Anda di halaman 1dari 46

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DAN PRESERVASI IDENTITAS SOSIOKULTURAL-RELIGIUS


Studi Kasus Madrasah Thailand Selatan

Tugas Mata Kuliah


Agama dan Konflik Sosial
Dosen Pengampu
Prof. Dr. H. Agus Sholahuddin, M.Si.

SOPYAN
NIM 15790018

PROGRAM DOKTOR
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS STUDI INTERDISIPLINER
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2015

KATA PENGANTAR





.
Segala puji dan syukur saya persembahkan kehadirat Allah swt. Berkat petunjuk
dan pertolongan-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Selawat
dan salam saya hadiahkan kepada Nabi Muhammad saw., pemimpin dan teladan
umat manusia di seluruh penjuru dunia, serta kepada keluarga, sahabat, dan para
pengikut beliau yang setia.
Makalah dengan judul Pendidikan Agama Islam dan Preservasi Indentitas
Sosiokultural-Religius ini disusun untuk memenuhi tugas dan sekaligus sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran Mata Kuliah Agama dan
Konflik Sosial yang diasuh oleh Bapak Prof. Dr. H. Agus Sholahuddin, M.Si.
Perlu saya sampaikan bahwa penelitian yang dijadikan bahan penyusunan
makalah ini merupakan penelitian sekunder, yang ikut numpang pembiayaan
penelitian utama kami dengan biaya DIPA UIN Sultan Syarif Kasim Riau tahun
2015 dengan judul Teaching Diversity: Cultural Pluralism in Thai Madrasahs
Islamic Studies. Sehubungan dengan itu, saya sangat bermohon kepada bapak
dosen pembimbing untuk memberikan arahan, bimbingan, dan petunjuk kepada
saya untuk perbaikan dan pengembangan makalah ini sehingga dapat memenuhi
standar mutu yang tinggi sebagai sebuah karya ilmiah.
Teknik penulisan makalah ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan
Tesis, Disertasi dan Makalah yang diterbitkan Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 2015.
Kepada rekan-rekan mahasiswa Program Doktor Pendidikan Agama Islam
Berbasis Studi Interdisipliner Semester I Kelas B Tahun Akademik 2015/2016,
saya mengharapkan kritik-konstruktif dan saran-alternatif bagi perbaikan dan
pengem-bangan makalah ini.
Pada kesempatan ini, saya menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dan
penghargaan yang tinggi kepada dosen pengasuh dan rekan-rekan mahasiswa
yang telah berkontribusi dalam pendalaman dan pengembangan makalah ini.
Semoga Allah swt. memberikan balasan kebaikan yang berlipat-lipat baik di dunia
maupun di akhirat. mn!
Batu, 24 Oktober 2015
1

Penulis,
Sopyan
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Sistem transliterasi yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada buku
Pedoman Penulisan Tesis, Disertasi dan Makalah yang diterbitkan Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 2015.
A. Konsonan
Huruf Arab

Nama

alif

b
t
th
jm
h
kh
dl
dhl
r
z
sn
shn
sd

dld

Huruf Latin Huruf Arab


tidak

dilambangkan

th

kh

d

dh

sh

s
dl

Nama

Huruf Latin

ain
ghayn
f
gf
kf
lm
mm
nn
h
wau
hamzah
y

gh
f
q
k
l
m
n
h
w

B. Vokal dan Diftong


arakah
(Tanda)

Nama

...........

fath ah

Pendek
a

Huruf Latin
Panjang
Keterangan
a

dengan garis di
atas

...........

kasrah

dengan garis di
atas

...........

dlammah

dengan garis di
atas

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................1
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN....................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
A. PENDAHULUAN.............................................................................................5
1. Latar Belakang........................................................................................5
2. Topik Kajian dan Batasan Masalah...................................................7
3. Tujuan Pembahasan...............................................................................7
B. LANDASAN TEORETIS.................................................................................8
1. Pendidikan Agama Islam.....................................................................8
2. Identitas Sosiokultural-Religius.........................................................9
3. Teori Preservasi Identitas Sosiokultural-Religius.......................11
C. METODE PENELITIAN................................................................................12
1. Pendekatan.............................................................................................13
2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian Lapangan...................13
3. Metode Pengumpulan Data dan Analisis.....................................15
4. Keterbatasan dan Pembatasan.......................................................16
D. PROFIL MADRASAH DI THAILAND SELATAN.....................................18
1. Madrasah Darussalam Narathiwat.................................................18
2. Madrasah Chongraksat Wittaya Pattani.......................................21
3. Madrasah Thamavitya Mulniti Yala................................................25
E. PERAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PRESERVASI
IDENTITAS SOSIOKULTURAL-RELIGIUS DI THAILAND SELATAN.27
1. Ragam Identitas Sosiokultural-Religius........................................28
a. Bahasa Melayu dan Tulisan Jawi..............................................28
b. Busana Muslimah..........................................................................30

c.

Adat Istiadat Masyarakat Muslim............................................32

2. Metode Preservasi Identitas Sosiokultural-Religius.................33


a. Kurikulum.........................................................................................33
b. Komunikasi......................................................................................35
c.

Peraturan..........................................................................................36

F. PENUTUP.......................................................................................................37
1. Kesimpulan.............................................................................................37
2. Rekomendasi..........................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................39

A. PENDAHULUAN
Pada bagian pendahuluan ini akan diuraikan latar belakang yang menjadi titik
tolak pembahasan makalah ini. Selain itu, untuk membantu memperjelaskan
fokus kajian maka pada bagian ini juga akan diberikan uraian tentang topik
kajian dan batasan masalah. Pada akhir bagian pendahuluan ini dijelaskan
tujuan pembahasan makalah ini untuk membantu memberikan arah kajian
mengenai topik yang telah ditetapkan.
1. Latar Belakang
Agama memiliki peran penting dan sentral dalam kehidupan manusia. Para
ulama dan filosof sepakat bahwa sesungguhnya agama itu merupakan pilar
yang paling kokoh dalam membangun akhlak bagi pribadi dan
masyarakat.1 Lebih dari itu, secara personal, agama mendidik spiritualitas
dan memperbaiki moralitas manusia, serta menetapkan pola kehidupan
keluarga yang hormanis. Sedangkan secara sosial, agama menetapkan asas
dan sistem kehidupan masyarakat yang saling pengertian dan kerja sama
dalam menunaikan kewajiban dan hak komunal, 2 memastikan supremasi
hukum, menjamin kohesi sosial, memelihara stabilitas keamanan,3 serta
mencari solusi atas pelbagai persoalan yang muncul di masyarakat yang
meliputi masalah ekonomi, politik, moral, dan lain-lain. Akan tetapi,
fenomena konflik dan kekerasan sosial yang melibatkan agama telah
mengundang banyak pertanyaan dan kritik terhadap pemahaman dan
praktik keagamaan di masyarakat. Pemahaman dan pengamalan agama
1Muh ammad `At iyyah al-Abrshiy,al-Tarbiyyat al-Islmiyyat wa Falsifatuh
(Cet. III; Mesir: `s al-Bbiy al-Halabiy wa Shurakh, 1975 M/1395 H), hlm. 47;
Ah mad Zak Yamniy, al-Shar`at al-Khlidat wa Musykilt al-`As r (Cet. IV;
Riyad: al-Dr al-Su`diyyah, 1983 M/1403 H), hlm. 1315.
2`Abdullh al-Kharjiy, `Ilm al-Ijtim` al-Dniy (Cet. II: Jedah: al-Mamlakat al`Arabiyyat al-Su`diyyah, 1990 M/1410 H), hlm. 39.
3Muh ammad `Abdullh Darz, al-Dn: Buh th Mumahhadah li Dirsat Trkh
al-Adyn (Kuwait: Dr al-Qalam, 1952 M/1371 H), hlm. 98.

bagi individu maupun masyarakat secara langsung maupun tidak langsung


merupakan hasil dari proses pendidikan agama yang diikuti oleh individu
dan masyarakat itu. Sebab, sebagaimana dinyatakan Mujwir bahwa
pendidikan agama itulah yang bertanggung jawab atas kehidupan
keberagamaan individu dan masyarakat.4 Bertolak dari pemikiran
demikian, maka dapat dipahami bahwa permasalahan kehidupan
keberagamaan masyarakat sebagaimana dipaparkan di atas tidak lepas dan
sekaligus merupakan konsekuensi dari permasalahan pendidikan agama.
Dalam konteks masyarakat Muslim Melayu di Thailand Seatan,
pendidikan Islam dan bahasa Melayu Pattani sedang terancam oleh
kebijakan yang lebih menyukai suatu budaya nasional yang homogen
berdasarkan kesatuan negara-bangsa (nation-state) yang diselenggarakan
bersama dengan tiga pilar: kebangsaan, kerajaan, dan agama.5 Tentu, yang
dimaksud di sini adalah Bangsa Thai, Kerajaan Thailand, dan agama
Budha. Konflik dan kekerasan muncul pada identitas garis demarkasi,
primordial, dan esensial antara Muslim Melayu dengan Thai Budha, yang
terus menghalangi kerja sama etno-religius.6 Secara historis sejak tahun
1902 telah dibuktikan bahwa Islam dan identitas Melayu telah dijadikan
4Muh ammad S alh uddn `Al Mujwir,Tadrs al-Tarbiyyat al-Islmiyyah:
Ususuh wa Tatbquh
al-Tarbawiyyah (Cet. III; Kuwait: Dr al-Qalam, 1983

M/1403 H), hlm. 29. Dalam konteks yang lebih umum, pendidikan itu memiliki
peranan penting dalam membentuk perilaku individu dan masyarakat. Dari
perspektif individu, pendidikan merupakan upaya aktualisasi dan optimalisasi
potensi dasar yang dimiliki oleh setiap manusia, sedangkan dari perspektif
masyarakat, pendidikan merupakan proses kulturisasi, yakni sosialisasi nilai-nilai,
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berkembang dalam masyarakat. Nzil
S lih Ah mad,al-Tarbiyyat wa al-Mujtama` (Kairo: al-Maktabat al-Anjl alMis r iyyah, 1978), hlm. 52 53.
5Otto Von Feigenblatt, The Muslim Malay Community in Southern Thailand: A
Small People Facing Existential Uncertainty, Journal of Asia Pacific Studies,
27 (Februari 2010), hlm. 53.
6Raymond Scupin, South Thailand: Politics, Identity, and Culture, The Journal
of Asian Studies, 72 (Mei 2013), hlm. 431.

sebagai faktor pemersatu orang-orang Melayu dalam menentang dan


melawan dominasi dan hegemoni Raja Chulalongkorn atas urusan raja-raja
lokal dalam bidang sosial-ekonomi, politik, dan hukum.7

2. Topik Kajian dan Batasan Masalah


Bertolak dari latar belakang di atas, maka topik kajian yang menjadi fokus
makalah ini adalah peran pendidikan agama Islam dalam preservasi
identitas sosiokultural-religius. Secara esensial dan fundamental, pendidikan agama Islam berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama
Islam dalam kehidupan personal dan sosial. Dengan demikian, dalam
konteks preservasi maka peran penting pendidikan agama Islam adalah
memelihara dan melestarikan nilai-nilai ajaran agama Islam itu kepada
para pseserta didik. Namun demikian, selain terkait peran pokok tersebut,
dalam implementasi dan wilayah praksis, penyelenggaraan pendidikan
agama Islam itu terkait dengan dimensi-dimensi lain dari kehidupan
manusia, seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Disebabkan oleh
keterbatasan ruang dan waktu serta supaya kajian ini lebih fokus maka
topik bahasan tulisan ini dibatasi pada peran pendidikan agama Islam
dalam memelihara dan melestarikan identitas sosial dan budaya (yang
dibentuk dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai ajaran agama Islam).
Dengan demikian, berdasarkan batasan ini maka permasalahan
yang menjadi pokok kajian tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana peran pendidikan agama Islam dalam preservasi identitas
sosiokultural-religius di madrasah-madrasah pada tiga provinsi Thailand
Selatan?
7Seni Mudmarn, Negara, Kekerasan dan Bahasa: Tinjauan atas Sejumlah Hasil
Studi mengenai Kaum Muslim Muangthai, dalam Saiful Muzani (ed.),
Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Cet. I; Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia, 1993), hlm. 327.

3. Tujuan Pembahasan
Sejalan dengan batasan dan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan
pembahasan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan peran pendidikan
agama Islam dalam preservasi identitas sosiokultural-religius di madrasahmadrasah pada tiga provinsi Thailand Selatan?
B. LANDASAN TEORETIS
1. Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama Islam adalah upaya mendidikkan agama Islam atau
ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan dan
sikap hidup) seseorang.8 Dalam hal ini, PAI merupakan bagian dari
pengertian Pendidikan Islam yang lebih umum. Dalam konteks Indonesia,
pendidikan agama secara regular diartikan sebagai pendidikan yang
memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan
keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang
dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada
semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.9 Sejalan dengan itu, pada
peraturan yang lebih operasional, pendidikan agama adalah pendidikan
yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan
keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang
dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran pada semua
jalur, jenjang dan jenis pendidikan.10 Berdasarkan pengertian regular ini,
maka bila diterapkan pada Islam, maka pendidikan agama Islam dapat
8Muhaimin, et al., Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
2001), hlm. 30.
9Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pasal 1 ayat 1.
10Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan Pendidikan Agama di Sekolah.

diartikan sebagai pendidikan yang memberikan pengetahuan dan


membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam
mengamalkan ajaran agama Islam, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya
melalui mata pelajaran pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
Penyelenggaraan pendidikan agama Islam itu bertujuan (1)
menanamkan kepada peserta didik untuk memiliki keimanan dan
ketakwaan kepada Allah Subh nahu wa Ta`l; (2) mengembangkan
kemampuan, pengetahuan, sikap dan keterampilan peserta didik untuk
menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddn) dan/atau menjadi
muslim yang dapat mengamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupannya
sehari-hari; dan (3) mengembangkan pribadi akhlaqul karimah bagi
peserta didik yang memiliki kesalehan individual dan sosial dengan
menjunjung

tinggi

jiwa

keikhlasan,

kesederhanaan,

kemandirian,

persaudaraan sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah), rendah hati


(tawadhu),

toleran

(tasamuh),

keseimbangan

(tawazun),

moderta

(tawasuth), keteladanan (uswah), pola hidup sehat, dan cinta tanah air.11
Dengan tujuan seperti disebutkan di atas, maka pendidikan agama
itu berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi
ahli ilmu agama.12 Dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama ini
terkandung makna bahwa pendidikan agama Islam memiliki peran
memelihara dan melestarikan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama yang telah
menjadi identitas dari suatu masyarakat.

11Pasal 2 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014


tentang Pendidikan Keagama Islam.
12Pasal 30 ayat (2), Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional Nomor 20
Tahun 2003; Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55
Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

2. Identitas Sosiokultural-Religius
Istilah identitas sosiokultural-religius dalam tulisan ini sebagaimana
digunakan Joseph Chinyong Liow,13 mengacu kepada tiga term yang
merupakan bagian dari aspek-aspek identitas dalam konteks sosiologi.
Oleh karena itu, untuk kepentingan penjelasan pengertian istilah ini maka
akan merujuk pada term-term yang dimaksud itu.
Kata identitas merupakan bahasa serapan dari bahasa Inggris
identity yang berarti who or what is. 14 Dalam bahasa Indonesia, identitas
berarti ciri-ciri, keadaan khusus, atau tanda-tanda khas.15 Dalam pengertian
umum, identitas sosial mengacu pada definisi-diri seseorang dalam
hubungannya dengan orang lain.

Sebagai istilah psikologi sosial,

sebagaimana yang dirumuskan George Herbert Mead dalam buku Essays


in Social Psychology, 1977, bahwa identitas sosial memiliki konotasi yang
lebih spesifik, yaitu definisi-diri dalam pengertian keanggotaan seseorang
dalam berbagai kelompok sosial. Pengertian ini memberi penekanan pada
konsepsi sosial tentang diri, bahwa individu akan menghayati kediriannya
dari sudut pandang kelompok sosial secara keseluruhan dari mana ia
berasal. Dalam sosiologi, sebagaimana yang dikemukakan Talcott Parsons
dalam buku Essays in Sociological Theory, 1968, identitas sosial
merupakan subsistem personalitas dan menduduki peran penting dalam
menentukan partisipasi seseorang dalam sebuah sistem sosial.
13Joseph Chinyong Liow, Muslim Identity, Local Networks, and Transnational
Islam in Thailands Southern Border Provinces, Modern Asian Studies, 45
(2011), hlm. 1420.
14A.S. Hornby, Oxford Advanced Learners Dictionary (Oxford: Oxford
University Press, 1995), hlm. 589.
15John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Cet. XXIX;
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 310; Tim Penyusun Kamus
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ed. III; Cet. IV; Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), hlm. 417.

10

Sebagaimana dinyatakan Martin dan Nakayama, bahwa Identitas


agama merupakan dimensi yang penting dalam identitas seseorang. 16
Identitas tersebut merupakan pemberian secara sosial dan budaya, bukan
hasil dari pilihan individu. Hanya pada era modern, identitas agama
menjadi hal yang bisa dipilih, bukan identitas yang diperoleh saat lahir.
Identitas agama ditandai dengan adanya ritual yang dilakukan oleh
pemeluk agama tersebut. Menurut mereka, identitas agama juga ditandai
dengan busana yang dipakai. Lebih lanjut, mereka memberikan contoh:
orang Yahudi Hasid memakai pakaian tradisional
perempuan Muslimah

muram dan dan

sering menggunakan pakaian kerudung sesuai

dengan pedoman kesopanan seorang Muslimah.17 Menurut Patrick Jory,


identitas kultural itu diekspresikan melalui: bahasa, busana, pendidikan,
sejarah, dan adat-istiadat.18 Bertolak dari pendapat-pendapat di atas, maka
identitas sosiokultural-religius yang dimaksud dalam tulisan ini adalah
identitas sosial dan identitas kultural atau budaya yang dibentuk dan
dimiliki oleh suatu masyarakat berdasarkan nilai-nilai dan ajaran agama
yang dianut mereka. Dalam konteks masyarakat Melayu Muslim di
provinsi-provinsi Thailand Selatan adalah identitas mereka sebagai orang
Melayu yang beragama Islam yang diekspresikan melalui bahasa Melayu
dan tulisan Jawi, busana Muslim/Muslimah, pendidikan agama Islam, dan
adat-istiadat masyarakat Melayu Muslim.

16Judith N. Martin & Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in


Contexts (Edisi V; New York: McGraw-Hill, 2010), hlm. 192.
17Judith N. Martin & Thomas K. Nakayama, Intercultural, hlm. 192.
18Patrick Jory, From Melayu Patani to Thai Muslim: The Spectre of Ethnic
Identity in Southern Thailand, South East Asia Research, 15 (2007), hlm. 263.

11

3. Teori Preservasi Identitas Sosiokultural-Religius


Menurut Henri Tajfel dalam buku Social Identity and Intergroup
Relations: Europen Studies in Social Psycology, 197919 bahwa individu itu
cenderung mendefinisikan diri untuk memperluas dan mengembangkan
diri dalam kelompok sosial dan cenderung untuk mencari identitas sosial
yang positif. Identitas sosial ini terdiri dari seluruh aspek dari citra diri
individu yang berasal dari kategori sosial di mana individu tersebut
dikategorikan (e.g. Muslim, Kristen, Jawa, Amerika) dan juga nilai dan
emosi yang menggambarkan keanggotaan individu tersebut dalam
kelompok. Identitas sosial yang positif cenderung ditingkatkan

dengan cara membanding-kan kelompoknya dengan kelompok lain


untuk membangun nilai positif yang membedakan dengan kelompok
lain. Perbandingan yang positif (perbedaan antar kelompok terlihat
lebih memihak kepada kelompok sendiri, atau kelompok sendiri
terlihat lebih baik ketika dibandingkan dengan yang lain) akan
menghasilkan identitas sosial yang memuaskan, namun ketika
perbandingannya negatif (kelompok lain terlihat lebih baik dari
kelompok sendiri) hal ini akan menghasilkan identitas yang tidak
memuaskan.
Ketika kelompok yang memiliki status rendah atau kelompok
minoritas melihat bahwa posisi kelompok yang dominan adalah tidak
legitimate dan tidak stabil, maka akan dilakukan beberapa variasi strategi
untuk mendapatkan identitas sosial yang positif, yaitu: (1) mendefinisikan
kembali identitas kelompok mereka yang semula terlihat negatif, (2)
menemukan dimensi baru untuk melakukan perbandingan antar kelompok,
atau (3) menemukan kelompok lain (yang baru) untuk bahan
19Sebagaimana dikutip oleh Setiawati Intan Savitri, Membangun Budaya Damai
Berkesinambung-an: Pendekatan Teori Identitas Sosial, Etnosentrisme dan Psikologi Komunitas
di Poso, Sulawesi Tengah, Jurnal Psikologi Indonesia, 1 (2008), hlm. 24.

12

perbandingan. Sebagaimana dikemukakan oleh Henri Tajfel, bahwa relasi


antar kelompok dan relasi antar personal berada dalam sebuah kontinum
hipotetis, dimana relasi antar personal (interpersonal) berada di satu ujung
dan relasi antar kelompok (intergroup) di ujung yang lain. Perilaku antar
individu (interpersonal) ditentukan oleh karakteristik personal yang
terlibat, sedangkan perilaku antar kelompok (intergroup) didefinisikan
secara total dengan keanggotaan kelompok sosialnya.20

C. METODE PENELITIAN
Uraian mengenai metode penelitian dalam tulisan ini meliputi: pendekatan,
lokasi penelitian dan waktu penelitian lapangan, metode pengumpulan data
dan analisis, serta keterbatasan dan pembatasan.
1. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi sosial21 dengan memfokuskan pada peran pendidikan agama Islam dalam melakukan preservasi
identitas sosiokultural-religius masyarakat Muslim Melayu di Thailand
Selatan. Penelitian ini mendekati identitas sosiokultural-religius sebagai
fenomena unik yang memerlukan penyelidikan yang komprehensif dan
mendalam, yang tidak dapat sepenuhnya ditemukan melalui pendekatan
numerik kuantitatif. Identitas sosiokultural-religius sebagai subsistem personalitas memiliki peran penting dalam menentukan partisipasi seseorang
dalam sebuah sistem sosial pada masyarakat yang multikutural. Di sekolah,
identitas ini dikembangkan dan dibungkus dalam bentuk yang lebih
akademis yang terkandung dan disajikan dalam kurikulum dan kemudian
diajarkan kepada siswa. Bentuk baru ini memerlukan konseptualisasi,
20Dalam Setiawati Intan Savitri, Membangun, hlm. 24.
21M.B. Miles dan A.M. Huberman, Qualitative Data Analysis (Thousands Oaks: SAGE
Publications, 1994).

13

pemahaman, klarifikasi, internalisasi, transfer dan pengajaran dari guru ke


siswa dan dibatasi dalam konteks sosial, budaya dan politik tertentu. Untuk
mengung-kap fenomena yang kompleks ini diperlukan kajian secara
mendalam yang melibatkan metode-metode penyelidikan tertentu. Oleh
karena itu, kami percaya bahwa pendekatan yang paling tepat dan
dibenarkan untuk penelitian ini adalah kualitatif.
2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian Lapangan
Thailand adalah negara ke-20 paling padat di dunia dengan penduduk
sekitar 66 juta orang. Sekitar 75-95% dari populasi adalah etnis Thai, yang
meliputi empat kelompok regional utama: pusat Thailand, utara-timur
Thailand, utara Thailand dan selatan Thailand. Thai Cina, orang-orang
keturunan Tionghoa 14% dari populasi, sementara etnis Melayu mewakili
3% dari populasi, dengan sisa terdiri dari Mons, Khmer dan berbagai suku
bukit. Bahasa resmi negara adalah Thai dan agama utama adalah Budha
yang dipeluk oleh sekitar 95% dari populasi. Islam adalah agama minoritas
di Thailand dengan statistik terbaru menunjukkan penduduk sekitar 4 juta,
atau hampir 6% dari populasi. Di tiga provinsi perbatasan, sebagian besar
penduduk Muslim lokal merupakan dan didominasi etnis Melayu. Tingginya
jumlah penduduk asal Melayu di wilayah selatan adalah karena sifat sejarah
daerah yang dulu dikenal sebagai Kerajaan Pattani, sebuah kerajaan Melayu
Islam yang didirikan pada abad kesembilan belas, tetapi kemudian
dianeksasi ke Siam (nama lama dari Thailand).22
Penelitian ini memilih tiga madrasah yang berbeda di Thailand
Selatan sebagai kasus penelitian. Tiga madrasah itu terdiri atas: Madrasah
Darussalam di Narathiwat, Madrasah Chongraksat Wittaya di Pattani, dan
Madrasah Thamavitya Mulniti di Yala. Terletak di Thailand selatan, tiga
madrasah dikategorikan sebagai lembaga Islam swasta, yang mengajarkan
studi mata pelajaran Islam di pagi hari sebagai bagian dari kurikulum.
22https://en.wikipedia.org/wiki/Thailand (diakses pada tanggal 28 Agustus 2015).

14

Madrasah ini mengajarkan mata pelajaran sekuler yang ditentukan oleh


pemerintah di sore hari. Pengumpulan data di lapangan dilakukan selama
bulan September 2015. Dibatasi oleh peraturan anggaran, kita hanya bisa
menghabiskan sekitar dua minggu di lapangan, sehingga rencana awal untuk
mengumpulkan data secara komprehensif tidak bisa direalisasikan. Kami
menjalin hubungan dengan dua peneliti lokal dari Prince Songkla University
(PSU) untuk membantu kami dalam proses penelitian termasuk pemilihan
sekolah dan kontak person, serta interpretasi selama kerja lapangan.
Beberapa wawancara khususnya dengan siswa dilakukan dalam bahasa
Thailand dan hampir semua dokumen yang ditulis dalam bahasa tersebut.
Oleh karena itu, sumber daya lokal menjadi sangat penting dalam penelitian
ini.

3. Metode Pengumpulan Data dan Analisis


Kami menggunakan beberapa metode dan langkah melalui proses untuk
mengungkap informasi dari lapangan. Pertama, kami berkonsultasi dengan
mitra kamiDr. Ni Loh dan Dr. Hakam Hengpiadi Prince of Songkla
University kampus Pattani tentang berbagai isu termasuk kesesuaian, dan
akses ke sampel atau kasus kami, kontak kunci, serta apa yang boleh
dilakukan dan apa yang dilarang selama penelitian lapangan di daerah
tertentu dari Thailand. Kedua, kami menggunakan wawancara dengan
masing-masing kepala madrasah atau wakil kepala madrasah di mana kepala
sekolah tidak hadir, dan dua guru studi Islam dari madrasah masing-masing.
Kami melakukan diskusi kelompok terfokus (FGD) dengan 5-6 siswa di
sekolah masing-masing. Wawancara dan FGD digunakan untuk memahami
perspektif mereka tentang identitas sosiokultural-religius dan peran
pendidikan agama Islam dalam pemeliharaan dan pelestarian identitas
sosiokultural-religius itu. Dengan seizin informan, setiap wawancara tercatat
sehingga kita dapat merujuk pada proses transkripsi dan analisis. Ketiga,
kami mengumpulkan beberapa dokumen dari kurikulum pendidikan agama

15

Islam dari masing-masing madrasah, membaca dan memahami dokumendokumen itu untuk mengeksplorasi isi dari identitas sosiokultural-religius
itu dan isu-isu yang relevan. Kami meminta peneliti mitra kami untuk
menerjemahkan dan menafsirkan beberapa dokumen yang relevan bagi kita
untuk menganalisis. Keempat, kita melakukan observasi kelas dari masingmasing guru yang diwawancarai untuk mengetahui strategi pengajaran khas
pendidikan agama Islam. Sangat disayangkan, di Narathiwat kita tidak bisa
melakukan observasi kelas karena pada saat penelitian, sedang berlangsung
ujian semester. Kami melakukan observasi kelas setelah wawancara dengan
guru sehingga kita bisa mengungkap strategi pengajaran, memperjelas dan
mengkonfirmasi klaim yang dibuat selama wawancara, dan merekam
interaksi sosial dan budaya selama proses kelas yang relevan dengan tujuan
penelitian ini. Kelima, untuk mengeksplorasi budaya yang telah dibuat di
madrasah yang dipilih, kami juga melakukan pengamatan ritual madrasah,
upacara, hari-hari interaksi, dan peristiwa yang dapat disimpulkan sebagai
upaya pemeliharaan dan pelestarian idnetitas sosiokultural-religius di
madrasah.
Pendekatan sosial antropologis untuk penelitian seperti ini selalu
berkaitan dengan berbagai jenis dan sumber data untuk mengetahui
fenomena kehidupan sehari-hari, bahasa, ritual, upacara dan interaksi.
Dalam studi ini, untuk menganalisis data, kita melangkah melalui beberapa
proses. Setelah data yang dicari dikumpulkan, kami melakukan pemeriksaan
yang seksama terhadap informasi, kemudian data itu dipilih dan
dikategorikan berdasarkan jenisnya, dan menempatkan data itu dalam tahap
analisis. Untuk data wawancara, kami transkripsikan semua wawancara
yang direkam. Selama proses transkripsi, diberikan catatan penting dari
konteks wawancara. Setelah

proses transkripsi, kami melanjutkan

pengkodean dengan kombinasi a-priori dan inductive coding terhadap


informasi yang telah ditranskripsikan dengan memberikan label dan kodekode tertentu yang dikembangkan dari teori dan praktik. Kode diubah
menjadi tema yang berfungsi sebagai unit interpretasi. Pendekatan serupa,
16

coding dan kategorisasi data, digunakan untuk menganalisis data


pengamatan setelah meninjau dan menyempurnakan catatan lapangan
observasi dan dokumen yang dikumpulkan. Proses memahami atau
membuat pengertian atas teks ini disebut analisis isi (content analysis).
Kami juga menggunakan analisis wacana (discourse analysis)23 untuk
melampaui bahasa tulisan dan lisan dengan konteks sosial dan budaya untuk
membrikan pemahaman yang komprehensif terhadap data yang diperoleh,
terutama dalam menanggapi pertanyaan tentang mengapa perlu preservasi
identitas sosiokultural-religius dalam pendidikan agama Islam.

4. Keterbatasan dan Pembatasan


Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan sebagai berikut:
a. Sifat studi kualitatif terbatas dalam generalisasi, terutama karena hanya
ada tiga kasus untuk menyelidiki. Temuan dari penelitian ini adalah unik
untuk kasus masing-masing dan tidak dapat digeneralisasi untuk kasus
lain dalam konteks lain. Namun, penelitian ini dapat memberikan
gambaran yang mendalam dari fenomena yang diselidiki di mana metode
kuantitatif tidak bisa lakukan. Salah satu kekuatan dari studi semacam ini
adalah dalam deskripsi mendalam dari fenomena yang diteliti.
b. Teknik sampling yang purposive digunakan dalam penelitian ini dapat
menyebabkan tingkat tertentu bias dan subjektif dari informasi yang
diberikan oleh informan. Risiko memiliki respon bias dan subjektif,
namun, dikurangi menjadi minimum oleh triangulasi sumber data dan
metode.
c. Kendala waktu dan pendanaan, seperti dikatakan, telah menghambat kita
dari melakukan penelitian antropologi yang lebih benar. Persyaratan
birokrasi dan penundaan pendanaan seperti biasa dialami dari tahun ke
23B. Paltridge, Discourse Analysis (London: Continuum, 2006).

17

tahun membuat sulit bagi kita untuk tinggal dalam jangka waktu yang
lebih lama untuk mencukupi kebutuhan pengumpulan data penelitian ini.
Penelitian ini dibatasi dalam hal-hal berikut: Penelusuran konten
identitas sosiokultural-religius dalam kurikulum pendidikan agama Islam
adalah salah satu fokus utama dari penelitian ini. Konten identitas
sosiokultural-religius di sini dimaksudkan untuk mengacu pada setiap
informasi, pengetahuan, atau konsep yang berkaitan dengan identitas orang
Melayu yang beragama Islam yang diekspresikan melalui bahasa Melayu
dan tulisan Jawi, busana Muslim/Muslimah, pendidikan agama Islam, dan
adat-istiadat yang terkandung baik secara eksplisit maupun implisit dalam
kurikulum dan/atau buku pelajaran dari mata pelajaran pendidikan agama
Islam. Fokus lain adalah pada strategi konservasi identitas sosiokulturalreligius yang dipraktikkan oleh guru pendidikan agama Islam dalam proses
pembelajaran di kelas. Selaian itu, kami juga menjelajahi ritual, interaksi
sehari-hari, dan nilai-nilai yang diciptakan oleh komunitas madrasah,
terutama yang terkait dengan upaya konservasi identitas sosiokulturalreligius masyarakat Melayu Muslim di daerah ini.

D. PROFIL MADRASAH DI THAILAND SELATAN


1. Madrasah Darussalam Narathiwat
Madrasah Darussalam ini beralamat di Jalan Tessaban 8 No. 7 Soi2
Mukim Tanjungmas, Daerah Rangae Provinsi Narathiwat. 24 Madrasah ini
didirikan pada tahun 1961 M oleh Tuan Guru H. Muhammad Daud bin
Haji Muhammad Yusuf, yang baru pulang dari belajar di Mekah selama
tujuh belas tahun,25 dibantu Abdul Aziz dan Abdul Rasyid.26 Pada awal
pendirian, madrasah ini dulu merupakan pondok yang hanya mengajarkan
24Booklet Darussalam School, 2015.
25Profil Madrasah Darussalam, 2015.

18

pelajaran agama Islam dengan jumlah santri 23 orang. Namun, sejak tahun
1980, madrasah ini telah mengintegrasikan mata pelajaran akademik
(umum) ke dalam sistem kurikulum, dan sejak itu madrasah ini
berkembang pesat.27 Dan sejak tahun 1985, madradah ini telah terdaftar
sebagai Private Islamic School (Sekolah Islam Swasta) dibawah binaan
Komisi Pendidikan Kementerian Pendidikan Thailand.28
Visi madrasah ini adalah menjadi model bagi pendidikan yang
berfokus pada pengembangan karakter dan

keunggulan kualitas pada

tahun 2016. Visi ini memiliki standar yang sama dengan standar nasional
pendidikan.29 Selain diarahkan oleh visi tersebut, sebagai upaya
meneruskan

keunggulan

pendidikan

Islam

di

Pattani,

Madrasah

Darussalam didirikan dengan tujuan untuk: (1) menyediakan pendidikan


agama kepada masyarakat Islam dan menggembleng keupayaan umat dan
menyatukannya

untuk

memartabatkan

ketinggian

Islam

dan

mempertahankan kesuciannya; (2) menyebarkan dakwah Islamiah dan


melahirkan pendakwah yang berpengetahuan luas dan berkemahiran tinggi
serta mempunyai kebijaksanaan dalam menyampaikan dakwah; (3)
berusaha memberantas fahaman-fahaman negatif, kharafat, taksub dan
seumpamanya yang tersebar di kalangan masyarakat Islam; dan (4)
menjalankan amalan kebajikan masyarakat, khidmat sosial dan mambantu
golongan fakir miskin dan orang-orang kurang upaya.30

26Wawancara Kepala Madrasah; wawancara Ustadz Rusdi, dan wawancara


Ustadz Muhammad Yari, pada tanggal 15 September 2015.
27Wawancara Kepala Madrasah, pada tanggal 15 September 2015.
28Profil Madrasah Darussalam, 2015.
29Booklet Darussalam School, 2015.
30Profil Madrasah Darussalam, 2015.

19

Untuk mencapai tujuan sebagaimana telah diuraikan di atas,


Madrasah Darussalam mengembangkan dan membudayakan keterampilan
dan nilai-nilai utama yang meliputi: (1) character development; (2) selfmanagement skills; (3) social and cooperative skills; (4) literacy and
nameracy; (5) communication skills; (6) information skills; (7) thinking
skills and creativity, and (8) knowledge and application skills.31
Kondisi Madrasah Darussalam sekarang ini secara sederhana dapat
dilihat pada presentasi tabel di bawah ini.

31Booklet Darussalam School, 2015.

20

Tabel C.1.
Statistik Pendidik, Tenaga Kependidikan, Siswa,
dan Fasilitas Pembelajaran
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Uraian
Guru Agama
Guru Akademik (Umum)
Pengawas Asrama
Siswa
Ruang Kelas
Laboratorium
Mushalla

Jumlah
185
182
16
5.000
116
8
2

Sumber: Profil Madrasah Darussalam, 2015; Wawancara Kepala Madrasah, 15 September 2015.

Madrasah ini setidaknya telah memiliki reputasi yang baik dalam


dua aspek, pertama, secara sosial, para alumni madrasah ini telah diakui
dan dipercaya oleh masyarakat untuk menjadi imam shalat dan khatib
Jumat, sebuah tugas yang menuntut penguasaan ilmu agama yang mapan
terutama bagi masyarakat Muslim yang religius; dan kedua, secara
keilmuan, para alumni madrasah ini sebagian besar dapat melanjutkan
pendidikan ke perguruan tinggi yang ternama, baik dalam negeri maupun
luar negeri, khususnya untuk bidang agama Islam. Reputasi demikian ini
dapat disimpulkan dari pernyataan Kepala Madrasah pada saat wawancara,
yang didukung UstadzMuhammadYari32 dan Ustadz Rusdi,33 sebagai
berikut:
Yang lain dari pencapaian terbaik sekolah ini dapat pujian
daripadaorangorangdisekitar;sekolahinidapatmengeluarkan
pelajarpelajaryangbolehmenjadiimamdanmembacakhutbah
Jumatsebagaihubungandiantarasekolahdenganmasyarakat.
Dan pelajar kita ada 80% pelajar dapat ikut sambung, baik
akademik maupun bagi agama. Kalau bagi agama dapat
sambungkeluarnegeri,kePakistan,Mesir,Sudan,Yordan.34
32Wawancara pada tanggal 15 September 2015.
33Wawancara pada tanggal 15 September 2015.
34Wawancara Kepala Madrasah pada tanggal 15 September 2015.

21

2. Madrasah Chongraksat Wittaya Pattani


MadrasahinididirikanolehTuanHajiAhmadbinDaud,ataudisebutoleh
masyarakat dengan Tuan Haji Muhammad Waeduereh, pada tangal 5
Februari 1970 M.35 Tuan Haji Ahmad adalah seorang imam agama di
wilayah Kruesea, Pattani. Beliau ahli di bidang ilmu Nahwu dan hafal
syairAlfiyyahibnMalik.Ilmuinibeliaupelajaridarigurubeliaudi
PondokDale.PendirianmadrasahiniolehTuanHajiAhmadmerupakan
pemenuhan amanah dari guru beliau di Pondok Dale yang terkenal di
kawasan Pattani yang mewasiatkan kepada Tuan Ahmad: kamu mesti
mengajar. Sebelumnya, beliau telah mendirikan pondok di Yala,
Songkhla,kemudiandiPattaniini.36
Padamulanya,madrasahinimerupakanpondokpesantrensebagai
informalschoolyanghanyamengajarkanagamakepadaanakanak,seperti
mengajar AlQuran. Pada tahun 1982 mulai diajarkan mata pelajaran
umum, dan sejak tahun 1989 madrasah ini secara legalformal telah
menjadi formalschool untuktingkat Lower Secondary sesuaiPeraturan
15(2).MadrasahinimenjadiSekolahYayasanpadatahun1992sehingga
telah memenuhi standar yang ditetapkan Peraturan 15(1). Mulai tahun
2014yangsilam,madrasahinitelahmengembangkansatuprogramkhusus
yangdisebutdenganArabicIngglishProgram(AEP)dansekarangsudah
memasukitahunkedua.Sepertitergambardarinamaprogramini,bahasa
pengantar dalam proses pembelajaran adalah bahasa Arab dan bahasa
Inggris. Mata Pelajaran Studi Islam yang menggunakan bahasa Inggris
meliputi:Akidah,Fikih,danAkhlak.Sementaraitu,matapelajaranyang
disampaikandenganbahasapengantarbahasaArabmeliputi:Tafsir,Hadis
35Booklet Chongraksat Wittaya School, 2015.
36Wawancara Direktur Madrasah pada tanggal 15 September 2015.

22

danlainlain.Dalampenguatanbahasa,programinididukungolehseorang
guru bahasa Arab delegasi dari Universitas AlAzhar Mesir dan guru
bahasaInggrisdariFilipina.37Selainmerekaitu,paraguruyangmengajar
diprograminimemilikikemampuanbahasaArabdanbahasaInggris.38
Pertama kali didirikan, madrasah ini berlokasi di Jalan Pechakasem
No. 145 Khokpo, Pattani. Kemudian, sejak tanggal 31 Oktober 1972
pindah ke alamat sekarang di 151 M3 Kruesea, Provinsi Pattani.39
Visi madrasah ini adalah menjadi lembaga pendidikan yang
menyelenggarakan pembelajaran sesuai dengan standar pendidikan Negara
Thailand dan Agama Islam supaya dapat mengembangkan pelajar menjadi
insan mulia, mempunyai kemampuan berbahasa serta menguasai ilmu
pengetahuan.40 Adapun misi yang diemban meliputi: (1) mengembangkan
siswa supaya memiliki ilmu pengetahun serta berakhlak mulia,
mempunyai kemampuan berbahasa dan menguasai teknologi; (2)
mengembangkan

para

pendidik

supaya

memiliki

kemampuan

melaksanakan pembelajaran yang efektif; (3) mengembangkan proses


manajemen pendidikan yang bermoral tinggi, berakhlak mulia, serta
efektif dan efisien; (4) mendukung hubungan yang baik antara lembaga
pendidikan dengan masyarakat; (5) mengembangkan proses evaluasi di
dalam dan dari luar lembaga; (6) menanamkan kewargaan dan personalitas
Thai; dan (7) menyelenggarakan kegiatan dan program pengembangan
pendidikan.41

37Wawancara Direktur Madrasah pada tanggal 15 September 2015.


38Observasi kelas pada tanggal 16 Sepertember 2015.
39Booklet Chongraksat Wittaya School, 2015.
40Madrasah Chongraksat Wittaya, Self Assessment Report, 2015.
41Madrasah Chongraksat Wittaya, Self Assessment Report, 2015.

23

Dalam rangka mencapai visi dan melaksanakan misi tersebut di


atas, madrasah ini memiliki tujuan sebagai berikut: (1) para siswa
memiliki ilmu dan kemampuan sesuai kurikulum serta mampu mencari
ilmu sendiri, berpikir sistematis, suka belajar, sehat dan bahagia; (2) para
siswa mempunyai moral dan akhlak yang baik, sikap yang mulia sesuai
dengan ajaran Islam; (3) para guru dapat mengembangkan diri supaya
dapat melaksanakan pembelajaran yang efektif dan efisien; (4) kepada
madrasah memiliki sifat kepemimpinan dalam proses manajemen
kelembagaan dan mengelola proses pendidikan sesuai kebutuhan sehingga
memuaskan siswa, guru, orang tua, dan masyarakat; (5) menyelenggarakan
kegiatan untuk mempererat hubungan dan kerja sama dengan masyarakat
sehingga masyarakat ikut serta dalam membangun pendidikan; (6)
mengembangkan proses evaluasi madrasah yang efektif; (7) madrasah
mempunyai

ciri

khas

yang

jelas,

mendukung

masyarakat

dan

kewarganegaraan, dan (8) berupaya mendukung penyelesaian masalah


dan meningkatkan kualitas pendidikan yang berkelanjutan.42
Keadaan Madrasah Chongraksat Wittaya sekarang ini secara
praktis dapat dilihat pada presentasi tabel di bawah ini.
Tabel C.2.
Statistik Siswa Madrasah Chongraksat Wittaya, Pattani
Program
Kindergarten

Primary/Elementar
y

Kelas/Tingka
t
K1
K2
K3
P1

Rombongan
Belajar
5
7
7
6

Jumlah

P2
P3
P4
P5
P6

5
5
4
4
3

224
187
172
164
100

93
272
256
251

42Madrasah Chongraksat Wittaya, Self Assessment Report, 2015.

24

Lower Secondary

Upper Secondary

M1
M2
M3
M4
M5
M6

Total

5
5
4
4
4
5
73

211
189
167
149
178
207
2.919

Sumber: Booklet Madrasah Chongraksat Wittaya, 2015.

25

Tabel C.3.
Statistik Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Madrasah Chongraksat Wittaya, Pattani
Jumlah/Tingkat Pendidikan

Jabatan
Tenaga Administrasi
Guru TK
Guru SD/SLTP-SLTA
Pembantu
Total

SLTA
1
16
39
5
61

Sarjana
19
91
6
116

Pascasarjana
3

Jumlah
4
35
130
11
180

Sumber: Booklet Madrasah Chongraksat Wittaya, 2015.

Reputasi madrasah ini antara lain adalah memiliki banyak guru


yang lulusan luar negeri seperti Pakistan, Mesir, dan Arab Saudi. Di
samping itu, terdapat beberapa guru yang berasal dari luar negeri yang
mengajar bahasa Arab dan Inggris, yaitu dari Mesir, Kameron, dan
Filipina.43 Pada sisi lain, beberapa siswa madrasah ini mendapatkan
beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri, seperti ke Turki, Arab
Saudi, Mesir, dan Yordan.44
Sementara itu, prestasi para siswa juga telah mengangkat nama
baik madrasah ini, baik di tingkat provinsi, nasional, bahkan internasional.
Pada tingkat provinsi, prestasi yang pernah diraih siswa adalah juara pidato
bahasa Inggris, taekwondo, film pendek tentang jasa seorang guru Budha.
Pada tingkat nasional dan internasional diraih dalam bidang lomba
menghafal Al-Quran atas nama Hasan Samuh. Ia meraih juara I lomba
menghafal Al-Quran 30 juz Tingkat Nasional, Thailand pada tanggal 7
Februari 2015; Juara III lomba menghafal 10 juz Tingkat Nasional yang
diadakan di Yala, Thailand Selatan pada tanggal 31 Juni s.d. 1 Juli 2014;
meraih juara III lomba menghafal Al-Quran 10 juz tingkat Asia-Pasific
yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 26 Maret 2015; dan Juara 9
43Focus Group Discussion (FGD) siswa pada tanggal 16 September 2015.
44Wawancara Direktur pada tanggal 15 September 2015; didukung Wawancara
Ustadz Nurdin pada tanggal 15 September 2015.

26

Musabaqah Hifz Al-Quran tingkat internasional di Dubai yang


diselenggarakan pada tanggal 7 Juli 2015.45
3. Madrasah Thamavitya Mulniti Yala
Madrasah yang berlokasi di Jalan Siroros No. 762 Muang Yala, Thailand,
ini pada mula berdiri merupakan tempat pengajaran agama Islam yang
dikenal sebagai pondok. Didirikan oleh Haji Mohammad Tahir Sulong
pada tanggal 14 Juni 1951 dengan mewakafkan tanah seluas 1,3 hektar.
Pada tahun 1958, tanggung jawab kepemimpinan lembaga pendidikan ini
diamanahkan kepada putra tertua beliau yang bernama Dr. Haji Haron
Sulong. Merasa tidak puas dengan pelayanan pendidikan yang hanya
diperuntukkan bagi anak laki-laki, Dr. Haji Haron kemudian menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak perempuan. Karena itu, pada tahun
1963 beliau mendirikan Yayasan Pendidikan Islam untuk mengatur
madrasah dan setahun kemudian didirikanlah Satri Islam Vitya Mulniti,
lembaga pendidikan khusus bagi anak-anak perempuan. Sejak tahun 1965,
dua sistem pendidikan sekular dan pendidikan keagamaan Islam telah
dioperasikan baik pada sekolah bagi anak laki-laki maupun sekolah bagi
anak-anak perempuan.46 Sekarang ini, Yayasan Pendidikan Islam Yala
menaungi lima lembaga pendidikan berikut: (1) Thamavitya Mulniti, Yala;
(2) Satri Islamvitya, Yala; (3) Santithamvitya, Yala; (4) Thamavitya
Mulniti, Songkhla; dan (5) JISDA.47
Madrasah ini memiliki falsafah: Beriman, berilmu, dan beramal
(Faith, Knowledge, Conduct).48 Falsafah ini kemudian dirumuskan dalam
sebuah visi kelembagaan: Teguh keimanan, pendidikan dan teknologi
45FGD siswa pada tanggal 16 September 2015.
46Booklet Madrasah Thamavitya Mulniti, 2015.
47Presentasi Pimpinan Yayasan pada tanggal 19 September 2015.
48Presentasi Pimpinan Yayasan pada tanggal 19 September 2015.

27

menjulang, penanaman sehat jasmani dan lingkungan, dan menuju ke


persada antarbangsa.49 Selari dengan visi ini, maka tujuan madrasah ini
adalah membentuk akhlak mulia, teknologi menjulang, badan sehat, dan
alam terjaga.50
Keadaan Madrasah Thamavitya Mulniti, Yala sekarang ini secara
praktis dapat dilihat pada sajian tabel di bawah ini.
Tabel C.4.
Statistik Personalia, Siswa, dan Fasilitas Pembelajaran
Madrasah Thamavitya Yala
No.
1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Uraian
Personalia (guru agama, guru
akademik, dan pengawas
asrama)
Siswa
Ruang kelas
Kantor/ruang guru
Pusat komputer
Laboratorium
Ruang sains
Ruang kerja kejuruan (Vocational
operation rooms)
Perputakaan
Mushalla
Kantin

Jumlah
537

6.028
134
19
2
2
2
2
1
3
2

Sumber: Booklet Madrasah Thamavitya Mulniti, 2015; Presentasi Pimpinan Yayasan, 19 September
2015.

Sebagaimana dinyatakan pimpinan, madrasah ini dikenal masyarakat sebagai lembaga pendidikan yang dapat melahirkan alumni yang
mampu menjadi imam shalat, khatib, pemimpin, dosen, dan banyak alumni
madrasah ini yang telah menjayakan negara. 51 Selain itu, tamatan dari

49Wawancara Kepada Madrasah pada tanggal 19 September 2015.


50Wawancara Ustadz Anan pada tanggal 19 September 2015.
51Wawancara Pimpinan pada tanggal 19 September 2015.

28

madrasah ini banyak yang dapat melanjutkan studi ke luar negeri seperti
Arab Saudi, Sudan, Yordan, Turki, Maroko, Mesir, Indonesia, Malaysia,
Brunei Darussalam, dan Yaman.52

E. PERAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PRESERVASI


IDENTITAS SOSIOKULTURAL-RELIGIUS DI THAILAND
SELATAN
Masyarakat Melayu Muslim di provinsi-provinsi Thailand Selatan yang
merupakan penduduk mayoritas di wilayah ini memiliki identitas Melayu
Muslim monolitik yang berbeda dari mayoritas Thai-Buddha di seluruh
negeri Thailand. Provinsi-provinsi Thailand Selatan ini merupakan medan
pemikiran dan praktek Islam yang menyerupai lebih kaleidoskop beraneka
ragam identitas sosiokultural-religius. Dalam konteks ini, Joseph Chinyong
Liow menyatakan:
Nowhere is this more evident than in the Muslimmajority southern provinces. While often portrayed as
possessing a monolithic Malay-Muslim identity in
contradistinction to the Thai-Buddhist majority across
the country, what often escapes scholarly attention is
the fact that the terrain of Muslim thought and
practice in the south resembles more a kaleidoscope
of variegated religio-cultural identities.53
Bagi masyarakat Muslim Melayu di Thailand Selatan,
lembaga pendidikan agama Islam merupakan identitas sosialreligius

mereka.

Hal

ini

seperti

dapat

dipahami

dari

pernyataan Surin Pitsuwan berikut:


Pondok telah menjadi ciri-ciri yang menonjol yang
menunjukkan perbedaan-perbedaan antara kedua
52Wawancara Ustadz Anan pada tanggal 19 September 2015.
53Joseph Chinyong Liow, Muslim Identity, Local Networks, and Transnational
Islam in Thailands Southern Border Provinces, Modern Asian Studies, 45
(2011), hlm. 1420.

29

golongan etnis Melayu-Muslim dan Thai-Buddhis. Oleh


karena itu, setiap upaya di pihak pemerintah untuk
mengubah pondok akan dianggap sebagai semacam
serangan langsung terhadap identitas Melayu itu
sendiri.54
Selain sebagai identitas sosial-religius, pendidikan agama Islam juga
memiliki peran dan fungsi untuk memelihara dan melestarikan identitas
sosiokultural-religius bagi sebuah masyarakat. Dalam konteks Filipina, Jeffrey
Ayala Milligan melaporkan bahwa Sekolah Pandita, suatu sekolah agama
tradisional seperti Tadika di Thailand Selatan, telah berhasil secara efektif
dalam membantu melakukan preservasi identitas kultural dan religius
masyarakat Muslim Filipina selama tiga abad melawan Spanyol yang
berusaha melakukan transformasi atas kedua identitias mereka. 55 Karena itu,
pada bagian lebih lanjut dari tulisan ini akan mengemukakan beberapa
identitas sosiokultural-religius masyarakat Melayu Muslim di tiga provinsi
Thailand Selatan dan metode yang diaplikasikan pendidikan agama Islam
dalam melakukan peran preservasi identitas sosiokultural-religius yang
dimaksud.
1. Ragam Identitas Sosiokultural-Religius
Pada bagian ini akan dipresentasikan temuan penelitian terkait dengan
beberapa identitas sosiokultural-religius yang secara langsung maupun
tidak langsung terkait dengan pendidikan agama Islam pada tiga madrasah
di tiga provinsi Thailand Selatan.

54Surin Pitsuwan, Islam and Malay Nationalism; A Case Study of the Malay
Muslim of Southern Thailand, diterjemahkan oleh Hasan Basari dengan judul
Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani (Cet. I; Jakarta:
LP3ES, 1989), hlm. 141.
55Jeffrey Ayala Milligan, Islamic Identity, Postcoloniality, and Educational
Policy: Schooling and Ethno-Religious Conflict in the Southern Philippines (New
York: Palgrave MacMillan, 2005), hlm. 34.

30

a. Bahasa Melayu dan Tulisan Jawi


Sebagaimana dinyatakan Jeffrey Ayala Milligan bahwa bahasa Melayu,
tulisan Jawi (Arab Melayu), dan pendidikan agama adalah tiga
serangkai dari identitas Melayu Muslim yang paling menjadi
perhatian.56 Sebenarnya, bahasa Melayu, tulisan Jawi, dan pendidikan
agama tidak pernah mati karena diperhatikan terus oleh masyarakat,
terutama melalui Tadika,57 atau sekolah diniyyah di masjid-masjid atau
mushalla, pondok pesantren, dan dalam keluarga.58
Surin Pitsuwan melaporkan bahwa kebanyakan To Khru (guru
kerohanian) menguasai bahasa Arab klasik dan Jawi (bahasa Melayu
dengan aksara Arab) dan (dulu) semua buku pelajaran ditulis dalam
bahasa Arab klasik atau Jawi.59 Catatan Pitsuwan ini sejalan dengan
penyataan salah seorang informan berikut ini: Tulisan Jawi (ArabMelayu), dulu (sekarang tinggal orang-orang tua) orang Melayu
Thailand Selatan lebih fasih dan lancar membaca dan menulis Jawi
dibandingkan dengan membaca dan menulis Thai.60 Secara implisit,
kedua pernyataan tersebut menunjukkan bahwa bahasa Melayu dan
terutama Tulisan Jawi telah dan sedang menghadapi tantangan
56Lihat: Milligan, Islamic, hlm. 32, 122.
57Di Filipina, lembaga pendidikan agama Islam seperti ini dikenal dengan sebuta
Sekolah Pandita yaitu: kelompok-kelompok kecil yang berada di masjid-masjid di
mana seorang yang berilmu mengajarkan agama Islam. Lihat: Milligan, Islamic,
hlm. 32.
58Ahmad Suaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai: Peran Civil Society
Muslim di Thailand Selatan dan Filipina Selatan (Cet. I; Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI dan CISEAS-The Wahid Institute,
2012), hlm. 130.

59Pitsuwan, Islam, hlm. 142; Dalam segi tulisan, hal ini sama yang terjadi dengan
Muslim Filipina yang sampai abad ke-20 masih menggunakan tulisan Arab dalam
komunikasi tulisan, baca: Milligan, Islamic, hlm. 34.
60Wawancara dengan Dr. Ni Loh pada tanggal 16 September 2015.

31

eksistensial dan survival. Memang, seperti yang dilaporkan Suaedy,


sekolah pemerintah memberi-kan pelajaran bahasa Melayu satu jam per
minggu termasuk pelajaran agama. Namun, perjuangan agar bahasa
Melayu menjadi alat komunikasi resmi di tempat kerja dan di sekolah
belum diluluskan pemerintah hingga kini.61
Dalam konteks madrasah, bahasa Melayu merupakan salah faktor
yang menjadi motivasi siswa untuk belajar di madrasah di Thailand
Selatan. Seperti dinyatakan Rakwiyah Madaoh, Dalam pengajian ini
kami suka bahasa Melayu karena di sini ada guru-guru yang mengajar
bahasa Melayu baku.62 Pendapat ini didukung Tasneem Maetalong
yang menyatakan, di sekolah kami dapat belajar bahasa Melayu.63
Sejalan dengan pendapat kedua siswa dari Madrasah Darussalam
Narathivat itu, bagi M.Syukri(Kan)danRidwan(Apicte),keduaanak
inimerupakansiswanonMelayudariMadrasahChongraksatWittaya
Pattani,bahwadiantaratujuanmerekabelajarkemadrasahiniadalah
untukbelajarbahasaMelayu.64

Dalam situasi konflik, penggunaan bahasa Melayu sedikit


menjadi masalah karena ada kecurigaan, seperti yang digambarkan oleh
Ustadz M. Wamae berikut: Untuk setelah konflik, keadaan yang
kurang aman nih. Apabila ia dibuka cakap Melayu kemesraan di

61Suaedy, Dinamika, hlm. 130.


62FGD dengan siswa Madrasah Darussalam Narathivat pada tanggal 15
September 2015.
63FGD dengan siswa Madrasah Darussalam Narathivat pada tanggal 15
September 2015.
64FGD dengan siswa Madrasah Chongraksat Wittaya Pattani pada tanggal 15
September 2015.

32

masyarakat agak kurang, ada rasa curiga dan menakutkan, keadaan


yang kurang aman. Tapi bukan semua oranglah, sebagian saja.65
Penggalakan penggunaan bahasa Melayu dirasakan mendapat
momentum yang tepat ketika akan diberlakukan ASEAN Community
dalam waktu dekat ini. Seperti tergambar dari pernyataan Ustadz
Muhammad Yari berikut ini:
Sekarangnihyangtamatdaripadauniversitibanyakyangtak
dapatkerja,sekarangnichsudahadaperingatankepadapelajar
manakalaadadatangASEANCommunityawakpandaibahasa
melayuadakekhususan,adakerjadiIndonesia,Malaysia.Itu
ajalahyangdapatmenggembirakannya.66
Pernyataan di atas didukung oleh Kepala Madrasah
Darussalam

Narathivat

yang

mengatakan

bahwa,

Selepas

daripada kerjanya ASEAN Community ini bahkan Kerajaan


menggalakkan daripada bahasa Melayu. Sekarang banyak pelajar
yang dapat bahasa Melayu, banyak bekerja di Pemerintahan.67
b. Busana Muslimah
Sebagaimana dijelaskan oleh Martin dan Nakayama, bahwa identitas
agama itu ditandai dengan busana yang dipakai.68 Seperti perempuanperempuan Muslimah lain yang taat di seluruh dunia Islam, bagi
perempuan Muslimah di Thailand Selatan berbusana Muslimah dengan
mengenakan baju kurung dan berjilbab merupakan identitas sosialkeagamaan yang penting. Bahkan, seperti yang dinyatakan oleh salah

65Wawancara dengan Ustadz M. Wamae pada tanggal 19 September 2015.


66Wawancara pada tanggal 15 September 2015.
67Wawancara pada tanggal 15 September 2015.
68Judith N. Martin & Thomas K. Nakayama, Intercultural, hlm. 192; pendapat ini
juga didukung oleh Patrick Jory, From, hlm. 263.

33

seorang informan,69 terdapat asumsi sosial bahwa wanita yang tidak


berjibab itu bukan Muslimah. Fakta dari asumsi sosial ini dapat
peneliti

ditemukan

di

tempat-tempat

keramaian

seperti

pusat

perbelanjaan. Di tempat seperti ini, kita dengan mudah dapat


membedakan seorang perempuan itu Muslimah atau bukan dengan
melihat busana yang dipakai; bila perempuan itu berjilbab dapat
dipastikan bahwa dia itu Muslimah. Kondisi ini berbeda dengan di
Indonesia, misalnya, di mana kita tidak dapat membedakan seorang
perempuan itu Muslimah atau bukan hanya dari busana yang dikenakan,
sebab tidak semua wanita Muslimah di Indonesia itu menggunakan
jilbab. Pengalaman peneliti sendiri ketika berbelanja di Big C, sebuah
supermarket di Pattani dekat dengan tempat penginapan kami,
membuktikan fenomena berbusana Muslimah ini. Pada saat kami
membeli pulsa, ternyata seorang wanita pelayan toko yang tidak
memakai jilbab dan itu orang Thai tidak dapat berbicara dalam bahasa
Melayu

atau

bahasa

Inggris

sehingga

kami

kesulitan

untuk

berkomunikasi. Dalam kondisi demikian, kami inisiatif untuk mencari


bantuan orang yang dapat berbicara dalam Melayu, dan dengan asumsi
di atas bahwa wanita Melayu itu pasti berbusana Muslimah dengan
berjilbab, maka kami dengan mudah dapat menemu-kan dan
memperoleh bantuan itu. Pengalaman peneliti ini sejalan dengan
pendapat salah seorang siswa dari Madrasah Thamavitya Mulniti Yala
yang berasal dari Terang, salah satu wilayah di Thaiand Selatan, yang
bernama Nasri. Dalam sebuah FGD, dia menyatakan:
Orang (laki-laki) di sini suka pakai songkok yang menunjukkan
bangsa Melayu, orang yang di daerah Terang kurang suka pakai
songkok. Orang sini agama kuat; Pergaulan di wilayah atas,
laki-laki perempuan lebih bebas, di sini ketat dan disiplin dalam
pergaulan laki dan perempuan. Di sini orang perempuan
menutup aurat; orang atas suka pakaian minim. Meskipun orang

69

34

Islam kalau di wilayah atas kurang suka menutup aurat,


sehingga seolah pengajaran agama tidak berguna.70
Deskripsi di atas menunjukkan bahwa berbusana Muslimah
dengan mengenakan baju kurung dan berjilbab bagi masyarakat Melayu
Muslim di Thailand Selatan merupakan identitas sosiokultural-religius
yang penting dan masih kuat dipegangi oleh masyakat. Dalam konteks
pelestarian dan penjagaan identitas ini, di ketiga madrasah yang diteliti
siswa-siswa putri semua diwajibkan berbusana Muslimah dengan
mengenakan baju kurung dan berjilbab.
c. Adat Istiadat Masyarakat Muslim
Seperti yang dijelaskan oleh Scupin,71 bahwa masyarakat Muslim
Melayu di Thailand Selatan itu memiliki beberapa adat istiadat sebagai
tradisi yang terkait dengan kehidupan dan kematian, seperti ritual yang
melibatkan makanan dan doa seperti selamatan untuk penguburan orang
meninggal, selamatan mawlid (peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad saw.), selamatan menempati rumah baru; upacara perjalanan,
upacara pemberian nama pada hari ketujuh kelahiran, khitanan, dan
khataman membaca Al-Quran pertama kali bagi anak.
Tradisi di atas merupakan kebiasaan yang sudah dilakukan oleh
masyarakat Muslim Melayu Thailand Selatan sejak dahulu dan secara
terus-menerus diwariskan kepada generasi muda mereka. Di antara
institusi sosial yang terlibat dalam proses pewarisan adat istiadat adalah
sekolah-sekolah agama dan keagamaan. Sebab, adat istiadat itu
merupakan tradisi dan manifestasi keagamaan yang dikonstruksi secara
sosial berdasarkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama Islam menurut
70FGD Siswa, Yala, 19/09/2015.

71Raymond Scupin, South Thailand: Politics, Identity, and Culture, The Journal of Asian
Studies, 72 (Mei 2013), hlm. 432.

35

interpretasi para ulama sesuai dengan mazhab keislaman yang mereka


ikuti. Dalam konteks masyarakat Muslim Melayu Thailand Selatan,
mayoritas ulama dan umat merupakan golongan Sunni dengan
mengikuti fikih mazhab Syafi`i dan mereka penganut dan pengamal
tasawuf.
Sebagaimana diuraikan terdahulu bahwa ketiga madrasah yang
diteliti ini berafiliasi dengan golongan Sunni dan bermazhab Syafi`i.
Dengan demikian, ketiga madrasah ini secara tidak langsung telah
melakukan fungsi dan peran preservasi adat istiadat sebagai salah satu
identitas sosiokultural-religius.
2. Metode Preservasi Identitas Sosiokultural-Religius
Pada bagian ini akan disajikan temuan penelitian terkait dengan beberapa
metode yang secara langsung maupun tidak langsung digunakan dalam
melakukan kegiatan preservasi identitas sosiokultural-religius yang terkait
dengan pendidikan agama Islam pada tiga madrasah di tiga provinsi
Thailand Selatan.
a. Kurikulum
Sebagai suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar
dan pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan
dirancangkan secara sistematis atas dasar norma-norma yang berlaku
yang dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi tenaga
kependidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan,72
kurikulum pada sebuah lembaga pendidikan memiliki peran dan posisi
sentral dan strategis.
Dalam konteks

preservasi

identitas

sosiokultural-religius,

penggunaan kurikulum sebagai metode itu terkait dengan afiliasi


mazhab mayoritas ulama dan masyarakat Melayu Muslim di Tahiland
72Dakir, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum (Cet. I; Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004),
hlm. 3.

36

Selatan yang merupakan golongan Sunni dengan mengikuti fikih


mazhab Syafi`i dan mereka penganut dan pengamal tasawuf.
Kurikulum yang dirancang dan digunakan oleh ketiga madrasah ini
dalam pembelajaran agama Islam itu hanya mengakomodasi satu fikih
mazhab Syafi`i. Di Madrasah Thammavitya Mulniti Yala, penggunaan
kurikulu pendidikan agama Islam bermazhab Syafi`i secara jelas dapat
dipahami dari pernyataan Ustadz Anan: Di sini mahzab Syafi`i; tidak
diajarkan mazhab lain.73 Hal ini dapat dipahami dari pernyatakan
Ustadz Nurdin, guru di Madrasah Chongraksat Wittaya Pattani, sebagai
berikut:
FikihyangdipakaihanyamazhabSyafiisaja;sebabkitabitu
khusus Syafiisaja. Anakanakakan tahumazhablainpada
peringkat universiti. Pada peringkat Tsanawi cukup satu
mazhabsaja.Tapibagiguruguruyangtahudiacakapbahwa
ini mazhab Syafii, ini mazhab Hanafi dan lainlain. Yang
pokokkitaSyafii.74
Lebihlanjut,UstadzNurdinmenjelaskandemikian:
Karena kami ini banyak (mazhab) Syafi`i maka kami
mengajarkan mazhab syafi`i, tapi ok lah kalau yang lain
mengajarkan mazhablain yangpentingsaling menghormati.
Di sini terjadi perselisihan dalam Islam antara kaum tuo
dengankaummudo.KaummudoituWahabi.Daniniterjadi
sudahlama.Duabelastahunlah.Tapidisini,semuaSyafi`i.75
Penggunaan kurikulum sebagai metode preservasi identitas
sosiokultural-religius masyarakat Melayu Muslim selain terkait
langsung dengan identitas mazhab keagamaan tersebut, pada dimensi
lebih jauh juga terkait dengan preservasi adat-istiadat masyarakat.
Seperti dijelaskan pada bagian terdahulu, bahwa masyarakat Melayu
73Wawancara pada tanggal 19 September 2015.
74Wawancara pada tanggal 15 September 2015.
75Wawancara pada tanggal 15 September 2015.

37

Muslim di Thailand Selatan itu memiliki adat-istiadat tertentu yang itu


hanya dapat diakomodasi oleh fikih mazhab Syafi`i. Dengan demikian,
pembatasan satu mazhab fikih Syafi`i dalam kurikulum madrasah
berkorelasi secara signifikan dengan preservasi adat-istiadat yang
merupakan salah satu identitas sosiokultural-religius bagi masyarakat
Melayu Musim di Thailand Selatan.
Selain terkait dengan identitas keagamaan dan adat-istiadat,
penggunaan kurikulum sebagai metode preservasi identitas sosiokultural-religius masyarakat Melayu Muslim juga berkaitan dengan identitas
bahasa Melayu dan Tulisan Jawi. Di Madrasah Thamavitya Mulniti,
Yala, bahasa Melayu dan tulisan Jawi di masih digunakan dalam satu
mata pelajaran al-Thaqfah76 yang berisi ajaran kearifan lokal yang
berbentuk pitutur orang-orang tua.
Di samping kegiatan intrakurikuler seperti diuraika di atas,
preservasi identitas sosiokultural-religius juga dilakukan melalui
kegiatan ekstrakurikuler. Sebagaimana dijelaskan Ustadz Hamdi, di
Madrasah

Chongraksat

Wittaya

Pattani

ada suatu program

menggalakkan bahasa Melayu bagi siswa yang tinggal di asrama,


terutama bagipelajar Siam(Utara,AtasnonMelayu).77 DiMadrasah
ThamavityaMulnitiYala,sepertidikatakanUstadzM.Wamae,ada
persatuan pelajar dari nonMelayu, gunanya untuk belajar bahasa
Melayusebagaitambahan.78

76Hj `Abd al-Rah mn Dwaniy, Thaqfah: Budaya Melayu (Pattani: Pustaka,


2004).
77Wawancara pada tanggal 15 September 2015.
78Wawancara pada tanggal 19 September 2015.

38

b. Komunikasi
Bahasa Melayu masih dominan menjadi bahasa pengantar dalam proses
kegiatan belajar mengajar di madrasah yag diteliti ini. Seperti
dijelaskan Ustadz Hamdi, bahwa proses belajar mengajar (di Madrasah
Chongraksat Wittaya Pattani) itu dalam bahasa Melayu.79 Memang
betul, bahwa di madrasah ini diadakan program khusus yang disebut
AEP (Arabic-English Program) akan tetapi program ini hanya untuk
kelas khusus dan terbatas. Bahkan, di Madrasah Thamavitya Mulniti
Yala, untuk pembelajaran mata pelajaran bahasa Arab saja masih
menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Hal ini seperti
dicerikan Ustadz Anan: 80% di kelas saya bahasa pengantar yang
saya pakai adalah bahasa Melayu.80 Selain sebagai bahasa pengantar
dalam proses belajar mengajar, di madrasah yang diteliti ini semua
warga madrasah menggunakan bahasa Melayu dalam berkomunikasi,
baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Memang, ada yang menarik
terkait dengan penggunaan bahasa tulisan. Di Madrasah Thamavitya
Mulniti Yala, bahasa Melayu dan tulisan Jawi digunakan untuk
memberikan label/nama kantor dan ruang-ruang bersama dengan
bahasa dan tulisan lain, seperti Arab, English dan Thai, sehingga untuk
satu ruang terdapat empat label/nama dengan bahasa dan tulisan yang
telah disebutkan.
c. Peraturan
Penggunaan aturan sebagai metode preservasi identitas sosiokulturalreligius lebih terkait dengan busana Muslimah. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa busana Muslimah orang Melayu itu adalah baju
kurung dan jilbab. Di ketiga madrasah yang diteliti ini, penggunaan
79Wawancara pada tanggal 15 September 2015.
80Wawancara pada tanggal 15 September 2015. Ustadz Anan mengajar mata
pelajaran Bahasa Arab.

39

busana Muslimah bagi siswa-siswa perempuan dan busana Muslim bagi


siswa-siswa laki-laki dengan ketentuan pokok menurut aurat merupakan
suatu kewajiban yang diatur sedemikian rupa. Bahkan, pelanggaran atas
peraturan

ini

dapat

konsekuensi

dikeluarkan

dari

madrasah.

Sebagaimana dikatakan Ustadz Nurdin, Disiniadaperaturantentang


kedisipilinan dan etika pergaulan. Bila dilanggar siswa akan
dikeluarkan.81

F. PENUTUP
Sebagai akhir dari pembahasan makalah ini, maka pada bagian penutup ini
akan dirumuskan kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut.
1. Kesimpulan
Identitas sosiokultural-religius adalah identitas sosial dan identitas kultural
atau budaya yang dibentuk dan dimiliki oleh suatu masyarakat berdasarkan
nilai-nilai dan ajaran agama yang dianut. Dalam konteks masyarakat
Melayu Muslim di provinsi-provinsi Thailand Selatan, identitas mereka
sebagai orang Melayu yang beragama Islam yang diekspresikan melalui
bahasa Melayu dan tulisan Jawi, busana Muslim/Muslimah, pendidikan
agama Islam, dan adat-istiadat masyarakat Melayu Muslim. Busana
Muslim yang menjadi identitas sosial masyarakat Melayu Muslim bagi
perempuan adalah baju kurung dan jilbab. Sementara itu, adat-istiadat
masyarakat Melayu Muslim yang berlaku sebagai tradisi itu terkait dengan
kehidupan dan kematian, seperti ritual yang melibatkan makanan dan doa
seperti selamatan untuk penguburan orang meninggal, selamatan mawlid
(peringatan hari kelahiran Nabi Muham-mad saw.), selamatan menempati
rumah baru; upacara perjalanan, upacara pemberian nama pada hari

81Wawancara pada tanggal 15 September 2015.

40

ketujuh kelahiran, khitanan, dan khataman membaca Al-Quran pertama


kali bagi anak.
Peran pendidikan agama Islam di ketiga madrasah yang diteliti
dalam preservasi identitas sosiokultural-religius dilakukan melalui tiga
metode dan pendekatan, yaitu: kurikulum, komunikasi, dan peraturan.
Penggunaan kurikulum sebagai metode itu mengambil dua bentuk, yaitu:
pertama, intrakurikuler, yang terkait dengan dua aspek, yaitu: (1) afiliasi
mazhab mayoritas ulama dan masyarakat Melayu Muslim di Tahiland
Selatan yang merupakan golongan Sunni dengan mengikuti fikih mazhab
Syafi`i dan mereka penganut dan pengamal tasawuf. Kurikulum yang
dirancang dan digunakan oleh ketiga madrasah ini dalam pembelajaran
agama Islam itu hanya mengakomodasi satu fikih mazhab Syafi`i; dan (2)
identitas bahasa Melayu dan Tulisan Jawi; kedua, ekstrakurikuler, berupa
kegiatan penggalaan bahasa Melayu bagi siswa non-Melayu yang tinggal
di asrama dan pembentukan persatuan pelajar dari nonMelayu untuk
belajar bahasa Melayu sebagai tambahan. Komunikasi sebagai metode
preservasi dilakukan dalam bentuk pemakaian bahasa Melayu sebagai
bahasa pengantar dalam proses kegiatan belajar mengajar di madrasah.
Selain itu, bahasa Melayu dan tulisan Jawi digunakan untuk memberikan
label/nama kantor dan ruang-ruang bersama dengan bahasa dan tulisan
lain. Penggunaan aturan sebagai metode preservasi identitas sosiokulturalreligius lebih terkait dengan busana Muslimah.
2. Rekomendasi
Merujuk pada kesimpulan dari kajian makalah ini, maka di sini dapat
dirumuskan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
a. Untuk melengkapi pembahasan makalah ini perlu dilakukan kajian
yang lebih mendalam beberapa model, pendekatan dan metode-metode
yang dapat digunakan secara efektif untuk melakukan preservasi
identitas sosiokultral-religius masyarakat Muslim;

41

b. Sebagai konsekuensi lebih lanjut dari perkembangan persoalan umat


manusia dalam pelbagai aspek, seperti aspek sosial, budaya, ekonomi,
politik, militer, hubungan internasional, pendidikan, religiusitas, dan
lain-lain maka perlu dilakukan rekonseptualisasi dan rekonstruksi
identitas sosiokultural-religius bagi masyarakat Muslim dengan
keragaman kawasan tempat tinggal dan keragaman budaya dan bahasa
masing-masing.

42

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qurn Al-Karm
Ah mad, Nzil S lih . Al-Tarbiyyat wa al-Mujtama`. Kairo: al-Maktabat al-Anjl
al-Misriyyah,
1978 M.

Al-Abrshiy, Muh ammad `At iyyah.Al-Tarbiyyat al-Islmiyyat wa Falsifatuh.


Cet. III; Mesir: `s al-Bbiy al-Halabiy wa Shurakh, 1975 M/1395 H.
Al-Kharjiy, `Abdullh. `Ilm al-Ijtim` al-Dniy. Cet. II: Jedah: al-Mamlakat al`Arabiyyat al-Su`diyyah, 1990 M/1410 H.
Booklet Chongraksat Wittaya School, 2015.
Booklet Darussalam School, 2015.
Dakir. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Cet. I; Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2004.
Darz, Muh ammad `Abdullh. Al-Dn: Buh th Mumahhadah li Dirsat Trkh
al-Adyn. Kuwait: Dr al-Qalam, 1952 M/1371 H.
Dwaniy, Hj `Abd al-Rah mn. Thaqfah: Budaya Melayu. Pattani: Pustaka,
2004.
Echols, John M. & Shadily, Hassan. Kamus Inggris Indonesia. Cet. XXIX;
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Feigenblatt, Otto Von. The Muslim Malay Community in Southern Thailand: A
Small People Facing Existential Uncertainty. Journal of Asia Pacific
Studies, 27 (Februari 2010), 5363.
Hornby, A.S. Oxford Advanced Learners Dictionary. Oxford: Oxford University
Press, 1995.
Jory, Patrick. From Melayu Patani to Thai Muslim: The Spectre of Ethnic
Identity in Southern Thailand. South East Asia Research, 15 (2007), 255
279.
Liow, Joseph Chinyong. Muslim Identity, Local Networks, and Transnational
Islam in Thailands Southern Border Provinces. Modern Asian Studies, 45
(2011), 13831421.
Madrasah Chongraksat Wittaya. Self Assessment Report, 2015.
Martin, Judith N. & Nakayama, Thomas K. Intercultural Communication in
Contexts. Edisi V; New York: McGraw-Hill, 2010.
Miles, M.B. & Huberman, A.M. Qualitative Data Analysis. Thousands Oaks:
SAGE Publications, 1994.

43

Milligan, Jeffrey Ayala. Islamic Identity, Postcoloniality, and Educational Policy:


Schooling and Ethno-Religious Conflict in the Southern Philippines. New
York: Palgrave MacMillan, 2005.
Mudmarn, Seni. Negara, Kekerasan dan Bahasa: Tinjauan atas Sejumlah Hasil
Studi mengenai Kaum Muslim Muangthai. Dalam Saiful Muzani (ed.),
Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Cet. I; Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia, 1993..
Muhaimin, et al. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2001.
Mujwir, Muh ammad S alh uddn `Al. Tadrs al-Tarbiyyat al-Islmiyyah:
Ususuh wa Tatbquh
al-Tarbawiyyah. Cet. III; Kuwait: Dr al-Qalam,

1983 M/1403 H.
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014 tentang
Pendidikan Keagama Islam.
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan Pendidikan Agama di Sekolah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Pitsuwan, Surin. Islam and Malay Nationalism; A Case Study of the Malay
Muslim of Southern Thailand. Diterjemahkan oleh Hasan Basari dengan
judul Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani. Cet. I;
Jakarta: LP3ES, 1989.
Profil Madrasah Darussalam, 2015.
Savitri, Setiawati Intan. Membangun Budaya Damai Berkesinambungan:
Pendekatan Teori Identitas Sosial, Etnosentrisme dan Psikologi Komunitas
di Poso, Sulawesi Tengah. Jurnal Psikologi Indonesia, 1 (2008), hlm. 22
30.
Scupin, Raymond. South Thailand: Politics, Identity, and Culture. The Journal
of Asian Studies, 72 (Mei 2013), 423432.
Suaedy, Ahmad. Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai: Peran Civil
Society Muslim di Thailand Selatan dan Filipina Selatan. Cet. I; Jakarta:
Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI dan CISEAS-The Wahid Institute, 2012.
Thailand dalam https://en.wikipedia.org/wiki/Thailand. Diakses pada tanggal 28
Agustus 2015.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. III; Cet.
IV; Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
44

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional.


Yamniy, Ah mad Zak. Al-Shar`at al-Khlidat wa Musykilt al-`As r. Cet. IV;
Riyad: al-Dr al-Su`diyyah, 1983 M/1403 H.

45

Anda mungkin juga menyukai