Anda di halaman 1dari 23

PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT KULIT

BAB 1: PENDAHULUAN
Proses diagnosis merupakan perpaduan antara kegiatan intelektual dan tindakantindakan menipulatif, sehingga dapat ditentukan adanya suatu penyakit kulit. Diagnosis lesi
kulit melibatkan prinsip dan pendekatan yang sama seperti pada gangguan medis lainnya.
Dalam menegakkan diagnosis suatu penyakit kulit, diperlukan riwayat dermatologi yang
pertinent dan pemeriksaan fisik yang teliti, dibantu oleh prosedur diagnostik penunjang.
Tentu saja kunci diagnostik penyakit kulit adalah riwayat klinis dan pemeriksaan fisik yang
teliti (ask, look, manipulate)1 , tetapi untuk mendapatkan suatu diagnosis yang tepat,
kadang-kadang diperlukan juga teknik-teknik dan tes tertentu untuk membantu menunjang
suatu diagnosis penyakit kulit. Indikasi, limitasi, interpretasi, dan teknik-teknik prosedur
diagnosis haruslah difahami dengan benar untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dan
reliable agar diagnosis suatu penyakit kulit dapat ditegakkan. Dalam referat ini, akan dibahas
tentang pemeriksaan-pemeriksaan khusus untuk melanjutkan proses diagnostik pada penyakit
kulit, tetapi pemeriksaan laboratorium tidak akan dibahas dalam referat ini.

BAB2: PEMERIKSAAN KHUSUS/SPESIFIK PADA PENYAKIT KULIT


2.1 Teknik khusus untuk pemeriksaan klinis
Teknik khusus yang digunakan dalam pemeriksan klinis kulit termasuklah:
1. Pemeriksaan Lampu Wood
Lampu Wood menghasilkan sinar ultraviolet 360 nm, (atau sinar hitam) yang dapat
digunakan untuk membantu evaluasi penyakit-penyakit kulit dan rambut tertentu.
Dengan lampu Wood, pigmen fluoresen dan perbedaan warna pigmentasi melanin
yang subtle bisa divisualisasi;

1 | Page

Gambar 1: Lampu Wood2


Prinsip:
Sinar Wood diarahkan ke lesi akan dipantulkan berdasarkan perbedaan berat molekul
metabolit organisme penyebab, sehinggamenimbulkan indeks bias berbeda, dan
menghasilkan pendaran warnatertentu.
Alat :
Lampu Wood dan ruangan kedap cahaya
Cara :

Kulit dan rambut yang akan diperiksa harus dalam keadaan sealamiah mungkin.
Obat topikal, bahan kosmetik, lemak, eksudat harus dibersihkanterlebih dahulu karena

dapat memberikan hasil positif palsu.


Pemeriksaan harus dilakukan di dalam ruangan kedap cahaya agar perbedaan warna

lebih kontras.
Jarak lampu Wood dengan lesi yang akan diperiksa 10-15cm
Lampu Wood diarahkan ke bagian lesi dengan pendaran paling besar/jelas

2 | Page

Gambar 2 : Fluoresensi merah muda koral pada eritrasma di alat kelamin laki-laki3

Gambar 3: Vitiligo sebelum disinar lampu Wood (kiri) dan setelah disinar lampu Wood
(kanan)4

3 | Page

Tabel 1 : Kegunaan Lampu Wood3


2. Diaskopi
Diaskopi terdiri dari penekanan pada lesi dengan menggunakan sebuah lensa datar
transparan atau objek lain (seperti slide kaca atau sekeping plastik yang tidak
berwarna, jernih, dan kaku).5Alat ini mengkompresi darah dari pembuluh darah kecil,
supaya warna lain pada lesi dapat dievaluasi.3 Diaskopi membantu pemeriksa menilai
seberapa banyak darah intravaskular sebuah lesi yang merah atau ungu. Jika lesi
terutama terdiri dari kongesti vaskular, diakopi akan memucat. Tekanan yang lebih
kuat pada kapiler akan mendorong sel darah merah ke dalam pembuluh darah di
sekitarnya yang mempunyai tekanan yang lebih rendah. Jika pada diaskopi gagal
terjadi pucat, atau pucat tidak sempurna, hal ini bermakna banyak sel darah merah
mengalami ekstravasasi atau jaringan pembuluh yang berisi darah tersebut abnormal,
sehingga tidak memungkinkan sel lewat dengan sempurna. Sarkoma Kaposi
mencakup baik pembuluh darah neoplastik aberan maupun eritrosit yang ekstravasasi,
sehingga tidak memucat.5 Pada nodul granulomatous, tampak gambaran warna
kecoklatan yang trasnlusen, dikenal sebagai nodul apple jelly (contohnya pada lupus
vulgaris).3

4 | Page

Gambar 4: Diascopy highlights the "apple jelly" coloration of cutaneous sarcoidosis.5

Gambar 5: Granulomatous rosacea after diascopy6


3. Dermoskopi
Dermoskop, juga dikenal sebagai mikroskop epiluminesens adalah lensa tangan dengan builtin lighting dan magnifikasi 10x hingga 30x ; dermoskop membantu inspeksi terhadap lapisan
kulit epidermis yang lebih dalam dan dalam lagi secara non-invasif. Dermoskopi sangat
berguna untuk lesi pigmentasi bagi membedakan corak pertumbuhan yang jinak atau ganas.1

5 | Page

Gambar 6, 7 : Dermoskop7

Dermoskopi digital terutama bermanfaat dalam memonitor lesi kulit pigmentasi karena
gambaran atau imej yang diperiksa disimpan secara elektronik dan bisa didapatkan kembali
dan diperiksa di kemudian hari agar bisa dibandingkan secara kuantitatif dan kualitatif serta
untuk mendeteksi perubahan lesi seiring dengan waktu. Dermoskopi digital menggunakan
program analisis imej komputer (computer image analysis program) yang bisa:1
-menyediakan pengukuran yang objektif terhadap perubahan
-penyimpanan, pengambilan, dan transmisi imej yang cepat kepada spesialis untuk
diskusi lanjutan (teledermatology)
-ekstraksi gambaran morfologi untuk analisis numerikal.
Namun yang demikian, dermoskopi dan dermoskopi digital memerlukan pelatihan yang
khusus.1

6 | Page

Gambar 8: Dermoskop digital8

Gambar 9: Dermoscopy signs in favor of seborrheic keratosis9


2.2 Tanda-tanda klinis (Clinical signs)
Darier sign
Dariers sign adalah urtikaria dan halo eritematosa yang terbentuk sebagai respon terhadap
penggosokan atau penggoresan lesi mastositosis kutaneus.10
Dariers sign dinamai dari dermatologis Perancis yang pertama kali menggambarkan tanda
tersebut, Ferdinand-Jean Darier. Deskripsi mastositosis pertama kali dibuat oleh Nettleship
dan Tay pada tahun 1869, dan pada tahun 1878, Sangster menciptakan istilah urtikaria
pigmentosa. 10
7 | Page

Metode Elisitasi
Pada Dariers sign klasik, penggosokan lesi dengan lembut akan diikuti oleh rasa gatal,
eritema dan pembentukan urtika dalam 2 hingga 5 menit. Hal ini mungkin terjadi selama 30
menit hingga beberapa jam. Pada anak, vesikulasi bisa terjadi pada lesi yang
digosok.Walaupun tanda ini positif pada kulit yang berlesi, namun, tanda ini juga bisa positif
pada kulit yang secara klinisnya normal pada pasien dengan mastositosis. Pada
pseudoxanthomatous mastocytosis, suatu variant dari diffuse cutaneous mastocytosis, yang
akan timbul hanyalah eritem tampa urtika.10
Kondisi Terkait Dariers Sign
1. Cutaneous mastocytosis:Pada urticaria pigmentosa, bentuk klinis paling sering dari
cutaneous mastocytosis, Darier's sign terdapat pada 94% kasus.10
2. Leukemia kutis: Leukemia kutis terjadi pada 25-30% bayi dengan leukemia
kongenital dan lebih sering terkait dengan leukemia myeloid akut berbanding
leukemia limfoblastik akut. Lesi seperti-urtikaria-pigmentosa telah dilaporkan pada
leukemia limfoblastik akut.10
3. Juvenile xanthogranuloma:Juvenile xanthogranuloma adalah merupakan bentuk
paling sering dari histiocytosis sel non-Langerhans. Nagayo et al.melaporkan terdapat
tanda Darier pada kelainan ini.10
4. Histiocytosis X : Foucar et al.menerangkan bahwa terdapat Darier's sign yang positif
pada pasien dengan mast cell rich variant' dari histiocytosis X.10
5. Lymphoma: Pada beberapa kasus jarang, Darier's sign telah dilaporkan terdapat pada
cutaneous large T-cell lymphomadan padanon-Hodgkin's lymphoma.10
Signifikan
Darier's sign merupakan patognomonik dari mastositosis kutaneus walaupun beberapa pasien
mungkin mengalami rasa gatal atau urtika yang sedikit atau sama sekali tidak ada walaupun
kulit tersebut menunjukkan populasi padat sel mast, terutama pada pasien dengan riwayat
yang lama dengan kelainan tersebut. Walaubagaimanapun, Dariers sign tidak 100% spesifik
8 | Page

untuk mastositosis sejak pertama kali ia dideskripsikan, meskipun jarang, pada


xanthogranuloma juvenil dan leukemia limfoblastik akut.10
Auspitz sign
Auspitz Sign, atau Auspitz Symptom (dinamai dariHeinrich Auspitz, 1835-1886),
merupakan perdarahan pin-point dan lambat yang terjadi setelah sisik psoriasis diangkat.
Auspitz Sign terjadi karena dibawah lesi psoriasis, kapiler-kapiler di bawah epidermis adalah
sangat banyak dan berlingkar-lingkar, dan berada sangat dekat dengan permukaan kulit,
sehingga pengangkatan skuama tersebut pada dasarnya akan menarik bagian atas kapilerkapiler tersebut, yang akhirnya menyebabkan perdarahan.11Auspitz sign juga dapat ditemukan
pada kelainan skuama yang lain seperti pada Darier's diseasedan keratosis aktinik.
Auspitz Sign bisa digunakan sebagai sarana diagnostik untuk psoriasis, dengan peringatan
bahwa beberapa penyakit lain juga menghasilkan Auspitz Sign. Walaubagaimanapun,
kombinasi dari kulit yang menebal, meradang, dengan skuama yang berwarna silver dan
Auspitz Sign merupakan ciri unik dari psoriasis.12 Sebaliknya, sebuah laporan dari Bernhard
(1990) menyimpulkan bahwa hanya minoritas dari pasien psoriasis yang mempamerkan
Auspitz Sign; yang memberi arti bahwa ia bukanlah tes yang baik walaupun disertai dengan
simptom psoriasis yang lain.13Namun yang demikian, laporan ini telah diabaikan.11
Cara untuk melakukan tes ini adalah dengan mengerok skuama dengan perlahan
menggunakan object glass hingga skuama habis. Hasilnya positif apabila terdapat bintikbintik perdarahan sebagai akibat dari papilomatosis.
Nikolskiy sign
Nikolsky sign dinamai dari dermatologis Russia Piotr Vasiliyevich Nikolskiy yang
mendeskripsikannya pada tahun 1894.13Nikolskiy sign yang positif menunjukkan pembelahan
intraepidermal dan membedakan lepuh intraepidermal dari lepuh subepidermal.13 Tanda ini
merupakan patognomonik dari pemfigus dan staphylococcal scalded skin
syndrome.13Nikolsky sign juga bisa dielisitasi pada ichthyosis bullosa of Siemens (yang jarang
terjadi), di mana ia dinamakan sebagai `mauserung phenomenon'.13
Tanda ini dielisitasi dengan memberikan tekanan lateral dengan menggunakan ibu jari atau
fingerpad pada kulit pada tonjolan tulang (bony prominence). Hal ini akan menyebabkan
tekanan penggeseran yang akan memisahkan lapisan atas epidermis dari lapisan bawah
9 | Page

epidermis.13 Penghapus (rubber eraser) atau sebarang objek tumpul yang bisa mencengkeram
kulit dengan utuh juga bisa digunakan. Nikolsky sign juga bisa dielisitasi pada mukosa oral
dengan menggunakan penghapus atau swab kapas.
Penyebab tersering:

Kondisi autoimun (Pemphigus vulgaris)

Infeksi bakteri ( Scalded skin syndrome)

Toxic drug reaction (Toxic epidermal necrolysis)

Nikolskiy sign memberikan hasil positif pada fase aktif atau progresif penyakit pemfigus.
Bila tanda ini menjadi negatif pada pasien yang menerima terapi imunosupresif, hal ini
memnunjukkan berakhirnya fase akut dari penyakit tersebut.13 Namun demikian, kemunculan
kembali saat pengobatan menunjukkan terjadinya flare-up.13 Pasien ini akan memerlukan
peningkatan dosis imunosupresan atau pemberian obat baru.
Istilah "Nikolskiy phenomenon" digunakan bila lapisan superfisial epidermis dirasakan
bergerak melewati lapisan yang lebih dalam lagi, dan tidak seperti pada Nikolskys sign yang
hanya membentuk erosi, pada Nikolsky phenomenon, lesi lepuh terbentuk setelah beberapa
waktu.13
Asboe-Hansen sign
Asboe-Hansen sign (juga dikenal sebagai "indirect Nikolsky sign" atau "Nikolsky II sign")
pertama kali dideskripsikan pada tahun 1960 oleh Gustav Asboe Hansen (1917-1989),
seorang dermatologis Danish.14Asboe-Hansen sign juga dikenal sebagai blister-spread sign
yang merujuk kepada terjadinya ekstensi dari lepuh terhadap kulit normal yang berdekatan
dengan lepuh tersebut apabila diberikan tekanan di atas bula tersebut.14
Pembentukan lepuh yang angular terkait dengan penyakit akantolitik intraepidermal seperti
pemfigus, sedangkan pembentukan lesi lepuh yang bulat terkait dengan penyakit akantolitik
subepidermal seperti pemfigus bulosa. 14Asboe-Hansen sign juga bisa ditemukan pada erupsi
obat bulosa.14 Tanda ini sama sekali berbeda dari Nikolsky Sign.

10 | P a g e

2.3 Tes Klinis ( Clinical tests)


1. Tes Tempel (Patch Test)
Metode ini adalah dengan menerapkan alergi untuk sebuah patch yang kemudian
diletakkan pada kulit. Hal tersebut dapat dilakukan untuk menunjukkan yang memicu
dermatitis kontak alergi.15 Jika ada alergi antibodi dalam sistem tubuh, kulit akan
menjadi jengkel dan mungkin gatal, lebih mirip gigitan nyamuk. Reaksi ini berarti
pasien alergi terhadap zat tersebut

Pemeriksaan status imunologik selular dapat dilakukan secara in vivo maupun secara in
vitro. Uji kulit tipe lambat digunakan untuk mengukur reaksi imunologi selular secara
in vivo dengan melihat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat setelah
penyuntikan antigen yang sudah dikenal sebelumnya (recall antigen) pada kulit.15
Uji ini menggunakan antigen spesifik yang disuntikkan secara intradermal. Antigen
yang digunakan biasanya yang telah berkontak dengan individu normal, misalnya
tetanus, difteria, streptokokus, tuberkulin (OT), Candida albicans, trikofiton, dan
proteus.15 Pada 85% orang dewasa normal reaksi akan positif dengan paling sedikit
pada satu dari antigen tersebut. Pada populasi anak persentase ini lebih rendah,
walaupun terdapat kenaikan persentase dengan bertambahnya umur. Hanya 1/3 dari
anak berumur kurang dari satu tahun yang akan bereaksi dengan kandida, dan akan
mencapai persentase seperti orang dewasa pada usia di atas 5 tahun.15

11 | P a g e

Sebuah aplikator sekali pakai yang berisi semua antigen tersebut dengan larutan
gliserin sebagai kontrol, misalnya seperti Multi-test CMI buatan Merieux Institute
sekarang banyak dipakai. Kit ini mengandung 7 jenis antigen (Candida albicans,
toksoid tetanus, toksoid difteri, streptokinase, old tuberculine, trikofiton, dan proteus)
serta kontrol gliserin secara bersamaan sekaligus dapat diuji.15
Persiapan
Pastikan bahwa kondisi antigen yang digunakan dalam keadaan layak pakai, perhatikan
cara penyimpanan dan tanggal kadaluarsanya Harus diingat bahwa kortikosteroid dan
obat imunosupresan dapat menekan reaksi ini sehingga memberi hasil negatif palsu.
Setelah itu lakukan anamnesis tentang apakah pernah berkontak sebelumnya dengan
antigen yang akan digunakan.
Melakukan uji
Kalau memungkinkan gunakan aplikator seperti di atas sehingga dapat digunakan
banyak antigen sekaligus. Hati-hati sewaktu melepas penutup antigen, harus dengan
posisi menghadap ke atas sehingga antigen tidak tumpah. Kalau tidak ada aplikator
seperti itu dapat digunakan antigen yang mudah didapat (tetanus, tuberculin, dan
sebagainya). Dengan menggunakan alat suntik tuberkulin, pastikan bahwa sejumlah 0,1
ml antigen masuk secara intrakutan hingga berbentuk gelembung dan tidak subkutan.
Beri tanda dengan lingkaran masing-masing lokasi antigen.

12 | P a g e

Hasil pemeriksaan
Hasil uji dibaca setelah 24-48 jam.15 Bila setelah 24 jam hasil tes tetap negatif maka
cukup aman untuk memberikan dosis antigen yang lebih kuat. Indurasi yang terjadi
harus diraba dengan jari dan ditandai ujungnya, diukur dalam mm dengan diameter
melintang (a) dan memanjang (b). Untuk setiap reaksi gunakan formula (a+b):2. Suatu
reaksi disebut positif bilamana (a+b):2=2 mm atau lebih.15
Efek samping
Dapat terjadi suatu reaksi kemerahan yang persisten selama 3-10 hari tanpa
meninggalkan sikatriks. Pada orang yang sangat sensitif dapat timbul vesikel dan
ulserasi pada lebih dari satu lokasi antigen.
Interpretasi
Uji kulit ini saja tidak cukup untuk menyimpulkan status imunologik selular seseorang
karena untuk dapat disimpulkan hasil uji harus disesuaikan dengan anamnesis dan
keadaan klinik. Untuk menilai suatu uji kulit, seperti juga prosedur diagnostik yang
lain, sangat tergantung pada pemeriksanya. Bila disimpulkan bahwa kemungkinan
terdapat gangguan pada sistem imunitas selular, maka dapat dipertimbangkan
pemberian imunoterapi. Tetapi untuk memulai terapi sebaiknya pemeriksaan
dilanjutkan dengan pemeriksaan secara in vivo.
2. Prick Test (Uji tusuk)
Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih sesuai untuk anak. Tempat uji
kulit yang paling baik adalah pada daerah volar lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2
sentimeter dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin
(50% gliserol) diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan
dicungkil ke atas memakai lanset atau jarum yang dimodifikasi, atau dengan
menggunakan jarum khusus untuk uji tusuk. Ekstrak alergen yang digunakan 1.00010.000 kali lebih pekat daripada yang digunakan untuk uji intradermal. Dengan
menggunakan sekitar 5 ml ekstrak pada kulit, diharapkan risiko terjadinya reaksi
anafilaksis akan sangat rendah. Uji tusuk mempunyai spesifitas lebih tinggi
dibandingkan dengan uji intradermal, tetapi sensitivitasnya lebih rendah pada
13 | P a g e

konsentrasi dan potensi yang lebih rendah. Kontrol Untuk kontrol positif digunakan
0,01% histamin pada uji intradermal dan 1% pada uji tusuk. Kontrol negatif dilakukan
untuk menyingkirkan kemungkinan reaksi dermografisme akibat trauma jarum. Untuk
kontrol negatif digunakan pelarut gliserin. Antihistamin dapat mengurangi reaktivitas
kulit. Oleh karena itu, obat yang mengandung antihistamin harus dihentikan paling
sedikit 3 hari sebelum uji kulit. Pengobatan kortikosteroid sistemik mempunyai
pengaruh yang lebih kecil, cukup dihentikan 1 hari sebelum uji kulit dilakukan. Obat
golongan agonis juga mempunyai pengaruh, akan tetapi karena pengaruhnya sangat
kecil maka dapat diabaikan. Usia pasien juga mempengaruhi reaktivitas kulit walaupun
pada usia yang sama dapat saja terjadi reaksi berbeda. Makin muda usia biasanya
mempunyai reaktivitas yang lebih rendah. Uji kulit terhadap alergen yang paling baik
adalah dilakukan setelah usia 3 tahun. Reaksi terhadap histamin dibaca setelah 10 menit
dan terhadap alergen dibaca setelah 15 menit. Reaksi dikatakan positif bila terdapat rasa
gatal dan eritema yang dikonfirmasi dengan adanya indurasi yang khas yang dapat
dilihat dan diraba. Diameter terbesar (D) dan diameter terkecil (d) diukur dan reaksi
dinyatakan ukuran (D+d):2. Pengukuran dapat dilakukan dengan melingkari indurasi
dengan pena dan ditempel pada suatu kertas kemudian diukur diameternya. Kertas
dapat disimpan untuk dokumentasi. Dengan teknik dan interpretasi yang benar, alergen
dengan kualitas yang baik maka uji ini mempunyai spesifitas dan sensitivitas yang
tinggi disamping mudah, cepat, murah, aman dan tidak menyakitkan. Uji gores kulit
(SPT) disarankan sebagai metode utama untuk diagnosis alergi yang dimediasi IgE
dalam sebagian besar penyakit alergi. Memiliki keuntungan relatif sensitivitas dan
spesifisitas, hasil cepat, fleksibilitas, biaya rendah, baik tolerabilitas, dan demonstrasi
yang jelas kepada pasien alergi mereka. Namun akurasinya tergantung pelaksana,
pengamatan dan interpretasi variabilitas.
3. Injeksi intradermal
Sejumlah 0,02 ml ekstrak alergen dalam 1 ml semprit tuberkulin disuntikkan secara
superfisial pada kulit sehingga timbul 3 mm gelembung. Dimulai dengan konsentrasi
terendah yang menimbulkan reaksi, kemudian ditingkatkan berangsur masing-masing
dengan konsentrasi 10 kali lipat sampai menimbulkan indurasi 5-15 mm. 3 Uji
intradermal ini seringkali digunakan untuk titrasi alergen pada kulit.Tes alergi
pengujian injeksi intradermal tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin untuk
aeroallergens dan makanan, tetapi mungkin untuk mendeteksi racun dan diagnosis
14 | P a g e

alergi obat. Ini membawa resiko lebih besar anafilaksis dan harus dilakukan dengan
tenaga medis yang berkopeten melalui pelatihan spesialis.
4.Uji Gores (Scratch Test)
Uji gores kulit (SPT)adalah prosedur yang membawa resiko yang relatif rendah, namun
reaksi alergi sistemik telah dilaporkan. Karena test adalah perkutan, langkah-langkah
pengendalian infeksi sangat penting.
Pasien harus benar-benar dan tepat mengenai risiko dan manfaat.
Masing-masing pasien kontraindikasi dan tindakan pencegahan harus diperhatikan.
Uji gores kulit harus dilakukan oleh yang terlatih dan berpengalaman staf medis dan
paramedis, di pusat-pusat dengan fasilitas yang sesuai untuk mengobati reaksi alergi
sistemik (anafilaksis).
Praktisi medis yang bertanggung jawab harus memesan panel tes untuk setiap pasien
secara individual, dengan mempertimbangkan karakteristik pasien, sejarah dan
temuan pemeriksaan, dan alergi eksposur termasuk faktor-faktor lokal.
Staf teknis perawat dapat melakukan pengujian langsung di bawah pengawasan medis
(dokter yang memerintahkan prosedur harus di lokasi pelatihan yang memadai
sangat penting untuk mengoptimalkan hasil reproduktibilitas.
Kontrol positif dan negatif sangat penting.
Praktisi

medis

yang

bertanggung

jawab

harus

mengamati

reaksi

dan

menginterpretasikan hasil tes dalam terang sejarah pasien dan tanda-tanda.


Hasil tes harus dicatat dan dikomunikasikan dalam standar yang jelas dan bentuk yang
dapat dipahami oleh praktisi lain.
Konseling dan informasi harus diberikan kepada pasien secara individual, berdasarkan
hasil tes dan karakteristik pasien dan lingkungan setempat.

15 | P a g e

5.Tes Provokasi Oral


Tes Provokasi (TP) adalah administrasi terkontrol dari obat yang digunakan untuk
mendiagnosis reaksi hipersensitivitas. Pengertian lain mengatakan bahwa tes provokasi
merupakan tes yang dilakukan mulai dengan memberikan obat dengan dosis yang lebih
kecil dari dosis yang diduga akan menimbulkan reaksi berat, kemudian dosis
ditingkatkan dan diberikan jarak tertentu sampai tercapai dosis penuh sesuai dengan
yang diharapkan. TP merupakan baku emas (gold standard) yang digunakan untuk
menetapkan dan meniadakan diagnosis hipersensitivitas dari zat tertentu, tidak hanya
yang dapat menyebabkan gejala alergi, tetapi juga manifestasi klinis yang merugikan
terlepas dari mekanismenya.3 TP merupakan salah satu upaya pendekatan diagnosis dari
alergi obat yang relatif sederhana namun harus dikerjakan di RS dengan pengawasan,
serta siap antisipasi jika terjadi reaksi alergi kembali terlebih lagi bila timbul reaksi
yang berat seperti misalnya reaksi anafilaksis. Karena itu hendaknya dikerjakan oleh
tenaga yang memiliki kompetensi, dan fasilitas resusitasi lengkap sudah dipersiapkan
sebelum dilakukan tes, serta dilengkapi dengan informed consent.The European
Network for Drug Allergy (ENDA) dari the European Academy of Allergy and Clinical
Immunology (EAACI) merekomendasi TP sebagai alternatif upayapendekatan diagnosis
dari alergi obat sebagaipenunjang anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Sebelum melakukan TP, evaluasi resiko dan manfaat harus dilaksanakan terlebih
dahulu. Adapun indikasi untuk melakukan TP adalah :
a. Untuk membedakan adanya kemungkinan reaksi yang terjadi bukan suatu
reaksi hipersensitivitas, misalnya terjadinya reflek vagal setelah pemberian
b.

anestesi lokal.
Untuk memberikan farmakologi (obat) yang aman, yaitu obat yang tidak

c.

berhubungan dengan obat yang terbukti memiliki hipersensitivitas.


Untuk menyingkirkan kemungkinan adanya reaksi silang (crossreaktivity)dari obat-obatan

yang berhubungan

dalam hipersensitivitas,

misalnya sefalosporin dalam subyek alergi penisilin atau NSAID alternatif


pada asma yang sensitif terhadap aspirin.
d. Untuk mengkonfirmasi obat penyebab timbulnya reaksi atau standar baku.
Kontraindikasi TP adalah pada wanita hamil, pada penderita yang diprediksi kondisinya
akan menjadi lebih buruk dengan TP obat tersebut (infeksi akut, asma tak terkontrol,
penderita dengan penyakit jantung, hati dan ginjal).4 Demikian juga pada penderita;
sindroma

vaskulitis,

dermatitis

exfoliative,

sindroma

Stevens-Johnson,

Toxic

16 | P a g e

EpidermalNecrolysis (TEN), SLE, Pemphigus Vulgaris, dan Bullous Pemphigoid.


Pengecualian dapat dilakukan jika obat dicurigai sangat penting bagi pasien, misalnya
pada neurosifilis dan terapi penisilin.
Pelaksanaan TP ini dilakukan dengan tahapan meliputi cara pemberian obat, uji agen,
dosis dari persiapan tes, interval waktu pemberian obat, interval waktu antara reaksi
dengan TP, persiapan untuk prosedur provokasi, pelaksanaan tes, dan penilaian
terhadap hasil tes.
Pemberian obat dilakukan dengan berbagai cara, oral, parenteral (iv,im,sc), topical
(nasal), bronchial, konjungtiva, kutaneus, dsb. Namun, dalam hal ini oral menjadi
pilihan utama karena penyerapan lebih lambat sehingga reaksi yang tidak diinginkan
dapat diobati lebih awal dibandingkan dengan TP pada pemberian secara parenteral.
Dosis dari persiapan tes dan interval waktu pemberian obat tergantung dari berbagai
variable, termasuk jenis obat itu sendiri, tingkat keparahan dari reaksi hipersensitivitas
obat saat pemeriksaan, cara pemberian, perkiraan waktu antara aplikasi dan reaksi,
kondisi kesehatan dari pasien, dan co-medication mereka. Umumnya tes harus mulai
dengan dosis rendah, kemudian ditingkatkan sedikit-demi sedikit dan segera dihentikan
ketika gejala objektif pertama terjadi. Jika tidak ada gejala muncul, yang dosis tunggal
maksimum obat yang spesifik harus dicapai, dan pemberian dosis harian sangat
diperlukan. Dalam kasus reaksi langsung sebelumnya (yakni terjadi kurang dari 1 jam
setelah pemberian obat) dosis awal harus diantara 1:10.000 dan 1:10 dari dosis terapi,
tergantung pada beratnya reaksi.3 Interval waktu antara dosis minimal 30 menit, namun
banyak obat dan situasi tertentu memerlukan interval waktu yang lebih lama. Dalam
kasus reaksi non-langsung sebelumnya (yakni terjadi lebih dari 1 jam setelah pemberian
obat terakhir) dosis awal tidak boleh melebihi 1:100 dari dosis terapi. Tergantung pada
obat dan ambang respon pasien, TP dapat diselesaikan dalam waktu beberapa jam, hari
atau, kadang-kadang minggu.
Persiapan untuk prosedur tes provokasi terdiri dari pertimbangan etis, perlindungan
untuk TP, dokumentasi, dan aspek praktis. Tes provokasi harus dilakukan dengan
metode placebo terkontrol, single blind, dan dalam situasi tertentu dimana aspek
psikologis mungkin berlaku, bisa juga dengan double blind.
Rekomendasi yang harus diberikan sebelum melakukan TP adalah sebagai berikut.
1.
Hilangkan hipersensitivitas pada riwayat non-sugestif.
17 | P a g e

Banyak pasien salah diberikan label alergi berdasarkan riwayat penyakitnya tanpa
dites, atau dibuktikan dengan tes dengan nilai prediktif terbatas, seperti tes kulit dengan
opiat, deteksi IgE dalam hipersensitivitas aspirin atau tes biologi yang tidak valid.
Sebagai contoh, banyak reaksi merugikan pada anestesi lokal karena faktor non-alergi
yang mencakup vasovagal atau respon adrenergik. Untuk menghilangkan kemungkinan
reaksi yang dimediasi oleh imun, tingkat paparan harus diketahui.
2.

Menyediakan alternatif yang aman pada pasien dengan alergi dan membuktikan

toleransi.
Pasien dengan alergi penisilin yang diklaim memiliki risiko meningkat sekitar sepuluh
kali lipat memiliki reaksi alergi terhadap obat antimikroba selain penisilin dan
sefalosporin. Lebih lengkapnya akan dibahas pada contoh kasus.
3.

Hilangkan reaktivitas silang-obat yang terbukti menyebabkan hipersensitivitas.

Pasien dengan riwayat alergi terhadap penisilin dan tes kulit positif mempunyai
peningkatan resiko tiga kali lebih tinggi jika suatu sefalosporin diberikan, oleh karena
itu TP dalam kondisi yang terkendali setelah melakukan tes kulit, penting dilakukan
sebelum rating sefalosporin mengganggu.
4.

Menetapkan diagnosis pada kasus-kasus dengan riwayat yang sugestif namun

dengan tes yang negatif (kulit atau in vitro).


Untuk mengklarifikasi hipersensitivitas obat yang dicurigai pada tes kulit biasanya
adalah hal pertama yang akan dilakukan, tetapi sering dengan hasil negatif. Agen
penyebabnya kemudian hanya dapat diidentifikasi dengan TP.

Tes provokasi dikatakan positif jika hasilnya menunjukkan gejala yang sebenarnya.
Jika reaksi sebenarnya diwujudkan dengan gejala yang subjektif dan pada pengujian
ulang menunjukkan hal yang sama, gejala yang tidak diverifikasi, maka tes berulang
dengan plasebo harus dilakukan. Jika dengan placebo hasilnya negatif, maka
pengulangan dengan dosis obat sebelumnya sangat direkomendasikan.

Nilai prediktif TP terutama tergantung pada jenis / mekanisme reaksi dan obat yang
terlibat. Seorang dokter dalam melakukan TP untuk reaksi hipersensitivitas obat harus
mengetahui literatur tertentu dan kebutuhan pengalaman yang cukup dalam
18 | P a g e

membedakan banyak alasan untuk hasil tes false-negatif dan false-positif. Alasan ini
adalah banyak tetapi dapat dievaluasi dan dihindari di sebagian besar kasus.

2.4 Pemeriksaan Radiologi dan Imaging

Karena kelainan pada kulit bisa dilihat dengan mata telanjang, pemeriksaan radiologi dan
imaging pada penyakit-penyakit kulit memiliki kepentingan yang lebih rendah
berbanding pada spesialti yang lainnya. Namun yang demikian, pemeriksaan ini masih
memainkan peran yang penting dalam dermatologi pada kasus-kasus tertentu.
Dalam praktek dermatologi, Ultrasonografi (USG), Magnetic Resonance Imaging (MRI),
scan radioisotope, dan PET scan semuanya digunakan terutama untuk yang berkaitan
dengan deteksi limfadenopati atau keganasan kulit metastatik yang lainnya. Peran
Ultrasound resolusi tinggi semakin penting dalam dokumentasi pembesaran nodul dan
infiltrasi tumor, serta bisa digunakan untuk memandu biopsi.3
Selain dari itu, prosedur radiologi juga digunakan untuk menilai dengan tepat lesi tebal
pada skleroderma, derajat ekstensi infeksi pada selulitis tipe berat (dan membedakannya
dari necrotizing fasciitis menggunakan MRI), serta assessment invasi lokal tumor.3
Teknik-teknik imaging juga berperan penting dalam manajemen penyakit seperti
neurofibromatosis, di mana terdapat keterlibatan sistem saraf pusat, atau dalam penilaian
perubahan otot pada dermatomiositis.3
Limfosintigrafi mungkin berguna untuk penilaian fungsi sistem limfatik pada ekstremitas
bawah yang edem.3

BAB 3: PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN PADA PENYAKIT KELAMIN

19 | P a g e

3.1 Sifilis
Sinar Rontgen
Kelainan tulang dapat terjadi pada S II, S III, dan sifilis kongenital Oleh itu, sinar
Rontgen dapat dipakai untuk melihat kelainan khas pada tulang. Begitu juga pada
sifilis kardiovaskular, sinar Rontgen digunakan untuk melihat aneurisma aorta.16
3.2 Limfogranuloma venerium (L.G.V)
Tes Frei
Tes Frei dilakukan dengan menggunakan antigen Frei. Antigen ini diperoleh dari pus
dari abses yang belum memecah penderita limfogranuloma venerium. Pus ini
kemudian dilarutkan dalam garam faal dan dilakukan pasteurisasi. Untuk
mendapatkan antigen yang tidak terkontaminasi oleh bakteri, dapat diperoleh dari
otak tikus yang telah ditulari.16
Metode
Cara melakukan tes ini sama seperti melakukan tes Tuberkulin/Mantoux test, yaitu
dengan menyuntikkan antigen Frei sebanyak 0,1 cc secara intrakutan pada bagian
anterior/voler lengan bawah dan hasilnya dibaca setelah 48 jam. Jika setelah 48 jam
terdapat infiltrat berdiameter 0,5 cm atau lebih, berarti hasilnya positif.16
Kekurangan
Tes ini tidak khas karena penyakit yang segolongan juga memberi hasil yang

positif.
Tes ini baru memberi hasil positif setelah 5-8 minggu orang tersebut terinfeksi.
Jika hasilnya positif, hanya berarti sedang atau pernah menderita L.G.V.16

Tes Frei terbalik


Jika pada tes Frei, antigennya diambil dari penderita L.G.V. dan disuntikkan pada
tersangka L.G.V; sebaliknya, pada tes Frei terbalik, antigennya diambil dari penderita
yang tersangka menderita L.G.V., kemudian disuntikkan pada penderita L.G.V. Jika
hasilnya positif, berarti yang tersangka tersebut menderita L.G.V.16
3.3 Granuloma Inguinale
Tes Kulit
Digunakan antigen D.granulomatis yang disuntik secara intradermal dan hasilnya
dibaca setelah 72 jam. Sering terjadi reaksi positif semu.16

20 | P a g e

BAB 4: KESIMPULAN
Tidak dapat dinafikan bahwa dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja tidak
selalu dapat memberikan informasi yang cukup. Beberapa kelainan kulit hampir selalu
membutuhkan pemeriksaan penunjang lebih lanjut baik untuk memastikan suatu diagnosis
atau yang menyangkut terapi, atau untuk mencari kelainan sistemik yang mendasarinya. Oleh
yang demikian, tindakan diagnostik dermatologik juga harus dikuasai agar penegakan
diagnosis dapat dilakukan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

21 | P a g e

1. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology. 5th Ed. New York: McGraw-Hill, 2007.
2. Editorial. Woods Lamp skin analyzer. Diunduh dari:http://www.google.co.id/imgres?
q=wood%27s+lamp&hl=id&client=firefox-a&hs
3. J. Rooks Textbook of Dermatology.8th edition.1. Cambridge; Wiley-Balckwell,
2010;p 36.30-36.32
4. Editorial. How to

confirm

the

vitiligo

diagnostic.

Diunduh

dari:

http://www.google.co.id/imgres?q=vitiligo+wood%27s+lamp&hl=id&client=firefoxa&hs=JT9&sa=X&rls=org.mozilla:enUS:official&biw=1024&bih=469&tbm=isch&prmd=imvns&tbnid=f5NLJnbgDUFOF
M:&imgrefurl=http://www.vitiligozone.com/tips-and-tricks/how-confirm-vitiligodiagnostic&docid=rQeaBXmL7hGhmM&imgurl=http://www.vitiligozone.com/sites/
default/files/images/stories/woods_lamp.jpg&w=505&h=180&ei=tMPCT5T9HMHK
rAfx9KXoCQ&zoom=1
5. Siregar R. Atlas BerwarnaSaripatiPenyakitKulit. Edisi 2. Cetakan 1. Jakarta: EGC,
2005
6. Editorial.

Access

Medicine

from

McGrawHill.

Dunduh

dari:

http://accessmedicine.net/search/searchAMResultImg.aspx?searchStr=sarcoidosis
%2C+subcutaneous+&searchType=2&fullTextStr=sarcoidosis
%2C+subcutaneous+&resourceID=505&narrowing=yes
7. Editorial. Dermascopy made simple: Dermoscopy diploma. Diunduh dari:
http://dermoscopymadesimple.blogspot.com/p/dermoscopy-diploma.html
8. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA. Et al. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. 7th Ed. New York: McGraw-Hill, 2008
9. Editorial. Dermaimaging: Dermoscopy signs in favor of seborrheic keratosis.
Diunduh dari: http://www.dermaimaging.com/?m=200905
10. Surjushe A, Jindal S, Gote P, Saple DG. Darier's sign. Indian J Dermatol Venereol
Leprol 2007;73:363-4
11. Bernhard, Jeffrey. "Clinical Pearl: Auspitz sign in psoriasis scale." Journal of the
American Academy of Dermatology. 36(1997):621.
12. Bernhard JD. "Auspitz sign is not sensitive or specific for psoriasis." Journal of the
American Academy of Dermatology. 6(1990):1079-81.
13. James, William; Berger, Timothy; Elston, Dirk (2005) Andrews' Diseases of the Skin:
Clinical Dermatology (10th ed.). Saunders. Page 16. ISBN 0-7216-2921-0.
14. Freiman A, Kalia S, O'Brien EA. Dermatologic signs. J Cutan Med Surg. 2006 JulAug;10(4):175-82.
15. Rapini, Ronald P.; Bolognia, Jean L.; Jorizzo, Joseph L. (2007). Dermatology: 2Volume Set. St. Louis: Mosby. ISBN 1-4160-2999-0.
22 | P a g e

16. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, Editor. IlmuPenyakitKulitdanKelamin. Edisi 5.


Cetakan 2. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI, 2007.

23 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai