Anda di halaman 1dari 27

Pemahaman Hak Asuh Anak Setelah

Perceraian Terhadap Perkembangan


Mental Anak
Agus Tomi
PLS-UM
PENDAHULUAN

Pernikahan tidak selalu berjalan mulus.


Terkadang justru berakhir dengan perceraian.
Perceraian dipilih karena dianggap sebagai solusi
dalam mengurai benang kusut perjalanan bahtera
rumah tangga. Sayangnya, perceraian tidak selalu
membawa kelegaan. Sebaliknya, seringkali
perceraian justru menambah berkobarnya api
perseteruan. Layar kaca pun sering menayangkan
perseteruan pada proses maupun paska perceraian
yang dilakukan oleh para publik figur Indonesia
melalui tayangan-tayangan infotainment. Salah
satu pemicu perseteruan adalah masalah hak asuh
anak. Apabila pasangan suami istri bercerai, siapa
yang berhak mengasuh anak? Ayah ataukah Ibu
?[1]
Kadangkala, perceraian adalah satu-satunya jalan
bagi orangtua untuk dapat terus menjalani kehidupan
sesuai yang mereka inginkan. Namun apapun alasannya,
perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak,
meskipun dalam kasus tertentu perceraian dianggap
merupakan alternatif terbaik daripada membiarkan anak
Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan


yang buruk.
Pada umumnya orangtua yang bercerai akan lebih
siap menghadapi perceraian tersebut dibandingkan anakanak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka
bercerai biasanya didahului proses berpikir dan
pertimbangan yang panjang, sehingga sudah ada suatu
persiapan mental dan fisik. Tidak demikian halnya
dengan anak, mereka tiba-tiba saja harus menerima
keputusan yang telah dibuat oleh orangtua, tanpa
sebelumnya punya ide atau bayangan bahwa hidup
mereka akan berubah. Hal yang mereka tahu sebelumnya
mungkin hanyalah Orang tua mereka sering bertengkar,
bahkan mungkin ada anak yang tidak pernah melihat
orangtuanya bertengkar karena orangtuanya benar-benar
rapi menutupi ketegangan antara mereka berdua agar
anak-anak tidak takut.
Jika memang perceraian adalah satu-satunya jalan
yang harus ditempuh dan tak terhindarkan lagi, apa
tindakan terbaik yang harus dilakukan oleh orangtua
untuk mengurangi dampak negatif perceraian tersebut
bagi perkembangan mental anak-anak mereka. Dengan
kata lain bagaimana orangtua menyiapkan anak agar
dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi akibat
perceraian.
Rasa cinta yang sudah menguap membuat proses
penentuan hak asuh anak berubah sebagai sebuah
pertarungan seru. Sosok mungil yang seharusnya
menjadi tempat curahan kasih sayang pun dijadikan
sebagai hadiah yang harus diperebutkan dengan segala
cara. Dan, saking kepinginnya menang, orang tua pun
jadi lupa memikirkan apa yang terbaik bagi anaknya.
Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

Saat sedang mengurus hak asuh setelah terjadi


perceraian, salah satu pihak mungkin ada yang merasa
lebih berhak untuk mengasuh anak-anaknya. Entah itu
ibunya, karena merasa ia yang mengandung dan
melahirkan. Atau ayahnya, karena merasa ia yang
membiayai. Kita mungkin lantas bertanya, siapa, sih,
yang sebenarnya lebih berhak memperoleh hak
pengasuhan itu.
Rumusan Masalah antara lain (1)Apakah yang
memicu Perseteruan antara orang tua untuk merebutkan
hak asuh anak, (2) Siapakah yang lebih berhak mengasuh
anak setalah orang tua mereka bercerai, Ayah atau Ibu,
(3) Apa Dampak perceraian terhadap anak.
Maksud dan Tujuan (1) Mengetahuai apa itu
hakekat perceraian (2) Apa yang sebaiknya dilakukan
orang
tua
setelah
perceraian
terhadap
anak(3) Pertimbangan apa saja yang digunakan dalam
memutuskan hak asuh anak.
PEMBAHASAN
Hakekat Perceraian
Perceraian adalah perpisahan atau putusnya
hubungan suami-istri. Di antara keduanya diharamkan
atas aktifitas pemenuhan seksual, serta lepas dari hak dan
kewajiban sebagai suami dan istri. Sebenarnya
perceraian adalah solusi terakhir. Ibarat pintu darurat, ia
hanya dilalui jika bahtera rumah tangga tidak mungkin
diselamatkan.. kekecewaan menyebabkan perselihan
dan jarak, kemudian perceraian emosional Oleh sebab
itu, seharusnya perceraian menjadi api pemadam
bukan penambah kobaran perseteruan. Berarti perlu
kejelasan syariat, siapa yang memiliki hak asuh anak.
Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

Perceraian memang pahit. Akan tetapi


perceraian lebih baik dipilih daripada kehidupan rumah
tangga menjadi terpuruk sehingga bisa menyebabkan
berbagai kemaksiatan. Tugas ayah dan ibu berikutnya
adalah menanamkan cinta dan kasih sayang kepada
anggota keluarganya agar anak-anak yang dihasilkan
dari pernikahan tersebut tidak condong kepada sikap
durhaka. Baik kepada ibu, ayah, maupun keduanya. Hal
ini karena ayah dan ibu adalah orang tua dari anak.
Angka perceraian di Indonesia mungkin tidak setinggi
di AS (66,6 persen perkawinan berakhir dengan
perceraian) ataupun di Inggris (50 persen). Namun, kita
tahu bahwa di Indonesia pun banyak perkawinan
berakhir dengan perceraian, apalagi kalau melihat
berita-berita tentang perceraian selebriti Indonesia
akhir-akhir ini. Apa dampak perceraian terhadap mental
anak?
.......Sebenarnya perceraian adalah solusi
terakhir. Ibarat pintu darurat, ia hanya dilalui jika bahtera
rumah tangga tidak mungkin diselamatkan. Oleh sebab
itu, seharusnya perceraian menjadi api pemadam
bukan penambah kobaran perseteruan. Berarti perlu
kejelasan syariat, siapa yang memiliki hak asuh anak
Perceraian pasangan suami-istri (pasutri) kerap
berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat,
termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Perceraian juga
dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai
hubungan baru dengan lawan jenis. perceraian adalah

Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian


pasangan hidup.[2]

Fase Sebelum Dan Setelah Perceraian, Serta


Dampak Terhadap Anak
1. Sebelum berpisah (bercerai)
Sebelum perceraian terjadi, biasanya
didahului
dengan
banyak
konflik
dan
pertengkaran.
Kadang-kadang
pertengkaran
tersebut masih bisa ditutup-tutupi sehingga anak
tidak tahu, namun tidak jarang anak bisa melihat
dan mendengar secara jelas pertengkaran tersebut.
Pertengkaran orangtua, apapun alasan dan
bentuknya, akan membuat anak merasa takut.
Anak tidak pernah suka melihat orangtuanya
bertengkar, karena hal tersebut hanya membuatnya
merasa takut, sedih dan bingung. Kalau sudah
terlalu sering melihat dan mendengar pertengkaran
orangtua, anak dapat mulai menjadi pemurung.
Oleh karena itu sangat penting untuk tidak
bertengkar di depan anak-anak.
2. Ketika akhirnya bercerai
Ketika perceraian terjadi merupakan masa
yang kritis buat anak, terutama menyangkut
hubungan dengan orangtua yang tidak tinggal
bersama. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam
bathin anak. Pada masa ini anak harus mulai

Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang


baru.
Dua tahun pertama setelah terjadinya perceraian
merupakan masa-masa yang amat sulit bagi anak-anak.
Mereka biasanya kehilangan minat untuk pergi dan
mengerjakan tugas-tugas sekolah, bersikap bermusuhan,
agresif depresi, dan dalam beberapa kasus ada yang
bunuh diri. Anak-anak yang orangtuanya bercerai
menampakkan beberapa gejala fisik dan stres akibat
perceraian tersebut seperti insomnia (sulit tidur),
kehilangan nafsu makan.[3]

Hal-hal yang biasanya dirasakan oleh anak


ketika orangtuanya bercerai adalah Tidak diinginkan
atau ditolak oleh orangtuanya yang pergi, Sedih dan
kesepian, Marah, Kehilangan, Merasa bersalah,

menyalahakan diri sendiri sebagai penyebab orang


tuanya bercerai
Perasaan-perasaan tersebut di atas oleh anak dapat
termanifestasi dalam bentuk perilaku: Suka mengamuk,
menjadi kasar, dan tindakan agresif lainnya; Menjadi
pendiam, tidak lagi ceria, tidak suka bergaul; Sulit
berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah
sehingga prestasi disekolah cenderung menurun; Suka
melamun, terutama mengkhayalkan orangtuanya akan
bersatu lagi.
Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu.
Pada awalnya anak akan sulit menerima kenyataan
bahwa orangtuanya tidak lagi bersama. Meski banyak
anak yang dapat beradaptasi dengan baik, tapi banyak
juga yang tetap bermasalah bahkan setelah bertahunDiarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

tahun terjadinya perceraian. Anak yang berhasil dalam


proses adaptasi, tidak mengalami kesulitan yang berarti
ketika
meneruskan
kehidupannya
ke
masa
perkembangan selanjutnya, tetapi bagi anak yang gagal
beradaptasi, maka ia akan membawa hingga dewasa
perasaan ditolak, tidak berharga dan tidak dicintai.
Perasaan-perasaan ini dapat menyebabkan anak
tersebut, setelah dewasa anak menjadi takut gagal dan
takut menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain
atau lawan jenis.[4]
Yang Harus Dilakukan Orang Tua
Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam beradaptasi
terhadap perubahan hidupnya ditentukan oleh daya tahan
dalam dirinya sendiri, pandangannya terhadap
perceraian, cara orangtua menghadapi perceraian, pola
asuh dari si orangtua tunggal dan terjalinnya hubungan
baik dengan kedua orangtuanya. Bagi orangtua yang
bercerai, mungkin sulit untuk melakukan intervensi pada
daya tahan anak karena hal tersebut tergantung pada
pribadi masing-masing anak, tetapi sebagai orangtua
mereka dapat membantu anak untuk membuatnya
memiliki pandangan yang tidak buruk tentang perceraian
yang terjadi dan tetap punya hubungan baik dengan
kedua orangtuanya.
Di bawah ini adalah beberapa saran yang sebaiknya
dilakukan orangtua setalah perceraian :
a. Begitu perceraian sudah menjadi rencana
orangtua, segeralah memberi tahu anak bahwa
akan terjadi perubahan dalam hidupnya, bahwa
nanti anak tidak lagi tinggal bersama Mama dan
Papa, tapi hanya dengan salah satunya.
Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

b. Sebelum berpisah ajaklah anak untuk melihat


tempat tinggal yang baru (jika harus pindah
rumah). Kalau anak akan tinggal bersama kakek
dan nenek, maka kunjungan ke kakek dan nenek
mulai dipersering. Kalau ayah/ibu keluar dari
rumah dan tinggal sendiri, anak juga bisa mulai
diajak untuk melihat calon rumah baru
ayah/ibunya. Di luar perubahan yang terjadi
karena perceraian, usahakan agar sisi-sisi lain dan
kegiatan rutin sehari-hari si anak tidak berubah.
Misalnya: tetap mengantar anak ke sekolah atau
mengajak pergi jalan-jalan.
c. Jelaskan kepada anak tentang perceraian tersebut.
Jangan menganggap anak sebagai anak kecil
yang tidak tahu apa-apa, jelaskan dengan
menggunakan bahasa sederhana. Penjelasan ini
mungkin perlu diulang ketika anak bertambah
besar.
d. Jelaskan kepada anak bahwa perceraian yang
terjadi
bukan
salah
si
anak.
Anak perlu selalu diyakinkan bahwa sekalipun
orangtua bercerai tapi mereka tetap mencintai
anak. Ini sangat penting dilakukan terutama dari
orangtua yang pergi, dengan cara: berkunjung,
menelpon, mengirim surat atau kartu. Buatlah si
anak tahu bahwa dirinya selalu diingat dan ada di
hati orangtuanya.
e. Orangtua yang pergi, meyakinkan anak kalau ia
menyetujui anak tinggal dengan orangtua yang
tinggal, dan menyemangati anak agar menyukai
tinggal bersama orangtuanya itu.

Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

f. Orangtua
yang
tinggal
bersama
anak,
memperbolehkan anak bertemu dengan orangtua
yang pergi, meyakinkan anak bahwa dia
menyetujui
pertemuan
tersebut
dan
menyemangati anak untuk menyukai pertemuan
tersebut.
g. Tidak saling mengkritik atau menjelekkan salah
satu pihak orangtua di depan anak.
h. Tidak menempatkan anak di tengah-tengah
konflik. Misalnya dengan menjadikan anak
sebagai pembawa pesan antar kedua orangtua,
menyuruh anak berbohong kepada salah satu
orangtua, menyuruh anak untuk memihak pada
satu orangtua saja. Anak menyayangi kedua
orangtuanya, menempatkannya di tengah konflik
akan membuatnyabingung, cemas dan mengalami
konflik kesetiaan.
i. Tetap mengasuh anak bersama-sama dengan
mengenyampingkan perselisihan.
j. Beri respon terhadap emosi anak dengan kasih
sayang, bukan dengan kemarahan atau celaan.
Anak mungkin bingung dan bertanya, biarkan
mereka bertanya, jawablah pertanyaan tersebut
baik-baik, dan bukan mengatakan "anak kecil
mau tahu saja urusan Mama Papa".
Dari saran-saran di atas terlihat jelas betapa
pentingnya kerja sama orangtua agar anak dapat
beradaptasi dengan sukses dan betapa penting arti
keberadaan orangtua bagi sang anak. Saran-saran di atas
bukanlah hal yang mudah dilakukan, apalagi jika
perceraian diakhiri dengan perselisihan, ketegangan dan
kebencian satu sama lain. Keinginan untuk menarik anak
Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

ke salah satu pihak dan menentang pihak yang lain akan


sangat menonjol pada model perceraian tersebut. Tapi
jika itu dilakukan, berarti orangtua merupakan individu
egois yang hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak
memikirkan kesejahteraan dan masa depan anak.
Beberapa indikator bahwa anak telah beradaptasi adalah:
Menyadari dan mengerti bahwa orangtuanya sudah tidak
lagi bersama dan tidak lagi, Berfantasi akan persatuan
kedua orangtua, Dapat menerima rasa kehilangan, Tidak
marah pada orangtua dan tidak menyalahkan diri sendiri,
Menjadi dirinya sendiri lagi.

Kalau perceraian memang tak terhindari lagi, maka


mari membuat perceraian tersebut menjadi perceraian
yang tidak merugikan anak. Suami-istri memang
bercerai, tapi jangan sampai anak dan orangtua ikut juga
bercerai. Anak-anak sangat membutuhkan cinta dari
kedua orangtua dan menginginkan kedua orangtuanya
menjadi bagian dalam hidup mereka. Bagi anak, rasa
percaya diri, rasa diterima dan bangga pada dirinya
sendiri bergantung pada ekspresi cinta kedua
orangtuanya. Bagi Anda yang akan, sedang atau telah
bercerai, cobalah untuk selalu mengingat hal tersebut
dan masa depan anak-anak Anda. Perhatian berupa
materi memang perlu, namun itu saja sangat tidak
memadai untuk membuat anak mampu beradaptasi
dengan baik. Jangan lagi menjadikan negeri ini semakin
carut marut dengan membiarkan anak-anak kita yang
tidak berdosa menjadi terlantar.[5]

Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

Hak Asuh Anak Setelah Perceraian


Istilah hak asuh anak secara hukum sesungguhnya
merujuk pada pengertian kekuasaan seseorang atau
lembaga, berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan, untuk untuk memberikan bimbingan,
pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan,
karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak
mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.
Sedangkan pengertian istilah kuasa asuh adalah
kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik,
memelihara, membina, melindungi, dan
menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang
dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.
Dari pengertian istilah diatas, kiranya memang
sulit untuk memahami dan membedakan kedua istilah
tersebut tetapi hal ini perlu dijelaskan karena kalau kita
bicara hak asuh anak, itu artinya kita sedang berbicara
tentang anak terlantar dalam pengertian hak seorang
anak yang tidak memiliki jaminan untuk tumbuh
kembang secara wajar karena orang tuanya tidak
mampu, baik secara ekonomi dan atau secara psikologis.
Dalam perceraian, yang kerap menjadi masalah bukan
perebutan hak asuh anak tetapi masalah perebutan
kuasa asuh anak.
5. Hak Asuh Anak Menurut Syariat Islam

Seorang wanita berkata, Ya Rasul Allah,


sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang
telah mengandungnya, dan tetak sayalah yang
telah menjadi minumannya dan haribaankulah
yang melindunginya. Tapi bapaknya telah
menceraikan aku dan hendak menceraikan anakku
Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

pula dari sisiku. Maka bersabdalah Rasulullah


saw. : Engkaulah yang lebih berhak akan anak
itu, selagi belum kawin (dengan orang lain).
Demikian halnya saat Umar bin Khattab
menceraikan Ummu Ashim dan bermaksud
mengambil Ashim bin Umar dari pengasuhan
mantan istrinya. Keduanya pun mengadukan
masalah ini kepada Abu Bakar r.a. selaku amirul
mukminin saat itu.
Abu Bakar berkata : Kandungan, pangkuan,
dan asuhan Ummu Ashim lebih baik bagi Ashim
dari pada dirimu (Umar) hingga Ashim beranjak
dewasa dan dapat menentukan pilihan untuk
dirinya sendiri.[6]
Ayah dan ibu adalah orang tua anak-anaknya.
Walaupun ayah dan ibu telah bercerai, anak tetap
berhak mendapat kasih dan sayang dari
keduanya. Ayah tetap berkewajiban memberi
nafkah kepada anaknya. Anak berhak menjadi ahli
waris karena merupakan bagian dari nasab ayah
dan ibunya. Anak gadis pun harus dinikahkan oleh
ayahnya, bukan oleh ayah tiri.
Ibu yang menjanda akibat diceraikan
suaminya maka ia berhak mendapat nafkah dari
suami hingga masa iddahnya berakhir (tiga kali
haid) serta upah dalam pengasuhan anak baik
dalam masa iddah maupun setelahnya hingga anak
mencapai
fase tamyiz (berakal)
dan
Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

melakukan takhyir yang memungkinkan ia untuk


memilih ikut ibu atau ayah
Jika
anak
belum
mencapai
fase tamyiz (berakal), maka ibu tetap berkewajiban
mengasuh anaknya. Jika ibu tidak mampu
mengasuh
anaknya
(misalnya
karena
:
kafir/murtad, tidak waras, dan sebab syari lainnya
yang tidak memungkinkan dia mengasuh dan
mendidik anak), maka pengasuhan dapat
dilakukan oleh ibunya ibu (nenek dari anak)
hingga garis keturunan seterusnya. Jika dari semua
yang tergolong mulai dari ibunya ibu hingga garis
keturunan seterusnya tidak mampu mengasuh
maka menjadi kewajiban ayah untuk mengasuh
atau mencari pengasuh yang mumpuni untuk
mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Pengasuh yang dipilih bisa ibunya ayah
(nenek anak) hingga garis keturunan seterusnya.
Bisa juga perempuan lain yang memang mumpuni
dalam mengasuh anak. Adapun syarat pengasuh
anak adalah baligh dan berakal, mampu mendidik,
terpercaya dan berbudi luhur, Islam, dan tidak
bersuami.
6. Siapa yang lebih berhak
Saat sedang mengurus hak asuh setelah terjadi
perceraian, salah satu pihak mungkin ada yang merasa
lebih berhak untuk mengasuh anak-anaknya. Entah itu
Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

ibunya, karena merasa ia yang mengandung dan


melahirkan. Atau ayahnya, karena merasa ia yang
membiayai. Kita mungkin lantas bertanya, siapa, sih,
yang sebenarnya lebih berhak memperoleh hak
pengasuhan
itu?
Tidak ada pihak yang bisa merasa lebih berhak
daripada pihak lain. Hak pengasuhan anak sebenarnya
dapat diberikan kepada pihak mana pun, Baik itu ayah
atau pun ibu.
UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyebutkan anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum
melangsungkan perkawinan, berada di bawah kekuasaan
orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Artinya, kalau pengadilan memutuskan
bahwa hak pengasuhan ada pada ibu, maka ibunyalah
yang akan mengasuh. Bila pengadilan memutuskan
sebaliknya, berarti ayahnya yang akan mengasuh.
Selanjutnya, bila anak itu telah berusia 18 tahun,
barulah ia boleh memilih ingin ikut ayah atau ibunya,
karena ia sudah dianggap dewasa,. Ia mengimbuhkan
pengadilan yang dimaksud di sini adalah pengadilan
agama untuk yang beragama Islam dan pengadilan
negeri untuk pemeluk agama lain.
Khusus untuk umat Muslim, pengaturan hak asuh
anak, juga diatur di dalam Surat Keputusan Menteri
Agama RI No. 154 Tahun 1991. Dalam surat itu
dinyatakan bahwa hak asuh anak yang berusia di bawah
12 tahun (atau yang disebut mumayyiz), sebaiknya diberikan kepada ibunya. Jadi, di pengadilan agama,
biasanya, hak asuh anak yang belum berusia 12 tahun
diserahkan kepada ibunya. Saya pikir, wajar jika
seorang anak yang belum dewasa dipelihara oleh ibunya.
Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

Karena ibunya yang melahirkan, maka secara naluri ialah yang bisa merawatnya, menjabarkan. Ketentuan ini
toh sifatnya tidak mutlak. Pada kondisi tertentu, pengasuhan anak yang berusia 3 tahun pun bisa diberikan
kepada ayahnya.
Jika satu pihak dianggap tak layak mengasuh,
hak pengasuhan pun diberikan kepada pihak lain. Yang
dimaksud tak layak adalah, kondisi saat ayah atau ibu
dipandang mungkin menelantarkan anak. Misalnya,
ayahnya mungkin dianggap berbahaya karena sewaktuwaktu bisa melakukan pembunuhan atau tindak kekerasan, Masih ada contoh lain seperti salah satu pihak
sakit berkepanjangan atau tidak memiliki pekerjaan yang
jelas.
7. Apakah hak asuh anak boleh dialihkan
Bagaimana bila pihak yang telah mendapatkan
hak pengasuhan kemudian menelantarkan anaknya?
Pihak pengadilan ternyata bisa mencabut hak
pengasuhannya. Pihak yang tidak mendapatkan hak
pengasuhan bisa mengajukan gugatan dan menyertakan
bukti bahwa pihak yang mengasuh tidak bisa berperan
sebagai ayah atau ibu yang baik. Caranya, ia harus
mengajukan saksi yang tepat, bersifat independen dan
bisa memberikan keterangan obyektif. Jika saksi memiliki hubungan darah dengan penggugat atau orang
yang digaji oleh penggugat, kesaksiannya kemungkinan
dianggap bersifat memihak.
Hak pengasuhan anak ternyata bisa langsung
dialihkan, tanpa melalui proses hukum lagi, bila orang
tua memutuskan untuk membuat kesepakatan baru.
Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

Misalnya, hak pengasuhan yang ditetapkan pengadilan


jatuh pada ibu, bisa saja dialihkan kepada ayah, bila ayah
dan ibu berkompromi dan memutuskan anak itu lebih
baik diasuh ayahnya. Peralihan hak asuh seperti ini sama
sekali tidak melanggar hukum. Pengadilan juga tidak
akan menjatuhkan sanksi hukum.
Bagaimana jika anak menolak untuk tinggal
bersama pihak yang telah ditentukan oleh pengadilan?
Pada dasarnya tidak ada pihak yang bisa memaksakan
kehendak ataupun mengaku melakukan kehendaknya
demi kepentingan anak. Jika anak itu tidak suka, ia
memang tak boleh dipaksa. Namun, pengadilan akan
melihat terlebih dahulu, kenapa anak itu menolak? Apakah anak itu benar menolak dengan alasan yang jelas
atau apakah dia berada di bawah ancaman pihak lain?
Keputusannya mutlak ada pada pengadilan, Apakah
seorang wanita yang pernah berselingkuh tak akan bisa
mendapatkan hak pengasuhan, perselingkuhan tidak bisa
dijadikan tolok ukur. Ibu yang berselingkuh bukan
berarti tidak bisa berperan sebagai ibu yang baik. Toh,
perselingkuhan itu belum tentu bisa dibuktikan. Seorang
ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan tetap
pun tetap bisa mendapat hak pengasuhan, karena
kewajiban untuk membiayai anak berada di pundak sang
ayah.
Perseteruan setelah putusan hak asuh anak
Jika hukum sudah jelas dan putusan pengadilan
adalah mutlak, lantas mengapa masih saja sering terjadi
perseteruan? Keributan yang terjadi ternyata bukan
dikarenakan oleh perebutan hak asuh, melainkan tentang
Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

kompromi kunjungan terhadap anak. Misalnya ada yang


tidak memperbolehkan mantan pasangannya bertemu
anaknya, karena alasan tertentu. Satu pihak yang tidak
diberi hak pengasuhan memang mungkin saja tidak
diperbolehkan mengunjungi anak. Salah satu alasannya
mungkin pihak itu dianggap bisa membahayakan
keselamatan jiwa anak. Tapi, hal itu harus diputuskan
oleh pengadilan.
Pihak yang dilarang bertemu mencoba menemui
atau menjemput anaknya tanpa ijin. Dari sinilah muncul
istilah orang tua menculik anak sendiri. Tindakan
pengambilan anak, tanpa seijin pihak yang memiliki hak
asuh, tidak dapat dikategorikan ke dalam penculikan.
Menurut hukum, tidak ada orang yang bisa menculik
anak kandungnya sendiri. Jadi, karena kejadian itu tidak
melanggar hukum. Sebaliknya pihak yang dituduh
sebagai penculik pun tidak bisa dikenakan sanksi hukum,
kecuali, jika pengambilan anak itu dilakukan dengan
kekerasan.
Hak asuh yang dimaksudkan dalam hukum
adalah hak untuk mengasuh, bukan hak untuk
menguasai. Ketika hak asuh diberikan kepada salah satu
pihak, bukan berarti pihak tersebut boleh menguasai
anaknya dan tidak memperbolehkan pihak lain menemui
anak itu. Dalam hal ini saya ingin menggaris bawahi
bahwa siapa pun yang mendapatkan hak pengasuhan,
pihak ayah tetap berkewajiban untuk membiayai anak
tersebut. Pengadilan pun bisa memutuskan jumlah rupiah
yang harus dibayarkan oleh pihak ayah.
Fenomena yang terjadi seperti berebut hak asih
anak, mengadu pada Komisi Perlindungan Anak maupun
Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

LSM-LSM Peduli Anak, seharusnya tidak perlu terjadi.


Hal itu justru bisa menimbulkan stress pada anak.
Apalagi sampai menghindarkan anak dari pertemuan
dengan ayah atau ibunya. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan apabila anak-anak menjadi depresi dan
membenci salah satu maupun kedua orang tuanya. Inilah
saatnya untuk memutus lingkaran setan dari kesalahan
pemahaman mengenai hak asuh anak sesuai syariat
Islam.[7]
Apakah hak aspirasi anak dapat berpengaruh
terhadap putusan hak asuh anak, dan bilamana
terjadi?
Konsepsi perlindungan anak yang sebagaimana
yang diatur UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah konsepsi perlindungan anak
yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif asas-asas :
a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
Jadi dalam perkara hukum yang menyangkut
kepentingan anak, Hakim sebelum memutuskan siapa
yang berhak atas kuasa asuh anak dapat meminta
pendapat dari si anak. Hal ini juga tidak terlepas dari
kewajiban Hakim untuk memutus suatu perkara dengan
seadil-adilnya dengan menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan.

Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

Pasal 10 UU No. 23 Tahun


Perlindungan Anak menyatakan :

2002

tentang

"Setiap anak berhak menyatakan dan didengar


pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan
informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya
demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai
kesusilaan dan kepatutan"
Berdasarkan ketentuan pasal 10 UU No. 23
Tahun 2002 diatas maka jelas dan tegas Hakim dapat
meminta pendapat dari si anak dalam perkara hukum
kuasa asuh anak. Untuk meminta pendapat dari si anak
dalam perkara hukum kuasa asuh anak, tentunya
Hakim harus mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan
usia si anak.
Aturan dasar dan prinsip-prinsip dalam pembagian
hak asuh anak, dalam kasus perceraian yang paling
umum terjadi? (Misalnya, pembagian waktu asuh
dan prosedurnya)
Dalam memutuskan kuasa asuh anak dalam perkara
perceraian, aturan hukum yang dipakai adalah :
Pasal 49 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :
(1)
Salah seorang atau kedua orang tua dapat
dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau
lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan
Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis


lurus ke atas dan saudara kandung yang telah
dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan
keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a.
la sangat melalaikan kewajibannya
terhadap anaknya;
b.
la berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka
masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya
pemeliharaan kepada anak tersebut
Pasal 41 huruf (a) UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan :
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian
ialah : (a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya;
Pasal 30 UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak :
(1)
Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya,
terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan
atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.
(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau
pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan
pengadilan.

Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

Pasal 31 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak :
Salah satu orang tua, saudara kandung, atau
keluarga sampai derajat ketiga, dapat mengajukan
permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan
penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh
orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila
terdapat alasan yang kuat untuk itu.
Pengajuan permohonan kuasa asuh anak dapat
diajukan sekaligus dalam permohonan cerai atau
diajukan terpisah dengan permohonan cerai kepada
Pengadilan Negeri/ Agama. Perlu diingat, berdasarkan
aturan hukumnya, Penetapan pengadilan tentang kuasa
asuh anak tidak memutuskan hubungan darah antara
anak dan orang tua kandungnya dan atau tidak
menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk
membiayai hidup anaknya. Hal ini sebagaimana
dimaksud ketentuan pasal-pasal sebagai berikut :
* Pasal 49 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan :
Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka
masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya
pemeliharaan kepada anak tersebut
Pasal 32 UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak :
Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (3) sekurang-kurangnya memuat
ketentuan :
a.
tidak memutuskan hubungan darah antara
anak dan orang tua kandungnya;
Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

b.
tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya
untuk membiayai hidup anaknya; dan
c.
batas waktu pencabutan
Oleh karena penetapan pengadilan tidak memutus
hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya
dan atau tidak menghilangkan kewajiban orang tua
kepada si anak maka tidak ada alasan salah satu orang
tua menolak kunjungan orang tua yang lain untuk
bertemu dengan si anak. Praktek hukumnya, pembagian
waktu berkunjung atau waktu bercengkrama orang tua
dan si anak dilakukan berdasarkan kesepakatan diantara
kedua orang tua
Dalam memutuskan siapa yang berhak atas
kuasa asuh anak dalam perkara perceraian, sampai saat
ini belum ada aturan yang jelas dan tegas bagi hakim
untuk memutuskan siapa yang berhak, Ayah atau Ibu.
Jadi tidak heran banyak permasalahan dalam kasus
perebutan kuasa asuh anak, baik didalam persidangan
maupun diluar persidangan. Kalaupun ada, satu-satunya
Aturan yang jelas dan tegas bagi hakim dalam
memutuskan hak asuh anak ada dalam Pasal 105
Kompilasi.
Dalam hal terjadi perceraian :
A. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau
belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
B. pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz
diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah
atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
C. biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayah.

Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

Karena tiadanya aturan yang jelas maka pada


umumnya, secara baku, hakim mempertimbangkan
putusannya berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang
terungkap di persidangan mengenai baik buruknya pola
pengasuhan orang tua kepada si anak termasuk dalam hal
ini perilaku dari orang tua tersebut serta hal-hal terkait
kepentingan si anak baik secara psikologis, materi
maupun non materi. Singkat kata, diletakkan pada
kebijakan hakim dan sejauh mana hakim dapat
mempertimbangkan fakta-fakta dan bukti yang
terungkap di persidangan.

Diskusi dan Sudut Pandang PLS


Pendidikan luar sekolah (PLS) mempunyai
hubungan atau peran yang sangat penting dalam
menanggulangi perkembangan mental anak korban
perceraian. Hal itu bisa ditanggulangi dengan menjadi
tutor yang memberikan pendidikan khususnya terhadap
anak korban perceraian maupun bagi orang tua yang
bercerai.
Dalam hal ini Pendidikan luar sekolah
mempunyai andil untuk mendampingi para anak korban
perceraian agar anak bisa menerima dengan lapang dada
keputusan yang diambil oleh ke dua orang tuanya,
sehingga anak tidak mengekspresikannya dalam bentuk
perilaku yang buruk terutama dalam bidang pendidikan.
Karena anak korban perceraian biasanya sulit
berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah
atau pun malas bersekolah sehingga prestasi di sekolah
cenderung menurun, bahkan ada yang tidak mau atau
Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

berhenti sekolah. PLS bisa memberikan solusi dengan


memberikan pendidikan di rumah atau bahasa tren
sekarang Homescooling, sehingga bisa menyesuaikan
dengan kemauan anak.
Selain pada anak, PLS juga harus berperan
sebagai tutor bagi orang tua yang bercerai hal itu
dimaksudkan agar orang tua yang bercerai mengerti apa
yang harus dilakukan pada anak mereka setelah
perceraian , sehingga orang tua bisa memberikan
pengertian pada anak bahwa keputusan orang tuanya
bercerai adalah jalan yang terbaik sehingga anak bisa
menerima keputusan tersebut dan meminimalisir
pengaruh perceraian tersebut terhadap perkembangan
mental anak. Hal ini bisa dimasukkan dalam pendidikan
dalam keluarga dengan mengadakan work shop atau
seminar bagi orang tua tunggal yang sudah bercerai.

Kesimpulan
Perceraian seringkali berakhir menyakitkan bagi
pihak-pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah
anak-anak. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan
trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan
jenis. perceraian adalah penyebab stres kedua paling
tinggi, setelah kematian pasangan hidup.
Pada umumnya orangtua yang bercerai akan
lebih siap menghadapi perceraian tersebut dibandingkan
anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka
bercerai biasanya didahului proses berpikir dan
pertimbangan yang panjang, sehingga sudah ada suatu
persiapan mental dan fisik. Tidak demikian halnya
Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

dengan anak, mereka tiba-tiba saja harus menerima


keputusan yang telah dibuat oleh orangtua, tanpa
sebelumnya punya ide atau bayangan bahwa hidup
mereka akan berubah. Tiba-tiba saja Papa tidak lagi
pulang ke rumah atau Mama pergi dari rumah atau tibatiba bersama Mama atau Papa pindah ke rumah baru. Hal
yang mereka tahu sebelumnya mungkin hanyalah Mama
dan Papa sering bertengkar, bahkan mungkin ada anak
yang tidak pernah melihat orangtuanya bertengkar
karena orangtuanya benar-benar rapi menutupi
ketegangan antara mereka berdua agar anak-anak tidak
takut.
Anak anak yang orang tuanya bercerai dilanda
perasaan perasaan kehilangan (hilangnya satu anggota
keluarga; Ayah atau Ibunya). Perasaan gagal, kurang
percaya diri, kecewa, marah dan benci yang amat sangat.
Walaupun anak anak telah belajar
menyesuaikan diri dan melanjutkan kehidupan mereka
setelah orang tuanya bercerai. Namun, perceraian orang
tua tetap menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi
mereka.

Daftar Pustaka

Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

Mia Endriza Y.,S.P. 2007. ketua aliansi penulis pro


syariah, kalimantan selatan, perceraian dalam
rumah tangga. posted by Farid Maruf.
Jhon christop Arnold, 2009. Mengapa kita harus
memaafkan. Gramedia : jakarta
Moh. Arifin Ilham, 2004. Saat Berharga untuk
Anak kita, penulis : Moh. Fauzil Adhim, nuansa
cendika.
Richard Bugeiski dan Anthony M. Graziano (1983),
Dampak Perceraian, PT Gramedia : jakarta
Dr. Gary n Barbara Rosberg, Psikiater perceraian,
Pernikahan anti cerai diterjemahkan agussyafi
1980.
http://www.e-psikologi.com/keluarga/180402a.htm
Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Jakarta, 18 April
2002 http://www.e psikologi.com/keluarga/180402
a.htm
Ahmad, Abu Daud, dan Al-hakim riwayat
Abdullah bin Amr 2001 (www.keluargasamara.com)

Mia Endriza Y.,S.P. ketua aliansi penulis pro


syariah, kalimantan selatan, perceraian dalam
rumah tangga. Halaman 6, Farid Maruf.
[1]

[2] Dr. Gary n Barbara Rosberg, Psikiater perceraian,

Pernikahan anti cerai diterjemahkan agussyafi 1980,


hal : 63
[3] Richard Bugeiski dan Anthony M. Graziano (1983), Dampak
Perceraian, PT Gramedia : jakarta, hal : 37

[4] Jhon

christop Arnold, Mengapa kita harus


memaafkan, hal 29. Gramedia : jakarta
Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

[5] Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Jakarta, 18 April

2002 http://www.e psikologi.com/keluarga/180402a.htm

Ahmad, Abu Daud, dan Al-hakim riwayat


Abdullah bin Amr (www.keluargasamara.com)
[7] Moh. Arifin Ilham, Saat Berharga untuk
Anak kita, penulis : Moh. Fauzil Adhim, nuansa
cendika,bandung hal : 78
[6]

Diarsipkan oleh PLS UM untuk Imadiklus.com

Anda mungkin juga menyukai