Anda di halaman 1dari 12

SINOPSIS

PRAKTEK KERJA LAPANG


DETEKSI VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN) PADA IKAN KERAPU
(Ephinephelus sp.) DI BALAI BESAR KARANTINA IKAN,
PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN
MAKASSAR

NAMA
STAMBUK

: Ika Rahma Dewi


: L 221 12 276

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015

LATAR BELAKANG
Pencanangan Indonesia sebagai

penghasil

produk

kelautan

dan

perikanan terbesar tahun 2015 oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan


memacu seluruh kegiatan budidaya, terutama perairan laut yang dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan usaha budidaya ikan yang diperkirakan
mencapai tiga juta hektar (Sunaryanto et a.., 2001 dalam Sudaryatma dkk,
2012). Usaha pengembangan potensi perairan selain untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi masyarakat yang dapat mensejahterakan, juga dapat
menggali potensi alam yang baru sehingga terjadi pelestarian lingkungan yang
berkesinambungan. Salah satu potensi perairan laut yang sudah dikembangkan
dan mulai menunjukkan pasar internasional adalah ikan kerapu. Ikan kerapu
tersebar luas di perairan yang berkarang di daerah tropis maupun subtropis
(Sudaryatma dkk, 2012).
Budidaya ikan kerapu tidak lepas dari faktor penyakit yang dapat
menyerang dan menggagalkan hasil budidaya. Salah satu penyakit yang telah
dilaporkan oleh para peneliti adalah viral nervous necrosis (VNN) yang dapat
menyebabkan kematian massal pada ikan kerapu, terutama pada stadia larva
dan juvenil (Johnny dkk, 2007). VNN merupakan salah satu penyakit infeksi yang
sangat merugikan usaha budidaya laut, terutama pada pembenihan dan
pembesaran kerapu. Gejala ikan yang terserang virus ini berbeda menurut
umurnya, pada umur 45 hari sampai 4 bulan akan terlihat ikan berdiam didasar,
berenang terbalik, gerakannya lemah dan kadang-kadang menyentak seperti
tanpa kontrol serta nafsu makan menurun drastis biasanya 3-5 hari setelah
adanya gejala klinis ikan akan mati (Roza et al., 2003 dalam Roza et al., 2006).
Seringkali

apabila

penyakit

telah

menyerang

ikan,

petani

sulit

menentukan nama atau jenis penyakit yang menyerang ikan mereka sehingga

petani pun kesulitan menentukan langkah tindak lanjut yang akan diambil dalam
menanggulangi penyakit itu. Terlebih lagi, banyak jenis penyakit pada ikan yang
memiliki gejala klinis yang mirip antar satu penyakit dengan penyakit lain
sehingga metode laboratorium sering menjadi alternatif untuk mendiagnosa
penyakit yang menyerang. Salah satunya yaitu metode secara molekuler yang
sering disebut dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) (Likandi, 2014).
Berdasarkan uraian diatas, maka untuk mengetahui metode atau cara
untuk mendeteksi penyakit VNN pada ikan kerapu sangatlah penting, demi
menunjang keberhasilan dalam budidaya ikan kerapu.
TUJUAN DAN MANFAAT

Praktek

Kerja

Lapang

(PKL)

ini

bertujuan

untuk

melihat

dan

melaksanakan secara langsung proses pelaksanaan deteksi Viral Nervous


Necrosis (VNN) pada ikan kerapu, dengan cara terlibat langsung dalam kegiatan
pelaksanaannya di Balai Besar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan Makassar.
Manfaat dari Praktek Kerja Lapang (PKL)

ini adalah sebagai bahan

informasi dan masukan bagi mahasiswa, masyarakat, serta para pelaku usaha
budidaya perikanan

dalam melakukan penanganan dan pengontrolan dalam

peningkatan hasil budidayanya.


RENCANA KEGIATAN
Rencana kegiatan yang kan dilkukan di lokasi Praktek Kerja Lapang
adalah sebagai berikut:
1. Koleksi Sampel
Sampel yang dianalisis merupakan sampel ikan Kakap Putih yang
memperlihatkan gejala terserang penyakit. Sampel ikan dikoleksi dari bak
pendederan sebanyak 4 ekor. Selain itu juga dilakukan pengambilan sampel

air media pemeliharaannya. Ikan dibawa ke labratorium menggunakan boks


steroform sedangkan sampel air dibawa menggunakan botol air mineral
volume 500 ml. Setelah sampai di laboratorium, ikan diidentifikasi secara
morfologi dan anatomi. Selain itu, juga dilakukan pengukuran panjang dan
bobot tubuh ikan. Sampel air diuji secara fisika (suhu, salinitas) dan kimia
(pH).
a. Identifikasi Sampel
Dua ekor ikan kakap dengan berat dan panjang masing-masing
6,8 g, 11 cm dan 9 g, 14 cm dijadikan sampel pengamatan. Hasil
pengamatan secara morfologis memperlihatkan kondisi ikan masih cukup
baik mulai dari keadaan sisik, cacat tubuh, warna insang, dan keadaan sirip
yang normal. Secara anatomi bagian ginjal dan hati berwarna merah tua.
Dengan hasil ini dapat disimpulkan bahwa sampel uji tidak mengalami
kerusakan fisik sebagai akibat dari terserang agen penyebab penyakit.
b. Isolasi Jaringan
Setelah diidentifikasi, sampel kemudian dibedah pada bagian
kepalanya. Pada kasus VNN jaringan tubuh ikan yang diambil dari ikan
dewasa merupakan bagian otak dan mata sedangkan untuk larva bagian
yang dianalisis adalah seluruh bagian kepalanya. Hal ini terkait dengan
organ sasaran serangan VNN yang biasa menyerang sistem saraf dan retina
mata ikan laut yang dikenal dengan nama Viral Encephalopathy and
Retinopathy (VER) (Anonim, 2011 dalam Rosadi, 2012). Bagian otak dan
mata yang diambil kemudian dimasukkan ke dalam tabung eppendorf.
c. Isolasi dan Ekstraksi RNA
Sampel

jaringan

otak

dan

retina

mata

diekstraksi

untuk

mendapatkan materi genetiknya (RNA). Ekstraksi ini diawali dengan


penambahan 500 l RNA extraction solution. Pemberian RNA extraction

solution dikarenakan VNN termasuk dalam golongan virus RNA. Larutan


sampel jaringan digerus dengan pellet pestle steril dan di-vortex selama
sekitar 20 detik, kemudian diinkubasi pada suhu (25-300C) selama 5 menit
dan ditambahkan 100 l

chloroform selanjutnya di-vortex kembali.

Pemberian chloroform dapat membantu menghilangkan penghambat PCR


yang terdapat pada larutan ekstrak. Metode ini akan menghasilkan lapisan
air yang mengandung asam nukleat (Theophilus, 2008 dalam Rosadi, 2012).
Sampel kemudian diinkubasi kembali dalam suhu 25-300C selama 2-3 menit
selanjutnya disentrifugasi

pada kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit.

Sentifugasi bertujuan untuk memisahkan larutan berdasarkan berat jenisnya


yaitu antara larutan yang mengandung chloroform (berat jenis lebih besar)
dengan fase cair yang mengandung asam nukleat. Setelah disentrifugasi,
fase cair yang ada di bagian atas dipindahkan sebanyak 200 l ke dalam
tabung eppendorf baru dengan penambahan 200 l isopropanol dan
selanjutnya di-vortex selama 20 detik. Sampel larutan disentrifugasi kembali
pada kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit kemudian cairan pada bagian
atas dibuang. Hasil akhirnya kemudian dicuci dengan alkohol 75% sebanyak
500 l dan disentrifugasi kembali pada kecepatan 9.000 rpm selama 5 menit.
Cairan alkohol absolut dibuang dan dikeringkan hingga mendapatkan pelet
kering (asam nukleat). Padatan yang ada kemudian dilarutkan dengan 200
l ddH2O (aquabides).
2. Amplifikasi
Amplifikasi merupakan reaksi pelipat gandaan cDNA target secara
in vitro sehingga dapat dideteksi dengan elektroforesis (Anonim, 2011 dalam
Rosadi, 2012). Sebelum dilakukannya amplifikasi terlebih dahulu disiapkan
formulasi reaksi first PCR dan nested PCR untuk sejumlah reaksi yang mana
terdiri dari 1 kontrol positif (berat, sedang, atau ringan), 1 kontrol negatif, dan

sejumlah sampel. Komposisi pereaksi untuk first PCR dan nested PCR
tercantum dalam Tabel 1 dan Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 1. Komposisi pereaksi untuk first PCR (RT-PCR reaction)
Jumlah atau Volume
No.

Pereaksi
Pereaksi

1.

Premix RT-PCR

7 l

2.

IQzyme 2 unit/l

0.5 l

3.

RT-enzyme mix

0.5 l

Tabel 2. Komposisi pereaksi untuk nested PCR


Jumlah atau Volume
No.

Pereaksi
Pereaksi

1.

Premix nested PCR

14 l

2.

IQzyme 2 unit/ l

1 l

Formulasi reaksi first PCR yang dibuat (8 l) dimasukkan ke


dalam mikrotube ukuran 0.2 ml dan ditambahkan sampel larutan pelet hasil
ekstraksi sebanyak 2 l.

Proses ini juga dilakukan pada kontrol positif dan

negatife kemudian dilakukan proses amplifikasi dengan siklus seperti Tabel 3


di bawah ini.
Tabel 3. Pengaturan suhu dan siklus Thermocycler reaksi first PCR.
No.

Suhu

Lama

1.

420C

30 menit

2.

940C

2 menit

3.

940C

30 detik

4.

620C

30 detik

5.

720C

30 detik

6.

720C

30 detik

Jumlah Siklus
1 siklus

15 siklus

1 siklus

200C

7.

7 menit

Setelah reaksi first PCR selesai kemudian ditambahkan 15 l pereaksi


nested PCR ke dalam setiap mikrotube dan dilanjutkan dengan amplifikasi
dengan siklus pada Tabel 4 berikuti ini.
Tabel 4. Pengaturan suhu dan siklus Thermocycler reaksi nested PCR.
No
Suhu

Lama

1.

940C

20 detik

2.

620C

20 detik

3.

720C

30 detik

4.

720C

30 detik

5.

200C

7 menit

Jumlah Siklus

30 siklus

1 siklus

Pada kasus VNN proses ampilifikasi dilakukan dalam 2 tahap yaitu: 1)


Merubah RNA menjadi cDNA yang dilakukan pada reaksi first PCR; dan 2)
Melipatgandakan cDNA yang dilakukan pada reaksi nested PCR hingga
mendapatkan konsentrasi copy DNA yang dapat divisualisasikan pada gel
elektroforeis. Perubahan RNA menjadi DNA pada first PCR dilakukan dengan
menggunakan enzim reverse transcriptase dimana untai RNA pertama-tama
ditranskrip balik menjadi DNA komplemen (complementary DNA, atau cDNA),
dan cDNA yang dihasilkan akan digandakan seperti halnya PCR pada
umumnya. Proses nested PCR merupakan suatu teknik perbanyakan
(replikasi) sampel DNA menggunakan bantuan enzim DNA polymerase yang
menggunakan dua pasang primer untuk mengamplifikasi fragmen (Anonim,
2011 dalam Rosadi, 2012).
Pada proses amplifikasi terjadi beberapa tahapan yakni denaturasi,
annealing dan pemanjangan untaian DNA dimana semua proses tersebut

dipengaruhi oleh suhu dan waktunya. Pada suhu 94-950C DNA mengalami
denaturasis (pembelahan untai ganda menjadi untai tunggal). Waktu yang
diperlukan untuk proses ini sekitar 30 detik pada suhu 95 0C atau 15 detik
pada suhu 970C. Apabila DNA target mengandung banyak nukleotida G/C
suhu denaturasi dapat ditingkatkan. Denaturasi ini merupakan proses yang
penting dimana jika proses ini tidak lengkap akan menyebabkan renaturasi
secara cepat, sedangkan waktu denaturasi yang terlalu lama dapat
mempengaruhi kerja enzim Taq polymerase dan mempengaruhi keberhasilan
proses PCR. Apabila suhunya diturunkan antara 36-720C terjadi proses
penempelan primer (annealing) yang merupakan penempelan primer pada
DNA yang telah terbelah pada tempat yang spesifik. Bila suhunya dinaikan
lagi sampai 720C, maka primer dengan bantuan enzim DNA polymerase akan
membentuk untaian DNA sesuai dengan runutan DNA yang terbelah proses
ini disebut elongasi (extention). Extention adalah pemanjangan primer dengan
bantuan enzim polymerase sehingga akan terbentuk 2 buah DNA untai
tunggal baru. Umumnya setelah proses siklus PCR selesai ditambah post
elongasi selama 5-10 menit pada temperature 720C agar semua hasil PCR
berbentuk untai ganda (Muladno, 2003 dalam Rosadi, 2012).
3. Elektroforesis
Menurut Prasetyo (2009) dalam Rosadi (2012) elektroforesis adalah
perpindahan molekul yang bermuatan sebagai respon terhadap medan listrik.
Angka perpindahan tergantung pada kekuatan medan listrik, muatan listrik,
ukuran dan bentuk molekul, kekuatan ionik, viskositas, dan suhu medium
yang digunakan oleh molekul tersebut untuk berpindah. Ada bermacammacam zat kimia yang digunakan sebagai gel di dalam proses elektroforesis.
Penggunaan jenis gel disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai. Pada
kesempatan ini hanya dua cara yang digunakan dalam proses elektroforesis
yaitu elektroforesis gel agarose (AGE) dengan visualisasi menggunakan

ethidium bromide dan elektroforesis gel polyacrilamide (PAGE) dengan


visualisasi menggunakan silver staining (Sulandari & Syamsul, 2003 dalam
Rosadi, 2012).
Bahan yang digunakan yakni elektroforesis gel agarose (AGE) dengan
visualisasi menggunakan ethidium bromide. Sebelum berlanjut pada proses
elektroforesis, larutan ethidium bromide (EtBr) dan agarose disiapkan terlebih
dahulu. Ethidium bromide adalah zat mutagen yang sangat kuat dan dapat
menyebabkan kanker. Oleh karena itu dalam menggunakan zat ini harus
dilengkapi dengan sapu tangan dan masker sebagai pelindung diri. Etidium
merupakan sebuah molekul yang dapat mengikat kuat pada DNA. Etidium
juga biasa digunakan dalam biokimia untuk memvisualisasi potong-potongan
DNA yang telah di pisahkan pada gel elektroforesis (Anonim, 2011 dalam
Rosadi, 2012).

Ethidium bromide disiapkan dalam larutan stok 10 mg/ml

dalam botol gelap.


a.

Pembuatan Gel Agarose


Agarose adalah polimer linier yang tersusun dari residu D-galaktose

dan L-galaktose. Agarose yang dibuat sebesar 1,5-2% dalam larutan 1 x TAE
atau 1 x TBE dalam botol gelas kemudian panaskan pada suhu 100-150 0C
selama 10 menit dalam microwave hingga bening. Setelah dipanaskan
kemudian didinginkan hingga suhunya mencapai 600C. Agarose yang cukup
dingin dituangkan ke dalam cetakan agarose yang telah dipasangi sisir dan
yang perlu diperhatikan saat penuangan yakni menghindari terjadinya
gelembung udara namun jika ada gelembung udaranya dapat dibuang dengan
menggunakan mikrotip.
b.

Running DNA
Setelah gel agarose terbentuk dan siap digunakan maka berlanjut

pada proses elektroforesis. Kegiatan ini diawali dengan memasukkan gel

agarose ke dalam alat eletroforesis. Kemudian ditambahkan larutan buffer


TAE 1x hingga gel agarose terendam. Selanjutnya loading dye sebanyak 2 l
disiapkan di atas kertas parafin menggunakan pipet mikro sesuai dengan
jumlah sampel yang akan dielektroforesis. Kemudian larutan DNA marker
sebanyak 4 l disiapkan dan dimasukkan ke dalam sumur gel agarose
menggunakan pipet mikro pada sumur yang telah ditentukan. Amplicon hasil
PCR diambil sebanyak 10 l dan dicampurkan dengan 2 l loading dye yang
telah disiapkan di atas kertas parafin. Kedua larutan dicampur hingga
homogen menggunakan pipet mikro sebelum dimasukkan ke dalam sumur
berikutnya. Sampel amplicon hasil PCR lainnya diperlakukan dengan cara
yang sama. Setelah semua dimasukan dalam gel agarose, alat elektroforesis
dihidupkan menggunakan tegangan listrik 100 Volt. Proses elektroforesis
berlangsung selama sekitar 1 jam hingga indikator warna bromphenol blue
bergerak bagian dari panjang gel.
Running DNA ini dibantu dengan adanya aliran listrik pada alat
elektroforesis. Dimana DNA di dalam gel mengikuti arus listrik dari kutub
negatif menuju kutub positif. Pergerakan ini terjadi dimana fragmen DNA yang
lebih kecil berat molekulnya akan berjalan lebih cepat dari molekul DNA yang
lebih besar. Setelah menunggu 1 jam baru kemudian gel agarose diangkat
dan siap menuju tahap selanjutnya.
c.

Pewarnaan DNA
Pewarnaan DNA dilakukan menggunakan larutan EtBr. Larutan ini

akan memudahkan pewarnaan DNA sehingga potongan DNA hasil amplifikasi


dapat divisualisasikan setelah proses elektroforesis. Pewarnaan dimulai
dengan memasukan larutan 0,05 % EtBr dalam wadah plastik bersamaan
dengan gel agarose hingga terendam seluruhnya. Gel agarose yang terendam
digoyang-goyangkan selama 10 menit agar larutan EtBr terserap oleh gel

agarose. Setelah melakukan perendaman, gel agarose diangkat dan untuk


menghilangkan EtBr yang tersisa maka gel agarose direndam kembali dalam
aquades selama 10 menit.
4. Visualisasi Pita DNA
Visualisasi DNA dilakukan dengan meletakkan gel agarose pada UV
transilluminator untuk dibaca hasilnya. Peranan sinar UV yang dipancarkan
pada transilluminator akan memendarkan Ethidium bromide (EtBr) yang
menempel pada DNA. Radiasi dari sinar UV akan diserap oleh DNA dan
energinya akan ditransmisikan ke EtBr yang berikatan dengan DNA sehingga
dapat berpendar dan band DNA menjadi dapat terlihat jelas. Visualisasi DNA
bisa terlihat lewat pancaran yang berwarna orange keputihan.

DAFTAR PUSTAKA
Johnny, F., K. Mahardika, I.N.A. Giri dan D. Roza. 2007. Penambahan Vitamin C
Dalam Pakan untuk meningkatkan Imunitas Benih Ikan Kerapu Macan,
Epinephelus fuscoguttatus terhadap Infeksi Viral Nervous Necrosis. Balai
Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol. Bali.
Likandi, R. U. 2014. Deteksi Penyakit Viral KHV (Koi Herpes Virus) Pada Ikan
Mas menggunakan PCR. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas
Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rosadi, T. 2012. Proposal Deteksi Virus VNN Dengan PCR pada Kerapu.
Program Study Budidaya Perairan. Universitas Mataram.
Roza, D., F. Johnny, dan Tridjoko. 2006. Peningkatan Respon Imun Non-Spesifik
Benih Ikan Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis dengan imunostimulan
dan bakterin terhadap infeksi Viral Nervous Necrosis (VNN). Balai Besar
Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol. Bali.
Sudaryatma, P. E., A. T. Lestari, N. L. Sunarsih, K. S. Widiarti, S. N. Hidayah, dan
D. Srinoto. 2012. Imunositokimia Streptavidin Biotin: Deteksi Dini Viral
Nervous Necrosis Virus pada Lendir Ikan Kerapu Macan (Epinephelus
fuscoguttatus). Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan kelas I Denpasar. Bali.

Anda mungkin juga menyukai