2.2. Probiotik
Penanaman probiotik di tambak sebagai salah satu upaya agar terjadi
dominasi bakteri pilihan yang bermanfaat di dalam air dan tanah dasar, sehingga
mengurangi kepadatan bakteri pathogen sebagai penyebab penyakit udang.
Penggunaan probiotik (bakteri pengurai) bermutu baik diikuti cara aplikasi
yang benar dan dibarengi dengan menghindari pemakaian obat-obatan yang
tidak baik dapat membantu penguraian timbunan bahan organik di dasar
tambak, menstabilkan kondisi air tambak, memperlancar proses pencernaan
udang dengan dampak akhir hasil panen yang stabil pula.
2.5. Kegiatan Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)
2.5.1. Persiapan Tambak.
Tambak sebagai media budidaya perlu dipersiapkan sebelum memulai
usaha budidaya udang vannamei. Persiapan tambak bertujuan membantu proses
oksidasi yang dapat menetralkan sifat keasaman tanah, menghilangkan gas-gas
beracun dan membantu membunuh telur-telur hama yang tertinggal. Persiapan
tambak meliputi pengeringan dasar tambak, pengapuran dan pemupukan
(Haliman dan Adijaya, 2005).
Pengeringan Tambak
Budidaya udang dimulai dengan kegiatan pengeringan tambak. Dasar
tambak dikeringkan, sehingga retak-retak. Selama pengeringan, sisa-sisa klekap,
lumut dan tumbuhan lain dibuang dan dibersihkan. Pengeringan lahan tambak
selama 2 3 minggu, tergantung dari keadaan cuaca
Pengapuran
Kapur berfungsi meningkatkan kapasitas penyangga air dan menstabilkan
pH. Beberapa jenis kapur yang bisa digunakan untuk pengapuran tambak
menurut Haliman dan Adijaya (2005) yaitu, kapur pertanian (Crushed
chell, CaCO3), kapur mati (Slaked lime, Ca(OH) 2) dan dolomit (Dolomital lime,
CaMg (CO)3). Dosis penggunaan kapur berturut-turut yaitu 100 300 kg/ha untuk
CaCO3, 50 100 kg/ha untuk kapur mati dan 200 - 300 kg/ha untuk dolomit.
Pemupukan
Pupuk berfungsi sebagai penyedia nutrisi bagi udang selama
dibudidayakan. Pupuk organik antara lain bungkil biji teh, saponin dan pakan
rusak. Sementara pupuk anorganik yang bisa digunakan yaitu urea dan TSP (SP
36). Saponin dan bungkil teh berfungsi sebagai pupuk dan bahan racun untuk
membunuh ikan lain yang mengganggu atau merugikan udang vannamei.
Sebelum digunakan, saponin dan bungkil biji teh perlu digiling sampai halus,
kemudian direndam dalam air selama 24 jam. Hasil rendaman tidak perlu
disaring karena ampas bungkil teh bisa digunakan sebagai pupuk (Haliman dan
Adijaya, 2005).
Pengisian Air
Sebelum dilakukan pengisian air, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan seperti pemasangan filter air pada pintu pemasukan yang bertujusn
untuk menyaring ikan beserta telurnya dan organisme-organisme lain yang
menjadi pengganggud, penyaing, bahkan sebagai pemangsa udang yang
dipelihara. Pemberantasan Hama
Untuk memberantas hama maka diberikan saponin 10 12 ppm,
kemudian tambak dibiarkan selama 2 3 hari agar reaksi saponin berkurang dan
hilang.
Penumbuhan Plankton
Menurut Suyanto dan Mujiman (2002), beberapa perlakuan yang diberikan
untuk membantu mempercepat pertumbuhan plankton antara lain dengan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Semua organ tubuh benur dalam keadaan lengkap dan tidak cacat.
Gerakan lincah dan melawan arus.
Bentuk tubuh ramping dan memanjang.
Warna tubuh jernih atau putih kecoklatan.
Benur sensitif atau peka terhadap gangguan fisik pada lingkungannya.
Keadaan tubuh benur bersih dari kotoran dan lumut.
Benur aktif mencari makan dan nafsu makan tinggi.
Tidak ada perubahan warna yang mencolok pada benur pada kondisi terang
maupun gelap.
9. Fototatis positif yaitu suka pada cahaya.
10. Ukuran benur relatif seragam.
Benur yang lulus seleksi dan telah mengalami proses aklimatisasi bisa
langsung ditebar perlahan-lahan kedalam petak pembesaran dengan kepadatan
100 125 ekor/m2.
2.5.4. Manajemen Pakan
Pemberian pakan yang baik merata, dalam arti dapat diusahakan agar
satu individu udang dapat memperoleh bagian pakan yang sama dengan
individu yang lainnya. Pemberian pakan yang merata menghindari terjadinya
kompetisi dalam mendapatkan makanan. Apabila kompetisi dapat dihindari maka
kanibalisme dapat dihindarkan.
Adapun syarat-syarat pakan udang yang baik antara lain :
Kondisi fisik permukaan rata.
Mempunyai bau amis segar, kering dan tidak apek.
Kemasan tidak kurang dan tidak rusak.
Water stability pellet yang bagus tetap bertahan pada air setidaknya 2 3 jam.
Ukuran pellet yang benar sesuai ukuran kemampuan makan udang dan bukaan
mulut udang.
Bahan baku pakan berkualitas didukung bahan baku tepung ikan segar. Saat
dicek dengan dikunyah berasa manis.
Attractability pakan berkualitas memilikiattractability bagus sehingga pakan akan
lebih cepat dikonsumsi udang.
Frekuensi pemberian pakan pada udang kecil cukup 2 3 kali sehari,
karena masih mengendalkan pakan alami (Haliman dan Adijaya, 2005). Zaidy
(2000) berpendapat, pakan diberikan dengan cara disebar dipermukaan tambak
dengan frekuensi 5 6 kali sehari. Persentase jumlah pakan yang diberikan mulai
dari 50 % saat udang baru beberapa hari ditebar dan 3 % saat udang akan
dipanen.
Haliman dan Adijaya (2005) menambahkan, setiap pemberian pakan, 2 4
% dari jumlah total pakan yang ditebar harus dimasukkan ke anco. Hal ini
merupakan tindakan kontrol terhadap aktifitas memakan udang. Dua jam
kemudian, anco dapat diangkat dan diperiksa sisa pakan yang ada dengan
demikian dapat diprediksi kebutuhan pakan udang. Ciri-ciri udang kekurangan
dan kelebihan pakan yaitu :
Ditjen Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Ditjen Perikanan Budidaya (2005),
peberian suplemen (feed additive) seperti vitamin, immonostimulan, mineral,
HUVA, carotenoid, astaxanthindan probiotik dapat dilakukan yang bertujuan
untuk meningkatkan daya tahan tubuh udang yang dibudidayakan. Vitamin C
dapat diberikan dengan dosis 3 gram/kg pakan. Bataglucan dapat diberikan 0, 1
gram/kg pakan, sedangkan fucoida dengan dosis 60 100 mg/kg berat
udang/hari.
Menurut Arifin (2005), pemberian probiotik yang dicampur dengan pakan
udang bertujuan untuk :
Penimbangan udang.
Beda
Akuakultur sebagai upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan pangan telah dimulai ribuan tahun yang
lalu, dan sejak era tahun 1970-an kegiatan tersebut nampak mulai berkembang. Kegiatan budidaya ikan
mengalami perkembangan lebih pesat sekitar tahun 1980-an setelah manusia mulai menyadarai bahwa
ketersediaan ikan dan produk-produk tangkapan dari alam menjadi semakin terbatas.
Fenomena penurunan hasil tangkapan nelayan terjadi di beberapa negara dan dirasa semakin
menghawatirkan. Barnabe (1994) menyatakan bahwa kemampuan laut dalam memenuhi tangkapan yang
berkesinambungan hanya terbatas sekitar 100 juta ton per tahun, sementara dengan terus meningkatnya
populasi penduduk dunia jumlah tangkapan ikan tersebut tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan.
Sebagai salah satu jawaban untuk menjamin ketersediaan sumber pangan adalah dengan pengembangan
kegiatan budidaya.
Pada tahun 1995, produksi udang, ikan, moluska serta tumbuhan air mencapai total 120,7 juta ton (FAO,
1997). Dari angka tersebut kegiatan budidaya baru menyumbang sekitar 21 %. Indonesia sebagai salah satu
negara terbesar dalam produksi hasil perikanan tentunya selalu berusaha meningkatkan produksinya dari
kegiatan budidaya baik melalui upaya intensifikasi maupun ekstensifikasi.
Upaya ekstensifikasi untuk wilayah Jawa, Bali dan Sumatera akan semakin sulit dilaksanakan karena
adanya persaingan atas penggunaan lahan dengan sektor lain. Langkah intensifikasi tentunya harus
ditempuh untuk meningkatkan produksi walaupun dengan berbagai konsekuensi yang ditimbulkan, di
antaranya terjadinya penurunan kualitas lingkungan.
Di Indonesia, kegiatan budidaya ikan pernah mengalami permasalahan yang hebat di era 1980-an ketika
terjadi wabah Aeromonas hidrophila yang menyerang ikan. Sedangkan budidaya udang mengalami
goncangan yang dahsyat di saat berbagai penyakit melanda tambak-tambak di Jawa, Sumatera dan
Sulawesi. Rangkaian kegagalan karena serangan penyakit di tahun 1995-an mengakibatkan sejumlah
tambak di Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak lagi dapat difungsikan untuk memelihara udang windu.
Terakhir, serangan koi harves virus (KHV) yang menyerang golongan ikan mas pada tahun 2002 hingga
2004 lalu sempat menggoncangkan kegiatan perikanan Indonesia (Sunarto, 2005). Kerugian materi yang
dialami oleh para pembudidaya ikan tawar tersebut sangat besar karena ikan mas termasuk ikan yang
populer dan budidayanya tersebar luas di Indonesia (Taukhid dkk., 2005).
Permasalahan Lingkungan dalam Budidaya Perikanan
Kegiatan budidaya secara intensif di Indonesia mulai digalakkan pada tahun 1980-an. Upaya peningkatan
produksi baik melalui peningkatan kepadatan ikan atau udang yang dibarengi dengan penerapan teknologi,
dukungan sarana produksi serta pemberian pakan buatan secara intensif terus digalakkan. Dampak atas
perkembangan tersebut dalah penurunan daya dukung lingkungan budidaya.
Pembukaan lahan untuk budidaya tambak telah mengabaikan konsep ekosistem dan keseimbangan.
Pembabatan hutan mangrove, yang merupakan green belt bagi ekosistem pantai dan tempat ikan memijah,
marak dan tidak terkontrol. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya berbagai permasalahan baik
masalah abrasi daratan maupun gangguan atas keseimbangan ekosistem.
Akuakultur dengan penerapan sistem intensif, seperti budidaya udang windu (Penaeus monodon) di
sebagian besar tambak wilayah pantura Jawa, beberapa tahun yang lalu telah menimbulkan masalah yang
fatal. Timbunan bahan organik, dari sisa pakan, pupuk organik, dan ekskresi ikan atau udang, yang
mengendap di dasar tambak apabila tidak dibarengi dengan sistem pengelolaan air yang baik akan memacu
penurunan daya dukung tambak bagi kehidupan udang, khususnya algal bloom yang menyebabkan deplesi
oksigen dan keracunan pada ikan.
Penggunaan desinfektan dan antibiotik sebagai langkah pengobatan atas serangkaian wabah penyakit juga
memunculkan masalah baru dalam dunia budidaya. Desinfektan, dengan sifatnya yang tidak spesifik,
terkadang tidak hanya mematikan organisme sasaran. Aplikasi desinfektan pada dosis yang tidak tepat
dapat mematikan biota lain yang pada hakekatnya turut menjaga keseimbangan ekosistem kolam atau
tambak.
Dampak atas kerusakan ekosistem tambak dirasakan sangat menyusahkan bagi para petani udang windu di
daerah Karawang, Indramayu, Tegal, dan wilayah lain baik di jawa maupun Sumatera. Tambak udang yang
pada tahun 1980 - 1990 menjadi sandaran hidup dan sumber kemakmuran kini banyak yang terbengkelai.
Usaha untuk menanam benih udang windu dengan padat tebar rendah serta penerapan sistem polikultur
dengan ikan bandeng menjadi alternatif untuk memanfaatkan lahan tambak yang ada. Namun demikian
permasalahan kematian udang umur 2 bulan ( 10 g) masih sering terjadi.
Penerapan antibiotik pada dosis rendah dalam kurun waktu yang panjang telah menciptakan resistensi
patogen terhadap antibiotik tersebut dan berakibat pada wabah yang besar (Verschuere et al. 2002),
sebagaimana yang melanda dunia perudangan Indonesia di era 1990-an. Perlu diketahui bahwa antibiotik
adalah spesifik bagi pengendalian serangan penyakit bakterial saja, sehingga sebelum aplikasi antibiotik
pada tambak yang terserang penyakit harus dipastikan terlebih dahulu mikroorganisme penyebabnya.
Probiotik dalam akuakultur
Sampai saat ini pengendalian penyakit dalam kegiatan budidaya ikan atau udang di Indonesia masih
mengandalkan pada penggunaan disinfektan dan antibiotik, meskipun tingkat keberhasilannya relatif kecil
(Subasinghe, 1977 dalam Irianto, 2003).
Penggunaan antibiotik yang tidak bijaksana telah meningkatkan kekhawatiran terhadap produk perikanan
dan kesehatan manusia. Beberapa negara maju yang merupakan negara pengimpor produk perikanan
Indonesia seperti Jepang dan Amerika Serikat telah secara tegas melarang masuknya produk perikanan
yang mengandung residu antibiotik (Watson et al. 2008).
Murdjani (2004) menyatakan bahwa di era globalisasi pemasaran produk ke pasar internasional harus
memenuhi beberapa kriteria, di antaranya adalah tidak mengandung residu antibiotik, pestisida serta bahan
kimia lain, seperti hormon. Hal tersebut merupakan sinyal bagi kita untuk secara bertahap meninggalkan
penggunaan antibiotik menuju sistem pengendalian penyakit yang lebih ramah lingkungan dan kesehatan
(Chytanya et al. 2002: Devaraja et al. 2002; Irianto & Austin 2002: Haryanti et al., 2003; Isnansetyo 2005;
Muliani 2005; Susanto et al., 2005; Farzanfar 2006; Watson et al., 2008).
Probiotik menurut Fuller (1987) adalah produk yang tersusun oleh biakan mikroba atau pakan alami
mikroskopik yang bersifat menguntungkan dan memberikan dampak bagi peningkatan keseimbangan
mikroba saluran usus hewan inang.
Sementara Gram et al. (1999) mendefinisikan probiotik sebagai segala bentuk pakan tambahan berupa sel
mikroba hidup yang menguntungkan bagi hewan inangnya melalui cara menyeimbangkan kondisi
mikrobiologis inang.
Adapun Verschuere et al. (2000) dan Farzanfar (2006) mendefinisikan probiotik sebagai penambahan
mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan bagi inang melalui modifikasi bentuk asosiasi
dengan inang atau komunitas mikroba lingkungan hidupnya.
Sementara Gram et al. (1999) mendefinisikan probiotik sebagai segala bentuk pakan tambahan berupa sel
mikroba hidup yang menguntungkan bagi hewan inangnya melalui cara menyeimbangkan kondisi
mikrobiologis inang. Adapun Verschuere et al. (2000) mendefinisikan probiotik sebagai penambahan
mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan bagi inang melalui modifikasi bentuk asosiasi
dengan inang atau komunitas mikroba lingkungan hidupnya, meningkatkan nilai nutrisi pakan, dan
meningkatkan kualitas air.
Menurut Fuller (1989) dan Farzanfar (2006) agen biologis disebut probiotik yang baik apabila memenuhi
karakter sebagai berikut : 1) menguntungkan inangnya, 2) mampu hidup walaupun tidak tumbuh di
intestinum inang, 3) harus dapat hidup dan bermetabolisme di lingkungan usus, resisten pada suhu rendah
dan asam organik 4) dapat disiapkan sebagai produk sel hidup dalam skala besar (industri), 5) dapat
menjaga stabilitas dan sintasannya untuk waktu yang lama baik dalam penyimpanan maupun di lapangan,
dan 6) tidak patogenik dan tidak menghasilkan senyawa toksik.
Jenis dan mekanisme kerja probiotik pada organisme akuatik
Berbagai produk probiotik untuk aplikasi perikanan telah bayak dipasarkan dengan berbagai variasi
penggunanya, namun secara mendasar model kerja probiotik dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
1. Menekan populasi mikroba melalui kompetisi dengan memproduksi senyawa-senyawa antimikroba atau
melalui kompetisi nutrisi dan tempat pelekatan di dinding intestinum.
2. Merubah metabolisma mikrobial dengan meningkatkan atau menurunkan aktifitas enzim pengurai
(selulase, protease, amilase, dll)
3. Menstimulasi imunitas melalui peningkatan kadar antibody organisme akuatik atau aktivitas makrofag
(Irianto, 2003).
Sementara itu, Thye (2005) menambahkan bahwa selain melalui mekanisme di atas probiotik dapat bekerja
melalui mekanisme penguraian senyawa toksik yang berada di perairan seperti NH3, NO2, NO3, mengurai
bahan organik, menekan populasi alga biru-hijau (blue-green algae) , memproduksi vitamin yang
bermanfaat bagi inang, menetralisir senyawa toksik yang ada dalam makanan serta perlindungan secara
fisik inang dari patogen.
Sedangkan Fuller (1992) menyatakan bahwa probiotik dianggap menguntungkan karena menghambat
kolonisasi intestinum oleh mikroba yang bersifat merugikan baik melalui mekanisme kompetisi nutrien
maupun kompetisi ruang serta mampu memproduksi senyawa-senyawa yang bersifat antimikrobia.
Probiotik bersifat menguntungkan bagi inangnya karena mampu memperbaiki nutrisi dengan memproduksi
vitamin-vitamin, detoksikasi pangan maupun melalui aktivitas enzimatis.
Probiotik sebagai agen pengurai (bioremediation) merupakan kelompok mikroorganisme terpilih yang
menguntungkan seperti Nitrosomonas, Cellumonas, Bacillus subtilis dan Nitrobacter. Dalam aplikasinya di
dunia perikanan, probiotik sebagai agen pengurai dapat digunakan baik secara langsung dengan ditebarkan
ke air atau melalui perantaraan makanan hidup (live food). Jadi melalui penambahan bakteri yang
menguntungkan ke kolam atau bak pemeliharaan kualitas air dapat ditingkatkan.
Penggunaan probiotik jenis ini telah lama diterapkan pada tambak-tambak pemeliharaan udang windu
seperti super NB yang merupakan koloni bakteri Bacillus yang mampu menguraikan senyawa nitrit dan
super PS yang merupakan koloni bakteri sulfur khemoototrof seperti bakteri Thiobacillus yang mampu
menguraikan senyawa H2S yang bersifat toksik bagi udang. Moriarty (1998) menggunakan probiotik yang
mengandung Bacillus spp. untuk tambak udang penaeid di Indonesia dengan tujuan untuk memperbaiki
kualitas air melalui dekomposisi materi organik, menyeimbangkan komunitas mikroba serta menekan
pertumbuhan patogen sehingga menyediakan lingkungan yang lebih baik bagi kehidupan udang.
Melalui penggunaan probiotik selama 160 hari pemeliharaan ternyata kehidupan udang lebih baik sehingga
dapat diperoleh panen lebih tinggi, sedangkan tambak yang tanpa aplikasi probiotik Bacillus spp.
mengalami kegagalan karena serangan Vibrio luminesence.
Banyak senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh mikroba memiliki aktivitas imunostimulan pada hewan
akuatik, misalnya Lipo Poli Sakarida (LPS), peptidoglikan dan glukan. Penggunaan probiotik sebagai
suplemen pakan ikan atau udang juga menunjukkan aktivitas imunostimulasi, paling tidak terlihat dari
aktivitas lisozim yang mampu merusak dinding sel bakteri (Irianto, 2002).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widanarni (2004) menyatakan larva udang windu yang diberi pakan
berupa artemia yang telah diperkaya dengan probiotik (bakteri Vibrio alginolyticus) pertumbuhannya
mengalami peningkatan dibandingkan konrol yang tanpa pengkayaan. Dikatakan pula bahwa termasuk
mekanisme kerja dari probiotik adalah melalui perlindungan tubuh larva sehingga bakteri V. harveyi tidak
mampu melekatkan diri melekatkan diri ke tubuh udang.
Di Negara-negara maju, penggunaan probiotik pada budidaya perikanan telah berkembang cukup lama.
Produk-produk probiotik yang ditawarkan juga bermacam-macam baik merk dagang maupun spesifikasi
kegunaannya, di antaranya Aqualact, Probe-la, Lacto-sacc Epicin, Biogreen, Environ, Wunopuo-15, dan
Epizyme.
Di Indonesia penggunaan probiotik pada komoditas komersial seperti udang windu juga telah dimulai
belasan tahun yang lalu. Beberapa produk probiotik yang beredar di pasaran, seperti Actizyme yang
mampu meningkatkan nilai nutrisi pakan, Aqua-10 Dry, Aqua Simba dan EM4 (Effective Microorganisme
-4 ) yang berguna untuk memperbaiki kualitas air pemeliharaan, juga telah banyak digunakan oleh para
petambak udang.
Di samping mikroorganisme dari golongan bakteri, ternyata beberapa jenis mikroorganisme dari golongan
yeast dan mikro algae juga dapat digunakan sebagai bahan probiotik dalam akuakultur. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa Sacharomices cerevicae (Yeast) mampu meningkatkan tingkat kekebalan juvenil
udang penaeid sehingga pertumbuhan dan sintasan yang diperoleh lebih baik (Scholz et al., 1999 dalam
Thye, 2005). Sedangkan Austin et al. (1992) menyatakan bahwa Tetraselmis sp. yang merupakan golongan
mikro algae mampu menekan insidensi penyakit bakteria karena alga ini memiliki kemampuan
menghasilkan senyawa antimikroba.
METODE PRAKTIS MEMILIH DAN APLIKASI PROBIOTIK
Aplikasi probiotik yang tidak tepat jenis dan prosedur penggunaan berdampak pada tidak tercapainya
tujuan penggunaan probiotik tersebut. Keluhan konsumen yang menyatakan bahwa beberapa produk
probiotik komersial tidak efektif sebagaimana klaim yang produsen nyatakan pada kemasan produk sudah
bukan hal aneh.
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah menurunnya kelangsungan hidup
(viability) dan kemampuan mikroorganisme penyusun produk probiotik selama waktu penyimpanan;
kurang sesuainya lingkungan fisika-kimia kolam atau tambak bagi mikroorganisme probiotik komersial;
dan dosis dan waktu aplikasi yang kurang tepat.
Oleh karena itu, beberapa hal mengenai produk probiotik harus diketahui dengan benar sebelum kita
memilih produk tersebut.
Bagaimana memperoleh probiotik yang tepat?
Efektivitas penggunaan bakteri probiotik untuk mengendalikan mikroorganisme patogen sangat
dipengaruhi oleh jenis bakteri yang digunakan (Moriarty 1999; Verschuere et al. 2000; Suprapto 2005). Hal
tersebut, karena kehidupan bakteri sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Populasi bakteri pada lingkungan
dengan kandungan nutrien dan fisika-kimia berbeda, secara umum akan berbeda pula (Madigan et al. 1997;
Maier et al. 2000).
Kriteria lain yang harus dipenuhi untuk menjadikan mikroorganisme tertentu sebagai probiotik adalah
kepastian bahwa mikroorganisme tersebut tidak patogenik dan menghasilkan senyawa yang bersifat toksik
bagi hewan yang dipeliharan (Fuller, 1989; Farzanfar, 2006).
Oleh karena itu, beberapa bakteri indigenos dari saluran pencernaan ikan peliharaan dan air media
pemeliharaan yang sudah melalui serangkaian uji dan skriining lebih berpotensi sebagai biokontrol
terhadap populasi bakteri, meningkatkan digesbility terhadap pakan, dan agen bioremediasi dibandingkan
strain atau produk probiotik komersial yang diperoleh dari habitat dengan karakteristik fisika-kimia
berbeda. Mikroorganisme indigenous tersebut akan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan budidaya
yang relatif sama dengan lingkungan tempat isolat diambil (Isnansetyo 2005).
Namun demikian, untuk mendapatkan isolat mikroorganisme yang dapat dijadikan sebagai probiotik,
disebut probion, bukanlah pekerjaan yang mudah dan dapat dikerjakan dalam waktu singkat. Dukungan
tenaga ahli, khususnya yang memahami bidang mikrobiologi, peralatan laboratorium yang memadai, dan
biaya yang cukup besar merupakan faktor yang harus dipenuhi. Upaya isolasi dan seleksi mikroorganisme
probiotik untuk akuakultur, khususnya untuk pengendalian hayati telah cukup lama dan banyak dilakukan
di Indonesia
Reply With Quote