Anda di halaman 1dari 22

ABSES LEHER DALAM

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH


Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam
sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana
yang terlibat. Penyebab paling sering dari abses leher dalam adalah infeksi gigi
(43%) dan penyalahgunaan narkoba suntikan (12%). 1
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat
komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan
saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna.
Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat
serius. Etiologi infeksi di daerah leher dapat bermacam-macam. Kuman
penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob,
anaerob maupun fakultatif anaerob. Asmar dikutip Murray dkk, mendapatkan
kultur dari abses retrofaring 90 % mengandung kuman aerob, dan 50% pasien
ditemukan kuman anaerob.1,2,3
Infeksi kepala dan leher yang mengancam jiwa ini sudah jarang terjadi sejak
diperkenalkannya antibiotik dan angka kematiannya menjadi lebih rendah.
Disamping itu higiene mulut yang meningkat juga berperan dalam hal ini.
Sebelum era antibiotik, 70 % infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi
di faring dan tonsil ke parafaring.4
Disamping drainase abses yang optimal, pemberian antibiotik diperlukan untuk
terapi yang adekuat. Untuk mendapatkan antibiotik yang efektif terhadap
pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotik
terhadap kuman. Namun ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga
diperlukan pemberian antibiotik secara empiris. Berbagai kepustakaan
melaporkan pemberian terapi antibiotik spektrum luas secara kombinasi.
Kombinasi yang diberikan pun bervariasi.5
Meluasnya penggunaan antibiotik tidak hanya menurunkan angka kejadian
infeksi yang mengancam jiwa, tetapi juga mengubah gambaran klinis penyakit
ini. Hal ini ditambah juga dengan semakin meningkatnya jumlah pasien dengan
status immunosupresi berat, menjadi tantangan bagi para dokter untuk
memahami gambaran klinis penyakit ini yang dapat memicu terjadinya
komplikasi yang mengancam jiwa. Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang
potensial leher secara baik, serta penyebab abses leher dalam mutlak diperlukan

untuk dapat memperkirakan perjalanan penyebaran infeksi dan penatalaksanaan


yang adekuat.1,4,5,6,7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI LEHER


Anatomi Leher
Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia
servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia
profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke
anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda
dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior
mandibula.6,8
Gambar 1. Potongan aksial leher setinggi orofaring
(Dikutip dari: 6)

Gambar 2. Potongan obliq leher


(Dikutip dari: 6)
Fasia
superfisial
terletak
dibawah
dermis.
Ini
termasuk
sistem
muskuloapenouretik, yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan
dada, dan tidak termasuk bagian dari daerah leher dalam. Fasia profunda
mengelilingi daerah leher dalam dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu: 5,6
-

lapisan superfisial

lapisan tengah

lapisan dalam.

Ruang potensial leher dalam


Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah
sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid. 6,8
Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari:
ruang retrofaring
ruang bahaya (danger space)
ruang prevertebra.

Ruang suprahioid terdiri dari:


ruang submandibula
ruang parafaring
ruang parotis
ruang mastikor
ruang peritonsil
ruang temporalis.

Ruang infrahioid:

ruang pretrakeal.

Gambar 3. Potongan Sagital Leher


(Diunduh dari: 6)
2.2 DEFINISI
Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi di
sebuah
kavitas
jaringan
karena
adanya
proses
infeksi
(biasanya
oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan,
luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh
jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari
tubuh.9
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial di
antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi,
seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher. 6

2.3 EPIDEMIOLOGI

Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan
kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%)
merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh
Ludwigs angina (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).
Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001 sampai
Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2.
Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%,
parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra
hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis 11%.

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun terakhir
(Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam sebanyak
33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%) kasus,
abses parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses
mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.

2.4 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam


tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik
secara perluasan langsung maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan
kekhasan flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu, maka kuman dari
abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian besar abses
leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob,
anaerob, maupun fakultatif anaerob.
Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak dibanding
dengan kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai 10:1 sampai
10000:1. Bakteriologi dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman yang
paling dominan adalah kuman anaerob yaitu, Prevotella, Porphyromonas,
Fusobacterium
spp, dan Peptostreptococcus
spp. Bakteri
aerob
dan
fakultatif adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus.
Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil
dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi
dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi molar I
yang berada di atas mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akan masuk
terlebih dahulu ke daerah sublingual, sedangkan molar II dan III apeknya berada
di bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah submaksila.
Parhischar dkk mendapatkan, dari 210 abses leher dalam, 175 (83,3%) dapat
diidentifikasi penyebabnya (tabel 1). Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%. Tujuh
puluh enam persen Ludwigs angina disebabkan infeksi gigi, abses submandibula
61% disebabkan oleh infeksi gigi.
Yang dkk melaporkan dari 100 orang abses leher dalam, 77 (77%) pasien dapat
diidentifikasi sumber infeksi sebagai penyebab. Penyebab terbanyak berasal dari
infeksi orofaring 35%, odontogenik 23%. Penyebab lain adalah infeksi kulit,
sialolitiasis, trauma, tuberkulosis, dan kista yang terinfeksi.
Tabel 1. Sumber infeksi penyebab abses leher dalam.
Penyebab

Jumlah

Gigi

77

43

Penyalahgunaan obat suntik

21

12

Faringotonsilitis

12

6,7

Fraktur mandibula

10

5,6

Infeksi kulit

5,1

Tuberculosis

5,1

Benda asing

3,9

Peritonsil abses

3,4

Trauma

3,4

Sialolitiasis

2,8

Parotis

1,7

Lain-lain

10

5,6

Tidak diketahui

35

(Dikutip dari: 5)

Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber
infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan kuman
flora normal di saluran nafas atas seperti streptokokus dan stafilokokus. Infeksi
yang
berasal
dari
gigi
biasanya
lebih
dominan
kuman
anaerob
seperti, Prevotella, Fusobacterium spp,.
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu hematogen,
limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi tergantung dari
virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.
Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke
parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang
submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.
(Gambar 4).

Pola kuman
Pada umumnya abses leher dalam disebabkan oleh infeksi campuran beberapa
kuman. Baik kuman aerob, anaerob maupun kuman fakultatif anaerob. Kuman
aerob yang sering ditemukan adalah stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus
influenza, Streptococcus Peneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp,
Neisseria
sp. Kuman
anaerob
yang
sering
adalah Peptostreptococcus,

Fusobacterium dan bacteroides sp. Pseudomanas aeruginosa merupakan kuman


yang jarang ditemukan.
Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok
batang
gram
negatif,
seperti Bacteroides,
Prevotella,
maupunFusobacterium. Gejala klinis yang menandakan adanya infeksi anaerob
adalah: 1. Sekret yang berbau busuk akibat produk asam lemak rantai pendek
dari metabolisme anaerob. 2. Infeksi di proksimal permukaan mukosa. 3. Adanya
gas dalam jaringan. 4. Hasil biakan aerob negatif.
Infeksi yang penting secara klinis akibat kuman anaerob sering terjadi. Infeksi
sering bersifat polimikroba yaitu bersamaan dengan kuman anaerob lainnya,
fakultatif anaerob, dan aerob. Bakteri anaerob ditemukan hampir disemua
bagian tubuh. Infeksi terjadi ketika bakteri anaerob dan bakteri flora normal
lainnya mengontaminasi yang secara normal steril.
Berbagai penelitian tentang kuman penyebab abses leher dalam telah banyak
dilakukan. Botin dkk mendapatkan Peptostreptococus, Streptococus viridan,
Streptococus intermedius berkaitan dengan infeksi gigi sebagai sumber infeksi
abses leher dalam. El-Sayed dan Al-daurosy, Botin dkk mendapatkan kuman
aerob terbanyak adalah stafilokokus dan streptokokus.
Abshirini H dkk, pada 40 hasil kultur dari abses leher dalam
mendapatkan;stafilokokus 77%, Streptococcus
haemolitycus 12,5%, Entrobacter 12,5%,Streptococcus
haemolyticus 7,5%, Klebsiella sp 5%, Streptococcus
non
haemolyticus 5%, Pseudomonas aeruginosa 2,5%. Parhiscar dkk, dari 210 pasien
abses leher dalam (1981-1998), dilakukan kultur terhadap 186 (88%) pasien,
dan pada 162 (87%) pasien ditemukan pertumbuhan kuman, 24(13%) pasien
tidak
terdapat
pertumbuhan
kuman.
Kuman
terbanyak Streptococcus
viridan 39%,Staphylococcus epidermidis 28%. Kuman anaerob terbanyak
adalah bacteroides sp14%. (Tabel 2)
Tabel. 2. Kuman Penyebab Abses leher dalam

Jenis Kuman

Jumla
h
pasie
n

%
kultu
r+

Streptococcus
viridans

63

39

46

28

Staphylococcus
aureus

35

22

22

14

Bactroides Sp

34

21

11

6,8

10

6,2

10

6,2

5,5

4,9

4,9

Neisseria sp

4,9

Peptostreptococcu
s

4,3

3,7

3,7

3,1

1,9

1,9

1,9

1,9

1,9

1,9

1,2

Staphylococcus
epidermidis

Streptococcus
haemolyticus

Klebsiella
pneumonia
Streptococcus
pneumonia
Mycobacterium tb
Anaerob
negatif

gram

Jamur
Enterobacter
Bacillus sp
Propionibacterium
Acinetobacter
Actinimicosis
israelii
Proteus sp
Klepsiella sp
Bifidobacterium
Microaerophilic
streptococcus
Enterococcus sp

6,8

Moraxtella
catarrhalis
Dan lain-lain

(Dikutip dari: 5)
Brook menemukan kuman yang tumbuh pada 201 spesimen dari abses kepala
dan leher, hanya kuman aerob sebanyak 65 spesimen, hanya kuman anaerob 65
spesimen, dan campuran keduanya 71 spesimen. Yang dkk6 dari 100 pasien
abses leher dalam yang dilakukan kultur kuman didapatkan 89%, ada
pertumbuhan kuman. Kuman aerob dominan ialah Streptococcus viridan,
Klebsiella
pneumonia,
Stapylococcus
aureus.
Kuman
anaerob
dominan Prevotella, Peptostreptococcus, dan Bacteroides. (Tabel 3).

Tabel 3. Pola kelompok kuman pada abses leher dalam


Hasil

jumlah kasus

Positif kuman

89

Kuman tunggal

38(42,7%)

Gram positif aerob

14

Gram negatif aerob

21

Anaerob
Kuman campuran

3
51 (57,3%)

Aerob saja

13

Gram positif saja

Gram negatif saja

Kedua gram

Anaerob saja

Campuran aerob-anaerob

36

(Dikutip dari: 5)

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang, periode April 2010 sampai
dengan Oktober 2010 terdapat sebanyak 22 pasien abses leher dalam dan
dilakukan kultur kuman penyebab, didapatkan 16 (73%) spesimen tumbuh
kuman aerob, 6 (27%) tidak tumbuh kuman aerob dan 2 (9%) tumbuh jamur
yaituCandida sp. Kuman aerob yang tumbuh yaitu; Streptocccus haemoliticus 6
(37%), Klepsiella sp 4 (25%), Enterobacter sp 3 (19%), Staphylococcus aureus 2
(12,5%), Staphilococcus epidermidis 1 (6%). E. Coli 1 (6%), Proteus vulgaris 1
(6%).
Dua
spesimen
tumbuh
2
macam
kuman
aerob
yaitu
campuran Streptocccus haemoliticus dengan Klebsiella sp. Pada pemeriksaan
ini tidak dilakukan kultur pada kuman anaerob. (Tabel 4)
Tabel 4. Hasil kultur abses leher dalam Bagian THT-KL dr. M.Djamil Padang
periode April 2010-Oktober 2010
Jenis Kuman

Jumlah

Streptocccus haemoliticus

37

Klepsiella sp

25

Enterobacter sp

19

Staphylococcus aureus

12,5

Staphilococcus epidermidis

E. Coli

Proteus vulgaris

(Dikutip dari: 5)

Infeksi leher dalam ditemukan 88 (74,6%) spesimen mengandung kuman


anaerob. Kuman anaerob saja 19,5%, kuman aerob dan fakultatif saja 16,9%,
campuran kuman aerob dan anaerob 55,1%, dan 8,5% tidak tumbuh kuman. Dari
kuman anaerob tumbuh didapatkan gram negatif anaerob 50,8%,

yaitu; Bacteroides fragillis 3,9%, Fusobacterium sp 9,4%, Prevotella spp 30,5%,


lain-lain
7%,
gram
positif
anaerob
49,2%,
yaitu: Actinomycess
spp 11,7%, Eubacterium spp 11,7%,lactobacillus spp 6,2%, propionibacterium
spp 4,7%, kokus gram positif 10,9%.

2.5 GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS


Gejala klinis abses leher dalam secara umum sama dengan gejala infeksi pada
umumnya yaitu, demam, nyeri, pembengkakan, dan gangguan fungsi.Abshirini
H, dkk melaporkan gejala klinis dari abses leher dalam pada 147 kasus
didapatkan: bengkak pada leher 87%, trismus 53%, disfagia 45%, dan odinofagia
29,3%. Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala spesifik yang
sesuai dengan ruang potensial yang terlibat.5,6,7
2.5.1 Abses peritonsil
Abses peritonsil merupakan terkumpulnya material purulen yang terbentuk di
luar kapsul tonsil dekat kutub atas tonsil.10
Etiologi
Abses peritonsil merupakan abses yang paling banyak ditemukan, dan biasanya
merupakan komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar
mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan
penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob. 7,10
Patologi
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial pritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. 7
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah
tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula
ke arah kontralateral. Bila proses berlanjut terus, peradangan jaringan di
sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M. Pterygoideus interna, sehingga
timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke
paru.7
Diagnosis
Pada abses peritonsil didapatkan gejala demam, nyeri tenggorok, nyeri menelan
(odinofagia), hipersalivasi, nyeri telinga (otalgia) dan suara bergumam (hot
potato voice). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui saraf N.
Glossopharyngeus (N.IX). Mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau
(foetor ex ore) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus). Pada
pemeriksaan fisik didapatkan palatum mole tampak membengkak dan menonjol
ke depan, dapat teraba fluktuasi, arkus faring tidak simetris, pembengkakan di

daerah peritonsil, uvula terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil
bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke sisi kontra
lateral. Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring karena trismus. Abses ini
dapat meluas ke daerah parafaring. Untuk memastikan diagnosis dapat
dilakukan pungsi aspirasi dari tempat yang paling fluktuatif. 6,7,8
Terapi
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. 7
Bila telah terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan
teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. Tempat insisi ialah
di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang
menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision
dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya
diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses
menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien. 7,11
Bila terdapat trismus, pembedahan drainase dilakukan setelah pemberian cairn
kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa
nasalis.11
Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi a chaud. Bila
tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi a
tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut
tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi
tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses. 7
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat
ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil.
Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat
kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi segera.12
Komplikasi
Abses pecah spontan dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau
piemia. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi
mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan
trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak. 7

2.5.2 Abses retrofaring


Etiologi dan Patologi

Merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi, terutama terjadi pada bayi
atau anak di bawah dua tahun dan merupakan abses leher dalam yang
terbanyak pada anak. Kelenjar getah bening ini biasanya mengalami atropi pada
usia 3-4 tahun. Pada anak biasanya abses terjadi mengikuti infeksi saluran nafas
atas dengan supurasi pada kelenjar getah bening yang terdapat pada daerah
retrofaring. Pada orang dewasa abses retrofaring sering terjadi akibat adanya
trauma tumpul pada mukosa faring, perluasan abses dari struktur yang
berdekatan.5,6,7,11
Diagnosis
Gejala utama berupa rasa nyeri (odinofagia) dan sukar menelan (disfagia) di
samping juga gejala-gejala lain berupa demam, pergerakan leher terbatas, dan
sesak nafas. Sesak nafas timbul jika abses sudah menimbulkan sumbatan jalan
nafas, terutama di hipofaring. Bila peradangan sudah sampai laring, dapat timbul
stridor. Abses retrofaring sebaiknya dicurigai jika pada bayi atau anak kecil
terdapat demam yang tidak dapat dijelaskan setelah infeksi pernapasan bagian
atas dan terdapat gejala-gejala hilangnya nafsu makan, perubahan dalam
berbicara, dan kesulitan menelan. Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan
dinding posterior faring.5,6,7,11
Terapi
Terapi dengan medikamentosa, yakni antibiotika dosis tinggi untuk kuman aerob
dan anaerob, dan tindakan bedah. Pungsi dan insisi abses dilakukan melalui
laringoskop langsung dalam posisi pasien Trendelenburg. Pus yang keluar segera
diisap agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal
atau umum.7,11
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring, ruang
vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi jalan nafas sampai asfiksia, bila pecah
spontan dapat menyebabkan penummonia aspirasi dan abses paru. 7

2.5.3 Abses Parafaring


Etiologi dan patologi
Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi, parotis,
atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring merupakan perluasan
dari abses leher dalam yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses
submandibula, abses retrofaring maupun mastikator. 5,8
Gejala dan tanda
Gejala utama abses parafaring berupa demam, trismus, nyeri tenggorok,
odinofagi dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di
daerah parafaring, pendorongan dinding lateral faring ke medial, dan angulus

mandibula tidak teraba. Pada abses parafaring yang mengenai daerah prestiloid
akan memberikan gejala trismus yang lebih jelas. 5,7,8
Terapi
Selain pemberian antibiotika dosis tinggi, evakuasi abses harus segera dilakukan
bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara
eksplorasi dalam narkosis. Drainase sebaiknya dilakukan melalui insisi servikal
pada 2 jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi
dilanjutkan dari batas anterior M. Sternocleidomastoideus ke arah atas belakang
menyusuri bagian medial mandibula dan M. Pterigoideus interna mencapai
mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah
terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan
insisi horizontal ke bawah di depan M. Sternocleidomastoideus (cara Mosher). 7,11
Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(per kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat
mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis
mencapai mediastinum. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding
pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur,
sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis,
dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.7

2.5.4 Abses Submandibula


Etiologi dan patologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar
limfe submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi infeksi ruang leher
dalam lain.7
Diagnosis
Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut dan leher, air liur banyak.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah submandibula,
fluktuatif, lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang, angulus mandibula
dapat diraba. Pada aspirasi didapatkan pus. 7,11

2.5.5 Angina Ludovici (Ludwigs Angina)


Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian
superior ruang suprahioid atau di daerah sub mandibula, dengan tidak ada fokal
abses. Ruang potensial ini berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada
tulang hioid dan ototmilohioideus.7,11
Etiologi

Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal dari gigi
geligi, tetapi dapat berasal dari proses supuratif nodi limfatisi servikalis pada
ruang submaksilaris.11
Diagnosis
Biasanya akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak, trismus,
nyeri, disfagia, massa di submandibula yang tampak hiperemis dan keras pada
perabaan. Kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut mendorong
lidah ke atas dan ke belakang dan dengan demikian dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas secara potensial sehingga timbul sesak napas. 7,11
Terapi
Diberikan antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, dan
diberikan secara parenteral. Kemudian dilakukan eksplorasi dengan pembedahan
insisi melalui garis tengah, dengan demikian menghentikan ketegangan
(dekompresi) yang terbentuk pada dasar mulut. Karena ini merupakan selulitis,
maka sebenarnya pus jarang diperoleh. Sebelum insisi dan drainase dilakukan,
sebaiknya dilakukan persiapan terhadap kemungkinan trakeostomi karena
ketidakmampuan melakukan intubasi pada pasien, seperti lidah yang
mengobstruksi pandangan laring dan tidak dapat ditekan oleh laringoskop. 7,11
Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah sumbatan jalan nafas, penjalaran abses ke
ruang leher dalam lain dan mediastinum, dan sepsis. 7

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1.

Rontgen servikal lateral

Dapat memberikan gambaran adanya pembengkakan jaringan lunak pada


daerah prevertebra, adanya benda asing, gambaran udara di subkutan, air fluid
levels, erosi dari korpus vertebre. Penebalan jaringan lunak pada prevertebre
setinggi servikal II (C2), lebih 7mm, dan setinggi servikal VI yang lebih 14mm
pada anak, lebih 22mm pada dewasa dicurigai sebagai suatu abses
retrofaring.5,6,8
Tabel 5. Tebal jaringan lunak posterior faring berdasarkan umur pada Rontgen
servikal lateral
Umur

Setinggi C4

Setinggi C6

0-1

1,5.C

2,0.C

1-2

0,5.C

1,5.C

2-3

0,5.C

1,2.C

3-6

0,4.C

1,2.C

6-14

0,3.C

1,2.C

Dewasa

Lk

pr

0,3C 0,3C

Lk

pr

0,7C 0,6C

C= corpus servikal
(Dikutip dari: 5)

1.

Rontgen Panoramiks

Dilakukan pada kasus abses leher dalam yang dicurigai berasal dari gigi.8
2.

Rontgen toraks

Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis, pendorongan


saluran nafas, pneumonia yang dicurigai akibat aspirasi dari abses. 8
3.

Tomografi Komputer (TK/ CT Scan)

Tomografi komputer dengan kontras merupakan pemeriksaan baku emas pada


abses leher dalam. Berdasarkan penelitian Crespo dkk, seperti dikutip Murray AD
dkk, bahwa dengan hanya pemeriksaan klinis tanpa tomografi komputer
mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu rendah pada 70%
pasien.
TK
memberikan
gambaran
abses
berupa lesi
dengan hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas, kadang ada air fluid
levels. Kirse dan Robenson, mendapatkan ada hubungan antara ketidakteraturan
dinding abses dengan adanya pus pada rongga tersebut. Pemeriksaan TK toraks
diperlukan jika dicurigai adanya perluasan abses ke mediastinum. 5,8
4.

Pemeriksaan Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam atau tertutup harus meliputi
biakan metoda anaerob. Setelah desinfeksi kulit, pus dapat diambil dengan
aspirasi memakai jarum aspirasi atau dilakukan insisi. Pus yang diambil
sebaiknya tidak terkontaminasi dengan flora normal yang ada di daerah saluran
nafas atas atau rongga mulut. Aspirasi dilakukan dari daerah yang sehat dan
dilakukan lebih dalam.5

2.7 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan abses leher dalam adalah dengan evakuasi abses baik
dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum. Antibiotik dosis
tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral. Hal
yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang adekuat dan drainase
abses yang baik.5

Menurut Poe dkk penatalaksanaan abses leher dalam meliputi operasi untuk
evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian
antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi dan mempercepat perbaikan. 5
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah
efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman
minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih
lama.5
Pemberian antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan
antibiotik terhadap kuman penyebab infeksi. Biakan kuman membutuhkan waktu
yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera
diberikan. Sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas keluar, diberikan
antibiotik kuman aerob dan anaerob secara empiris. Yang SW, dkk melaporkan
pemberian antibiotik kombinasi pada abses leher dalam, yaitu; Kombinasi
penesilin G, klindamisin dan gentamisin, kombinasi ceftriaxone dan klindamisin,
kombinasi ceftriaxone dan metronidazole, kombinasi cefuroxime dan klindamisin,
kombinasi pinisilin dan metronidazole, masing-masing didapatkan angka
perlindungan (keberhasilan) 67,4%, 76,4%, 70,8%, 61,9%. Avest ET, dkk,
memberikan antibiotik empiris, kombinasi metronidazole dengan ceftriaxone. 5
Penesilin G merupakan obat terpilih untuk infeksi kuman streptokokus dan
stafilokokus yang tidak menghasilkan enzim penecilinase. Gentamisin
menunjukkan efek sinergis dengan pinisilin. Klindamisin efektif terhadap
streptokokus, pneumokokus dan stafilokokus yang resisten terhadap penisilin.
Lebih
khusus
pemakaian
klindamisin
pada
infeksi polimicrobial termasukBacteroides sp maupun kuman anaerob lainnya
pada daerah oral.5
Berbagai kombinasi pemberian antibiotik secara empiris sebelum didapatkan
hasil kepekaan terhadap kuman penyebab, dianjurkan berbagai ahli seperti
terlihat pada (tabel 6).5

Tabel 6. Antibiotik yang dianjurkan beberapa penulis secara empiris.


Penulis
Sakaguchi
(97)

Antibiotik
dkk Penisilin
Klindamisin

Umur
& D

Parhischar, Har-El Penisilin G & Oxacillin

A&D

(01)

Gates (83)

Chen dkk (98)

Plaza, Mayor (01)


Simo dkk (98)
Nagy dkk
(97)

atau Nafcilin
Penisilin, lactamase
resistant drug
PenisilinG,
Klindamisin,
Gentamisin

Cefotaxime,
Metronidazole

D
A

Flucloxacine,
Metronidazole
Ceftriaxone
Klindamisin

A&D
,
A

Mc Clay dkk (03)


Sichel dkk (02)
Brondbo dkk (83)

DTV

A&D
Cefuroxime,
Klindamisin

Amoksillin-Asam
klavulanik
Penesilin
Metronidazole

G,

A=Anak, D=Dewasa DTV=Data tidak valid


(Dikutip dari: 5)

Pada kultur didapatkan kuman anaerob, maka antibiotik metronidazole,


klindamisin, carbapenem, sefoxitin, atau kombinasi penisilin dan -lactam
inhibitor merupakan obat terpilih.5
Metronidazole juga efektif sebagai amubisid. Aminoglikosida, quinolone atau
cefalosforin generasi ke III dapat ditambahkan jika terdapat kuman enterik gram
negatif. Cefalosporin generasi III mempunyai efektifitas yang lebih baik terhadap
gram negatif enterik. Dibanding dengan cefalosporin generasi I, generasi III
kurang
efektif
terhadap kokus
gram
positif,
tapi
sangat
efektif
terhadapHaemofillus infeluenza, Neisseria sp dan Pneumokokus. Ceftriaxone dan
cefotaxime mempunyai efektifitas terhadap streptokokus. Ceftriaxone sangat
efektif terhadap gram negatif dan Haemofillus sp, kebanyakan Streptococcus
pneumonia dan Neisseriae sp yang resisiten terhadap penesilin.5
Di Bagian THT-KL RS. Dr. M. Djamil Padang pemberian antibiotik secara empiris
diberikan berupa antibiotik kombinasi ceftriaxone dan metronidazole.
Ini berdasarkan kuman penyebab terbanyak abses leher dalam yaitu jenis

streptokokus, stafilokokus dan kuman anaerob. Penambahan gentamisin


(aminoglikosid) dapat diberikan jika dicurigai kuman penyebab termasuk kuman
entrik seperti Klebsiella,proteus, Enterobacter.5
Setelah keluar hasil uji kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab diberikan
antibiotik yang sesuai. Pada pemberian kombinasi antibiotik secara empiris jika
terdapat perbaikan, antibiotik dapat diteruskan, jika tidak maka antibiotik diganti
sesuai uji kepekaan.5,6

BAB III
PENUTUP

3.1 RANGKUMAN
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat
komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan
saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna.
Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat
serius. Oleh karena itu, penatalaksanaan abses leher dalam meliputi operasi
untuk evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian
antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi yang mengancam jiwa dan
mempercepat perbaikan.
Untuk identifikasi kuman penyebab membutuhkan pemeriksaan biakan kuman.
Biakan kuman membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya,
sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Oleh karena kuman penyebab
abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob
maupun fakultatif anaerob, maka sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas
keluar, diberikan antibiotik untuk kuman aerob dan anaerob secara empiris.
Pemberian antibiotik secara empiris dapat berupa antibiotik kombinasi
ceftriaxone dan metronidazole. Ini berdasarkan kuman penyebab terbanyak
abses leher dalam yaitu jenis streptokokus, stafilokokus dan kuman anaerob.
Penambahan gentamisin (aminoglikosid) dapat diberikan jika dicurigai kuman
penyebab termasuk kuman entrik seperti Klebsiella, proteus, Enterobacter.
Setelah keluar hasil uji kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab diberikan
antibiotik yang sesuai. Pada pemberian kombinasi antibiotik secara empiris jika
terdapat perbaikan, antibiotik dapat diteruskan, jika tidak maka antibiotik diganti
sesuai uji kepekaan.

3.2 SARAN
Abses leher dalam merupakan suatu keadaan yang dapat mengancam jiwa. Oleh
karena itu dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan dokter dalam mengenali
tanda-tanda suatu kegawatan dan cara mengatasinya dalam segala
keterbatasan.

DAFTAR PUSTAKA

1.
Andrina YMR. Abses retrofaring. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatera Utara. 2003. Diunduh
dari:repository.usu.ac.id pada tanggal 15 April 2011.
2.
Baba Y, Kato Y, Saito H, Ogawa K. Management of deep neck infection by a
transnasal approach: a case report. Journal of Medical Case Report. 3: 7317,
2009. Diunduh dari:www.jmedicalcasereports.com pada tanggal 22 April 2011
3.
Berger TJ, Shahidi H. Retropharyngeal Abscess. Emedicine Journal. 2001,
Volume
2,
Number
8.
Diunduh
dari: author.emedicine.com/PED/topic2682.html pada tanggal 22 April 2011
4.
Schreiner C, Quinn FB. Deep Neck Abscesses and Life-Threatening
Infections of the Head and Neck. Dept of Otolaryngology UTMB. 1998. Diunduh
dari:www.otohns.net pada tanggal 22 April 2011
5.
Pulungan, M. Rusli. Pola Kuman Abses Leher Dalam. Diunduh
darihttp://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHER-DALAMRevisi pada tanggal 14 April 2011
6.
Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep Space of the neck. Dalam:
Bailley BJ, Jhonson JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4.
Philadelphia: JB.Lippincott Company 2006.p.666-81
7.
Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor.
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai
Penerbit FK-UI. 2007:p. 185-8
8.
Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. [Diperbaharui
Juli 2009] Diunduh dari: www.eMedicine Specialties//Otolaringology and facial
plastic surgery.com pada tanggal 25 April 2011
9.

Anonim. Diunduh dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Abses pada 16 April 2011

10. Edinger JT, Hilal EY, Dastur KJ. Bilateral Peritonsillar Abscesses: A
Challenging Diagnosis. Ear, Nose & Throut Journal. 86(3):162-3. 2007. Diunduh
dari: www.entjournal.com pada tanggal 22 April 2011
11. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring.
Dalam: Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar penyakit THT Edisi VI.
Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1997. hal. 320-355.
12. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.

Anda mungkin juga menyukai