BAB I Case
BAB I Case
PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya
dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang
harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik
pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari
operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa
anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi1,2,3
Penyakit batu empedu (cholelitiasis) yang terbatas pada kantung empedu
biasanya asimtomatis dan menyerang 10 20 % populasi umum di dunia.
Diagnosis biasanya ditegakkan dengan ultrasonografi abdomen.1 Kira-kira 20%
wanita dan 10 % pria usia 55 sampai 65 tahun memiliki batu empedu.2
Cholesistektomi diindikasikan pada pasien simtomatis yang terbukti
menderita penyakit batu empedu (cholelitiasis). Indikasi laparoskopi untuk
Cholesistektomi sama dengan indikasi open Cholesistektomi.3 Karena teknik
minimal invasif memiliki aplikasi diagnosis dan terapi di banyak pembedahan,
bedah laparoskopi meningkat penggunaannya baik pada pasien rawat inap ataupun
rawat jalan. Walaupun prosedur laparoskopi memiliki keuntungan untuk pasien,
namun prosedur ini juga merupakan tantangan untuk spesialis anestesi.4
Teknik laparoskopi atau pembedahan minimal invasif diperkirakan
menjadi trend bedah masa depan. Bahkan pada 2010 mendatang, sekitar 70-80
persen tindakan operasi di negara-negara maju akan menggunakan teknik ini. Di
Indonesia, teknik bedah laparoskopi mulai dikenal di awal 1990-an ketika tim dari
RS Cedar Sinai California AS mengadakan live demo di RS Husada Jakarta.
Selang setahun kemudian, Dr Ibrahim Ahmadsyah dari RS Cipto Mangunkusumo
melakukan operasi laparoskopi pengangkatan batu dan kantung empedu
(Laparoscopic Cholecystectomy) yang pertama. Sejak 1997, Laparoscopic
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kolelitiasis
2.1.1 Definisi
Kolelitiasis adalah pembentukan batu (kalkuli) didalam kandung
empedu atausaluran bilier. Batu terbentuk dari unsure-unsur padat yang
membentuk cairan empedu(smeltezer dan bare, 2002 ).Cholelitiasis adalah
adanya pembentukan batu empedu(Kamus Kedokteran Dorlan,
1996 ).Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus,batu empedu) merupakan suatu
keadaan dimanaterdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesika
felea) yang memilikiukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi (potter
and perry ).
Cholelitiasis adalah penyakit yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam ductus koledokus atau pada kedua-duanya.
(Syamsuhidayat 2001)
Berdasarkan keempat pengertian diatas menurut kelompok kami
menyimpulkanbahwa kolelitiasis adalah suatu keadaan dimana terdapatnya
batu (kalkuli) didalam saluranempedu yang memiliki ukuran,bentuk yang
bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40
tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko,yaitu :
obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik.
abdominal dan dibungkus oleh peritoneum kecuali di daerah posteriorsuperior yang berdekatan dengan vena cava inferior dan mengadakan
kontak langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak diliputi oleh
peritoneum disebut bare area.Terdapat refleksi peritoneum dari dinding
abdomen anterior, diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa
ligamen.
B. Macam-macam ligamennya:
1. Ligamentum falciformis : Menghubungkan hepar ke dinding anterior
abdomen dan terletak di antara umbilicus dan diafragma.
2. Ligamentum teres hepatis = round ligament : Merupakan bagian
bawah ligament falciformis ; merupakan sisa-sisa peninggalan vena
umbilicalis yang telah menetap.
3. Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis :
Merupakanbagian dari omentum minus yg terbentang dari curvatura
minor lambung dan duodenum sebelah proximal ke hepar.Di dalam
ligamentum ini terdapat Arteria hepatica, vena porta dan ductus
choledocus communis. Ligamen hepatoduodenale turut membentuk
tepi anterior dari Foramen Wislow.
4. Ligamentum Coronaria Anterior kiri kanan dan Ligamen coronaria
posterior kiri kanan : Merupakan refleksi peritoneum terbentang dari
diafragma ke hepar.
5. Ligamentum triangularis kiri kanan : Merupakan fusi dari ligamentum
coronaria anterior dan posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar.
Secara anatomis, organ hepar terletak di hipochondrium kanan dan
epigastrium, dan melebar ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi oleh
cavum toraks dan bahkan pada orang normal tidak dapat dipalpasi (bila
teraba berarti ada pembesaran hepar). Permukaan lobus kanan dpt
mencapai sela iga 4/ 5 tepat di bawah aerola mammae. Lig falciformis
membagi hepar secara topografis bukan secara anatomisyaitu lobus kanan
yang besar dan lobus kiri.
C. Kandung Empedu
5
kandung empedu akan lebih pekat 10 kali lipat daripada cairan empedu
hati. Secara berkala kandung empedu akan mengosongkan isinya ke dalam
duodenum melalui kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi
sfingter Oddi. Rangsang normal kontraksi dan pengosongan kandung
empedu adalah masuknya kimus asam dalam duodenum. Adanya lemak
dalam makanan merupakan rangsangan terkuat untuk menimbulkan
kontraksi. Hormone CCK juga memperantarai kontraksi. Empedu hati
adalah cairan isotonic berpigmentasi dengan komposisi elektrolit yang
menyerupai plasma darah, komposisi elektrolit empedu dalam kandung
empedu berbeda dari empedu hati karena sebagian besar anion anorganik,
klorida dan bikarbonat, disingkirkan memalui reabsorpsi melintasi
membrane basalis.
Komponen utama empedu menurur berat termasuk air (82%), asam
empedu 12%, lesitin dan fosfolipid lain 4%, dan kolesterol yang tidak
diesterifikasi 0,7%.unsur pokok lain termasuk bilirubin terkonjugasi,
protein ( IgA, hasil tambahan dari hormone dan protein lain yang
dimetabolisme dalam hati), elektrolit, mucus dan seiring obat dan hasil
tambahan metaboliknya.
D.
a.
b.
c.
d.
Lapisan empedu :
Lapisan empedu
Lapisan serosa atau parietal
Lapisan otot bergaris
Lapisan dalam mukosa atau visceral disebut juga membrane mukosa
F.Duktus sistikus
Panjangnya kurang lebih 3,5 cm yang berjalan dari lekkuk empedu
berhubungandengan duktus hepatikus membentuk saluran empedu
keduodenum.
G.Sterkobilin
Memberi warna feses dan sebagian di absorpsi kembali oleh darah dan
membuat warna pada urin yang di sebut urobilin.
H. Bagian dari kandung empedu.
1. Fundus vesikafelea, merupakan bagian kandung empedu yang paling
akhir setelah korpus vesikafelea.
2. Korpus vesikafelea, bagian dari kandung empedu yang di dalamnya
berisi getah empedu.
3. Leher kandung kemih, merupakan leher dari kandung empedu yaitu
saluran yang pertama masuknya getah empedu ke dalam kandung empedu
lalu menjadi pekat berkumpul dalam kandung empedu.
4. Duktus sistikus, panjangnya kurang lebih 3 cm berjalan dari leher
kandung empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus membentuk
saluran empedu ke duodenum.
5. Duktus hepatikus saluran yang keluar dari leher.
6. Duktus koledokus, saluran yang membawa empedu ke duodenum.
7. Getah empedu
Suatu cairan yang disekresi setiap hari oleh sel hati yang di
hasilkan setipa hari 500-1000 cc sekresi, sekresinya berjalan terus
menerus, jumlah produksi meningkat sewaktu mencerna lemak.
Tabel komposisi empedu (diambil dari fisiologi Guyton :1030).
Empedu hati dan empedu kantung empedu
Air
97,5 gr/dl 92 gr/ dl.
Garam empedu
1,1 gr/dl 6 gr/ dl.
Bilirubin
0,04 gr/dl O,3 gr/ dl.
8
Kolesterol
Asam asam lemak
Lesitin
Na+
K+
Ca+
ClHCO3-
Hemoglobin
Yang berasal dari penghancuran sel darah merah dirubah menjadi
bilirubin (pigmen utama dalam empedu) dan dibuang ke dalam empedu.
Berbagai protein yang memegang peranan penting dalam fungsi empedu
juga disekresi dalam empedu. Batu kandung empedu bisa menyumbat
aliran empedu dari kandung empedu, dan menyebabkan nyeri ( kolik
bilier ) atau peradangan kandung empedu ( kolesistitis ). Batu juga bisa
berpindah dari kandung empedu ke dalam saluran empedu, sehingga
10
11
batu:
Infeksi kandung empedu.
Usia yang bertambah.
Obesitas.
Wanita.
Kurang makan sayur.
Obat-obat untuk menurunkan kadar serum kolesterol
Batu pigmen empedu , ada dua macam :
Batu pigmen hitam : terbentuk di dalam kandung empedu dan disertai
daerah
vateri.
Ada
dugaan
bahwa
makanan
akan
12
2.1.6.Manifestasi Klinis
o Rasa nyeri dan kolik bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung
empedu akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan
mengalami panas dan mungkin teraba masapadat pada abdomen.
Pasien akan mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada
abdomen kuadran kanan atas yang menjalar kepunggung atau bahu
kanan. Rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual, muntah dan
bertambah
berat
makan- makanan
dalam
dalam porsi
waktu
besar. Kolik
bilier disebabkan
14
2.1.9. Penatalaksanaan
Cholelitiasis ditangani baik secara nonbedah maupun dengan pembedahan:
1. Penatalaksanaan non bedah
a. Farmakologis
1) Untuk menghancurkan batu : ursodiol/ actigal.
2) Efek samping : diare, bersifat hepatotoksik pada fetus sehingga kontra
indikasi pada ibu hamil.
3) Mengurangi konten kolesterol dalam batu empedu : chenodiol/ chenix
4) Untuk mengurangi gatal gatal : cholestyramine (Questran)
5) Mengobati infeksi : antibiotic
b. Pengangkatan batu empedu tanpa pembedahan
1) Pelarutan batu empedu
Dengan menginfuskan suatu bahan pelarut (mono oktanion atau
metil tertierbutil eter/ MTBE) ke dalam kandung empedu. Dapat
diinfuskan melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung
kedalam kandung empedu, melalui selang atau drain yang dimasukan
melalui saluran T tube untuk melarutkan batu yang belum
15
2. Penatalaksana Pembedahan
a) Kolesistektomi
Dalam prosedur ini, kandung empedu diangkat setelah arteri dan
duktus sistikus diligasi. Sebuah drain di tempatkan dalam kandung
empedu dan dibiarkan menjulur keluar lewat luka operasi untuk
mengalirkan darah, cairan serosanguinus dan getah empedu kedalam kasa
absorben.
b) Minikolesistektomi
Prosedur ini untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka
insisi selebar 4cm.
c) Kolesistektomi lapaskopik
Dilakukan lewat insisi yang kecil atau luka tusukan melalui
dinding abdomen pada umbilikus. Rongga abdomen ditiup dengan gas
karbon monoksida untuk membantu pemasangan endoskop.
d) Koledokostomi
Insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan
batu. Setelah batu dikeluarkan biasanya dipasang sebuah kateter kedalam
16
17
2.2.2.Prosedur
Prosedur praoperasi laparoskopi hampir sama dengan operasi
konvensional. Pasien harus puasa empat hingga enam jam
sebelumnya, dibuat banyak buang air besar agar ususnya mengempis.
Sebelum puasa pasien laparoskopi diberikan makanan cair atau bubur,
makanan yang mudah diserap, tapi rendah sisa, untuk mengurangi
jumlah
kotoran
di
saluran
cerna.8
keempat
merupakan
trocar
kerja.8
18
melalui trocar. Selain itu, ada pula klip-klip dari titanium, yang aman
dan bisa digunakan sebagai ganti jahitan. Klip itu berfungsi
menyambungkan dua bagian yang terpisah. Klip dari titanium akan
dipasang dalam tubuh secara permanen, seumur hidup. Sebelumnya,
dokter harus mengatakan kepada pasien dan keluarganya kalau ada
benda asing yang akan ditinggalkan di dalam tubuh pasien. 8
Posisi peralatan juga penting untuk diperhatikan agar mudah untuk
dilihat oleh semua operator karena menggunakan berbagai peralatan
penunjang. Operator harus melihat jelas video monitor dan pengaliran
insuflasi CO2 sehingga dia bisa memonitor tekanan intra abdomen
dan laju gas. 3
2.2.3.Penggunaan Gas CO2
CO2 adalah gas pilihan untuk insuflasi karena tidak mudah terbakar,
tidak membantu pembakaran, mudah berdifusi melewati membrane,
mudah keluar dari paru-paru, mudah larut dalam darah dan risiko
embolisasi CO2 kecil. Level CO2 dalam darah mudah diukur, dan
pengeluarannya dapat ditambah dengan memperbanyak ventilasi.
Selama persediaan O2 cukup, konsentrasi CO2 darah dapat ditolelir.7
Kerugian utamanya adalah fakta bahwa CO2 lembam. Hal ini
menyebabkan iritasi peritoneal langsung dan rasa sakit selama
laparoskopi karena CO2 membentuk asam karbonat saat kontak dengan
permukaan peritoneum. CO2 tidak terlalu larut pada darah bila terjadi
kekurangan sel darah merah, oleh karena itu CO2 bisa tersisa di
intraperitoneum dalam bentuk gas setelah laparoskopi, sehingga
menyebabkan sakit pada bahu. Hiperkarbia dan respiratory acidosis
terjadi saat kapasitas CO2 dalam darah melampaui batas. Selain itu,
CO2 dapat menimbulkan efek lokal maupun sistemik, sehingga dapat
19
2.2.5.Kerugian
Komplikasi selama prosedur laparoskopi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak langsung karena kebutuhan insuflasi CO2 untuk
membuat ruang operasi. CO2 masuk kedalam pembuluh darah secara
cepat. Gas yang tidak larut terakumulasi didalam jantung kanan
menyebabkan hipotensi dan cardiac arrest. Emboli CO2 yang masif bisa
dideteksi dengan murmur precordial, transesofugeal echocardiografi,
dan end tidal CO2 monitoring (CO2 meningkat secara sementara
kemudian turun kembali). Pengobatan dilakukan dengan menghentikan
insuflasi CO2, hiperventilasi dengan 100% O2 dan resusitasi cairan,
merubah posisi pasien right side up dan memasang kateter vena central
untuk aspirasi gas.4
Jika gas yang ditujukan untuk membuat pneumoperitoneum keluar atau
prosedur laparoskopi meliputi insuflasi ekstra peritoneal (prosedur
untuk adrenalectomy atau perbaikan hernia) emfisema subkutan bisa
terjadi, volume tidal CO2 akhir (end tidal CO2) meningkat mencapai
20
level tinggi dan terdapat krepitus yang biasanya dapat sembuh tanpa
intervensi. Hal serius lain adalah pneumothorak, jika gas masuk ke
dalam rongga thorax melalui luka atau insisi yang dibuat sewaktu
pembedahan atau dari jaringan cervikal subkutan. Intervensi tidak
selalu harus, karena pneumothorax biasanya pulih jika insuflasi
dihentikan.4
2.3. General Anastesi
2.3.1. Definisi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak,
tanpa" dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara
umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Istilah anestesi digunakan pertama
kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible.Anestesi
umum yang sempurna menghasilkan ketidaksadaran, analgesia,
relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari
pasien.
2.3.2. Teori Anestesi Umum
Ada beberapa teori yang membicarakan tentang kerja anestesi
umum, diantaranya :
a. Meyer dan Overton (1989) mengemukakan teori kelarutan lipid (Lipid
Solubity Theory). Obat anestetika larut dalam lemak. Efeknya
berhubungan langsung dengan kelarutan dalam lemak. Makin mudah
larut di dalam lemak, makin kuat daya anestesinya. Ini hanya berlaku
pada obat inhalasi (volatile anaesthetics), tidak pada obat anestetika
parenteral.
b. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (The Inert Gas
Effect). Potensi analgesia gas gas yang lembab dan
menguap
21
terbalik terhadap tekanan gas gas dengan syarat tidak ada reaksi
secara kimia. Jadi tergantung dari konsentrasi molekul molekul
bebas aktif.
c. Pauling (1961) mengemukakan teori kristal mikrohidrat (The Hidrat
Micro-crystal Theory). Obat anestetika berpengaruh terutama terhadap
interaksi molekul molekul obatnya dengan molekul molekul di
otak.
d. Trudel (1963) mengemukakan molekul obat anestetika mengadakan
interaksi
dengan
membrana
lipid
meningkatkan
keenceran
(mengganggu membran).
Obat anestesi yang diberikan akan masuk ke dalam sirkulasi
darah yang selanjutnya menyebar ke jaringan, yang pertama kali
terpengaruh adalah jaringan yang banyak vaskularisasinya seperti
otak, yang mengakibatkan kesadaran dan rasa sakit hilang. Kecepatan
dan kekuatan anestesi dipengaruhi oleh faktor respirasi, sirkulasi, dan
sifat fisik obat itu sendiri.
2.3.3. Tujuan Anestesi Umum
Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan
stabilisasi otonom.
2.3.4. Syarat, Kontraindikasi Dan Komplikasi
Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah :
a. Memberi induksi yang halus dan cepat.
b. Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons
c. Timbulkan keadaan amnesia
d. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan.
e. Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang cukup untuk
tindakan operasi.
f. Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan ESO
yang berlangsung lama.
Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi
kordis derajat III IV, AV blok derajat II total (tidak ada gelombang P).
Kontraindikasi Relatif berupa
22
23
menetralkan
asam
lambung
dengan
memberikan
antasida
24
kemih juga harus dalam keadaan kosong sehingga boleh perlu dipasang
kateter.Sebelum pasien masuk dalam kamar bedah, periksa ulang apakah
pasien atau keluarga sudah memberi izin pembedahan secara tertulis
(informed concent).
Premedikasi sendiri ialah pemberian obat - 1 jam sebelum induksi
anestesia dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesia, menghilangkan rasa khawatir,membuat amnesia, memberikan
analgesia dan mencegah muntah, menekan refleks yang tidak diharapkan,
menit.
Gol. Hipnotik sedatif
Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital).Diberikan untuk sedasi
dan mengurangi kekhawatiran sebelum operasi.Obat ini dapat diberikan
secara oral atau IM.Dosis dewasa 100 200 mg, pada bayi dan anak 3 5
mg/kgBB.Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan
efek depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta
kecemasan
dan
ketegangan
bedah.
Gol. Transquilizer
25
STADIUM ANESTESI
Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa
analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium 3
dan stdium 4 sampai henti napas dan henti jantung.
Stadium I
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian
zat anestetik sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini pasien masih
dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa
sakit).Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi
kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.Stadium ini berakhir dengan
ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks
tersebut bisa kita raba bulu mata).
Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan
ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss
cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot
meninggi dan diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak
mata.
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga
hilangnya pernapasan spontan.Stadia ini ditandai oleh hilangnya
26
d. Refleks cahaya
Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon
saat kita beri rangsangan cahaya.
27
III.
TEKNIK ANESTESI UMUM
a. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
Tindakan singkat ( - 1 jam)
Keadaan umum baik (ASA I II)
Lambung harus kosong
Prosedur :
Induksi
Pemeliharaan
29
IV.
atau inhalasi.
1. Anestetik intravena
Penggunaan
:
Untuk induksi
Obat tunggal pada operasi singkat
Tambahan pada obat inhalasi lemah
Tambahan pada regional anestesi
Sedasi
Cara pemberian :
Obat tunggal untuk induksi atau operasi singkat
Suntikan berulang (intermiten)
Diteteskan perinfus
Obat anestetik intravena meliputi :
a. Benzodiazepine
30
nonbarbiturat
general
31
bereaksi
dengan
perak,
tembaga,
baja,
Isofluran meningkatkan aliran darah otak pada kadar labih dari 1,1
MAC (minimal Alveolar Concentration) dan meningkatkan
tekanan intracranial.
d. Sevofluran
Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling
disukai untuk induksi inhalasi.
V.
yang
menggunakan
general
anestesi,
maka
perlu
Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, 1
Sianosis, 0
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Kesadaran
Sadar, siaga dan orientasi, 2
Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
B. Steward Score (anak-anak)
33
Pergerakan
Gerak bertujuan 2
Gerak tak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
Pernafasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan nafas 1
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.
34
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama Pasien
: Ny. S
Umur
: 25 tahun
Pekerjaan
Pendidikan
: SMA
Agama
: Islam
Alamat
: Karang Mukti
MRS
: 19 Mei 2015
3.2. Anamnesis
Pada tanggal
: 21 Mei 2015
1. Keluhan utama
Saat masuk RS
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 3 bulan
SMRS. Nyeri dirasakan tiba-tiba dan menetap dengan intensitas berat
selama 1-3 jam kemudian menghilang perlahan-lahan. Selanjutnya
nyeri muncul kembali. Nyeri dirasakan dari perut kanan atas hingga
bagian ulu hati namun tidak menjalar sampai ke bahu kanan dan
punggung. Nyeri seperti ini dirasakan terus-menerus selama 3 hari
terakhir. Jika nyeri muncul pasien sampai keringat dingin menahan
rasa nyeri dan tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Pasien
biasanya hanya berbaring di tempat tidur jika serangan nyeri datang.
Nyeri dirasakan bertambah apabila pasien menarik napas dalam.
Sesak dan nyeri dada disangkal.
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah. Pasien muntah 2 kali, isi
makanan, darah (-). Setiap kali makan pasien mengaku sering merasa
mual. Nafsu makan menjadi menurun semenjak sakit.
35
: Sakit sedang
: Compos mentis
: 50/155
: 130/80 mmHg
: 80 x/menit
: 22 x/menit
: 36,6 C
: Pucat -/: Ikterik -/: Gallop (-), murmur (-)
: vesikuler (+) N, ronkhi (-), wheezing (-)
: puting susu : menonjol, kolestrum belum keluar
: sulit dinilai
: -/: Patella (+)
: Normal
: (-)
36
d. Leher : leher gemuk (-), leher ekstensi bebas, trakea di tengah, massa
regio colli (-)
e. Paru : suara paru vesikuler, ronkhi (-), wheezing
2. B2 (Blood)
Akral hangat, merah, kering, nadi 88x/menit regular kuat, TD 130/80
3. B3 : Brain
compos mentis, GCS E4V5M6, pupil bulat, isokor 3mm, reflek cahaya +/
+
4. B4 : Bladder
Bak menggunakan kateter, produksi urin 400cc/jam, kuning
kecoklatan.
5. B5 : bowel
Supel, BU (+) normal, nyeri tekan epigastrium (+), muscular defens (-),
mual (+), muntah (-)
6. B6 : bone/body
mobilitas (+), edema (+), sianosis (-), ikterik (-), skoliosis (-), lordosis (-),
hemiparesis (-), distrofi otot (-), motorik dan sensorik normal
3.4. Assesment
ASA II
Diagnosis Pra operasi : Kolelitiasis
3.5. Penatalaksanaan
1. Persiapan Operasi
1) Sebelum operasi
Pasien di konsultasikan ke spesialis anestesi apakah pasien dalam
kondisi fisik yang layak untuk dilakukan tindakan operasi.
2) Diruang perawatan
a. Informed consent
b. Surat persetujuan operasi
37
2. Persiapan Alat
1) Alat anestesi umum yang perlu disiapkan
a. Maseker (sesuaikan dengan ukuran wajah pasien)
b. Laringoskop
c. Endotracheal
d. Cuff
e. Goedel 3 ukuran (hijau, kuning, merah)
f. Hoarness dan ring hoarness
38
g. Stilet
h. Jackson rees
i. Jelly
j. Precordial
k. Kapas alkohol
l. Plester
m. Xilocain pump
n. Naso
2) Untuk intubasi
a. Laringoskop
b. Stetoskop
c. Pipa ETT No.7
d. Stilet
e. Goedel/mayo
f. Conector
g. Spuit 20 cc
h. Plester
3) Obat anestesi/induksi
a. Propofol
b. Fentanyl
c. Atracurium
4) Obat-obat emergency
a. Atropin
b. Efedrin
c. Asam traneksamat
d. Adrenalin
e. Dexametashone
f. Lidocain
3. Tindakan anestesi
1.Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
2. Induksi sampai tidur
3. Berikan ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt
39
4.Pegang
laringoskopi
dengan
tangan
kiri,
tangan
kanan
4. Penatalaksanaan Obat-obatan
Premedikasi
: Ondansentron 4 mg
Induksi
Pemeliharaan
Obat-obatan
: Efedrin 10 mg
40
Infus
: RL 500 mL
Tensi
Nadi
SpO2
Keterangan
10.0
(mmHg)
120/77
(x/menit)
84
(%)
100
0
10.0
120/75
88
100
5
10.1
120/85
90
100
0
10.1
98/47
74
100
5
10.2
120/66
75
100
epidrin 1 cc IV
Tekanan darah stabil
0
10.2
120/75
80
100
5
10.3
125/68
94
100
0
10.3
120/75
91
99
5
10.4
120/84
90
100
0
10.4
123/78
88
100
5
10.5
121/75
86
99
0
10.5
120/79
80
100
5
11.00
120/77
88
100
11.10
11.15
120/76
120/70
90
80
100
100
41
Gerak tujuan
Gerak tak bertujuan
Tidak bergerak
Pernafasan
Teratur, batuk, menangis
Depresi
Perlu bantuan
Warna kulit
Merah muda
Pucat
Sianosis
Tekanan darah
Berubah sekitar 20%
Berubah 20-30%
Berubah >30%
Kesadaran
Sadar penuh
Bereaksi terhadap rangsangan
Tidak bereaksi
Jika jumlah > 8, pasien dapat dipindahkan ke ruangan
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis, pasien memiliki keluhan nyeri perut kanan atas.
Keluhan tambahan ada seperti demam, mual dan muntah. Sehingga assessment
pada pasien ini adalah ASA II.
Pada pasien ini akan dilakukan laparoskopi cholecystectomy. laparoskopi
dilakukan pada pasien ini dengan indikasi kolelitiasis dengan simpomatik.
Anestesi yang dipilih yaitu General anestesi. Dengan teknik intubasi. Intubasi
dipilih sebagai teknik anestesi pada pasien ini karena salah satu indikasi intubasi
adalah pembedahan yang lama. Sebelum dilakukan general anastesi dilakukan
persiapan pasien dan persiapan alat. Tindakan yang dipilih pada pasien ini adalah
42
intubasi dengan menggunakan endotracheal tube dan obat yang digunakan adalah
Propofol 100mg, Fentanyl 25mcg, Atracurium 25mg. Kemudian dilakukan
monitor anestasi dan setelah operasi selesai dilakukan intruksi pasca anestasi.
Pasien dapat dipindahkan ke ruangan perawatan dengan skor aldrette > 8.
Penatalaksanaan obat-obatan yang dipilih sebagai berikut.
1. Premedikasi
Premedikasi pada pasien ini tujuannya untuk memberikan rasa nyaman dan
mencegah mual muntah. Sehingga dipilih Ondansentron 4 mg (Shann, 2008).
2. Obat-obatan
a. Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid
dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150
mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Opioid dosis tinggi
yang diberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada
dan larynx, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut,
sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan
dengan perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl dan
sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi dan
sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena
untuk memberikan efek analgesi perioperatif3.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin.
Lamanya efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin.
Efek euphoria dan analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid,
tetapi secara tidak bermakna diperpanjang masanya atau diperkuat oleh
droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya digunakan bersama
sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan yang
jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada
tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson.
Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat
43
digunakan sebagai anelgesi pasca operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk
larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi tetap
dengan droperidol1. Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone yang
berkaitan
dengan
haloperidol)
diberikan
bersama-sama
untuk
44
45
menyebabkan
perubahan
fungsi
kardiovaskuler
yang
bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang
dipakai. Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah
2-3 menit, sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35
menit3.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah
lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian
antikolinesterase. Nampaknya atracurium dapat menjadi obat terpilih
untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang
berat1,2.
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50
mg atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada
penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 0,2 mg/kgBB/ iv
d.
Efedrin 10 mg
Efedrin merupakan vasokonstriktor. Pada pasien ini diberikan
karena tekanan darah pasien menurun sahingga diberi efedrin dengan dosis
46
intracranial.
Sevofluran
merupakan
turunan
eter
BAB V
KESIMPULAN
General anestesi dapat menjadi pilihan untuk prosedur laparoscopic
cholecystectomy, karena beberapa alasan yaitu, penyakit yang diderita sudah
menimbulkan simpomatik yang mengganggu.. Pada kasus Ny. S dengan
kolelitiasis sebagai indikasi laparoscopoc cholecyctectomy , dipilih Teknik
intubasi karena mempermudah pemberian anestesi. mempertahankan jalan nafas
agar tetap bebas, mencegah kemungkinan aspirasi lambung, mempermudah
penghisapan sekret trakheobronkial, pemakaian ventilasi yang lama, pembedahan
yang lama, mengatasi obstruksi laring akut. Pasien ini mendapat premedikasi
berupa ondesentron 4 mg dan induksi propofol 100 mg, fentanyl 25 mcg, dan
atracurium 25 mg dengan pemeliharaan selama pembedahan O2, N2O, dan
Sevoflurane.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Beltran MA. Mirizzi Syndrome. World J Gastroenterol. 2012; 18: 46394648.
2. Bloom A. Cholecystitis Treatment & Management. 2011. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/171886-treatment#aw2aab6b6b1aa.
3. Brunner & Suddart. Keperawatan Medical Bedah Vol 2. Jakarta: EGC;
2001..
4. Doherty, GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery
13th edition. US : McGraw-Hill Companies; 2010.
5. Engram Barbara. Cholesistectomy. In: Medical Surgical Nursing Care
Plans. Delmar: A Division of Wadsworth Inc; 2009.
6. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th
edition. Jakarta: EGC; 2007.
7. Heuman
DM.
Cholelithiasis.
2011.
Available
at:
http://emedicine.medscape. com/article/175667-overview.
8. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwarts Principles of Surgery. 8 th
edition. US : McGraw-Hill Companies; 2007.
9. Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. Biliary
Surgery. In : Washington Manual of Surgery. 5th edition. Washington :
Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
10. Lesmana, L. Penyakit Batu Empedu. In : Sudoyo B, Alwi I, Simadibrata
MK, Setiati S Editors. Ilmu Penyakit Dalam. 5th edition. Jakarta: Interna
Publishing; 2009. p. 721-26.
11. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis. Dalam : Patofisiologi.
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th edition. Jakarta : EGC; 2006.
12. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Kolelitiasis. In: Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd
edition. Jakarta: EGC; 2011.
13. Snell, RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6 th Edition.
Jakarta: EGC; 2006.
14. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia 2009.
15. Omuigui . The Anaesthesia Drugs Handbook, 2nded, Mosby year Book Inc,
1995.
16. Dachlan,
R.,dkk.
2002.
Petunjuk
Praktis
Anestesiologi.
Bagian
49
50
LAMPIRAN
51