Hepatic Ensefalopati
Hepatic Ensefalopati
Ensefalopati Hepatik:
PENDAHULUAN
Dengan memberatnya penyakit hati, risiko terjadinya ensefalopati hepatik semakin besar. Hal ini
memicu pesatnya perkembangan pengetahuan terkait masalah ensefalopati hepatik serta kemajuan
dalam diagnosis dan tata laksananya. Beragam studi terkait diagnosis, tata laksana, serta pencegahan enefalopati hepatik menjadi dasar penatalaksanaan ensefalopati hepatik di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memiliki panduan penatalaksanaan ensefalopati hepatik
yang diterbitkan oleh Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) pada tahun 2014.1
APA ITU ENSEFALOPATI HEPATIK?
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi pada penyakit hati
akut dan kronik berat dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan pada
otak yang mendasarinya.2 Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti
karena sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30%-84% pasien sirosis hepatis.3 Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mendapatkan prevalensi EH minimal sebesar
63,2% pada tahun 2009.4 Data pada tahun 1999 mencatat prevalensi EH stadium 2-4 sebesar 14,9%.5
Angka kesintasan 1 tahun dan 3 tahun berkisar 42% dan 23% pada pasien yang tidak menjalani transplantasi hati.6
EH terbagi menjadi tiga tipe terkait dengan kelainan hati yang mendasarinya; tipe A berhubungan
dengan gagal hati akut dan ditemukan pada hepatitis fulminan, tipe B berhubungan dengan jalur
pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsik jaringan hati, dan tipe C yang berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal, sekaligus paling sering ditemukan pada pasien dengan
gangguan fungsi hati.7,8 Klasifikasi EH berdasarkan gejalanya dibagi menjadi EH minimal (EHM) dan
EH overt. EH minimal merupakan istilah yang digunakan bila ditemukan adanya defisit kognitif seperti perubahan kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif melalui pemeriksaan psikometrik atau
elektrofisiologi,9,11 sedangkan EH overt terbagi lagi menjadi EH episodik (terjadi dalam waktu singkat
dengan tingkat keparahan yang befluktuasi) dan EH persisten (terjadi secara progresif dengan gejala
neurologis yang kian memberat).2,9-11
PATOFISIOLOGI ENSEFALOPATI HEPATIK
Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya EH pada pasien gangguan hati akut maupun
kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif dalam tubuh (asupan protein yang tinggi, gangguan
MEDICINUS
leading article
ginjal, perdarahan varises esofagus dan konstipasi), gangguan elektrolit dan asam basa (hiponatremia, hipokalemia, asidosis dan alkalosis), penggunaan obat-obatan (sedasi dan narkotika), infeksi
(pneumonia, infeksi saluran kemih atau infeksi lain) dan lain-lain, seperti pembedahan dan alkohol.
Faktor tersering yang mencetuskan EH pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan
gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus.8
Terjadinya EH didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam peredaran darah yang melewati sawar darah otak.7 Amonia merupakan molekul toksik terhadap sel yang diyakini berperan penting
dalam terjadinya EH karena kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati.7,12 Beberapa studi lain juga
mengemukakan faktor pencetus lain penyebab EH seperti pada gambar 1 berikut.
MEDICINUS
leading article
MEDICINUS
leading article
dian, seperti apatis, iritabilitas dan disinhibisi serta perubahan kesadaran dan fungsi motorik yang
nyata. Selain itu, gangguan pola tidur semakin sering ditemukan. Pasien dapat memperlihatkan disorientasi waktu dan ruang yang progresif, tingkah laku yang tidak sesuai dan fase kebingungan akut
dengan agitasi atau somnolen, stupor, dan pada akhirnya jatuh ke dalam koma.17
Kriteria West Haven membagi EH berdasarkan derajat gejalanya (Tabel 1). Stadium EH dibagi menjadi
grade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1 masuk dalam EH covert serta derajat 2-4 masuk dalam EH
overt, seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Stadium ensefalopati hepatik sesuai kriteria West Haven18
Pemeriksaan Mini Mental Status Examination (MMSE) dapat digunakan sebagai deteksi dini dalam
menegakkan diagnosis EH. Pemeriksaan Number Connecting Test (NCT), NCT-A dan NCT-B, maupun Critical Flicker Frequency (CFF) merupakan pemeriksaan lain untuk mendiagnosis EH. Namun,
pemeriksaan MMSE, NCT, CFF masih sulit untuk dilakukan secara merata di Indonesia. Oleh karena
itu, para klinisi diharapkan memberi penjelasan terhadap pasien beserta keluarganya mengenai
tanda-tanda EH, seperti komunikasi, perubahan pola tidur, penurunan aktivitas sehari-hari pasien
hingga tanda-tanda seperti asteriksis, klonus maupun penurunan kesadaran yang jelas. Pemeriksaan
radiologis berupa magnetic resonance imaging (MRI) serta elektroensefalografi (EEG) dapat menjadi
pilihan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan lain pada otak. Elektroensefalografi akan menunjukkan perlambatan (penurunan frekuensi gelombang alfa) aktivitas otak pada pasien dengan
EH.2,8 Pemeriksaan kadar amonia tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis pasti EH. Peningkatan
kadar amonia dalam darah (> 100 mg/100 ml darah) dapat menjadi parameter keparahan pasien
dengan EH.18 Pemeriksaan kadar amonia darah belum menjadi pemeriksaan standar di Indonesia
mengingat pemeriksaan ini belum dapat dilakukan pada setiap rumah sakit di Indonesia. Gambar 3
menunjukkan alur diagnosis pasien dengan kecurigaan EH.
TERAPI TERKINI ENSEFALOPATI HEPATIK
Tatalaksana EH diberikan sesuai dengan derajat EH yang terjadi. Dasar penatalaksanaan EH adalah:
identifikasi dan tatalaksana faktor presipitasi EH, pengaturan keseimbangan nitrogen, pencegahan
perburukan kondisi pasien, dan penilaian rekurensi ensefalopati hepatik.
Tatalaksana Faktor Presipitasi
Beberapa faktor presipitasi dapat mencetuskan terjadinya EH, seperti dehidrasi, infeksi, obat-obatan
sedatif dan perdarahan saluran cerna. Pencegahan dan penatalaksanaan terhadap faktor-faktor
tersebut berperan penting dalam perbaikan EH. Pemberian laktulosa dan konsumsi cairan perlu
dipantau untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Pemberian antibiotik spektrum luas diindikasikan
pada keadaan infeksi, sebagai faktor presipitasi tersering, baik pada saluran cerna maupun organ
lain. Konsumsi alkohol dan obat-obatan sedatif harus dihentikan sejak awal timbulnya manifestasi
MEDICINUS
leading article
EH. Ligasi sumber perdarahan, observasi cairan dan penurunan tekanan vena porta perlu dilakukan
dengan tepat dan cepat bila ditemukan perdarahan saluran cerna, terutama pecahnya varises esofagus. Gangguan elektrolit juga menjadi salah satu pencetus EH pada pasien sirosis sehingga membutuhkan penanganan yang adekuat.12,19
Ditemukannya faktor presipitasi EH pada pasien semakin menguatkan diagnosis EH. Faktor presipitasi dapat diidentifikasi pada hampir semua kasus EH episodik tipe C dan sebaiknya dievaluasi secara
aktif dan ditatalaksana segera saat ditemukan. Tabel 2 memperlihatkan pembagian faktor presipitasi
dengan EH yang ditimbulkan.
Tatalaksana Farmakologis
Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang diterapkan dalam tatalaksana EH. Beberapa modalitas untuk menurunkan kadar amonia dilakukan dengan penggunaan laktulosa, antibiotik, L-Ornithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai terapi potensial lainnya.
- Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa)
Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH.7 Sifatnya yang laksatif menyebabkan
MEDICINUS
leading article
penurunan sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake
glutamin.12,18,20 Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang digunakan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan menekan bakteri lain
yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion hidrogen
pada amonia sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia (NH3) menjadi ion amonium (NH4+).
Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen.
Dari metaanalisis yang dilakukan, terlihat bahwa laktulosa tidak lebih baik dalam mengurangi amonia dibandingkan dengan penggunaan antibiotik.12 Akan tetapi, laktulosa memiliki kemampuan
yang lebih baik dalam mencegah berulangnya EH dan secara signifikan menunjukkan perbaikan tes
psikometri pada pasien dengan EH minimal.
Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml sehari dan dapat diberikan 3 hingga 6 bulan. Efek
samping dari penggunaan laktulosa adalah menurunnya persepsi rasa dan kembung. Penggunaan
laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode EH, karena akan memunculkan faktor presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia.18
- Antibiotik
Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan bakteri yang bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai salah satu faktor presipitasi EH.7,12,18 Selain itu, antibiotik juga memiliki efek anti-inflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase.12 Antibiotik yang
menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap secara minimal.13,23 Dosis yang
diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan.12,21 Rifaximin dipilih menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan HE sebelumnya, yaitu neomycin, metronidazole, paromomycin, dan vancomycin oral karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan antibiotik lainnya.12
- L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)
LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, bekerja sebagai substrat yang berperan dalam perubahan amonia menjadi urea dan glutamine. LOLA meningkatkan metabolisme amonia
di hati dan otot, sehingga menurunkan amonia di dalam darah.7 Selain itu, LOLA juga mengurangi
edema serebri pada pasien dengan EH.
LOLA, yang merupakan subtrat perantara pada siklus urea, menurunkan kadar amonia dengan merangsang ureagenesis. L-ornithine dan L-aspartate dapat ditransaminase dengan -ketoglutarate
menjadi glutamat, melalui ornithine aminotrasnferase (OAT) dan aspartate aminotransferase (AAT),
berurutan. Molekul glutamat yang dihasilkan dapat digunakan untuk menstimulasi glutamine synthetase, sehingga membentuk glutamin dan mengeluarkan amonia. Meskipun demikian, glutamin
dapat dimetabolisme dengan phosphate-activated glutaminase (PAG), dan menghasilkan amonia
kembali.
Suatu RCT double blind menunjukkan pemberian LOLA selama 7 hari pada pasien sirosis dengan EH
menurunkan amonia dan memperbaiki status mental. Akan tetapi, penurunan amonia pada pasien
EH yang mendapatkan LOLA diperkirakan hanya sementara.18 Beberapa penelitian RCT (Kirchets dkk,
1997 dan Ahmad dkk, 2008) menunjukkan bahwa penggunaan LOLA 20 g/hari secara intravena dapat memperbaiki kadar amonia dan EH yang ada.22,23 Studi metaanalisis terkini (Jiang Q, 2009 dan
Bai M, 2013) menunjukkan manfaat LOLA pada pasien EH overt dan EH minimal dalam perbaikan EH
dengan menurunkan konsentrasi amonia serum.24,25
MEDICINUS
leading article
- Probiotik
Probiotik didefinisikan sebagai suplementasi
diet mikrobiologis hidup yang bermanfaat untuk nutrisi pejamu. Amonia dan substansi neurotoksik telah lama dipikirkan berperan penting
dalam timbulnya EH. Amonia juga dihasilkan
oleh flora dalam usus sehingga manipulasi flora
usus menjadi salah satu strategi terapi EH. Mekanisme kerja probiotik dalam terapi EH dipercaya terkait dengan menekan substansi untuk
bakteri patogenik usus dan meningkatkan
produk akhir fermentasi yang berguna untuk
bakteri baik.26,27
MEDICINUS
leading article
daftar pustaka
1. Lesmana LA, Nusi IA, Gani RA, Hasan I, Sanityoso A, Lesmana CRA, et al.
Panduan praktik klinik penatalaksanaan ensefalopati hepatik di Indonesia
2014. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, 2014.
2. Ferenci P, Lockwood A, Mullen K, Tarter R, Weissenborn K, Blei AT. Hepatic
encephalopathyDefinition, nomenclature, diagnosis, and quantification: Final report of the Working Party at the 11th World Congresses of
Gastroenterology, Vienna, 1998. Hepatology. 2002;35(3):716-21.
3. Hartmann IJ, Groeneweg M, Quero JC, Beijeman SJ, de Man RA, Hop WC, et
al. The prognostic significance of subclinical hepatic encephalopathy. Am J
Gastroenterol. 2000;95(8):2029-34.
4. Iskandar M, Ndraha S, Hasan I. Prevalensi Ensefalopati Hepatik Minimal di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Bulan Mei - Agustus 2009: KOPAPDI; 2009.
5. Zubir N. Koma hepatik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima. Jakarta:
Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2009.
6. Mullen KD. The Treatment of Patients With Hepatic Encephalopathy:
Review of the Latest Data from EASL 2010. Gastroenterol Hepatol.
2010;6(7):1-16.
7. Riggio O, Ridola L, Pasquale C. Hepatic encephalopathy therapy: An overview. World J Gastrointest Pharmacol Ther. 2010;1(2):54-63.
8. Wakim FJ. Hepatic encephalopathy: suspect it early in patients with cirrhosis. Cleve Clin J Med. 2011;78(9):597-605.
9. Amodio P, Montagnese S, Gatta A, Morgan M. Characteristics of Minimal
Hepatic Encephalopathy. Metab Brain Dis. 2004;19(3-4):253-67.
10. Groeneweg M, Moerland W, Quero JC, Hop WCJ, Krabbe PF, Schalm
SW. Screening of subclinical hepatic encephalopathy. J Hepatol.
2000;32(5):748-53.
11. Quero JC, Hartmann IJ, Meulstee J, Hop WC, Schalm SW. The diagnosis of
subclinical hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis using neuropsychological tests and automated electroencephalogram analysis.
Hepatology. 1996;24(3):556-60.
12. Frederick RT. Current concepts in the pathophysiology and management
of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol. 2011;7(4):222-33.
13. Perazzo JC, Tallis S, Delfante A, Souto PA, Lemberg A, Eizayaga FX, et al.
Hepatic encephalopathy: An approach to its multiple pathophysiological
features. World J Hepatol. 2012;4(3):50-65.
14. Cordoba J, Minguez B. Hepatic Encephalopathy. Semin Liver Dis.
2008;28(1):70-80.
15. Chatauret N, Butterworth RF. Effects of liver failure on inter-organ trafficking of ammonia: implications for the treatment of hepatic encephalopathy.J Gastroenterol Hepatol. 2004;19:S219-223.
MEDICINUS
16. Norenberg MD, Rama Rao KV, Jayakumar AR. Signaling factors in the
mechanism of ammonia neurotoxicity. Metab Brain Dis. 2009;24(1):10317.
17. Vilstrup H, Amodio P, Bajaj J, Cordoba J, Fereni P, Mullen KD, et al. Hepatic
encephalopathy in chronic liver disease: 2014 practice guideline by the
European Association for the Study of the Liver and the American Association for the Study of Liver Diseases. J Hepatol (2014), http://dx.doi.
org/10.1016/j.hep.2014.05.042
18. Zhan T, Stremmel W. The diagnosis and treatment of minimal hepatic encephalopathy. Dtsch Arztebl Int. 2012;109(10):180-7.
19. Crdoba J. New assessment of hepatic encephalopathy. J Hepatol.54(5):1030-40.
20. Sanyal A, Bass N, Mullen K, Poordad F, Shaw A, Merchant K, et al. Recent
advances in the diagnosis and treatment of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol. 2010;6(7):5-13.
21. Wright G, Chatree A, Jalan R. Management of Hepatic Encephalopathy. Int
J Hepatol. 2011;2011.
22. Kircheis G, Nilius R, Held C, Berndt H, Buchner M, Gortelmeyer R, et al.
Therapeutic efficacy of L-ornithine-L-aspartate infusions in patients with
cirrhosis and hepatic encephalopathy: Results of a placebo-controlled,
double-blind study. Hepatology. 1997;25(6):1351-60.
23. Ahmad I, Khan AA, Alam A, Dilshad A, Butt AK, Shafqat F, et al. L-ornithineL-aspartate infusion efficacy in hepatic encephalopathy. Journal of the
College of Physicians and Surgenons--Pakistan:JCPSP. 2008;18(11):684-7.
24. Jiang Q, Jiang X-H, Zheng M-H, Chen Y-P. l-Ornithine-l-aspartate in the
management of hepatic encephalopathy: A meta-analysis. J Gastroenterol Hepatol. 2009;24(1):9-14.
25. Bai M, Yang Z, Qi X, Fan D, Han G. l-ornithine-l-aspartate for hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis: A meta-analysis of randomized
controlled trials. J Gastroenterol Hepatol. 2013;28(5):783-92.
26. Solga, SF. Probiotics can treat hepatic encephalopathy. Med Hypothesses
2003;61:307-13.
27. Bongaerts G, Severijnen R, Timmerman H. Effect of antibiotics, prebiotics
and probiotics in the treatment for hepatic encephalopathy. Med Hypotheses 2005;64:64-8.
28. Liu Q, Duan ZP, Ha DK, et al. Synbiotic modulation of gut flora: Effect on
minimal hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis. Hepatology
2004;39:1441-9.
29. Shukla S, Shukla A, Mehboob S, Guha S. Meta-analysis: the effects of gut
flora modulation using prebiotics, probiotics and synbiotics on minimal
hepatic encephalopathy. Aliment Pharmacol Ther. 2011;33(6):662-71.
30. Sharma V, Garg S, S A. Probiotics and Liver Disease. Perm J. 2013;17(4):62-7.