html
http://ndesdres.blogspot.co.id/2012/03/pembahasan-uji-disolusi-tablet-ctm_07.html
I. Pendahuluan
1.2.Teori
Disolusi parameter fisiko kimia dan fisikomekanik dari preformulasi obat yang
melibatkan berbagai investigasi suatu bahan obat untuk mendapatkan informasi
yang berguna, yang selanjutnya dimanfaatkan untuk membuat formulasi
sediaannya yang secara fisiko stabil dan secara biofarmasi sesuai dengan tujuan
dan bentuk sediaan.
Menentukan kecepatan disolusi intrinsik obat pada rentang PH cairan fisiologis
sangat penting karena dapat digunakan untuk melakukan preduksi absorpsi dan
sifat fisiko kimia.
Kecepatan disolusi ditentukan dengan berbagai cara. Nernst ( 1904 )
memodifikasi persamaan Neyes Whitney ( 1897 ) yang secara umum
diaplikasikan untuk disolusi sebagai berikut :
dc =
DA
dt
h.V ( Cs C )
Dimana :
D : Koefesien difusi
h : Ketebalan lapisan difusi pada antarmuka padat cair
A : Luas permukaan obat yang di ekspose pada medium disolusi
C : Konsentrasi obat dalam larutan pada waktu t
Uji ini digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi
yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul,
kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi
tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan dalam masingmasing monografi. Bila pada etiket dinyatakan bahwa sediaan bersalut enterik,
sedangkan dalam masing-masing monografi, uji disolusi atau uji waktu hancur
tidak secara khusus dinyatakan untuk sediaan bersalut enterik, maka digunakan
cara pengujian untuk sediaan lepas lambat seperti yang tertera pada uji
1.2. Monografi
CTM (Chlorpeniramini Maleat)
Konsentrasi (mg/ml)
Absorbansi
0,00013
0,717
0,000104
0,550
0,0000624
0,344
0,0000416
0,279
0,0000312
0,185
Absorbansi
0,096
0,277
0,187
0,188
0,165
10
0,228
15
0,168
20
0,253
25
0,266
30
0,234
35
0,204
40
0,253
45
0,205
= 0,05 x 1000
391
100
= 0,0013 mol/L
A = 2,511
A = 0,717
A = 0,550
c. 6 ml larutan 2 + aquadest ad 10 ml
V3 . N3 = V4 . N4
6 . 0,000104 = 10 . N
N4 = 0,0000624 mol/L
A = 0,344
d. 4 ml larutan 2 + aquadest ad 10 ml
V3 . N3 = V5 . N5
4 . 0,000104 = 10 . N5
N5 = 0,0000416 mol/L
A = 0,279
e. 3 ml larutan 2 + aquadest ad 10 ml
V3 . N3 = V6 . N6
3 . 0,000104 = 10 . N6
N6 = 0,0000312 mol/L
A = 0,185
Volume ambil = 5
Volume essel = 500
mL
mL
Wakt
u
Konsentra
si
Faktor
koreksi
terukur
Faktor
koreksi
komulatif
Konsentrasi
Sebenarnya
% Kelarutan
0,000185
0,000185
2,31 %
0,000547
0,00000185
0,00054885
6,86 %
0,000367
0,000001
85
0,00000732
0,00037432
4,67 %
0,000369
0,00001099
0,00037999
4,79 %
0,000323
0,00001468
0,00033767
4,22 %
10
0,000449
0,000003
67
0,00001791
0,00046691
5,83 %
15
0,000329
0,000003
69
0,0000224
0,0003514
4,39 %
20
0,000499
0,00002569
0,00052469
6,56 %
25
0,000525
0,00003068
0,00055568
6,95 %
30
0,000461
0,00003593
0,00049693
6,21 %
35
0,000401
0,00004054
0,00044154
5,52 %
40
0,000499
0,00004455
0,00054355
6,79 %
45
0,000403
0,00004954
0,00045254
5,66 %
0,000005
47
0,000003
23
0,000004
49
0,000003
29
0,000004
99
0,000005
25
0,000004
61
0,000004
01
0,000004
99
VI. Pembahasan
Pada pembuatan kurva baku diusahan absorbansi yang dihasilkan diantara 0,2
dan 0,8 karena pada absorbansi tersebut dihasilkan maksimum, dan pada
absorbansi tersebut dihasilkan konsentrasi yang lebih akurat.
Medium disolusi yang digunakan adalah aquadest karena CTM mudah sekali larut
dalam aquadest dan di dalam tubuh kita sebagian besar merupakan molekul air.
Suhu pada uji disolusi di setting 37 0C karena pada suhu tersebut sama dengan
suhu tubuh manusia karena diupayakan pada pengujian ini kondisi pada saat
pengujian harus diupayakan sama dengan kondisi pada saat
Pada uji disolusi, 1 tablet CTM masukkan pada tabung yang telah berisi aquadest
dan tabung satunya juga berisi aquadest setelah alat dinyalakan pada selang
VII. Kesimpulan
Dalam proses disolusi CTM dihasilkan persentase kelarutan terhadap waktu :
Waktu (menit)
% Kelarutan
2,31 %
6,86 %
4,67 %
4,79 %
4,22 %
10
5,83 %
15
4,39 %
20
6,56 %
25
6,95 %
30
6,21 %
35
5,52 %
40
6,79 %
45
5,66 %
Dari hasil proses disolusi dapat ditarik kesimpulan semakin lama maka
kelarutannya semakin banyak akan tetapi pada titik tertentu kelarutannya turun
lagi. Dan juga dapat ditarik kesimpulan dalam pembuatan kurva baku bahwa
absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi.
Lachman, Leon., 1994., Teori dan Praktek Farmasi Industri., Jilid 2., Jakarta., UIpress.
http://pharmacistuwh.blogspot.co.id/
IV CARA KERJA :
Disiapkan tabung disolusi yang telah diisi dengan HCl 0,1 N sebanyak 900 ml. suhu diatur pada
37 0,5C.
Masing-masing sampel dimasukan dalam pengaduk keranjan, pengaduk keranjang dicelupkan dalam
tabung disolusi dan pengaduk diputar dengan kecepatan 100 rpm.
Larutan HCl 0,1 N dalam tabung disolusi diambil pada menit ke 5, 15, 30 dan 60 sebanyak 5 ml, HCl
0,1 N yang diambil (cuplikan) segera diganti dengan HCl 0,1 N sebanyak 5 ml.
Cuplikan yang diperoleh ditentukan kadarnya dengan spektrofotometri pada 276,4 nm setelah
diencerkan 25x
http://laporanakhirpraktikum.blogspot.co.id/2013/07/LAPORAN-PRAKTIKUM-UJIDISOLUSI-TABLET-RANITIDIN-Teknologi-Formulasi-Sediaan-Solida.html
III.
TEORI
Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat
fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya
ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan
zat aktif dari bentuk sediaan biasanya ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam
media sekelilingnya.
Disolusiadalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan
transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh ke pelarut
dari permukaan padat.
Teori disolusi yang umum adalah:
1. Teori film (model difusi lapisan)
2. Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)
3. Teori Solvasi terbatas/Inerfisial
Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk
sediaan utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri.
Kecepatan disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan
sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per unit waktu di bawah kondisi antar
permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi media yang dibakukan. Kecepatan
pelarutan memberikan informasi tentang profil proses pelarutan persatuan waktu.
Hukum yang mendasarinya telah ditemukan oleh Noyes dan Whitney sejak tahun
1897 dan diformulasikan secara matematik.
Pada peristiwa melarut sebuah zat padat disekelilingnya terbentuk lapisan tipis
larutan jenuhnya, darinya berlangsung suatu difusi suatu ke dalam bagian sisa dari
larutan di sekelilingnya. Untuk peristiwa melarut di bawah pengamatan kelambatan
difusi ini dapat menjadi persamaan dengan menggunakan hukum difusi. Dengan
mensubtitusikan hukum difusi pertama Ficks ke dalam persamaan Hernsi Brunner
dan Bogoski, dapat memberikan kemungkinan perbaikan kecepatan pelarutan
secara konkret.
Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat, koefisien difusi,
serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan ini juga
berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat
dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh
kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif ditentukan oleh
kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya.
Lapisan difusi adalah lapisan molekul-molekul air yang tidak bergerak oleh
adanya kekuatan adhesi dengan lapisan padatan. Lapisan ini juga dikenal sebagai
lapisan yang tidak teraduk atau lapisan stagnasi. Tebal lapisan ini bervariasi dan
sulit untuk ditentukan, namun umumnya 0,005 cm (50 mikron) atau kurang.
Hal-hal dalam persamaan Noyes Whitney yang mempengaruhi kecepatan melarut:
Kenaikan dalam harga A menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Kenaikan dalam harga D menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Kenaikan dalam harga Cs menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Kenaikan dalam harga Ct menyebabkan naiknya kecepatan melarut
oleh proses disolusi dan difusi. Namun demikian, bagi tablet yang berdesintegrasi,
profil disolusinya dapat menjadi sangat berbeda tergantung dari apakah
desintegrasi atau disolusinya yang menjadi penentu kecepatan.
Faktor yang mempengaruhi Disolusi
1.Suhu
Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh lima persen
dapat disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat.
2.Medium
Media yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam beberapa hal zat
tidak larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat merubah sifat ini atau
surfaktan digunakan untuk menambah kelarutan. Gunanya adalah untuk membantu
kondisi sink sehinggan kelarutan obat di dalam medium bukan merupakan faktor
penentu dalam proses disolusi. Untuk mencapai keadaan sink maka
perbandingan zat aktif dengan volume medium harus dijaga tetap pada kadar 3-10
kali lebih besar daripada jumlah yang diperlukan bagi suatu larutan jenuh.
Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas dari medium sebelum
digunakan. Gelembung udara yang terjadi dalam medium karena suhu naik dapat
mengangkat tablet, sehingga dapat menaikkan kecepatan melarut.
3.Kecepatan Perputaran
Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya kecepatan
pengadukan adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di atas 100 rpm tidak
menghasilkan data yang dapat dipakai untuk membeda-bedakan hasil kecepatan
melarut. Bilamana ternyata bahwa kecepatan pengadukan perlu lebih dari 100 rpm
maka lebih baik untuk mengubah medium daripada menaikkan rpm. Walaupun 4%
penyimpangan masih diperbolehkan, sebaiknya dihindarkan.
4.Ketepatan Letak Vertikal Poros
Disini termasuk tegak lurusnya poros putaran dayung atau keranjang, tinggi dan
ketepatan posisi dayung/ keranjang yang harus sentris. Letak yang kurang sentral
dapat menimbulkan hasil yang tinggi, karena hal ini akan mengakibatkan
pengadukan yang lebih hebat di dalam bejana.
5. Goyangnya poros
Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena dapat
menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam medium. Sebaiknya
digunakan poros dan bejana yang sama dalam posisi sama bagi setiap percobaan
karena masalah yang timbul karena adanya poros yang goyang akan dapat lebih
mudah dideteksi.
6. Vibrasi
Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir semua
masalah vibrasi berasal dari poros motor, pemanas penangas air atau adanya
penyebab dari luar. Alas dari busa mungkin dapat membantu, tetapi kita harus hatihati akibatnya yaitu letak dan kelurusan harus dicek.
7. Gangguan pola aliran
Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana disolusi dapat
mengakibatkan hasil disolusi yang tinggi. Alat pengambil cuplikan serta adanya
Untuk menghasilkan kerja terapetik yang optimal maka kelarutan bahan obat
dalam konsentrasi yang memadai seringkali menjadi persyaratan penting. Prinsip
untuk perbaikan kelarutan:
v Usaha Teknis
a Penghalusan
Melalui penghalusan, yang mengarahkan kepada pembesaran permukaan yang
tidak terelakkan, dapat sangat mendukung kepada suatu perbaikan perbandingan
kelarutan. Hal tersebut berlaku terutama untuk bahan suakr larut, dimana dapat
diperlukan suatu mikronisasi.
b. Pengeringan sembur
Pada pengeringan sembur dari larutan cair umumnya membentuk pola
berongga 920-200 m), yang memiliki suatu karakter busa kering dan disebabkan
oleh pembesaran permukaan yang dihasilkan dengan demikian, memberikan suatu
kelarutan yang cepat.
a. Pemancang sembur
Peningkatan kecepatan melarut bahan obat sangat sukar larut dihasilkan melalui
semburannya bersama-sama dengan polimer hidrofil (metilselulosa, natrium
karboksi metilselulosa, polietilenglikol, polivinilpirolidon). Meningkatnya
kecepatan melarut terdapat dalam perbandingan langsung terhadap bagian bahan
aktif yang terdapat secara kristalografis amof dalam produk sembur.
b. Pemancang leburan, kopresipitas
Juga melalui leburan bersama suatu bahan obat dengan suatu bahan pembawa
(misalnya polietilenglikol 6000 atau urea) dan akhirnya leburan dibekukan
(pemancang leburan) dapat meningkatkan kelarutan.
c. Penarikan pada pembawa padat
Dengan prosedur teknik ini juga dapat dihasilkan suatu peningkatan nyata
kecepatan melarut pada suatu deret bahan obat sukar larut (misalnya digitoksin,
benzokain).
v Pembentukan garam larut air
Metode yang telah lama digunakan ini dijumpai penggunaannya secara luas pada
bahan obat base seperti alkaloida (misalnya pilokarpin hidroklorida, morfin
hidroklorida) dan asam (misalnya natrium benzoat).
v Pemasukan gugus polar ke dalam molekul
Untuk penghidrofiliksasian dapat dimasukkan gugus polar ke dalam molekul. Hal
tersebut berlangsung melalui karboksilasi, sulfurisasi, sulfonisasi, aminsai,
amidasi, metansulfonisasi hidroksilasi, alkilasi, polioksietilasi dan sebagiannya.
v Pembentukan kompleks
Pembentukan kompleks sering dikaitkan dengan suatu perubahan sifat yang lebih
penting dari baha obat, seperti ketetapan, daya resorpsinya, dan tersatukannya,
sehingga dalam setiap kasus diperlukan suatu pengujian yang cermat dan cocok.
v Penambah senyawa hidrotropi
Efek yang dinyatakan sebagai hidrotropi pada hakekatnya adalah diarahkan
kembali terhadap efektifnya ikatan jembatan hidrogen, sebagian terdapat
pembentukan kompleks dan terhadap turunnya tergangan permukaan.
v Penglarutan dari larutan tensid
Pada bahan yang nyata-nyata hidrofob (misalnya fenasetin, propifenazon) suatu
penghalusan partikel tidak mengarahkan kepada suatu peningkatan, melainkan
kepada suatu penurunan dari perbandingan kelarutannya. Hal ini mempunyai
penyebabnya, bahwa dengan berlangsungnya pembesaran permukaan sekaligus
batas antarpermukaan yang tidak dapat dibasahi meninggi, di mana masuknya ke
dalam larutan sangat dihambat.
v Pensolubilisasian
Pensolubilisasian adalah suatu perbaikan kelarutan melalui senyawa aktif
permukaan, yang pada tempatnya, untukmerubah bahan obat kurang larut air atau
bahan obat tak larut air menjadi larutan dalam air jernih, setinggi-tingginya
beropalesensi, tanpa menjalani suatu perubahan struktur kimia obat.
RANITIDIN
Merupakan H2-Blocker pertama yang menduduki reseptor histamin H 2 di mukosa
lambung yang memicu produksi asam lambung. Penggunaanya pada terapi dan
profilaksis lambung-usus, reflux oesophagitis ringan sampai sedang, dan
sindroma Zollinger-Ellison. Efek samping jarang terjadi dan berupa diare
(sementara), nyeri otot, pusing-pusing dan reaksi kulit.
Senyawa furan ini daya menghambat terhadap sekresi asam lebih kuat
daripada simetidin, tetapi lebih ringan dibandingkan penghambat pompa proton
(omeprazol, dll).
V1. N1 = V2. N2
V.100 ppm = 50ml. 2ppm
V = 1 ml
volume aquadest yang ditambahkan 50 ml - 1 ml = 49 ml
* Pembuatan larutan Ranitidine 1 ppm
V1. N1 = V2. N2
V.100 ppm = 100ml. 1ppm
V = 1 ml
volume aquadest yang ditambahkan 100 ml - 1 ml = 99 ml
Pembuatan kurva baku dengan 314 nm
Konsentrasi (ppm)
0.00
1.00
2.00
4.00
5.00
100.00
Y = ax + b
Persamaan linier yang didapat dari gafik
Y = 0,0167x + 0,0779
Waktu
Absorban
0
1
3
5
10
20
30
45
50
Karena dilakukan pengenceran 10x maka konsentrasi yang diperoleh juga dikali
10, sehingga pada t = 10 menit konsentrasinya adalah 273.71 ppm
Untuk t = 20 menit
X = 0.64-0.0779 = 33.6586 ppm
0.0167
Karena dilakukan pengenceran 10x maka konsentrasi yang diperoleh juga dikali
10, sehingga pada t = 20 menit konsentrasinya adalah 336.586 ppm
Untuk t = 30 menit
X = 0.635-0.0779 = 33.359 ppm
0.0167
Karena dilakukan pengenceran 10x maka konsentrasi yang diperoleh juga dikali
10, sehingga pada t = 30 menit konsentrasinya adalah 333.59 ppm
Untuk t = 45 menit
X = 0.675-0.0779 = 35.754 ppm
0.0167
Karena dilakukan pengenceran 10x maka konsentrasi yang diperoleh juga dikali
10, sehingga pada t = 45 menit konsentrasinya adalah 357.54ppm
Untuk t = 50 menit
X = 0.675-0.0779 = 35.754 ppm
0.0167
Karena dilakukan pengenceran 10x maka konsentrasi yang diperoleh juga dikali
10, sehingga pada t = 50 menit konsentrasinya adalah 357.64 ppm
VII.
PEMBAHASAN
Agar suatu obat dapat masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menghasilkan efek terapeutik, obat tersebut tentunya harus memiliki daya hancur
yang baik dan laju disolusi yang relatif cukup cepat. Dalam percobaan ini,
dilakukan uji disolusi terhadap tablet Simetidin. Dalam percobaan ini, tidak
didapatkan data serapan dari masing-masing konsentrasi sampel yang diukur.
Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan
disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan
kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah.
Alat yang digunakan pada uji disolusi kali ini berbentuk dayung yang terletak tepat
di tengah-tengah media agar tidak terjadi turbulensi aliran. Tinggi dasar dayung ke
dasar media adalah 2,5 cm tujuannya untuk memperkecil kemungkinan tablet
melayang-layang antara dasar media dengan dasar dayung bergesekan dengan alat
uji (dayung).
Langkah pertama yang dilakukan dalam percobaan ini adalah membuat
kurva baku dari zat ranitidin. Seperti sudah diketahui bahwa panjang gelombang
maksimum untuk ranitidin adalah 314 nm sehingga dilakukan pengukuran
absorbansi zat dengan berbagai variasi konsentrasi pada maksimum tersebut.
Dalam percobaan ini dibuat variasi konsentrasi zat sebesar 1 ppm, 2 ppm, 4 ppm, 5
ppm, dan 100 ppm. Serbuk ranitidine diambil sebanyak 50 mg lalu dilarutkan di
dalam air sebanyak 500ml untuk memperoleh konsentrasi sebesar 100 ppm. Dari
konsentrasi sebesar 100 ppm tersebut kemudian dilakukan pengenceran hingga
diperoleh variasi konsentrasi yang diinginkan.
Setelah semua variasi konsentrasi selesai dibuat maka dilakukan
pengukuran serapan/absorbansi dengan spektroskopi sinar UV. Saat pengukuran
sampel dengan spektrofotometer ultraviolet, kuvet yang akan digunakan dikalibrasi
terlebih dahulu. Pertama, kuvet diisi dengan aquadest, lalu disesuaikan nilai
absorbansinya hingga menunjukkan angka nol. Tujuan melakukan kalibrasi adalah
untuk menghindari kesalahan perhitungan konsentrasi. Kuvet dibilas dengan
larutan yang akan dihitung konsentrasinya sebanyak tiga kali, sehingga kuvet
hanya berisi larutan uji tanpa pengotor. Adanya pengotor dapat menyamarkan
perhitungan konsentrasi karena pengotor dapat memberikan absorbansi. Sebelum
dimasukkan ke dalam spektrofotometer ultraviolet, kuvet dibersihkan
menggunakan kertas tissue bersih. Jika tidak dibersihkan, mungkin pengotor yang
berasal dari praktikan, seperti uap air dapat menempel pada kuvet dan
memberikan absorbansi, sehingga hasil akhir absorbansi dapat keliru.
Pengukuran dilakukan pada maksimum supaya dihasilkan serapan yang
maksimum juga. Untuk melakukan pengukuran dengan metode spektrofotometri
UV, sampel dimasukkan ke dalam kuvet. Alat spektrofotometri yang digunakan
memiliki dua tempat kuvet (double beam). Kuvet pertama berfungsi untuk tempat
blanko. Kuvet kedua berfungsi untuk tempat sampel. Sampel kemudian diukur
absorbansinya. Pengukuran absorbansi hendaknya dimulai dari sampel yang
konsentrasinya kecil agar tidak mempengaruhi pengukuran konsentrasinya lainnya.
Setiap akan mengganti sampel dengan konsentrasi yang berbeda, kuvet hendaknya
dibilas dengan larutan sampel agar tidak ada sisa sampel yang sebelumnya yang
dapat mempengaruhi nilai dari absorbansi.
Setelah dilakukan pengukuran absorbansi dengan berbagai variasi
konsentrasi senyawa baku, maka dari data yang ada dibuat persamaan regresi
linearnya. Persamaan regresi linear yang didapat dari hasil pengukuran adalah y =
0.0167x + 0.0779. Persamaan regresi linear yang didapat ini nantinya digunakan
untuk mencari konsentrasi tablet ranitidine yang telah diukur absorbansinya
dengan spektrofotometer UV.
Tablet ranitidine kemudian diuji disolusi dengan alat disolusi dengan
menggunakan tipe dayung. Sebanyak 1 tablet ranitidine 150 mg dimasukkan ke
dalam alat yang diisi aquades sebanyak 900 ml. Alat dayung kemudian dijalankan
dan rpm di set pada angka 50rpm, kemudian pada menit ke 0, 1, 3, 5, 10, 20, 30,
45, dan 50 diambil cuplikan sampel dengan alat penghisap sebanyak 10 ml.
Cuplikan sampel dimasukkan ke dalam botol vial untuk kemudian diukur
absorbansinya. Pada cuplikan sampel mulai menit ke 3 hingga ke 50 dilakukan
pengenceran 10 kali karena cuplikan sampel yang diukur memberikan serapan
yang sangat besar hingga tidak terdeteksi pada alat spektrofotometer UV.
Pengenceran dilakukan dengan cara mengambil sebanyak 1 ml cuplikan sampel,
dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml lalu ditambahkan aquades hingga batas labu
ukur.
Pada saat dilakukan pengukuran absorbansi cuplikan dengan
spektrofotometer, prosedur yang dilakukan sama dengan prosedur ketika
melakukan pengukuran terhadap larutan baku. Langkah pertama yaitu meng-nol
kan blanko yaitu pelarut, dan setelah itu melakukan pengukuran absorbansi sampel.
Ketika akan mengganti sampel, kuvet juga terlebih dahulu harus dibilas dengan
larutan yang akan diuji untuk meminimalisir kontaminasi dari zat-zat lain sebanyak
tiga kali.
Kuvet yang digunakan dalam percobaan ini memiliki 2 macam sisi, yaitu
yang halus dan yang kasar. Bagian yang halus nantinya akan disinari oleh sinar UV
sehingga pada bagian tersebut tidak boleh tersentuh tangan. Alasan tidak boleh
tersentuh oleh tangan karena dikhawatirkan akan ada kotoran yang berasal dari
tangan (berupa keringat ataupun lemak lainnya) yang menempel pada kuvet yang
nantinya dapat mempengaruhi/mengganggu hasil dari pengukuran absorbansi
karena kontaminan yang ada akan ikut memberikan serapan.
Setelah semua cuplikan sampel diukur absorbansinya, maka hasil absorbansi yang
didapat diplotkan ke dalam persamaan regresi linier untuk dicari konsentrasi pada
masing-masing cuplikan. Hasil yang didapat adalah konsentrasi pada menit 0
sebesar 3,7186 ppm; pada menit 1 sebesar 6.71ppm; pada menit 3 sebesar 132.994;
pada menit 5 sebesar 168.92 ppm; pada menit 10 sebesar 273.92 ppm; pada menit
20 sebesar 336.586 ppm; pada menit 30 sebesar 333.59 ppm; pada menit 45
sebesar 357.94 ppm; pada menit 50 sebesar 357.94 ppm. Konsentrasi yang didapat
menunjukkan peningkatan dari menit ke menit karena semakin lama tablet akan
hancur dan bercampur dengan aquades dan meningkat konsentrasinya. Hasil
konsentrasi yang diperoleh kemudian dibuat grafik disolusi ranitidine yaitu grafik
konsentrasi terhadap waktu.
Ketidaktepatan dalam percobaan dapat diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu :
Ketidaktepatan penimbangan
Faktor lingkungan
VIII. KESIMPULAN
Tablet ranitidin memiliki laju disolusi yang cukup baik, hal ini ditunjukkan dengan
kurva laju disolusi ranitidin yang hampir sama dengan kurva laju disolusi zat yang
seharusnya
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima.
Jakarta: Gaya Baru
Ansel, C Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat.
Penerjemah
Farida Ibrahim. Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Anonymous. 2002. United State Pharmacopeia 25. Volume 2. Washington DC :
USP Convention, Inc.
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Departemen Kesehatan.
1995. Farmakope Indonesia. Edisi ke-4. Jakarta : Departemen Kesehatan.
Lachman, Leon, Lieberman, Hebert, Kahig, Joseph. 1994. Teori dan
Praktek Farmasi Industri. Edisi ketiga. Penerjemah Siti Suyatmi. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika
Terapan.
Edisi II. Penerjemah Dr. Fasich, Apt. dan Dra. Siti Sjamsiah, Apt.
Surabaya :
Airlangga University Press.
Tjay, Hoan Tan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan,
dan Efek-efek Sampingnya. Edisi kelima. Cetakan kedua. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia
Voigt, 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : Universitas
Gadjah Mada Press.