Anda di halaman 1dari 45

KEMAJUAN DINASTI ABBASIYAH DALAM BIDANG SOSIAL

BUDAYA

Sebagai sebuah
dinasti, kekhalifahan Bani Abbasiyah yang berkuasa lebih dari lima
abad, telah banyak memberikan sumbangan positif bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Dari
sekitar 37 orang khalifah yang pernah berkuasa, terdapat
beberapa orang khalifah yang benar-benar memiliki kepedulian
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam,
serta berbagai bidang lainnya, seperti bidang-bidang sosial dan
budaya.
Kemajuan dalam bidang sosial budaya diantaranya adalah
terjadinya proses akulturasi dan asimilasi masyarakat. Keadaan
sosial masyarakat yang majemuk itu membawa dampak positif
dalam perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa
ini. Karna dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
mereka miliki, dapat dipergunakan untuk memajukan bidangbidang sosial budaya lainnya yang kemudian menjadi lambang
bagi kemajuan bidang sosial budaya dan ilmu pengetahuan
lainnya.
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan sosial budaya yang ada
pada masa Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah adalah seni bangunan
dan arsitektur, baik untuk bangunan istana, masjid, bangunan
kota dan lain sebagainya. Seni asitektur yang dipakai dalam
pembangunan istana dan kota-kota, seperti pada istana Qashrul
Dzahabi, dan Qashrul Khuldi, sementara bangunan kota seperti
pembangunan kota Baghdad, Samarra dan lain-lainnya.
Kemajuan juga terjadi pada bidang sastra bahasa dan seni
musik. Pada masa inilah lahir seorang sastrawan dan budayawan
terkenal, seperti Abu Nawas, Abu Athahiyah, Al Mutanabby,
Abdullah bin Muqaffa dan lain-lainnya. Karya buah pikiran mereka

masih dapat dibaca hingga kini, seperti kitab Kalilah wa


Dimna dan lain sebagainya. Sementara tokoh terkenal dalam
bidang musik yang kini karyanya juga masih dipakai adalah Yunus
bin Sulaiman, Khalil bin Ahmad, pencipta teori musik Islam, Al
farabi dan lain-lainnya.
Selain bidang-bidang tersebut diatas, terjadi juga kemajuan
dalam bidang pendidikan. Pada masa-masa awal pemerintahan
Dinasti Abbasiyah, telah banyak diusahakan oleh para khalifah
untuk mengembangakan dan memajukan pendidikan. Karna itu
mereka kemudian mendirikan lembaga-lembaga pendidikan,
mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi.
KEMAJUAN DALAM BIDANG POLITIK DAN MILITER

Di antara
perbedaan karakteristik yang sangat mancolok antara
pemerintahan Dinasti Umayyah dengan Dinasti Abbasiyah,
terletak pada orientasi kebijakan yang dikeluarkannya.
Pemerintahan Dinasti Umayyah orientasi kebijakan yang
dikeluarkannya selalu pada upaya perluasan wilayah kekuasaan.
Sementara pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah, lebih
menfokuskan diri pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan
dan peradaban Islam, sehingga masa pemerintahan ini dikenal
sebagai masa keemasan peradaban Islam. Meskipun begitu,
usaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan tetap
merupakan hal penting yang harus dilakukan. Untuk itu,
pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah memperbaharui sistem
politik pemerintahan dan tatanan kemiliteran. Agar semua
kebijakan militer terkoordinasi dan berjalan dengan baik, maka
pemerintah Dinasti Abbasiyah membentuk departemen
pertahanan dan keamanan, yang disebut Diwanul Jundi.

Departemen inilah yamg mengatur semua yang berkaitan dengan


kemiliteran dan pertahanan keamanan. Pembentukan lembaga ini
didasari atas kenyataan politik militer bahwa pada masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, banyak terjadi pemberontakan
dan bahkan beberapa wilayah berusaha memisahkan diri dari
pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
KEMAJUAN DALAM BIDANG ILMU PENGETAHUAN

Keberahasilan umat Islam pada


masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dalam pengembangan ilmu
pengetahuan sains dan peradaban Islam secara menyeluruh, tidak
terlepas dari berbagai faktor yang mendukung. Di antaranya
adalah kebijakan politik pemerintah Bani Abbasiyah terhadap
masyarakat non Arab (Mawali), yang memiliki tradisi intelektual
dan budaya riset yang sudah lama melingkupi kehidupan mereka.
Mereka diberikan fasilitas berupa materi atau finansial dan tempat
untuk terus melakukan berbagai kajian ilmu pengetahuan malalui
bahan-bahan rujukan yang pernah ditulis atau dikaji oleh
masyarakat sebelumnya. Kebijakan tersebut ternyata membawa
dampak yang sangat positif bagi perkembangan dan kemajuan
ilmu pengetahuan dan sains yang membawa harum dinasti ini.
Dengan demikian, banyak bermunculan banyak ahli dalam
bidang ilmu pengetahaun, seperti Filsafat, filusuf yang terkenal
saat itu antara lain adalah Al Kindi (185-260 H/ 801-873 M). Abu
Nasr al-faraby, (258-339 H / 870-950 M) dan lain-lain. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan peradaban islam juga terjadi pada bidang
ilmu sejarah, ilmu bumi, astronomi dan sebagainya. Diantara
sejarawan muslim yang pertama yang terkenal yang hidup pada
masa ini adalah Muhammad bin Ishaq (152 H / 768 M).

KEMAJUAN DALAM ILMU AGAMA ISLAM

Masa pemerintahan Dinasti


Abbasiyah yang berlangsung lebih kurang lima abad (750-1258
M), dicatat sebagai masa-masa kejayaan ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban
Islam ini, khususnya kemajuan dalam bidang ilmu agama, tidak
lepas dari peran serta para ulama dan pemerintah yang memberi
dukungan kuat, baik dukungan moral, material dan finansial,
kepada para ulama. Perhatian yang serius dari pemerintah ini
membuat para ulama yang ingin mengembangkan ilmu ini
mendapat motivasi yang kuat, sehingga mereka berusaha keras
untuk mengembangkan dan memajukan ilmu pengetahuan dan
perdaban Islam. Diantara ilmu pengetahuan agama Islam yang
berkembang dan maju adalah ilmu hadist, ilmu tafsir, ilmu fiqih
dan tasawuf.
Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah
bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah
penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat
dikatakan kebangkitan Daulah Abbasiyah merupakan suatu
revolusi.
Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri
yang menjadi identitas revolusi yaitu :
1.

Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa


mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan
kekecewaan penderitaan masyarakat yang di
sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang
berkuasa itu.

2.

Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena


kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang
ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.

3.

Terjadinya penyebrangan kaum intelektual dari mendukung


ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan
oleh para kritikus.

4.

Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan


digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan,
melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena hal-hal
tertentu yang merasa tidak puas dengan sistem yang ada.

Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat


yang menjadi pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu
dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam
memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga
besar paman Nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari namanya
Dinasti itu disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah
dan Khurasan. Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga
Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun
pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan
dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya
menganut aliran Syiah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia
bermusuhan secara terang-terangan dengan golongan Bani
Umayyah. Demikian pula dengan Khurasan, kota
yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai
warga yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap
tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak
mudah bingung dengan kepercayaan yang menyimpang. Disinilah
diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan dukungan.
Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, gerakan Bani
Abbas dilakukan dalam dua fase yaitu : 1) fase sangat rahasia;
dan 2) fase terang-terangan dan pertempuran (Hasjmy,
1993:211). Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan
dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim keseluruh pelosok
negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari
golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang
pada mulanya mendukung Bani Umayyah. Setelah Muhammad
meninggal dan diganti oleh anaknya Ibrahim, maka
seorang pemuda Persia yang gagah berani dan cerdas bernama

Abu Muslim al-Khusarany, bergabung dalam gerakan rahasia ini.


Semenjak itu dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan,
kemudian cara pertempuran. Akhirnya bulan Zulhijjah 132 H
Marwan, Khalifah Bani Umayyah terakhir terbunuh di Fusthath,
Mesir. Kemudian Daulah bani Abbasiyah resmi berdiri.
SISTEM PEMERINTAHAN, POLITIK DAN BENTUK NEGARA

Pada zaman Abbasiyah


konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut
pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada
pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan
dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar
pada zaman khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan
perkataan Khalifah Al-Mansur Saya adalah sultan Tuhan diatas
buminya. Pada zaman Dinasti Abbasiyah, pola pemerintahan
yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh
Daulah Bani Abbasiyah I antara lain:
1.

Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para


menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya
dipilih dari keturunan Persia dan mawali.

2.

Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang


menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan
kebudayaan.

3.

Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat


penting dan mulia.

4.

Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.

5.

Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk


menjalankan tugasnya dalam pemerintah (Hasjmy,
1993:213-214).

Selanjutnya periode II, III, IV, kekuasaan Politik Abbasiyah


sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral.
Hal ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan
kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat, kecuali
pengakuan politik saja. Panglima di daerah sudah berkuasa di
daerahnya, dan mereka telah mendirikan atau membentuk
pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya Daulah-Daulah
kecil, contoh;Daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol,
Daulah Fatimiyah. Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah
ada 2 tindakan yang dilakukan oleh para Khalifah Daulah Bani
Abbasiyah untuk mengamankan dan mempertahankan
dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya
pemberontakan yaitu: pertama, tindakan keras terhadap Bani
Umayah. dan kedua pengutamaan orang-orang turunan persi.

Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah


pada waktu itu dibantu oleh seorang Wazir (perdana mentri) atau
yang jabatanya disebut dengan Wizaraat. Sedangkan wizaraat itu
dibagi lagi menjadi 2 yaitu: 1) Wizaraat Tanfiz
(sistem pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai
pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah. 2) Wizaaratut
Tafwidl (parlemen kabimet). Wazirnya berkuasa penuh
untuk memimpin pemerintahan. Sedangkan Khalifah sebagai
lambang saja. Pada kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai
pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya
Khalifah (Lapidus,1999:180). Selain itu, untuk membantu Khalifah
dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan
yang bernama Diwanul Kitaabah (sekretariat negara) yang
dipimpin oleh seorang Raisul Kuttab(sekretaris negara). Dan

dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa


raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha
negara bersifat sentralistik yang dinamakan An-Nidhamul Idary AlMarkazy. Selain itu, dalam zaman Daulah Abbassiyah juga
didirikan angkatan perang, amirul umara, baitul maal, organisasi
kehakiman., Selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang
diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, ekonomi dan budaya.
Dalam versi yang lain yang, para sejarawan biasanya membagi
masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi empat periode :

1.

Periode pertama (750847 M)

Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai


masa keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh
yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat
tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat


singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu,
pembina sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Jafar alMansur (754775 M). Pada mulanya ibu kota negara adalah alHasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan
menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansur
memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya,

yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun


762M. Dengan demikian, pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah
berada ditengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini
al-Mansur melakukan konsolidasi dan
penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal
untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di
bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan
mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Jabatan wazir
yang menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan
menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada di
tangan keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia
(Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian
digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini
kemudian mengangkat anaknya, Jafar bin Yahya, menjadi wazir
muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi
Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada masa
tersebut persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak
ditangani keluarga Persia itu. Masuknya keluaraga non Arab ini ke
dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Daulah
Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi ke Arab.

Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara,


sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi
angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd alRahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan
pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah
ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu
hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur,
jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di

daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan


lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah
laku Gubernur setempat kepada Khalifah.
Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerahdaerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan
pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di
pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan
selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti
tahunan. Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah kembali
berubah. Konsep khilafah dalam pandangannya - dan berlanjut ke
generasi sesudahnya - merupakan mandat dari Allah, bukan dari
manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada
masa al Khulafa al-Rasyidin. Popularitas Daulah Abbasiyah
mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun al Rasyid (786-809
M) dan putranya al-Mamun (813-833 M). Kekayaan yang
banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial,
rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan.
Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman Khalifah
ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada
zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam
menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi
(Yatim, 2003:52-53).

Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah


Harun al-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah yang memang
sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban

dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara


Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
Al-Makmun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah yang
sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya,
penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan
sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah
pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang
berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang
besar. Pada masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi
pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Al-Muktasim, Khalifah
berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar kepada orangorang Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Demikian ini di
latar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan
Persia pada masa al-Mamun dan sebelumnya. Keterlibatan
mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti
pada masa Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan
perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang Muslim
mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus
menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan
militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang
mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri
maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa
Dinasti Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas dan lainlain semuanya dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para
Khalifah mempunyai prinsip kuat sebagai pusat politik dan agama
sekaligus. Apabila tidak, seperti pada periode sesudahnya,
stabilitas tidak lagi dapat dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri
berada dibawah pengaruh kekuasaan yang lain.
2. Periode kedua (847-945 M)
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan
besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah
mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan
cenderung mencolok. Kehidupan mewah para Khalifah ini ditiru
oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Demikian ini
menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi

miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional


asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mutasim untuk
mengambil alih kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil,
sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka,
sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah
Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal
dari keruntuhan Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih
dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.

Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari


periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah. Pada masa
pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan
dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah
yang memilih dan mengangkat Khalifah. Dengan demikian
kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun
mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada usaha
untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu
gagal. Dari dua belas Khalifah pada periode kedua ini, hanya
empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan
dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan paksa. Wibawa
Khalifah merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan
sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang
kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat,
mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan masa
disintregasi dalam sejarah politik Islam.
Adapun faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran
Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai berikut:

1.

Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus


dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan
dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan
para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.

2.

Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada


mereka menjadi sangat tinggi.

3.

Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara


sangat besar. Setelah Khalifah merosot, Khalifah tidak
sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.

3. Periode ketiga (945 -1055 M)

Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah


kekuasaan Bani Buwaih. Keadaan Khalifah lebih buruk dari
sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut
aliran Syiah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah
dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga
bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan
untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah Al- Ahwaz,
Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini
tidak lagi merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah
pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki
kekuasaan Bani Buwaih.Meskipun demikian, dalam bidang ilmu
pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada
periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti
al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi
Ikhwan as-Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan
juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan
pembangunan masjid dan rumah sakit. Pada masa Bani Buwaih
berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran

antara Ahlussunnah dan Syiah, pemberontakan tentara dan


sebagainya.
4. Periode keempat (1055-1199 M)
Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah
Abbasiyah. Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas undangan
Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di Baghdad.
Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak
karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah
beberapa lama dikuasai oleh orang-orang Syiah. Sebagaimana
pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang
pada periode ini.

Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp


Arselan dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067
M) danMadrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah
Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan
Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi
dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak
cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para
cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode
ini adalah Al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul
al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, Al-Ghazali dalam
bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam
bidang ilmu perbintangan. Dalam bidang politik, pusat kekuasaan
juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah
kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur
untuk mengepalai masing-masing propinsi tersebut. Pada masa
pusat kekuasaan melemah, masing-masing propinsi tersebut
memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di
antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi
sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama
untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di
tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.

PERKEMBANGAN INTELEKTUAL

Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai


puncak kejayaan pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid,
kemajuan intelektual pada waktu itu setidaknya dipengaruhi oleh
dua hal yaitu:

1.

2.

Terjadinya Asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa


lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu
pengetahuan. Pengaruh Persia pada saat itu sangat penting
dibidang pemerintahan. selain itu mereka banyak berjasa
dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Sedangkan
pengaruh Yunani masuk melalui terjemah-terjemah dalam
banyak bidang ilmu, terutama Filsafat.
Gerakan Terjemah. Pada masa daulah ini usaha
penerjemahan kitab-kitab asing dilakukan dengan giat sekali.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan
ilmu pengetahuan umum terutama di bidang astronomi,
kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dari gerakan ini
muncullah tokoh-tokoh Islam dalam ilmu pengetahuan,
antara lain; Bidang filsafat: al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah,
Ibnu Tufail, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusydi.
1. Bidang kedokteran: Jabir ibnu Hayan, Hunain bin Ishaq,
Tabib bin Qurra, Ar-Razi.
2. Bidang Matematika: Umar al-Farukhan, al-Khawarizmi.
3. Bidang astronomi: al-Fazari, al-Battani, Abul watak, alFarghoni dan sebagainya.

Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli


pengetahuan, para alim ulama, berhasil menemukan berbagai
keahlian berupa penemuan berbagai bidang-bidang
ilmu pengetahuan, antara lain :

I.

Ilmu Umum
Ilmu Filsafat

236 judul.

Al-Kindi (809-873 M) buku karangannya sebanyak

Al Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80


tahun.

Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H)

Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H)

Ibnu Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang


terkenal antara lain: Shafa, Najat, Qoman, Saddiya dan lain-lain.

Al Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai


Hujjatul Islam, karangannya: Al Munqizh Minadl-Dlalal,Tahafutul
Falasifah,Mizanul Amal,Ihya Ulumuddin dan lainlain.

Ibnu Rusd (1126-1198 M). Karangannya :


Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah dan lain-lain

Bidang Kedokteran

Jabir bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai bapak Kimia.

Hurain bin Ishaq (810-878 M). Ahli mata yang terkenal disamping
sebagai
penterjemah bahasa asing.

Thabib bin Qurra (836-901 M)

Ar Razi atau Razes (809-873 M). Karangan yang


terkenal mengenai cacar dan campak yang diterjemahkan dalam
bahasa latin.

Bidang Matematika
Umar Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.

Al Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu


angka (0).

Bidang Astronomi
Berkembang subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak
para ahli yang terkenal dalam perbintangan ini seperti :

Al Farazi : pencipta Astro lobe

Al Gattani/Al Betagnius
Abul wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan

Al Farghoni atau Al Fragenius

Bidang Seni Ukir

Beberapa seniman ukir terkenal: Badr dan Tariff (961-976 M)


dan ada seni musik, seni tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis
dan seni bangunan.
II.

Ilmu Naqli

Ilmu Tafsir, Para mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir ath Tabary,
Ibnu Athiyah al Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin
Sulaiman (wafat 150 H), Muhammad bin Ishak dan lain-lain.

Ilmu Hadist, Muncullah ahli-ahli hadist ternama seperti: Imam


Bukhori (194-256 H), Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah
(wafat 273 H),Abu Daud (wafat 275 H), At Tarmidzi, dan lain-lain.
Ilmu Kalam, Dalam kenyataannya kaum Mutazilah berjasa besar
dalam menciptakan ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu
adalah: Wasil bin Atha, Abu Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu
Hasan Asyary, Hujjatul Islam Imam Ghazali.

Ilmu Tasawuf, Ahli-ahli dan ulama-ulamanya adalah: Al Qusyairy


(wafat
465
H). Karangannya:
ar
Risalatul
Qusyairiyah,
Syahabuddin (wafat 632 H). Karangannya: Awariful Maarif, Imam
Ghazali: Karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain.

Para Imam Fuqaha, Lahirlah para Fuqaha yang sampai sekarang


aliran mereka masih mendapat tempat yang luas dalam
masyarakat Islam. Yang mengembangkan faham/mazhabnya
dalam zaman ini adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hambal dan Para Imam Syiah
(Hasjmy, 1995:276-278).
PERKEMBANGAN PERADABAN DI BIDANG FISIK
Perkembangan peradaban pada masa daulah Bani Abbasiyah
sangat maju pesat, karena upaya-upaya dilakukan oleh para
Khalifah di bidang fisik. Hal ini dapat kita lihat dari bangunan
-bangunan yang berupa:

Kuttab, yaitu tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah


dan menengah. Bangunannya masih kokoh berdiri hingga
sekarang.

Majlis Muhadharah, yaitu tempat pertemuan para ulama,


sarjana,ahli pikir dan pujangga untuk membahas masalahmasalah ilmiah.

Darul Hikmah, Adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun ArRasyid. Ini merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya
juga disediakan tempat ruangan belajar.

Madrasah, Perdana menteri Nidhomul Mulk adalah orang yang


mula-mula mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada sampai
sekarang ini, dengan nama Madrasah.
Masjid, Biasanya dipakai untuk pendidikan tinggi dan tahassus.
Pada masa Daulah Bani Abbassiyah, peradaban di bidang fisik
seperti kehidupan ekonomi: pertanian, perindustrian,
perdagangan berhasil dikembangkan oleh Khalifah Mansyur.
KEHIDUPAN PEREKONOMIAN DAULAH BANI ABBASIYAH

Permulaan masa kepemimpinan Bani Abbassiyah,


perbendaharaan negara penuh dan berlimpah-limpah, uang
masuk lebih banyak daripada pengeluaran. Yang menjadi
Khalifah adalah Mansyur. Dia betul-betul telah meletakkan dasardasar yang kuat bagi ekonomi dan keuangan negara. Dia
mencontohkan Khalifah Umar bin Khattab dalam menguatkan
Islam.
Dan keberhasilan kehidupan ekonomi maka berhasil pula
dalam :
Pertanian, Khalifah membela dan menghormati kaum tani,
bahkan meringankan pajak hasil bumi mereka, dan ada
beberapa yang dihapuskan sama sekali.
2. Perindustrian, Khalifah menganjurkan untuk beramai-ramai
membangun berbagai industri, sehingga terkenallah
beberapa kota dan industri-industrinya.
3. Perdagangan, Segala usaha ditempuh untuk memajukan
perdagangan seperti:
Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalanjalan yang dilewati kafilah dagang.
Membangun armada-armada dagang.
Membangun armada: untuk melindungi parta-partai negara
dari serangan bajaklaut.
1.

Usaha-usaha tersebut sangat besar pengaruhnya dalam


meningkatkan perdagangan dalam dan luar negeri. Akibatnya
kafilah-kafilah dagang kaum muslimin melintasi segala negeri dan
kapal-kapal dagangnya mengarungi tujuh lautan.
Selain ketiga hal tersebut, juga terdapat peninggalanpeninggalan yang memperlihatkan kemajuan pesat Bani
Abbassiyah.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Istana Qarruzzabad di Baghdad


Istana di kota Samarra
Bangunan-bangunan sekolah
Kuttab
Masjid
Majlis Muhadharah
Darul Hikmah
Masjid Raya Kordova (786 M)
Masjid Ibnu Taulon di Kairo (876 M)

10. Istana Al Hamra di Kordova


STRATEGI KEBUDAYAAN DAN RASIONALITAS
Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa kebebasan berpikir
diakui sepenuhnya sebagai hak asasi setiap manusia oleh Daulah
Abbasiyah. Oleh karena itu, pada waktu itu akal dan pikiran benarbenar dibebaskan dari belenggu taqlid, sehingga orang
leluasa mengeluarkan pendapat.

Berawal dari itu,


zaman pemerintahan Abbasiyah awal melahirkan 4 Imam
Madzhab yang ulung, mereka adalah Syafii, Hanafi, Hambali,
dan Maliki.
Disamping itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal itu juga
melahirkan Ilmu Tafsir al-Quran dan pemisahnya dari Ilmu Hadits.
Sebelumnya, belum terdapat penafsiran seluruh al-Quran, yang
ada hanyalah Tafsir bagi sebagian ayat dari berbagai surah,
yang dibuat untuk tujuan tertentu (Syalaby, 1997:187). Dalam
negara Islam di masa Bani Abbassiyah berkembang corak
kebudayaan, yang berasal dari beberapa bangsa. Apa yang terjadi
dalam unsur bangsa, terjadi pula dalam unsur kebudayaan. Dalam
masa sekarang ini berkembang empat unsur kebudayaan
yang mempengaruhi kehidupan akal/rasio yaitu Kebudayaan
Persia, Kebudayaan Yunani, Kebudayaan Hindi dan Kebudayaan
Arab dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
1. Kebudayaan Persia, Pesatnya perkembangan kebudayaan
Persia di zaman ini karena 2 faktor, yaitu :

Pembentukan lembaga wizarah


Pemindahan ibukota
2.

Kebudayaan Hindi, Peranan orang India dalam membentuk


kebudayaan Islam terjadi dengan dua cara:

Secara langsung, Kaum muslimin berhubungan langsung


dengan orang-orang India seperti lewat perdagangan dan
penaklukan.

Secara tak langsung,penyaluran kebudayaan India ke dalam


kebudayaan Islam lewat kebudayaan Persia.
3.

Kebudayaan Yunani Sebelum dan sesudah Islam, terkenal lah


di Timur beberapa kota yang menjadi pusat kehidupan
kebudayaan Yunani. Yang termasyur diantaranya adalah:

Jundaisabur, Terletak di Khuzistan, dibangun oleh Sabur yang


dijadikan tempat pembuangan para tawanan Romawi. Setelah
jatuh di bawah kekuasaan Islam. Sekolah-sekolah tinggi
kedokteran yang asalnya diajar berbagai ilmu Yunani dan bahasa
Persia, diadakan perubahan-perubahan dan pembaharuan.

Harran, Kota yang dibangun di utara Iraq yang menjadi pusat


pertemuan segala macam kebudayaan. Warga kota Harran
merupakan pengembangan kebudayaan Yunani terpenting di
zaman Islam, terutama dimasa Daulah Abbassiyah.

Iskandariyyah, Ibukota Mesir waktu menjadi jajahan Yunani.


Dalam kota Iskandariyyah ini lahir aliran falsafah terbesar yang
dikenal Filsafat Baru Plato (Neo Platonisme). Dalam masa Bani
Abbassiyah hubungan alam pemikiran Neo Platonisme bertambah
erat dengan alam pikiran kaum muslimin.
Kebudayaan Arab
Masuknya kebudayaan Arab ke dalam kebudayaan Islam
terjadi dengan dua jalan utama, yaitu :
4.

Jalan Agama, Mengharuskan mempelajari Quran, Hadist,


Fiqh yang semuanya dalam bahasa Arab.

Jalan Bahasa,Jazirah Arabia adalah sumber bahasa Arab,


bahasa terkaya diantara rumpun bahasa samy dan tempat
lahirnya Islam.
CATATAN SIMPUL
Daulah Abbasiyah merupakan lanjutan dari pemerintahan
Daulah Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para
pendirinya adalah keturunan Abbas, paman Nabi. Daulah
Abbasiyah didirikan oleh Abdullah as-Safah. Kekuasaannya
berlangsung dari tahun 750-1258 M. Di dalam Daulah Bani
Abbasiyah terdapat ciri-ciri yang menonjol yang tidak terdapat di
zaman bani Umayyah, antara lain :
1. Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan
Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan
Dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab.
2. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa bani Abbas ada
jabatan Wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen.
Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.

3.

Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa


pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya belum ada tentara
Khusus yang profesional.

Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para


sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Daulah Abbas
menjadi lima periode:
1.

2.

3.

4.

5.

Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut


periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode
pengaruh Turki pertama.
Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa
kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah
Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia
kedua.
Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa
kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah
Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh
Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk
Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa
khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi
kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan
diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.

Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai


masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh
yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat
tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun
setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai
menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu
pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat
singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan
oleh Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi
lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan
juga Syi'ah.Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar
yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu

disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya


adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur
oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak
bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim
al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu
Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan
akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah,
dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga
stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan
ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat
bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian,
pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah
bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan
konsolidasi dan penertiban pemerintahannya, di antaranya
dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan yudikatif. Di
bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan
mengangkat Wazir sebagai koordinator dari kementrian yang ada,
Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal
dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara,
sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi
angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn
Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara.
Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah
ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu
hanya sekadar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur,
jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di
daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan
lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah
laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerahdaerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah
pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di
antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng
di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun
756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan
Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai
dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga
berhadapan dengan pasukan Turki
Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian
lain Oxus, dan India.

Pada masa al-Manshur ini, pengertian khalifah kembali


berubah. Dia berkata: Innama anji Sultan Allah fi ardhihi
(sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya).
Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan
berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah,
bukan dari manusia, bukan pula sekadar pelanjut Nabi
sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun. Di samping itu,
berbeda dari daulat Bani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah
memakai "gelar takhta", seperti al-Manshur, dan belakangan gelar
takhta ini lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan
dan dibangun oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka
puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah
sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775-786
M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833
M), al Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan alMutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan
peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan
hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi.
Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak
membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman
khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M) dan
puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan negara banyak
dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, dan
mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi.
Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang
dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga
dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada
zaman keemasannya. Pada masa inilah
negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan
tak tertandingi.
Al-Ma'mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai
khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa
pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan.

Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji


penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut
agama lain yang ahli (wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah).
Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya
yang terpenting adalah pembangunan Baitul-Hikmah, pusat
penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan
perpustakaan yang besar. Pada masa AlMa'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.
Al-Mu'tasim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi
peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam
pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai
sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa
Daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan
sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti
perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi
prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer
dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian,
dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang
mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri
maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa
Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi alKhawarij di Afrika Utara, gerakan Zindiq di Persia, gerakan Syi'ah,
dan konflik antarbangsa dan aliran pemikiran keagamaan,
semuanya dapat dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama
lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan
pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Di samping itu, ada
pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di
zaman Bani Umayyah.
1.

Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan


Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam.
Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi
kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga
pemerintahan Abbasiyah, pengaruh
kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan
keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan
pemerintahan dinasti ini.

2.

Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada


jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen.
Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.

3.

Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa


pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara
khusus yang profesional.

Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan


kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan
Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari
kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya
sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang
pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah
mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua
tingkat:
1.

Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan


terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan,
hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasardasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.

2.

Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin


memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu
kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya
masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah
ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjidmasjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak
penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di
rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke
sana.

Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa


pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan
akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah
universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang
juga dapat membaca, menulis, dan berdiskusi. Perkembangan
lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan
dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh
perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi
yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai

bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu paling


tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
1.

Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsabangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan
dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan
Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang
masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan
bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat
kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu, bangsa Persia
banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan
sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran,
ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan
pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan
dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.

2.

Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase


pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun ArRasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah
karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase
kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga
tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah
dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga
berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya
pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan
semakin meluas.

Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut,


terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu
pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah
dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu
interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi
dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode
rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan
pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini
memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan
tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi, (tafsir
rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran
filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam
ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika

di kalangan umat Islam sangat memengaruhi perkembangan dua


bidang ilmu tersebut.
Imam-imam madzhab hukum yang empat hidup pada masa
pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu
Hanifah Rahimahullah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat
hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah,
kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup
kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih
tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan
pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus
pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun
Ar-Rasyid. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam
Malik Rahimahullah (713-795 M) banyak menggunakan hadits dan
tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum
itu ditengahi oleh Imam Syafi'i Rahimahullah (767-820 M),
dan Imam Ahmad ibn Hanbal Rahimahullah (780-855 M) yang
mengembalikan sistem madzhab dan pendapat akal semata
kepada hadits Nabi serta memerintahkan para muridnya untuk
berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat
Nabi. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga dan memurnikan
ajaran Islam dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang nonArab. Di samping empat pendiri madzhab besar tersebut, pada
masa pemerintahan Bani Abbas banyak para mujtahid lain yang
mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan
madzhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak
berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama
berlalunya zaman.
Aliran-aliran sesat yang sudah ada pada masa Bani Umayyah,
seperti Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah pun ada. Akan tetapi
perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi
rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah.
Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan
sempurna baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani
Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan
pemikiran Yunani yang membawa pemikiran filsafat dan
rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah
yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M)
dan al-Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran
tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan alAsy'ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga
banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena
Al-Asy'ari sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama

berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga


berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin
terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi,
sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan
ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi,
kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi
terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali
menyusun astrolobe. Al-Farghani, yang dikenal di Eropa dengan
nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard
Cremona dan Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran
dikenal nama ar-Razi dan Ibnu Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama
yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia
juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran
anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn
Sina. Ibnu Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan
sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya
adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi
kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di
Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang
menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda
yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti
kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di
bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat
bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah
menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat
tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn
Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi.
Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar berasal dari
judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah
terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di
antara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain alFarabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku
tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi
terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang
buku tentang filsafat, yang terkenal di antaranya ialah asy-Syifa'.
Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes,
banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di

sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme. Pada masa


kekhalifahan ini, dunia Islam mengalami peningkatan besarbesaran di bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar
pada masa ini adalah diterjemahkannya karya-karya di bidang
pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani, Persia,
dan Hindustan.
Banyak golongan pemikir lahir zaman ini, banyak di antara
mereka bukan Islam dan bukan Arab Muslim. Mereka ini
memainkan peranan yang penting dalam menterjemahkan dan
mengembangkan karya Kesusasteraan Yunani dan Hindu, dan ilmu
zaman pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan
mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani yaitu
Aristoteles terkenal di Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini
menyaksikan penemuan ilmu geografi, matematika,
dan astronomi seperti Euclid dan Claudius Ptolemy. Ilmu-ilmu ini
kemudiannya diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam seperti AlBiruni dan sebagainya.
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah
dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan
yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan
politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan
kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan
dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya
terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama,
namun setelah periode ini berakhir, peradaban Islam juga
mengalami masa kemunduran
Faktor penyebab kemajuan peradaban Islam pada masa Bani
Abbasiyah disebabkan oleh dua Faktor, yaitu :
Faktor Internal umat Islam

1.

Pemahaman yang utuh terhadap semangat keilmuan yang


diisyaratkan oleh al Quran (al Quran banyak mengandung
sinyal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi).

2.

Para pembesar kerajaan memiliki perhatian yang tinggi


terhadap pentingnya Ilmu Pengetahuan bagi kehidupan
manusia. Hal tersebut ditunjukkan pada semangat dan
pengkajian keilmuan dan penghargaan pemerintah terhadap
pakar-pakar keilmuan.

3.

Lahirnya berbagai pusat kajian dan analisa keilmuan serta


pusat-pusat penterjemahan terhadap buku-buku asing yang
dibiayai oleh pemerintah, tanpa melihat bentuk dan
perbedaan kajian keilmuan tersebut sehingga umat Islam
telah mengalami pendewasaan dan kematangan berfikir
Faktor Eksternal umat Islam

1.

Tradisi keilmuwan telah berkembang lebih dulu di wilayah


Persia, sehingga umat Islam tinggal mengembangkan dan
menambah keunggulannya.

2.

Umat Islam melakukan adaptasi terhadap budaya asing


terutama ilmu / Filsafat Yunani, diteruskan dengan proses
menterjemahkan buku-buku asing tersebut.

3.

Terjadinya gerakan translitasi (penterjemahan) oleh umat


Islam pada kebudayaan atau hasil karya lain, terutama bukubuku hasil pemikiran filosof Yunani.

4.

Proses penterjemahan tersebut melahirkan kecenderungan


baru dalam tradisi berfikir. Kalau pada masa pemerintahan
Bani Umaiyah, pola berfikir umat di dominasi oleh pemikiran
keagamaan dan dogmatik, maka pada masa pemerintahan
Bani Abasiyah berkembang pemikiran rasional analitis.

5.

Proses tranformasi keilmuan Islam terhadap keilmuan luar


lebih di dorong oleh daya tarik Filsafat, yang menurut umat
Islam mempunyai sisi menarik dalam hal :

Ketelitian yang dimiliki oleh logika Aristoteles dan


ilmu matematika yang mengagumkan Islam.
Bahwa pada saat itu terjadi pertarungan
pemikiran antara umat Islam dengan penganut Islam baru
yang masih mengikuti faham / filosofi agama sebelumnya,
dan mereka menggunakan logika Filsafat, maka untuk
menghadapi pertarungan pemikiran dengan diperlukan
pemahaman yang baik mengenai logika tersebut.

Bercampurnya buku-buku keagamaan Yahudi dan


Nasrani dalam filsafat Yunani yang dianggap oleh umat Islam
sebagai karya filsafat Yunani.
Corak pembahasan keagamaan filsafat Yunani
dalam hal menerangkan konsep Tuhan Yang Esa dan
mencapai kebahagiaan dilakukan dengan pendekatan dan
peleburan diri kepada Tuhan dan pembersihan diri (Zuhud),
sebagaimana yang dijelaskan dalam filsafat ketuhanan
(Theodocia) mereka.

Sistem pemerintahan yang diterapkan bani Abbasiyah masih


sama dengan pendahulunya, bani Umayyah dengan sistem
kekuasaan absolutisme. Mereka mengangkat dan mengumumkan
seorang atau dua orang putra mahkota atau saudaranya sendiri
untuk terus mempertahankan kepemerintahan. Kebijakan
menerapakan sistem seperti ini tentu saja menimbulkan
kecemburuan dan kebencian diantara sesama keluarga. Sebagai
contoh, tatkala al-Manshur naik tahta, dia mengumumkan Mahdi
sebagai putra mahkota pertama dan menunjuk Isa ibn Musa,
kemenakannya sebagai putra mahkota kedua. Saat itu juga alManshur mengasingkan Isa sama sebagaimana yang dilakukan
oleh khalifah pertama al-Shaffah.
Seluruh anggota keluarga Abbas dan pemimpin umat Islam
mengangkat Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn
Abdullah ibn al-Abbas sebagai khalifah mereka yang pertama
walaupun masih ada Abu Jafar (al-Manshur) yang nantinya akan
menjadi khalifah yang kedua. Kekhalifahan bani Abbasiyah
berlangsung dalam rentang waktu yang sangat panjang dan pada
periode pertama (750 848 M) tercatat kurang lebih 10 khalifah
yang memimpin dengan silsilah keturunan sebagai berikut :
N
O

NAMA

MASA
BERKUASA

1
.
2

Saffah ibn Muhammad

(132 H/750 M)

Abu Jafar al-Manshur

(136 H/754 M)

ibn Muhammad
3

Mahdi ibn al-Manshur

(158 H/775 M)

Hadi ibn Mahdi

(169 H/785M)

4
.

Harun al-Rasyid ibn


Mahdi

(170 H/786M)

Amin ibn Harun

(193 H/804 M)

Mamun ibn Harun

(198 H/813 M)

Mutashim ibn Harun

(218 H/833 M)

Watsiq ibn Mutashim

(227 H/842 M)

6
.

8
.

1
0.

Mutawakkil ibn
Mutashim

(232 H/848 M)

Dalam perkembangannya, di bawah khalifah Saffah, ibu kota


negara berada di kota Anbar dekat kufah dengan istana yang
diberi nama al-Hasyimiyah. Namun demi menjaga stabilitas
negara yang baru berdiri itu akhirnya pada tahun 762 M alManshur memindahkan ibu kota negara ke Baghdad dengan
istana al-Hasyimiyah II. Dengan demikian, pusat pemerintahan
daulah Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.
Diantara langkah-langkah yang diambil al-Manshur dalam
menertibkan pemerintahannya antara lain :

1.
2.

3.
4.

5.

Mengangkat pejabat di lembaga ekskutif dan yudikatif.


Mengangkat wazir (menteri) sebagai koordinator
departemen. Dan wazir pertama yang diangkatnya adalah
Khalid ibn Barmak berasal dari kota Balkh Persia.
Mengangkat sekretaris negara dan kepolisian negara dan
membenahi angkatan bersenjata.
Memaksimalkan peranan kantor pos. Para direktur jawatan
pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat
kepada khalifah.
Berdamai dengan kaisar Constantine V, dan selama
gencatan senjata, Bizantium membayar upeti tahunan.

Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan


oleh Shaffah dan al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti
ini berada pada beberapa khalifah sesudahnya. Popularitas daulah
Abbasiyah mencapai klimaks kesuksesan adalah pada masa
pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid dan puteranya al-Mamun.
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang
diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial,
dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan
politik yang ada, para sejarawan biasanya membagi masa
pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode dengan
karakteristik yang berbeda-beda pula :
1.
2.
3.

4.

5.

Periode pertama (132 H/750 M 232 H/847 M), disebut


periode pengaruh Persia pertama.
Periode kedua (232 H/847 M 334 H/945 M), disebut masa
pengaruh Turki pertama.
Periode ketiga, (334 H/945 M 447 H/1055 M), masa
kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah
Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia
kedua.
Periode keempat, (447 H/1055 M 590 H/1194 M) masa
kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah
Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh
Turki kedua.
Periode kelima, (590 H/1194 M 656 H/1258 M), masa
khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi
kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.

KEBERHASILAN YANG DICAPAI

Dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu material dan


immaterial
a). Bidang Material :
Pada zaman al-Mahdi, sebenarnya perekonomian sudah mulai
menggeliat dengan peningkatan di sektor pertanian, melaluai
irigasi dan peningkatan hasil pertambangan. Diantara prestasiprestasi yang berhasil diraih al-Mahdi antara lain:
1.
2.

3.

4.

Dia membangun gedung-gedung sepanjang jalan menuju


Makkah.
Masjid Agung di Madinah diperbesar tetapi menghapus nama
khalifah bani Umayyah, Walid dari dinding masjid itu dan
mengganti dengan namanya.
Membangun tempat pelayanan pos antara Makkah dan
Madinah kemudian Yaman yang berfungsi sebagai tempat
pembayaran ongkos perjalanan tiap mil.
Membuat benteng di beberapa kota khususnya Rusafa di
bagian Baghdad Timur

Popularitas daulah bani Abbasiyah mencapai puncak


peradaban dan kemakmurannya di zaman Harun al-Rasyid (786809 M) dan puteranya al-Mamun (813-833 M). Kekayaan yang
banyak, dimanfaatkan Harun untuk keperluan sosial. Istana-istana
besar, rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter dan farmasi
didirikan. Bahkan menurut sebagian ahli sejarah menyatakan
bahwa sebenarnya Harun ingin menggabungkan laut tengah
dengan laut merah. Namun Yahya ibn Khalid (dari keluarga
barmak) tidak menyetujui gagsan itu. Pada masa al-Mamun
menjadi khalifah, ia banyak mendirikan sekolah-sekolah. Salah
satu karya terbesarnya adalah pembangunan Bait al-Hikmah,
pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi
dengan perpustakaan yang sangat besar.
Baghdad, kota kuno yang didirikan oleh orang-orang Persia,
merupakan tempat perdagangan yang kerap kali dikunjungi oleh
pedagang dari India dan Cina. Para Insinyur, tukang batu, dan
para pekerja tangan didatangkan dari Syiria, Bashra, Kufa untuk
membantu didalam memperindah kota. Bahkan di daerah pinggir
kota ini sudah terbagi menjadi empat bagian pemukiman yang
masing-masing mempunyai seorang pemimpin yang dipercaya
untuk mendirikan pasar di pemukimannya. Demikianlah di zaman

Abbasiyah pertama. Baghdad menjadi kota terpenting di dunia


sebagai sentral perdagangan, ilmu pengetahuan dan kesenian.
Masjid-masjid dan bangunan-bangunan lain semakin bertambah
banyak dan menjadi hal menarik dalam kesenian muslim.

Anda mungkin juga menyukai