Anda di halaman 1dari 6

Kain Perca Ibu

Moms Patchwork
OLEH ANDREI AKSANA
Ada kebiasaan Ibu yang telah dilakukannya sejak menikah dengan
Bapak. Ibu selalu
Menyimpan pakaian-pakaian yang memiliki arti begitu mendalam
baginya.
Theres one thing that mom always do since she married to father.
Mom always keeps clothes that have deep meaning to her.
Salah satunya adalah kebaya pengantin lengkap dengan kain batik
pesisiran, rapi ia simpan di dalam koper kecil usang di bawah ranjang.
Setelah ijab kabul sekitar lima puluhan tahun silam, kebaya brokat putih itu
dikenakan untuk kedua kalinya ketika Mbak Ratih, kakak sulung kami,
bersanding dengan lelaki pilihan hatinya di pelaminan
One of clothes that she carefully kept inside small old suitcase
under the bed is wedding dress complete with its kain batik
pesisiran. After ijab kabul around fifty years ago, that white
wedding dress was wore for the second time by my sister Ratih, our
oldest sister beside her soulmate in pelaminan.
Sepanjang resepsi perkawinan Mbak Ratih, kami adik-adik perempuannya
menatap kagum sekaligus iri. Membayangkan betapa sakralnya riwayat
kebaya yang saat itu melekat di tubuh Mbak Ratih. Kebaya itu dijahitkan
sendiri oleh mendiang ibunya Ibu di tengah keadaan negeri yang sedang
porak-poranda.
Along Ratihs wedding celebration, we as her little sisters stared
proudly and jealously at the same time. We imagine how the sacral
of the wedding dress history attached in her body. That dress was
sewed by our grandma herself during the harsh situation of our
country.
Sekitar pertengahan tahun 1950-an Indonesia dalam keadaan darurat
perang karena banyaknya pemeberontakan di berbagai daerah di tanah air.
Militer memegang posisi yang menonjol dalam mengatur kehidupan
masyarakat. Kemiskinan terasa sampai ke pelosok-pelosok. Ibu dan Bapak
yang tinggal di pinggiran kota kecil Magelang dinikahkan secara sederhana
di tengah keadaan ekonomi yang kacau-balau. Banyak rakyat terpaksa
makan bulgur, semacam campuran ketan dan beras, yang menurut informasi
diperoleh dari sisa makanan ternak kiriman Amerika untuk membantu rakyat
Indonesia.
In the mid 1950s, Indonesia was in war and critical situation
because there were many rebellions in many places. Military held
powerful role to control peoples life. Poverty spread out and
reached even to remote areas. Mom and Dad lived in a small town in
Magelang and got married

Karena tidak punya uang untuk membeli kain brokat yang layak,
mendiang Eyang Putri terpaksa mengeluarkan gorden yang biasanya hanya
dipasang menghiasi ruang tamu untuk acara istimewa setahun sekali seperti
kaulan dan kendurian. Gorden yang terbuat dari kain semacam brokat itu
pun digunting Eyang Putri dan dijahit menjadi kebaya pengantin. Seusai
menikah, Bapak yang tentara itu harus buru-buru berangkat ke medan
perang melawan pemberontak.
We didnt have enough money to buy a good kain brokat.
Sejarahnyalah yang membuat kebaya itu begitu terasa mahal saat
dikenakan oleh Mbak Ratih yang menjadi pengantin. Entah bagaimana cara
Ibu menyimpannya. Kebaya itu masih tampak sekemilau dulu. Ibu menisik
dengan sangat hati-hati bagian-bagian yang mulai renggang dan
menambahkan manik-manik agar terlihat lebih indah dan modern.
Mewariskan pakaian lama itu merupakan pertanda cinta Ibu kepada
keturunannya. Bagi kami pun sudah menjadi semacam tradisi yang
ditunggu-tunggu. Ibu hanya melakukannya untuk momen-momen penting
bagi keluarga kami. Sebelum memberikannya, biasanya Ibu mengumpulkan
semua anak perempuannya di ruang tengah, kami duduk bersila di lantai,
Ibu duduk di kursi menceritakan terlebih dulu riwayat pakaian itu. Kami
seperti terseret pada kenangan masa lalu yang mengharu biru. Lalu kami
semua berharap-harap cemas menantikan siapakah yang menjadi orang
yang beruntung hari itu.
Ketika putri pertama Mbak Ratih lahir, yang juga menjadi cucu pertama
Ibu, Ibu melungsurkan selimut dan baju bayi yang dulu membungkus tubuh
mungil Mbak Ratih ketika pertama kali menghirup udara bebas di barak
militer karena saat itu negara sedang sibuk menumpas pemberontakan.
Bayangkan. Betapa Ibu tidak pernah melewatkan setiap peristiwa penting
dalam kehidupannya.
Jika bukan kami yang terpilih, dan tidak beruntung pada hari itu, kami
akan masuk ke kamar masing-masing dengan kepala menunduk, menyimpan
tangis kami diam-diam. Karena itu artinya kami belum dianggap istimewa
oleh Ibu.

Tradisi itu berlanjut hingga kami, anak-anak perempuan Ibu, pindah


berpencar ke kota-kota lain, menikah dan punya anak. Aku merantau ke
Jakarta, bekerja dan menikah dengan Mas Harris. Mbak Ratih pindah ke
Bandung mengikuti suaminya. Mbak Suti menetap di Semarang dengan
keluarganya. Laras, adik bungsu kami, memilih tinggal di Bogor dengan
suami dan anak-anaknya. Hanya Ibu dan Bapak yang berkeras tetap tinggal
di Magelang, meskipun Bapak sudah pensiun dari ketentaraan.
Setiap Lebaran kami berkumpul di sana, setelah acara sungkem dan
makan ketupat opor buatan Ibu, kami akan berkumpul di ruang tengah.
Seperti dulu. Hanya kali ini dengan anggota yang lebih banyak. Karena
ditambah dengan cucu-cucu Ibu yang sudah berjumlah delapan orang. Dua
orang cucu dari Mbak Ratih, tiga dari Mbak Suti, satu dari aku, dua dari
Laras.

Perasaan kami masih seperti dulu, berdebar-debar cemas, menunggu


siapakah yang dipilih Ibu pada Lebaran tahun ini. Sedangkan bagi anak-anak
kami, cerita Ibu seperti dongeng sejarah yang mengagumkan. Mungkin di
benak mereka seperti melihat film dokumenter dengan layar hidup.
Siapa yang beruntung mendapatkan lungsuran pakaian merasa seperti
menjadi pemenang lotre miliaran rupiah. Dan sepanjang tahun, cerita itu
akan didengung-dengungkan terus di antara keluarga kami. Menjadi topik
hangat sampai tiba Lebaran berikutnya.

Yang paling berkesan bagiku adalah Lebaran lima tahun yang lalu. Ibu
menyerahkan kebaya Kartini berukuran mungil dengan sulaman emas yang
cantik sekali. Menurut Ibu, itu adalah kebaya yang kupakai saat perayaan
hari Kartini kretika aku masih kelas satu sekolah dasar. Ketika itu aku diminta
oleh guru menjadi Kartini dalam sandiwara yang dipentaskan di sekolah, lalu
diajak berkeliling kecamatan bersama pawai sekolah.
Kebaya itu yang kemudian dikenakan oleh putriku saat pawai yang sama
tiga puluh tahun kemudian. Mataku berkaca-kaca melihat putriku yang
mungil tampak begitu jelita dalam balutan kebaya beludru. Ibu bercerita,
beludru itu diperolehnya dari tetangganya yang juru rias pengantin. Ibu
menjahit sendiri dan menambahkan sulaman emas ke ujung bawah kebaya.
Kini aku mengerti betapa besarnya cinta Ibu kepadaku.
Menyadari betapa sehelai pakaian bisa merekam begitu banyak peristiwa
penting dalam hidup kami, maka kami pun mengikuti jejak Ibu menyimpan
semua pakaian yang kami anggap memiliki nilai sejarah. Kelak saat anakanak kami dewasa nanti, kami akan menyerahkannya satu per satu kepada
mereka dengan cerita yang membuat harganya tidak bisa diukur dengan
mata uang mana pun.

Tradisi itu berhenti ketika suatu pagi Ibu menelpon kami sambil terisakisak. Hanya menangis. Tidak ada kata-kata yang tercetus dari mulutnya yang
penuh air mata. Kami tahu apa yang terjadi, dan segera berangkat ke
Magelang dengan pesawat paling pagi.
Kami menguburkan jasad Bapak keesokan harinya di pemakaman umum
dekat rumah agar Ibu mudah kapan pun ingin nyekar. Karena kami semua
bekerja, kami sepakat untuk bergantian menjaga Ibu selama masa
berkabung. Aku mengambil cuti untuk bisa menemani Ibu selama masa
berkabungnya. Ibu melewati kesedihannya ditinggal Bapak. Tapi rupanya
kehadiranku sepert tidak nyata di mata Ibu. Ibu yang dulu begitu periang dan
senang mengobrol sekarang menjadi pendiam dan sering duduk melamun di
beranda. Di sana biasanya Ibu biasanya menemani Bapak melewati waktu
senja, minum kopi tubruk dan pisang goreng, sambil bernostalgia. Aku
memahami kepedihan Ibu. Jadi aku biarkan saja Ibu dengan dunianya. Aku
duduk menemaninya di sana. Sama-sama diam. Yang penting aku bisa
memastikan Ibu tetap sehat dan tidak kekurangan suatu apa.
Setelah lewat berbulan-bulan, kami melihat kondisi Ibu mulai cukup
tenang. Kami, anak-anak perempuan Ibu, berembuk untuk membujuk Ibu

menjual rumah lalu pindah tinggal di rumah salah satu dari kami. Ibu boleh
memilih ingin tinggal di Bandung, Semarang, Bogor, atau Jakarta. Mbak Ratih
yang kami minta mewakili pergi ke Magelang untuk meluluhkan hati Ibu. Dari
semua anak perempuannya, Mbak Ratih yang paling banyak mendapatkan
lungsuran pakaian simpanan Ibu.
Mbak Ratih pulang tanpa membawa Ibu. Ibu berkeras tinggal sendiri di
Magelang, dengan seorang pembantu. Hidup dengan segala kenangannya
tentang Bapak.

Mbak Suti yang tinggal paling dekat dengan Ibu sering kali harus pulang
pergi Semarang-Magelang untuk mengawasi keadaan Ibu. Kami merasa
kasihan pada Mbak Suti karena selain bekerja, ia juga mengurus anakanaknya sendiri.
Supaya Ibu tidak terlalu larut dengan kesedihan, akhirnya kami
berkompromi bergantian membelikan tiket pesawat untuk Ibu. Dengan
begitu Ibu bisa bergantian menginap di rumah kami, mengunjungi anak-anak
dan cucunya secara rutin. Mungkin dengan berada di antara kami, hati Ibu
akan sedikit terhibur. Ibu bersedia, tapi tidak bersedia naik pesawat.
Terpaksa kami membelikannya karcis kereta api, meskipun khawatir dengan
keadaan fisiknya yang mulai renta.
Rupanya Ibu bahagia naik kereta api. Ibu bisa mengingat kembali masamasa pacaran dan bulan madunya bersama almarhum Bapak, bertemu di
peron, dan bepergian naik kereta api.
Sesibuk apa pun, aku sekeluarga selalu menyempatkan menjemput Ibu di
stasiun. Aku, suamiku, dan putriku. Ibu memeluk kami erat-erat. Tampak
bahagia bertemu kami. Meskipun aku melihat ada ruang kosong di matanya.
Ada yang hilang dalam setiap pertemuan kami. Ibu tidak pernah lagi
melungsurkan pakaian-pakaian lamanya. Kami pun tidak berani
mengungkitnya. Mungkin Ibu butuh waktu untuk pulih. Karena kini
menceritakan kenangan berarti mengungkit lagi kesedihannya. Semua saat
yang bernilai baginya tentu erat berkaitan dengan almarhum Bapak. Ibu
melahirkan Mbak Ratih ketika Bapak harus bertugas menumpas
pemberontakan. Ibu menamakanku Sri karena bidan bernama Sri yang
dijemput Bapak subuh-subuh naik sepeda ontel untuk membantu persalinan
Ibu melahirkanku. Dan semua hal yang dulu terasa patriotik sekarang
menjadi begitu pedih. Karena Bapak telah pergi.

Rupanya dalam setahun Ibu menemukan dirinya kembali. Lebaran tahun


itu, ketika kami menjenguknya di Magelang, Ibu kembali kepada tradisi
lamanya. Ibu mengumpulkan kami semua di ruang tengah dan mulai
bercerita. Satu per satu peristiwa diceritakan dengan rinci oleh Ibu. Kami
menyimak sungguh-sungguh. Di saat kami tengah hanyut dengan ceritanya,
Ibu mengeluarkan sehelai kain lebar, membentangkannya di hadapan kami.
Kami terbelalak melihat hamparan kain berisi potongan-potongan kain perca
yang disambung dan dijahit menjadi bed cover.

Semua peristiwa yang baru saja diceritakannya itu tiba-tiba saja terobekrobek, menjadi potongan-potongan yang tidak bernilai, menjadi seonggok
bed cover lebar.
Kita ndak boleh termakan kenangan, begitu kata Ibu, tersendat. Kita
bisa mati merana.

Sekarang setiap kali mengunjungi rumah anak-anaknya, Ibu selalu


meminta kami mengeluarkan pakaian-pakaian lama yang masih kami
simpan. Dengan berat hati kami memberikannya. Di hadapan kami juga, Ibu
menggunting pakaian-pakaian itu menjadi potongan-potongan kain perca.
Kami yang sejak kecil terbiasa mendengarkan betapa pakaian menyimpan
nilai sejarah, jadi merasa seperti teriris-iris.
Pada kunjungan berikutnya, potongan-potongan kain perca itu telah
dijahit Ibu, dan berubah menjadi bermacam-macam fungsi. Kemahiran Ibu
menjahit rupanya tidak termakan usia. Ibu menyulapnya menjadi seprai,
sarung bantal, taplak meja, yang menawan.
Kadang-kadang kami usil memesan Ibu untuk menjahitkan kain perca itu
menjadi bermacam-macam hal remeh seperti serbet, keset, sampai tutup
galon mineral. Mbak Ratih malah pernah mengusulkan agar Ibu membuka
bursa pengumpulan baju bekas di rumahnya, lalu menjual hasil jahitan kain
percanya.
Kini kami terbiasa menertawakan sejarah. Di rumahku misalnya. Kami
melihat kemeja kerja suamiku yang pertama kali dikenakan ketika naik
jabatan menjadi alas piring makan kami. Atau baju batikku ketika menghadiri
pementasan tari putriku menjadi tatakan gelas minum. Sungguh lucu
rasanya. Kami tertawa-tawa mengingat semua peristiwa itu.
Now, we are accustomed to laugh history. In my house, for
instance, we saw my husbands first shirt that he wore in his
promotion as our napkin.

Suatu pagi pembantu di rumah Ibu meneleponku dengan suara panik. Ibu
terjatuh di kamar mandi. Aku langsung berangkat naik pesawat dengan
jadwal paling awal. Sesampainya di Magelang, semua anak perempuan Ibu
sudah berkumpul. Aku melihat Ibu telah dibaringkan di ranjang di ruang
tengah, tempat kami biasa berkumpul. Jasad Ibu diselubungi kain perca
jahitannya sendiri.
Aku menghambur memeluk Ibu. Mencium punggung tangannya dengan
penuh bakti untuk terakhir kali.
One morning moms servant called me with a panic voice. Mom
fell down on the bathroom. I straightly flew with the earliest flight
schedule. As I arrived in Magelang, all of moms daughters had
gathered. I saw mom laid at rest in a bed in the living room, a place
where we usually gather.
Her body was covered by her own patchwork sewed by herself. I
ran to give her hug and kiss her palm with a full of respect for the
last time.


Seminggu setelah kepergian Ibu, baru kami memiliki kekuatan untuk
membereskan barang-barang penginggalan Ibu. Kami melakukannya
bersama-sama. Keempat anak perempuan Ibu. Kami melangkah masuk
kamar Ibu dengan air mata tertahan.
Perlahan kami membuka lemari pakaian Ibu. Menemukan setumpuk
pakaian Bapak di sudut sana. Utuh. Terlipat rapi. Tidak digunting Ibu menjadi
potongan-potongan kain perca.
A week after her death, we just had strength to tidied up moms
stuffs that she left. We did it together, all of us, her four daughters.
We slowly took a step towards our moms room and fought back our
tears.
We slowly opened moms cupboard. On the edge, we found a
bunch of fathers clothes there, completely kept and neatly folded.
Mom didnt cut it into a patchwork at all.

Anda mungkin juga menyukai