Abses Leher Dalam
Abses Leher Dalam
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
lapisan superfisial
lapisan tengah
lapisan dalam.
Ruang infrahioid:
ruang pretrakeal.
2.3 EPIDEMIOLOGI
Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan
kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%)
merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh
Ludwigs angina (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).
Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001 sampai
Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2.
Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%,
parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra
hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis 11%.
Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun terakhir
(Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam sebanyak
33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%) kasus,
abses parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses
mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.
Jumlah
Gigi
77
43
21
12
Faringotonsilitis
12
6,7
Fraktur mandibula
10
5,6
Infeksi kulit
5,1
Tuberculosis
5,1
Benda asing
3,9
Peritonsil abses
3,4
Trauma
3,4
Sialolitiasis
2,8
Parotis
1,7
Lain-lain
10
5,6
Tidak diketahui
35
(Dikutip dari: 5)
Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber
infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan kuman
flora normal di saluran nafas atas seperti streptokokus dan stafilokokus. Infeksi
yang
berasal
dari
gigi
biasanya
lebih
dominan
kuman
anaerob
seperti, Prevotella, Fusobacterium spp,.
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu hematogen,
limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi tergantung dari
virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.
Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke
parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang
submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.
(Gambar 4).
Pola kuman
Pada umumnya abses leher dalam disebabkan oleh infeksi campuran beberapa
kuman. Baik kuman aerob, anaerob maupun kuman fakultatif anaerob. Kuman
aerob yang sering ditemukan adalah stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus
influenza, Streptococcus Peneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp,
Neisseria
sp. Kuman
anaerob
yang
sering
adalah Peptostreptococcus,
Jenis Kuman
Jumla
h
pasie
n
%
kultu
r+
Streptococcus
viridans
63
39
46
28
Staphylococcus
aureus
35
22
22
14
Bactroides Sp
34
21
11
6,8
10
6,2
10
6,2
5,5
4,9
4,9
Neisseria sp
4,9
Peptostreptococcu
s
4,3
3,7
3,7
3,1
1,9
1,9
1,9
1,9
1,9
1,9
1,2
Staphylococcus
epidermidis
Streptococcus
haemolyticus
Klebsiella
pneumonia
Streptococcus
pneumonia
Mycobacterium tb
Anaerob
negatif
gram
Jamur
Enterobacter
Bacillus sp
Propionibacterium
Acinetobacter
Actinimicosis
israelii
Proteus sp
Klepsiella sp
Bifidobacterium
Microaerophilic
streptococcus
Enterococcus sp
6,8
Moraxtella
catarrhalis
Dan lain-lain
(Dikutip dari: 5)
Brook menemukan kuman yang tumbuh pada 201 spesimen dari abses kepala
dan leher, hanya kuman aerob sebanyak 65 spesimen, hanya kuman anaerob 65
spesimen, dan campuran keduanya 71 spesimen. Yang dkk6 dari 100 pasien
abses leher dalam yang dilakukan kultur kuman didapatkan 89%, ada
pertumbuhan kuman. Kuman aerob dominan ialah Streptococcus viridan,
Klebsiella
pneumonia,
Stapylococcus
aureus.
Kuman
anaerob
dominan Prevotella, Peptostreptococcus, dan Bacteroides. (Tabel 3).
jumlah kasus
Positif kuman
89
Kuman tunggal
38(42,7%)
14
21
Anaerob
Kuman campuran
3
51 (57,3%)
Aerob saja
13
Kedua gram
Anaerob saja
Campuran aerob-anaerob
36
(Dikutip dari: 5)
Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang, periode April 2010 sampai
dengan Oktober 2010 terdapat sebanyak 22 pasien abses leher dalam dan
dilakukan kultur kuman penyebab, didapatkan 16 (73%) spesimen tumbuh
kuman aerob, 6 (27%) tidak tumbuh kuman aerob dan 2 (9%) tumbuh jamur
yaituCandida sp. Kuman aerob yang tumbuh yaitu; Streptocccus haemoliticus 6
(37%), Klepsiella sp 4 (25%), Enterobacter sp 3 (19%), Staphylococcus aureus 2
(12,5%), Staphilococcus epidermidis 1 (6%). E. Coli 1 (6%), Proteus vulgaris 1
(6%).
Dua
spesimen
tumbuh
2
macam
kuman
aerob
yaitu
campuran Streptocccus haemoliticus dengan Klebsiella sp. Pada pemeriksaan
ini tidak dilakukan kultur pada kuman anaerob. (Tabel 4)
Tabel 4. Hasil kultur abses leher dalam Bagian THT-KL dr. M.Djamil Padang
periode April 2010-Oktober 2010
Jenis Kuman
Jumlah
Streptocccus haemoliticus
37
Klepsiella sp
25
Enterobacter sp
19
Staphylococcus aureus
12,5
Staphilococcus epidermidis
E. Coli
Proteus vulgaris
(Dikutip dari: 5)
daerah peritonsil, uvula terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil
bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke sisi kontra
lateral. Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring karena trismus. Abses ini
dapat meluas ke daerah parafaring. Untuk memastikan diagnosis dapat
dilakukan pungsi aspirasi dari tempat yang paling fluktuatif. 6,7,8
Terapi
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. 7
Bila telah terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan
teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. Tempat insisi ialah
di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang
menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision
dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya
diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses
menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien. 7,11
Bila terdapat trismus, pembedahan drainase dilakukan setelah pemberian cairn
kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa
nasalis.11
Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi a chaud. Bila
tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi a
tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut
tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi
tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses. 7
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat
ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil.
Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat
kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi segera.12
Komplikasi
Abses pecah spontan dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau
piemia. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi
mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan
trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak. 7
Merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi, terutama terjadi pada bayi
atau anak di bawah dua tahun dan merupakan abses leher dalam yang
terbanyak pada anak. Kelenjar getah bening ini biasanya mengalami atropi pada
usia 3-4 tahun. Pada anak biasanya abses terjadi mengikuti infeksi saluran nafas
atas dengan supurasi pada kelenjar getah bening yang terdapat pada daerah
retrofaring. Pada orang dewasa abses retrofaring sering terjadi akibat adanya
trauma tumpul pada mukosa faring, perluasan abses dari struktur yang
berdekatan.5,6,7,11
Diagnosis
Gejala utama berupa rasa nyeri (odinofagia) dan sukar menelan (disfagia) di
samping juga gejala-gejala lain berupa demam, pergerakan leher terbatas, dan
sesak nafas. Sesak nafas timbul jika abses sudah menimbulkan sumbatan jalan
nafas, terutama di hipofaring. Bila peradangan sudah sampai laring, dapat timbul
stridor. Abses retrofaring sebaiknya dicurigai jika pada bayi atau anak kecil
terdapat demam yang tidak dapat dijelaskan setelah infeksi pernapasan bagian
atas dan terdapat gejala-gejala hilangnya nafsu makan, perubahan dalam
berbicara, dan kesulitan menelan. Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan
dinding posterior faring.5,6,7,11
Terapi
Terapi dengan medikamentosa, yakni antibiotika dosis tinggi untuk kuman aerob
dan anaerob, dan tindakan bedah. Pungsi dan insisi abses dilakukan melalui
laringoskop langsung dalam posisi pasien Trendelenburg. Pus yang keluar segera
diisap agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal
atau umum.7,11
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring, ruang
vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi jalan nafas sampai asfiksia, bila pecah
spontan dapat menyebabkan penummonia aspirasi dan abses paru. 7
mandibula tidak teraba. Pada abses parafaring yang mengenai daerah prestiloid
akan memberikan gejala trismus yang lebih jelas. 5,7,8
Terapi
Selain pemberian antibiotika dosis tinggi, evakuasi abses harus segera dilakukan
bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara
eksplorasi dalam narkosis. Drainase sebaiknya dilakukan melalui insisi servikal
pada 2 jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi
dilanjutkan dari batas anterior M. Sternocleidomastoideus ke arah atas belakang
menyusuri bagian medial mandibula dan M. Pterigoideus interna mencapai
mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah
terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan
insisi horizontal ke bawah di depan M. Sternocleidomastoideus (cara Mosher). 7,11
Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(per kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat
mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis
mencapai mediastinum. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding
pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur,
sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis,
dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.7
Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal dari gigi
geligi, tetapi dapat berasal dari proses supuratif nodi limfatisi servikalis pada
ruang submaksilaris.11
Diagnosis
Biasanya akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak, trismus,
nyeri, disfagia, massa di submandibula yang tampak hiperemis dan keras pada
perabaan. Kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut mendorong
lidah ke atas dan ke belakang dan dengan demikian dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas secara potensial sehingga timbul sesak napas. 7,11
Terapi
Diberikan antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, dan
diberikan secara parenteral. Kemudian dilakukan eksplorasi dengan pembedahan
insisi melalui garis tengah, dengan demikian menghentikan ketegangan
(dekompresi) yang terbentuk pada dasar mulut. Karena ini merupakan selulitis,
maka sebenarnya pus jarang diperoleh. Sebelum insisi dan drainase dilakukan,
sebaiknya dilakukan persiapan terhadap kemungkinan trakeostomi karena
ketidakmampuan melakukan intubasi pada pasien, seperti lidah yang
mengobstruksi pandangan laring dan tidak dapat ditekan oleh laringoskop. 7,11
Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah sumbatan jalan nafas, penjalaran abses ke
ruang leher dalam lain dan mediastinum, dan sepsis. 7
Setinggi C4
Setinggi C6
0-1
1,5.C
2,0.C
1-2
0,5.C
1,5.C
2-3
0,5.C
1,2.C
3-6
0,4.C
1,2.C
6-14
0,3.C
1,2.C
Dewasa
Lk
pr
0,3C 0,3C
Lk
pr
0,7C 0,6C
C= corpus servikal
(Dikutip dari: 5)
1.
Rontgen Panoramiks
Dilakukan pada kasus abses leher dalam yang dicurigai berasal dari gigi.8
2.
Rontgen toraks
Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam atau tertutup harus meliputi
biakan metoda anaerob. Setelah desinfeksi kulit, pus dapat diambil dengan
aspirasi memakai jarum aspirasi atau dilakukan insisi. Pus yang diambil
sebaiknya tidak terkontaminasi dengan flora normal yang ada di daerah saluran
nafas atas atau rongga mulut. Aspirasi dilakukan dari daerah yang sehat dan
dilakukan lebih dalam.5
2.7 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan abses leher dalam adalah dengan evakuasi abses baik
dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum. Antibiotik dosis
tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral. Hal
yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang adekuat dan drainase
abses yang baik.5
Menurut Poe dkk penatalaksanaan abses leher dalam meliputi operasi untuk
evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian
antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi dan mempercepat perbaikan. 5
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah
efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman
minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih
lama.5
Pemberian antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan
antibiotik terhadap kuman penyebab infeksi. Biakan kuman membutuhkan waktu
yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera
diberikan. Sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas keluar, diberikan
antibiotik kuman aerob dan anaerob secara empiris. Yang SW, dkk melaporkan
pemberian antibiotik kombinasi pada abses leher dalam, yaitu; Kombinasi
penesilin G, klindamisin dan gentamisin, kombinasi ceftriaxone dan klindamisin,
kombinasi ceftriaxone dan metronidazole, kombinasi cefuroxime dan klindamisin,
kombinasi pinisilin dan metronidazole, masing-masing didapatkan angka
perlindungan (keberhasilan) 67,4%, 76,4%, 70,8%, 61,9%. Avest ET, dkk,
memberikan antibiotik empiris, kombinasi metronidazole dengan ceftriaxone. 5
Penesilin G merupakan obat terpilih untuk infeksi kuman streptokokus dan
stafilokokus yang tidak menghasilkan enzim penecilinase. Gentamisin
menunjukkan efek sinergis dengan pinisilin. Klindamisin efektif terhadap
streptokokus, pneumokokus dan stafilokokus yang resisten terhadap penisilin.
Lebih
khusus
pemakaian
klindamisin
pada
infeksi polimicrobial termasukBacteroides sp maupun kuman anaerob lainnya
pada daerah oral.5
Berbagai kombinasi pemberian antibiotik secara empiris sebelum didapatkan
hasil kepekaan terhadap kuman penyebab, dianjurkan berbagai ahli seperti
terlihat pada (tabel 6).5
Antibiotik
dkk Penisilin
Klindamisin
Umur
& D
A&D
(01)
Gates (83)
atau Nafcilin
Penisilin, lactamase
resistant drug
PenisilinG,
Klindamisin,
Gentamisin
Cefotaxime,
Metronidazole
D
A
Flucloxacine,
Metronidazole
Ceftriaxone
Klindamisin
A&D
,
A
DTV
A&D
Cefuroxime,
Klindamisin
Amoksillin-Asam
klavulanik
Penesilin
Metronidazole
G,
BAB III
PENUTUP
3.1 RANGKUMAN
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat
komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan
saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna.
Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat
serius. Oleh karena itu, penatalaksanaan abses leher dalam meliputi operasi
untuk evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian
antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi yang mengancam jiwa dan
mempercepat perbaikan.
Untuk identifikasi kuman penyebab membutuhkan pemeriksaan biakan kuman.
Biakan kuman membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya,
sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Oleh karena kuman penyebab
abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob
maupun fakultatif anaerob, maka sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas
keluar, diberikan antibiotik untuk kuman aerob dan anaerob secara empiris.
Pemberian antibiotik secara empiris dapat berupa antibiotik kombinasi
ceftriaxone dan metronidazole. Ini berdasarkan kuman penyebab terbanyak
abses leher dalam yaitu jenis streptokokus, stafilokokus dan kuman anaerob.
Penambahan gentamisin (aminoglikosid) dapat diberikan jika dicurigai kuman
penyebab termasuk kuman entrik seperti Klebsiella, proteus, Enterobacter.
Setelah keluar hasil uji kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab diberikan
antibiotik yang sesuai. Pada pemberian kombinasi antibiotik secara empiris jika
terdapat perbaikan, antibiotik dapat diteruskan, jika tidak maka antibiotik diganti
sesuai uji kepekaan.
3.2 SARAN
Abses leher dalam merupakan suatu keadaan yang dapat mengancam jiwa. Oleh
karena itu dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan dokter dalam mengenali
tanda-tanda suatu kegawatan dan cara mengatasinya dalam segala
keterbatasan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Andrina YMR. Abses retrofaring. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatera Utara. 2003. Diunduh
dari:repository.usu.ac.id pada tanggal 15 April 2011.
2.
Baba Y, Kato Y, Saito H, Ogawa K. Management of deep neck infection by a
transnasal approach: a case report. Journal of Medical Case Report. 3: 7317,
2009. Diunduh dari:www.jmedicalcasereports.com pada tanggal 22 April 2011
3.
Berger TJ, Shahidi H. Retropharyngeal Abscess. Emedicine Journal. 2001,
Volume
2,
Number
8.
Diunduh
dari: author.emedicine.com/PED/topic2682.html pada tanggal 22 April 2011
4.
Schreiner C, Quinn FB. Deep Neck Abscesses and Life-Threatening
Infections of the Head and Neck. Dept of Otolaryngology UTMB. 1998. Diunduh
dari:www.otohns.net pada tanggal 22 April 2011
5.
Pulungan, M. Rusli. Pola Kuman Abses Leher Dalam. Diunduh
darihttp://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHER-DALAMRevisi pada tanggal 14 April 2011
6.
Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep Space of the neck. Dalam:
Bailley BJ, Jhonson JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4.
Philadelphia: JB.Lippincott Company 2006.p.666-81
7.
Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor.
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai
Penerbit FK-UI. 2007:p. 185-8
8.
Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. [Diperbaharui
Juli 2009] Diunduh dari: www.eMedicine Specialties//Otolaringology and facial
plastic surgery.com pada tanggal 25 April 2011
9.
10. Edinger JT, Hilal EY, Dastur KJ. Bilateral Peritonsillar Abscesses: A
Challenging Diagnosis. Ear, Nose & Throut Journal. 86(3):162-3. 2007. Diunduh
dari: www.entjournal.com pada tanggal 22 April 2011
11. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring.
Dalam: Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar penyakit THT Edisi VI.
Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1997. hal. 320-355.
12. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.