusan Masalah
Dari latar belakang maka rumusan masalahnya
adalah: Bagaimana arahan spasial mengurangi genangan tanpa menghambat pembangunan di Sub
DAS Watu bagian Hilir?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat
maka tujuan dari studi ini adalah menganalisis arahan
spasial teknologi drainase untuk mengurangi genangan tanpa menghambat pembangunan di Sub DAS
Watu bagian Hilir.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dengan dilakukannya Studi ini adalah:
1. Bagi Pemerintah Kota Malang: Sebagai masukan pada Pemerintah Kota Malang, mengenai
pentingnya membangun dengan menyeimbangkan antara kepentingan tata ruang dan konservasi air.
2. Bagi Akademisi: Memberi informasi tentang konsep mengurangi genangan, tanpa mengkambinghitamkan pembangunan
262
3.
TINJAUAN PUSTAKA
Ruang Terbangun
Ketersediaan ruang adalah tidak tak terbatas.
Bila pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar terdapat pemborosan manfaat ru-
Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu
263
c.
2.
Perubahan tata guna lahan merupakan penyebab utama banjir dibandingkan dengan yang lainnya (Kodoatie dan Roestam Sjarief, 2005: 73).
Terdapat 2 (dua) pendekatan dalam pengendalian banjir dan genangan air (Anonim, 2003: 3-1):
1. Pengendalian Struktural (Pengendalian terhadap
banjir)
Dilakukan melalui kegiatan rekayasa teknis, terutama dalam penyediaan prasarana dan sarana
serta penanggulangan banjir.
2. Pengendalian Non Struktural (Pengendalian terhadap Pemanfaatan Ruang)
Dilakukan untuk meminimalkan kerugian yang
terjadi akibat bencana banjir, baik korban jiwa
maupun materi, yang dilakukan melalui pengelolaan daerah pengaliran, pengelolaan kawasan
banjir, flood proofing, penataan sistem permukiman, sistem peringatan dini, mekanisme perijinan, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan
upaya pembatasan (limitasi) pemanfatan lahan
dalam rangka mempertahankan keseimbangan
ekosistem.
264
Hidrologi Perkotaan
Siklus hidrologi menunjukkan gerakan air di permukaan bumi. Selama berlangsungnya Siklus hidrologi, yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali
lagi ke laut yang tidak pernah habis, air akan tertahan
(sementara) di sungai, danau/waduk, dalam tanah
sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia atau
makhluk lain (Asdak, 1995: 7).
Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu
265
fH A
1000
(1)
dimana:
Ia = imbuhan alami (sebelum terjadi perubahan
fungsi lahan) (m3/tahun)
f
= angka koefisien resapan
H = curah hujan tahunan (mm)
A = luas kawasan terbuka (m2)
Dalam rumus di atas luas kawasan adalah A
m2, bagian berupa atap bangunan (yang akan menangkap air hujan untuk diresapkan) mempunyai luas
sebesar A m2, yang mana merupakan persentase
terhadap luasan A tersebut. Bagian yang terbuka (tidak dilakukan penyemenan) dimana air hujan dapat
meresap secara alami mempunyai luasan sebesar
A m2. Sisa seluas (100% - ) tidak dapat diresapi
oleh air.
Daya resap air suatu area tergantung dari beberapa faktor antara lain ialah Jenis tanah, Kelerengan tanah, Jenis tutupan lahan, Intensitas dan durasi
curah hujan. Dari berbagai hal yang berpengaruh dalam perhitungan daya resap air itu, maka faktor jenis
tutupan lahan dan faktor kemiringan lahan yang mempunyai pengaruh cukup besar. Pengaruh tersebut di
dalam rumus Sunarto (1985) dalam Susilawati (2000:
19) direpresentasikan dalam parameter f (koefisien
resapan). Besarnya koefisien f adalah
f =1 c
(2)
dimana:
c
= koefisien limpasan (run off) yang harganya
tergantung dari jenis pengunaan lahan dan
kelerengan lahan (sebagaimana Tabel 2.3)
Limpasan Permukaan
Bilamana curah hujan mencapai permukaan tanah, maka seluruh atau sebagiannya akan meresap
ke dalam tanah. Bagian yang tidak teresap akan menjadi limpasan permukaan (surface run off) (Sosrodarsono, 1999: 71).
Perubahan tata guna lahan merupakan penyebab
utama banjir dibandingkan dengan yang lainnya. Secara kuantitatif pengaruh perubahan tata guna lahan
ditunjukkan dalam gambar 6 (Kodoatie, 2005: 74)
Perubahan tata guna lahan memberikan kontribusi dominan kepada aliran permukaan (run off).
Hujan yang jatuh ke tanah, airnya akan menjadi aliran
permukaan di atas tanah dan sebagian meresap ke
dalam tanah tergantung kondisi tanahnya.
Faktor penutup lahan akan cukup signifikan dalam pengurangan ataupun peningkatan aliran permukaan. Hutan yang lebat mempunyai tingkat penutup
lahan yang tinggi, sehingga apabila hujan turun ke
wilayah tersebut, faktor penutup lahan ini akan sangat memperlambat kecepatan aliran permukaan,
bahkan bisa terjadi kecepatannya mendekati nol (0).
266
Q p 0,002778 C I A
(3)
Dimana:
Q p = laju aliran permukaan (debit) puncak (m3/
detik)
C = koefisien limpasan permukaan (0 C 1)
I
= intensitas hujan (mm/jam)
A = luas DAS (Ha)
Penggunaan rumus Rasional untuk tata guna
lahan tidak homogen adalah (Suripin, 2004: 82):
n
Q p 0,002778 I Ci Ai
(4)
i 1
Dimana:
C i = koefisien aliran permukaan jenis penutup
tanah i
A i = luas lahan dengan jenis penutup tanah i
Tata Ruang
Tata Ruang adalah pengaturan ruang berdasarkan berbagai fungsi dan kepentingan tertentu, dengan
perkataan lain, pengaturan tempat bagi berbagai kegiatan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan semua
pihak secara adil, menghindari persengketaan serta
menjamin kelestarian lingkungan dibutuhkan proses
yang dalam Undang-undang No. 26 tahun 2007 disebut penataan ruang (www.cifor.cfiar.org).
Penataan ruang sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan sistem
yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya
(Anonim, 2007: 6).
Rencana tata ruang berisi kebijakan pokok pemanfaatan ruang berupa struktur dan pola pemanfaatan ruang dalam kurun waktu tertentu. Struktur
ruang dibentuk untuk mewujudkan susunan dan tatanan pusat-pusat permukiman yang secara hirarkis
dan fungsional saling berhubungan. Sedangkan pola
pemanfaatan ruang disusun untuk mewujudkan keserasian dan keselarasan pemanfaatan ruang bagi
kegiatan budidaya dan non budidaya (lindung), yang
meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara,
dan tata guna sumber daya alam lainnya (Anonim,
2007: 32).
Pemanfaatan ruang adalah rangkaian program
kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan
di dalam rencana tata ruang (Anonim, 2007: 34).
Kegiatan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
diselenggarakan melalui kegiatan:
a. Perijinan terhadap pemanfaatan ruang
b. Pengawasan terhadap pemanfaatan ruang
c. Penertiban terhadap pemanfaatan ruang
Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu
267
Paradigma Lama
Air hujan merupakan bencana, jadi harus segera
dibuang agar tidak menimbulkan genangan
2.
3.
4.
5.
Paradigma Baru
Air hujan merupakan rahmat, jadi harus dikelola
dengan baik. T erjadinya genangan memang harus
dihindari, tetapi tidak berarti bahwa air hujan harus
dibuan.
Untuk itu selain sistem saluran drainase juga
dibangun kolam penahan untuk mengendalikan aliran
air hujan.
Cakrawala pendangan meliputi Daerah Aliran Sungai
(DAS). Penyelesaian masalah air hujan di sebelah
hulu jangan sampai menimbulkan masalah di sebelah
hilir.
Ruang lingkup permasalahan tidak hanya terbatas
pada kuantitas air, tetapi juga pada aspek kualitas air.
Penyelesaian masalah secara terpadu selain
menghindari genangan juga memikirkan kelestarian
sumber daya air.
Bangunan/bangunan
Batas pemilikan
Sumur air minum
Aliran air (sungai)
Pipa air minum
Jalan
Pohon besar
Sumber: Kusnaedi, 2000: 13
Jarak minimal
dengan sumur
resapan (m)
3,00
1,50
10.50
30.00
3,00
1,50
3,00
Sumur resapan yang dapat diterapkan di perkotaan dapat berupa sumur resapan individual dan kolektif (Kusnaedi, 2000: 12). Sumur resapan individual
adalah sumur resapan yang dibuat secara pribadi untuk masing-masing rumah. Biaya pembuatan dan pemeliharaan diserahkan kepada pemiliknya. Letak sumur resapan harus memperhatikan keadaan lingkungan setempat. Dengan demikian sumur resapan akan
berfungsi dengan baik tanpa menimbulkan dampak
baru bagi kepentingan lainnya (Kusnaedi, 2000: 13).
268
Kepadatan Bangunan
Kepadatan bangunan menggambarkan persentase lahan yang tertutup bangunan (land coverage)
pada suatu lingkungan/bagian kota. Biasa diistilahkan
dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) atau Building Coverage Ratio (BCR).
Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu
Kepadatan bangunan dinyatakan dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB), yaitu merupakan koefisien perbandingan antara luas lantai dasar bangunan
terhadap luas persil/kaveling/blok peruntukan, atau
angka perbandingan luas lahan yang tertutup bangunan dan bangunan-bangunan dalam tiap petak peruntukan dibanding dengan luas petak peruntukan.
BCR KDB
Luas Bangunan
x 100%
Luas lahan
Drainase
Air hujan yang jatuh di suatu kawasan perlu dialirkan atau dibuang, caranya dengan pembuatan saluran yang dapat menampung air hujan yang mengalir
di permukaan tanah tersebut. Sistem saluran di atas
selanjutnya dialirkan ke sistem yang lebih besar. Sistem yang paling kecil juga dihubungkan dengan saluran rumah tangga dan dan sistem saluran bangunan
infrastruktur lainnya, sehingga apabila cukup banyak
limbah cair yang berada dalam saluran tersebut perlu
diolah (treatment). Seluruh proses tersebut di atas
yang disebut dengan sistem drainase (Kodoatie, 2010:
95).
Bagian infrastruktur (sistem drainase) dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang
berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga
lahan dapat difungsikan secara optimal. Dirunut dari
hulunya, bangunan sistem drainase terdiri dari saluran
269
270
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian merupakan pekerjaan ilmiah yang harus dilakukan secara sistematis, teratur dan tertib,
baik mengenai prosedurnya maupun dalam proses
berpikir tentang materinya (Nawawi, 2005: 1). Sifat
ilmiah menitikberatkan kegiatan penelitian sebagai
usaha menemukan kebenaran yang objektif. Kebenaran itu dapat berbentuk hasil pemecahan masalah
atau pengujian hipotesis, dan mungkin pula berupa
pembuktian tentang adanya sesuatu yang semula belum ada, tetapi diduga mungkin ada.
Tugas pokok penelitan terapan adalah mengungkapkan sebab-sebab terjadinya suatu masalah (diagnose) yang dinilai kurang menguntungkan bagi kehidupan manusia. Berdasarkan rumusan kesimpulan
tentang kondisi masalah dan sebab-sebabnya, tugas
berikutnya adalah menyusun implementasi dan sa-
ran-saran tindakan berupa alternative untuk mengatasi, memperbaiki, dan menyelesaikan masalah yang
diteliti.
Tugas-tugas penelitian terapan bila dihubungkan
dengan tugas-tugas penelitian sebagai kegiatan ilmiah,
dapat dipilah sebagai berikut (Nawawi, 2005: 29):
1. Tugas Eksplenatif (Explanation)
Mampu mendeskripsikan dan menjelaskan kondisi masalah yang dihadapinya.
2. Tugas Prediktif (Prediction)
Kemampuan memperkirakan sesuatu yang akan
terjadi, jika ada atau tidak adanya suatu gejala
tertentu.
3. Tugas Kontrol (Control)
Dilakukan berupa penyusunan implementasi dan
saran-saran tindakan, dalam mengatur gejalagejala tertentu, agar masalah yang dihadapi dapat
diatasi.
Studi ini termasuk dalam jenis penelitian terapan
sebagai penelitian deskriptif. Masalah terapan yang
diteliti berkaitan dengan fenomena makin meluasnya
ruang terbangun yang mengindikasikan makin meluas
pula genangan di lokasi studi, yang secara logika karena tidak diindahkannya hak air untuk meresap ke
dalam tanah menjadi imbuhan alami bagi simpanan
air tanah sebagai fungsi konservasi air.
Metode Penelitian
Metode merupakan cara, sedang kebenaran
yang akan diungkapkan adalah tujuan. Penggunaan
metode dimaksudkan agar kebenaran yang diungkapkan benar-benar dibentengi dengan bukti ilmiah
yang kuat. Oleh karena itu metode dapat diartikan
sebagai prosedur atau rangkaian cara yang sistematik
dalam mengggali kebenaran ilmiah (Nawawi, 2005:
71).
Metode yang digunakan dalam membahas studi
ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif dapat
diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang
diselidiki, dengan menggambarkan/melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak.
Dalam studi ini, metode deskriptif yang diterapkan, menggunakan bentuk studi kasus, artinya penelitian dibatasi pada kasus di lokasi studi.
Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu
Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh atau
dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang
melakukan penelitan atau yang bersangkutan yang
memerlukannya (Hasan, 2002: 82).
Survey untuk mengumpulkan data primer yang
dilakukan adalah:
1. Observasi (pengamatan lapangan), yaitu merupakan pengumpulan data yang dilakukan melalui
pengamatan yang dilakukan, ini berarti terhadap
data yang diamati harus tidak sekedar dilihat tetapi begitu dilihat langsung diperhatikan, jika perlu
ditanya dan dicatat segala sesuatunya. Observasi
penelitian meliputi pengamatan terhadap aspek
pemanfaatan ruang atau ragam penggunaan lahan dan kondisi saluran drainase, di wilayah lokasi studi.
2. Dokumentasi
Untuk melengkapi perolehan data, dilakukan pula dokumentasi hasil observasi lapangan dalam
bentuk foto mengenai kondisi saluran drainase
eksisting pada lokasi studi, mulai saluran pengumpul dan saluran pembawa.
Data sekunder
Data sekunder adalah data yang dikutip dari sumber lain, yang kemungkinan sudah merupakan data
dari tangan kedua, ketiga, dan seterusnya.
2.
3.
4.
271
ragam penggunaan lahan, dan saluran drainase (pengumpul dan pembawa) di lokasi studi.
Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah kondisi-kondisi yang
oleh peneliti dimanipulasikan, dikontrol atau diobservasi dalam suatu penelitian (Narbuko, 2005: 118).
Sedang Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa yang dimaksud variabel penelitian adalah segala sesuatu yang
akan menjadi obyek pengamatan penelitian. Jadi, variabel penelitian meliputi faktor-faktor yang berperan
dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti.
Variabel penelitian merupakan himpunan beberapa gejala yang berfungsi sama dalam suatu masalah
(Nawawi, 2005: 49). Di dalam satu variabel terdapat
satu atau lebih gejala, yang mungkin pula terdiri dari
berbagai aspek atau unsur sebagai bagian yang tidak
terpisahkan.
Jenis variabel dalam penelitian terapan (Nawawi,
2005: 49) ada beberapa, namun tidak semua variabel
harus ada dalam suatu penelitian. Jenis variabel tersebut adalah:
1. Variabel bebas (Independence Variable)
Variabel bebas adalah himpunan sejumlah gejala
yang memiliki pula berbagai aspek atau unsur,
yang berfungsi mempengaruhi atau menentukan
munculnya variabel lain yang disebut variabel
terikat. Adanya variabel ini tidak dipengaruhi atau
tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya variabel
lain.
2. Variabel terikat (Dependence Variable)
Variabel terikat adalah himpunan sejumlah gejala
yang memiliki pula sejumlah aspek atau unsur
di dalamnya, yang berfungsi menerima atau menyesuaikan diri dengan kondisi variabel lain, yang
disebut variabel bebas. Muncul atau tidaknya
variabel ini tergantung pada ada atau tidaknya
variabel bebas.
3. Variabel kontrol (Control Variable)
Variabel kontrol merupakan himpunan gejala
yang memiliki berbagai aspek atau unsur di da-
272
4.
5.
6.
Metode Analisis
Analisis data merupakan proses pengelompokan
data terpilih dalam kategori yang memiliki kesamaan
tema untuk menyelesaikan permasalahan atau hipotesa awal (Moleong, Lexy, 2000:64).
Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu
Watu dengan panjang 3.032,30 m, serta sebagian Sungai Metro dengan panjang 1.728,50 m. Lokasi studi
berada sekitar 440 500 m di atas permukaan laut.
Jumlah penduduk di lokasi studi berjumlah 39.260
jiwa, dengan tingkat pertumbuhan 2,9% per tahun.
Penduduk wilayah lokasi studi adalah 33% penduduk
asli dan 67% pendatang. Ini menunjukkan bahwa pendatang banyak menghuni kawasan permukiman di
lokasi studi. Pendatang terbanyak berasal dari Madura.
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat pada lokasi studi didominasi oleh mata pencaharian menggarap lahan sawah (38%). Sedangkan 18% adalah
Pegawai Negeri Sipil (PNS), 25% bekerja di bidang
swasta, dan sisanya adalah pelajar. Kehidupan bertetangga secara garis besar sangat harmonis, dan menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dan gotong royong.
273
No.
1
2
3
4
5
6
7
Luas (Ha)
222,64
4,28
9,23
5,12
129,98
242,00
38,47
651,72
274
Luas (Ha)
477,64
8,07
9,23
10,15
82,22
64,41
651,72
Sumber: analisa
2
3
4
5
1
2
Kategori
Ruang
Terb angun
Ruang
Terb uka
Total
Berdasar
Eksi sting
(Ha)
207,36
31,82
Berdasar
RTRW
2 010 2030
417,97
444,36
68,18
233,75
651,72
6 4, 13
3 5, 87
651,72
Prosentase
33%
17%
6%
10%
14%
11%
8%
Data di atas menunjukkan bahwa terdapat peningkatan luas ruang terbangun yang memberikan
pengaruh secara signifikan pada penurunan resap
air dan peningkatan laju limpasan permukaan. Apabila
kondisi ini tidak diarahkan, maka akan mengganggu
siklus hidrologi dan penataan air akan menimbulkan
daya rusak bagi sarana prasarana terbangun serta
menimbulkan penurunan kesehatan apabila sampai
terjadi genangan yang masuk ke bangunan hunian.
Kusumadewi, dkk., Arahan Spasial Teknologi Drainase untuk Mereduksi Genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu
6.
7.
8.
9.
275
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan Latar belakang penelitian, kajian
teori terkait rumusan masalah, analisis permasalahan
dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa perlu sinergitas antara penataan kawasan yang cenderung bersifat fisik pembangunan dengan konservasi
air, sehingga tercipta penataan ruang daratan dengan
memberikan ruang yang semestinya bagi air untuk
dapat masuk secara maksimal ke dalam tanah melalui
proses infiltrasi atau peresapan, agar pembangunan
(penambahan ruang terbangun) tidak menimbulkan
genangan. Secara spasial, teknologi drainase yang
diperlukan pada lokasi studi, yaitu Sub DAS Watu
bagian Hilir, adalah teknologi eko-drainase, yaitu drainase ramah lingkungan. Eko-drainase ini merupakan
kombinasi antara pola detensi (menampung sementara) dan pola retensi (meresapkan).
Arahan spasial teknologi drainase untuk mereduksi genangan di Sub Daerah Aliran Sungai Watu
bagian Hilir adalah:
1. Pemisahan antara saluran drainase yang mengalirkan air limbah rumah tangga dengan saluran
drainase air hujan,
276
2.
3.
4.
Saran
Saran bagi penelitian
Perlu dilakukan studi serupa dengan variabel
yang lebih banyak dan kompleks.
Saran bagi Pemerintah Kota Malang
Dengan kewenangannya, disarankan memulai
menetapkan aturan terkait sinergitas antara penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang
Tahun 2010 2030 dengan Konservasi Air.
Saran bagi masyarakat
Dengan kemampuannya, disarankan pengembang tidak semata-mata berorientasi pada nilai ekonomi lahan tetapi juga harus menyeimbangkan nilai
ekonomi lahan dengan nilai-nilai konservasi yang manfaatnya tidak diukur dengan ekonomi saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta.
2007.
Anonim. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Buletin
Warta Kebijakan No. 5.www.cifor.cfiar.org. Center for
International Forestry Research. Jakarta. Agustus
2002.
Anonim. Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Di Kawasan Rawan Bencana Banjir. Ditjen Penataan
Ruang Departemen Permukiman dan Prasarana
Wilayah. Jakarta. 2003.
Anonim. Undang-Undang Republik Indonesia No. 7
Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Penerbit
Pustaka Widyatama. Yogyakarta. 2004
Anonim. Konflik Kepentingan Dalam Pengelolaan
Sumber Daya Air. Penerbit Bigraf Publishing bekerja
sama dengan STTL Yogyakarta. Yogyakarta. 2004.
Anonim. Kebijakan Penanggulangan Bencana. Kolokium Hasil Litbang Ditjen Perumahan dan Permukiman,
Departemen Kimpraswil. Bandung. 2002.