Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya
dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang
harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik
pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari
operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa
anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi1,2,3
Penyakit batu empedu (cholelitiasis) yang terbatas pada kantung empedu
biasanya asimtomatis dan menyerang 10 20 % populasi umum di dunia.
Diagnosis biasanya ditegakkan dengan ultrasonografi abdomen.1 Kira-kira 20%
wanita dan 10 % pria usia 55 sampai 65 tahun memiliki batu empedu.2
Cholesistektomi diindikasikan pada pasien simtomatis yang terbukti
menderita penyakit batu empedu (cholelitiasis). Indikasi laparoskopi untuk
Cholesistektomi sama dengan indikasi open Cholesistektomi.3 Karena teknik
minimal invasif memiliki aplikasi diagnosis dan terapi di banyak pembedahan,
bedah laparoskopi meningkat penggunaannya baik pada pasien rawat inap ataupun
rawat jalan. Walaupun prosedur laparoskopi memiliki keuntungan untuk pasien,
namun prosedur ini juga merupakan tantangan untuk spesialis anestesi.4
Teknik laparoskopi atau pembedahan minimal invasif diperkirakan
menjadi trend bedah masa depan. Bahkan pada 2010 mendatang, sekitar 70-80
persen tindakan operasi di negara-negara maju akan menggunakan teknik ini. Di
Indonesia, teknik bedah laparoskopi mulai dikenal di awal 1990-an ketika tim dari
RS Cedar Sinai California AS mengadakan live demo di RS Husada Jakarta.
Selang setahun kemudian, Dr Ibrahim Ahmadsyah dari RS Cipto Mangunkusumo
melakukan operasi laparoskopi pengangkatan batu dan kantung empedu
(Laparoscopic Cholecystectomy) yang pertama. Sejak 1997, Laparoscopic

Cholecystectomy menjadi prosedur baku untuk penyakit-penyakit kantung


empedu di beberapa rumah sakit besar di Jakarta dan beberapa kota besar di
Indonesia.5
Pada laparoskopi cholesistektomi, jenis anestesi yang direkomendasikan
adalah anastesi umum dengan intubasi endotrakeal dengan antibiotik profilaksis
preoperatif untuk mengatasi pathogen empedu.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kolelitiasis
2.1.1 Definisi
Kolelitiasis adalah pembentukan batu (kalkuli) didalam kandung
empedu atausaluran bilier. Batu terbentuk dari unsure-unsur padat yang
membentuk cairan empedu(smeltezer dan bare, 2002 ).Cholelitiasis adalah
adanya pembentukan batu empedu(Kamus Kedokteran Dorlan,
1996 ).Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus,batu empedu) merupakan suatu
keadaan dimanaterdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesika
felea) yang memilikiukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi (potter
and perry ).
Cholelitiasis adalah penyakit yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam ductus koledokus atau pada kedua-duanya.
(Syamsuhidayat 2001)
Berdasarkan keempat pengertian diatas menurut kelompok kami
menyimpulkanbahwa kolelitiasis adalah suatu keadaan dimana terdapatnya
batu (kalkuli) didalam saluranempedu yang memiliki ukuran,bentuk yang
bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40
tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko,yaitu :
obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik.

2.1.2 Anatomi dan Fisiologis.


A. Anatomi Hati
Hati dan kandung empedu terletak di perut kanan bagian atas, dan
keduanya dihubungkan oleh suatu saluran yang dikenal sebagai duktus
biliaris (saluranempedu). Meskipun memiliki saluran penghubung dan
keduanya berperan dalam fungsiyang sama, tetapi hati dan kandung sangat
berbeda satu sama lain.Hati berbentuk seperti baji dan
merupakan pabrik kimia pada tubuh manusia.
Hati merupakan suatu organ kompleks yang
melaksanakan berbagai fungsi vital, mulai dari mengatur kadar bahan
kimia dalam tubuh sampai menghasilkan zat-zat pembekuan darah.
Kandung empedu berbentuk seperti buah pir dan merupakan
tempat penyimpanan empedu (cairan pencernaan yang dihasilkan oleh
hati). Hepar merupakan kelenjar yang terbesar dalam tubuh manusia.
Hepar pada manusia terletak pada bagianatas cavum abdominis, di
bawah diafragma, di kedua sisi kuadran atas, yang sebagian besar terdapat
pada sebelah kanan. Beratnya 1200 1600 gram. Permukaan atas terletak
bersentuhan di bawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan
diatas organ-organ abdomen. Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan intra
4

abdominal dan dibungkus oleh peritoneum kecuali di daerah posteriorsuperior yang berdekatan dengan vena cava inferior dan mengadakan
kontak langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak diliputi oleh
peritoneum disebut bare area.Terdapat refleksi peritoneum dari dinding
abdomen anterior, diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa
ligamen.
B. Macam-macam ligamennya:
1. Ligamentum falciformis : Menghubungkan hepar ke dinding anterior
abdomen dan terletak di antara umbilicus dan diafragma.
2. Ligamentum teres hepatis = round ligament : Merupakan bagian
bawah ligament falciformis ; merupakan sisa-sisa peninggalan vena
umbilicalis yang telah menetap.
3. Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis :
Merupakanbagian dari omentum minus yg terbentang dari curvatura
minor lambung dan duodenum sebelah proximal ke hepar.Di dalam
ligamentum ini terdapat Arteria hepatica, vena porta dan ductus
choledocus communis. Ligamen hepatoduodenale turut membentuk
tepi anterior dari Foramen Wislow.
4. Ligamentum Coronaria Anterior kiri kanan dan Ligamen coronaria
posterior kiri kanan : Merupakan refleksi peritoneum terbentang dari
diafragma ke hepar.
5. Ligamentum triangularis kiri kanan : Merupakan fusi dari ligamentum
coronaria anterior dan posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar.
Secara anatomis, organ hepar terletak di hipochondrium kanan dan
epigastrium, dan melebar ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi oleh
cavum toraks dan bahkan pada orang normal tidak dapat dipalpasi (bila
teraba berarti ada pembesaran hepar). Permukaan lobus kanan dpt
mencapai sela iga 4/ 5 tepat di bawah aerola mammae. Lig falciformis
membagi hepar secara topografis bukan secara anatomisyaitu lobus kanan
yang besar dan lobus kiri.
C. Kandung Empedu
5

Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah


alpukat yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Sebuah kantong
berbentuk terang dan merupakan membrane berotot, l letaknya dalam
sebuah lobus di sebelah permukaan bawah hati sampai pinggir depannya,
panjangnya 812 cm berisi 60 cm. Empedu yang disekresi secara terus
menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil di dalam hati.
Saluran empedu yang kecil-kecil tersebut bersatu membentuk dua saluran
yang lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus
hepatikus kanan dan kiri, yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus
komunis. Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus
membentuk duktus koledokus. Pada banyak orang, duktus koledokus
bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula Vateri sebelum
bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua saluran dan ampla
dikelilingi oleh serabut , dikenal sebagai sfingter Oddi.
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan
memekatkan empedu. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml
empedu yang dihasilkan hati. Empedu yang dihasilkan hati tidak langsung
masuk ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus,
empedu masuk ke duktus sistikus dan disimpan di kandung empedu.
Pembuluh limfe dan pembuluh darah mengabsorbsi air dan garam-garam
anorganik dalam kandung empedu sehingga cairan empedu dalam

kandung empedu akan lebih pekat 10 kali lipat daripada cairan empedu
hati. Secara berkala kandung empedu akan mengosongkan isinya ke dalam
duodenum melalui kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi
sfingter Oddi. Rangsang normal kontraksi dan pengosongan kandung
empedu adalah masuknya kimus asam dalam duodenum. Adanya lemak
dalam makanan merupakan rangsangan terkuat untuk menimbulkan
kontraksi. Hormone CCK juga memperantarai kontraksi. Empedu hati
adalah cairan isotonic berpigmentasi dengan komposisi elektrolit yang
menyerupai plasma darah, komposisi elektrolit empedu dalam kandung
empedu berbeda dari empedu hati karena sebagian besar anion anorganik,
klorida dan bikarbonat, disingkirkan memalui reabsorpsi melintasi
membrane basalis.
Komponen utama empedu menurur berat termasuk air (82%), asam
empedu 12%, lesitin dan fosfolipid lain 4%, dan kolesterol yang tidak
diesterifikasi 0,7%.unsur pokok lain termasuk bilirubin terkonjugasi,
protein ( IgA, hasil tambahan dari hormone dan protein lain yang
dimetabolisme dalam hati), elektrolit, mucus dan seiring obat dan hasil
tambahan metaboliknya.
D.
a.
b.
c.
d.

Lapisan empedu :
Lapisan empedu
Lapisan serosa atau parietal
Lapisan otot bergaris
Lapisan dalam mukosa atau visceral disebut juga membrane mukosa

E. Fungsi kandung empedu:


1. Sebagai persediaan getah empedu, membuat getah empedu menjadi
kental.
2. Getah empedu adalah cairan yang di hasilkan oleh sel-sel
hati jumlah setiap haridari setiap orang di keluarkan 500-1000 cc
sekresi yangn digunakan untuk mencernalemak. 80% dari getah
empedu pigmen (warna) insulin dan zat lainnya.

F.Duktus sistikus
Panjangnya kurang lebih 3,5 cm yang berjalan dari lekkuk empedu
berhubungandengan duktus hepatikus membentuk saluran empedu
keduodenum.
G.Sterkobilin
Memberi warna feses dan sebagian di absorpsi kembali oleh darah dan
membuat warna pada urin yang di sebut urobilin.
H. Bagian dari kandung empedu.
1. Fundus vesikafelea, merupakan bagian kandung empedu yang paling
akhir setelah korpus vesikafelea.
2. Korpus vesikafelea, bagian dari kandung empedu yang di dalamnya
berisi getah empedu.
3. Leher kandung kemih, merupakan leher dari kandung empedu yaitu
saluran yang pertama masuknya getah empedu ke dalam kandung empedu
lalu menjadi pekat berkumpul dalam kandung empedu.
4. Duktus sistikus, panjangnya kurang lebih 3 cm berjalan dari leher
kandung empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus membentuk
saluran empedu ke duodenum.
5. Duktus hepatikus saluran yang keluar dari leher.
6. Duktus koledokus, saluran yang membawa empedu ke duodenum.
7. Getah empedu
Suatu cairan yang disekresi setiap hari oleh sel hati yang di
hasilkan setipa hari 500-1000 cc sekresi, sekresinya berjalan terus
menerus, jumlah produksi meningkat sewaktu mencerna lemak.
Tabel komposisi empedu (diambil dari fisiologi Guyton :1030).
Empedu hati dan empedu kantung empedu
Air
97,5 gr/dl 92 gr/ dl.
Garam empedu
1,1 gr/dl 6 gr/ dl.
Bilirubin
0,04 gr/dl O,3 gr/ dl.
8

Kolesterol
Asam asam lemak
Lesitin
Na+
K+
Ca+
ClHCO3-

0,1 gr/dl 0,3 sampai 0,9 gr/dl.


0,12 gr/dl 0,3 sampai 1,2 gr/dl.
0,04 gr/ dl 0,3 r/dl.
145 mEq/liter 130 mEq/liter.
mEq/liter 12 mEq/liter.
5 mEq/liter 23 mEq/liter.
100 mEq/liter 25 mEq/ liter.
28 mEq/liter 10 mEq/liter.

Empedu terdiri dari:


1) Garam-garam empedu.
2) Elektrolit
3) Pigmen empedu (misalnya bilirubin)
4) Kolesterol
5) Lemak.
Fungsi empedu adalah untuk membuang limbah tubuh tertentu
(terutama pigmen hasil pemecahan sel darah merah dan kelebihan
kolesterol) serta membantu pencernaan dan penyerapan lemak. Garam
empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan
vitamin yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari
usus.

Hemoglobin
Yang berasal dari penghancuran sel darah merah dirubah menjadi
bilirubin (pigmen utama dalam empedu) dan dibuang ke dalam empedu.
Berbagai protein yang memegang peranan penting dalam fungsi empedu
juga disekresi dalam empedu. Batu kandung empedu bisa menyumbat
aliran empedu dari kandung empedu, dan menyebabkan nyeri ( kolik
bilier ) atau peradangan kandung empedu ( kolesistitis ). Batu juga bisa
berpindah dari kandung empedu ke dalam saluran empedu, sehingga

terjadi jaundice (sakit kuning) karena menyumbat aliran empedu yang


normal ke usus.
2.1.3. Etiologi.
1. Obstruksi duktus sistikus dengan distensi dan iskemia vesika bilaris.
Sumbatan batu empedu pada duktus sistikus menyebabkan distensi
kandung empedu dan gangguan aliran darah dan limfe, bakteri komensal
kemudian berkembang baik.
2. Cedera kimia (empedu) dan atau mekanik (batu empedu) pada mukosa
Infeksi bakteri.
3. Adanya kuman seperti E. Coli, salmonela typhosa, cacing askaris, atau
karena pengaruh enzim enzim pankreas.
2.1.4. Faktor Resiko
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah
ini. Namun,semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang,
semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko
tersebut antara lain :
a)Jenis Kelamin, wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk
terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh
hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol
oleh kandung empedu.
b)Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.
c)Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat
meningkatkankolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas
pengosongan kandungempedu.
d)Usia, resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk
terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang usia yang lebih muda.

10

e)Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI)


tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini
karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung
empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
f) Makanan, intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang
cepat (seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan
terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan
kontraksi kandung empedu.
g)Riwayat keluarga, orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis
mempunyai resiko lebih besar dibandingkan dengan tanpa riwayat
keluarga.
h)Aktifitas fisik, kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan
peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh
kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
i)Penyakit usus halus, penyakit yang dilaporkan berhubungan
dengan kolelitiasis adalah crohn disease, diabetes, anemia sel sabit,
trauma, dan ileus paralitik.
j)Nutrisi intravena jangka lama, nutrisi intravena jangka lama
mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi,
karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga
resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung
empedu.
2.1.5. Klasifikasi
Batu di dalam kandung empedu. Sebagian besar batu tersusun dari
pigmen pigmen empedu dan kolesterol, selain itu juga tersusun oleh
bilirubin, kalsium dan protein.
Macam-macam batu yang terbentuk antara lain:

11

1. Batu empedu kolesterol, terjadi karena : kenaikan sekresi kolesterol dan


penurunanproduksi empedu.Faktor lain yang berperan dalam pembentukan
2.
a.

batu:
Infeksi kandung empedu.
Usia yang bertambah.
Obesitas.
Wanita.
Kurang makan sayur.
Obat-obat untuk menurunkan kadar serum kolesterol
Batu pigmen empedu , ada dua macam :
Batu pigmen hitam : terbentuk di dalam kandung empedu dan disertai

hemolisis kronik/sirosis hati tanpa infeksi.


b. Batu pigmen coklat : bentuk lebih besar , berlapis-lapis, ditemukan
disepanjang saluran empedu, disertai bendungan dan infeksi.
3. Batu saluran empedu. Sering dihubungkan dengan divertikula duodenum
di

daerah

vateri.

Ada

pengisian divertikula oleh

dugaan

bahwa

kelainan anatomi atau

makanan

akan

menyebabkan obstruksi intermiten duktus koledokus dan bendungan ini m


emudahkan timbulnya infeksi dan pembentukan batu.

12

2.1.6.Manifestasi Klinis
o Rasa nyeri dan kolik bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung
empedu akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan
mengalami panas dan mungkin teraba masapadat pada abdomen.
Pasien akan mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada
abdomen kuadran kanan atas yang menjalar kepunggung atau bahu
kanan. Rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual, muntah dan
bertambah

berat

makan- makanan

dalam
dalam porsi

waktu

beberapa jam sesudah

besar. Kolik

bilier disebabkan

oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan


empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu.
o Ikterus
Ikterus biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus.
Akibat obstruksi pengaliran getah empedu kedalam duodenum
maka akan terjadi peningkatan kadar empedu dalam darah. Hal ini
membuat kulit dan membrane mukosa berwarna kuning. Keadaan
ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang mencolok pada
kulit.
o Perubahan warna urine dan feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine
berwarna sangat gelap. Feses yang tidak diwarnai oleh pigmen
empedu akan tampak kelabu dan biasanyadisebut steatorea.
o Defisiensi vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorpsi
vitamin yang larut dalam lemak ( vitamin A, D, E, K ) karena itu,
pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini
jika obstruksi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat
mengganggu pembekuan darah yang normal. Apabila batu empedu
terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus, kandung
13

empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi akan


segera mereda dalam waktu yang relative singkat.
2.1.7. Komplikasi.
1. Obstruksi duktus sistikus
2. Kolik bilier
3. Kolesistis akut
4. Peradangan pancreas
5. Perforasi
6. Edema kandung empedu
7. Batu empedu sekunder

2.1.8. Tes Diagnostik


1. Pemeriksaan sinar X abdomen
2. Ultrasonografi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai
procedure diagnostic pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan cepat serta akurat dan dapat digunakan pada penderita disfungsi
hati dan ikterus.
3. Pemeriksaan pencitraan radionuklida atau koleskintografi
Dalam prosedur ini preparat radioaktif disuntikan secara intrvena.
Preparat ini kemudian diambil hepatosit dan dengan cepat disekresikan
kedalam sistem bilier. Selanjutnya dilakukan pemindahan saluran empedu
untuk mendapatkan gambar kandung empedu dan percabangan bilier.
4. Kolesistografi
Kolesistografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu
dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Media
kontras yang mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan
dipekatkan dalam kandung empedu diberikan pada pasien.

14

Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque


ini. Jika terdapat batuempedu, bayangan akan terdapat pada foto rontgen.
5. Pemeriksaan Laboratorium.
-Darah lengkap : leukositosis
-Bilirubin dan amilasi serum : meningkat
-Enzim hati serum : SGOT, SGPT, LDH
-Kadar protombin : menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus
menurunkan absorpsi vitamin K

2.1.9. Penatalaksanaan
Cholelitiasis ditangani baik secara nonbedah maupun dengan pembedahan:
1. Penatalaksanaan non bedah
a. Farmakologis
1) Untuk menghancurkan batu : ursodiol/ actigal.
2) Efek samping : diare, bersifat hepatotoksik pada fetus sehingga kontra
indikasi pada ibu hamil.
3) Mengurangi konten kolesterol dalam batu empedu : chenodiol/ chenix
4) Untuk mengurangi gatal gatal : cholestyramine (Questran)
5) Mengobati infeksi : antibiotic
b. Pengangkatan batu empedu tanpa pembedahan
1) Pelarutan batu empedu
Dengan menginfuskan suatu bahan pelarut (mono oktanion atau
metil tertierbutil eter/ MTBE) ke dalam kandung empedu. Dapat
diinfuskan melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung
kedalam kandung empedu, melalui selang atau drain yang dimasukan
melalui saluran T tube untuk melarutkan batu yang belum

15

dikeluarkan pada saat pembedahan, melalui ERCP atau kateter bilier


transnasal.
2) Pengangkatan non bedah
Sebuah kateter dan alat disertai jaringan yang terpasang padanya
disisipkan lewat saluran T tube atau lewat fistula yang terbentuk pada saat
insersi T tube atau lewat fistula yang terbentuk pada saat insersi T tube,
jaringan digunakan untuk memegang dan menarik keluar batu
yang terjepit dalam duktus koledokus.
3)Extracorpreal shock wave lithotripsy (ESWL)
Mengguankan gelombang kejut berulang (repeated shock waves)
yang diarahkan kepada batu empedu untuk memecah batu tersebut menjadi
sejumlah fragmen.

2. Penatalaksana Pembedahan
a) Kolesistektomi
Dalam prosedur ini, kandung empedu diangkat setelah arteri dan
duktus sistikus diligasi. Sebuah drain di tempatkan dalam kandung
empedu dan dibiarkan menjulur keluar lewat luka operasi untuk
mengalirkan darah, cairan serosanguinus dan getah empedu kedalam kasa
absorben.
b) Minikolesistektomi
Prosedur ini untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka
insisi selebar 4cm.
c) Kolesistektomi lapaskopik
Dilakukan lewat insisi yang kecil atau luka tusukan melalui
dinding abdomen pada umbilikus. Rongga abdomen ditiup dengan gas
karbon monoksida untuk membantu pemasangan endoskop.
d) Koledokostomi
Insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan
batu. Setelah batu dikeluarkan biasanya dipasang sebuah kateter kedalam

16

duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda.


Kateter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas.
3. Manajemen diet
a) Mengurangi pemasukan makanan selama fase akut.
b) Pemasangan NGT untuk mengurangi mual dan muntah.
c) Pembatasan diet lemak terutama pada pasien dengan obesitas.
4. ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangio Pancre atography )
Dengan bantuan endoskopi melalui muara papila Vater kontras
dimasukkan kedalam saluran empedu dan saluran pankreas. Keuntungan
lain pada pemeriksaan ini ialah sekaligus dapat menilai apakah ada
kelainan pada muara papila Vater, tumor misalnya atau adanya
penyempitan. Keterbatasan yang mungkin timbul pada pemeriksaan ini
ialah bila muara papila tidak dapat dimasuki kanul.
2.2. Laparoskopi
2.2.1. Definisi
Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally invasive
dengan memasukkan gas CO2 ke dalam rongga peritoneum untuk
membuat ruang antara dinding depan perut dan organ viscera,
sehingga memberikan akses endoskopi ke dalam rongga peritoneum
tersebut.7 Teknik laparoskopi atau pembedahan minimally invasive
diperkirakan menjadi trend bedah masa depan. Di Indonesia, teknik
bedah laparoskopi mulai dikenal di awal 1990-an ketika tim dari RS
Cedar Sinai California AS mengadakan live demo di RS Husada
Jakarta. Selang setahun kemudian, Dr Ibrahim Ahmadsyah dari RS
Cipto Mangunkusumo melakukan operasi laparoskopi pengangkatan
batu dan kantung empedu (Laparoscopic Cholecystectomy) yang
pertama. Sejak 1997, Laparoscopic Cholecystectomy menjadi
prosedur baku untuk penyakit-penyakit kantung empedu di beberapa
rumah sakit besar di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia.

17

2.2.2.Prosedur
Prosedur praoperasi laparoskopi hampir sama dengan operasi
konvensional. Pasien harus puasa empat hingga enam jam
sebelumnya, dibuat banyak buang air besar agar ususnya mengempis.
Sebelum puasa pasien laparoskopi diberikan makanan cair atau bubur,
makanan yang mudah diserap, tapi rendah sisa, untuk mengurangi
jumlah

kotoran

di

saluran

cerna.8

Setelah pasien teranestesi, tindakan operasi pertama yang dilakukan


adalah membuat sayatan di bawah lipatan pusar sepanjang 10 mm,
kemudian jarum veres disuntikkan untuk memasukkan gas CO2
sampai batas kira-kira 12-15 milimeter Hg. Dengan pemberian gas
CO2 itu, perut pasien akan menggembung. Itu bertujuan agar usus
tertekan ke bawah dan menciptakan ruang di dalam perut. Setelah
perut terisi gas CO2, alat trocar dimasukkan. Alat itu seperti pipa
dengan klep untuk akses kamera dan alat-alat lain selama
pembedahan. Ada empat trocar yang dipasang di tubuh. Pertama,
terletak di pusar. Kedua, kira-kira letaknya 2-4 cm dari tulang dada
(antara dada dan pusar) selebar 5-10 mm. Trocar ketiga dipasang di
pertengahan trocar kedua agak ke sebelah kanan (di bawah tulang
iga), selebar 2-3 atau 5 mm. Trocar keempat, bilamana diperlukan,
akan dipasang di sebelah kanan bawah, selebar 5 mm. Melalui trocar
inilah alat-alat, seperti gunting, pisau ultrasonik, dan kamera,
dimasukkan dan digerakkan. Trocar pertama berfungsi sebagai mata
dokter, yaitu tempat dimasukkannya kamera. Dokter akan melihat
organ-organ tubuh kita dan bagian yang perlu dibuang melalui kamera
tersebut yang disalurkan ke monitor. Sementara itu, trocar kedua
sampai

keempat

merupakan

trocar

kerja.8

Dalam tayangan video terlihat bagaimana jarum untuk menjahit


organ-organ yang dipotong atau mengalami pendarahan dimasukkan

18

melalui trocar. Selain itu, ada pula klip-klip dari titanium, yang aman
dan bisa digunakan sebagai ganti jahitan. Klip itu berfungsi
menyambungkan dua bagian yang terpisah. Klip dari titanium akan
dipasang dalam tubuh secara permanen, seumur hidup. Sebelumnya,
dokter harus mengatakan kepada pasien dan keluarganya kalau ada
benda asing yang akan ditinggalkan di dalam tubuh pasien. 8
Posisi peralatan juga penting untuk diperhatikan agar mudah untuk
dilihat oleh semua operator karena menggunakan berbagai peralatan
penunjang. Operator harus melihat jelas video monitor dan pengaliran
insuflasi CO2 sehingga dia bisa memonitor tekanan intra abdomen
dan laju gas. 3
2.2.3.Penggunaan Gas CO2
CO2 adalah gas pilihan untuk insuflasi karena tidak mudah terbakar,
tidak membantu pembakaran, mudah berdifusi melewati membrane,
mudah keluar dari paru-paru, mudah larut dalam darah dan risiko
embolisasi CO2 kecil. Level CO2 dalam darah mudah diukur, dan
pengeluarannya dapat ditambah dengan memperbanyak ventilasi.
Selama persediaan O2 cukup, konsentrasi CO2 darah dapat ditolelir.7
Kerugian utamanya adalah fakta bahwa CO2 lembam. Hal ini
menyebabkan iritasi peritoneal langsung dan rasa sakit selama
laparoskopi karena CO2 membentuk asam karbonat saat kontak dengan
permukaan peritoneum. CO2 tidak terlalu larut pada darah bila terjadi
kekurangan sel darah merah, oleh karena itu CO2 bisa tersisa di
intraperitoneum dalam bentuk gas setelah laparoskopi, sehingga
menyebabkan sakit pada bahu. Hiperkarbia dan respiratory acidosis
terjadi saat kapasitas CO2 dalam darah melampaui batas. Selain itu,
CO2 dapat menimbulkan efek lokal maupun sistemik, sehingga dapat

19

terjadi hipertensi, takikardi, vasodilatasi pembuluh darah serebral,


peningkatan CO, hiperkarbi, dan respiratory acidosis.7
2.2.4. Keuntungan
Dibandingkan dengan bedah terbuka, laparoskopi lebih menguntungkan
karena insisi yang kecil dan nyeri pasca operasi yang lebih ringan.
Fungsi paru pasca operasi tidak terganggu dan sedikit kemungkinan
terjadi atelektasis setelah prosedur laparoskopi. Setelah operasi fungsi
pencernaan pasien pulih lebih cepat, masa rawat inap rumah sakit
pendek, serta lebih cepat kembali beraktivitas. Keuntungan ini
bervariasi tergantung pasien dan tipe prosedur.4

2.2.5.Kerugian
Komplikasi selama prosedur laparoskopi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak langsung karena kebutuhan insuflasi CO2 untuk
membuat ruang operasi. CO2 masuk kedalam pembuluh darah secara
cepat. Gas yang tidak larut terakumulasi didalam jantung kanan
menyebabkan hipotensi dan cardiac arrest. Emboli CO2 yang masif bisa
dideteksi dengan murmur precordial, transesofugeal echocardiografi,
dan end tidal CO2 monitoring (CO2 meningkat secara sementara
kemudian turun kembali). Pengobatan dilakukan dengan menghentikan
insuflasi CO2, hiperventilasi dengan 100% O2 dan resusitasi cairan,
merubah posisi pasien right side up dan memasang kateter vena central
untuk aspirasi gas.4
Jika gas yang ditujukan untuk membuat pneumoperitoneum keluar atau
prosedur laparoskopi meliputi insuflasi ekstra peritoneal (prosedur
untuk adrenalectomy atau perbaikan hernia) emfisema subkutan bisa
terjadi, volume tidal CO2 akhir (end tidal CO2) meningkat mencapai

20

level tinggi dan terdapat krepitus yang biasanya dapat sembuh tanpa
intervensi. Hal serius lain adalah pneumothorak, jika gas masuk ke
dalam rongga thorax melalui luka atau insisi yang dibuat sewaktu
pembedahan atau dari jaringan cervikal subkutan. Intervensi tidak
selalu harus, karena pneumothorax biasanya pulih jika insuflasi
dihentikan.4
2.3. General Anastesi
2.3.1. Definisi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak,
tanpa" dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara
umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Istilah anestesi digunakan pertama
kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible.Anestesi
umum yang sempurna menghasilkan ketidaksadaran, analgesia,
relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari
pasien.
2.3.2. Teori Anestesi Umum
Ada beberapa teori yang membicarakan tentang kerja anestesi
umum, diantaranya :
a. Meyer dan Overton (1989) mengemukakan teori kelarutan lipid (Lipid
Solubity Theory). Obat anestetika larut dalam lemak. Efeknya
berhubungan langsung dengan kelarutan dalam lemak. Makin mudah
larut di dalam lemak, makin kuat daya anestesinya. Ini hanya berlaku
pada obat inhalasi (volatile anaesthetics), tidak pada obat anestetika
parenteral.
b. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (The Inert Gas
Effect). Potensi analgesia gas gas yang lembab dan

menguap
21

terbalik terhadap tekanan gas gas dengan syarat tidak ada reaksi
secara kimia. Jadi tergantung dari konsentrasi molekul molekul
bebas aktif.
c. Pauling (1961) mengemukakan teori kristal mikrohidrat (The Hidrat
Micro-crystal Theory). Obat anestetika berpengaruh terutama terhadap
interaksi molekul molekul obatnya dengan molekul molekul di
otak.
d. Trudel (1963) mengemukakan molekul obat anestetika mengadakan
interaksi

dengan

membrana

lipid

meningkatkan

keenceran

(mengganggu membran).
Obat anestesi yang diberikan akan masuk ke dalam sirkulasi
darah yang selanjutnya menyebar ke jaringan, yang pertama kali
terpengaruh adalah jaringan yang banyak vaskularisasinya seperti
otak, yang mengakibatkan kesadaran dan rasa sakit hilang. Kecepatan
dan kekuatan anestesi dipengaruhi oleh faktor respirasi, sirkulasi, dan
sifat fisik obat itu sendiri.
2.3.3. Tujuan Anestesi Umum
Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan
stabilisasi otonom.
2.3.4. Syarat, Kontraindikasi Dan Komplikasi
Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah :
a. Memberi induksi yang halus dan cepat.
b. Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons
c. Timbulkan keadaan amnesia
d. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan.
e. Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang cukup untuk
tindakan operasi.
f. Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan ESO
yang berlangsung lama.
Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi
kordis derajat III IV, AV blok derajat II total (tidak ada gelombang P).
Kontraindikasi Relatif berupa

hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik

>110), DM tak terkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA.

22

Tergantung pada efek farmakologi pada organ yang mengalami


kelainan.Pada pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan
pemakaian obat yang bersifat hepatotoksik.Pada pasien dengan gangguan
jantung, obat obatan yang mendepresi miokard atau menurunkan aliran
koroner harus dihindari atau dosisnya diturunkan.Pasien dengan gangguan
ginjal, obat obatan yang diekskresikan melalui ginjal harus diperhatikan.
Pada paru, hindarkan obat yang memicu sekresi paru, sedangkan pada
bagian endokrin hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah, obat
yang merangsang susunan saraf simpatis pada penyakit diabetes basedow
karena dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah.
Sedangkan komplikasi kadang kadang tidak terduga walaupun
tindakan anestesi telah dilakukan dengan sebaik baiknya.Komplikasi
dapat dicetuskan oleh tindakan anestesi ataupun kondisi pasien
sendiri.Komplikasi dapat timbul pada waktu pembedahan ataupun setelah
pembedahan. Komplikasi kardiovaskular berupa hipotensi dimana tekanan
sistolik kurang dari 70 mmHg atau turun 25 % dari sebelumnya, hipertensi
dimana terjadi peningkatan tekanan darah pada periode induksi dan
pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada
penyakit jantung karena jantung bekerja keras dengan kebutuhan
kebutuhan miokard yang meningkat yang dapat menyebabkan iskemik
atau infark apabila tidak tercukupi kebutuhannya. Komplikasi lain berupa
gelisah setelah anestesi, tidak sadar , hipersensitifitas ataupun adanya
peningkatan suhu tubuh.
2.3.5. Persiapan Untuk Anestesi Umum
Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien
sebelum pasien menjalani suatu tindakan operasi.Pada saat kunjungan,
dilakukan wawancara (anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah
mendapat anestesi sebelumnya, adakah penyakit penyakit sistemik,
saluran napas, dan alergi obat.Kemudian pada pemeriksaan fisik,
dilakukan pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, ukuran lidah,

23

leher kaku dan pendek.Perhatikan pula hasil pemeriksaan laboratorium


atas indikasi sesuai dengan penyakit yang sedang dicurigai, misalnya
pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa pendarahan, masa pembekuan),
radiologi, EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan
dinyatakan dengan status anestesi menurut The American Society Of
Anesthesiologist (ASA).
ASA I
: Pasien dalam keadaan normal dan sehat.
ASA II
: Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang
baik karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya: pasien batu
ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien appendisitis akut
dengan lekositosis dan febris.
ASA III
: Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik
berat yang diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien
appendisitis perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus obstrukstif
dengan iskemia miokardium.
ASA IV
: Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehidupannya. Contohnya: Pasien dengan syok atau
dekompensasi kordis.
ASA V
: Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun
dioperasi atau tidak. Contohnya: pasien tua dengan perdarahan basis kranii
dan syok hemoragik karena ruptur hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE
atau IIE
Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah
aspirasi lambung karena regurgutasi

atau muntah. Pada pembedahan

elektif, pengosongan lambung dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa


4 6 jam, bayi 3 4 jam. Pada pembedahan darurat pengosongan lambung
dapat dilakukan dengan memasang pipa nasogastrik atau dengan cara lain
yaitu

menetralkan

asam

lambung

dengan

memberikan

antasida

(magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor H2 (ranitidin).Kandung

24

kemih juga harus dalam keadaan kosong sehingga boleh perlu dipasang
kateter.Sebelum pasien masuk dalam kamar bedah, periksa ulang apakah
pasien atau keluarga sudah memberi izin pembedahan secara tertulis
(informed concent).
Premedikasi sendiri ialah pemberian obat - 1 jam sebelum induksi
anestesia dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesia, menghilangkan rasa khawatir,membuat amnesia, memberikan
analgesia dan mencegah muntah, menekan refleks yang tidak diharapkan,

mengurasi sekresi saliva dan saluran napas.


Obat obat premedikasi yang bisa diberikan antara lain :
Gol. Antikolinergik
Atropin.Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah, antimual
dan muntah, melemaskan tonus otot polos organ organ dan menurunkan
spasme gastrointestinal. Dosis 0,4 0,6 mg IM bekerja setelah 10 15

menit.
Gol. Hipnotik sedatif
Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital).Diberikan untuk sedasi
dan mengurangi kekhawatiran sebelum operasi.Obat ini dapat diberikan
secara oral atau IM.Dosis dewasa 100 200 mg, pada bayi dan anak 3 5
mg/kgBB.Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan
efek depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta

jarang menyebabkan mual dan muntah.


Gol. Analgetik narkotik
Morfin.Diberikan untuk mengurangi

kecemasan

dan

ketegangan

menjelang operasi.Dosis premedikasi dewasa 10 20 mg. Kerugian


penggunaan morfin ialah pulih pasca bedah lebih lama, penyempitan
bronkus pada pasien asma, mual dan muntah pasca bedah ada.
Pethidin.Dosis premedikasi dewasa 25 100 mg IV.Diberikan untuk
menekan tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot
polos.Pethidin juga berguna mencegah dan mengobati menggigil pasca

bedah.
Gol. Transquilizer

25

Diazepam (Valium).Merupakan golongan benzodiazepine.Pemberian


dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik.Dosis
premedikasi dewasa 0,2 mg/kgBB IM.
2.3.6. Metode Pemberian Anestesi Umum
Obat obat anestesi umum bisa diberikan melalui Perenteral
(Intravena, Intramuscular), perektal (melalui anus) biasanya digunakan
pada bayi atau anak-anak dalam bentuk suppositoria, tablet, semprotan
yang dimasukan ke anus.Perinhalasi melalui isapan, pasien disuruh tarik
nafas dalam kemudian berikan anestesi perinhalasi secara perlahan.
I.

STADIUM ANESTESI
Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa
analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium 3
dan stdium 4 sampai henti napas dan henti jantung.
Stadium I
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian
zat anestetik sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini pasien masih
dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa
sakit).Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi
kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.Stadium ini berakhir dengan
ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks
tersebut bisa kita raba bulu mata).
Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan
ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss
cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot
meninggi dan diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak
mata.
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga
hilangnya pernapasan spontan.Stadia ini ditandai oleh hilangnya
26

pernapasan spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat


digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah.
Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan
segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien
meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu
berarti terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.
II.

TANDA REFLEKS PADA MATA


a. Refleks pupil
Pada keadaan teranestesi maka refleks pupil akan miosis apabila
anestesinya dangkal, midriasis ringan menandakan anestesi reaksinya
cukup dan baik/ stadium yang paling baik untuk dilakukan pembedahan,
midriasis maksimal menandakan pasien mati.
b. Refleks bulu mata
Refleks bulu mata sudah disinggung tadi di bagian stadium
anestesi.Apabila saat dicek refleks bulu mata (-) maka pasien tersebut
sudah pada stadium 1.
c. Refleks kelopak mata
Pengecekan refleks kelopak mata jarang dilakukan tetapi bisa digunakan
untuk memastikan efek anestesi sudah bekerja atau belum, caranya
adalah kita tarik palpebra atas ada respon tidak, kalau tidak berarti
menandakan pasien sudah masuk stadium 1 ataupun 2.

d. Refleks cahaya
Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon
saat kita beri rangsangan cahaya.

27

III.
TEKNIK ANESTESI UMUM
a. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
Tindakan singkat ( - 1 jam)
Keadaan umum baik (ASA I II)
Lambung harus kosong
Prosedur :

Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik

Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)

Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat


penenang) efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid,
non opioid, dll

Induksi

Pemeliharaan

b. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan


Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=
endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi; operasi
lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)
Prosedur :
1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil
dgn durasi singkat)
2. Intubasi setelah induksi dan suksinil
3. Pemeliharaan
Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS:
S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope
T = Tubes. Pipa trakea. Usia >5 tahun dengan balon(cuffed)
A = Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring
(nasofaring) yang digunakanuntuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
agar lidah tidak menymbat jalan napas
T = Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I = Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah
dimasukkan
28

C = Connector. Penyambung pipa dan perlatan anestesia


S = Suction. Penyedot lendir dan ludah
Teknik Intubasi
1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin fasikulasi (+)
3. Bila fasikulasi (-) ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt
4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan
mendorong kepala sedikit ekstensi mulut membuka
5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit
demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri
6. Cari epiglotis tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah
bengkok) atau angkat epiglotis ( pada bilah lurus )
7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar
luar )
8. Temukan pita suara warnanya putih dan sekitarnya merah
9. Masukan ET melalui rima glottis
10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu
napas( alat resusitasi )
Klasifikasi Mallampati :
Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :

29

c. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)


Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien
dikontrol pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12-20 x
permenit.Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas

IV.

spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya.


Teknik sama dengan diatas
Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.
OBAT OBAT DALAM ANESTESI UMUM
Jenis obat anestesi umum diberikan dalam bentuk suntikan intravena

atau inhalasi.
1. Anestetik intravena
Penggunaan
:
Untuk induksi
Obat tunggal pada operasi singkat
Tambahan pada obat inhalasi lemah
Tambahan pada regional anestesi
Sedasi
Cara pemberian :
Obat tunggal untuk induksi atau operasi singkat
Suntikan berulang (intermiten)
Diteteskan perinfus
Obat anestetik intravena meliputi :
a. Benzodiazepine

30

Sifat : hipnotik sedative, amnesia anterograd, atropine like effect,


pelemas otot ringan, cepat melewati barier plasenta.
Kontraindikasi : porfiria dan hamil.
Dosis : Diazepam : induksi 0,2 0,6 mg/kg IV, Midazolam :
induksi : 0,15 0,45 mg/kg IV.
b. Propofol
Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting.
Propofol dapat menghasilkan anestesi kecepatan yang sama dengan
pemberian barbiturat secara inutravena, dan waktu pemulihan yang
lebih cepat. Dosis : 2 2,5 mg/kg IV.
c. Ketamin
Ketamin adalah suatu rapid acting

nonbarbiturat

general

anaesthetic.Indikasi pemakaian ketamin adalah prosedur dengan


pengendalian jalan napas yang sulit, prosedur diagnosis, tindakan
ortopedi, pasien resiko tinggi dan asma. Dosis pemakaian ketamin
untuk bolus 1- 2 mg/kgBB dan pada pemberian IM 3 10 mg/kgBB.
d. Thiopentone Sodium
Merupakan bubuk kuning yang bila akan digunakan dilarutkan
dalam air menjadi larutan 2,5%atau 5%. Indikasi pemberian
thiopental adalah induksi anestesi umum, operasi singkat, sedasi
anestesi regional, dan untuk mengatasi kejang.Keuntungannya
:induksi mudah, cepat, tidak ada iritasi mukosa jalan napas. Dosis 5
mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV.
2. Anestetik inhalasi
a. N2O
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak
berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada udara.N2O biasanya
tersimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja,
tekanan penguapan pada suhu kamar 50 atmosfir.N2O
mempunyai efek analgesic yang baik, dengan inhalasi 20% N2O
dalam oksigen efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum
untuk mendapatkan efek analgesic maksimum 35% .gas ini
sering digunakan pada partus yaitu diberikan 100% N2O pada
waktu kontraksi uterus sehingga rasa sakit hilang tanpa

31

mengurangi kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu relaksasi


untuk mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O
digunakan secara intermiten untuk mendapatkan analgesic pada
saat proses persalinan dan Pencabutan gigi. H2O digunakan secara
umum untuk anestetik umum, dalam kombinasi dengan zat lain
b. Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah
terbakar dan tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan
oksigen.Halotan

bereaksi

dengan

perak,

tembaga,

baja,

magnesium, aluminium, brom, karet dan plastic.Karet larut dalam


halotan, sedangkan nikel, titanium dan polietilen tidak sehingga
pemberian obat ini harus dengan alat khusus yang disebut
fluotec.Efek analgesic halotan lemah tetapi relaksasi otot yang
ditimbulkannya baik. Dengan kadar yang aman waktu 10 menit
untuk induksi sehingga mempercepat digunakan kadar tinggi (3-4
volume %). Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume.
c. Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar.Secara
kimiawi mirip dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda.
Isofluran berbau tajam sehingga membatasi kadar obat dalam udara
yang dihisap oleh penderita karena penderita menahan nafas dan
batuk. Setelah pemberian medikasi preanestetik stadium induksi
dapat dilalui dengan lancer dan sedikit eksitasi bila diberikan
bersama N2O dan O2.isofluran merelaksasi otot sehingga baik
untuk intubasi. Tendensi timbul aritmia amat kecil sebab isofluran
tidak menyebabkan sensiitisasi jantung terhadap ketokolamin.
Peningkatan frekuensi nadi dan takikardiadihilangkan dengan
pemberian propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-10 mg
morfin atau 0,1 mg fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia
diatasi terlebih dulu. Penurunan volume semenit dapat diatasi
dengan mengatur dosis.Pada anestesi yang dalam dengan isofluran
tidak terjadi perangsangan SSP seperti pada pemberian enfluran.
32

Isofluran meningkatkan aliran darah otak pada kadar labih dari 1,1
MAC (minimal Alveolar Concentration) dan meningkatkan
tekanan intracranial.
d. Sevofluran
Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling
disukai untuk induksi inhalasi.

V.

SKOR PEMULIHAN PASCA ANESTESI


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama

yang

menggunakan

general

anestesi,

maka

perlu

melakukan penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah


pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di
observasi di ruang Recovery room (RR).
A. Aldrete Score

Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, 1
Sianosis, 0
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Kesadaran
Sadar, siaga dan orientasi, 2
Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
B. Steward Score (anak-anak)

33

Pergerakan
Gerak bertujuan 2
Gerak tak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
Pernafasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan nafas 1
Perlu bantuan 0

Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

34

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama Pasien

: Ny. S

Umur

: 25 tahun

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan

: SMA

Agama

: Islam

Alamat

: Karang Mukti

MRS

: 19 Mei 2015

3.2. Anamnesis
Pada tanggal

: 21 Mei 2015

1. Keluhan utama

Saat masuk RS

Riwayat Perjalanan Penyakit :

: Nyeri perut kanan atas

Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 3 bulan
SMRS. Nyeri dirasakan tiba-tiba dan menetap dengan intensitas berat
selama 1-3 jam kemudian menghilang perlahan-lahan. Selanjutnya
nyeri muncul kembali. Nyeri dirasakan dari perut kanan atas hingga
bagian ulu hati namun tidak menjalar sampai ke bahu kanan dan
punggung. Nyeri seperti ini dirasakan terus-menerus selama 3 hari
terakhir. Jika nyeri muncul pasien sampai keringat dingin menahan
rasa nyeri dan tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Pasien
biasanya hanya berbaring di tempat tidur jika serangan nyeri datang.
Nyeri dirasakan bertambah apabila pasien menarik napas dalam.
Sesak dan nyeri dada disangkal.
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah. Pasien muntah 2 kali, isi
makanan, darah (-). Setiap kali makan pasien mengaku sering merasa
mual. Nafsu makan menjadi menurun semenjak sakit.

35

Pasien juga mengatakan mengalami demam sejak 2 hari SMRS.


Demam dirasakan terus menerus, naik-turun, dan tidak disertai
menggigil. Demam meningkat terutama saat nyeri muncul. Demam
turun jika diberi obat penurun panas. Mata kuning tidak ada.
Pasien juga mengatakan bahwa buang air besar berwarna putih sejak 3
hari SMRS. Frekuensi buang air besar 2 kali/hari, padat, nyeri saat
BAB (-), darah/ kehitaman (-).

Selain itu, menurut pasien warna

kencing menjadi kuning kecoklatan (gelap) sejak 3 hari SMRS hingga


saat ini dengan frekuensi BAK 2-3x/hari, nyeri saat BAK (-), kencing
berpasir (-).
3.3. Pemeriksaan fisik
Status present
Keadaan Umum
Kesadaran
BB/TB
TD
Nadi
RR
Suhu
Konjugtiva
Sklera
Cor
Pulmo
Payudara
Hepar/Lien
Edema pretibial
Refleks
Turgor kulit
Bibir kering

: Sakit sedang
: Compos mentis
: 50/155
: 130/80 mmHg
: 80 x/menit
: 22 x/menit
: 36,6 C
: Pucat -/: Ikterik -/: Gallop (-), murmur (-)
: vesikuler (+) N, ronkhi (-), wheezing (-)
: puting susu : menonjol, kolestrum belum keluar
: sulit dinilai
: -/: Patella (+)
: Normal
: (-)

Pemeriksaan fisik Pre-operasi


1. B1 (Breathing)
a. Airway pasien nafas spontan, RR 20x/menit
b. Wajah dan rongga : bentuk wajah dalam batas normal, buka mulut 3
jari, mallampati 1, gigi utuh dan baik, kebersihan rongga mulut baik
c. Hidung : perdarahan (-), deviasi sputum (-), polip (-)

36

d. Leher : leher gemuk (-), leher ekstensi bebas, trakea di tengah, massa
regio colli (-)
e. Paru : suara paru vesikuler, ronkhi (-), wheezing
2. B2 (Blood)
Akral hangat, merah, kering, nadi 88x/menit regular kuat, TD 130/80
3. B3 : Brain
compos mentis, GCS E4V5M6, pupil bulat, isokor 3mm, reflek cahaya +/
+
4. B4 : Bladder
Bak menggunakan kateter, produksi urin 400cc/jam, kuning
kecoklatan.
5. B5 : bowel
Supel, BU (+) normal, nyeri tekan epigastrium (+), muscular defens (-),
mual (+), muntah (-)
6. B6 : bone/body
mobilitas (+), edema (+), sianosis (-), ikterik (-), skoliosis (-), lordosis (-),
hemiparesis (-), distrofi otot (-), motorik dan sensorik normal
3.4. Assesment
ASA II
Diagnosis Pra operasi : Kolelitiasis

3.5. Penatalaksanaan
1. Persiapan Operasi
1) Sebelum operasi
Pasien di konsultasikan ke spesialis anestesi apakah pasien dalam
kondisi fisik yang layak untuk dilakukan tindakan operasi.
2) Diruang perawatan
a. Informed consent
b. Surat persetujuan operasi

37

c. Pasien dipuasakan sejak pukul 02.00 WIB tanggal 19 Mei 2015,


tujuannya untuk memastikan bahwa lambung pasien telah kosong
sebelum pembedahan untuk menghindari kemungkinan terjadinya
muntah dan aspirasi isi lambung yang akan membahayakan pasien.
d. Pembersihan wajah dan kuku pasien dari kosmetik agar tidak
mengganggu pemeriksaan selama anestesi, misalnya ada sianosis.
Gigi palsu dilepaskan agar tidak menggangu proses anestesi.
3) Diruang persiapan
a. Identifikasi pasien
b. Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan
c. Pemeriksaan fisik pasien di ruang oprasi : TD 130/80 mmHg, nadi
88x/menit, RR 20x/menit, suhu, 36,6oC
d. Pendataan kembali identitas pasien, di ruang operasi. Anamnesa
singkat yang meliputi BB, umum riwayat penyakit, riwayat
kebiasaan dll
e. Pasien masuk kamar operasi pada pukul 08.15 WIB dan
dibaringkan di meja operasi kemudian dilakukan pemasangan
EKG, manset, infus, dan oksimeter.
f. Pemeriksaan tanda-tanda vital

2. Persiapan Alat
1) Alat anestesi umum yang perlu disiapkan
a. Maseker (sesuaikan dengan ukuran wajah pasien)
b. Laringoskop
c. Endotracheal
d. Cuff
e. Goedel 3 ukuran (hijau, kuning, merah)
f. Hoarness dan ring hoarness

38

g. Stilet
h. Jackson rees
i. Jelly
j. Precordial
k. Kapas alkohol
l. Plester
m. Xilocain pump
n. Naso
2) Untuk intubasi
a. Laringoskop
b. Stetoskop
c. Pipa ETT No.7
d. Stilet
e. Goedel/mayo
f. Conector
g. Spuit 20 cc
h. Plester
3) Obat anestesi/induksi
a. Propofol
b. Fentanyl
c. Atracurium
4) Obat-obat emergency
a. Atropin
b. Efedrin
c. Asam traneksamat
d. Adrenalin
e. Dexametashone
f. Lidocain
3. Tindakan anestesi
1.Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
2. Induksi sampai tidur
3. Berikan ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt

39

4.Pegang

laringoskopi

dengan

tangan

kiri,

tangan

kanan

mendorong kepala sedikit ekstensi


5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan,
sedikit demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah ke
kiri
6. Cari epiglotis tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah
bengkok) atau angkat epiglotis ( pada bilah lurus )
7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea
dari luar )
8. Temukan pita suara warnanya putih dan sekitarnya merah
9. Masukan ETT melalui rima glottis
10. Hubungkan pangkal ETT dengan conecctor ke mesin anestesi
dan atau alat bantu napas( alat resusitasi )
11. Periksa masuknya udara menggunakan stetoskop pada kedua
paru-paru dab lambung.
12. Kembungkan balon dengan spuit 20 cc
13. Fiksasi dengan plester.

4. Penatalaksanaan Obat-obatan
Premedikasi

: Ondansentron 4 mg

Induksi

:-Propofol 2-2,5mg/kgBB= 2mgx50kg100mg


-Fentanyl
0,25-0,5mcg/kgBB=0,25mcgx50kg12,5mcg
0,5mcgx50kg25mcg
-Atracurium 0,5-0,6 mg/kgBB=
0,5mgx50kg25mg

Pemeliharaan

: O2, N2O, Sevoflurane

Obat-obatan

: Efedrin 10 mg

40

Infus

: RL 500 mL

5. Laporan Monitor Anestesi


Jam

Tensi

Nadi

SpO2

Keterangan

10.0

(mmHg)
120/77

(x/menit)
84

(%)
100

Operasi sudah dimulai

0
10.0

120/75

88

100

Tekanan darah stabil

5
10.1

120/85

90

100

Tekanan darah stabil

0
10.1

98/47

74

100

Tekanan darah pasien turun, injeksi

5
10.2

120/66

75

100

epidrin 1 cc IV
Tekanan darah stabil

0
10.2

120/75

80

100

Tekanan darah stabil

5
10.3

125/68

94

100

Tekanan darah stabil

0
10.3

120/75

91

99

Tekanan darah stabil

5
10.4

120/84

90

100

Tekanan darah stabil

0
10.4

123/78

88

100

Tekanan darah stabil

5
10.5

121/75

86

99

Tekanan darah stabil

0
10.5

120/79

80

100

Tekanan darah stabil

5
11.00

120/77

88

100

Operasi selesai, dilakukan suction

11.10
11.15

120/76
120/70

90
80

100
100

pada mulut pasien.


Dilakukan ekstubasi
Pemulihan di ruang Recovery rooom

41

6. Intruksi Pasca Anestesi


1) Bed rest total 24 jam post op.
2) Ukur TD dan nadi setiap 15 menit selama 1 jam pertama. Bila TD <90
mmHg beri efedrin 10 mg, bila nadi < 60 x/m beri SA 0,5 mg
3) Bila pasien sadar penuh boleh minum sedikit-sedikit.
4) Bila nyeri kepala hebat, konsul anestesi
5) Pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan apabila skor aldrette >8
ALDRETTE SCORE
Pergerakan

Gerak tujuan
Gerak tak bertujuan
Tidak bergerak
Pernafasan
Teratur, batuk, menangis
Depresi
Perlu bantuan
Warna kulit
Merah muda
Pucat
Sianosis
Tekanan darah
Berubah sekitar 20%
Berubah 20-30%
Berubah >30%
Kesadaran
Sadar penuh
Bereaksi terhadap rangsangan
Tidak bereaksi
Jika jumlah > 8, pasien dapat dipindahkan ke ruangan

2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0

BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis, pasien memiliki keluhan nyeri perut kanan atas.
Keluhan tambahan ada seperti demam, mual dan muntah. Sehingga assessment
pada pasien ini adalah ASA II.
Pada pasien ini akan dilakukan laparoskopi cholecystectomy. laparoskopi
dilakukan pada pasien ini dengan indikasi kolelitiasis dengan simpomatik.
Anestesi yang dipilih yaitu General anestesi. Dengan teknik intubasi. Intubasi
dipilih sebagai teknik anestesi pada pasien ini karena salah satu indikasi intubasi
adalah pembedahan yang lama. Sebelum dilakukan general anastesi dilakukan
persiapan pasien dan persiapan alat. Tindakan yang dipilih pada pasien ini adalah
42

intubasi dengan menggunakan endotracheal tube dan obat yang digunakan adalah
Propofol 100mg, Fentanyl 25mcg, Atracurium 25mg. Kemudian dilakukan
monitor anestasi dan setelah operasi selesai dilakukan intruksi pasca anestasi.
Pasien dapat dipindahkan ke ruangan perawatan dengan skor aldrette > 8.
Penatalaksanaan obat-obatan yang dipilih sebagai berikut.
1. Premedikasi
Premedikasi pada pasien ini tujuannya untuk memberikan rasa nyaman dan
mencegah mual muntah. Sehingga dipilih Ondansentron 4 mg (Shann, 2008).
2. Obat-obatan
a. Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid
dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150
mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Opioid dosis tinggi
yang diberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada
dan larynx, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut,
sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan
dengan perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl dan
sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi dan
sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena
untuk memberikan efek analgesi perioperatif3.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin.
Lamanya efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin.
Efek euphoria dan analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid,
tetapi secara tidak bermakna diperpanjang masanya atau diperkuat oleh
droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya digunakan bersama
sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan yang
jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada
tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson.
Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat

43

digunakan sebagai anelgesi pasca operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk
larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi tetap
dengan droperidol1. Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone yang
berkaitan

dengan

haloperidol)

diberikan

bersama-sama

untuk

menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan dengan nitrogen


oksida memberikan suatu efek yang disedut sebagai neurolepanestesia1,2.
b. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat
dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide
telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk
induksi tanpa premedikasi3.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat
intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif,
pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi
mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi
maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk
operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan
sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat
memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi
pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik2,3.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi
jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan
dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O
dan/atau anestetik inhalasi lain1,3.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira

44

80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada


penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira
30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat
daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin
sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi
dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar daripada
aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol
dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam
memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak
merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak
dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena
bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik.
Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang
terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik1.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga
saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg)1,3.

45

c. Atracurium besilat (tracrium)


Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru
yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman
Leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan
dengan obat terdahulu antara lain adalah :
a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu
reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak
bergantung pada fungsi hati dan ginjal.
b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
c. Tidak

menyebabkan

perubahan

fungsi

kardiovaskuler

yang

bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang
dipakai. Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah
2-3 menit, sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35
menit3.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah
lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian
antikolinesterase. Nampaknya atracurium dapat menjadi obat terpilih
untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang
berat1,2.
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50
mg atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada
penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 0,2 mg/kgBB/ iv
d.

Efedrin 10 mg
Efedrin merupakan vasokonstriktor. Pada pasien ini diberikan

karena tekanan darah pasien menurun sahingga diberi efedrin dengan dosis

46

10 mg. Dosis efedrin sendiri adalah 5-10 mg (Williams dan Wilkins,


2007). Sediaannya adalah 50mg/ml. Efedrin diberikan karena TD pasien
sempat turun menjadi 80/50 mmHg.
3.Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan
zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti.
Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena
Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan
dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50% 2.3.
b. Sevo/Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar.Secara
kimiawi mirip dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda.
Isofluran berbau tajam sehingga membatasi kadar obat dalam udara
yang dihisap oleh penderita karena penderita menahan nafas dan
batuk. Setelah pemberian medikasi preanestetik stadium induksi
dapat dilalui dengan lancer dan sedikit eksitasi bila diberikan
bersama N2O dan O2. Isofluran merelaksasi otot sehingga baik
untuk intubasi. Tendensi timbul aritmia amat kecil sebab isofluran
tidak menyebabkan sensiitisasi jantung terhadap ketokolamin.
47

Peningkatan frekuensi nadi dan takikardiadihilangkan dengan


pemberian propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-10 mg
morfin atau 0,1 mg fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia
diatasi terlebih dulu. Penurunan volume semenit dapat diatasi
dengan mengatur dosis.Pada anestesi yang dalam dengan isofluran
tidak terjadi perangsangan SSP seperti pada pemberian enfluran.
Isofluran meningkatkan aliran darah otak pada kadar labih dari 1,1
MAC (minimal Alveolar Concentration) dan meningkatkan
tekanan

intracranial.

Sevofluran

merupakan

turunan

eter

berhalogen yang paling disukai untuk induksi inhalasi.

BAB V
KESIMPULAN
General anestesi dapat menjadi pilihan untuk prosedur laparoscopic
cholecystectomy, karena beberapa alasan yaitu, penyakit yang diderita sudah
menimbulkan simpomatik yang mengganggu.. Pada kasus Ny. S dengan
kolelitiasis sebagai indikasi laparoscopoc cholecyctectomy , dipilih Teknik
intubasi karena mempermudah pemberian anestesi. mempertahankan jalan nafas
agar tetap bebas, mencegah kemungkinan aspirasi lambung, mempermudah
penghisapan sekret trakheobronkial, pemakaian ventilasi yang lama, pembedahan
yang lama, mengatasi obstruksi laring akut. Pasien ini mendapat premedikasi
berupa ondesentron 4 mg dan induksi propofol 100 mg, fentanyl 25 mcg, dan
atracurium 25 mg dengan pemeliharaan selama pembedahan O2, N2O, dan
Sevoflurane.

48

DAFTAR PUSTAKA
1. Beltran MA. Mirizzi Syndrome. World J Gastroenterol. 2012; 18: 46394648.
2. Bloom A. Cholecystitis Treatment & Management. 2011. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/171886-treatment#aw2aab6b6b1aa.
3. Brunner & Suddart. Keperawatan Medical Bedah Vol 2. Jakarta: EGC;
2001..
4. Doherty, GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery
13th edition. US : McGraw-Hill Companies; 2010.
5. Engram Barbara. Cholesistectomy. In: Medical Surgical Nursing Care
Plans. Delmar: A Division of Wadsworth Inc; 2009.
6. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th
edition. Jakarta: EGC; 2007.
7. Heuman
DM.
Cholelithiasis.

2011.

Available

at:

http://emedicine.medscape. com/article/175667-overview.
8. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwarts Principles of Surgery. 8 th
edition. US : McGraw-Hill Companies; 2007.
9. Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. Biliary
Surgery. In : Washington Manual of Surgery. 5th edition. Washington :
Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
10. Lesmana, L. Penyakit Batu Empedu. In : Sudoyo B, Alwi I, Simadibrata
MK, Setiati S Editors. Ilmu Penyakit Dalam. 5th edition. Jakarta: Interna
Publishing; 2009. p. 721-26.
11. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis. Dalam : Patofisiologi.
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th edition. Jakarta : EGC; 2006.
12. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Kolelitiasis. In: Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd
edition. Jakarta: EGC; 2011.
13. Snell, RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6 th Edition.
Jakarta: EGC; 2006.
14. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia 2009.
15. Omuigui . The Anaesthesia Drugs Handbook, 2nded, Mosby year Book Inc,
1995.
16. Dachlan,

R.,dkk.

2002.

Petunjuk

Praktis

Anestesiologi.

Bagian

Anestesiologi dan Terapi FK UI. Jakarta

49

17. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi


Intensif, FKUI. Jakarta: CV Infomedia.
18. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar
untuk Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
19. Lab/SMF Anestesiologi & reanimasi. 2010. Panduan Kepaniteraan Klinik
Anestesiologi.
20. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi
FKUI, edisi ke- 4. Jakarta: Gaya baru.
21. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI
22. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta
Kedokteran FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta : Media Aesculapius
23. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J., 2006. Clinical
Anesthesiology. 4th ed. The McGraw-Hill Companies. Philadelphia, USA
24. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan, M. R. 2002. Petunjuk Praktis
Anestesiologi Edisi kedua. FKUI. Jakarta.
25. Wilkins, L. dan Wilkins. 2007. Clinical Anesthesia Procedures of the
Messachusetts General Hospital. 7th ed. Harvard Medical School. Boston,
Messachusetts
26. Takafimu Nishida. et al. 2007. Clinical Anesthesia Procedure of the
Massachusetts General Hospital (649-669). Philadelphia : Lipincott
Williams and Wilkins.

50

LAMPIRAN

51

Anda mungkin juga menyukai