Anda di halaman 1dari 95

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK


RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
URTIKARIA
Kode ICD : L.50
1. Definisi

2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
fisik
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diffrential
diagnosis

7. Pemeriksaan
Penunujang

Urtikaria (kaligata, gidu, biduran, sumimikang, karumba dll) adalah erupsi kulit yang
menimbul, bengkak (wheal), berbatas tegas, berwarna merah, bagian tengah pucat,
memucat bila ditekan, disertai rasa gatal, dapat berlangsung akut, khronik atau berulang.
Angioedema (giant urticaria, angioneurotic edema, quinckes edema) = urtikaria lesi
jaringan subkutan, submukosa tidak berbatas tegas, tidak gatal, sering dengan rasa nyeri
dan terbakar.
Urtikaria (U) dan Angioedema (A) kronik dapat mengganggu kualitas hidup
penderita.
Onset: berulang/lamanya (durasi), lokasi
Ditanya mengenai faktor pencetus
Makanan, Obat-obatan, zat aditif, hobi
Inhalasi, Penyakit infeksi akut/kronis
Faktor-faktor eksaserbasi serangan
Riwayat atopi, dan penyakit penyerta lain
Gambaran yang khas, bentuk lesi tipe urtikari linier (dermografisme), Urtika kecil
dikelilingi daerah eritem (urtikaria kolinergik), pada ekstremitas inferior (urtikaria
vaskulitis, papular urtikaria), terbatas pada daerah paparan (urtikaria dingin/ solar)
Anamnesis
PemeriksaanFisik
Urtikaria
Angioedema
Urtikaria Anak :
Eritema multiforme
Urtikaria pigmentosa
Gigitan serangga
Eritema Anulare
Infantile Acute Hemoragic edema
Purpura Henoch Schonlein, pitriasis
rosea
Pemeriksaan Penunjang Laboratorium
Pemeriksaan dasar
Darah perifer lengkap
LED
Urinalisis
Fungsi hati

Angioedema:
Selulitis
Erisipelas
Dermatitis kontak
SLE
Kasus bedah abdomen
Reaksi anafilaktik laring

Tes berdasarkan kondisi tertentu:


Jika dicurigai vaskulitis :
Antinuclear antibody
Biopsi kulit
CH50
Jika fungsi hati tidak normal: Pemeriksaan serologis
untuk hepatitis virus

Fungsi tiroid dan autoantibodi


Anti-FceR autoantibody
(bila ada)

Riwayat U. fisik test yang sesuai


Kondisi

Test

Urticaria kolinergik
Dermografisme
Solar urticaria
Cold urticaria

Latihan , mecholyl challenge


Menggosok atau menggaruk kulit
Paparan ke sinar matahari terkontrol
Ice challenge

HAE (hereditary angioneurotic edema) periksa kadar C4, C1 INH (antigenik &
fungsional)

8. Tatalaksana

9. Edukasi

10. Komplikasi dan


Prognosis

11. Tingkat Evidens


12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator medis
15. Taksiran lama
perawatan
16. Kepustakaan

1. Eliminasi kenali dan hindari faktor pencetus dan faktor-faktor yang


mengeksaserbasi serangan
2. Adregenik
a. Diberikan pada urtikaria/angioedema yang luas/meluas dengan cepat,
terdapat distres pernafasan.
b. adrenalin (1:1000) dengan dosis 0,01 ml/kgBB/kali subkutan (maksimum
0,3 ml) dilanjutkan dengan pemberian antihistamin penghambat reseptor
histamine H1
3. Antihistamin:
a. antihistamin H1generasi I:
klorfeniramin maleat (ctm): 0,35 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
b. antihistamin H1 generasi II:
cetirizine 0,25 mg/kg/hari sekali sehari
c. antihistamin H2
untuk membantu aktivitas antihistamin H1
simetidin 5 mg/kg/kali 3x sehari
4. Tabir surya urtikaria solar (panjang gelombang 285-320 nm)
5. U. dingin hindari mandi/ berenang di air dingin
6. HAE : Hindari faktor eksaserbasi: panas, aktivitas, aspirin, alkohol
7. Kortikosteroid
a. Untuk urtikaria/angioedema yamg berat
b. diberikan bila tidak memberikan respon yang baik dengan obat-obat diatas
Meyakinkan penderita/keluarga:
U/A remisi spontan ( hari, bulan, tahun)
U /A tidak menyebabkan cacat
U/A dapat dikontrol dengan satu atau kombinasi obat-obatan
Komplikasi
Angioedema merupakan bentuk kutan anafilaksis sistemik, dapat saja terjadi obstruksi
jalan nafas karena edema laring dan sekitarnya, atau anafilaksis yang dapat mengancam
jiwa.
Prognosis
Baik, dapat sembuh spontan atau dengan obat
IV
C
Divisi alergi imunologi anak RSMH
Ruam /edema menghilang
3-5 hari
1. Matondang C.S. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak.
Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. Jakarta. 2008. Hal 224-34
2. Leung DYM, Dreskin SC. Urticaria (Hives) and Angioedema. Dalam:
Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18.
Philadelphia WB Saunders Co. 2008.
3. Leung DYM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and Practice.
Pennsylvania WB Saunders. 2010.

Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Juli 2014


Ketua Divisi Alergi Imunologi Anak

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 195801261985032006

dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


NIP 195411281983032002

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
SYOK ANAFILAKSIS
Kode ICD : T78.2
1. Definisi

2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
fisik

4. Bentuk Klinis
(Klasifikasi)

Reaksi alergi sistemik berat terhadap stimulus apapun, dengan onset mendadak dan
biasanya berlangsung < 24 jam, terdiri dari bentol, kemerahan, gatal, angioedema,
stridor, wheezing, nafas pendek, muntah, diare atau syok yang mengancam
kehidupan.
1. Terdapat berbagai gejala yang timbul mendadak: gelisah, lemah, pucat, sesak,
pingsan, mual, muntah, nyeri perut, suara serak, sesak nafas, batuk kering, pilek,
hidung tersumbat, mengi, gatal pada mulut dan muka, timbul bentol di kulit,
pembengkakan pada mata
2. Penyebab anafilaksis yang dicurigai: makanan, obat-obatan, gigitan serangga
atau transfusi
3. Onset setelah paparan agen penyebab (onset yang disebabkan oleh agen
penyebab yang diinjeksikan lebih cepat daripada yang dicerna)
4. Penyakit penyerta (penyakit kardiovaskuler, asma dan penyakit saluran nafas
yang lain, rhinitis alergi, eksim, penyakit psikiatrik, mastocitosis)
5. Obat-obatan lain yang dikonsumsi (ACE inhibitor, beta bloker)
Masalah yang mengancam jiwa:
o Airway: edema saluran nafas, suara serak, stridor
o Breathing: nafas cepat, wheezing, kelelahan, sianosis, SpO 2 <92%,
kebingungan
o Circulation: pucat, dingin, tekanan darah turun, pingsan, mengantuk/coma,
takikardi atau nadi tidak teraba.
Adanyaurtikariadanangioedema.
Tergantung organ dan derajat beratnya serangan, penderita harus dimonitor status
respirasi dan kardiovaskuler
Kulit
Flushing, pruritus, urtikaria, angioedema, ruam morbiliformis, pilor erecti
Reaksi lokal
Oral
Pruritus pada bibir, lidah, palatum, edema pada bibir dan lidah, rasa seperti
logam di mulut
Saluran Nafas (organ syok utama)
Laring: pruritus dan rasa sesak pada tenggorokan, disfagia, disfonia, serak, batuk
kering, gatal pada saluran telinga luar
Paru: nafas pendek, dispnu, dada sesak, batuk dalam, wheezing
Hidung: gatal, bengkak, rinore, bersin
Apabila lidah dan orofaring terkena bisa terjadi sumbatan saluran nafas atas
Stridor bila saluran atas terkena
Obstruksi total saluran nafas merupakan penyebab kematian terbanyak
Kardiovaskuler
Pingsan/sinkop, nyeri dada, disritmia, hipotensi
Takikardia kompensata karena penurunan tonus pembuluh darah
Kebocoran kapiler dapat menyebabkan kehilangan volume intravaskuler dan
hipotensi
Gastrointestinal
Mual, kolik, muntah, diare

Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diffrential
diagnosis

7. Pemeriksaan
penunjang
8. Tatalaksana

Diagnosis ditegakkan secara klinis, perlu dicari riwayat penggunaan obat, makanan,
gigitan binatang, atau transfusi. Pada beberapa keadaan dapat timbul keraguan
terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan diagnosis banding.
Langkah diagnosis anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik

Pada reaksi sistemik ringan dan sedang: urtikaria dan angioedema


Pada reaksi sitemik berat:
1. SyokHipovolemik
2. SyokSeptik
3. SyokKardiogenik
4. SyokNeurogenik
5. Hipoglikemia
6. Ketoasidosis
7. Dehidrasi
1.
Darahrutin
2.
Urinrutin
3.
AnalisisGasDarah
Evaluasi segera keadaan jalan nafas dan jantung, bila pasien mengalami henti
jantung-paru, harus dilakukan resusitasi kardiopulmoner.
Adrenalin (epinefrin) 1: 1000 mg dosis 0,01 mg/kg intramuskuler maksimal 0,3
mg atau: >12 tahun: 5 mcg IM (0,5 mL); 6-12 tahun: 3 mcg IM (0,3 mL), < 6
tahun: 150 mcg (0,15 mL)
Intubasi dan trakeostomi: bila terdapat sumbatan jalan nafas bagian atas karena
edema
Torniket: kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau
sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang torniket proksimal dari daerah
suntikan atau tempat gig1tan tersebut
Oksigen: diberikan pada penderita yang mengalami sianosis, sesak atau penderita
dengan mengi.
Difenhidramin: untuk mengurangi gejala gatal, kemerahan, angioedema,
urtikaria, gejala pada mata dan hidung, namun tidak dapat menggantikan
adrenalin karena tidak dapat mengurangi gejala obstruksi saluran nafas atas,
hipotensi dan syok dosis 1 mg/kg maksimum 50 mg.
Cairan intravena: untuk mengatasi syok pada anak: kristaloid 20 ml/kg
secepatnya
Aminofilin
Vasopresor
Kortikosteroid, walaupun kortikosteroid tidak menolong pada penatalaksanaan
akut reaksi anafilaksis, kortikosteroid berguna untuk mencegah gejala berulang
Pengobatan suportif

9. Edukasi

10. Prognosis
11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah kritis
14. Indikator
medis

Jelaskan pada anak agar menghindari faktor penyebab, misalnya makanan, obatobatan dan lain-lain.
Jelaskan pada guru-teman, pengasuh, dan pada anak bahwa anak tersebut
menderita reaksi anafilaksis terhadap makanan, obat-obatan dan lain-lain.
Persiapan obat adrenalin pada anak besar, dan dijelaskan tentang cara
pemakaiannya
Dubia
IV
C
Divisi alergi imunologi anak RSMH
Responklinisbaikbila:
a. Keadaanumum:KomposMentis
b. Tandavitalstabil
c. Tandatandakomplikasitidakada

15. Taksiran lama


perawatan
16. Daftar
kepustakaan

1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.
2. Sampson HA. Donald Y.M. Leung. Adverse Reactions to Drugs.
Chapter 151. Behrman N, Kliegman Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and
Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.

Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Juli 2014


Ketua Divisi Alergi Imunologi Anak

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 195801261985032006

dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


NIP 195411281983032002

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
SINDROM STEVENS-JOHNSON (SSJ), NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK (NET), SSJ-NET
OVERLAP
Kode ICD :L51.1, L51.2, L51.3
1. Definisi
Merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang ditandai dengan trias kelainan pada:
kulit mukosa orifisium serta mata yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas atau
kompleks imun.
2. Anamnesis
Gejala prodromal: demam, malaise, batuk, koriza, sakit menelan, nyeri dada, muntah,
pegal otot dan atralgia.
Timbul ruam (lesi makula eritem) yang secara cepat berkembang menjadi lepuh
(vesikel, bula) pada bagian tubuh yang disertai lesi mukosa dan mata
Identifikasi faktor penyebab: infeksi sebelumnya/riwayat makan makanan tertentu,
riwayat pemakaian obat-obatan, imunisasi, dll.
Jarak waktu paparan faktor penyebab dengan timbulnya gejala (gejala dapat timbul 8
minggu, biasanya 4-30 hari setelah paparan)
3. Pemeriksaan
Sindrom Steven Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik merupakan bagian dari
fisik
severe cutaneous adverse reactions yang diklasifikasikan berdasarkan luas permukaan
tubuh (body surface area/BSA) yang terkena:
1. Steven-Johnson syndrome (< 10% BSA)
2. Steven-Johnson syndrome- Toxic Epidermal Necrolysis Overlap (10-30%
BSA)
3. Toxic Epidermal Necrolysis/Nekrolisis Epidermal Toksis (>30% BSA)
Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya
menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat
disertai gejala prodromal berupa demam, malaise, batuk, koriza, sakit menelan, nyeri
dada, muntah, pegal otot dan atralgia. Setelah itu akan timbul lesi kulit, mukosa dan
mata yang dapat diikuti kelainan viseral.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
a.
Kelainan kulit
Kelainan kulit dapat berupa eritema, papul, vesikel atau bula, berupa lesi kecil
satu-satu atau kelainan luas pada hampir seluruh tubuh. Sering timbul perdarahan
pada lesi menimbulkan gejala fokal berbentuk target, iris atau mata sapi. Predileksi
pada area ekstensor tangan dan kaki serta muka yang meluas ke seluruh tubuh
sampai kulit kepala. Pada keadaan lanjut terjadi erosi, ulserasi, kulit mengelupas
dan pada kasus berat pengelupasan kulit dapat terjadi pada seluruh tubuh disertai
paronikia.
b.
Kelainan mukosa
Kelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian
disusul oleh kelainan di alat genital (50%), sedangkan di hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%). Pada selaput mukosa dapat ditemukan vesikel, bula,
erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah. Kelainan di mukosa
dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esofagus. Pada
faring dapat terbentuk pseudomembran berwarna putih atau keabuan yang
menimbulkan kesukaran menelan.
c.
Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, kelopak mata biasanya edema dan sulit dibuka. Pada kasus berat dapat
terjadi erosi dan perforasi kornea.
Kelainan klinis SSJ/NET biasanya timbul cepat dan menakutkan dengan keadaan
umum yang berat, disertai demam, dehidrasi, gangguan pernapasan, muntah, diare,
melena, pembesaran kelenjar getah bening dan hepatosplenomegali sampai pada

4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diffrential
diagnosis
7. Pemeriksaan
Penunjang

8. Tatalaksana

9. Edukasi

penurunan kesadaran dan kejang.


Perjalanan penyakit tergantung dari derajat berat penyakitnya, dapat berlangsung
beberapa hari sampai 6 minggu.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik sesuai dengan trias:
1. Kelainan kulit
2. Kelainan mukosa
3. Kelainan mata
Steven-Johnson syndrome
Steven-Johnson syndrome- Toxic Epidermal Necrolysis Overlap
Toxic Epidermal Necrolysis/Nekrolisis Epidermal Toksis
Staphylococcus scalded skin syndrome
Biasanya timbul pada anak-anak pada lokalisasi tertentu. Berupa bula numular di leher,
ketiak dan wajah. Juga terdapat epidermolisis, tetapi selaput lender jarang dikenai.
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungannya dengan faktor
penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin dilakukan
diantaranya adalah :
1. Pemeriksaan darah tepi (Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, hitung eosinofil total,
LED). Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis
eosinofil meningkat.
2. Elektrolit (Na,K) untuk melihat adanya gangguan elektrolit akibat kehilangan
cairan transdermal
3. Albumin, protein total, fungsi ginjal
4. Biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi.
5. Histopatologik biopsi kulit. Biasanya tidak diperlukan, bila diragukan gambaran
klinisnya dapat dilakukann biopsi dan pemeriksaan histopatologik untuk
membedakan. Pada pemeriksan histopatologik dapat ditemukan gambaran
nekrosis epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis,
pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis
superfisial. Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM,
IgA, C3 dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik
maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24
jam.
o Identifikasi dan segera hentikan pemakaian obat/makanan/agen yang dicurigai
sebagai faktor penyebab
o Rawat diruang rawat khusus (isolasi dari penderita lain), bila ada kegawatan rawat
di PICU
o Terapi cairan (jenis dan jumlah) dan elektrolit disesuaikan dengan luas permukaan
tubuh yang terkena dan kelainan elektrolit yang ada
o Antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi. Dipilih antibiotika yang jarang
menimbulkan alergi, berspektrum luas, bakterisidal dan tidak ada kontrainidkasi
seperti: gentamisin 5mg/kgBB/hari terbagi dalam dua dosis, atau netromisin 4-6
mg/kgBB/hari.
o Nutrisi: pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dilakukan sampai mukosa oral
kembali normal.
o Topikal :
- Kulit : kompres NaCl 0,9%
- Mulut : kumur-kumur antiseptik
- Mata : lubrikasi dengan air mata buatan
salep mata yang mengandung antibiotika
o Transfusi (bila perlu)
o Konsultasi dengan bagian lain sesuai keadaan penderita (Mata, THT)
Harus dicegah kontak ulang dengan faktor penyebab
Cuci tangan sebelum dan sesudah memegang penderita

10. Komplikasi
Dan Prognosis

11. Tingkat Evidens


12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah
kritis
14. Indikator
medis
15. Taksiran lama
perawatan
16. Daftar
kepustakaan

Berbagai komplikasi dapat terjadi seperti ulkus kornea, simblefaron, miositis, mielitis,
bronkopneumonia, nefritis, poliartritis atau septikemia.
Pada kasus yang tidak berat prognosisnya baik dan penyembuhan terjadi dalam waktu
2-3 minggu. Pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau dengan pengobatan
terlambat dan tidak memadai, angka kematian berkisar antara 5-15%. Prognosis lebih
buruk bila terdapat purpura yang luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.
IV
C
Divisi alergi imunologi anak RSMH
Klinis: tanda vital, luas lesi pada kulit, mukosa dan mata, nafsu makan
Laboratoris: darah perifer, elektrolit, albumin, urinalisis
14-21 hari
1. Akin AAP, Takumansang DS. Sindrom Stevens-Johnson. Dalam:Akib AA, Munazir
Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia :
edisi ke 2. 2008. Hal 307-11
2. Cantani A. Allergic and pseudoallergic reactions to drugs. Dalam: Cantani A.
Pediatric Allergy, Asthma and Immunology. Springerlink.Berlin 2008. 1166-70.
3. Valeyrie-Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven-Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis).In: Wolff K, Goldsmith KA, Katz KI,
Gilchrest KA, Paller AS, Leffell DJ editors. Fitzpatricks dermatology in general
medicine. Seventh Edition. New York: McGraw-Hill Book Co.2008. 349-55
4. Morelli JG. Vesicobullous disorder. Chapter 653. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18.
Philadelphia WB Saunders Co 2008.
5. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and
Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.

Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Juli 2014


Ketua Divisi Alergi Imunologi Anak

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 195801261985032006

dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


NIP 195411281983032002

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
PURPURA HENOCH-SCHONLEIN
Kode ICD : D69.0
1. Definisi

2.

3.

4.

5.
6.

7.

Sindroma klinis yang disebabkan oleh vaskulitis pembuluh darah kecil sistemik, yang
ditandai dengan lesi kulit spesifik yang berupa purpura nontrombositopenik, artritis atau
artralgia, nyeri abdomen atau perdarahan gastrointestinal dan kadang-kadang dengan
nefritis.
Nama lain : purpura anafilaktoid, purpura alergik atau vaskulitis alergik.
Anamnesis
Timbul ruam kemerahan yang berubah menajdi ungu di ekstremitas (terutama di
ekstremitas bawah)
Nyeri perut, BAB hitam, nyeri sendi, bengkak pada sendi
Apakah gejala ini sudah berulang sebelumnya
Apakah ada BAK merah, nyeri kepala
Pemeriksaan fisik Kulit: ruam makuloeritematosa yang palpabel, berlanjut menjadi purpura, tanpa adanya
trombositopenia, terutama pada kulit bokong dan ekstremitas bagian bawah (pada 100%
kasus) purpura lambat laun berubah menjadi ungu, kemudian coklat kekuningkuningan, lalu menghilang, tetapi dapat rekuren. Gejala ini dapat disertai :
Angioedema pada muka (kelopak mata, bibir) pada 20% kasus, dan ekstremitas
(punggung, tangan, kaki) pada 40 kasus,
Artralgria atau artritis migran mengenai sendi besar ekstremitas bawah, tidak
menimbulkan deformitas yang menetap.
Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat dan perdarahan
gastrointestinalis pada 35-85% kasus, kadang-kadang dapat perforasi usus dan
intususepsi ileoileal atau ileokolonal pada 2-3% kasus.
Hematuria atau nefritis (pada 20-50% kasus)
Kriteria Diagnosis Gejala klinis yang spesifik yaitu ruam purpurik pada kulit, terutama di bokong dan
ekstremitas bawah dengan satu atau lebih gejala berikut : nyeri obdema, atau perdarahan
gastrointestinalis, artralgia atau artritis dan hematuria atau nefritis.
Langkah Diagnosis :
1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Lakukan pemeriksaan laboratorium dan penunjang untuk mendukung atau
menyingkirkan diagnosis. Hasil pemeriksaan laboratorium pada PHS tidak spesifik,
jumlah trombosit normal atau meningkat, LED dapat meningkat, kadar komplemen
normal, kadar IgA dalam darah mungkin meningkat. Urin dan tinja dapat mengandung
darah. Biopsi lesi kulit ada vaskulitis leukositoklastik. Imunofloresensi pada dinding
pembuluh darah, pada deposit IgA dan komplemen.
3. Tegakkan diagnosis, identifikasi luasnya manifestasi klinis dan telusuri komplikasi.
Diagnosis
Purpura henoch schonlein
Diagnosis Banding Penyakit Kawasaki
Lupus eritematosus sistemik
Polyarteritis Nodosa
Urticarial vasculitis
ITP
Pemeriksaan
Laboratorium
Penunujang
1. Darah tepi: trombosit bisa normal atau meningkat, membedakan purpura yang
disebabkan trombositopenia, biasanya juga eosinofilia. LED dapat meningkat.
2. Kadar komplemen seperti C1q, C3, C4 dapat normal. Pemeriksaan kadar IgA dalam
darah mungkin meningkat.
3. Analisa urin dapat menunjukkan hematuria, proteinuria maupun penurunan kreatinin
klirens

8. Tatalaksana

9. Edukasi

10. Komplikasi dan


Prognosis

11. Tingkat Evidens


12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah kritis
14. Indikator medis

15. Taksiran lama


perawatan
16. Daftar
kepustakaan

4. Feses: ditemukan darah


Pencitraan:
Bila dicurigai adanya intususepsi: USG dan foto polos abdomen
1. Suportif dan simptomatis:
Kontrol nyeri dapat dengan analgesik seperti asetaminofen atau ibuprofen.
Artritis ringan dan demam: ibuprofen atau parasetamol
Nyeri perut: makanan lunak
2. Kortikosteroid
diberikan jika ditemukan nyeri perut yang hebat, perdarahan saluran cerna,
purpura yang persisten, adanya gangguan ginjal progresif (sindroma nefrotik,
kerusakan glomerulus), edema jaringan lunak yang hebat, gangguan SSP, dan
perdarahan paru, dengan protokol :
- induksi dengan metilprednisolon 250-750 mg (IV) selama 3-7 hari +
siklofosfamid 100-200 mg/hari (oral)
- maintenance predinson 100-200 mg (oral) selang sehari, siklosfosfamid
100-200 mg selama 30-75 hari
- Tappering off predinon 25 mg/bulan terapi selasai minimal dalam 6
bulan.
Nyeri perut berat dan pencegahan terjadinya nefritis: kortikosteroid oral jangka
pendek dosis 1-2 mg/kg/hari terbagi 3 dosis selama 5-7 hari kemudian
diturunkan perlahan-lahan selama 2-3 minggu.
Nyeri perut berat dengan mual dan muntah: 1-2 mg/kg/hari
3. Gagal ginjal ditanggulangi sesuai SP.
4. Jika akut abdomen konsul bedah.
5. Monitoring:
Tekanan darah
Nyeri perut, perdarahan saluran cerna
Purpura/lesi kulit baru yang timbul
Laboratorium: leukosit, LED, urinalisis dan feses
Menjelaskan pada penderita/keluarga:
Kemungkinan rekurensi terjadi pada 50% kasus
Gejala dan kemungkinan komplikasi yang terjadi
Jadwal pemberian obat terutama kortikosteroid dan jadwal penurunannya, efek
samping dan cara memakan obat
Saluran cerna : perdarahan, intususepsi, infark usus.
Ginjal : gagal ginjal akut/kronis.
SSP : defisit neurologik, kejang dan penurunan kesadaran.
Prognosis baik, dapat sembuh spontan beberapa hari atau beberapa minggu. 50% kasus
dapat rekuren.
Nefritis kronis dapat terjadi pada 1% kasus.
IV
C
Divisi alergi imunologi anak RSMH
Tanda vital stabil, terutama tekanand arah normal
Gejala yang mengganggu menghilang: nyeri perut, nyeri sendi, lesi kulit, BAB hitam
Perbaikan dari hasil-hasil laboroatorium: LED, leukosit, fungsi ginjal, urinalisis dan
pemeriksaan feses
10-14 hari
1. Matondang CS, Roma J. Purpura Henoch-Schonlein. Dalam: Akib AA, Munazir Z,
Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke

2. 2008.
2. Miller ML, Pachman LM. . Vasculitis Syndromes. Chapter 166. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and Practice.
Pennsylvania WB Saunders. 2010.
4. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2010
Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Juli 2014


Ketua Divisi Alergi Imunologi Anak

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 195801261985032006

dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


NIP 195411281983032002

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES)
Kode ICD : L93.0
1. Definisi
2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
fisik

Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit sistemik evolutif yang mengenai satu atau
lebih organ tubuh, ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat,
bersifat episodik yang diselingi oleh periode remisi.
Demam (onset, tipe demam, riwayat pengobatan sebelumnya)
Astenia
Kelainan kulit:
- Onset
- Jenis ruam: butterfly rash, lupus diskoid lesi vaskulitis kulit fotosensitif, alopesia,
non sikatrik, sindroma Raynaud.
Kelainan selaput mukosa : sariawan yang tidak nyeri
Kelainan sendi: nyeri/ pembengkakan sendi
Kelainan ginjal : edema, nyeri kepala, pandangan mata kabur, BAK merah
Manifestasi neuropsikiatrik : kejang, penurunan kesadaran, perubahan kesadaran
Manifestasi hematologik: pucat, perdarahan
Kelainan kardiovaskuler : sesak nafas
Kelainan saluran nafas : sesak nafas, batuk darah
Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.
Kelainan sistem pencernaan : nyeri perut, BAB hitam
Riwayat pengobatan sebelumnya (bila ada), jenis obat yang dimakan, keteraturan
makan obat,
LES dapat menyerang semua organ, yang dapat muncul sendiri-sendiri atau bersamasama. Manifestasi klinis pada masing-masing organ ini yang lazim adalah :

Demam dan astenia merupakan gejala tersering.


Kelainan kulit, berupa :
- Ruam berbentuk sayap kupu-kupu, (Butterfly rash) terdapat didaerah muka
(eritema malar) dapat berupa eritema simpel, atau erupsi makulopapular dengan
squamasi halus berwarna kemerahan, erupsi dapat juga mengenai cuping hidung,
pangkal hidung, daerah leher atau bahu yang terbuka, periorbita, frontal atau darah
telinga luar.
- Lupus diskoid
- Lesi vaskulitis (berupa eritem pada tangan, edema periungual, makuloeritematosa
kulit dan pulpa jari jemari).
- Erupsi populoeritematosa disseminata non spesifik terutama dianggota gerak, kulit
fotosensitif, alopesia, non sikatrik, sindroma Raynaud.
Kelainan selaput mukosa : berupa ulserasi nasal dan oral.
Kelainan sendi, tulang dan otot dapat berupa artritis, deformitas, tenosinovitis,
artralgia, mialgia miositis lupus, serta osteonekrosis aseptik.
Kelainan ginjal : ditandai dengan proteinuria, hematuria, sindrom nefrotik, gagal
ginjal. Klasifikasi lupus nefritis: lupus nefritis mesangial, glomerulonefritis
proliferatif fokal, glomerulonefritis proliferatif difus, glomerulonefritis membranosa.
Manifestasi neuropsikiatrik : psikosis, disorientasi delirium, atau dapat berhubungan
dengan kelainan organik serebral.
Manifestasi hematologik : limfadenopati superfisial atau lebih dalam (mediatinum,
intra abdomen), dapat juga terjadi splenomegali. Anemia: normokrom normositik

4. Kriteria
Diagnosis

dengan kapasitas pengikatan zat besi rendah dapat disertai skizositosis dan
trombositopenia, leukopenia dan gangguan hemostatis.
Kelainan kardiovaskuler : perikarditis, miokarditis, hipertensi.
Kelainan saluran nafas : efusi pleura, dapat juga terjadi perdarahan alveolar masif.
Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.
Kelainan sistem pencernaan : terjadi akibat vaskulitis seperti : perdarahan
intestinal, pankreatitis, perforasi usus atau ulserasi hemoragis. Dapat terjadi diare
karena infeksi saluran cerna. Perdarahan digestif karena pemberian obat (anti
inflamasi), hepatitis dan dapat terjadi asites.
Ganguan pada mata : dapat mengenai semua struktur dan jalur saraf optik. Pada retina
terdapat eksudat seperti kapas disertai perdarahan (Cotton Wool Spots), papilitis dan
oklusi arteri sentralis (paling jarang), scotoma, gangguan penglihatan unilateral dan
keratitis.
Dasar Diagnosis:
Ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Kriteria diagnosis yang paling bayak dianut
adalah menurut American Rheumathism Association (ACR). Diagnosis LES ditegakkan
bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ARA tersebut. 4 kriteria positif
menunjukkan 90% sensitivitas dan 96% spesifisitas. Salah satu butir pernyataan cukup
untuk memenuhi kriteria. Kriteria ARA ini terdiri dari
1. Eritema malar (Butterfly rash)
2. Lupus diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulcerasi mukokutaneus oral dan nasal
5. Artritis
6. Nefritis: proteinuria > 0,5 g/24 jam, slinder dalam urine
7. Ensefalopati, konfulsi, psikosis
8. Pleuritis atau perikarditis
9. Gangguan hematologi: sitopenia
10. Imunoserlogipositif : antibody antidouble stranded DNA (anti dsDNA), antibody
antinuclear Sm, sel LE, serologisifilis (positif palsu)
11. Antibodi Antinuklear positif (ANA).
Langkah Diagnosis
1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk dapat mengidentifikasi manifestasi
klinis dan butir-butir kriteria ACR.
2. Lakukan pemeriksaan laboratorium/ penunjang lain.
Anjuran pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk LES :
Analisis darah tepi lengkap
Sel LE
antibodi Antinuklear (ANA)
Anti ds DNA (anti DNA natif)
Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolid, antihiston, dll)
Titer komplemen C3, C4 dan CH5O
Titer IgM, IgG dan IgA
Krioglobulin
Masa pembekuan
Uji coombs
Elektroforesis protein
Kreatinin dan ureum darah
Protein urine (total protein dalam 24 jam)
Biakan kuman, terutama dalam urine
Foto rontgen dada.
3. Tegakkan diagnosis berdasarkan kriteria ACR dan identifikasi luasnya manifestasi

klinis.
4. Telusuri komplikasi.
5. Diagnosis
6. Diagnosis
banding

7. Pemeriksaan
penunjang

8. Tatalaksana

Lupus eritematosus sistemik


Nefritis lupus
Cerebral lupus
Tergantung gejala klinis yang pertama muncul:
ARJ
Demam tifoid
AIHA
Demam rematik
Anjuran pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk LES :
Analisis darah tepi lengkap
Sel LE
antibodi Antinuklear (ANA)
Anti ds DNA (anti DNA natif)
Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolid, antihiston, dll bila ada)
Titer komplemen C3, C4 dan CH5
Titer IgM, IgG dan IgA
Krioglobulin
Masa pembekuan
Uji coombs
Elekroforesis protein
Kreatin dan ureum darah
Protein urine (total protein dalam 24 jam)
Biakan kuman, terutama dalam urine
Foto rontgen dada.
A. Obat-obatan sistemik (pilihan obat-obatan dibawah tergantung indikasi dan
ketersedian obat):
1. Anti inflamasi non steroid
Indikasi: manifestasi ke kulit, sendi. Pilihan:
a. Salisilat:
75-90 mg/kg/hari peroral terbagi 3-4 dosis
Diberi bersamaan makanan
Meningkatkan SGOT & SGPT
Kontraindikasi: trombositopenia, gangguan hemostasis
b. Naproksen: 10-20 mg/kg/hari terbagi 2-3 dosis
c. Sodium tolmetin: 20-30 mg/kg/hari
2. Antimalaria
a. Untuk dominan kelainan kulit/mukosa dengan atau tanpa artritis dan
gejala konstitusional
b. Dosis 6-7 mg/kg/hari terbagi 1-2 dosis selama 2 bulan dilanjutkan 5
mg/kg/hari (max. 300 mg/hari)
c. Efek toksik ke retina (reversibel) kontrol oftalmologi setiap 6 bulan
3. Steroid
a. Prednison oral dosis rendah (0,5 mg/kg/hari)
Diberikan 2/3 dosis pagi, 1/3 dosis siang interval 8 jam
Untuk gejala konstitusional berat, demam berkepanjangan,
kelainan kulit, pleuritis, atau bersamaan dengan metil
prednisolon dosis tinggi
b. Prednison oral dosis tinggi (1-2 mg/kg/hari, max 60-80 mg/kg/hari
dibagi 3-4 dosis selama 3-6 minggu, dilanjutkan tapp of selama 1-2

minggu)
Untuk lupus fulminan akut, lupus nefritis akut yang berat,
trombositopenia (<50.000/mm3) tanpa perdarahan dan
gangguan koagulasi, lupus eritematosus kutan berat sebagai
bagian terapi inisial lupus diskoid
c. Metil prednisolon parenteral
Dosis 30 mg/kg/hari IV (max 1 gr) selama 90 menit 3 hari
berturut-turut dilanjutkan secara intermiten (tiap minggu)
disertai prednison dosis rendah setiap hari
Indikasi: penyakit aktif berat tidak terkontrol dengan steroid
oral dosis tinggi, rekurensi aktif sangat berat, anemia hemolitik
yang berat, trombositopenia berat.

B.

C.
D.

E.

4. Imunosupresan
1. Siklofosfamid:
Oral 1-3 mg/kg/hari
Parenteral: awal 500-750 mg/m2 LPT maksimum 1 g/m2/hari
o Pilih dosis terendah untuk leukopenia , trombositopenia,
kreatinin >2 g/dl) maksimum 1 g/m2/hari.
o Cara pemberian: bolus perinfus 150 ml larutan D5%
dalam NaCl 0,225% (D5 NS) selama 1 jam bersama
hidrasi 2L/m2/hari perinfus selam 24 jam dimulai 12 jam
sebelum infus siklofosfamid.
o Pemberian parenteral diulangi setiap bulan dengan
peningkatan 250 mg/m2/bulan sesuai dengan toleransi
selam 6 bulan selanjutnay tiap 3 bulan sampai 36 bulan
total pengobatan.
2. Metotreksat.
Dosis 10-20 mg/m2 peroral sekali seminggu diberikan bersama
asam folat
Diberikan pada trombositopenia (trombosit <50.000/mm 3)
jangka panjang setelah tercapai inisial metil prednisolon dosis
tinggi, poliartritis berat bila dosis rumatan kortikosteroid> 10
mg/hari, LE kutan berat.
Topikal
Diberikan bila ada kelainan kulit. Diberikan:
betametason 0,05% atau
flusinosid 0,05% selama 2 minggu selanjutnya hidrokortison
Fisioterapi
Diindikasikan bila ada artritis.
Supportif
1. Diet: setiap pemberian kortikosteroid terutama jangka panjang harus disertai
suplemen Ca dan vitamin D
2. Dosis kalsium karbonat:
<6 bulan: 360 mg/hari
6-12 bulan: 540 mg/hari
1-10 tahun: 800 mg/hari
11-18 tahun: 1200 mg/hari
3. Dosis vitamin D (hidroksikolkalsoferol)
BB<30 kg: 20 mcg po 3 kali/minggu
BB>30 kg: 50 mcg po 3 kali/minggu
Pencegahan

9. Edukasi
10. Komplikasi &
Prognosis

11. Tingkat
Evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah kritis
14. Indikator medis
15. Taksiran lama
perawatan
16. Daftar
kepustakaan

1. Pencegahan terhadapa paparan sinar matahari


Hindari paparan sinar matahari dengan tingkat UV tertinggi: jam
09.00/10.00-15.00/16.00
Pakai lengan panjang, celana panjang, kerudung, topi, kacamata hitam
Pakai tabir surya/sunblock minimal SPF 24
2. Osteoporosis selama terapi steroid dosis tinggi
Diet tinggi Ca
Vitamin D adekuat
Olahraga
Edukasi kepada penderita dan keluarga agar mengerti penyakit dan
Awasi infeksi sekunder. Infeksi, timbul akibat efek kortikoterapi, akibat pemakaian
imunosupresan atau akibat defisiensi imun akibat penyakit lupus.
Infeksi banyak terjadi pada stadium evolusi. Disamping akibat defisiensi imun, juga
berhubungan dengan pemakaian kortikosteroid dan imunosupresan.
Akibat kerterlibatan visera : gagal ginjal, hipertensi maligna, ensefalopati,
perikarditis, sitopenia autoimun, dsb.
Prognosis penyakit lupus telah membaik dengan angka survival untuk masa 10
tahun sebesar 90%.
Penyebab kematian akibat komplikasi viseral : gagal ginjal, hipertensi maligna,
kerusakan SSP, perikarditis, infrak miokard, dan sitopenia autoimun infeksi.
IV
C
Divisi alergi imunologi anak RSMH
Klinis: Tanda vital, lesi kulit, edema, pucat, peradangan pada sendi
Laboratoris: darah perifer, urinalisis (proteinuria, hematuria) fungsi ginjal, elektrolit,
albumin, CRP
Tergantung perjalanan penyakit dan komplikasi yang timbul: 15-30 hari
1. Akib AAP, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam:
Akib AAP, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal: 345-72.
2. Klein-Gitelman MS. Miller ML. Systemic lupus erithematosus. Chapter
157. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook
of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2010
4. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,Harmoniati ED,
Yuliarti K (ed). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid II.
Jakarta. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesi. 2011. Hal: 175-83.

Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Juli 2014


Ketua Divisi Alergi Imunologi Anak

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 195801261985032006

dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


NIP 195411281983032002

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

1. Definisi
2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
Fisik

4. Kriteria
Diagnosis

ARTRITIS REUMATOID JUVENIL


Kode ICD : M08.0
Artritis Reumatoid Juvenil (ARJ) adalah salah satu bentuk penyakit rematik yang
termasuk dalam kelompok penyakit jaringan ikat.
1. Usia onset penyakit < 16 tahun
2. Gejala artritis (pembengkakan atau efusi, adanya 2 atau lebih: keterbatasan gerak,
nyeri, atau nyeri saat digerakkan dan perabaan hangat) pada satu atau lebih sendi
3. Lama penyakit > 6 minggu
4. Jumlah sendi yang terkena:
Poliartritis: 5 sendi
Oligoartritis < 5 sendi
Sistemik: gejala artritis dengan adanya demam
5. Gejala lain : nafsu makan menurun, BB turun, bila penyakit berat terjadi gangguan
tidur di malam hari akibat nyeri
6. Nyeri sendi tidak berpindah, sendi jarang terlihat merah
7. Terdapat kekakuan sendi pada pagi hari
Tipe onset poliartritis : gejala artritis terjadi pada lebih 4 sendi, terbanyak pada
sendi jari, biasanya simetris, dapat juga pada sendi lutut, pergelangan kaki dan siku.
Tipe onset oligoartritis : mengenai 4 sendi atau kurang (biasanya mengenai sendi
besar) terutama didaerah tungkai.
Tipe onset sistemik : didapatkan demam intermiten dengan puncak tunggal atau
ganda > 39C selama 2 minggu atau lebih muncul artritis. Biasanya disertai
kelainan sistemik berupa ruam reumatoid serta kelainan viseral
(hepatosplenomegali, serositis, limpadenopati).
Sendi yang terkena artritis terasa hangat dan biasanya tidak terlihat eritem. Secara
klinis ditentukan dengan menemukan paling sedikit 2 gejala inflamasi: gerakan sendi
yang terbatas, nyeri atau sakit pada pergerakan dan panas. Pada anak kecil yang lebih
menonjol adalah kekakuan sendi pada pergerakan terutama pagi hari.
Dipakai kriteria diagnosis menurut American College of Rheumatology Association
(ACR),yaitu
Usia penderita kurang dari 16 tahun
Artritis (bengkak atau efusi; adanya dua atau lebih tanda : keterbatasan gerak, nyeri
sendi, dan panas pada sendi) pada satu sendi atau lebih
Lama sakit lebih dari 6 minggu
Tipe onset penyakit (dalam waktu 6 bulan)
- Poliartritis (5 sendi)
- Oligoartritis (< 5 sendi)
- Sistemik dan artritis dengan demam minimal 2 minggu, mungkin terdapat ruam
atau keterlibatan ekstrartikuler, seperti limadeopati, hepatosplenomegali, dan
perikarditis.
Kemungkinan penyakit artritis lain dapat disingkirkan.
Gejala klinis yang menyokong kecurigaan ARJ : kaku sendi pada pagi hari, ruam
reumatoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul
reumatoid, tenosinovitis. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi

5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang

8. Tatalaksana

antinuklear (ANA), faktor reumatoid (RF), serta peningkatan titer komplemen C3 dan
C4.
Langkah Diagnosis :
Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis ARJ semata-mata
berdasarkan klinis.
Pemeriksaan laboratorium/penunjang untuk mendukung/ menyingkirkan diagnosis.
Tegakkan diagnosis dan identifikasi luasnya manifestasi klinis
Artritis Reumatoid Juvenil ( ICD 10: M.08.0 )
Demam rematik akut
Lupus eritematosusu sistemik
Keganasan
Pemeriksaan laboratorium:
Darah perifer lengkap:
o Tergantung derajat peradangan sistemik atau persendian, bisa ditemukan
peningkatan leukosit, trombosit, LED dan penurunan Hb dan MCV
CRP
Anti nuclear antibody (ANA): positif pada 40-85% anak ARJ oligoartritis dan
poliartritis tetapi biasa ditemukan positif pada tipe sistemik
Rheumatoid factor
Pemeriksaan radiologi: tidak rutin, dilakukan pada kasus dimana terjadi
pembengkakan sendi yang nyata
Peradangan jaringan ikat lunak, osteoporosis regional
Dasar pengobatan suportif bukan kuratif. Pengobatan secara terpadu untuk mengontrol
manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan dokter anak, ahli
fisioterapi, latihan kerja, praktek sosial, bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan
psikiatri.
Medikamentosa :
Pilihan obat anti inflamasi non steroid (AINS)
1. Asam Astil Salisat (AAS) dosis 75-90 mg/kgBB/hari peroral, dibagi3-4 dosis,
diberikan bersama makanan, selama 1-2 tahun setelah gejala klinis menghilang,
atau:
2. Naproksen 10-15 mg/ kgBB/hari dibagi 2 dosis.
3. AINS lain : sebagian besar tidak boleh diberikan pada anak. Pemberiannya hanya
untuk mengontrol nyeri, kekakuan dan inflamasi pada anak tertentu yang tidak
responsif terhadap AAS atau sebagai pengobatan inisial, misalnya :
Tolmetin : dosis inisial 20 mg/kgbb/hari, kemudian 15-30 mg/kgBB/hari
dibagi 3-4 dosis, diberi bersama makanan atau antasid.
Analgesik lain : Asetaminofen dosis 10-15 mg/kgBB/kali, setiap 4-6 jam sesuai
kebutuhan, jangan diberikan lebih 5 kali perhari untuk mengontrol nyeri atau
demam terutama pada penyakit sistemik (pemberian > 10 hari memerlukan
pengawasan yang ketat, tidak boleh diberikan untuk waktu lama karena dapat
menimbulkan kelainan ginjal.
Obat anti rematik kerja lambat = Slow Acting Anti Rheumatic Drugs (SAARDs)
hanya diberikan pada poliartristik progresif yang tidak menunjukkan perbaikan
dengan AINS, contoh : Hidroksi klorokuin, garam emas (gold salt), Penisilamin dan
sulfa salazin.
- Hidroksi klorokuin (dapat dipakai sebagai obat tambahan AINS), dosis 6-7
mg/kgBB/hari, setelah 8 minggu turunkan jadi 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis,
jika setelah terapi 6 bulan tidak ada perbaikan obat dihentikan
- Garam emas bisa dipakai jika penderita tidak responsif terhadap pengobatan
AAS/AINS lain setelah 6 bulan. Pengobatan dengan AAS/AINS lain diteruskan
selama pemakaian garam emas. Preparat yang dipakai Gold sodium thiomalate
dan auro thioglucose. Dipakai dosis awal 5 mg IM dan kemudian dosis

9. Edukasi

10. Komplikasi

Prognosis

11. Tingkat
Evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah kritis
14. Indikator
medis

ditingkatkan sampai 0,75-1 mg/kgBB/minggu (< 50mg). Jika remisi telah


tercapai dalam 6 bulan diteruskan dengan dosis yang sama dengan injeksi tiaptiap 2 minggu selama 3 bulan, kemudian setiap 3 minggu setelah 3 bulan, lalu
setiap 4 minggu, diteruskan sampai beberapa tahun remisi. Preparat oral garam
emas dipakai Auranofin : dosis dimulai 0,1-0,2 mg/kgBB/hari (maksimal 9
mg/hari), kemudian ditingkatkan 1 mg/kgBB/hari setiap 3 bulan sampai
mencapai dosis maksimal 6 mg. Lama pengobatan dapat sampai beberapa tahun
remisi.
- Penisilamin diberikan inisial 3 mg/kgBB/hari(< 250 mg/hari) selama 3 bulan,
kemudian 6 mg/kgBB/hari (< 500 mg/hari) dalam 2 dosis selama 3 bulan, sampai
maksimum10 mg/kgBB/hari, dalam 3-4 dosis terbagi selama 3 bulan. Dosis
rumatan diteruskan selama 1-3 tahun.
- Sulfasalazin : dosis 30-50mg/kgBB/hari, dibagi 4-6 dosis, diberi bersama makan,
jangan diberikan bersama antasid. Setelah tidak ada keluhan dosis diturunkan
perlahan-lahan sampai 25 mg/kgBB/hari. Dapat digunakan beberapa tahun.
Kortikosteroid : diberikan jika gejala penyakit sistemik, uveitis kronis dan untuk
pemberian obat secara parenteral termasuk intra artikuler. Penyakit sistemik yang
tidak terkontrol : prednison 0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal, jika keadaan lebih
berat dosis terbagi jika terjadi perbaikan klinis dosis diturunkan pelan-pelan,
kemudian stop.
Imunosupresan : pada keadaan berat yang mengancam kehidupan dipakai
metotreksat dosis inisial 5 mg/m2/minggu, jika respons tidak adekuat setelah 8
minggu pemberian, dapat dinaikkan menjadi 10 mg/m2/minggu. Lama pengobatan
adekuat 6 bulan.
Obat lain yang bisa dipergunakan adalah azatioprin, siklofosfamid dan klorambusil.
Indikasi Pulang
Klinis inaktif, komplikasi terdeteksi dan telah ditanggulangi
Evaluasi luas manifestasi klinis, periksa mata, terutama pada ARJ tipe oligoartritis
dengan ANA (+) dan penderita yang mendapat terapi hidroksi klorokuin.
Untuk mempertahankan fungsi dan mencegah deformitas tulang dan sendi
dilakukan fisio terapi di bagian URM.
Konsultasi kebagian bedah tulang untuk memperbaiki deformitas, memperbaiki
pergerakan sendi.
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat penutupan epifisis dini.
Komplikasi akibat pengobatan steroid
Vaskulitis, ensefalitis, amiloidosis ginjal sekunder
Kelainan tulang dan sendi yang lain seperti ankilosis, luksasio atau fraktur.
70-90% sembuh tanpa kecacatan, 10% dapat terjadi cacat sampai dewasa.
Sebagian kecil sekali menjadi bentuk artritis reumatoid dewasa.
Prognosis kurang baik pada tipe onset sistemik atau poliartritis, atau disertai uveitis
kronik, erosi sendi, fase aktif yang berlangsung lama, nodul reumatoid dan faktor
reumatoid positif.
Angka kematian sangat rendah (2-4%), sering dihubungkan dengan gagal ginjal akibat
amilodosis serta infeksi.
IV
C
Divisi alergi imunologi anak RSMH
Klinis: peradangan sendi, ROM, demam
LED, leukosit, CRP, SGOT, SGPT
Indikasi Pulang
Klinis inaktif, komplikasi terdeteksi dan telah ditanggulangi

15. Daftar
kepustakaan

1. Akib AAP. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Akib AAP, Munazir Z, Kurniati N.
Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2.
Jakarta. 2008. Hal: 332-44.
2. Miller ML, Cassidy JT. . Juvenile Rheumatoid Arthritis. Dalam: Behrman
RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi
ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2010.

Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Juli 2014


Ketua Divisi Alergi Imunologi Anak

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 195801261985032006

dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


NIP 195411281983032002

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
HIVAIDS(HumanImmunodefisiensiVirus)
Kode ICD : B20.7
1. Definisi

2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
fisik

4. BentukKlinis
(Klasifikasi)

Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV): disebabkan oleh virus HIV, yang
menyerang sel imun tubuh, sehingga terjadi gangguan sistem imun tubuh.
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang menunjukkan
adanya sindrom defisiensiimun seluler sebagai akibat infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV).
Riwayat penyakit: demam berulang/ berkepanjangan, gagal tumbuh, diare yang
berkepanjangan, kandidiasis oral, pnemonia yang persisten, infeksi bakteri
berulang
Faktor risiko orang tua untuk terinfeksi HIV: riwayat narkoba suntik, pasangan
penderita HIV, sering berganti pasangan, riwayat transfusi, riwayat pernah
mengalami operasi/tindakan, pekerjaan orang tua
Riwayat kelahiran, ASI, riwayat pengobatan ibu, kondisi neonatal
Gejala awal tidak nyata, dapat hanya ditemukan limfadenopati,
hepatosplenomegali
Gagal tumbuh
Berat badan turun progresif
Diare persisten
Kandidiasis oral
Otitis media kronik
Pneumonia interstitial
Pembengkakan parotis kronik
Gejala infeksi oportunistik: tuberkulosis, herpes zooster generalisata,
pneumonia P. jiroveci (carinii) , pneumonia berat
Kalsifikasi klinis:
a. Klasifikasi CDC :
- kategori N : asimptomatik
- kategori A : simptomatik ringan
- kategori B : simptomatik sedang
- kategori C : simptomatik berat atau AIDS
b. Klasifikasi menurut WHO:
1: asimptomatik
2: ringan
3: sedang
4: berat
Klasifikasi Imunologis:
a. Berdasarkan CD4+
Imunodefisiens
i
Tidak ada
Ringan
Sedang
Berat

CD4+ menurut umur


<11 bln (%)
>35
30-35
25-30
<25

12-35 bln (%)


>30
25-30
20-25
<20

36-59 bln (%)


>25
20-25
15-20
<15

>5 th(sel/mm3)
>500
350-499
200-349
<200 atau<15%

b. Berdasarkan hitung limfosit total (TLC= total lymphocyte count)

TLC
CD4+

Kriteria
Diagnosis

5. Diagnosis
6. Diffrential
diagnosis
7. Pemeriksaan
Penunjang

<11
bln
(sel/mm3)
<4000
<1500

Nilai TLC berdasarkan umur


12-35
bln 36-59
bln
(sel/mm3)
(sel/mm3)
<3000
<2500
<750
<350

5 th (sel/mm3)
<2000
<200

a. Diagnosis presumptif (dicurigai) HIV pada anak < 18 bulan:


- Bila ada 1 kriteria berikut:
Pneumonia P jirovecii, mengitis kriptokokus, kandidiasis esofagus.
Toksoplasmosis
Malnutrisi berat yang tidak membaik dengan pengobatan standar
ATAU
- Minimal 2 gejala berikut:
Oral thrush
Pneumonia berat
Sepsis berat
Kematian ibu yang berkaitan dengan HIV atau penyakit HIV yang
lanjut pada ibu
CD4+ <20%
b. Dasar diagnosis
anamnesis adanya faktor risiko tertular HIV
gambaran klinis menunjukkan penurunan kekebalan
adanya antibodi IgG spesifik HIV
HIVAIDS(HumanImmunodefisiensiVirus)(ICD10:B.20)
Imunodefisiensi primer
Penegakan diagnosis:
usia <18 bulan:
- bila tersedia: PCR RNA (DNA)
- antibodi anti HIV dapat dilakukan untuk melihat apakah anak
terpapar HIV dari ibu diulang setelah anak berusia 18 bulan
usia >18 bulan:
- antibodi HIV
- konfirmasi : westernblot atau PCR RNA/DNA (bila ada)
- pemeriksaan CD4+ untuk melihat status imunosupresi
pemeriksaan darah tepi lengkap, SGOT, SGPT sesuai indikasi untuk melihat
efek samping obat
pemeriksaan infeksi oportunistik yang sering terjadi bersamaan dengan infeksi
HIV (TBC, hepatitis B dan C)
pemeriksaan lain (laboratorium, pencitraan dll) dan konsultasi ke ahli terkait
disesuaikan dengan infeksi oportunistik.

8. Tatalaksana

Penilaian:
a. Nilai status nutrisi, pertumbuhan dan kebutuhan intervensinya
b. Nilai status imunisasi dan berikan imunisasi yang sesuai
c. Nilai tanda dan gejala infeksi oportunistik (IO) dan pajanan TB. Bila dicurigai
terdapat IO, lakukan diagnosis dan pengobatan sebelum mulai ART
d. Lakukan penilaian stadium HIV
e. Identifikasi obat-obatan lain termasuk obat tradisional karena mungkin dapat
beinteraksi dengan obat ARV
f. Lakukan penilaian stadium imunologis, bila CD4+ tidak tersedia dapat dipakai
TLC
g. Nilai apakah anak memenuhi kriteria pemberian ART. Indikasi pemberian ART
(menurut WHO 2010)
usia
<24 bulan
>24 bulan

Stadium klinis

Imunologis /CD4+
Semua diterapi
Stadium 3 dan 4 (tangani dulu Semua diterapi
IO)
Stadium 1 dan 2
CD4+ <25%: terapi

h. Nilai situasi keluarga :


Identifikasi orang yang mengasuh anak dan kesediannya untuk mematuhi
pengobatan dan pemantauan pada anak terutama ART
Nilai pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan pengobatannya serta
informasi mengenai status infeksi HIV dalam keluarga
Indikasi rawat:
Gizi buruk
Infeksi berat/sepsis
Pneumonia
Diare kronis dengan dehidrasi
Rekomendasi ART
Regimen lini pertama yang direkomendasikan 2 Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor (NRTI) ditambah 1 Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor:
a. Anak usia < 3 th:
Zidovudine (AZT)+Lamivudine (3TC)+ nevirapine (NVP) atau
Stavudine (D4T)+lamivudine (3TC) + nevirapine (NVP)
b. Anak usia 3 th:
Zidovudine (AZT)+Lamivudine (3TC)+ nevirapine (NVP) atau efavirenz
(EFV)
Stavudine (D4T)+lamivudine (3TC) + nevirapine (NVP) atau efavirenz
(EFV)
Nama obat

Dosis

Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor


Zidovudine (AZT)

Usia <4 minggu: 4 mg/kg/dosis 2 kali sehari

(tab 300 mg)

Usia 4 minggu-13 tahun: 180-240 mg/m2/ dosis 2x sehari


Max 300 mg/dosis 2x sehari ATAU
6-7 mg/kgBB/ dosis tiap 12 jam = 160 mg/m2/dosis

Lamivudine (3TC)

<30 hari: 2 mg/kg/dosis 2x/hari

(tab 150 mg)

>30 hari atau < 60 kg: 4 mg/kg/dosis 2x hari


Max 150 mg/kg/dosis 2 x hari

Stavudine (d4T)

BB <30 kg: 1 mg/kg/dosis 2x sehari

Cap: 15 mg, 20 mg, 30 mg, BB> 30 kg: 2 mg/kg/dosis 2x sehari


40 mg
Syr 200 cc: 1 mg/ml
Non Nucleoside Reverse Transcriptase (NNRTI)

Nevirapin (NVP)

2 mgg I: 5 mg/kgBB sekali sehari (max 200 mg)

Tab 200 mg

2 mgg II: 5 mg/kgBB/ dosis (2x sehari)


Selanjutnya: 7 mg/kgBB/dosis (2x sehari) untuk anak < 8 th
Untuk anak >8 th: =dewasa

Efavirenz (EFV)

10-15 kg: 200 mg 1x sehari

Cap: 50mg,

15-<20 kg: 250 mg 1x sehari

100 mg, 200 mg

20-<25 kg: 300 mg 1x sehari

600 mg

25-<32,5 kg: 350 mg 1x sehari


32,5-<40 kg: 400 mg 1x sehari

Profilaksis Pneumonia P. jirovecii: cotrimoxazole 5 mg/kgBB/hari sekali sehari;


terapi Pneumonia P. jirovecii 15 mg/kg/hari terbagi 3 dosis selama 21 hari
Pemantauan
Pemantauan anak terinfeksi HIV yang belum terindikasi pemberian ARV
Item

dasar

Evaluasi klinis
BB&TB
Status nutrisi & kebutuhannya
Kebutuhan CTX & kepatuhan
berobat
Konseling
mencegah
pemakaian narkoba, penularan
PMS & kehamilan
Pencegahan
IO
dan
pengobatan
Laboratorium
Hb dan leukosit
SGPT
CD4+% atau absolut

X
X
X
X

Bulan
1
X
X
X
X

Bulan
2
X
X
X
X

Bulan
3
X
X
X
X

Bulan
6
X
X
X
X

Tiap
6 bln
X
X
X
X

X
X

X
X
X

X
X

Pemantauan anak terinfeksi HIV telah mendapat ARV


Item
Evaluasi klinis
BB &TB
Perhitungan dosis
ART
Obat
lain
bersamaan
Kepatuhan minum
obat
Laboratorium
Hb dan leukosit
Kimia
darah
lengkap
Tes
kehamilan
pada remaja
CD4+%

9. Edukasi

dasa
r
X
X
X

Bulan
1
X
X
X

Bulan
2
X
X
X

Bula
n3
X
X
X

Bulan
4
X
X
X

Tiap 2-3
bulan
X
X
X

Bila ada
gejala
X

X
X

Pencegahan penularan HIV:


Menghindari tingkah laku seksual yang menyimpang pada anak remaja
Mencegah kehamilan ibu yang sudah terinveksi HIV
Tidak menyuntik anak dengan jarum yang tercemar
Selektif terhadap donor darah, mereka yang berprilaku resiko tinggi tertular HIV
tidak dijadikan donor.
Edukasi pada orang tua/ wali/ keluarga di rumah:
Kegagalan pengobatan seringkali disebabkan karena ketidakpatuhan dalam

10. Komplikasi
dan
Prognosis

11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah kritis
14. Indikator
medis
15. Taksiran lama
perawatan
16. Daftar
kepustakaan

pemberian ARV sehingga penting sekali bagi orangtua untuk memastikan ARV
dimakan setiap hari sesuai jadwal
Pentingnya datang kontrol untuk pemantauan gejala klinis
Mencegah terjadinya infeksi (makan obat profilaksis secara teratur, menghindari
orang yang terkena infeksi)
Pemberian nutrisi yang cukup
Imunisasi
Komplikasi
Komplikasi pada organ spesifik : Lymphocytic Interstitial pneumonitis (LIP),
gangguan susunan saraf pusat, gangguan pertumbuhan dan endokrinologi,
gangguan gastrointestinal dan nutrisi, manifestasi hematologis dan keganasan.
Infeksi : infeksi bakteri berulang, infeksi mikobakteria, virus protozoa, jamur dan
infeksi pneumonitis karnii.
IRIS (immune reconstitution inflammation syndrome) terjadi 2-12 minggu
setelah memulai ART akibat meningkatnya kemampuan respon imun/ pemulihan
sistem imun.
Prognosis
Penyakit infeksi HIV berakibat fatal, 75% meninggal dalam 3 tahun sejak diagnosis
AIDS ditegakkan.
IV
C
Divisi alergi imunologi anak RSMH
Klinis: tanda vital, sesak, pucat, BAB, muntah, toleransi makan obat-obatan, status
nutrisi
Laboratoris: darah perifer
14-30 hari
1. Matondang CS, Kurniati. Infeksi HIV pada bayi dan anak. Dalam: Akib AA,
Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal: 378-414
2. Yogev R, Chadwick EG . Acquired Immunodeficiency Syndrome
(Human Immunodeficiency Virus). Bab 273. Dalam: Behrman N,
Kliegman Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB
Saunders Co 2008.
3. Suyoko EMD, Sari DY. Gambaran klinis dan diagnosis HIV pada bayi dan anak.
Dalam: Akib AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D. HIV
infection in infants and children in Indonesia: current challenges in management.
Unit Pendidikan Kedokteran Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FK UI.
Jakarta 2009
4. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED,
dkk. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Jilid 2. Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2011.
5. Depkes RI. Pedoman tatalaksana infeksi HIV dan terapi anti retroviral pada anak
di Indonesia. Depkes RI. Jakarta. 2008.

Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Juli 2014


Ketua Divisi Alergi Imunologi Anak

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 195801261985032006

dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


NIP 195411281983032002

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Diabetes Melitus
Kode ICD : E10.41
1. Definisi

Diabetes adalah keadaan akibat tubuh tidak dapat membuat insulin


secara cukup atau insulin tidak dapat bekerja secara optimal
sehingga terjadi peningkatan gula darah dan gangguan metabolisme
lemak serta protein.

2. Anamnesis

polifagia, poliuria (sering kencing malam hari/ngompol), polidipsia,


berat badan turun, badan lemas, gatal-gatal, faktor genetik (riwayat
keluarga dengan DM).

3. Pemeriksaan Fisik -Penilaian Antropometri


-adanya sindroma lain
-acantosis nigrans (+/-)
4. Kriteria Diagnosis

Berdasarkan:
Anamnesis
Gejala klinis
Laboratorium
Diabetes simptomatis/klinis

Gejala klasik: polidipsia, poliuria, polifagia, berat badan


turun.

Gula darah puasa > 120 mg/dl atau Gula darah 2 jam PP
> 200 mg/dl atau Gula darah sewaktu > 200 mg/dl.
Diabetes ketoasidosis
Hiperglikemia, ketonemia, asidosis, ketonuria, glukosuria.
Diabetes asimtomatis/prediabetes
Curiga bila terdapat 2 gejala pada nomer 1b OGTT

5. Diagnosis
6. Diagnosis Banding

Tes autoantibodi insulin (AAI) + HLA+ ICA+L(Islet Cell


Antibody).

DM tipe I
DM tipe II
Berdasarkan bentuk klinis:
1. DM tergantung insulin/DM tipe I: 95- 98 % kasus
Predisposisi genetik
Pengaruh lingkungan sebagai trigger factor
Kelainan autoimun
2. DM tidak tergantung insulin/ DM tipe II (resistensi insulin
dan defisiensi insulin relatif): berkisar 2-5%, a.l. maturity onset
of youth (MODY/Mason type)
3. Tipe lain (Diabetik sekunder):
Kriteria DM tipe I/II + sindrom genetik/terapi
obat/penyakit pankreas/penyakit lain.

7. Pemeriksaan
Penunjang

kadar gula darah, bila perlu OGTT (bila meragukan), gula urin /
reduksi, ketonemia urin, C peptide, HbA1c, ICA/IAA (kalau
mampu).

8. Terapi

Mencegah komplikasi
Menghilangkan gejala klinis
Pertumbuhan dan perkembangan yang normal (fisik dan emosi)
Mencapai harapan hidup yang sama dengan bukan penderita
diabetes
Nutrisi dan Exercise
Tujuan:
Tipe I: mempertahankan normal lipemia dan mencegah
hiperlipoproteinemia
Tipe II: mencegah overweight dengan pengaturan diet
dan exercise .
Jumlah kalori sampai usia 12 tahun : 1000 kalori + [100 X
Usia (tahun)]
Pembagian kalori per 24 jam: 20% pagi, 20-25% siang, 2530% malam (diantaranya 3X makanan kecil masing-masing
10%)
Komposisi seimbang: karbohidrat 50-55%, lemak 30%,
protein 15-20%.

Insulin
Pertama kali diberikan Reguler Insulin (RI) (insulin jangka
pendek) SC 3-4 kali/hari, dosis inisial 0,5-1 iu/kgBB/hari,
kemudian dosis dinaikkan sesuai profil gula darah.
Terkontrol bila:
Gula darah puasa 130 mg/dl atau
Gula darah sewaktu 200 mg/dl

Reduksi urine (-)


Tipe I :
Dosis tergantung individu masing-masing.
Basal Bolus :
-Basal Insulin, sebesar 40-50% dosis harian; dan
-Bolus Insulin sebanyak 3 kali sehari
Basal Insulin menggunakan Insulin Long acting atau Intermediate
acting.
Bolus Insulin menggunakan Insulin kerja pendek/ kerja cepat.
Dosis keduanya disesuaikan dengan profil gula darah. Dengan dosis
total Insulin 0,5 2 iu/ kgBB/ hari (rata-rata 0,7 1,5 iu/ kgBB/
hari)
Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap (10%) setiap dua atau
tiga hari sekali sampai dosis optimum, dengan monitoring
pemeriksaan gula darah dan reduksi urine.
Tipe II: coba stop insulin, penyesuaian diet dan aktifitas, kalau perlu
obat diabetes oral. Bila berat badan sekitar 80% standar, coba stop
obat diabetes.

Terapi terhadap penyakit penyerta Pengobatan seperti


standar prosedur masing-masing penyakit

Indikasi Rawat:
-Pertama kali didiagnosis diabetes untuk mempersiapkan
anak/anggota keluarga dalam menangani DM dan komplikasi
akut yang dapat timbul.
-Diabetik ketoasidosis/koma diabetik
-Hipoglikemi yang tidak bisa diatasi dengan terapi oral

9. Edukasi

10. Prognosis

Penyuluhan kepada pasien dan orang tua/keluarga merupakan hal


yang sangat penting, mengenai:
Penyakit, komplikasi dan penanggulangan diabetes
Pemakaian insulin (cara, dosis, waktu, efek samping), insulin
pada Tipe I diberikan seumur hidup, tetapi hati-hati ada periode
honeymoon
Pengaturan makanan, olahraga, home monitoring
Aspek psikososial
Tumbuh dan kembang
Ad Vitam: dubia ad bonam/malam
Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam
Ad Functionam: dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens

Ib

12. Tingkat
Rekomendasi

13. Penelaah Kritis

Divisi Endokrinologi IKA RSMH

14. Indikator Medis

15. Daftar
kepustakaan

Kadar gula darah terkontrol


Anak makan dan minum baik
Tanda-tanda infeksi tidak dijumpai
Keluarga / orang tua siap untuk pengobatan mandiri
Nilai HbA1c < 7%
Mencegah komplikasi
tumbuh kembang optimal
1. Diabetes control and complication Trial research group: The
effect of intensive treatment of diabetes on the development and
progression of long term complication in insulin dependent
diabetes mellitus. N Engl J Med 1993;329:977-986.
2. Holl RW, Swift PG, Mortensen HB, Lynggaard H, Vanelli M,
Aman J, etc: Insulin injection regimens and metabolic control in
an international survey of adolescents with type 1 diabetes over
3 years: results from the Hvidore study group. Eur J Pediatr
2003; 162: 22-29.
3. Peveler RC, Bryden KS, Neil HA, Fairburn CG, Turner HM,
etc: The relationship of disordered eating habits and attitudes to
clinical outcomes in young adults females with type 1 diabetes.
Diabetes Care 2005; 28: 84-88.

Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen IKA RSMH

Palembang, Juli 2014


Ketua Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 19580126 198503 2006

dr. Aditiawati, SpA(K)


NIP 19610527 1988032001

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Diabetes Ketoasidosis
Kode ICD :E13.10
Ketoasidosis diabet adalah keadaan klinis diabetes melitus yang ditandai
dengan: kadar gula darah > 200 mg/dL, pH darah < 7,3 dan / atau
bikarbonat < 15 mmol/L, serta ditemukan ketonemia atau ketonuria.

1. Definisi

2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
Fisik

4. Kriteria
Diagnosis

5. Diagnosis
Kerja

Poliuria, polidipsia dan polifagia disertai dengan berat badan menurun, sesak
napas dengan / tanpa kesadaran menurun. Penderita DM lama dengan
riwayat kepatuhan berobat yang kurang atau riwayat muntah-muntah disertai
nyeri perut atau sesak disertai kesadaran menurun
Pada kasus rujukan ditanyakan jumlah maupun jenis cairan dan insulin yang
telah diberikan, serta riwayat pemberian Bicnat.
a. Keadaan umum dan tanda vital. Tampak sakit sedang sampai berat,
kesadaran menurun, asidosis, sesak nafas (pernapasan Kussmaul),
dehidrasi dengan / tanpa tanda-tanda renjatan, kejang +/-, pada pH 6,9
dapat terjadi depresi pernafasan
b. Status lokalis. Kadang disertai distensi abdomen.

Berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang


Hiperglikemia yang nyata (> 300 mg/dl),
Asidosis (pH < 7,30, bikarbonat < 15 mEq/L),
Ketonuria dan ketonemia.

KAD ringan : pH antara 7,3 dan kadar bikarbonat < 15 mmol/L


KAD sedang : pH darah antara 7,2 dan kadar bikarbonat < 10 mmol/L.
KAD berat : pH darah < 7,1 dan kadar bikarbonat < 5 mmol/L.
Diare akut dengan dehidrasi
bronkopneumonia
ensefalitis

6. Diagnosis
Banding

7. Pemeriksaan
Penunjang

Darah.
Kimia darah: glukosa darah, serum elektrolit, fungsi ginjal
Darah tepi lengkap.
Analisis gas darah.
Urin: keton urin, reduksi urin, poliuria (> 900 ml/m2/hari).

8. Terapi

Setiap penderita KAD berat, KAD dengan penurunan kesadaran,

KAD

berusia kurang dari 5 tahun dan KAD dengan kecurigaan edema


serebri sebaiknya dirawat di ICU.

Fase akut
a) Resusitasi cairan

Tentukan status hidrasi dan defisit cairan dalam 48 jam


(lihat tabel)
Dehidrasi
Bayi
Anak

Ringan
5%: 50 ml/kg
3%: 30 ml/kg

Sedang
10%: 100 ml/kg
6%: 60 ml/kg

Berat
15%: 150 ml/kg
9%: 90 ml/kg

Bila ditemukan renjatan


Berikan cairan (NaCl 0,9% atau RL) 20 ml/kg/jam, dapat diulang
sampai renjatan teratasi.
Bila tidak ditemukan renjatan/setelah renjatan teratasi

Pemberian cairan dilakukan secara gradual dalam 48 jam untuk


menghindari terjadinya edema otak
Sisa defisit cairan adalah defisit cairan dalam 48 jam (sesuai tabel di
atas) dikurangi jumlah cairan yang diberikan untuk mengatasi renjatan.
Jumlah cairan yang diberikan dalam 48 jam adalah sisa defisit cairan
ditambah kebutuhan cairan rumat untuk 48 jam kemudian (lihat tabel).
Tabel Cairan Rumat untuk 48 Jam Kemudian
Berat Badan

Jumlah Cairan Rumat

10 kg pertama

200 ml/kg

10 kg berikutnya

+ 100 ml/kg

Penambahan BB selanjutnya
+ 40 ml/kg
Jenis cairan yang digunakan adalah cairan fisiologis yang isotonis (NaCl
0,9% atau RL) dan selanjutnya disesuaikan dengan kondisi.
Lakukan balans cairan setiap 4 jam. Bila ada penurunan kesadaran perlu
dipasang kateter urin.
b) Pemberian insulin.
Berikan regular insulin atau Rapid Insulin 0,1 iu/kgBB/jam secara
intravena (perdrip) dan diberikan secara terpisah dengan jalur infus untuk
resusitasi cairan
50 iu insulin dimasukkan dalam 500 ml NS 0,9% atau 10 I insulin
dalam 100 ml NS 0,9%
Berikan dengan kecepatan 1 ml/kg/jam
Kadar gula darah tidak boleh turun > 100 mg/dL per jam

Jumlah cairan untuk pemberian insulin ini diperhitungkan juga, sehingga


tetesan resusitasi cairan perlu dikurangi dengan jumlah tetesan insulin.
Insulin tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba. Kecepatan pemberian
insulin dapat disesuaikan (misal menjadi 0,05 /kgBB/jam) sesuai klinis.
Penggantian pemberian secara subkutan harus dilakukan dulu 30 menit
sebelumnya baru insulin drip distop.
Apabila kadar gula darah telah mencapai 250-300 mg/dL, cairan
resusitasi ditambahkan dekstrose 5% dalam perbandingan 1:1 dengan
cairan NaCl 0,9%.
Pertahankan kadar gula darah antara 200-250 mg/dl selama pemberian
insulin intravena dengan melakukan monitoring berkala.
c) Koreksi gangguan asam basa dan elektrolit
Gangguan asam basa
Koreksi asidosis hanya dilakukan apabila pH darah < 6,9
Koreksi dilakukan secara perlahan dan dosis bikarbonas natrikus yang
diberikan adalah 0,6 X BE X BB
Monitoring dilakukan minimal setiap 2-4 jam.
Gangguan elektrolit.
Pada KAD ditemukan pseudohiponatremia sehingga harus dilakukan
koreksi atas hasil pemeriksaan kadar natrium yang ditemukan. Apabila
kadar natrium yang sesungguhnya berdasarkan hasil perhitungan adalah >
125 mEq/l maka tidak dilakukan koreksi.
Rumus:
Kadar Na+(sebenarnya) =
Kadar Na+ (terukur) + 1,6 (kadar gula darah - 100 mg/dl)
100
Apabila miksi ada, maka sebaiknya sejak awal sudah diberikan kalium
yaitu 40 mEq/L (anak < 30 kg) dan 80 mEq/L (anak > 30 kg)
Lakukan monitoring EKG pada gangguan kalium
Kecepatan pemberian kalium tidak boleh melebihi 40 mEq/jam atau 0,3
mEq/kg/jam.
d) Terapi nutrisi. Sebaiknya tidak diberikan makanan oral bila ditemukan
nyeri perut dan distensi abdomen.
e) Monitoring

Awasi tanda-tanda vital

Monitoring gula darah kapiler: dilakukan secara ketat


(setiap jam dan hal ini harus di cross check dengan gula darah vena) pada
4 jam pertama dan selanjutnya setiap 4 jam

Periksa Na, K, Cl, ureum, hematokrit, gula darah, analisis


gas darah setiap 2-4 jam. Peningkatan lekosit dapat disebabkan oleh
stress dan tidak dapat dijadikan sebagai tanda infeksi

Waspadai terjadinya edema serebri yang biasanya terjadi


pada jam-jam pertama resusitasi dengan gejala kesadaran menurun dan
hiponatremia.

9. Edukasi

10. Prognosis
11. Tingkat
Evidens
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah
Kritis

Bila terjadi edema serebri berikan manitol 0,5-1


g/kgBB/drip dalam 20 menit dan bisa diulang 2 jam kemudian
Cari faktor pencetus KAD (misal infeksi, noncompliance).

Fase Subakut
Pemberian insulin secara intravena dapat diganti secara subkutan apabila
Penderita sudah tidak mengeluh nyeri perut
Kedaruratan asidosis telah teratasi (pernafasan Kussmaul tidak ada,
kadar HCO3> 15 mEq/L).
Pemberian nutrisi
Edukasi
Sangat penting dilakukan edukasi pada orangtua, penderita DM dan
lingkungan agar tercapai kontrol metabolik yang baik dan mencegah
terjadinya komplikasi DM (KAD).
Ad Vitam: dubia ad bonam/malam
Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam
Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam
III
C
Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH

Tercapainya kontrol metabolik optimal dengan memperhatikan hal-hal


14. Indikator
sebagai berikut:
Klinis
Insulin
Pengaturan makan
Exercise
Edukasi
Monitoring gula darah teratur.
1. Charfen MA, Fernandez-Frackelton M: Diabetic Ketoacidosis. Emerg
Med clin North Am 2005;23:609-628.
2.
Dunger DB, Sperling MA, Acerini CL, Bohn DJ, Daneman D, Danne
15. Daftar
TPA, Glaser NS, Hanas R,Hintz. ESPE/Lawrence Wilkins Concensus
kepustakaan
Statement on Diabetic Ketoacidosis in Children and Adolescents.
Paediatrics 2004;113:133-140.
3. Rosenbloom Al. Hyperglycemic crises and their complications in
children. J Pediatr Endocrinol Metab 2007;20:5-18.
Mengetahui/Menyetujui
Palembang, Juli 2014
Ketua Departemen IKA RSMH
Ketua Divisi Endokrinologi
Dr. Hj. Rismarini, SpA(K)
NIP 19580126 198503 2006

dr. Aditiawati, SpA(K)


NIP 19610527 1988032001

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG


HIPOTIROID KONGENITAL
Kode ICD :E03.0- E03.1
1. Definisi

Keadaan di mana kelenjar tiroid gagal untuk mensekresi hormon tiroid


secara cukup sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan organ-organ
tubuh pada bayi baru lahir.

2. Anamnesis

a. Asal daerah gondok endemik?


b. Riwayat kelainan kelenjar tiroid pada ibu serta pemakaian obat
(pengobatan) selama kehamilan, pertumbuhan dan perkembangan
anak
a.
Tentukan diagnosis
hipotiroid
berdasarkan scoring neonatal hypothyroid index (untuk diagnostik
pada RS Perifer dan/ atau Puskesmas) :
Klinis
Skor

3. Pemeriksaan
fisik

1,5

Feeding problem
Constipation
Inactivity
Hypotonia
Umbilical hernia (>0,5)
Enlarge tongue
Dry skin

1
1
1
1
1
1

Skin mottling
Open posterior fontanella
Typical facies

1
1,5
3

Bila total nilai skor 4 dicurigai hipotiroid lakukan


pemeriksaan laboratorium untuk memastikan
b. Bayi baru lahir
Gejala klinis sering belum jelas, dapat berupa:

Ikterus fisiologis yang memanjang

Hipotermi sementara (suhu rektal< 35,5oC) dalam 0-45 jam


paska lahir

Ubun-ubun besar melebar (> 0,5 cm) terutama fontanella


posterior

Makroglosi, kesulitan minum, sering keselek dan sering


kesulitan bernafas

Suara besar dan parau, tangis serak

Hernia umbilikalis (hipotoni otot), sering obstipasi, distensi


abdomen

c.

Reflek tendon melambat


Nadi lambat, kulit kering dan dingin, terdapat mottling
(bercak-bercak)
Miksedema / sembab pada wajah, hipertelorisme.
ECG (tidak spesifik): low voltage, prolonged conduction time
Foto toraks: bayangan jantung membesar.
Masa bayi dan anak
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan (motorik, mental,
gigi, tulang, pubertas)
Miksedema, sering obstipasi
Ubun-ubun besar terlambat menutup
Makroglosi
Kesulitan belajar, anemia
Aktivitas lambat, retardasi mental makin jelas.

Catatan: goiter jarang dijumpai (tetapi bayi dengan goiter sering didapat
pada ibu Grave yang diobati dengan PTU).
5. Kriteria
Diagnosis

TSH , T4/fT4
fT4 , TSH (suspek pituitary/sekunder hipotiroid, isolated TSH
deficiency atau tersier hypothyroid) evaluasi ulang fT4
T4/fT4 normal, TSH evaluasi ulang 2-3 minggu T4/fT4 , TSH
(immature feedback mechanism).
Catatan: fT4 lebih disarankan dibanding T4

6.Diagnosis kerja
7. Diagnosis
Banding
8. Pemeriksaan
Penunjang

9. Terapi

Hipotiroid kongenital
Laboratorium: TSH, free T4
i.
Untuk skrining bisa dimulai dengan pemeriksaan
TSH dulu
ii.
Bila TSH > 20 kemungkinan hipotiroid besar
iii.
TSH >100 95% merupakan hipotiroid walaupun
gejala masih negatif
Radiologi: bone age, foto toraks, thyroid scanning (atas indikasi)

Lain-lain: BERA / tes pendengaran, EMG (Elektromiografi)


atas indikasi
Berikan hormon tiroid: Tiroksin (0,1 mg) dengan dosis awal:
Usia: 0 - 3 bulan
8 10 g/kg BB/hari
3 6 bulan
7 11 g/kg BB/hari
6 12 bulan
6 8 g/kg BB/hari
1 5 tahun
4 6 g/kg BB/hari
kemudian dosis ditingkatkan atau diturunkan tergantung evaluasi
klinis dan pemeriksaan laboratorium.

10. Edukasi

11. Prognosis
12. Tindak
lanjut

13. Tingkat
Evidens
14. Tingkat
Rekomendasi
15 Penelaah
Kritis
16. Indikator
Klinis

17. Daftar
kepustakaan

Bila terdapat kelainan jantung atau pada hipotiroid berat (dengan


miksedema) dosis dimulai dengan dosis rumatan dan
ditingkatkan secara bertahap tiap 5 hari sampai tercapai dosis
optimum.
Pencegahan : Skrining Hypothyroid saat bayi baru lahir (usia 1 2
hari)
Ad Vitam: dubia ad bonam
Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam
Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam
Selama terapi harus selalu dievaluasi :
Klinis :
Gejala timbulnya hipotiroid (bila dosis terlalu rendah / tidak
teratur berobat)
Gejala timbulnya hipertiroid ( bila dosis terlalu tinggi)
b. Laboratorium: T4/fT4, TSH 46 minggu sekali untuk 3 bulan
pertama, kemudian setiap 3 bulan dan 4 bulan sekali untuk tahun
kedua, seterusnya setiap 6 bulan selama 5 tahun
c. Radiologis: Bone age / maturasi tulang 2 tahun sekali
d. Psikometri: dimulai sejak usia 12-18 bulan setiap 2 tahun
e. BERA / tes pendengaran: sedini mungkin dan evaluasi setiap
tahun
f. EMG (bila mungkin) untuk evaluasi conducting nerve
g. EEG (atas indikasi ).
III
C
Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH
- Normalisasi fungsi tiroid
- Optimalisasi Pertumbuhan dan perkembangan termasuk :
Motorik kasar
Motorik halus
Bicara
Perkembangan Zsosial
- Pencegahan Komplikasi
1. Foley TP Jr, Malvaux P, Blizzard RM: Thiroid disease: in Kappy
MS, Blizard RM, Migeon CJ: Wilkins: the Diagnosis and
treatment of Endocrine Disorders in childhood and adolescence,
ed 4. Springfield, Thomas,1994,pp457-533.
2. Svenson J, ericsson UB, Nilsson P, et al: Levothyroxin treatment
reduces thyroid size in children and adolescence with chronic
autoimun thyroiditis. JClin Endocrinol metabolic

Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen IKA RSMH

Palembang, Juli 2014


Ketua Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 19580126 198503 2006

dr. Aditiawati, SpA(K)


NIP 19610527 1988032001
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG


HIPERTIROID
Kode ICD : P72.1
1. Definisi

2. Anamnesis

3. Kriteria
Diagnosis

Hipertiroid adalah keadaan dimana terjadi kelebihan hormon tiroid dalam


sirkulasi darah.
a. Adanya faktor genetik yang dipicu oleh lingkungan (infeksi, obat, stress,
bahan kimia)
b. Gejala klinis: keluhan dada berdebar, berkeringat, mudah lelah, mata
menonjol
Langkah Diagnosis :
Anamnesis
Pemeriksaan fisis / gejala klinis
Gejala lebih ringan dari dewasa dan muncul perlahan (6-12 bulan).
Krisis tiroid dan hipertiroid apatik jarang dijumpai.
Adanya Trias : Goiter ( diffus), tirotoksikosis, oftalmopati + dermopati
( jarang).
Gejala mayor
: Struma, takikardi, tekanan nadi melebar,
eksoftalamus, nervositas.
Gejala minor: tremor, intoleransi panas, berat badan menurun.
Gejala lain: nafsu makan meningkat, banyak berkeringat, kulit panas,
prestasi belajar menurun, emosi labil, sering buang air besar, diare,
menstruasi tidak teratur.

Pemeriksaan penunjang
T4 atau fT4 , T3 , TSH
Uptake RAI naik 34 - 40%
Pada saat sakit T3 meningkat (merupakan tes terbaik untuk
skrining)
Ada thyroid stimulating Ig, TRAb.

4. Diagnosis
Kerja

5. Pemeriksaan
Penunjang

Hipertiroid
Neonatal/kongenital: transplacental TSH receptor stimulating
immunoglobulin dari ibu yang menderita penyakit Grave (bersifat
transien)
Didapat: penyakit Grave / tirotoksikosis autoimmun (kasus terbanyak),
fungsional adenoma, tiroiditis subakut, tumor hipofise yang
memproduksi TSH atau hipofise resisten thyroxine.
Laboratorium fungsi tiroid
USG tiroid dan skintigrafi kalau perlu
EKG bila perlu
Pemeriksaan imunologi (bila fasilitas ada)

6.Terapi

a) Konservatif / medikamentosa dengan obat anti tiroid/ATD:


Dapat diberikan :
Methimazol dengan dosis :
Dosis inisial 0,4mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis, dilanjutkan dosis
pemeliharaan 0,2mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis.
Propiltiourasil (PTU) dengan dosis :
Anak kecil: 5-7 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis, dosis ditingkatkan /
diturunkan bertahap sesuai dengan evaluasi klinis dan laboratorium
Anak besar :
pada umumnya 3 X 100
mg/hari.
Gejala klinis berkurang setelah 1-2 minggu, kelainan laboratorium
normal setelah 4-6 minggu (perlu dipantau T3, fT4, TSH dan
BMR).
Bila fT4 rendah perlu diperiksa TSH untuk menilai over treatment.
Dosis PTU diturunkan sesuai hasil pemantauan klinis dan
laboratorium.
30-40% pasien remisi setelah 2-3 tahun dan di tappering 6 bln-1 th
sehingga bila dihentikan tidak terjadi hipertiroid.
Obat lain yang sering digunakan :
1. Obat Adrenergic antagonis misalnya propanolol
Merupakan obat tambahan yang dapat diberikan selain ATD.
Kerjanya menurunkan gejala hipertiroid dan obat distop
setelah eutiroid.
Dosis propanolol 0,5-3 mg/kg/hari
Hati-hati pada pasien asma atau gagal jantung.
2. Obat yang mengandung iodide
Inorganic Iodide misalnya iopanoic acid dan sodium ipodate
Indikasi pada neonatal Graves: Iopanoic Acid (Telepaque)
500 mg p.o. tiap 3 hari dan diberikan juga dengan Propanolol.
Obat distop dalam 60 hari.
Efek samping: diare.
3. Potassium Iodide dan Lugol s Solution
Indikasi: pasien yang akan dilakukan pembedahan atau pada
krisis tirotoksik.
Dosis 0,1-0,3 ml (iodine 5% dan 10% potassium iodide dalam
air) 3 hari sekali
4. Glukokortikoid
Indikasi: krisis hipertiroid dan progressive severe Graves
opthalmopathy.
b) Pembedahan (tiroidektomi)
Dipertimbangkan bila 2-3 tahun terapi konservatif tidak terjadi

remisi
Persiapan:

Sebelum pembedahan pasien harus tirah baring dengan diet


cukup 1-3 minggu Pra pembedahan hingga 1 minggu pasca
bedah diberi larutan KY jenuh 10 tetesan untuk mencegah
timbulnya thyroid storm
Thyroid Storm keadaan darurat
Terapi :

Sodium iodida iv 1-2 gram


Dexamethason
Propanolol
Kontrol hipertermi dan cairan (infus)

Setelah tiroidektomi perlu observasi


Hipotiroid akibat reseksi berlebih (harus diberi hormon tiroid
seumur hidup)
Tirotoksikosis berulang karena reseksi tiroid kurang
Hipoparatiroid (kelenjar paratiroid secara tidak sengaja
terambil).

c) Ablasi Terapi dengan Radioactive Iodine (RAI)


Diindikasikan pada tirotoksikosis rekuren setelah pembedahan
Digunakan 131 I atau 123 I (14)
Efek biologi dari 131I adalah partikel radiasi necrosis dan
kegagalan replikasi dari folikel sel yang tidak dirusak.
Sasaran terapi adalah membuat euthyroid atau hipothyroid .
Hipotiroid biasanya terjadi dalam 6 bulan-satu tahun (10%-20%)
dan bisa transien atau permanen sehingga perlu tiroksin
sepanjang hidupnya
Ad Vitam: dubia ad bonam/malam
7. Prognosis

Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam


Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam

8.Edukasi/Tinda
k
lanjut

9.Tingkat
Evidens

a. Monitoring efek samping obat


ES PTU : agranulositopenia, hepatitis, cholestasis jaundice,
trombositopenia, anemia aplastik (sangat jarang), gatal,
urtikaria, atralgia, demam (dapat dikurangi dengan
mengganti jenis obat tionamida lain).
b. Monitoring kemungkinan relaps.
c. Monitoring pertumbuhan.
III

10. Tingkat
Rekomendasi
11. Penelaah
Kritis
12. Indikator
Klinis
13. Daftar
kepustakaan

C
Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH
-

pencegahan komplikasi
normalisasi fungsi tiroid
optimalisasi tumbuh kembang
1. Beck-Pecoz P, Persani L, La Franchi S: Safety of medications and
hormons used in the treatment of pediatric thyroid disorders.
Pediatric endocrinol Rev 2004;2 (suppl 1) 124-133
2. Dallas JS, Folley TP Jr.Hyperthyroidism: inlifshitz F (ed): Pediatric
Endocrinology, ed5 New York, Informa Health Care 2007, pp 415442.
3. Hung W, Sarlis NJ: Autoimmune and non-Autoimmune
hyperthyroidism in pediatric patients: a review and personal
commentary on management. Pediatr Endocrinol Rev 2004;2:21-38.

Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen IKA RSMH

Palembang, Juli 2014


Ka Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 19580126 198503 2006

dr. Aditiawati, SpA(K)


NIP 19610527 1988032001

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Perawakan Pendek
Kode ICD : R.62.52
1. Definisi

Perawakan pendek atau short stature merupakan panjang badan /


tinggi badan berada dibawah P3 atau < 2SD pada kurva
pertumbuhan

2. Anamnesis

Pola pertumbuhan anak (berat badan dan tinggi badan


mulai bayi)
Riwayat kehamilan ibu
Riwayat kehamilan dan perkembangan fisis
Riwayat penyakit kronis, operasi dan obat-obatan
Riwayat penyakit dalam keluarga
Riwayat pubertas orang tua
Riwayat nutrisi
Aspek psikososial
Mid Parental Height (MPH):
TB anak laki-laki

(TB ibu + 13) + TB

Ayah
2
TB anak perempuan = (TB ayah 13 ) + TB Ibu
2
Potensi tinggi genetik = MPH 8,5 cm
(Potensi tinggi genetik adalah rentang nilai tinggi badan
akhir seseorang akibat dari kedua orang tua biologis).
3. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan Antropometri (BB,PB/TB, LK)


Menilai Proporsi tubuh
- Rentang lengan
- Ratio Upper segmen/ lower segmen

Ada tidaknya stigmata dismorfik / sindrom


Ada tidaknya kelainan tulang
Ada tidaknya kelainan GIT, paru, jantung, urogenital,
kulit dan organ lain
Ada tidaknya gejala kelainan neurologis
Status pubertas / tingkat maturasi kelamin

Pemeriksaan fisis lain secara general

Interpretasikan hasil pengukuran :


Bila TB di antara 2SD dan 3SD: 80% varian normal.

Bila TB < -3SD: 80% patologis.


Penurunan kecepatan pertumbuhan antara umur 2-12
tahun (memotong beberapa garis persentil) dianggap
patologis kecuali dibuktikan lain.
Ratio BB dan TB mungkin mempunyai nilai diagnostik
dalam menentukan etiologi. (Pada kelainan endokrin
umumnya tidak mengganggu BB sehingga anak terlihat
gemuk. Kelainan sistemik umumnya lebih mengganggu
BB dibanding TB sehingga anak lebih terlihat kurus.
4. Kriteria Diagnosis

Perawakan pendek patologis :


TB < P3 atau < 2SD
Kecepatan tumbuh < P25
Prakiraan tinggi dewasa dibawah target height
Umur tulang (bone age) terlambat.

Defisiensi

hormon pertumbuhan harus terlebih dahulu ditetapkan :


TB < P3 atau < 2 SD
Kecepatan tumbuh < P25
Usia tulang terlambat 2 tahun
Kadar GH10 ng/ml pada uji provokasi/stimulasi
hormon pertumbuhan (oleh bagian endokrinologi anak)
Tidak ada dismorfik, kelainan tulang maupun sindrom
tertentu

5. Diagnosis Kerja

Perawakan Pendek (Short Stature)

6. Diagnosis Banding

Berdasarkan Etiologi
Varian normal
Familial / genetic short stature
Constitutional delay of growth and puberty / maturation.
Perawakan pendek primer
Sindrom-sindrom yang dihubungkan dengan kelainan
kromosom
Sindrom-sindrom yang lain
IUGR, yang disebabkan kelainan saat dalam kandungan,
disfungsi plasenta berat
Skeletal dysplasia/osteochondrodysplasia
Storage disorder (jarang).
Perawakan pendek sekunder
Kelainan sistemik (penyakit kronis)
Malnutrisi
Kelainan endokrin

Metabolic disorders
Iatrogenic short stature
Psychososial/ emotional short stature (psychosocial
dwarfism).
Perawakan pendek idiopatik
Tidak dijumpai kelainan.
a) Lakukan pemeriksaan penunjang:
Lab rutin ( DL, UL, FL ) untuk mencari kelainan
sistemik
Pemeriksaan umur tulang (bone age)
b) Pemeriksaan lanjutan (atas indikasi):
Fungsi tiroid (free T4, TSH)
Analisis kromosom (pada wanita): untuk diagnosis
sindrom Turner
Uji stimulasi/provokasi hormon pertumbuhan
(pemeriksaan hormon pertumbuhan secara acak tidak ada
manfaatnya sama sekali dan hasilnya tidak bisa
diinterpretasikan).

7. Pemeriksaan
Penunjang

Perawakan pendek variasi normal tidak memerlukan


pengobatan
Perawakan pendek kelainan patologis terapi sesuai
dengan etiologinya :
Nutrisi
Penyakit organik
Hormonal
Mekanikal/pembedahan
Terapi hormon pertumbuhan (dilakukan atas advis dan
pengawasan dokter di sub endokrinologi anak):
Indikasi :

8.Terapi

Defisiensi hormon pertumbuhan


Sindrom Turner, sindrom Noonan
Anak dengan IUGR, gagal ginjal kronik
Sindrom Prader Willi, sindrom Leriweill.

Bedah
Pada kasus tertentu misalnya skeletal dysplasia diperlukan
koreksi mekanik/ pembedahan (bone lengthening), juga pada
kasus tumor.
Suportif.
Psikososial

Ad Vitam: bonam
9.Prognosis

Ad sanationam: Dubia ad bonam/malam


Ad Fungsionam: Dubia ad bonam
Makin cepat diketahui adanya penyimpangan pertumbuhan
makin cepat terapi diberikan hasil yang optimum bisa
tercapai.

10.Edukasi

Monitoring terhadap:
Terapi: pertambahan tinggi badan dan efek samping obat
Tumbuh kembang
C

11.Tingkat
Rekomendasi
12.Penelaah Kritis

Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH

13.Indikator Medis
14.Daftar
kepustakaan

Pencapaian tinggi potensial genetik


1. 1. Dunger DB,Ong KK: Endocrine and metabolic consequences
of intrauterine growth retardation. Endocrinol Metab Clin North
Am 2005;34:597-615
2. 2. Lee MM: Clinical practice. Idiopathic short stature. N Engl J
Med 2006;354:2576-2582.
3. 3. Rosenfeld RG, Hwa V: Toward a molecular basis for
idiopathic short stature. J Clin Endocrinol Metab 2004;89:10661067.

Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen IKA RSMH

Palembang, Juli 2014


Ka Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 19580126 198503 2006

dr. Aditiawati, SpA(K)


NIP 19610527 1988032001

Algoritme
Perawakan Pendek
Anamnesis / Pemeriksaan Fisik

Dismorfik

Tampak Sakit

Tampak Sehat / Dismorfik

Penyakit Kromosom
Hambatan Pertumbuhan Intrauterine/IUGR
Disproporsi Tubuh

Penyakit Sistemik

Periksa umur tulang (UT).


Bandingkan dengan Umur Kronologis (UK)

Penyakit Tulang

UT > UK

UT < UK

Idioptik, periksa faal tyroid, pubertas dini

T4 /N, TSH

Periksa faal tiroid

Normal

Hipotiroidisme Primer

Rendah

UT = UK

< 10 ng/ml

Familial genetik

T4 , TSH

ITT (Tes GH)

Hipopituitarism?

Normal
Coba beri GH

Defisiensi GH
Respon (+)

Respon (-)

GH Bio-inactive
GH Bio-inactive
Laron Dwarfism (Idiopatik)

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (ppk)


DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
HIPERPLASIA ADRENAL KONGENITAL
(Congenital Adrenal Hyperplasia)
Kode ICD : E25.0
1.Definisi

Hiperplasia adrenal kongenital adalah suatu kelainan genetik yang


diturunkan secara autosomal resesif akibat defisiensi atau gangguan
pada salah satu dari tahapan-tahapan enzimatik yang diperlukan
untuk biosintesis steroid adrenal.

2.Anamnesis

Riwayat muntah berulang, gagal tumbuh, sex ambigus

3.Pemeriksaan fisik

Maskulinisasi, failure to thrive, hiperpigmentasi, tanda-tanda


dehidrasi, asidosis (tergantung tipe HAK)
Gejala Klinis
a. Ambigus genitalia
Pseudohermafroditism dengan klitoromegali dan fusi lipatan
labioskrotal parsial/komplit.
Keadaan berat laki-laki dengan kriptokismus
b. Pubertas prekoks
c. Salt wasting / Hiponatremia
Kehilangan garam hiponatremia, gagal tumbuh,
dehidrasi, dan hiperkalemia
Krisis adrenal tidak mau minum, muntah-muntah,
diare, failure to thrive, dehidrasi, hiperkalemia,
hiponatremia, asidosis.
Hipoglikemia
Hiperpigmentasi
d. Pertumbuhan linier
e. Fungsi reproduksi
Wanita : oligomenore, amenore, menstruasi tidak teratur
atau infertilitas

4.Kriteria Diagnosis

Pajanan androgen tingkah laku wanita seperti lakilaki


Laki-laki defisiensi spermatogenesis
f. Simple virilizing form
g. Tipe non klasik
Tergantung umur onset
Pubertas prekoks
Umur tulang maju
Pertumbuhan pesat
Pada perempuan: polikistik ovarii hirsutisme, menstruasi
tidak teratur, perawakan pendek, fertilitas menurun.
h. Heterozigot
Gejala kelebihan androgen

5.Diagnosis Kerja
6.Pemeriksaan
Penunjang

Hiperplasia adrenal kongenital (tipe salt wasting/klasik, non


klasik, simple virilizing form)
a. Tipe Klasik
Na rendah dan K tinggi
Peningkatan serum 17-OHP dan hormon androgen
adrenal
Kortisol serum rendah
Ambigus genitalia
Pemeriksaan PRA merupakan indesi sensitif untuk
insufisiensi mineralokortikoid.
Genitografi: terlihat uterogenital dan uterus
USG genitalia interna: terlihat uterus
Foto rontgen usia tulang untuk evaluasi pubertas
prekoks.
Tes genetik
b. Tipe Non Klasik
Perlu uji stimulasi ACTH

7.Terapi

1) Terapi Hormonal
Prinsip: mencegah terjadinya insufisiensi adrenal
a. Pada keadaan akut HAK Salt Wasting

Terapi syok dengan NaCl 0,9% 20 ml/kg, dalam 1


jam dilanjutkan dengan 3.200 ml/m2/24 jam cairan
isotonis.
Bila hipoglikemia berikan 2-4 ml/kgBB Dekstrose
10%

Hidrokortison hemisuksinat 50-100 mg/m2 atau 1-2


mg/kgBB dilanjutkan dengan 50-100 mg/m2 dengan
dosis terbagi tiap 6 jam, dilanjutkan dengan dosis
rumatan per oral seumur hidup 15-20 mg/m2/hari
dalam 2-3 kali pemberian setelah fase akut terlewati.
Alternatif lain Metilprednisolon sodium suksinat
0,25-0,5 mg/kg IV atau Deksametason 1-2 mg/m2.
Sebelum diberikan hidrokortison dosis rumatan per
oral, mulai dengan dosis 20-30 mg/m 2/hari dalam 12 minggu untuk mengontrol overproduksi ACTH.
Terapi mineralokortikoid pada krisis adrenal dengan
Deoksikortikosteron asetat (DOCA) 0,5-1 mg/hari
IM dilanjutkan dengan Fludrokortison asetat peroral
50-200 mg/hari 3 kali pemberian.
Suplementasi NaCl 1-2 g/hari sampai usia 2 tahun.

Monitoring Terapi
Pemberian kortisol seumur hidup.
Evaluasi 17-OHP dan Astrostenedion tiap 2 bulan-1

tahun dan pemeriksaan plasma renin activity secara


periodik.
Hidrokortison 10-20 mg/m2/hari.

Alternatifnya Prednison 5-7,5 mg/m2/hari atau

Deksametason
0,25-0,5
mg/m2/hari
dengan
pemantauan.
Evaluasi terapi dengan memantau pertumbuhan,

umur tulang, serum 17-OHP, androstenedion, dan


testosteron.
b. Kondisi Khusus
Pada pembedahan atau trauma, muntah hebat, dan
diare, pasien dirawat dan obat diberikan secara IM.
Pada kegawatan / infeksi, dosis dapat ditingkatkan 23 kali untuk beberapa hari.

8.Prognosis

9. Edukasi
10.Tingkat Evidens

Terapi pembedahan
Konseling psikiatri
Konseling genetik
Ad Vitam: dubia ad Bonam/malam
Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam
Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam
Kepatuhan pengobatan, monitoring ketat terhadap timbulnya
komplikasi
III

11.Tingkat
Rekomendasi
12.Penelaah Kritis

C
Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH

-minimalisir komplikasi
-kadar elektrolit darah normal (tipe klasik)
-optimalisasi tumbuh kembang
Daftar kepustakaan 1. Clayton P, Miller WL, Oberfield SE, Ritzen EM, Sippel WG,
Speiser PW: Consensus statement on 21-hydroxylase deficiency
from the Europen Society for Paediatric Endocrine Society. J
Clin Endoc Metab 2002;87: 4048-4053.
2. Speiser PW, White PC, New MI: Congenital adrenal
hyperplasia; James VH (ed): The Adrenal Gland.
Comprehensive Endocrinology, revised ser. New York, Raven
Press, 1992,pp 371-372

13.Indikator Klinis

Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen IKA RSMH

Palembang, Juli 2014


Ka Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 19580126 198503 2006

dr. Aditiawati, SpA(K)


NIP 19610527 1988032001

DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK


RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
OSTEOGENESIS IMPERFECTA
Kode ICD

1. Definisi
2.Anamnesa

3.Pemeriksaan
fisik

4.Kriteria
Diagnosis

5.Diagnosis
Kerja
6.Diffrential
diagnosis

kelainan pembentukan jaringan ikat yang umumnya ditandai dengan


tulang mudah patah, kelainan pada ligamen, kulit, sklera, gigi, ataupun
tuli.
Riwayat mudah fraktur/patah tulang berulang, adanya riwayat penyakit
yang sama dalam keluarga
Pada bentuk yang ringan penderita bisa tidak mengalami patah tulang
sampai masa dewasa. Sedangkan pada bentuk yang berat patah tulang
dapat dialami sejak dalam uterus/prenatal.
Terdapat fraktur multisegmen, perawakan pendek, sklera berwarna biru,
masalah gigi (dentinogenesis imperfecta), dan gangguan pendengaran
yang makin progresif setelah masa pubertas.
Diagnosis OI ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit yang sama pada
keluarga dan atau manifestasi klinis yang berbeda-beda tiap penderita,
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan Radiologi dan kadar
kalsium serta fosfat.
Osteogenesis Imperfecta tipe I - IV

1. Kekerasan anak dan penelantaran pada anak (child abuse & neglect)
2. Osteoporosis Juvenil Idiopatik (OJI)
3. Achondroplasia

7.Pemeriksaan
Penunjang

4. Riketsia
Pemeriksaan kadar Elektrolit Darah (terutama Kalsium dan Fosfat)
Pemeriksaan Radiologi
o Radiografi tulang skeletal setelah lahir (bone survey):
- Bentuk ringan (tipe I) tampak korteks tulang panjang
yang menipis, tidak tampak deformitas tulang panjang.
Bisa menunjukkan gambaran Wormian (Wormian bones)
pada cranium.
Bentuk sangat berat (tipe II) tampak gambaran manikmanik (beaded appearance) pada tulang iga, tulang
melebar, fraktur multipel dengan deformitas tulang

panjang.
Bentuk sedang dan berat (tipe III dan IV) tampak
metafisis kistik atau gambaran popcorn pada kartilago,
tulang dapat normal atau melebar pada awalnya
kemudian menipis, dapat ditemukan fraktur yang
menyebabkan deformitas tulang panjang, sering disertai
fraktur vertebra.
o Densitas mineral tulang (bone densitometry) diukur dengan
Dual-Energy
X-Ray
Absorptiometry
(DEXA)
yang
menghasilkan nilai rendah pada penderita.
o Ultrasonografi prenatal pada minggu 15-18 kehamilan untuk
mendeteksi kelainan panjang tulang anggota badan. Yang tampak
dapat berupa gambaran normal (tipe ringan) sampai dengan
gambaran isi intrakranial yang sangat jelas karena berkurangnya
mineralisasi tulang kalvaria atau kompresi kalvaria. Selain itu
dapat juga ditemukan tulang panjang yang bengkok, panjang
tulang berkurang (terutama tulang femur), dan fraktur iga
multipel. USG prenatal ini terutama untuk mendeteksi OI tipe II.
-

8.Terapi

9.Prognosis

10.Tingkat
Evidens
11.Tingkat
Rekomendasi

Selain pemeriksaan Radiologis, juga dapat dilakukan pemeriksaan


berikut :
- Analisa sintesa kolagen didapat melalui kultur fibroblas dari
biopsi kulit, terutama untuk mendeteksi osteogenesis imperfecta
tipe I, III dan IV.
- Analisa mutasi DNA prenatal dilakukan pada kehamilan dengan
resiko OI, melalui kultur villus korion. Pemeriksaan kombinasi
antara analisa DNA dan biopsi kolagen akan mendeteksi hampir
90% dari semua tipe mutasi gen pengkode prokolagen tipe I.
1. Bisfosfonat (pamidronat) dengan dosis 1,5-3 mg/kgbb/hari
pemberian drip dalam 4 jam, diberikan 3 hari berturut-turut,
diulang tiap 4-6 bulan.
2. Zoledronic acid 0,05mg/kgbb pemberian drip dalam 1 jam, satu
kali pemberian, diulang setiap 6 bulan
3. Suplementasi Vitamin D 400-800 IU dan Kalsium 500-1000 mg
sebagai profilaktik defisiensi Vitamin D dan Kalsium
Tergantung tipe
Ad Vitam: dubia ad bonam/malam
Ad Sanationam: dubia ad malam
Ad Fungtionam: dubia ad malam
III
C

12.Penelaah
Kritis
13.Indikator
Klinis

14.Daftar
kepustakaan

Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH, UKK Endokrinologi


Pediatric, Jakarta, Indonesia.
Kejadian fraktur berulang berkurang, optimalisasi tumbuh kembang
1. Marini JC. Osteogenesis imperfecta. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB,eds. Nelson textbook of pediatrics, edisi
ke-17. Philadelphia: Saunders, 2004, 2336-8
2. Marini JC. Osteogenesis imperfecta-managing brittle bones. N Engl
J Med 1998; 339: 986-7
3. Root AW, Diamond Jr FB. Disorders of calcium metabolism in the
child and adolescent. Dalam: Sperling MA, eds. Pediatric
endocrinology, edisi ke-2. Philadelphia: Saunders, 2002, 657-85.
4. Nussbaum RL, McInnes RR, Willard HF. The molecular and
biochemical basis of genetic disease. Dalam: Thompson and
thompson genetic in medicine, edisi ke-6. Philadelphia: Saunders,
2004, 229-346.
5. http://www.ema.europa.eu: Assessment report for Zometa
(Zoledronic acid). European Medicines Agency. Evaluation of
Medicine for human use. London.2010.

Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen IKA RSMH

Palembang,
Juli 2014
Ka Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 19580126 198503 2006

dr. Aditiawati, SpA(K)


NIP 19610527 1988032001

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

SINDROMA TURNER
Kode ICD : Q96.8
Definisi

Anamnesis
Pemeriksaan
Fisik

Kelainan pada wanita dengan karakteristik tidak terdapatnya sebagian


atau seluruh dari seks kromosom kedua yang normal yang memegang
peranan pada penampilan fisik yang sering disertai dengan limfedema
kongenital, perawakan pendek, dan disgenesis gonad.
Keluhan perawakan pendek, gambaran klinis
Defek Primer
Keadaan Fisik
Gangguan pertumbuhan
skletal

Obstruksi limfatik

Faktor yang tidak


diketahui

Keadaan Sekunder
Perawakan pendek

100

Leher pendek
Rasio segmen atas dan bawah
abnormal
Cubitus vagus
Metakarpal pendek
Deformitas madelung
Skoliosis
Genu valgum
Muka khas dengan
mikrognati
Palatum arch tinggi
Webbed neck
Low posterior hairline
Rotated ears
Edema pada tangan/tungkai
Displasia kuku
Dermatoglipi yang khas

40

Strabismus
Ptosis
Nevi pigmentosa multipel

Keadaan Fisiologis

Insiden (%)

97
47
37
7,5
12,5
35
60
36
25
42
Sering
22
13
35
17,5
11
26

Defek Primer
Gangguan pertumbuhan
skeletal
Defek kromosom sel
germinal
Faktor-faktor yang tidak
diketahui Embrionik
Faktor-faktor yang tidak
diketahui Metabolik

Kriteria
Diagnosis
Diagnosis
Kerja
Diferential
diagnosis

Pemeriksaan
Penunjang

Keadaan Sekunder

Insiden (%)

Gagal tumbuh

100

Otitis media

73

Kegagalan gonad

90

Infertilitas
Gonadoblastoma
Anomali kardiovaskuler
Hipertensi
Anomali renal dan
renovaskuler
Tiroiditis Hashimoto
Hipotiroid
Alopesia
Vitiligo
Kelainan gastrointestinal
Intoleransi karbohidrat

95
5
55
7
39
34
10
2
2
2,5
40

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang


Sindroma Turner
Banyak gambaran fisik sindroma Turner yang merupakan konsekuensi
adanya limfedema intrauterine. Gambaran yang sangat mirip ditemukan
pada sindroma Noonan dengan gangguan gen yang memberikan efek
pada laki-laki dan wanita dengan gambaran tubuh yang pendek dan
adanya defek kongenital pada jantung (biasanya kardiomiopati pada
jantung kanan.
a. Masa Prenatal : deteksi dengan USG
Jarang ditemukan higroma kistik dan kelainan pada ginjal (horse
shoe kidney) dan abnormalitas jantung.
b. Masa bayi dan anak-anak
- Insiden terjadinya aorta bicuspid lebih dari 50% dan koarktasio
aorta kurang dari 20%. Evaluasi dengan ekokardiografi tiap 5
tahun untuk memantau diameter pembuluh darah jantung.
- Dilakukan skrining terhadap fungsi tiroid meliputi pengukuran
level tirotropin. Sebaiknya pada penderita usia 10 tahun yang
asimptomatik dan diulang tiap tahunnya.
- Terdapat conductive hearing loss menyebabkan otitis media yang
berulang dan puncaknya terjadi pada usia 1-6 tahun. Pemeriksaan
audiologi dapat dilakukan pada usia sekitar 7 tahun.
- Limfedema terjadi waktu bayi pada daerah tangan dan kaki dapat
diberikan stoking. Strabismus, ptosis dapat terjadi, penilaian
dilakukan tiap tahun oleh seorang oftalmolog. Crowding dan

Terapi

Prognosis

Tingkat
Evidens
Tingkat
Rekomendasi
Penelaah
Kritis

maloklusi yang diakibatkan mandibula yang mengecil.


Pemeriksaan gigi dilakukan pada usia pertengahan anak-anak.
- Pemeriksaan psikologi bila diperlukan
Sejak didiagnosis terapi terpenting yaitu pemberian ZegaraZ
pertumbuhan (oleh subdivisi endokrinologi anak). Terapi ZegaraZ
pertumbuhan sangat bermanfaat untuk mengoptimalisasi pertumbuhan
anak dengan sindroma Turner. Pemberian ZegaraZ pertumbuhan
tunggal atau kombinasi dengan ZegaraZc steroid seperti Oksandrolon
telah menjadi standar di beberapa Zegara. Yang kedua yaitu pada saat
anak mencapai usia pubertas dilakukan induksi pubertas sesuai usianya
untuk mencegah terjadinya osteoporosis. Terapi lainnya tergantung
klinis yang ditemukan.
Ad vitam: dubia ad malam
Ad sanationam: ad malam
Ad Fungsionam: dubia ad malam
III
C
Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH
-

Indikator
Klinis
Daftar
kepustakaan

optimalisasi pertumbuhan dan pencapaian pubertas


mengatasi komplikasi sistemik

1. Bannink EM, Raat H, Mulder PG, de Muinck Keizer Schrama SM :


Quality of life after growth hormone theraphy and induced puberty
in women with Turner syndrome. J Pedriatr 2006;148:95-101.
2. Bondy CA: Care of girls and women with Turner syndrome: a
guideline of the Turner syndrome study group. J Clin Endocrinol
Metab 2007;92:10-25.

Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen IKA RSMH

Palembang, Juli 2014


Ka Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 19580126 198503 2006

dr. Aditiawati, SpA(K)


NIP 19610527 1988032001

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
SINEKIA VAGINA
Kode ICD :N89.5
1.Definisi

Sinekia vagina adalah perlekatan labia minora akibat iritasi dan


inflamasi.
Nama lain: aglutinasi labia minora, adhesi labia minora
Tidak tampak lubang vagina, lubang vagina tertutup
Terdapat faktor predisposisi (Higiene daerah sekitar
vulvovagina jelek)
tampak perlekatan labia minora sebagian atau menyeluruh

2.Anamnesa

3.Pemeriksaan Fisik
4.Kriteria Diagnosis

Gejala klinis: tampak labia minora tertutup dengan adanya rafe


garis tengah translusen yang nyata pada adhesi.

5.Diagnosis Kerja

Sinekia Vagina

6.Diagnosis Banding

Atresia Vagina

7.Pemeriksaan
Penunjang
8.Terapi

Lakukan tindakan pemisahan secara traumatik dengan alat


tumpul, atau

Berikan krim estrogen, dioleskan pada malam hari selama 2


minggu dan dilanjutkan selang sehari selama 2 minggu, atau
Laser vaporasi dengan anestesi lokal
9.Edukasi
Pencegahan
Bersihkan genitalia eksterna setiap BAK/BAB
Gunakan celana dalam longgar dari bahan katun dan diganti
bila basah
Hindari sabun yang bersifat basa
Pengawasan yang cermat dari ibu terhadap hygiene anaknya.
10.Tingkat Evidens
III

11.Tingkat
Rekomendasi
12.Penelaah Kritis
13.Indikator Klinis
14.Daftar
kepustakaan

C
Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH
- Lepasnya perlengketan labia minora
- hygiene genitalia yang baik
1. Papagiani M, Stanhope R. Labial adhesions in a girl with
isolated premature telarch: the important of organization. J
pediatric adolesense Gynecol 2003; 16(1):31,2
2. Leung AK, Robson TL. The incidence of labial fusion in
children. J pediatric Child Health 1993; 29.(3): 235-236

Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen IKA RSMH

Palembang, Juli 2014


Ka Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 19580126 198503 2006

dr. Aditiawati, SpA(K)


NIP 19610527 1988032001

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Kriptorkismus
Kode ICD :Q53.9
1.Definisi

Kriptorkismus adalah malposisi testis, yaitu tidak terabanya testis di


dalam skrotum, dapat unilateral atau bilateral, dapat disebabkan
oleh:

Disgenesis gonadal: penurunan testis tidak terjadi karena


testisnya abnormal.

Mekanisme / kelainan anatomis lokal: adanya faktor


mekanis yang menghambat.

Endokrin / hormonal: adanya defisiensi gonadotropin.

Genetik / herediter: adanya sindrom dengan atau tanpa


kelainan kromosom.
2.Anamnesis

3.Pemeriksaan Fisik

1. Ibu penderita mengeluh skrotum kosong baik salah satu


ataupun kedua kantong
2. Testis teraba di luar skrotum (sepanjang jalur turun testis)
3. Ada tidaknya riwayat testis naik-turun pada skrotum
4. Apakah disertai kelainan kongenital lainnya (hipospadia,
DSD, prunebelly syndrome)

Bedakan dengan testis rektraktil dengan teknik:


Cross leg (tailor) position
Squatting position
Kompres hangat pada daerah inguinal.
Cari tanda-tanda sindrom-sindrom yang berhubungan
dengan kriptorkismus, seperti sindrom Kallman, sindrom PraderWilli, Prune Belly Sindrome, dll.

Berbagai bentuk klinis:

Retraktil (varian normal): testis terletak di supraskrotal


akibat kontraksi otot kremaster, dapat dimanipulasi dengan mudah
ke dasar skrotum dan dapat menetap selama beberapa detik tanpa

tahanan. Testis rektaktil dapat mengalami penurunan spontan


dengan bertambahnya usia dan berat badan, sehingga tidak perlu
terapi, hanya pemantauan tahunan.

Ektopik: apabila testis tidak teraba sepanjang jalur alamiah


penurunan testis.

Nonpalpabel: testis yang tidak teraba sama sekali (intraabdomen atau anorkia).
Gliding: testis yang dapat diturunkan ke dasar skrotum
dengan manipulasi namun segera kembali ke tempat semula
bila dilepaskan.

Gambar 1. Posisi Testis pada Kriptorkismus

4.Kriteria Diagnosis

Pada kriptorkismus juga dapat terjadi kelainan


perkembangan skrotum maupun kelainan genitalia eksterna lainnya
seperti hipospadia dan mikropenis
Berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis

5.Diagnosis

Kriptorkismus/undescendens testes (UDT)

6.Diagnosis Banding

Testis ektopik
Testis retraktil
DSD

7.Pemeriksaan
Penunjang

8.Terapi

USG untuk menentukan lokasi, bila tidak ditemukan


dapat dilakukan CT scan.
Bila mungkin laparoskopi untuk uji diagnostik inisial.
Bila ditemukan kelainan genitalia eksterna seperti
hipospadia atau hiperpigmentasi skrotum, perlu
dilakukan analisis kromosom.
Pada kriptorkismus bilateral lakukan pemeriksaan :
Uji HCG (oleh endokrinologi anak)
Analisis kromosom (bila perlu)
LH, FSH, testosterone dan elektrolit lengkap (bila
perlu)

Sebelum usia 6 bulan: observasi sampai usia 6 bulan


Jika masih (+) setelah usia 6 bulan:
Berikan terapi hormonal:
HCG 2 X/minggu selama 5 minggu dengan dosis

<1 tahun: 250 I/dosis, intramuskular


1-5 tahun: 500 I/dosis, intramuskular
> 5 tahun: 1.000 I/dosis, intramuskular..
Pilihan terapi hormonal lain: GnRH agonis
intranasal. Tiga kali sehari @ 0,4 mg (2 semprot)
selama 4 minggu atau
Gabungan GnRH agonis dan HCG.
GnRH agonis seperti di atas disertai
HCG 1500 I/dosis 1 kali seminggu sebanyak 3 kali.
Lakukan orchidopexy apabila:
Terapi hormonal gagal
Usia > 1 tahun
Testis ektopik.

Indikasi rawat : torsio testis


9.Tindak
Lanjut/Edukasi
(Pediatric Health
Promotion)
10.Prognosis

Pantau komplikasi
Pada usia pubertas: ajarkan pasien untuk memeriksa testis
sendiri tiap bulan untuk deteksi dini keganasan.

11.Tingkat Evidens

Ad vitam: dubia ad bonam/malam


Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam
Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam
III

12.Tingkat
Rekomendasi

13.Penelaah Kritis

Divisi Endokrin Departemen IKA RSMH

14.Indikator Medis

15.Daftar
kepustakaan

Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen IKA RSMH

testes berada dalam skrotum


koreksi sebelum usia satu tahun
komplikasi minimal

1. Ferlin A, Siminato M, Bartolini L, Rizzo G, Betella A,


Dottorini T, dellapicola B: the INSL3-LGR8/GREAT
ligand receptor pair in human cryptochidism. J Clin
Endocrinol Metab 2003;88: 4273-4279
2. Whitesel JA: intrauterine and newborn tortion of spermatic
cord. J urol 106:786,1991
3. Hudson JM, Hasthorpe S, Heyns CF: Anatomic and
functional aspects of testicular descent and cryptorchidism.
Endocr Rev 1997;18:259-280

Palembang, Juli 2014


Ka Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 19580126 198503 2006

dr. Aditiawati, SpA(K)


NIP 19610527 1988032001
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
DIARE AKUT
ICD 10 : A00-A09

1. Pengertian
(definisi)

2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
Fisik

4. Kriteria
Diagnosis

5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding

7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi

Kumpulan penyakit dengan gejala diare, yaitu defekasi dengan feses


cair atau lembek dengan/tanpa lendir atau darah, dengan frekuensi 3
kali atau lebih sehari, berlangsung kurang dari 14 hari, kurang dari 4
episode/bulan.
Perubahan konsistensi feses menjadi lebih lembek/cairdan frekuensi defekasi lebih
seringmenurut ibu
Frekuensi BAB: 3 kali atau lebih, konsistensi feses cair atau lembek (konsistensi feses
cair tanpa ampas walaupun hanya sakali dapat disebut diare), ada tidaknya darah dan
atau lendir, jumlah feses.
Ada tidaknya muntah, gejala-gejala klinik lain (batuk-pilek, panas, kejang, dan lainlain), riwayat masukan cairan sebelumnya, minum lahap atau malas minum.
Tanda-tanda dehidrasi, komplikasi, penyakit penyulit (bronkopneumoni, bronkiolitis,
malnutrisi, ensefalitis, meningitis, penyakit jantung dan dekompensasi kordis), dan :
keadaan umum (gelisah, cengeng, rewel, letargi, tampak sakit berat), frekuensi nadi,
suhu, tekanan darah, frekuensi nafas (tanda asidosis atau adanya penyakit penyulit).
Pemeriksaan yang meliputi keadaan umum pasien, status dehidrasi, pemeriksaan
abdomen, ekskoriasi pada bokong, dan manifestasi kulit. Penting untuk mengukur berat
badan, tinggi badan, lingkar kepala, perbandingan berat badan terhadap tinggi badan,
kehilangan berat badan, menilai kurva pertumbuhan, dan sebagainya
1. Diare kurang dari 14 hari
2. Ada tidaknya darah dalam feses
3. Tanda-tanda dehidrasi (keadaan umum gelisah atau letargi, kelopak mata cekung,
minum lahap atau tidak mau, turgor kembali dibawah 1 detik atau 1 samapi 2 detik atau
lebih dari 2 detik)
Diare akut dehidrasi (derajat dehidrasi dibagi menjadi: tanpa dehidrasi, ringan sedang,
dan berat)
Diare akut dehidrasi (atau diare cair akut dehidrasi)
Disentri dehidrasi
Diare prolong dehidrasi
Diare akut dengan penyulit (BP, bronkiolitis, decompensasi kordis, malnutrisi berat,
ensefalitis, dan menengitis)
Darah rutin, feses rutin, dan urin rutin atas indikasi
Elektrolit dan atau gas darah atas indikasi
1. Rehidrasi
2. Obat-obatan
3. Diet
4. Edukasi

Rehidrasi (Terapi cairan dan elektrolit) :


Koreksi cairan dan elektrolit dibedakan 2 macam:
1. Diare akut murni (diare cair akut).
2. Diare akut dengan penyulit/komplikasi.
Ad 1. Diare akut murni
Diare akut dehidrasi ringan sedang menggunakanoralit pada dengan dosis 75 ml/kgBB/4
jam, jika gagal upaya rehidrasi oral (URO) mengunakan IVFD dengan cairan ringer
laktat dosis 75 ml/kgBB/4 jam
Diare akut dehidrasi berat dapat mengunakan salah satu cara
1. Cairan ringer laktat dengan dosis 30 ml/jam/kgBB sampai tanda-tanda dehidrasi
hilang(target 4jam atau 120 ml/kgBB).
2. Umur 1 sampai 11 bulan: 30 ml/kgBB dalam satu jam pertama, selanjutnya 70
ml/kgBB dalam 5 jam
Umur 1 tahun ke atas: 30 ml/kgBB dalam 30 menit pertama, selanjutnya 70
ml/kgBB dalam 2,5 jam
Monitoring rehidrasi dilakukan setiap jam, jika tanda-tanda dehidrasi hilang, rehidrasi
dihentikan.
Ad 2. Pada diare akut dengan penyulit :
Menggunakan modifikasi Sutejo dengan cairan yang mengandung: Na:
63,3 mEq/L. K: 10,4mEq/L, CI: 61,4 mEq/L, HCO 3: 12,6 mEq/L(mirip
cairan KAEN 3A).
Koreksi diberikan secara intravena dengan kecepatan :
Diare akut dengan penyulit dengan dehidrasi ringan-sedang :
4 jam I
: 50 cc/kg BB.
20 jam II
: 150 cc/kgBB.
Atau dapat diberikan dengan kecepatan yang sama 200 cc/kgBB/hari
Diare akut dengan penyulit dehidrasi berat :
4 jam I
: 60 cc/kg BB.
20 jam II
: 190 cc/kgBB.
Rehidrasi yang diberikan perhari tetap dimonitoring. Rehidrasi dihentikan jika status
rehidrasi telah tercapai (tidak ada tanda-tanda dehidrasi). Diare akut dengan penyulit
dengan dehidrasi ringan-sedang memerlukan cairan rehidrasi antara 150 200
ml/kgBB/hari sedangkan dehidrasi berat 250 ml/kgBB/hari. Kebutuhan cairan rehidrasi
untuk anak yang lebih besar (lebih dari 10 kg) kurang dari nilai tersebut, sebagai patokan
praktisnya adalah dehidrasi ringan-sedang memerlukan 1,5 sampai 2 kali kebutuhan
maintenance (misalnya anak 20 kg, kebutuhan maitenancenya adalah 1500 mlyang
berarti kebutuhan rehidrasinya 2250-3000ml), sedangkan dehidrasi berat 2,5 kali
maintenance.
Terapi medikamentosa :
Diberikan preparat zink elemenal, untuk usia < 6 bulan sebanyak 1 x 10 mg dan usia 6
bulan sebanyak 1 x 20 mg selama 10-14 hari. Obat-obatan antimikroba termasuk
antibiotik tidak dipakai secara rutin pada penyakit diare akut. Patokan pemberian

1
2
3
4
5

antimikroba/antibiotika adalah sebagai berikut :


Kolera.
Diare bakterial invasif.
Diare dengan penyakit penyerta.
Diare karena parasit/jamur.
Bayi umur kurang dari 3 bulan
Ad. 1. Kolera :
Semua penderita yang secara klinis dicurigai kolera diberi Tetrasiklin 50
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 3 hari.
Ad. 2. Diare bakterial invasif :
Secara klinis didiagnosis jika :
Panas lebih dari 38,5oC dan meteorismus.
Ada lendir dan darah dalam tinja secara makroskopis maupun mikroskopis.
Leukosit dalam tinja secara mikroskopis lebih dari 10/lpb atau ++
Antibiotika yang dipakai sementara menunggu hasil kultur :
K1inis diduga ke arah Shigella (setiap diare yang disertai darah dapat
dianggap shigelosis, jika tidak ada tanda klinis yang khas untuk penyakit
lainya atau belum dapat dibutikan infeksi lainnya, melalui kultur) diberi
Nalidixid acid 55mg/kgBB/hari diberi 4 dosis selama 10 hari atau
Ciprofloxacin 30 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 5 hari. Jika tidak
ada perbaikan dalam 48 jam, antibiotik diganti dengan ceftriakson 100
mg/KgBB/ hari sekali sehari atau Azitromizin
K1inis diduga ke arah Salmonella diberikan Kloramfenikol 100
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 10 hari.
Klinis diduga amubiasis, segera dilakukan pemeriksaan preparat
langsung tinja: jika ditemukan bentuk trofozoit dengan RBC di dalam
sitoplasmanya diberikan metronidazol dengan dosis 50 mg/kgBB/hari
dibagi 3 dosis.
Ad. 3.
Ad. 4

9. Edukasi

Penyakit penyerta diobati sebagaimana mestinya.


Untuk penyakit parasit diberikan :
Amubiasis diberikan Metronidazole 50 mg/kbBB/hari dibagi dalam 3
dosis selama 5-7 hari.
Helminthiasis: untuk Ascaris/Ankylostoma/Oxyuris: Pyrantel Pamoate
10 mg/kgBB/hari dosis tungga1 atau albendazole 400 mg dosis tunggal
untuk anak lebih dari 2 tahun.
Untuk Trichuris : Mebendazole 2 X l00 mg selama 3 hari.
Giardiasis : Metronidazole 15 mg/kgBB/hari selama 5 hari.
Untuk penyebab jamur diberikan :
Candidiasis diberikan Nistatin :
- Kurang dari 1 tahun
: 4 X 100.000 IU se1ama 5 hari.
- Lebih dari 1 tahun
: 4 X 300.000 IU se1ama 5 hari.

Pendidikan kesehatan dilakukan pada saat visite dan di ruangan khusus dimana orangtua
penderita dikumpulkan.
Pokok ceramah meliputi :
Usaha pencegahan diare dan KKP.

Usaha pertolongan untuk mencegah dehidrasi pada diare dengan menggunakan

10. Prognosis
11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah
kritis
14. Indikator
Medis
15. Target
16. Kepustakaan

oralit dan cairan.


Imunisasi.

Keluarga berencana.
Penderita dipulangkan :
Bi1a yakin ibu sudah dapat/sanggup membuat/memberikan oralit kepada anak
dengan cukup wa1aupun diare masih berlangsung.
Kausa diare/penyakit penyerta sudah diketahui dan diobati (tidak mutlak).
Ad vitam
: bonam
Ad sanationam : bonam
I
A
1. Dr. Hasri Salwan, SpA(K)
2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
Gambaran klinis dan derajat dehidrasi
Sembuh dalam 3 sampai 5 hari
1. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, dkk. Pedoman
pelayanan medis IDAI. IDAI 2010. H 58-62.
2. Nelson Pediatric Text Book King CK, Glass R, Bresee JS, Duggan C. Managing
acute gastroenteritis among children oral rehydration: maintenance, and nutritional
therapy. Centers for disease control and prevention. MMWR. 2003;52:1-29.
3. Dep Kes RI, Dirjen PP & PL. Keputusan Menteri Kesehatan RI No:
1216/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare, Edisi
ke 5, Tahun 2007
4. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
5. Nelson Pediatric Text Book Fortaine O, Newton C. A revolution in the management
of diarrhea. Bull WHO. 2001; 79: 471-9.
6. Santosham M, Duggan C, Brown KH, Greenough III WB. Management of acute
diarrhea. Dalam: Wyllie R, Hyams JS, penyunting. Pediatric Gastrointestinal and
Liver Disease: Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi ke-3. Philadelphia:
WB Saunders; 2006. H. 557-81.
7. World Health Organization. Guideline for the control of shigellosis, including
epidemics due to shigella dysenteriae type 1. WHO; 2003. H. 1-70.

Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen IKA

Palembang, Maret 2014


Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)


NIP 195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP. 19670123 199603 1 003

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

1. Pengertian
(definisi)
2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
Fisik

DIARE KRONIK
ICD 10 : A06
Diare kronik adalah diare berlangsung 14 hari atau lebih, dapat berupa diare cair atau
disentri. Diare akut dengan episode serangan 4 kali atau lebih dalam sebulan.
Dibagi 2: diare persisten dengan sebab infeksi, diare kronik dengan sebab non-infeksi.
Riwayat penyakit: saat mulainya diare, frekuensi diare, kondisi tinja meliputi
penampakan, konsistensi, adanya darah atau lendir, gejala ekstraintestinal seperti gejala
infeksi saluran pernafasan bagian atas, failure to thrive sejak lahir (cystic fibrosis),
terjadinya diare sesudah diberikan susu. Buah-buahan (defisiensi sukrase-isomerase),
hubungan dengan serangan sakit perut dan muntah (malrotasi), diare sesudah gangguan
emosi atau kecemasan (irritable colon syndrome), nyeri abdomen berulang yang berat
(insufisiensi pankreas yang berat), riwayat pengobatan antibiotika sebelumnya
(enterokolitis pseudomembranosa). Kelompok umur dapat memprediksi penyakit. Bayi
muda: diare intraktabel pada bayi, alegi protein susu sapi atau kedelai, enteritis karena
infeksi yang berkepanjangan, atrofi vilus idiopatik, penyakit Hirschrprung, defek transpor
kongenital.Anak 2 tahun keatas, kolon irritabel (irritable colon of infancy, chronic
nonspesific diarrhea), enteritis karena virus yang berkepanjangan, giardiasis, difisiensi
sukrase-isomaltase, tumor sekretori, inflamatory bowel disease, dan penyakit siliak.
Pemeriksaan meliputi keadaan umum, status dehidrasi, pemeriksaan abdomen, ekskoriasi
bokong, manifestasi kulit.Penting untuk mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar

4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang

8. Terapi

kepala, perbandingan berat badan terhadap tinggi badan, gejala kehilangan berat badan,
menilai kurva pertumbuhan, dan sebagainya. Tanda;tanda khas: anemia (inflamatory
bowel disease, penyakit siliak, fibrosis kistik), artritis (inflamatory bowel disease),
pubertas terlambat (penyakit Crohn), gagal tumbuh (penyakit Crohn, malabsorpsi lemak),
panas (inflamatory bowel disease, gastroentritis karena infeksi).
Ananmesis
Pemeriksaanfisik
Pemeriksaanpenunjang
Diare kronis/persisten dehidrasi (derajat dehidrasi sama dengan diare akut)
Diare kronis
Diare persisten dehidrasi
a Pemeriksaan tinja :
Makroskopis: warna, konsistensi, adanya darah, lendir.
Mikroskopis :
Darah samar dan leukosit yang positif ( 10/lpb) menunjukkan kemungkinan
adanya peradangan pada kolon bagian bawah.
PH tinja yang rendah menunjukkan adanya maldigesti dan malabsorbsi
karbohidrat di dalam usus kecil yang diikuti fermentasi oleh bakteri yang ada
di dalam kolon. PH rendah (<5,3):reduksitinjaakibatmaldigestidanmalabsorpsi
KH, pH 6,0-7,5: malabsorbsi asam amino, asam lemak
Clinitest, untuk adanya malabsorbsi karbohidrat.
Uji kualitatif ekskresi lemak di dalam tinja dengan pengecatan butir lemak.
Biakan kuman dalam tinja.
Pengecatan gram: bakteri (mengetahui bakteri dominan), jamur, parasit tinja
(amoeba, giardia, telur cacing/ cacing sebagai etiologi langsung). Beberapa
parasit perlu dikultur.
Elektrolit tinja: stool anion gap = 290 2 ([Na]+[K]), jika osmotik > 50,
sekretorik < 50. Osmolalitas tinja:< 250 : kontaminasi dengan air/urin: fistula,
banyak minum, > 290 : metabolismekarbohidrat oleh bakteri: overgroth
kuman, penyimpanan lama
b Pemeriksaan darah: darah rutin, elektrolit (Na, K; Cl) dan bicarbonate, albumin,
kadang diperlukan pemeriksaan kadar serum, dll. Eosinofil tinggi: gastroenteritis
eosinofilik, alergi makanan, infeksi parasit. Netropenia: sindroma Sluvachman. Hb
dan albumin rendah, dan LED tinggi menunjukkan penyakit organik. Anemia:
sindromamalabsorpsi. Anemiahipokrommikrositer: peradarahankronis, malabsorpsi
Fe. Anemiamegaloblast:penySeliak, malabsorpsikronik B12 danasamfolat,LED dan
CRP tinggi: IBD. B12 rendah: bacterial overgrowth,Albumin dan protein lainnya
rendah:malnutrisi, malabsorpsi, protein losing enterophati, IgG campilobacter
pylorik. Imunodefisiensi: HIV, malnutrisi.
c Breath hydrogen test : mengevaluasi malabsorbsi karbohidrat, overgrowth kuman.
d Pemeriksaan radiologi :membantu mengidentifikasi cacat bawaan (malrotasi,
stenosis) dan kelainan-kelainan seperti limfangiektasis, inflammatory bowel disease,
penyakit Hirschsprung, enterokolitis nekrotikans.
Kolonoskopi : memeriksa kelainan mukosa kolon, seperti inflamatory bowel diseease, dan
lain-lain.
Umum dan Dietetik.
Nutrisi enteral :

Alimentasi enteral merupakan cara yang paling efektif dan dapat diterima
untuk mempertahankan dan mencukupi kebutuhan nutrisi penderita anak
dengan saluran pencernaan yang masih berfungsi. Jalur enteral dapat ditempuh
melalui oral atau nasograstrik, nasojejunal, gastrostomi atau jejunostomi
dengan feeding tube
Pemilihan formula diet yang diberikan secara enteral dapat dikategorisasikan
dalam 3 macam diet:
i Diet polimerik, yang mengandung protein sebagai sumber protein dan
dipakai untuk pasien dengan fungsi usus yang normal.
ii Diet elemental, yang mengandung nutrient dengan berat molekul rendah
dan dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi gastrointestinal.
iiiDiet formula khusus, yang mengandung kadar tinggi asam amino rantai
bercabang untuk pemakaian pada ensefalopati hepatik dan pasien dengan
perubahan kadar asam amino lain atau kesalahan metabolisme bawaan
(inborn errors of metabolism)
Kandungan formula yang ditetapkan meliputi:
i Karbohidrat berupa glukosa polimer.
ii Lemak berupa long chain fatty acid dengan unsaturatted chain lebih
dominan ataumiddle chain fatty acid.
iiiProtein berupa protein utuh, protein hidrolisat, asam amino atau
gabungan.
ivVitamin dan mineral

Formula yang paling baik diberikan pada diare kronik ialah yang mengandung
glukosa primer (bebas laktosa), protein hidrolisat, medium chain triglyceride,
osmolaritas kurang dari 600 mOsm/l dan bersifat hipoalergik atau yang
mengandung short chain peptide (Pregestimil, Pepti Yunior).
Menaikkan jumlah formula dilakukan perlahan-lahan. Mula-mula dianjurkan
konsentrasi 1/3 oral (2/3 IV), selanjutnya dinaikkan menjadi 2/3 oral (1/3 IV),
dan bila keadaan sudah cukup baik (kenaikan BB minimal 1 kg) diberikan
pregestimil/pepti yunior konsentrasi penuh.
Pemberian melalui pipa nasogastrik diperlukan apabila bayi/anak tidak mampu
atau tidak mau menerima makanan secara oral, namun keadaan saluran
gastrointestinalnya masih berfungsi. Pemberian nutrisi dilakukan dengan
meningkatkan secara bertahap kecepatan dan kadar formula sampai mencapai
kebutuhan nutrisi anak.
Komplikasi nutrisi enteral: hidrasi berlebih, hiperglikemia, azotemia (konsumsi
protein berlebih), hipervitaminosis K, dehidrasi sekunder karena diare,
gangguan elektrolit dan mineral (terutama akibat muntah dan diare), gagal
tumbuh sekunder akibat pemasukan energi tidak cukup, aspirasi, dan defisiensi
nutrisi sekunder karena kesalahan formula.
b. Nutrisi Parenteral
Nutrisi parenteral merupakan teknik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh
melalui jalur intravena. Nutrien khusus terdiri atas air, dekstrosa, asam amino,
emulsi lemak, mineral, vitamin, trace elemen. Jalur ini jangan digunakan
apabila penderita masih mempunyai saluran gastrointestinal yang masih
berfungsi serta masih dimungkinkan pemberian secara peroral, enteral atau

gastrostomi. Pada umumnya tidak digunakan untuk waktu kurang dari 5 hari.
Medikamentosa :
a

Obat anti diare (kaolin, pectin, difenoksilat) tidak perlu diberikan karena tidak
satupun yang memberikan efek positif.
b Obat anti mikroba :
Pemberian anti mikroba umumnya tidak dianjurkan, bahkan dapat mengubah flora
usus dan memperburuk diare, kecuali pada neonatus, anak dengan sakit berat
(sepsis), anak dengan defisiensi imunologi dan anak dengan diare kronis yang
sangat berat. Metronidazole efektif untuk Giardia lamblia.
c Kortikosteroid :
Pada anak dengan colitis ulseratif, pemberian enema steroid pada tahap awal
memberikan respon yang baik, dan pada beberapa anak mendapat kombinasi
dengan steroid sistemik.
d Immunosupressif, seperti Azathioprine digunakan pada penyakit Chron apabila
pengobatan konvensional tidak mungkin.
e Kolestiramin
Penggunaan kolestiramin sangat bermanfaat pada diare kronik, terutama
malabsorbsi asam empedu serta pada infeksi usus karena bakteri (mengikat
toksin).
f Operasi
Indikasi operasi adalah pada diare kronis pada kasus-kasus bedah seperti penyakit
Hirschprung, enterokolitis nekrotikans. Operasi hanya dilakukan setelah keadaan
umum membaik.
Tatalaksana diare persistenmeliputi mengatasi infeksi persisten dengan mengunakan
hasil kultur dan resistensi feses (sebelumnya dapat dipertimbangkan mengunakan
antibiotik empiris), mengatasi intoleransi laktosa dengan mengunakan diet yang
bebas laktosa, mencegah atau mengatasi alergi protein susu sapi, mencegah atau
mengatasibakteri tumbuh lampau (dapat dipertimbangkan pengunaan metronidazol),
dan mengatasi malabsorpsi nutrien dengan memberikan multivitamin.
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah
kritis
14. Indikator
Medis
15. Target
16. Kepustakaan

Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
I
A
1. Dr. Hasri Salwan, SpAK
2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
Gambaran klnis, hasil laboratorium, kemajuan terapi
Sembuh tergantung etiologi
1. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, dkk. Pedoman
pelayanan medis IDAI. IDAI 2010. H 58-62.
2. Dep Kes RI, Dirjen PP & PL. Keputusan Menteri Kesehatan RI No:
1216/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare, Edisi ke
5, Tahun 2007

3. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi


4. Nelson Pediatric Text Book Fortaine O, Newton C. A revolution in the management of
diarrhea. Bull WHO. 2001; 79: 471-9.
5. Santosham M, Duggan C, Brown KH, Greenough III WB. Management of acute
diarrhea. Dalam: Wyllie R, Hyams JS, penyunting. Pediatric Gastrointestinal and Liver
Disease: Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi ke-3. Philadelphia: WB
Saunders; 2006. H. 557-81.
6. World Health Organization. Guideline for the control of shigellosis, including
epidemics due to shigella dysenteriae type 1. WHO; 2003. H. 1-70.

Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014


Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)


NIP 195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP. 19670123 199603 1 003

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
PENYAKIT HIRSCHPRUNG

1. Pengertian
(definisi)
2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
Fisik

4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis

6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang

8. Terapi

9. Edukasi

10. Prognosis

ICD 10 : Q.43.1
Suatu keadaan tidak ditemukannya sel ganglion Aurbach dan Meissner pada dinding
kolon
Riwayat mekonium terlambat dan atau defekasi yang jarang pada masa neonatus
memperkuat diagnosis penyakit Hirschsprung.Riwayat kelahiran dengan mekonium
terlambat keluar, atau keluar pada minggu pertama sehingga terjadi obstruksi parsial dan
total (dengan gejalafeses tidak dapat dikeluarkan, distensi abdomen, dan muntah).
Gambaran klinis obstruksi total pada masa neonatus menunjukkan segmen yang terlibat
lebih panjang. Gambaran klinis konstipasi setelah masa neonatus, penyakit
hirschsprungsebagai penyebab dipikirkan setelah penyebab yang lebih sering (misalnya
hipotiroid) disingkirkan
Gambaran klinis obstruksi parsial saluran cerna bagian bawah: frekuensi defekasi jarang,
kembung, dan kadang-kadang muntah. Nyeri perut jarang ditemukan pada penyakit ini.
Colok dubur didapatkan hasil: jari akan merasakan jepitan (karena kontriksi usus
aganglionik) dan saat jari dikeluarkan akan diikuti oleh keluarnya udara dan mekonium
feses yang menyemprot (feses yang menyemprot terutama didapatkan pada pemeriksaan
colok dubur pertama kali, feses berbentuk pasta lebih mudah dikenali). Gambaran klinis
pada anak yang lebih besar adalah gejala konstipasi kronis (pada yang ultrashort dapat
menyerupai konstipasi fungsional), kadang-kadang diare dan biasanya disertai gagal
tumbuh.
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
Penyakit Hirschsprung segmen pendek
Penyakit Hirschsprung segmen panjang
Penyakit Hirschsprung segmen ultrashort
Konstipasi idiopatik
Obstruksi parsial saluran cernah bawah lainnya
Foto polos abdomen ter1ihat gambaran usus-usus melebar atau gambaran obstruksi usus
letak rendah. Foto barium enema teknik hirschprung ditemukan daerah transisi antara
usus yang melebar dan yang menyempit (gambaraan ini khas untuk penyakit
hirschsprung, tetapi tidak jelas jika terjadi enterokolitis), gambaran kontraksi usus yang
tidak teratur di segmen yang menyempit. Foto barium enema pada enterokolitis yang
berhubungan dengan Hirschsprung: cupping tidak jelas, mukosa usus irreguler (seperti
mata gergaji). Gambaran foto polos terutama posisi tegak, adanya cut off sign air dan
udara di kiri bawah abdomen mengarah ke diagnosisentrokoloitis. Diagnosis pasti
dengan biopsi rektal, dengan gambaran PA tidak ditemukan sel ganglion di submukosa
Washing atau irigasi dengan NaCl fisiologis dilakukan jika terdapat distensi abdomen.
Kolostomi dilakukan jika abdomen tetap kembung dan keluarga tidak dapat melakukan
irigasi, diikuti (dalam 3 sampai 6 bulan) operasi difinitif Pullthrough, pada usia 6-12
tahun dengan metode Swenson Duhamel
Menjaga rektum tetap kosong dengan melakukan irrigasi rektal yang teratur pada
penderita yang belum dilakukan kolonostomi
Perawatan stoma pada penderita yang dilakukan kolonostomi
Mencegah atau mengetahui komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita yang sudah
melakukan operasi definitif
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah
kritis

I
A
1. Dr. Hasri Salwan, SpAK
2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
Gambaran klinis

14. Indikator
Medis
15. Target
Operasi kolonostomi atau difinitif
16. Kepustakaan 1 Raffensperger JG. Swensons Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton &
Lange, 1990.
2
Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition. Ontario,
BC Decker Inc, 2004
3
Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition.
Netherlands, Saunders, 2006

Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014


Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)


NIP 195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP. 19670123 199603 1 003

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

1. Pengertian
(definisi)
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis

6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi

9. Edukasi
10. Prognosis

GASTRITIS DAN DISPEPSIA


ICD 10 : K29, K50-K55
Gastritis adalah inflamasi pada dinding gaster terutama pada lapisan mukosa gaster yang
dibuktikan dengan endoskopi. Jika belum dibuktikan dengan endoskopi didiagnosis
sebagai dispepsia. Dispepsia dapat diakibatkan oleh esofagitis, gastritis, dan duodenitis
Nyeri epigastrium, mual, kembung dan muntah, riwayat penggunaan obat obatan dan
makanan
Nyeri tekan epigastrium tidak selalu ditemukan
Diagnosis gastritis dibuat berdasarkan gejala klinis adanya dispepsia:mual, muntah, dan
nyeri epigastrik dan dibuktikan dengan endoskopi (EGD)
Dispepsia fungsional
Gastritis
Esofagitis
Duodenitis
Berdasarkan penyebab yang diketahui setelah melakukan pemeriksaan penunjang
terutama endoskopi dan histopatologi
Dispepsia dengan keluhan yang berat, berdarah, penurunan berat badan, tidak sembuh
dengan obat-obat penekan asam lambung, kronik, atau berulang dilakukan pemeriksaan
endoskopis.
1 Terapi diet disesuaikan dengan toleransi penderita, sebaiknya lunak, mudah dicerna
dan tidak merangsang.
2 Terapi obat, diberikan berdasarkan gejala yang predominan. Obat-obatan yang dapat
di berikan :
Untuk mengurangi faktor agresi asam lambung diberikan obat-obatan peroral:
antasida 4 ka1i sehari, simetidin 5-10 mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali sehari atau
ranitidin 2-3 mg/kbBB/dosis diberikan 2-3 kali perhari (maksimum 300
mg/hari), omeprazol 1-1,5 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis (maksimum 2 x 20 mg
perhari), lanzoprazole 1-1,5 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis (maksimum 2 x 30
mg perhari).
Jika terjadi perdarahan saluran cerna atas dapat diberikan sucralfate 40-80
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis (maksimum 1000 mg dibagi 4 dosis).
Untuk menekan muntah yang berlebihan diberikan metoklopramid 0,15-0,3
mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali sehari, domperidon 0,25-0,5 mg/kgBB/hari dibagi
3-4 dosis, ondansentron 0,1-0,15 mg/kgBB/kali sebanyak 3 kali sehari.
Antibakterial diberikan untuk eradikasi Hylicobacter pylori, diberikan Amoxicilin 50
mg/kgBB/hari 4 kali sehari, Clarithromycin 7,5-15 mg/kg/hari dalam dosis terbagi 2 ka1i
sehari, ditambah PPI (Omeprazol) dengan dosis 0,4-0,8 mg/kg/dosis 1 kali sehari
Menghindari makanan yang merangsang, memperbaiki faktor psikologis.
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah kritis

14. Indikator
Medis
15. Target
16. Kepustakaan

I
A
1. Dr. Hasri Salwan, SpAK
2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
Perbaikan gejala klinis
Membedakan kelainan fungsional atau organik
1.
Soeparto P, Djupri LS, Subijanto MS, Ranuh R. Sindroma Gangguan Motilitas
Saluran Cerna. Seri Gramik: Gastroenterologi Anak. Edisi ke-2. Surabaya :
GRAMIK FK UNAIR; 1999. h. 32-118.
2.
Murray KF, Christie DL. Vomiting. Pediatr Rev. 1998;19(10):337-41.
3.
Allen JK, Hill DJ, Heine RG, 2006; Food allergy in childhood. MJA, 185:394400.
4
Berman. Vomiting during infancy. Dalam: Pediatric decision making. Edisi ke-2.
Philadelphia: BC Decker;1991. h. 332-5.
5
Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition.
Ontario, BC Decker Inc, 2004

Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014


Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)


NIP 195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP. 19670123 199603 1 003

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

1. Pengertian
(definisi)
2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
Fisik

4. Kriteria
Diagnosis

5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding

OBSTRUKSI USUS
ICD 10 : K 56.60
Adalahgangguan pasase usus yang disebabkan oleh obstruksi lumen usus

Muntah, gejala ini dominan dan pertama muncul pada sumbatan saluran cerna
bagianatas dan menjadi gejala paling akhir muncul pada sumbatan saluran cerna
bagian bawah. Muntah hijau menunjukkan sumbatan berada di bawah valvula
vatery
Sakit perut, kolik.
Tidak ada atau gagal BAB dan flatus, gejala ini dominan dan pertama muncul pada
sumbatan saluran cerna bagianbawah dan menjadi gejala paling akhir muncul
sumbatan saluran cerna bagian atas.
Kembung : pada sumbatan saluran cerna bagianbawah: kembung besifat
menyeluruh, pada sumbatan saluran cerna bagian atas: kembung besifat lokal (di
atas umbilikus) atau tidak tampak.
Gejala-gejala pada sumbatan saluran cerna total terjadi mendadak dan bersifat
progresif. Gejala-gejala pada sumbatan saluran cerna parsial bervariasi tergantung
beratnya derajat obstruksi
Riwayat operasi usus
Distensi usus.
Metallic sound.
Darm contour.
Bising usus meningkat pada awal penyakit, menurun atau menghilang pada akhir
penyakit atau jika ada perforasi.
Gambaran klinis komplikasi, misalnya tanda-tanda dehidrasi, gangguan
keseimbangaan asam-basa.
Muntah/muntah hijau
Kembung
Gagal BAB
Nyeri abdomen akut
Obstruksi Usus
1. Kongenital (terjadi kurang dari 2-3 minggu) :
Stenosis pilorus.
Atresia atau stenosis duodenum.

7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah
kritis

Atresia atau stenosis jejunum.


Ileus mekonium.
Volvulus.
Hirschsprung.
1 Didapat :
Intususepsi.
Bolus askaris.
Pada foto polos 3 posisi didapatkan gambaran distensi usus dan step ladder
Perbaiki dehidrasi, sesuai derajat dehidrasi. Cairan yang dapat digunakan adalah NaCL
fisiologis jika muntah tidak hijau dan Ringer laktat jika muntah hijau. Patokan dehidrasi
dan jumlah cairan yang digunakan dapat berpedoman berdasarkan kriteria WHO untuk
diare. Jika nadi tak teraba dan tekanan darah tak terukur diberikan cairan resusitasi 20
ml/kgBB/ secepatnya.
Tindakan operatif dilakukan setelah resusitasi cairan telah diberikan pada obstruksi
total. Tindakan operatif terencana jika obstruksi terjadi parsial dengan derajat yang
ringan
Perlunya dilakukan operasi
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
I
A
1. Dr. Hasri Salwan, SpA(K)
2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
Adanya tanda-tanda obstruksi

14. Indikator
Medis
15. Target
Dilakukan operasi
16. Kepustakaan 1 Raffensperger JG. Swensons Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton &
Lange, 1990.
2 Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition. Ontario,
BC Decker Inc, 2004
3 Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition.
Netherlands, Saunders, 2006

Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014


Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)


NIP 195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP. 19670123 199603 1 003

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

1. Pengertian
(definisi)
2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang

INVAGINASI
ICD 10 : K.56.1
Obstruksi usus yang disebabkan usus bagian proksimal berinvaginasi ke dalam usus
bagian distal. Bagian yang masuk disebut intususeptum dan bagian yang dimasuki
disebut intususipien.
Nyeri perut.
Berak berdarah dan berlendir.
Muntah.
Kembung : tidak selalu ditemukan
Massa berbentuk pisang ditemukan pada kuadran kanan atas
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anmnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang
Invaginasi
Obstruksi total saluran cerna bagian bawah lainnya
Disentri
a Foto polos 3 posisi memberikan gambaran obstruksi usus pada stadium lanjut
penyakit.
b

Barium Enema :
1 Tampak cekungan cangkir (cupping) pada puncak invaginasi dan gambaran
pegas (coiled spring).
2 Berguna untuk mereduksi usus yang terkena, merupakan pilihan pada semua
bayi dengan gejala yang timbul kurang dari 24 jam. Berbahaya bila keadaan
umum jelek dan peritonitis karena tekanan enema dapat mengakibatkan
perforasi usus.

USG
Tampak gambaran doughnut pada potongan tranversal, yang harus dilanjutkan
dengan pemeriksaan potongan longitudinal
Tampak gambaran pseudo kidney pada potongan longitudinal

8. Terapi

Kasus gawat darurat bedah :


1 Reduksi dengan barium enema (bila tidak ada kontraindikasi).
2 Pembedahan (laparatomi eksplorasi).

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah
kritis
14. Indikator
Medis
15. Target
16. Kepustakaan

Tindakan yang harus dilakukan sebelumnya adalah memperbaiki keadaan umum


penderita yaitu memperbaiki cairan dan elektrolit, dekompresi dengan NGT
Perlunya dilakukan operasi
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
I
A
1. Dr. Hasri Salwan, SpA(K)
2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
Gambaran klinis dan umur
Dilakukan release, jika perlu operasi
Raffensperger JG. Swensons Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton &
Lange, 1990.
2
Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition.
Ontario, BC Decker Inc, 2004
3
Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition.
Netherlands, Saunders, 2006
1

Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014


Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)


NIP 195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP. 19670123 199603 1 003

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

1. Pengertian
(definisi)
2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
Fisik

4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding

PERDARAHAN SALURAN CERNA


ICD 10: K 22,K 29
Perdarahan yang terjadi dari saluran cerna. Klassifikasi perdarahan saluran cerna (psc)
berdasarkan lokasi dibagi dua. Psc atas terjadi bila sumber perdarahan terletak di atas
Ligamentum Treitz dan psc bawah bila terletak di bawahnya
Anamnesis dilakukan dengan melihat faktor usia Usia penderita merupakan faktor
yang penting untuk menentukan etiologi. .
Tertelan darah ibu (24 jam pertama) : tes Apt Downey.
Muntah-muntah hebat diikuti perdarahan : sindrom Mallory Weiss.
Riwayat makan obat: aspirin/OARNS : ulkus.
Riwayat perdarahan dalam keluarga : koagulopati.
Riwayat menelan benda asing: erosi/ulkus
Sebanyak 20% perdarahan gastrointestinal merupakan kelainan sitemik (melibatkan
organ lain).
Tanda-tanda sianosis, peningkatan tekanan ven porta : varises.
Luka bakar luas, penyakit infeksi SSP: ulkus stress, kolitis iskemik.
Hemangioma/telangiektasis: kelainan vaskuler.
Eritema pada kulit, kelainan ginjal: sindrom Henoch Schonlein.
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Perdarahan Saluran Cerna
Tabel. Penyebab-penyebab perdarahan saluran cerna
INFAN 6
6 BULAN 3
3 TAHUN KE
BULAN
TAHUN
ATAS
Psca Tertelan darah ibu
Irritasi NGT
Gastritis
Irritasi NGT
Perdarahan
Varises esofgeus
Ulkus peptikum
nasopharyngeal
Ulkus peptikum

7. Pemeriksaan
Penunjang

8. Terapi

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
evidens

Esofagitis
Varises esofgeus
Pengaruh obatVarises esofagus
Ulkus peptikum
obatan
Gastritis
Esophageal foreign
Malory Weiss
Haemoragik
body
Syndrome
Gastric stress
Pengaruh obatHemotobilia
ulcers
obatan
Ulkus duodenum
Hemorrhagic
disease of newborn
Pscb Fisura Ani
Fisura ani
Fisura ani
NEC
Meckels
Polip
Volvulus,
diveticulum
Intususepsi
Intussuscepsi
Intusucepsi
HUS
Meckels
Polip
IBD
diverticulum
Diarrhea invasif
HSP
Hemangioma
HSP, HUS, ITP
Trauma
Duplikasi
Duplikasi
Duplikasi
Tertelan darah ibu
Hemangioma
Hemangioma
Infeksi
Tumor
Alergi susu sapi
Laboratorium : darah lengkap, kimia darah, CT, BT, PT,APTT, feses rutin
Endoskopi
Radiologi
Arteriografi
Cari gangguan hemodinamik.
Bila terjadi ancaman syok/syok: IVFD RL/NaCl 0,9% 20cc/kgBB 10 menit sampai
tanda vital membaik.
Transfusi darah (PRC atau FFP) bila diperlukan. Transfusi >85 ml/kgBB, konsul
bedah cito, untuk dilakukan eksplorasi
Observasi perdarahan, jika perdarahan minimal: pastikan darah apa bukan, salah
satu caranya dengan melakukan pemeriksaan darah samar (Benzidine test)
Tentukan adanya riwayat trauma, jika tidak ada
Tentukan adanya kelainan sistemik (misalnya demam atau tanda eksploresensi
kulit) dan kelainan THT, jika tidak ada
Tentukan adanya diastesis hemoragik: lakukan Rumple leed test, CT, BT, PT, aPTT,
hitung trombosit, jika dalam batas normal
Tentukan lokasi perdarahan saluran cerna berdasarkan gambaran klinis
Lakukan pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi dan atau kolonoskopi
Tatalaksana perdarahan saluran cerna berdasarkan penyebab
Tatalaksana umum: stabilisasi KU
Perdarahan saluran cerna atas: pasang NGT jika perdarahan masif atau aktif atau
untuk memastikan lokasi, obat-obat penekan asam lambung, dan obat pelindung
mukosa (misalnya: sucralfat)
Menerangkan penyebab perdarahan saluran cerna sehingga dapat dilakukan
pencegahan
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
I

12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah
kritis
14. Indikator
Medis
15. Target
16. Kepustakaan

A
1. Dr. Hasri Salwan, SpA(K)
2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
Gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang

Mengetahui dan mengobati etiologi dan berhentinya perdarahan


Raffensperger JG. Swensons Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton &
Lange, 1990.
2. Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition.
Ontario, BC Decker Inc, 2004
3. Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition.
Netherlands, Saunders, 2006
Algoritme tatalaksana perdarahan gastrointestinal
1.

Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014


Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)


NIP195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP. 19670123 199603 1 003

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

1. Pengertian
(definisi)

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. 4. Kriteria
Diagnosis

KOLESTASIS
ICD 10 : K.71.0
Kolestasis adalah gangguan sekresi dan atau aliran empedu yang biasanya terjadi dalam
3 bulan pertama kehidupan, yang menyebabkan timbulnya ikterus, akibat peninggian
kadar bilirubin direk > 20% dari kadar bilirubin total jika bilirubin total > 5 mg/dl atau
bilirubin direk 1 mg/dl jika kadar bilirubin total 5 mg/dl
Saat timbulnya ikterus (kurang dari usia 3 bulan), lama ikterus, warna tinja, perdarahan,
riwayat keluarga,riwayat kehamilan dan kelahiran
Ikterus, hepatomegali dan konsistensi hati, splenomegali, dan tanda perdarahan
Untuk kolestasis evaluasi dilakukan pada usia minimal 2 minggu dan pada bayi preterm
dapat ditunda sampai 3 minggu
Langkah diagnosis :
Bedakan hiperbilirubinemia indirek dengan hiperbilirubinemia direk (kolestasis).
Gambaran klinik hiperbilirubinemia indirek adalah warna kulit kuning terang,
kuning dimulai dari muka kemudian ke bagian distal badan (sesuai dengan
peningkatan kadar bilirubin indirek, mengikuti skala Krammer), dan urin berwarna
jernih. Hiperbilirubinemia indirek dapat disebabkan jaundice fisiologik (sampai
umur 14 hari), breast milk jaundice, penyakit sistemik (hemolisis, stadium awal
hipotiroidsm, obstruksi saluran cerna bagian atas, sepsis, hipoksia, hipoglikemia,
galaktocemia, dan intoleransi fruktosa), kelainan keturunan : Crigler-Najjar
syndromes (UDPGT deficiency tipe I bersifat total, tipe II bersifat partial) dan
Gilbert syndrome.
Evaluasi klinik (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan warna feses)
Pemeriksaan fraksi bilirubin: direk, indirek, dan total.
Pemeriksaan kelainan hepatoseluler dan bilier (SGPT/ALT, SGOT/AST, Alkali
fosfatase, GGT)
Pemeriksaan fungsi liver (albumin, PT/aPTT, kadar glukosa serum, ammonia)
Rule outpenyebab-penyebab yang dapat diobati
Kultur bakteri (urin dan darah)
Serologi dan biakan virus (infeksi hepatitis kongenital)
Deteksi kelainan metabolik (galaktosemia, tyrosinemia heriditer, intoleransi fruktosa

5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang

heriditer, dan hipopitutarime/hipotiroid)


Deteksi defek sintesis asam empedu, neonatal iron storage disease, hepatotoksis
karena obat
Kelainan anatomik : atresia bilier, kista koledokus, inspissated bile/calculi in
common bile duct
Rule outobstruksi ekstrahepatikdan intrahepatik dengan ultrasonografi dan biopsi
hati.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
Kolestasis
Kolestasis intrahepatik
Kolestasis ekstrahepatik
Laboratorium :
a.
Rutin
Darah lengkap (terutama pada kasus yang dicurigai hiperbilirubinemia indirek), uji
fungsi hati: SGOT (AST), SGPT (ALT), gamma GT (normal: meningkat pada
bayi umur-umur muda), alkali fosfatase (normal: meningkat pada waktu
memasuki usia pubertas), waktu protrombin dan tromboplastin (PT, aPTT), kadar
albumin plasma, kolesterol, kadar glukosa, ureum, kreatinin, urine reduction
substance, kadar amonia serum, kultur urine (jika dicurigai kolestasis
intrahepatik), kultur darah (jika dicurigai sepsis), parasintesis (jika terbukti ada
asites pada USG abdomen)
Bilirubin urine positif
Pemeriksaan tinja 3 porsi (pk. 06.00-14.00, pk. 14.00-22.00, serta pk. 22.00-06.00)
dan adanya empedu dalam tinja.
b. Khusus : uji aspirasi duodenum (DAT) yang diperoleh melalui aspirasi dengan
menggunakan sonde (Levine tube), serologi untuk penyakit infeksi (TORCH,
HbsAg, HIV, dan lain-lain), skrining metabolik (asam amino serum dan urin, asam
organik urin), kelainan hormon (kadar hormon tiroid, TSH), kultur virus, kadar 1
antitripsin, dan lain-lain.
Pencitraan :
a. Ultrasonografi hepar
Dapat menegakkan atau menyingkirkan diagnosis atresia bilier, kista koledokus,
masa intra abdomen, dan patensi duktus bilier. Pada atresia bilier: akurasi diagnostik
USG 77%, dilakukan pada tiga fase yaitu pada keadaan puasa (4-6 jam dengan alat
USG berosolusi tinggi dan 10-12 jam dengan alat USG berosulusi rendah), saat
minum, dan sesudah minum (1 sampai 2 jam setelah makan) ataupun dua fase yakni
puasa dan sesudah minum. Apabila pada saat atau sesudah minumkandung empedu
tidak tampak berkontraksi, maka kemungkinan besar (90%) diagnosis atresia bilier
dapat ditegakkan.
b. Kolangiografi
Apabila diagnosis masih meragukan dapat dilakukan kolangiografi operatif, bila
terbukti atresia bilier, dilakukan eksplorasi lebih jauh dengan anestesi umum
Biopsi hepar:
Gambaran histopatologis hati dapat membantu perlu tidaknya laparotomi eksplorasi
Atresia bilier : gambaran histopatologis menunjukkan proliferasi duktus
dan sumbatan empedu, fibrosis porta, edema, tetapi arsitektur lobuler masih normal
Hepatitis neonatal : umumnya ditemukan infiltrat inflamasi dari lobulus

8. Terapi

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah
kritis

yangdisertai dengan nekrosis hepatoseluler, sehingga terlihat gambaran lobul


yang kacau. Selain itu ditemukan sel raksasa, fibrosis porta dan proliferasi duktus
ringan
Paucity sistem bilier
Uji fungsi hati dilakukan untuk menentukan jenis hiperbilirubinemiadan tatalaksana
selanjutnya. Tatalaksana kolestasis intrahepatik :
Memperbaiki aliran empedu: Obat stimulasi aliran empedu adalah :
1. Asam ursodeoksikolat, dosis: 10-30 mg/kgBB/hari, bekerja sebagai
competitive binding empedu toksik, bile fow inducer,suplemen empedu, dan
hepatoprotektor.
2. Kolestiramin, dosis: 0,25-0,5 g/kgBB/hari, berfungsi menyerap empedu
toksik dan menghilangkan gatal.
3. Rifampicin, dosis: 10 mg/kgBB/hari, berfungsi meningkatkan aktivitas
enzim mikrosom dan menurunkan ambilan asam empedu oleh sel hati
4. Fenobarbital: induksi enzim glukuronil transferase, digunakan hanya pada
hiperbilirubinemia indirek pada Crigler-Najjar syndromes (UDPGT
deficiency tipe II) dengan dosis: 3-10 mg/kgBB/hari
Multivitamin vitamin A : 5.000 - 25.000 U/ hari, D: D3 calcitriol: 0,05 0,2ug/kgBB/hari, E: 25 - 50 IU/kgBB/hari,K: K1 2,5 - 5 mg/ 2-7x/ minggu
Nutrisi : diet lemak MCT.
Trace elemen: trace element: Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe.
Terapi komplikasi yang terjadi: misalnya hiperlipidemia/xantelasma diberikan
kolestipol dengan dosis 250-500 mg/kgBB/hari (gabungan kolestramin dengan
kolestipol), hipertensi portal (dibuktikan dengan USG dopler) diberikan
propanolol dengan dosis 1 6 mg/kgBB, gagal hati dengan transplant
Dukungan psikologis
Mengobati penyebab kolestasis yang bisa diobati
Kolestasis ektrahepatik : operasi
Kolestasis intrahepatik, tergantung etiologi.
Infeksi hepatistsis kongenital : Herpes simpleks diberikaan asiklovir intravena,
sipilis diberikan penisilin 50.000 iu/kgBB/hari selama 10-14 hari, tuberkulosis
diberikan OAT, toxoplasmosis diberikan pyrimethamin 1 mg/kgBB/2-4 hari dan
sulfadiaazine 50-100 mg/kgBB/hari. Penyakit metabolik: galaktosemia diberikan
diet bebas galaktosa, tyrosinea heriditer diberikan diet tirosin/fenilalamin rendah,
intoleransi
fruktosa
heriditer
diberikan
diet
bebas
fruktosa/laktosa,
hipotiroidisme/hipopitutarisme diberikan hormon-hormon tiroid, adrenal dan growth
hormon .
Obat-obatan dan toksin: obat-obatan penyebab hepatotoksin dihentikan, endotoksin
bakterial diberikan antibiotika yang sesuai (misalnya Tersangka ISK dengan
cefotaksim), TPN ditatalaksana dengan pemberian intake oral secepatnya.
Menjelaskan kemungkinan etiologi, diagnosisnya, dan tatalaksana
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
I
A
1. Dr. Hasri Salwan, SpAK
2. Dr. Achirul Bakri, SpAK

14. Indikator
Medis
15. Target
16. Kepustakaan

3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK.


Gambaran klinis dan laboratoris yang menunjang diagnosis
Mengobati etiologi yang dapat diobati
1. Rosenthal P. Neonatal hepatitis and congenital infections. Dalam: Suchy FJ,
penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-1. St. Louis: Mosby year book;
1994. h. 414-24.
2. Balisteri WF. Cholestasis. Dalam: Berhman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders;
2004. h. 1203-7.
3. Haefelin DN, Griffiths P, Rizetto M. Systemic virosis producing hepatitis. Dalam:
Bircher J, dkk, penyunting. Oxford textbook of clinical hepatology. Edisi ke-2.
Oxford: Oxford University Press; 1999. h. 955-63.
4. Emerick KM, Whitington PF. Molecular basis of neonatal cholestasis. Ped Clin N
Am. 2002;49(1):1-3.

Langkah awal, bedakan antara hiperbilirubinemia indirek dan direk (kolestasis)


Jika kolestasis, perkirakan kelainan yang terjadi intrahepatik atau ektrahepatik, dengan melakukan
pemeriksaan darah, fungsi hati, dan sintesis hati. Kelainan ektrahepatik dibuktikan dengan pemeriksaan
USG. Biopsi hepar dapat dilakukan untuk membedakan kelainan intrahepatik, ektrahepatik, dan paucity
saluran empedu.
Diagnosis awal kolestatik intrahepatik diberikan antibiotik untuk Tersangka ISK (TISK) yang tidak
hepatotoksik (cefotaksim) sampai hasil kultur dan resistensi urin diketahui. Diagnosis sementara berupa

TISK ditegakkan karena meliputi hampir 30% kolestasis intra hepatik.


Adanya dismorfik mengarahkan diagnosis ke kelainan metabolik dan infeksi TORCH kongenital.
Infeksi TORCH kongenital dicurigai jika bayi dismorfik, adanya riwayat infeksi TORCH saat ibu hamil
(gambaran klinis, riwayat kehamilan terdahulu, atau pemeriksaan serologis), dan adanya kelainan
kombinasi (kelainan pendengaran, mata, jantung, dan hepatosplenogali).
Atresia biler dapat diprediksi dengan feses yaang seperti dempul (spesifisitas tinggi, tetapi sensitivitas
yang rendah)

Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014


Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)


NIP195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP. 19670123 199603 1 003
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

1. Pengertian
(definisi)

2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
Fisik

4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis

6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang

Konstipasi
ICD 10 : K.59.0
Batasan konstipasi : jika terdapat 2 atau lebih kriteria
1. Frekuensi < 3x/minggu
2. Konsistensi keras
3. Terdapat distress : nyeri, pengeluaran periodik sejumlah feses besar 1 x / 7 - 30
hari, perut kembung, sensasi penuh, teraba massa di abdomen atau rektum
Berdasarkan waktu :
1. Konstipasi akut : < 1-4 minggu
2. Konstipasi kronik : > 2- 4 minggu
Riwayat konstipasi yang terjadi, yakni lamanya gejala (konstipasi akut atau kronik),
frekuensi defekasi, konsitensi feses, ada tidaknya darah pada feses, dan kebiasaan
defekasi (seberapa sering dan dimana pasien biasa defekasi). mengenai kebiasaan
makan,komsumsi obat-obatan, dan aktifitas fisik. Penting juga untuk menanyakan
umur saat awitan. Jika gejala pada saat usia toilet training (>2 tahun) kemungkinan
besar bersifat fungsional.
Pemeriksaan fisik dilakukan terutama pada abdomen, tulang belakang dan perineum.
Abdomen dapat terlihat cembung dan dapat teraba skibala. Perineum dapat terlihat
adanya skin tag. Pemeriksaan colok dubur dapat untuk mengevaluasi tonus otot-otot
sfingter ani dan mendeteksi obstruksi atau darah. Pemeriksaan ini dapat menyingkirkan
adanya kelainan anatomi (seperti anal stenosis dan fisura ani) dan trauma.
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
Konstipasi akut
Konstipasi fungsional
Konstipasi organik
Hirschsprung disease
Obstruksi parsial saluran cerna lainnya
Hipotiroid
Jarang di lakukan pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengidentifikasi adanya
anemia, lekositosis, dan gangguan metabolik, seperti hipotiroidisme (hormon tiroid)

8. Terapi

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah
kritis
14. Indikator
Medis
15. Target
16. Kepustakaan

atau uncover excess hormon paratiroid (kalsium). Pemeriksaan urine berupa urin rutin
dan kultur urine juga dilakukan terutama bila diduga terjadi infeksi saluran kemih
akibat konstipasi kronis.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang digunakan untuk mengevaluasi konstipasi yaitu
foto polos abdomen, studi transit kolorektal, tes fungsi anorektal, biopsi hisap rektum,
dan defekografi. Karena peningkatan resiko kanker, dapat dilakukan tes untuk
menyingkirkan kanker, yaitu barium enema, sigmoidoskopi atau kolonoskopi.
Pemeriksaan ultrasonografi abdomen dan MRI juga dapat dilakukan untuk mencari
penyebab organik lain yang memberikan gejala konstipasi.Foto tulang belakang daerah
lumbosakral dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) diindikasikan ketika hasil
pemeriksaan neurologi ektremitas bawah atau sakrum tampak abnormal.
Pengobatan konstipasi sangat bervariasi tergantung sumber masalah, usia anak, dan
kepribadian anak.
Jika konstipasi terjadi sebagai akibat suatu keadaan medis, kelainan primer harus
diobati terlebih dahulu.
Penatalaksanaan terhadap konstipasi kronis antara lain dengan menggabungkan teknik
edukasi, evakuasi feses (disimpaction), dan terapi rumatan (modifikasi tingkah laku,
pengaturan diet, dan pemberian laksansia).
Evakuasi feses dapat mengunakan gliserin 100% dengan dosis 1-3 ml/kgBB yang
diencerkan dengan NaCl 0,9% dengan jumlah yang sama. Dua kali sehari selama 2
sampai 5 hari. Dapat dikombinasidengan Laktulosa peroral dosis 1-3 ml/kgBB/kali
dalam satu atau dua dosis.
Pemberian laksansia pada terapi rumatan dapat menggunakan laktosa peroral dosis 1-3
ml/kgBB/kali dalam satu atau dua dosis.
Toilet education
Diet tinggi serat
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
I
A
1. Dr. Hasri Salwan, SpAK
2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
Kriteria konstipasi
Disimpaksi berhasil dan rektum kosong
1. Stephen M. Constipation. Dalam: Walker, penyunting. Pediatric gastrointestinal
disease. Volume ke-1. Philadelphia: BC Decker; 1991. h. 90-108.
2. Benninga. Constipation and faecal incontinence in childhood. Amsterdam:
Universiteit van Amsterdam; 1994. h. 13-35.
3. HM Spiro. Clinical gastroenterology. Edisi ke-4. New York: Mc Graw Hill; 1993.
h. 513-23.
4. Barbara JS. Digestive system disorders. Dalam: RE Behrman, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2005. h. 510-8.
5. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, dkk. Constipation in infants and children:
evaluation and treatment. A medical position statement of the North American
Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition. J Ped Gastr Nutr.
1999;29:615-26
6. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, dkk. Pedoman
pelayanan medis IDAI. IDAI 2010. H 58-62.

Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014


Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)


NIP 195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP. 19670123 199603 1 003

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

1. Pengertian
(definisi)

2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
Fisik

4. Kriteria
Diagnosis

Nyeri/ Sakit Perut


ICD 10 : R.10
Nyeri perut merupakan manifestasi nyeri pada daerah abdomen. Nyeri ini dapat
disebabkan oleh organ di dalam ataupun di luar abdomen
Nyeri perut berulang merupakan serangan sakit perut yang timbul sekurangkurangnya tiga kali dalam jangka waktu tiga bulan dan mengakibatkan terganggunya
aktivitas sehari-hari.

Timbulnya rasa sakit.

Onset dan lamanya sakit.

Kwalitas dan berat ringannya.

Lokalisasi sakit perut.

Demam.

Mual, muntah atau diare yang berhubungan dengan


sakit perut.

Ciri-ciri dari muntah atau diare.

Perubahan kebiasan defekasi, konsistensi dan warna


feses.

Faktor- faktor yang memperingan dan memperberat


sakit perut.

Terapi yang sudah diberikan.

Riwayat trauma.

Riwayat pernah dirawat sebelumnya.


Pemeriksaan yang terbaik adalah pada waktu serangan, harus lengkap dengan titik
berat pada abdomen.
Pengamatan.
Secara umum penderita tampak tidak anemia, turgor normal, sirkulasi normal.
Tanda vital : temperatur harus diperhatikan.
Periksa tanda-tanda peradangan dan proses infeksi pada kepala, mata, telinga,
hidung, tenggorokan, seperti faringitis, OMA, dll.
Dada : perhatikan pergerakan dada, retraksi, frequensi respirasi.
Abdomen :
- Pengamatan bentuk perut.
- Distensi / ketegangan dinding perut baik sebelum atausesudah rangsangan
tangan (palpasi).
- Adanya cairan bebas, bising usus diseluruh perut meningkat atau menurun
sampai negatif.
- Perlu dicari tanda akut abdomen yaitu dinding abdomen yang kaku,
defence musculare, nyeri tekan, nyeri lepas.
- Pada pemeriksaan di luar abdomen, cari kemungkinan adanya hernia
strangulata, hernia inguinalis yang menyebabkan obstruksi dan peritonitis.
Rektum :
Pemeriksaan colok dubur perlu diperhatikan abnormalitas sfingter internal atau
eksternal, adanya massa feces, warna, konsistensi, darah.
Sistem Genitourinaria :
Perhatikan di daerah genitalia adanya trauma, discharge, peradangan nyeri pada
anak remaja periksa daerah pelvis, evaluasi adanya trauma, infeksi peradangan,
besarnya uterus, dan massa.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :

5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding

7. Pemeriksaan
Penunjang

8. Terapi

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
rekomendasi
13. Penelaah kritis
14. Indikator
Medis
15. Target
16. Kepustakaan

Anamnesis
Pemeriksaan fifik
Pemeriksaan penunjang
Nyeri perut berdasarkan etiologi
Nyeri perut fungsional, klasifikasi berdasarkan Kriteria RomA III, yakni:
funcgsional dispepsia, IBS (irritable bowel syndrome), abdominal migrane,
childhood functional abdominal pain, dan childhood functional abdominal pain
syndrome.(lihat lampiran)
Nyeri perut organik
Pemeriksaan laboratorium: pemeriksaan rutin darah, urin, tinja perlu dilakukan.
Jika ada kelainan dilanjutkan dengan pemeriksaan khusus : WBC dengan hitung
jenis, sedimen urine, urinalisis, kultur urin / tinja, foto polos abdomen.
Sakit perut berulang perlu dilakukan pemeriksaan barium meal, barium enema,
endoskopi, USG.
Ditentukan apakah penyakitnya membutuhkan tindakan bedahatautidak. Bila
tidakditemukan kedaruratan perut, penyebab sakit perutharus dicari dan diberi
pengobatan yang sesuai.
Memberikan rasa aman dan edukasi kepada penderita dan keluarga. Meyakinkan
bahwa pada sakit perut fungsional, tidak ada bukti adanya kelainan dasar yang serius
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam/malam
I / II / III / IV
A/B/C
1. Dr. Hasri Salwan, SpAK
2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
Gambaran klinis
Etiologi diketahui dan ditatalaksana
Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc
Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor & Francis,
2004
Nelson Pediatric Text Book

Mengetahui/Menyetujui
Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014


Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)


NIP 195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP. 19670123 199603 1 003

Anda mungkin juga menyukai