Anda di halaman 1dari 57

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tindakan operasi atau pembedahan merupakan pengalaman sulit
bagi hampir semua pasien. Berbagai kemungkinan buruk yang akan
membahayakan bagi pasien bisa saja terjadi sehingga diperlukan peran penting
perawat dalam setiap tindakan pembedahan dengan melakukan intervensi
keperawatan yang tepat untuk mempersiapkan klien baik secara fisik maupun
psikis (Rondhianto, 2008)
Sebelum pemulangan pasien dan keluarganya harus mengetahui
bagaimana cara memanejemen pemberian perawatan di rumah dan apa yang
diharapakan di dalam memperhatikan masalah fisik yang berkelanjutan
karena kegagalan untuk mengerti pembatasan atau implikasi masalah
kesehatan (tidak siap menghadapi pemulangan) dapat menyebabkan
peningkatan komplikasi pada pasien (Perry & Potter, 2006). Ketidaksiapan
pasien menghadapi pemulangan juga dapat terjadi karena pasien terlalu cepat
dipulangkan sehingga hal ini juga beresiko terhadap terjadinya komplikasi
pasca bedah setelah di rumah dan juga dikarenakan pemulangan yang tidak
direncanakan yang dapat berakibat kepada hospitalisasi ulang (Torrance,
1997)
Ada

berbagai

macam

jenis

pembedahan,

salah

satunya

Appendictomy. Pembedahan untuk mengambil apendic disebut apendictomy,


dan ini dilakukan jika peradangan tanpa adanya rupture (Reeves, 1999).

2
Apendictomy dilakukan segera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi
(Smeltzer, 2001). Setelah tindakan pembedahan, abdomen memiliki resiko
untuk terjadinya infeksi akibat terjadinya stres yang sangat serius kepada
tubuh. Sistem imun tubuh menjadi lemah dan fungsi gastrointestinal berubah
sehingga menyebabkan status nutrisi insuffiensien (Noname, 2004). Andra
(2007) menyatakan pasca pembedahan abdomen dengan etiologi non infeksi
insiden terjadinya kurang dari 2% pasca pembedahan untuk penyakit
inflamasi tanpa perforasi (misalnya Appendicytis, diverticulitis, kolesistitis).
Oleh karena itu perlu diberikan informasi kepada pasien agar mampu
mengenali tanda bahaya untuk dilaporkan kepada tenaga medis. Data tentang
kasus appendic dari tahun ke tahun meningkat di RSUD Syamrabu
Bangkalan. Tahun 2010 angka kejadian Post op Apendictomy 315 pasien
sedangkan tahun 2011 Meningkat mencapai 415 pasien. Idealnya pasien siap
dalam menghadapi pemulangan, tetapi berdasarkan studi pendahuluan yang
telah dilakukan peneliti dari 15 pasien post op appendictomy terdapat 66%
pasien yang tidak siap menghadapi pemulangan (tanpa dilakukan discharge
planning). Hal ini menunjukkan masih tingginya angka ketidaksiapan pasien
post op Appendictomy menghadapi pemulangan.
Hal tersebut di atas sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Willams (2006) bahwa mayoritas pasien yang menerima informasi
tentang nyeri dan manajemen luka, aktivitas, nutrisi, dan komplikasi pada
umumnya merasakan bahwa tidak mengalami perasaan khawatir yang
membuat mereka akan mengadakan kunjungan tidak rutin ke fasilitas
kesehatan setelah dipulangkan. Sedangkan pasien yang tidak mendapat

3
informasi tentang nyeri dan manajemen luka menurut William (2006)
mengalami kekhawatiran yang memaksa mereka untuk melakukan kunjungan
tidak rutin kepada suatu fasilitas kesehatan setelah dipulangkan. Vaughan dan
Taylor (1988 dalam Torrance 1997) dalam penelitian juga menemukan bahwa
pasien post op appendictomy mengalami defisiensi dalam hal mandi,
berpakaian, diet, buang air besar, serta dalam hal aktifitas seksual setelah
mereka dipulangkan.
Oleh karena itu pasien perlu dipersiapkan untuk menghadapi
pemulangan Orem (1985 dalam Alligood & Tomey, 2006) mengatakan bahwa
intervensi keperawatan diri sebagai akibat dari adanya keterbatasan. Salah
satu bentuk intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah discharge
planning (perencanaan pemulangan pasien) untuk mempromosikan tahap
kemandirian tertinggi kepada pasien, teman-teman, dan keluarga dengan
menyediakan, memandirikan aktivitas perawatan diri ( The Royal Marsden
Hospital 2004).
Discharge planning yang tidak baik dapat menjadi salah satu faktor
yang memperlama proses penyembuhan di rumah (Wilson-Barnett dan
Fordham, 1982 dalam Torrace, 1997. Kesuksesan tindakan discharge
planning menjamin pasien mampu melakukan tindakan perawatan lanjutan
yang aman dan realistis setelah meninggalkan Rumah Sakit (Hou, 2001 dalam
Perry & Potter, 2006).
Mengingat pentingnya dilakukan discharge planning terhadap
pasien post op appendictomy, peneliti merasa tertarik untuk menyelidiki
bagaimana perbedaan kesiapan Post Op Appendictomy menghadapi

4
pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning. Secara
khusus dalam hal ini peneliti ingin meneliti Perbedaan Kesiapan Post Op
Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan
Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan. Mengingat rumah sakit
ini merupakan rumah sakit rujukan sehingga kemungkinan banyak ditemukan
kasus Post Op Appendictomy.

1.2 Identifikasi Penyebab Masalah


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi ketidaksiapan pasien
Post Op Appendictomy dalam menghadapi pemulangan yaitu :
Faktor Internal :
- Pendidikan
- Pengetahuan
- Pengalaman
__-- Perawatan diri yang Kurang

Faktor Eksternal :
- Lingkungan
- Informasi yang kurang
- Sistem Keperawatan

Masih tingginya angka kejadian


ketidaksiapan pasien post op
appendictomy menghadapi
pemulangan

Gambar 1.1 Identifikasi Masalah

1.2.1

Faktor Internal :
a. Pendidikan

5
Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti,
pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan
hidup. Ki Hajar Dewantara dalam Hasbullah (2005). Sehinga semakin
tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula tingkat Kesiapan Pasien
menghadapi Pemulangan.
b. Pengetahuan.
Pendapat dari WHO (1992) bahwa pengetahuan diperoleh dari
pengalaman, selain itu juga dari guru, orang tua, buku, dan media
masa.

Sedangkan

menurut

Notoatmodjo

(2003),

pengetahuan

merupakan hasil dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan


terhadap suatu obyek tertentu. Tingkat pengatahuan yang luas akan
mempengaruhi Kesiapan Pasien menghadapi Pemulangan.
c. Pengalaman
Pengalaman adalah kejadian yang pernah dialami (dijalani, dirasai,
ditanggung dsb) baik yang sudah lama atau baru saja terjadi. Jadi jika
ada pasien berpengalaman riwayat post operasi, maka pasien akan
lebih siap menghadapi pemulangan.
d. Perawatan Diri yang kurang
Orem (2001, dalam Alligood dan Tomey, 2006) mengatakan bahwa
defisiensi perawatan diri merupakan bagian penting dalam perawatan
secara umum di mana segala perencanaan keperawatan diberikan pada
saat perawatan dibutuhkan. Keperawatan dibutuhkan seseorang pada
saat tidak mampu atau terbatas untuk melakukan self carenya secara
terus menerus.
1.2.2 Faktor Eksternal :
a. Lingkungan

6
Lingkungan adalah sesuatu yang berada di luar atau sekitar mahluk
hidup.

Lingkungan

yang

kurang

nyaman

akan

menyebabkan

ketidaksiapan pasien post op appendectomy menghadapi pemulangan.


b. Informasi yang kurang.
Dengan kurangnya informasi tentang penting personal hygine,
keluarga pasien dan pasien mengangap remeh kebersihan, sehingga
menyebabkan luka infeksi. Sehingga menyebabkan ketidaksiapan pasien
post op appendictomy menghadapi pemulangan.
c. Sistem Keperawatan
Orem (1985 dalam Basford, 2006)

menjelaskan

system

keperawatan sebagai Serangkaian tindakan kontinu yang dihasilkan


ketika perawat menghubungkan satu sejumlah cara membantu pasien
dengan tindakannya sendiri atau tindakan seseorang dibawah perawatan
yang di arahkan untuk memenuhi tuntutan perawatan diri terpeutik orang
tersebut atau untuk mengatur perawatan diri mereka
1.3 Batasan Masalah
Apakah ada Perbedaan Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy
menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning
di RSUD Syamrabu Bangkalan.

1.4 Rumusan Masalah


Apakah ada Perbedaan Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy
menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge
Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan?
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum

7
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Perbedaan Kesiapan
Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan
sesudah dilakukan Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan.
1.5.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini memiliki tujuan khusus untuk :
a. Mengidentifikasi Tingkat Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy
menghadapi pemulangan sebelum dilakukan Discharge Planning di RSUD
Syamrabu Bangkalan.
b. Mengidentifikasi Tingkat kesiapan Pasien Post Op Appendictomy
menghadapi pemulangan sesudah dilakukan Discharge Planning di RSUD
Syamrabu Bangkalan.
c. Untuk menganalisis tingkat Perbedaan Kesiapan Pasien Post Op
Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan
Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan.

1.6 Manfaat Penelitian


1.6.1 Bagi Responden
Dapat membantu pasien terutama pasien post op appendictomy
dalam

menghadapi

pemulangan.

Sehingga

mempercepat

proses

penyembuhan luka post op appendictomy.


1.6.2 Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dipergunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk RSUD Syamrabu dalam meningkatkan asuhan
keperawatan khususnya pemberian discharge Planning yang dilakukan
perawat terhadap kesiapan pasien post op appendictomy menghadapi pasien
pulang.
1.6.3 Bagi Institusi Pendidikan

8
Hasil penelitian ini diharapkan akan digunakan oleh institusi
pendidikan dalam pemberian materi Perbedaan Kesiapan Post Op
Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan
Discharge Planning.
1.6.4 Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai masukan untuk meningkatkan pemahaman tentang
Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum
dan sesudah dilakukan Discharge Planning di RSUD Syarifah Ambami
Rato Ebu Bangkalan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Teori
2.1.1 Konsep Dasar Appendicytis Akut
Pada pembahasan konsep dasar appendicytis akut ini akan
membahas tentang anatomi appendicytis, etiologi appendicytis, insiden
appendicytis, patofisiologi terjadinya appendicytis , tanda dan gejala
appendicytis, komplikasi appendicytis, penatalaksanaan appendicytis akut,
apendictomy, perawatan Post Op Appendictomy
a. Anatomi Appendic
Appendic vermiformis merupakan sisa apeks sekum yang pada
manusia fungsinya tidak diketahui. Appendic merupakan tabung yang
panjang dan sempit (sekitar 6 sampai 9). Pada Appendic ini terdapat
arteria apendikularis yang merupakan end-artery (Price, 2005).

9
Appendic panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), melekat pada sekum
tepat dibawah katub ileosekal (Smeltzer, 2001). Pada posisinya yang
normal, Appendic terletak pada dinding abdomen dibawah titik Mc.
Burney. Titik Mc. Burney dicari dengan menarik garis dari spina iliaka
superior kanan ke umbilicus. Titik tengah garis ini merupakan pangkal
apendiks (Price, 2005)
b. Etiologi
Penyebab utama apendiks adalah obstruksi yang dapat disebabkan
oleh hyperplasia dari folikel limfoid merupakaan penyebab terbanyak,
selain itu penyebab apendisitis yang lain yaitu:
Striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya (Mansjoer,
2005).
1) Keganasan (karsinoma atau karsinoid) (Sjamsuhidayat, 2005)
2) Cacing
Cacing arkaris dapat pula menyebabkan sumbatan lumen apendisk
sehingga

terjadi

radang

karena

infeksi

dari

cacing

askaris

(Sjamsuhidayat, 2005).
3) Bakteri.
Bakteri yang dapat menimbulkn terjadinya apendisitis adalah E.Coli
dan Streptococcus, bakteri ini sering di temukan dalam apendisk yang
meradang. Bakteri ini terdapat dalam usus yang normal tetapi karena
ada di dalam apendisk bakteri ini dapat menyebabkan kebocoran yang
akan menyebabkan perforasi (Schwartz, 1999).
4) Makanan rendah serat.
Kebiasaan makan makanan yang rendah serat dan pengaruh konstipasi
dapat menyebabkan apendisitis dimana serat dapat di temukan dalam
biji-bijian, sayur-sayuran, kacang merah dan buah-buahan yang kurang

10
di konsumsidalam menu makanan sehari-hari. Makanan rendah serat
dapat menyebabkan konstipasi yang akan menaikkan tekanan
instrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendisk dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Makanan rendah
serat menghasilkan feses yang keras dan kering yang di sebut fekolit
(Ganong, 2002).
5) Parasit.
Parasit golongan Entamoeba Hystolitica mengorosi mukosa apendiks
kemudian menyebabkam peradangan apendiks (Sjasuhidayat, 2005).
6) Virus.
Cytomegalovirus juga berhubungan dengan apendisitis telah di
laporkan pada pasien AIDS (Schwartz, 1999).
c. Insiden
Apendisitis merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering
terjadi. Walapun apendisitis dapat terjadi pada semua usia, namun
paling sering pada orang dewasa muda (Price, 2005). Insiden
apendisitis akut de Negara maju adalah tinggi dari pada di Negara
berkembang, namun dalam tiga dawarsa trakhir menurun secara
bermakna. Kejadian ini diduga disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari suatu penurunan
dari 100 kasur per 100.000populasi menjadi 52 kasur per 100.000
populasi dari tahun 1975-1991 (Schwartz, 1999). Insiden pada laki-laki
dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30
tahuninsiden laki-laki lebih tinggi. Apendisitis dapat ditemukan pada
semua umur, hanya pada anak kurang dari satu jarang dilaporkan,
mungkin karena tidak diduga . insiden tertinggi pada umur 20-30 tahun,
setelah itu menurun (Sjansuhidayat, 2005).

11

d. Patofisiologi
Apendisitis biasanya

disebabkan oleh penyumbatan lumen

apendiks oleh hiperplasia folikel infloid, fekalit, benda asing, striktur


karena fibrosisakibat peradangan sebelimnya atau neoplasma. Obstruksi
menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,
makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan

intralumen.

Tekanan

yang

meningkat

tersebut

akan

menghambataliran life yang mengakibatkanedema, diapedesisbakteri


dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang
di tandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut,
tekanan akan terus meningkat sehingga akan menyebabkan obstruksi
vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul luas mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulakn nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran ateri terganggu akan
terjadi infrak dinding apendiks yang diikuti dengan ganggrene, stadium
ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah akan terjadi apendisitis perforasi bila proses semua
diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah apendiks hingga timbul satu massa local yang disebut
infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi
abses atau menghilang (Mansjouer, 2000).

12

e. Tanda dan gejala apendisitis


Gejala awal berupa nyeri abdominal jenis visceral yang disebabkan
oleh peningkatan tekanan didalam lumen apendiks biasanya menetap
dan kontinyu, tetapi tidak parah dan sering pasien menganggap masalah
ini sebagai salah cerna (Marllrath, 1994). Nyeri ini terpusat dalam
umbilikus, tidak menyebar dan tidak bertambah berat bila pasien
melakukan pegantian posisi makan, kencing, atau buang air besar.sifat
nyeri adalah konstan. Muntah selalu terjadi pada pasien usia muda
sedangkan pada pasien usia dewasa biasanya tidak ada keluhan ini.
Pada umumnya apendisitis akan melaporkan adanya mual dan
hilangnya nafsu makan (Norton et al, 2000). Anoreksia begitu sering
timbul sehingga ada rasa lapar hendaknya menimbulakan kecurigaan
besar pada diagnosis pada apendisitis akut. Mual dan munta terjadi pada
50 sampai 60 persen kasus. Urutan gejala khas (lokasi nyeri
perlumbilikus disertai dengan mual dan muntah dengan pengalihan
nyeri secara berangsur pada kuandran kanan bawah) terjadi hanya pada
50 sampai 60 persen pasien. Tanda-tanda yang terjadi suhu badan
biasanya normal atau ringan 37,2 C sampai 38C (99C sampai
100,5F), namun suhu badan diatas 38,3C (101F) hendaknya selalu
memberi kesan timbulnya perforasi. Pemeriksaan laboratorium tidak
menegakkan diagnosis karena yang terakhir didasarkan pada alas an
klinis. Meskipun leukositosis sedang dengan jumlah sel 10.000 sampai
18.000 permikoliter sering didapat (seiring dengan pergeseran kearah

13
sel

imatur),

tidak

terdapatnya

leukositosis

tidak

meniadakan

kemungkinan apendisitis akut (Isselbaacher, 2000). Rovsings sign


positif bila kita berikan tekanan pada kuandran bawah kiri abdomen
akan memberikan nyeri pada sisi kanan dari perut (Sjamsuhidayat,
2005).
f.

Pemeriksaan
Temuan fisik klasik adalah adanya nyeri tekan setempat
disekeliling titik Mc. Burney. Pemeriksaan laboratorium minimal
(hitung darah lengkap dengan hitung jenis, analisis unire) atau
pemeriksan radiografis (radiogram dada dan atau abdomen) diperlukan
untuk mendukung menyingkirkan diagnosis apendisitis akut. Pada
pasien pada riwayat atau temuan fisik yang atypical dan dan pada
pasien dengan penyulit penyakit sitemik, pemeriksaan diagnostik lebih
lanjut seperti sonografi abdomen, enema barium atau tomografi
kompter (CT) abdomen dapat membuktikan adanya peradangan atu
abses.

g. Penatalaksanaan Apendisitis Akut


Bila dicurigai apendisitis, hindari pemakaian katartik atau enema
dan antibiotik sebaiknya jangan diberikan bila diagnosis masih
diragukan karena antibiotik akan menutupi tanda-tanda berkembangnya
perforasi.

Pengobatannya

adalah

operasi

sedini

mungkin

dan

apendektomi segera setelah pasien dipersiapkan (Isselbaacher, 2000).


Hidrasi yang adekuat harus dipastikan, abnormalitas elektrolit harus
dikoreksi serta data tentang kondisi jantung, paru-paru dan ginjal

14
sebelumnya

harus

dipastikan

(Schwartz,

1999).

Apendektomi

(pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan segera mungkin


untuk menurunkan resiko perforasi. Apendektomi dapat dilakukan
dibawah anestesi naming atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau
dengan laparoskopik, yang merupakan metode terbaru yang sangat
efektif (Smeltzer, 2001). Ada tiga alsan untuk mengambil apendiks
meskipun terlihat normal, pertama adalah adanya skar (bekas luka
operasi) dan riwayat eksplorasi untuk diagnosis dapat digunakan
sebagai petunjuk kepada pemberi pelayanan dimasa datang bawah
apendiks sudah diambil, keedua jika nyeri timbul lagi, maka
pengambilan apendiksw mengalami kesalahan diagnosis dan yang
ketiga yaitu meskipun apendiks terlihat normal, perubahan infeksi dini
intramural atau serosal (dapat disebut periapendisitis telah terbukti
terjadi 25%-50% pada evaluasi mikroskopik atau terjadi pembentukan
sitokin infeksi) (Norton et al, 2000).
h. Appendictomy
Pembedahan untuk mengambil apendiks disebut apendicktomy, ini
dilakukan jika peradangan tanpa adanya rupture (Reeves, 1999).
Apendektomi dilakukan segera mungkinuntuk mennurunkan resiko
perforasi (Smeltzer, 2001). Indikasi apendektomi antara lain apendisitis
akut, apendisitis sub akut, massa periapendikuler, apendisitis perforata,
apendisitis kronis (Wibowo, 1993).

15
Ada beberapa persiapan yang harus dilakukan sebelum dilakukan
pembedahan antara lain (Wibowo, 1993).
a. Pasien harus dipuasakan selama 4 atau 5 jam sebelum operasi.
b. Pemberian antibiotika (spectrum luas). Jika ada peritonitis, perlu
kateter.
c. Pemberian premedikasi anestesi.
d. Mempersiapkan lapangan pembedahan dengan membersihkan
(mencuci) dan jika perlu dicukur.
e. Ada beberapa cara apendektomi yang secara teknik operatif
mempnyai keuntungan dan kerugian, namun teknik yang sering
digunakan adalah inisi pada Mc Burney melalui sreat ototoblige
internal, kemudian memisahkan serat otot abdominis trasversa
masuk kedalam abdomen melalui peritoneum parietal. Ketika
apendiks dapat diidentifikasi maka apendiks dipotong mendekati
dasar dan sisa apendiks dimasukkan kedalam lumen sekum ( Norton
etal,2000).Teknik

ini

paling

sering

digunakan

karena

keuntungannyatidak terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi


herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh dan masa
istirahat pasca bedah yang lebih pendek karena penyembuhan lebih
cepat. Kerugiannya adalah lapengan operasi terbatas, sulit dperluas
dan waktu operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas
dengan memotongotot secara tajam (Mansjoer, 2000).
i. Perawatan Pasca Appendictomy.
Pada pasca operasi, pasien ditempatkan pada posisi semi fowler,
posisi ini mengurangi tegangan pada insisi dan organ abdomen yang
membantu mengurangi nyeri. Opioid, biasanya sulfat morfin, diberikan

16
untuk menghilangkan nyeri. Cairan per oral biasanya diberikan bila
mereka dapat mentoleransi, pasien yang mengalami dehidrasi sebelum
penbedahan diberikan cairan secara intravena. Makanan dapat diberikan
secara bertahap dari mulai bentuk cair,saring, lunak, dan biasa. Apabila
apendektomi tidak mengalami komplikasi, pasien dapat dipulangkan
pada hari itu juga bila suhu dalam batas normal dan area operasi terasa
nyaman (Smeltzer, 2000). Pada kasus yang tidak ada komplikasi, pasien
dapat minum cairan dan kemudian makan makanan yang padat
secepatnya jika pasien merasa bisa makan dan rencana pemulangan dapat
dilakukan dalam 24 sampai 48 jam (Norton et al, 2000). Intervensi
keperawatan setelah operasi, pasien harus dimonitor adanya distensi
abdomen dan kembalinya bising usus.

2.1.2 Konsep Dasar Discharge Planning


Kozier (2004) mendefinisikan disharge planning sebagai proses
mempersiapkan pasien untuk meninggalkan suatu unit pelayanan kepada
unit yang lain di dalam atau diluar suatu agen pelayanan kesehatan umum.
Sedangkan Jackson (1994, dalam The Royal Marsden Hospital, 2004)
menyatakan bahwa discharge planning merupakan proses mendifisikasi
kebutuhan pasien dan perencanaannya dituliskan untuk memfasilitasi
keberlanjutan suatu lingkungan ke lingkungan lain. Rondhianto (2008)
mendefinisikan discharge planning sebagai merencanakan kepulangan
pasien dan memberkan informasi kepada klien dan keluarganya tentang
hal hal yang perlu dihindari dan dilakukan sehubungan dengan kondisi
penyakit pasca bedah.

17
Discharge planning sebaiknya dilakukan sejak pasien diterima
disatu agen pelayanan kesehatan, terkhusus dirumah sakit dimana tentang
waktu pasien untuk menginap semakin diperpendek. Discharge planning
yang efektif seharusnya mencakup pengkajian berkelanjutan untuk
mendapatkan informasi yang komprehensif tentang kebutuhan pasien yang
berubah-ubah, peryataan diagnose keperawatan, perencanaan untuk
memastikan kebutuhan pasien sesuai dengan apa yang dilakukan oleh
pemberi layanan kesehatan (Kozier, 2004).
a. Pemberi Layanan Discharge planning
Proses discharge planning harus dilakukan secara komprehensif
dan melibatkan multidisplin, mencakup semua pemberi layanan
kesehatan yang terlibat dalam memberi layanan kesehatan kepada
pasien (Perry & Potter, 2006). Discharge planning tidak hanya
melibatkan pasien tapi juga keluarga, temen-temen, serta pemberi
layanan kesehatan dengan catatan bahwa pelayanan kesehatan dan
social bekerjasama (Nixon et al, 1998 dalam The Royal Marsden
Hospital, 2004). Seseorang yang merencanakan pemulangan atau
koodinator asuhan berkelanjutan (continuning care coordinator) adalah
staf rumah sakit yang berfungsi sebagai konsultan untuk proses
discharge planning bersama dengan fasilitas kesehatan, menyediakan
pendidikan kesehatan, dan memotivasi staf rumah sakit untuk
merencanakan

dan

mengimplementasikan

discharge

planning

(Discharge Planning association, 2008).


b. Penerima Discharge planning
Semua pasien yang di hospitalisasi memerlukan discharge
planning (Discharge Planning association, 2008).
c. Tujuan Discharge Planning

18
Discharge planning bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan
spesifik untuk mempertahankan atau mencapai fungsi maksimal setelah
pulang (Capernito,1999). Juga bertujuan memberikan pelayanan terbaik
untuk menjamin keberlanjutan asuhan berkualitas antara rumah sakit
dan komunitas dengan memfasilitasi komunikasi yang efektif
(Discharge planning association, 2008).
The Royal Marsden Hospital (2004) menyatakan bahwa tujuan
dilakukannya discharge planning antara lain untuk mempersiapkan
pasien dan keluarga secara fisik dan psikologis untuk di transfer ke
rumah atau ke suatu lingkungan yang dapat disetujui, menyediakan
informasi tertulis dan verbal kepada pasien dan pelayanan kesehatan
untuk mempertemukan kebutuhan mereka dalam proses pemulangan,
memfasilitasi proses perpindahan yang nyanan dengan mestinya semua
fasilitas pelayanan kasehatan yang diperlukan telah dipersiapkan untuk
menerima pasien, mempromosikan tahap kemandirian yang tertinggi
kepada pasien, teman-teman, dan keluarga dengan menyediakan,
memandirikan aktifitas perawatan diri.
d. Prinsip Discharge Planning
Ketika melakukan discharge planning dari suatu lingkungan ke
lingkungan

yang

lain,

ada

beberapa

prinsip

yang

harus

diikuti/diperhatikan. Berikut ini adalah beberapa prinsip yang dilakukan


oleh The Royal Marsden Hespital (2004), yaitu:

19
1) Discharge Planning harus merupakan proses multidisiplin, dimana
sumber-sumber untuk mempertemukan kebutuhan pasien dengan
pelayanan kesehatan ditempatkan pada satu tempat.
2) Prosedur discharge planning harus dilakukan secara konsisten
dengan kualitas tinggi pada semua pasien. Kebutuhan pemberi
asuhan (care giver) juga harus dikaji. Pasien harus dipulangkan
kepada suatu lingkungan yang aman dan akurat.
3) Keberlanjutan perawatan antar lingkungan harus merupakan hal
yang terutama.
4) Informasi tentang penyusunan pemulangan harus diinformasikan
antar tim kesehatan dengan pasien/care giver, dan kemampuan
terakhir disediakan dalam bentuk tertulis tentang perawatan
berkelanjutan.
5) Kebutuhan atas

kepercayaan

dan

budaya

pasien

harus

dipertimbangkan ketika menyusun discharge planning.


e. Proses Pelaksanaan Discharge Planning
Perry dan Potter (2005) menyusun format discharge planning
sebagai berikut:
1. Pengkajian
a) Sejak pasien masuk, kaji kebutuhan pemulangan pasien dengan
menggunakan Riwayat keperawatan, berdiskusi dengan pasien care
giver, fokus pada pengkajian berkelanjutan terhadap kesehatan
fisik pasien, status fungsional, system pendukung social,sumber
finasial , nilai kesehatan, latar belakang budaya dan etnis, tingkat
pendidikan, serta rintangan terhadap perawatan.

20
b) Kaji kebutuhan pasien dan keluarga terhadap pendidikan kesehatan
berhubung dengan bagaimana menciptakan terapi di rumah,
pengunaan alat-alat medis di rumah, larangan sebagai akibat
ganguan kesehatan, dan kemungkinan terjadinya komplikasi. Kaji
cara pembelajaran yang lebih diminati pasien (seperti membaca,
menonton video, mendengarkan petunjuk-petunjuk). Jika materi
pendidikan

yang

berbeda-beda

dapat

mengefektifkan

cara

pembelajaran yang berbeda pada pasien.


c) Kaji bersama-sama dengan pasien dan keluarga terdapat setiap
faktor Lingkungan di dalam rumah yang mungkin menghalangi
dalam perawatan diri seperti dalam ukuran ruangan, kebersihan
jalan menuju pintu, lebar jalan, fasilitas kamar mandi, ketersediaan
alat-alat yang berguna (seorang perawat perawatan di rumah dapat
di rujuk untuk membantu dalam pengkajian).
d) Berkolaborasi dengan dokter dan staf pada profesi lain (seperti
dokter pemberi terapi) dalam mengkaji kebutuhan untuk rujukan
kepada pelayanan perawatan rumah yang terlatih atau fasilitas
perawatan yang lebih luas.
e) Kaji persepsi pasien dan keluarga terhadap keberlanjutan perawatan
kesehatan di luar rumah sakit. Mencakup pengkajian terhadap
kemampuan

keluarga

untuk mengamati

care giver dalam

memberikan perawatan kepada pasien. Dalam hal ini sebelum


mengambil keputusan, mungkin perlu berbicara secara terpisah
dengan pasien dan keluarga untuk mengetahui kekhawatiran yang
sebenarnya atau keraguan diantara keduanya.

21
f) Kaji penerimaan pasien terhadap masalah kesehatan berhubungan
dengan pembatasan.
g) Konsultasikan tim pemberi layanan kesehatan yang lain tetang
kebutuhan setelah pemulangan (seperti ahli gizi, pekerja sosial,
perawat klinik spesialis, perawat pemberi perawatan kesehatan di
rumah) tentukan kebutuhan rujukan pada waktu yang berbeda.
2. Diagnosa keperawatan
Penentuan diagnosa keperawatan secara khusus bersifat individual
berdasarkan

kondisi

atau

kebutuhan

pasien.

Adapun

diagnosa

keperawatan yang dapat di tegakkan antara lain :


1). Kecemasan
Hal ini dapat menginterupsi proses keluarga.

2). Tekanan terhadap care giver.


Hal yang menyebabkannya adalah ketakutan.
3).Kurang pengetahuan terhadap pembatasan perawatan di rumah.
Pasien mengalami defisit perawatan dari dalam hal makan, toileting
berpakain, mandi dan kebersihan.
4). Stres sindrom akibat perpindahan.
Hal ini berhubungan dengan upaya meningkatkan pertahan/pemiharaan
di rumah.
3. Perencanaan
Hasil yang diharapkan jika seluruh prosedur telah lengkap dilakukan
adalah sebagai berikut :

22
a) Pasien atau keluarga sebagai care giver mampu menjelaskan
bagaimana keberlangsungan pelayanan kesehatan di rumah
(fasilitas lain), penatalaksanaan atau pengobatan apa yang
dibutuhkan, dan kapan mencari pengobatan akibat masalah yang di
timbul.
b) Pasien mampu mendemonstrasikan aktivitas perawatan diri (atau
anggota keluarga mampu melakukan aturan perawatan ).
c) Rintangan kepada pergerakan pasien dan ambulasi telah diubah
dalam setting rumah. Hal-hal yang dapat membahanyakan pasien
akibat kondisi kesehatannya telah diubah.

4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan

dapat

dibedakan

dalam

dua

bagian,

yaitu

penatalaksanaan yang dilakukan sebelum hari pemulangan, dan


penatalaksanaan yang dilakukan pada hari pemulangan.
1) Persiapan sebelum hari pemulangan pasien
a. Menganjurkan cara untuk merubah keadaan rumah demi memenuhi
kebutuhan pasien.
b. Mempersiapkan pasien dan keluarga dengan memberikan informasi
tentang sumber-sumber pelayanan kesehatan komunitas. Rujukan
dapat dilakukan sekalipun pasien masih di rumah.
c. Setelah menentukan segala hambatan untuk belajar serta kemauan
untuk belajar, mengadakan sesi pengajaran dengan pasien dan

23
keluarga secepat mungkin selama dirawat di rumah sakit (seperti
tanda dan gejala terjadinya komplikasi, kepatuhan terhadap
pengobatan, kegunaan alat-alat medis, perawat lanjutan, diet,
latihan

pembatasan

yang

disebabkan

oleh

penyakit

atau

pembedahan).
d. Komunikasikan respon pasien dan keluarga terhadap penyuluhan
dan usulan perencanaan pulang kepada anggota tim kesehatan lain
yang terlibat dalam perawatan pasien.
2) Penatalaksanaan pada hari pemulangan
Jika beberapa aktifitas berikut ini dapat dilakukan sedelum hari
pemulangan,perencanaan yang dilakukan akan lebih efektif. Adapun
aktifitas yang dilakukan pada hari pemulangan antara lain :
a. Biarkan pasien dan keluarga bertanya dan diskusikan isu-isu yang
berhubungan dengan perawat di rumah. Kesempatan terakhir untuk
mendemonstrasikan kemampuan juga bermanfaat.
b. Periksa instruksi pemulangan dokter, masukkan ke dalam terapi,
atau kebutuhan akan alat-alat medis yang khusus. (Instruksi harus
ditulis sedini mungkin) Persiapkan kebutihan dalam perjalanan dan
sediakan alat-alat yang dibutuhkan sebelum pasien sampai di
rumah (seperti tempat tidur rumah sakit, oksigen, feeding pump).
c. Tentukan apakah pasien dan keluarga telah dipersiapkan dalam
kebutuhan transportasi menuju ke rumah. Tawarkan bantuan untuk
memakaikan baju pasien dan mengepak semua barang milik pasien.
Jaga privasi pasien sesuai kebutuhan. Periksa seluruh ruang dan
laci untuk memastikan barang- barang pasien.

24
d. Dapatkan daftar pertinggal barang-barang berharga yang telah
ditandatangan oleh pasien, dan instruksikan penjaga atau
administrator yang tersedia untuk menyampaikan barang-barang
berharga kepada pasien.
e. Persiapkan pasien dengan prescription atau resep pengobatan
pasien sesuai dengan yang diinstuksikan oleh dokter. Lakukan
pemeriksaan terakhir untuk kebutuhan informasi atau fasilitas
pengobatan yang aman untuk administrasi diri.
f. Berikan informasi tentang petunjuk untuk janji follow up ke kantor
dokter. Hubungi kantor agen bisnis untuk menentukan apakah
pasien

membutuhkan

daftar

pengeluaran

untuk

kebutuhan

pembayaran. Anjurkan pasien dan keluarga mengujungi kantornya.


g. Dapatkan kotak untuk memindahkan barang-barang pasien. Kursi
roda untuk pasien yang tindak mampu ke mobil ambulans. Pasien
yang pulang dengan menggunakan ambulans.
h. Bantuan pasien menuju kursi roda digunakan sikap tubuh dan
teknik pemindahan yang sopan. Dampingi pasien memasuki unit
dimana transportasi yang dibutuhkan sedang menunggu. Kunci
roda dari kursi roda. Bantu pasien pindah ke mobil pridadi atau
kendaraan untuk trasportasi. Bantu keluarga menempatkan barangbarang pribadi pasien ke dalam kendaraan. Kembali ke bagian, dan
laporan waktu pemulangan kepada departemen pendaftaran /
penerimaan. Ingatkan bagian kebersihan untuk membersihkan
ruangan pasien.
5. Evaluasi

25
Minta pasien dan anggota kelurga menjelaskan tentang penyakit,
pengobatan yang dibutuhkan, tanda-tanda fisik atau gejala yang harus
dilaporkan

oleh

dokter

Minta

pasien

atau

anggota

keluarga

mendemonstrasikan setiap pengobatan yang akan dilanjutkan di rumah.


Perawat yang melakukan perawatan rumah memperhatikan keadaan
rumah, mengidentifikasi rintangan yang dapat membahayakan bagi
pasien, dan menganjurkan perbaikan.

f.

Unsur-Unsur Discharge Planning


Discharge Planning Association (2008) mengatakan bahwa unsur-unsur
yang harus ada pada sebuah formulir perencanaan pemulangan antara
lain:
1) Pengobatan di rumah, mencakup resep baru, pengobatan yang sangat
di butuhkan, dan pengobatan yang harus di hentikan.
2) Daftar nama obat harus mencakup nama, dosis, frekuensi, dan efek
samping yang umum terjadi.
3) Kebutuhan akan hasil test laboratorium yang dianjurkan, dan
pemeriksaan lain, dengan petunjuk bagaimana memperoleh atau
bilamana waktu akan diadakan.
4) Bagaimana melakukan pilihan hidup dan tentang perubahan aktifitas,
latihan, diet makanan yang dianjurkan dan pembatasannya.
5) Petunjuk perawatan diri (perawatan luka, perawatan colostomy,
ketentuan insulin, dan lain-lain).
6) Kapan dan bagaimana perawatan atau pengobatan selanjutnya yang
dihadapi setelah dipulangkan. Nama pemberi layanan, waktu,
tanggal, dan lokasi setiap janji untuk control.

26
7) Apa yang harus dilakukan dalam keadaan darurat dan nomor telepon
yang dihubungi untuk melakukan peninjauan ulang petunjuk
pemulangan.
8) Bagaimana pengaturan perawatan lanjutan (jadwal pelayanan
dirumah, perawat yang menjenguk, penolong, pembantu jalan walker,
kanul, oksigen, dan lain-lain) beserta nama dan nomor telepon setiap
institusi yang bertanggung jawab untuk menyediakan pelayanan.
Swearingen (2000) menyatakan bahwa informasi yang harus diketahui
oleh pasien post op appendictomy dan orang terdekat sebelum
pemulangan antara lain :
1) Obat-obatan, meliputi nama obat, tujuan, dosis, jadwal, tindakan
pencegahan, interaksi obat/obat dan makanan/obat, dan potensial efek
samping.
2) Pentingnya penatalaksaan diet untuk meningkatkan pemeliharaan
nutrisi dan cairan. Diet yang dianjurkan antara lain : diet normal yang
mengikuti semua empat kelompok makanan (daging, telur, dan ikan;
buah dan sayuran: susu dan keju; serial dan roti) dan minum cairan
yang adekuat (setidaknya 2-3 L/hari). Ingatkan pasien untuk
menghindarkan kacang-kacangan, buah beri dan makan dengan biji.
3) Perawatan insisi, penggantian balutan, dan izin untuk mandi atau
mandi pancuran jika jahitan sudah diangkat.
4) Pembatasan aktivitas pasca bedah sesuai petunjuk : biasanya
mengangkat benda yang berat( > 4 kg), mendorong, menarik, dan
mengedan mengontraidikasikan kira-kira 6 minggu untuk mencegah
terjadinya herniasi insisi. Antisipasi kembalali dalam 2 minggu untuk
pekerja kantor, dan 6 minggu untuk pekerja buruh. Waspadalah
terhadap dan istirahat setelah gejala kelelahan, beristirahatlah

27
semaksimal mungkin, meningkatkan aktivitas secara terhadap sesuai
toleransi.
5) Pentingnya melaporkan tanda dan gejala terjadinnya infeksi luka :
kemerahan menetap, dan bengkak, drainaser perulen, hangat lokal,
bau busuk, dan nyeri.
6) Pentingnya perawatan lanjutan dengan dokter atau perawat, pastikan
jadwal dan waktu perjanjian berikutnya.
g. Cara Mengukur Discharge Planning
Sebuah discharge planning dikatakan baik apabila pasien telah
dipersiapkan untuk pulang,

pasien telah mendapatkan penjelasan-

penjelasan yang diperlukan, serta-serta instruksi-instruksi yang harus


dilakukan, serta apabila pasien diantarkan pulang sampai ke mobil atau
alat trasportasi lainnya (The Royal Marsden Hospital, 2004).
Kesuksesan discharge planning menjamin pasien melakukan tindakan
perawatan lanjutan yang aman dan realistis setelah meninggalkan
rumah sakit (Hou, 2001 dalam Perry & Potter, 2006). Hal ini dapat
dilihat dari kesiapan pasien untuk menghadapi pemulangan, yang
diukur dengan kuesioner.
h. Kesiapan Pasien Menghadapi Pemulangan
Menurut Martisusilo (2007), ada dua komponen dari kesiapan yaitu
kemampuan dan keinginan. Kemampuan adalah pengetahuan, dan
keterampilan

yang

dimiliki

seorang

ataupun

kelompok

untuk

melakukan kegiatan atau tugas tertentu. Sedangkan keinginan berkaitan


dengan keyakinan, komitmen, dan motivasi untuk menyelesaikan tugas
atau kegiatan tertentu. Kesiapan merupakan kombinasi dari kemampuan
dan keinginan yang berbeda yang ditunjukkan seseorang pada tiap-tiap

28
yang diberikan. Berdasarkan hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kesiapan pasien menghadapi pemulangan adalah kemampuan yang
mencakup pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan serta keinginan
yang mencakup keyakinan, komitmen, dan motivasi pasien pasca bedah
akut abdomen untuk melkukan aktifitas atau kegiatan yang diajarkan
serta dianjurkan oleh perawat dan klinisi lain.Pasien siap menghadapi
pemulangan apabila pesien mengetahui pengobatan, tanda-tanda
bahaya, aktifitas yang dilakukan, serta perawatan lanjutan dirumah (The
Royal Marsden Hospital, 2004).
i.

Kriteria pemulangan
Carpenito (1999) mengatakan bahwa sebelum pulang pasien pasca
bedah dan keluarga akan mampu menggambarkan pembatasan aktifitas
dirumah, menggambarkan penatalaksaan luka dan nyeri dirumah,
mendiskusikan kebutuha cairan dan nutrisi untuk pemulihan luka,
menyebutkan tanda dan gejala yang harus dilakukan pada tenaga
kesehatan, serta menggambarkan perawatan lanjutan yang diperlukan.
Sedangkan Perry dan Potter (2005) mengatakan bahwa pada saat pulang,
pasien harus mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan sumberyang di
butuhkan untuk memenuhiperawatan dirinya.
Kesuksesan tindakan discharge planning

menjamin pasien

melakukan tindakan perawatan lanjutan yang aman dan realitis setelah


meninggalkan rumah sakit (Hou, 2001 dalam prry dan Potter, 2006). Oleh
karena itu pasien siap menghadapi pemulangan apabila pasien mengetahui
pengobatan, tanda-tanda bahaya, aktivitas yang dilakukan, serta perawatan

29
lanjutan dirumah (The Royal Marsden Hospital, 2004). Pasien dan
keluarga memahami diagnosa, antisipasi tingkat fungsi, obat-obatan dan
tindakan pengobatan untuk kepulangan, antisipasi perawatan tindaklanjut,
dan respons yang diambil pada kondisi kedaruratan (Perry & Potter, 2005)
j. Tingkat Kesiapan
Martisusilo

(2007)

membagi

tingkat

kesiapan

berdasarkan

kuantitas keinginan dan kemampuan bervariasi dari sangat tinggi hingga


sangat rendah, antara lain :
1) Tingkat kesiapan 1 (R1)
a) Tidak mampu dan tidak ingin, yaitu tingkatan dan tidak mampu
dan hanya memiliki sedikit komitmen dan motivasi.
b) Tidak mampu dan takut, yaitu tingkatan yidak mampu dan hanya
dan hanya memiliki sedikit keyakinan.
2) Tingkat kesiapan 2 (R2)
a) Tidak mampu tapi berkeinginan, yaitu tingkatan yang memiliki
sedikit kemampuan tetapi termotivasi dan berusaha.
b) Tidak mampu tetapi percaya diri, yaitu tingkatan yang hanya
memiliki sedikit kemampuan tetapi tetap merasa yakin.
3) Tingkat kesiapan 3 (R3)
a) Mampu tetapi ragu, yaitu tingkatan yang memiliki kemampuan
untuk melaksanakan suatu tugas tetapi tidak yakin dan khawatir
untuk melakukannya sendiri.
b) Mampu tetapi tidak ingin, tingkatan yang memiliki kemampuan
untuk melakukan suatu tugas tetapi tidak ingi menggunakan
kemampuan tersebut.
4) Tingkat kesiapan 4 (R4)
a) Mampu dan ingin, yaitu tingkatan yang memiliki kemampuan
untuk melakukan tugas sering kali menyukai tugas tersebut.
b) Mampu dan yakin, yaitu tingkatan yang memiliki kemampuan
untuk melaksanakan tugas dan yakin melakukannya seseorang diri.

30
k. Model Keperawatan Dorothea Orem
Model konseptual Dorothea orem (2001, dalam Alligood &
Tomey, 2006) terdiri dari tiga teori yang saling berhubungan, yaitu teori
perawatan diri yang menggambarkan mengapa dan bagaimana manusia
merawat

dirinya

sendiri,

teori

defisit

perawatan

diri

yang

menggambarkan dan menjelaskan mengapa manusia dapat di Bantu


melalui

keperawatan,

dan

teori

system

keperawatan

yang

menggambarkan dan menjelaskan hubungan yang harus dibawa dan


dipertahankan agar keperawatan dapat dihasilkan.
1) Teori Perawatan Diri
Perawatan diri sendiri adalah prilaku yang diperlukan secara pribaadi
dan berorientasi pada tujuan yang berfokus pada kapasitas individu
yang bersangkutan untuk mengatur dirinya dan lingkungan dengan
cara sedemikian rupa sehingga ia tetap hidup, menikmati kesehatan
dan kesejahteraan, dan berkontribusi dalam perkembangannya
(Orem, 19985 dalam Basford, 2006) perawatan diri sendiri
dibutuhkan oleh setiap manusia, baik laki-laki, perempuan, maupun
anak-anak. Ketika keperawatan diri tidak dapat dipertahankan, akan
terjadi kesakitan atau kematian.
2) Teori Defisit Perawatan Diri
Orem (2001, dalam Alligood dan Tomey, 2006) mengatakan bahwa
defisiensi perawatan diri adalah kesenjangan antara kebutuhan
perawatan diri terapautik individu dan kekuatan mereka sebagai agen
perawat diri yang mana unsure pokok perkembangan kemampuan
keperawatan

diri

tidak

berjajan atau

tidak

adekuat

untuk

mengetahuai atau mempertemukan sebagian atau smua komponen

31
yang ada atau membangun kebutuhan semua perawatan diri
terapaitik. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa jika seseorang
tidak cukup mampu untuk merawat dirinya sendiri berkaitan dengan
kesehatannya ia dikatakan menderita defisit perawatan diri (Orem,
1985 dalam Basford, 2006).Oleh karena itu dibutuhkan perawat
yang bertindak sebagai agen keperawatan yang berhak membangun
hubungan interdersonal untuk melakukan, mencari tahu, dan
membantu pasien untuk mempertemukan kebutuhan perawatan diri
terapautik mereka dan mengulasi perkembangan atau melatih
kemampuan mereka sebagai agen perawatan diri sendiri (Orem,
2001 dalam Alligood & Tomey, 2006).
3) Teori Sistem Keperawatan
Orem (1985 dalam Basford, 2006) menjelaskan system
keperawatan sebagai Serangkaian tindakan kontinu yang dihasilkan
ketika perawat menghubungkan satu sejumlah cara membantu pasien
dengan tindakannya sendiri atau tindakan seseorang dibawah
perawatan yang di arahkan untuk memenuhi tuntutan perawatan diri
terpeutik orang tersebut atau untuk mengatur perawatan diri
merekaSebagai agen keperawatan, perawat menerapkan system
keperawatan yang merupakan tindakan praktek keperawatan yang
dilakukan

secara

berkesinambungan

dan

bertahap

dengan

berkoordinasi dengan pasien untuk mengetahui dan memenuhi


komponen kebutuhan perawatan diri terapeutik pasien mereka dan
melindungi dan meregulasi latihan atau perkembangan kemampuan

32
pasien sebagai agen perawat diri sendiri

(Orem, 2001 dalam

Alligood & Tomey, 2006).


Untuk mengetahui apakah pasien dapat berkontribusi dan
kontribusi pasien yang harus diberikan perawat, Orem (1985, dalam
Basford, 2006) membedakan tiga system keperawatan, yaitu :
1) Suportif-edukatif, yaitu jika pasien mampu melakukan atau
belajar tentang perawatan diri, maka intervensi keperawatan
harus dibatasi, misalnya hanya pada pemberian dukungan dan
pendidikan.
2) Kompensasi parsial, yaitu pasien memiliki beberapa kemampuan
untuk melakukan perawatn diri tetapi tidak mencapai perawatan
diri total jika tidak dibantu, dan perawat harus membantu pasien
dalam melakukan tugas-tugas tersebut.
3) Kompensasi total, yaitu yaitu jika pasien secara total tidak dapat
melakukan perawatan diri sendiri, dan perawat harus melkukan
semua tugas-tugas tersebut untuk pasien, bahkan dalam hal
kebutuhan perawatn diri umum seperti memandikan dan
memberi makan pasien.
2.1.3 Faktor yang mempengaruhi Ketidaksiapan Pasien Post Op Appendictomy
Menghadapi Pemulangan:
a. Faktor Internal:
1) Pendidikan
Pendidikan

adalah

proses

menumbuh

kembangkan

seluruh

kemampuan perilaku melalui pengajaran. Pendidikan merupakan


segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik
individu, keluarga atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa

33
yang

diharapkan

masyarakat

oleh

pelaku

pendidikan

(Notoadmojo,2003), sehingga semakin tinggi pendidikan semakin


mudah dalam menerima informasi sehingga makin banyak pula
pengetahuan yang dimiliki, demikian sebaliknya rendahnya pendidikan
menjadi

faktor

penyebab

ketidaksiapan

pasien

menghadapi

pemulangan.
2) Pengetahuan
Pengetahuan adalah suatu kemampuan seseorang untuk mengingat
fakta,

simbul,

prosedur

tehnik

dan

teori.

Seseorang

yang

pengetahuannya rendah maka akan mempengaruhi pada kesiapan


menghadapi pemulangan pada pasien post op appendictomy.
3) Pengalaman
Pengalaman adalah kejadian yang pernah dialami (dijalani, dirasai,
ditanggung dsb) baik yang sudah lama atau baru saja terjadi. Jadi jika
ada pasien berpengalaman riwayat post operasi, maka pasien akan
lebih siap menghadapi pemulangan.
4) Perawatan Diri yang kurang
Orem (2001, dalam Alligood dan Tomey, 2006) mengatakan bahwa
defisiensi perawatan diri merupakan bagian penting dalam perawatan
secara umum di mana segala perencanaan keperawatan diberikan pada
saat perawatan dibutuhkan. Keperawatan dibutuhkan seseorang pada
saat tidak mampu atau terbatas untuk melakukan self carenya secara
terus menerus.
b. Faktor Eksternal :
1) Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar area, lingkungan
ini berpengaruh terhadap perkembangan dari seseorang atau kelompok

34
(Nursalam,2011). Lingkungan yang kurang nyaman karena tempat
terbuka membuat pasien kurang menjaga kebersihan dirinya.
2) Informasi yang kurang.
Dengan kurangnya informasi tentang penting personal hygine,
keluarga pasien dan pasien mengangap remeh kebersihan, sehingga
menyebabkan luka infeksi.
3) Sistem Keperawatan
Orem (1985 dalam Basford, 2006) menjelaskan system keperawatan
sebagai Serangkaian tindakan kontinu yang dihasilkan ketika perawat
menghubungkan satu sejumlah cara membantu pasien dengan
tindakannya sendiri atau tindakan seseorang dibawah perawatan yang
di arahkan untuk memenuhi tuntutan perawatan diri terpeutik orang
tersebut atau untuk mengatur perawatan diri mereka

2.2 Kerangka Konsep


Input

Pasien Post op
Appendictomy

35

Internal:
- Pendidikan
- Pengetahuan
- Pengalaman
- Perawatan diri yang
Kurang

Proses

Eksternal :
- Lingkungan
- Informasi yang kurang
- Sistem Keperawatan

Intervensi
Keperawatan

Discharge
Planning

Kesiapan Pasien
Menghadapi
Pemulangan

Output

Ket: ------ : Yang tidak diteliti


: Yang diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Perbedaan Kesiapan Pasien Post Op


Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan
sesudah di Discharge Planning.

Pasien post op appendictomy yang menghadapi kesiapan pulang di pengaruhi


oleh dua hal yaitu:
1. Internal
Dalam hal ini yang lebih banyak berperan yaitu diri sendiri dimana
pendidikan, pengetahuan serta pengalaman serta Perawatan diri yang

36
kurang menjadi hal penting pada pasien post op appendictomy
menghadapi kesiapan pulang.
2. Eksternal
Pada faktor eksternal bisa dipengaruhi oleh Lingkungan, Informasi
yang kurang dari perawat serta Sistem Keperawatan dukungan. Maka
dalam hal ini Peneliti meneliti Intervensi Keperawatan salah satunya
yaitu Pemberian Discharge Planning yang diberikan oleh Perawat.
Dengan harapan pemberian Discharge Planning yang baik yang
dilakukan perawat pada pasien post op Appendictomy akan meningkatkan
Kesiapan pulang.
2.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah suatu pernyataan asumsi tentang hubungan antara 2
(dua) atau lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu pernyataan
dalam penelitian. (Nursalam, 2008).
Hipotesis dalam penelitian ini adalah
Ada Perbedaan Kesiapan Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan
sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning di RSUD Syamrabu
Bangkalan

BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

Metode

penelitian

merupakan

cara

bagaimana

penelitian

keperawatan dilakukan meliputi desainnya apa, kerangka kerjanya


bagaimana, bagaimana populasinya, sampelnya berapa,bagaimana teknik
samplingnya, bagaimana identifikasi variabel dan definisi operasionalnya,

37
bagaimana cara pengumpulan data, bagaimana analisa datanya, apa
keterbatasannya dan apa masalah etiknya ( Hidayat, 2003).

3.1 Desain Penelitian


Desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
desain One group pra-post test design yaitu mengungkapkan hubungan sebab
akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok subjek
diobservasi sebelum dilakukan intervensi kemudian diobservasi lagi setelah
di intervensi. Dalam hal ini Discharge Planning.
Subjek
K

Pre
O
Waktu 1

Perlakuan
I
Waktu 2

Post Tes
OI
Waktu 3

Keterangan :
K-A
: Subyek
O
: Observasi Kesiapan Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan
sebelum dilakukan Discharge Planning.
I
: Intervensi (Discharge planning)
OI
: Observasi Kesiapan Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan
sesudah dilakukan Discharge Planning.

3.2 Kerangka Kerja


Populasi :
Populasi :
Selama Bulan Januari 2012 estimasi
Sejumlah 40 pasien post op appendictomy

Sampel 15 orang dengan tehnik non


probability Purposive sampling

Kesiapan Post Op Appendictomy


menghadapi pemulangan sebelum Discharge Planning.

38

Dilakukan Discharge Planning

Kesiapan Post Op Appendictomy menghadapi


pemulangan sesudah Discharge Planning

Pengumpulan Data

Analisa Data uji Wilcoxon

Penyajian Hasil Penelitian

Gambar 3.1 Kerangka Kerja Perbedaan Kesiapan Post Op Appendictomy


menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan
Discharge Planning.

3.3 Identifikasi Variabel


Variabel penelitian adalah karakteristik/kondisi oleh yang peneliti di
manipulasi, dikontrol atau diobservasi dalam suatu penelitian (Narbukodan
Achmadi, 1999). Pada penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu :
a. Variabel Independen adalah variabel yang dalam penelitian nilainya
menentukan variabel lain (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini variable
independennya adalah Discharge Planning.
b. Variabel Dependen adalah variabel yang dalam penelitian nilainya
ditentukan oleh variabel lainnya/variabel yang dipengaruhi oleh variabel

39
independen (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini variable dependennya
adalah Kesiapan Pasien Pulang.
3.4 Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan penjelasan dari semua variabel dan
istilah yang akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga
mempermudah dalam mengartikan penelitian ( Nursalam, 2008)

Variabel
Variabel
Independen
Discharge
Planning

Variebel
Dependen
Kesiapan pasien
Menghadapi

Definisi
Operasional
Semua tindakan
yang dilakukan
oleh perawat
dalam
mempersiapkan
pasien
menghadapi
pemulangan
berkaitan dengan
pengetahuan
pasien tentang halhal yang perlu
diperhatikan dan
dipatuhi pasien
setelah berada
dirumah dimna
tindakan
Discharge
Planning
diberikan mulai
dari pasien MRS
s.d KRS
Kemampuan
pasien post op
appendictomy
untuk

Alat Ukur

Skala

Standar
Operasional
Discharge
Planning

Kuesioner

Ordinal

Hasil Ukur
-

-Kesiapan 1 (R1)
jika skornya
24-44
-Tingkat

40
Pemulangan
sebelum
Discharge
Planning

Variabel
Dependen
Kesiapan pasien
Menghadapi
Pemulangan
sesudah
discharge
planning

menyebutkan
pengetahuan
(tindakan
pengobatan
dirumah, tandatanda bahaya,
perwatan luka,
aktivitas dirumah,
diet dirumah, serta
perawatan
lanjutan) sebelum
pasien
dipulangkan pada
pasien yang
sebelum
Discharge
Planning
Kemampuan
pasien post op
appendictomy
untuk
menyebutkan
pengetahuan
(tindakan
pengobatan
dirumah, tandatanda bahaya,
perwatan luka,
aktivitas dirumah,
diet dirumah, serta
perawatan
lanjutan) sesudah
Discharge
Planning

kesiapan 2 (R2)
jika skornya
45-65
-Tingkat
kesiapan 3 (R3)
jika skornya
65-85
-Tingkat
kesiapan 4 (R4)
jika skornya
86-108.

Kuesioner

Ordinal

-Kesiapan 1
(R1) jika
skornya
24-44
-Tingkat
kesiapan 2 (R2)
jika skornya
45-65
-Tingkat
kesiapan 3 (R3)
jika skornya
66-85
-Tingkat
kesiapan 4 (R4)
jika skornya
86-108.
(Skala menurut
Martisusilo,
2007)

Tabel 3.2 Definisi Operasional Perbedaan Kesiapan Post Op Appendictomy


menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan
Discharge Planning.
3.5 Populasi dan Sampel
3.5.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006).
Populasi dalam penelitian ini adalah estimasi seluruh pasien post op
apendictomy yang menjalani rawat inap di RSUD Syamrabu Bangkalan

41
sejumlah 40 pasien. Pada tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Januari
2011.
3.5.2 Besar Sampel
Besar Sampel dalam penelitian ini dihitung mengunakan rumus
dari Federer sebagai berikut:
N= (T-1)(R-1) 15
Keterangan :
N = Besar sampel
T = Jumlah kelompok
R = Repitasi ( Jumlah Intervensi yang diberikan)
Besar Sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
N = ( T-1) (R-1) 15
= (2-1) (1-1) 15
= 1 15
Karena jumlah sampel 15, maka diambil sampel minimal sebesar 15 orang
pada masing-masing kelompok (kelompok control dalam kelompok
perlakuan)
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode non probability purposive
sampling.
Kriteria sampel:
a. Bersedia menjadi responden penelitian
b. Pasien yang tidak mengalami komplikasi penyakit.
c. Pasien post op apendictomy yang telah menjalani perawatan di ruang
rawat inap lebih dari 2 hari
d. Px yang tidak mengalami her opname
e. Pria/wanita berusia 18-50 tahun

42
3.5.3 Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat
mewakili populasi (Nursalam, 2003). Sampling pada penelitian ini
menggunakan Purposive Sampling yaitu suatu tehnik penetapan sampel
dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang
dikehendaki peneliti,sehingga sampel tersebut mewakili karakteristik
populasi.
3.6 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di RSUD Syamrabu Bangkalan, mengingat
rumah sakit pemerintah, dan merupakan rumah sakit pendidikan yang
memungkinkan peneliti mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan
dalam penelitian ini dan dilaksanakan selama bulan Februari 2012.
3.7 Alat Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah proses pendekatan kepada subjek dan
proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu
penelitian. Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan kuesioner.
3.8 Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subyek
dan proses pengumpulan karakteristik subyek yang diperlukan dalam suatu
penelitian (Nursalam, 2008).
Langkah-langkah dalam pengumpulan data tergantung dari desain
penelitian dan tehnik instrumen yang digunakan. Pengumpulan data

43
berupa kuesioner dengan pengisian soal oleh masing-masing orang yang
sebelumnya sudah dijelaskan terlebih dahulu.
Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Permohonan izin pelaksanaan penelitian didapatkan dari institusi
pendidikan (PSIK-Ngudia Husada Madura).
b. Permohonan izin yang diperoleh dikirim ke tempat penelitian (RSUD
Syamrabu Bangkalan).
c. Peneliti menghubungi perawat ruangan untuk memperkenalkan calon
responden kepada peneliti setelah mendapat izin dari pihak RSUD
Syamrabu Bangkalan.
Peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang tujuan, manfaat
penelitian, dan prosedur pengumpulan data.
d. Peneliti meminta calon responden menandatangani Informed consent
sebagai bentuk persetujuan bersedia menjadi responden.
e. Pada Pre Test, peneliti mengukur tingkat kesiapan pasien menghadapi
pemulangan dengan membacakan pernyataan-pernyataan yang terdapat di
dalam kuesioner untuk dijawab oleh responden. Kemudian peneliti
melakukan pengakajian, dan setelah itu peneliti menentukan perencanaan
bersama-sama dengan responden dan keluarga. Tindakan pada hari 1 ini
dilakukan selama 30 menit.
f. Pada hari ke-2, peneliti melakukan intervensi Discharge planning dengan
penatalaksanaan yaitu mengadakan sesi pengajaran dengan responden dan
keluarga tentang : obat-obatan, tanda-tanda bahaya, perawatan luka di
rumah, dan aktivitas di rumah, diet di rumah dan perawatn lanjutan.
Tindakan ini dilakukan selama 45 menit.
g. Pada Post test, peneliti melakukan evaluasi dan mengukur tingkat kesiapan
pasien

menghadapi

pemulangan

dengan

membacakan

kembvali

44
pernyataan-pernyataan yang terdapat di dalam kuesioner untuk dijawab
responden (post test). Tindakan ini dilakukan selama 35 menit.
h. Peneliti mengolah /menganalisa data yang terkumpul.
3.9

Pengolahan Data
Setelah angket dari responden terkumpul, selanjutnya dilakukan
pengolahan data dengan cara berikut:

3.9.1 Editing
Memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para
pengumpul data (Setiadi, 2007).
3.9.2 Coding
Mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para responden
kedalam kategori. Biasanya klasifikasi dilakukan dengan cara memberi
tanda atau kode berbentuk angka pada masing-masing jawaban (Setiadi,
2007). Martisusilo (2007) membagi tingkat kesiapan berdasarkan kuantitas
keinginan dan kemampuan bervariasi dari sangat tinggi hingga sangat
rendah, antara lain :
Tingkat kesiapan 1 (R1), Tingkat kesiapan 2 (R2), Tingkat kesiapan 3
(R3), Tingkat kesiapan 4 (R4).
3.9.3 Scoring
Adalah penentuan jumlah skor, dalam penelitian ini menggunakan
skala

ordinal. Kode -Kesiapan 1 (R1) jika skornya 24 - 44, Tingkat

kesiapan 2 (R2) jika skornya 45 - 65, Tingkat kesiapan 3 (R3) jika skornya
65 85, Tingkat kesiapan 4 (R4) jika skornya 86 - 108.

45
3.9.4 Tabulating
Mengelompokkan data kedalam suatu tabel tertentu menurut sifatsifat yang dimiliki. Pada saat dianggap bahwa data telah diproses sehingga
harus segera disusun dalam suatu pola format yang telah dirancang
(Nursalam, 2008).

3.10

Analisa Data
Data yang sudah didapat kemudian di lakukan analisa secara bertahap
sesuai tujuan penelitian meliputi:
a. Analisa Univariat
Analisa ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi tiaptiap variabel yang akan di teliti dengan menggunakan distribusi frekuensi.
Penulisan prosentase hasil penelitian mengacu pada Nursalam (2008) yang
dikelompokkan menjadi mayoritas = apabila hasil menunjukkan 90-100%,
sebagian besar = 66-89%, lebih dari 50% (51-69).
b. Analisa Bivariat (Tabulasi Silang)
Analisa bivariat ini menggunakan tabulasi silang untuk memudahkan
menentukan distribusi antar dua atau lebih variabel dengan skala data
ordinal sehingga mampu digunakan sebagai indikasi awal adanya
hubungan asosiasi. Untuk mengetahui Perbedaan Kesiapan pasien post op
Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah di
Discharge Planning. Setelah itu disajikan ke dalam tabel ke dalam tabel
tabulasi silang, kemudian dilakukan uji statistik Sign Rank test (Wilcoxon

46
test) dengan tingkat kemaknaan = 0,05 dengan ketentuan apabila p value
< , maka H0 ditolak.
3.11 Etika Penelitian
Masalah etika penelitian merupakan masalah yang sangat penting
dalam penelitian, mengingat penelitian berhubungan langsung dengan
manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan. Masalah etika
yang harus diperhatikan meliputi :
3.11.1

Right to full disclosure


Peneliti akan memberikan penjelasan secara rinci tentang
penelitian yang akan di lakukan serta akan bertanggung jawab terhadap
subjek penelitian jika ada sesuatu yang terjadi akibat penelitian yang di
lakukan.

3.11.2

Lembar Persetujuan (Informed Consent)


Setelah responden mengetahui maksud dan tujuan riset, serta
dampak yang akan terjadi selama dalam pengumpulan data dan responden
bersedia diteliti, mereka harus menandatangani lembar persetujuan
menjadi responden, jika subjek menolak peneliti harus menghormati hakhak klien.

3.11.3

Tanpa Nama (Anonymity)


Masalah etika merupakan masalah yang memberikan jaminan
dalam penggunaan subyek penelitian dengan cara tidak memberikan atau
mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya
menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang
disajikan (Nursalam, 2008).

47
3.11.4

Kerahasiaan (Confidentiality)
Informasi yang telah

dikumpulkan

dari

subjek

dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti.

BAB 4
HASIL PENELITIAN

4.1 Data Umum


4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rawat Inap RSUD Syamrabu
Bangkalan. RSUD Syamrabu Bangkalan merupakan Rumah Sakit dengan
klasifikasi tipe B yang beralamatkan di jalan Pemuda Kaffa No.09
Bangkalan.

RSUD Syamrabu terdiri dari instalasi rawat jalan, instalasi

gawat darurat, dan instalasi rawat inap. Instalansi rawat inap terdiri dari Irna
A, Irna B, Irna C, Irna D, Irna E, Irna F, Irna G dan Paviliun Kartini. Jumlah
staff di masini-masing setiap ruangan 18 orang (6 S1 Keperawatan, 12 D3
Keperawatan). 2 orang administrasi, dan 4 orang cleaning service.
4.1.2 Karakteristik Responden
a. Karakteristik responden berdasarkan usia
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Pasien Post Op Appendictomy
Berdasarkan Usia di RSUD Syamrabu Bangkalan
Tanggal 27 Februari 2012 3 Maret 2012
No
Usia Anak
Frekuensi
Prosentase

48
1.

18 - 30 tahun

60

2.

31 - 40 tahun

26,6

3.

40 - 50 tahun
Jumlah

2
15

13.4
100

Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Berdasarkan tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar


responden berusia 18 30 tahun, sebanyak 9 responden (60 %)
b. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Pasien Post Op
Appendictomy Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD Syamrabu
Bangkalan Tanggal 27 Februari 3 Maret 2012
No
Jenis Kelamin
Frekuensi
Prosentase
1.
Laki-laki
8
53,3
2.

Perempuan
Jumlah

7
15

46,7
100

Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa lebih dari 50%


responden berjenis kelamin laki-laki, sebanyak 8 responden (53,3%)
c. Karakteristik responden berdasarkan tingkat Pendidikan
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Pasien Post Op
Appendictomy Berdasarkan Tingkat Pendididkan di RSUD Syamrabu
Bangkalan Tanggal 27 Februari 3 Maret 2012
No
Jenis Kelamin
Frekuensi
Prosentase
1.
SD
2
13,4
2.

SMP

20

3.

SMA

53,3

4.

Lain-Lain

2
15

13,3
100

Jumlah
Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa lebih dari 50%


responden yang tingkat pendidikan SMA, sebanyak 8 responden (53,3%)

49

4.2 Data Khusus


Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kesiapan
Pulang Pasien Post Op Appendictomy Sebelum dilakukan Discharge
Planning Di RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 27 Februari 3
Maret 2012
No
Kesiapan Pulang
Frekuensi
Prosentase
1.

R1

6,7

2.
3.

R2
R3

3
9

20
60

2
15

13,3
100

4.

R4
Jumlah

Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan


Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa sebagian besar
responden mengalami Ketidaksiapan Pasien Post Op Appendictomy
menghadapi Pemulangan sebanyak 9 responden (60%).
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kesiapan
Pulang Pasien Post Op Appendictomy Sesudah Dilakukan Discharge
Planning Di RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 27 Februari 3
Maret 2012
No
Kesiapan Pulang
Frekuensi
Prosentase
1.

R1

2.
3.

R2
R3

13,3

13
15

86,7
100

4.

R4
Jumlah

Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan


Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa sebagian besar
responden mengalami Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy
menghadapi Pemulangan sebanyak 13 responden (66,7%).
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kesiapan
Pasien Post Op Appendictomy sebelum dan sesudah dilakukan

50
Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 27
Februari 3 Maret 2012

No

Kesiapan

Sebelum Dilakukan

Sesudah Dilakukan

Pulang

Discharge Planning
Frekuensi Prosentase
1
6,7
3
20
9
60

Discharge Planning
Frekuensi Prosentase
2
13,3

1.
2.
3.

R1
R2
R3

4.

R4

Jumlah
= 0,05

13,3

13

86,7

15

100

15

100

p value < 0,05


Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Berdasarkan tabel di atas diperoleh hasil analisa bivariat dengan


menggunakan uji statistik Uji wilcoxon, diperoleh significancy 0,008
(p < 0,05) maka Ho ditolak, yang berarti ada Perbedaan Kesiapan Pasien
Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah
dilakukan Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan.

BAB 5
PEMBAHASAN

5.1 Kesiapan Pulang Sebelum dilakukan Discharge Planning


Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa dari keseluruhan
responden Kesiapan Pulang pada Pasien Post Op Appendictomy Sebelum
dilakukan Discharge Planning sebagian besar dari responden, sebanyak 9

51
responden (60%) mengalami Ketidaksiapan Pasien Post Op Appendictomy
menghadapi Pemulangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh responden (60%)
sebelum dilakukan discharge planning sudah memiliki tingkat kesiapan yang
cukup baik, dan masuk kategori tingkat kesiapan ke 3 dimana Mampu tapi
ragu dan Mampu tapi tidak ingin, pada pembagian tingkat kesiapan menurut
Martinsusilo (2007) . Jadi pemberian Discharge Planning yang baik untuk
mengetahui pengobatan, tanda-tanda bahaya, aktivitas yang dilakukan, serta
perawatan lanjutan dirumah.
Menurut William (1996) menyatakan salah satu bentuk manajemen
informasi pada Discharge Planning melalaui tahapan yang jelas, dimana
pelayanan akan baik apabila diberikan oleh tim multi disiplin. Dalam hal ini
diantaranya perawat, dokter, ahli gizi, fisiotherapi dan anggota tim kesehatan
lainnya, untuk saling membagi informasi dalam rangka menyusun Discharge
Planning.

Berdasarkan model konseptual Orem (1985, dalam Basford, 2006)


tentang sistem keperawatan, maka tingkat Ketidaksiapan Pasien Post Op
Appendictomy menghadapi Pemulangan dalam penelitian ini sebelum
dilakukan Discharge Planning termasuk katagori system kompensasi parsial
dimana pasien memiliki beberapa kemampuan untuk melakukan perawatan
diri tetapi tidak dapat mencapai perawatan mandiri jika tidak dibantu.
Kemampuan yang sudah dimiliki responden dalam penelitian ini
antara lain informasi melalui tahapan yang jelas untuk melakukan perawatan

52
diri setelah berada di rumah, baik dalam hal tindakan pengobatan di rumah,
tanda-tanda bahaya, perawatan luka, aktivitas di rumah, diet di rumah,
maupun dalam hal perawatan lanjutan. Menurut Orem (1985, dalam Basford
2006) dalam keadaaan ini pasien dan perawat bekerjasama untuk melakukan
perawatan diri, dimana perawat selalu meningkatkan dan mendorong
keterlibatan pasien untuk mencapai perawatan mandiri.
5.1 Kesiapan Pulang Sesudah dilakukan Discharge Planning
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa dari keseluruhan
responden Kesiapan Pulang pada Pasien Post Op Appendictomy Sesudah
dilakukan Discharge Planning , sebagian besar sebanyak 13 responden
(86,7%) mengalami Kesiapan pasien Post Op Appendictomy menghadapi
Pemulangan.
Dimana memiliki tingkat 4 dalam katagori tingkat kesiapan yang
dirumuskan oleh Martinsusilo (2007) dalam menghadapi pemulangan yaitu
mampu dan ingin atau mampu dan yakin melakukan kegiatan yang diajarkan
setelah berada di rumah.
Berdasarkan model konseptual Orem (1985, dalam Basford, 2006)
tentang sistem keperawatan, maka tingkat kesiapan pasien dalam penelitian
ini setelah dilakukan Discharge Planning termasuk katagori sistem suportifedukatif, yaitu pasien mampu melakukan atau belajar tentang perawatan diri
dan intervensi keperawatan yang perlu dilakukan perawat lebih kepada
memotivasi responden untuk melakukan pengetahuan yang sudah diterima.
Hal ini didukung oleh hasil penelitian Galloway, et al (1993, dalam
Nursingcenter.com,2009) bahwa pasien mampu memprediksikan kebutuhan

53
mereka akan informasi berhubungan dengan proses penyembuhan, dan
mereka menginginkan informasi yang mudah dimengerti sebanyak mungkin
sebelum mereka menghadapi pemulangan dan kebutuhan akan informasi ini
tidak dipengaruhi usia dan pendidikan. Informasi yang diberikan dalam
Discharge Planning bagaimana cara mengetahui pengobatan, tanda-tanda
bahaya, aktivitas yang dilakukan, serta perawatan lanjutan dirumah sehingga
meningkatkan pasien dalam menghadapi pemulangan.

5.3 Perbedaan Kesiapan Pulang sebelum dan sesudah dilakukan Discharge


Planning
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa dari keseluruhan
responden Kesiapan Pulang pada Pasien Post Op Appendictomy Sebelum
dilakukan Discharge Planning responden, sebagian besar 9 responden (60%)
mengalami Ketidaksiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi
Pemulangan.
Sedangkan pada kelompok

perlakukan berdasarkan tabel 4.4

didapatkan data bahwa dari keseluruhan responden Kesiapan Pulang pada


Pasien Post Op Appendictomy Sesudah dilakukan Discharge Planning
sebagian besar 13 responden (86,7%) mengalami Kesiapan pasien Post Op
Appendictomy menghadapi Pemulangan.
Berdasarkan data dari lapangan diperoleh, maka peneliti menggunakan
uji non-parametrik sign rank test (Wilcoxon) untuk mengindentifikasi
perbedaan kesiapan pada pasien Post Op Appendictomy menghadapi
pemulangan

Sebelum

dan

Sesudah

dilakukan

Discharge

Planning.

54
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil analisa bivariat dengan
menggunakan uji statistik Uji wilcoxon, diperoleh significancy 0,008 (p <
0,05) maka Ho ditolak, yang berarti ada Perbedaan Kesiapan Pasien Post Op
Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan
Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan. Hasil penelitian juga
menunjukkan terjadi Peningkatan Kesiapan pasien menghadapi pemulangan
setelah dilakukan Discharge Planning.
Hal ini sejalan dengan penelitian Williams (2006) yang mendapati
adanya hubungan antara pemberi informasi dengan dilakukannya kunjungan
ulang yang tidak rutin ke fasilitas kesehatan. Dalam penelitian tersebut
Williams mendapati bahwa mayoritas pasien yang menerima informasi
tentang nyeri dan menejemen luka, aktivitas, nutrisi, dan komplikasi pada
umumnya merasakan bahwa tidak mengalami perasaan khawatir yang
membuat mereka akan mengadakan kunjungan tidak rutin ke fasilitas
kesehatan setelah dipulangkan, dalam artian bahwa mereka telah siap
menghadapi pemulangan. Sedangkan pasien yang tidak mendapat informasi
tentang nyeri dan manajemen luka mengalami kekhawatiran yang memaksa
mereka untuk melakukan kunjungan tidak rutin kepada suatu fasilitas
kesehatan setelah dipulangkan.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa semakin baik Discharge
Planning, semakin baik pula pemahaman pasien atau keluarga tentang hal-hal
yang harus diwaspadai. Maka tepat Supartini (2000) menyatakan Discharge
Planning yang baik dapat membantu pasien dan keluarganya untuk
memahami langkah-langkah pencegahan yang harus dicapai.

55

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan tujuan penelitian, hasil penelitian, analisa data, dan
pembahasan yang telah diuraikan maka peneliti mendapatkan beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
a. Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan
Sebelum dilakukan

Discharge Planning sebagian besar

9 responden

dengan Tingkat Kesiapan 3 Mampu tapi ragu dan Mampu tapi tidak ingin
melakukan di rumah.

56
b. Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan
Sesudah dilakukan Discharge Planning sebagian besar 13 responden
dengan Tingkat Kesiapan 4 yaitu mampu dan ingin atau mampu dan yakin
melakukan kegiatan yang diajarkan setelah berada di rumah.
c. Ada perbedaan Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi
pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning.
6.2 Saran
6.2.1 Bagi rumah sakit dan tenaga kesehatan
a. Dari hasil penelitian menunjukkan adanya Perbedaan Kesiapan pasien
Post op Apendictomy menghadapi Pemulangan Sebelum dan Sesudah
dilakukan Discharge Planning. Oleh karena itu, sebaiknya perawat di
ruangan melakukan Discharge Planning sesuai Prosedur kepada semua
pasien

dengan

tujuan

untuk

mempersiapkan

pasien

menghadapi

pemulangan dimana pasien mampu melakukan perawatan berkelanjutan di


rumah.
b. Discharge Planning dilakukan sebaiknya sejak pasien diterima di suatu
agen pelayanan kesehatan dengan melakukan pengkajian berkelanjutan
untuk mendapatkan informasi yang komprehensif tentang kebutuhan
pasien yang berubah-ubah.
c. Mensosialisasikan standar atau prosedur tetap tentang Discharge Planning
secara bertahap dan kontinyu, sehingga pelaksanaannya bisa berjalan
secara efektif dan optimal.
d. Perawat terus meningkatkan pengetahuannya baik dalam bidang Asuhan
Keperawatan maupun manajemen keperawatan melalui pelatiha-pelatihan.
6.2.3 Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan
a. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada Perbedaan Kesiapan pasien Post
Op Appendictomy menghadapi Pemulangan, oleh karena itu diharapkan

57
pendidikan keperawatan tetap menekankan pemberian materi tentang
Discharge Planning.
b. Pada penelitian selanjutnya diharapkan mengembangkan penelitian dengan
jumlah responden dan variabel yang lebih banyak sehingga memperoleh
hasil yang optimal.

Anda mungkin juga menyukai