Anda di halaman 1dari 6

ANESTESI PADA OPERASI MATA Raditsya Mada Gautama

PENDAHULUAN 30 % perlukaan pada mata karena anestesi yang kurang dalam


sehingga terjadi gerakan pasien selama operasi mata. Untuk itu strategi untuk
memastikan imobilitas pasien sangat diperlukan (Donlon, 2005) Keberhasilan
operasi intraokuler tergantung dari kestabilan TIO Anestesi yang tidak adekuat
refleks yang berbahaya antara lain refleks okulo kardiak (OCR), refleks okulo
respiratorik (ORR), dan refleks okulo emetik (Thaib, 1999)
ANATOMI MATA Bola mata bersama ligamentum, fascia, dan otot-otot ekstra
okuler berada dalam ruang orbita yang berbentuk seperti piramida yang tersusun
atas tulang frontalis, zygomaticum, sphenoidalis, maksilaris, palatinus, lakrimalis,
dan ethmoidalis Bagian tepi atas orbita ada lekukan atau kanal dekat akhir medial
untuk transmisi syaraf supra orbita dan foramen di bawah tepi bagian bawah untuk
transmisi syaraf infraorbita.
ANATOMI MATA Bola mata terdiri dari 3 lapisan : Lapisan paling luar : fibrosa
sklera yang berhubungan ke depan dengan kornea dan keduanya ditutup oleh
konjunctiva yang merupakan permukaan dalam dari pelpebra. Fungsi sklera sebagai
proteksi, memberikan rigiditas untuk memberi bentuk bola mata Lapisan tengah :
lapisan vaskuler tersusun oleh koroid di bagian posterior, badan silier dan iris di
bagian anterior Lapisan dalam : syaraf retina (Nicoll, 1998)
ANATOMI MATA Otot-otot bola mata : M. rektus medialis M. rektus lateralis M.
rektus superior M. rektus inferior M. oblikus superior M. oblikus inferior Persyarafan :
N. okulomotorius (N III) : m. rektus medialis, m.rektus superior, m. rektus inferior, m.
oblikus inferior dan m. levator palpebra superior N. troklearis (N IV) bersifat
motorik : m. oblikus superior N. abdusens (N VI) bersifat motorik : m. rektus lateralis
PATOFISIOLOGI Tekanan Intra Okuler Normal : 12-20 mmHg Faktor yang
berpengaruh : pergerakan humor akuos, perubahan pada volume darah koroidal,
tekanan vena sentral (CVP), dan tonus otot ekstraokuler. Penentu fisiologis TIO
adalah keseimbangan antara produksi dan eliminasi humor akuos (Donlon, 2005;
Nunn et al, 1989; Morgan, 2002)
PATOFISIOLOGI Humor akuos disekresi secara aktif oleh prosesus siliaris pada
kamera okuli posterior dan bersirkulasi melalui iris masuk ke dalam kamera okuli
anterior Eliminasi melalui sistem vena episkleral melalui spaces of fontana dan
canalis schlem pada sudut iridokorneal
PATOFISIOLOGI
PATOFISIOLOGI
Pengaruh Obat Anestesi Pada TIO Kebanyakan obat anestesi menurunkan TIO.
Hanya suksinilkolin dan ketamin yang meningkatkan TIO. Suksinilkolin secara

bermakna meningkatkan TIO 10-20 mmHg dalam 4-6 menit Laringoskopi dan
intubasi meningkatkan TIO 10-20 mmHg. Pemberian obat seperti lidokain intravena
(1,5 mg/kg) atau sufentanyl (0,05-0,15 g/kg) 3-5 menit sebelum induksi atau
klonidin oral (0,5 g/kg) 2 jam sebelum induksi dapat menghilangkan respon TIO
pada intubasi (Donlon, 2005; Nunn et al, 1989; Morgan, 2002)
Pengaruh Obat Anestesi Pada TIO Atropin, skopolamin, dan glikopirolat yang
diberikan intramuskuler untuk premedikasi tidak menimbulkan efek bermakna pada
TIO Diazepam dan midazolam pada dosis besar dapat menyebabkan midriasis. Hal
ini harus dihindari pada pasien dengan glaukoma sudut sempit Thiopental 3 mg/kg
menurunkan TIO, sedangkan propofol 2 mg/kg akan menurunkan TIO sebesar 40 %.
Morfin intramuskuler atau intravena menurunkan TIO, demikian juga dengan opioid
sintetik pada pemberian intravena (Donlon, 2005)
Pengaruh Obat Anestesi Pada TIO Sumber : Morgan, 2002
Pengaruh Posisi Pada TIO Posisi prone akan meningkatkan tekanan peritoneal,
CVP, tekanan puncak inspirasi dan TIO TIO terlihat meningkat pada pasien yang
teranestesi pada posisi supine head down (Trendelendberg). Mekanisme
peningkatan ini mungkn berhubungan dengan tekanan vena episklera yang
meningkat (Cheng, 2001) Friberg menemukan adanya peningkatan TIO 1 mmHg
untuk setiap 0,83 + 0,21 mmHg peningkatan tekanan vena episklera (Friberg, 1985)
REFLEKS OKULO KARDIAK (OCR) OCR adalah refleks trigeminovagal yang khas
pada klinis terjadi bradikardi dan gangguan irama jantung akibat manipulasi pada
mata khususnya setelah traksi pada otot eksternal (Gilani et al, 2005) Biasanya
terjadi pada anak yang menjalani operasi strabismus tetapi dapat juga terjadi pada
berbagai prosedur termasuk enukleasi, ekstraksi katarak, dan operasi ablatio retina
(Morgan, 2002; Donlon, 2005)
REFLEKS OKULO KARDIAK (OCR) Skema patofisiologi refleks okulo kardiak
REFLEKS OKULO KARDIAK (OCR) Atropin dan glikopirolat iv sesaat sebelum
pembedahan lebih efektif daripada pemberian im. Glikopirolat lebih sedikit
menimbulkan takikardi dibanding atropin Pemberian antikolinergik berbahaya
terutama pada orang tua yang sering mempunyai penyakit arteri koroner (Morgan,
2002; Donlon, 2005) Atropin 15 g/kg efektif dalam mencegah terjadinya OCR. Dari
60 pasien yang diteliti : - 70% OCR dan 33 % bradikardi pada grup tanpa atropin 10% OCR dan tidak ada yang mengalami bradikardi (Gilani et al, 2005)
REFLEKS OKULO KARDIAK (OCR) Penatalaksanaan OCR : Penghentian manipulasi
pada mata sampai denyut nadi meningkat Konfirmasi ventilasi yang adekuat,
oksigenasi, dan kedalaman anestesi Pemberian atropin 10 g/kg iv jika denyut nadi
masih belum meningkat setelah manipulasi dihentikan Pada periode yang sulit
dikendalikan, infiltrasi m. rectus dengan anestesi lokal Refleks akan melemah

dengan sendirinya dengan penarikan otot ekstraokuler berulang (Morgan, 2002;


Donlon, 2005)
GENERAL ANESTESI PADA OPERASI MATA Pemilihan antara anestesi umum dan
lokal harus diputuskan bersama pasien, anestesiologis, dan operator Anestesi
umum diindikasikan untuk pasien yang tidak kooperatif, karena gerakan kepala
sedikit saja dapat berbahaya pada pembedahan mikro, dan pada tehnik
pembedahan dimana anestesi lokal dikontraindikasikan (Morgan, 2002)
GENERAL ANESTESI PADA OPERASI MATA Premedikasi Premedikasi yang ideal
harus bisa mengendalikan ansietas dan PONV tanpa mempengaruhi TIO. Midazolam
2-4 mg i.m.30 menit preoperatif atau 1-2 mg i.v. segera sebelum retrobulber blok
atau sebagai alternatif diazepam 5-10 mg p.o. 1 jam preoperatif bisa digunakan dan
sangat efektif digunakan (Acquadro, 1993) Narkotik dikombinasi dg antiemetik
seperti promethazine (phenergan), hidroksizin (vistaril), atau droperidol. Barbiturat
memberikan tingkat sedasi yang bervariasi dengan durasi yang panjang tetapi tidak
memberikan analgesia, amnesia, atau pengendalian ansietas (Acquadro, 1993)
GENERAL ANESTESI PADA OPERASI MATA Induksi Pemilihan tehnik induksi untuk
operasi mata biasanya tergantung lebih ke arah kondisi medis pasien daripada
penyakit matanya atau tipe pembedahannya. Pengecualian pada pasien ruptur bola
mata kuncinya adalah menjaga TIO dengan induksi yang smooth Batuk selama
intubasi harus dihindari dengan anestesi yang dalam dan paralisis yang cukup.
Respon TIO terhadap laringoskopi dan intubasi endotrakeal dapat dihindari dengan
pemberian lidokain i.v. 1,5 mg/kg atau fentanyl 3-5 g/kg. Pelumpuh otot non
depolarisasi bisa digunakan untuk menggantikan suksinilkolin (Morgan, 2002;
Acquadro, 1993; Donlon, 2005; Nunn et al, 1989)
GENERAL ANESTESI PADA OPERASI MATA Monitoring dan Maintenance Pulse
oksimetri sangat dibutuhkan untuk pemantauan. Monitoring sirkuit dari kebocoran
atau ekstubasi yang tidak disengaja sangat penting. Kemungkinan kinking atau
obstruksi ET bisa diminimalisir dengan menggunakan reinforced ET atau preformed
right angle ET. Kemungkinan disritmia karena OCR membutuhkan monitoring EKG.
Pada anak suhu sering meningkat selama operasi mata karena penutupan dari
kepala sampai ujung kaki. Analisis end tidal CO2 dapat membantu membedakan hal
tersebut dengan hipertermi maligna (Morgan, 2002)
GENERAL ANESTESI PADA OPERASI MATA Kurangnya stimulasi kardiovaskuler
dan kebutuhan untuk anestesi yang adekuat dapat berakibat hipotensi pada pasien
tua. Hindari dengan pemberian hidrasi i.v. yang adekuat serta memberikan efedrin
dosis kecil 2-5 mg atau memantapkan paralisis intraoperatif dengan pelumpuh otot
non depolarisasi Pemberian metoklopramid intraoperatif 10 mg pada dewasa atau
dosis kecil droperidol 20 g/kg akan berguna untuk mencegah muntah. Ondansetron
karena mahal diberikan khusus pada pasien yang mempunyai riwayat mual muntah
post operatif (Morgan, 2002)

GENERAL ANESTESI PADA OPERASI MATA Ekstubasi dan Pemulihan Batuk selama
ekstubasi dapat dicegah dengan ekstubasi selama pasien masih teranestesi dalam.
Pada saat operasi berakhir obat pelumpuh otot direverse dan nafas spontan akan
kembali. Agen anestesi diteruskan selama penyedotan jalan nafas, N2O dihentikan
dan lidokain i.v. 1,5 mg/kg dapat diberikan untuk menumpulkan refleks batuk
Ekstubasi membutuhkan waktu 1-2 menit setelah lidokain diberikan dan selama
respirasi spontan 100% oksigen. Kontrol airway yang tepat sangat penting sampai
refleks batuk dan menelan kembali. Tetapi tehnik ini tidak tepat untuk pasien
dengan resiko aspirasi (Morgan, 2002; Acquadro, 1993; Donlon, 2005; Nunn et al,
1989)
GENERAL ANESTESI PADA OPERASI MATA Nyeri post operatif yang berat tidak
lazim pada operasi mata. Skleral buckling, enukleasi, dan repair ruptur bola mata
merupakan prosedur yang paling menyakitkan. Dosis kecil narkotik i.v. dapat
diberikan (mis. 15-25 mg meperidin untuk dewasa) biasanya cukup. Nyeri yang
berlebihan merupakan tanda hipertensi intraokuler, abrasi kornea, atau komplikasi
pembedahan yang lain (Morgan, 2002)
ANESTESI UNTUK PEMBEDAHAN INTRAOKULER Bahaya peningkatan TIO
mendadak terutama akibat batuk atau mengejan yang bisa menyebabkan prolaps
iris pada saat pembukaan mata disebabkan oleh pergeseran ke anterior diafragma
iris lensa, diikuti oleh kebocoran vitreus, perdarahan retinal dan perdarahan
koroideal yang bisa sangat masif sehingga menyebabkan perdarahan ekspulsif
(Nunn et al, 1989) Muntah dan batuk yang dapat dicegah dengan menghindari agen
opioid, penggunaan antiemetik dan intake cairan yang adekuat. Antiemetik seperti
metoklopramid secara rutin diberikan sebelum dan selama pembedahan. (Nunn et
al, 1989)
ANESTESI UNTUK PEMBEDAHAN INTRAOKULER Glaukoma Penggunaan obat
topikal obat tetes mata yang mengandung antikolinesterase (mis. ecothiopate)
yang biasanya dipakai pada pasien glaukoma mempermudah terjadinya bradikardi
dan aritmia. Karena itu premedikasi dengan sulfas atropin 10 g/kg i.m. 1 jam
sebelumnya sangat berguna untuk pencegahan. Pada dosis tersebut sulfas atropin
tidak menimbulkan midriasis (Nunn et al, 1989) Usaha untuk menurunkan TIO
biasanya dilakukan oleh ahli mata dengan mengunakan asetazolamid, walaupun
dengan penelitian Wilson, 1974 justru akan meningkatkan CBV 2-3 kali normal
selama 50 menit Penurunan cepat TIO pada glaukoma akut sudut tertutup dicapai
dengan manitol 20% i.v. 1,5 mg/kg. Pemberian manitol untuk operasi elektif harus
dimulai 45 menit sebelum operasi. Pada beberapa pusat memakai gliserol oral baik
sendiri maupun bersama manitol akan meningkatkan resiko regurgitasi (Nunn et al,
1989)
ANESTESI UNTUK PEMBEDAHAN INTRAOKULER Retinopati prematuritas Tekanan
kapiler oksigen harus dijaga 35-40 mmHg dan tekanan oksigen arterial dijaga pada
50-70 mmHg pada bayi prematur. Problem pada anestesiologis adalah imbangan

antara resiko kerusakan akibat hipoksia dan problem respirasi (Donlon, 2005) Pada
saat pembiusan dihindari pemaparan oksigen konsentrasi tinggi yang lama selama
periode imaturitas retinal (misal 8 bulan). Tekanan arterial O2 60-90 mmHg bisa
dicapai dengan memberikan campuran O2 dengan udara bebas atau O2 dengan
N2O dan saturasi dengan pulse oksimetri dipertahankan pada 90-95% (Donlon,
2005)
ANESTESI PADA PEMBEDAHAN NON INTRAOKULER Dacryocystorhinostomy
Operasi ini berhubungan dengan perdarahan dan beberapa ahli anestesiologi lebih
memilih tehnik hipotensi. Posisi head up pada operasi ini harus diwaspadai, pada
tehnik anestesi terutama untuk menjaga peningkatan CVP atau PaCO2 dan infiltrasi
daerah operasi dengan vasokonstriktor. Resiko sepsis bisa terjadi bila terdapat
kontaminasi dari aparatus lakrimalis yang terinfeksi. Penyusutan mukosa dengan
menggunakan coccain (100-200 mg) sangat disarankan. Penggunaan pack pada
tenggorokan juga berguna untuk menyerap darah, tetapi harus dicek ulang pada
akhir operasi dan ujung dari pack harus berada di luar atau ditandai dengan forcep
(Nunn et al, 1989)
ANESTESI PADA PEMBEDAHAN NON INTRAOKULER Ablasio retina Operasi untuk
ablasio retina menyebabkan banyak retraksi pada mata dan terdapat bahaya
bradikardi dan aritmia jantung akibat OCR. (Nunn et al, 1989) Injeksi intravitreal
udara atau sulfur hexafluorida (SF6) digunakan untuk menempelkan kembali retina.
Pemakaian N2O harus dihentikan sekitar 20 menit sebelum injeksi gas intravitreal.
Beberapa anestesiologis memilih menghindari penggunaan N2O pada pasien yang
direncanakan injeksi intravitreal SF6. Selanjutnya N2O harus dihindari selama 5 hari
pada pasien yang diinjeksi intravitreal udara dan lebih dari 10 hari pada injeksi
intravitreal SF6 (Nunn et al, 1989; Donlon, 2005)
ANESTESI PADA PEMBEDAHAN NON INTRAOKULER Strabismus Kardiak arrest
(asistole) dapat terjadi akibat OCR dilaporkan terjadi 1 kardiak arrest dalam 2200
operasi strabismus dengan GA (Nunn et al, 1989; Donlon, 2005) Dosis atropin 1-2
mg dibutuhkan untuk henti sinus. Dengan dosis konvensional frekuensi kejadian
OCR tinggi sekitar 90% pada pasien yang tidak menerima premedikasi
antikolinergik dan 70% pada pasien yang menerima premedikasi atropin i.m. atau
glikopirolat (Nunn et al, 1989; Donlon, 2005) Aritmia yang terjadi biasanya
junctional rhytm dan henti sinus dengan nodal escape yang diikuti oleh denyut
ventrikuler ektopik. Atropin 15 mg/kg i.v. atau glikopirolat 7,5 mg/kg i.v. efektif pada
penelitian 160 kasus operasi strabismus pada anak. Glikopirolat memerlukan waktu
3-4 menit untuk berefek (Mirakhur et al, 1982)
ANESTESI PADA PEMBEDAHAN NON INTRAOKULER Pada anak yang menjalani
operasi ODC strabismus mengalami PONV antara 48-85%. Droperidol 75 g/kg i.v.
mengurangi PONV menjadi 16-22%. Pemberian lidokain i.v. 1,5 mg/kg menjelang
intubasi juga mengurangi insidensi PONV sampai 16-20% Penurunan bermakna
(41%) juga didapatkan dengan menggunakan teknik infus propofol dan N2O.

Insidensi akan menurun sebesar 24% bila penggunaan opioid dihindari. Penggunaan
ondansetron 50 g/kg i.v. dan deksametason 150 g/kg i.v. akan mengurangi
insidensi muntah 9%. Gejala mual muntah pada operasi strabismus mungkin
berhubungan dengan manipulasi otot mata atau nyeri yang menyebabkan OCR.
Profilaktik atropin dan glikopirolat tetap tidak bisa mencegah PONV (Donlon, 2005)
Langkah- langkah untuk menghindari PONV : Penggunaan opioid yang minimal
Penggunaan propofol untuk pemeliharaan GA tanpa suplementasi N2O Pemberian
serotonin (5HT3) antagonis dan metocloparamid 0,15 mg i.v. selama anestesi
Pemasangan NGT dan pengambilan NGT setelah induksi untuk dekompresi lambung
Manipulasi bedah yang lembut Hidrasi yang adekuat dengan kristaloid Pemberian
lidokain di dekat otot ekstraokuler untuk minimalisasi impuls eferen dan nyeri post
operasi pada saat sadar Anak dengan strabismus mungkin mendapat terapi
kontinyu dengan obat tetes antikolinesterase (Nunn et al, 1989; Donlon, 2005)
RINGKASAN Perlu pemahaman patofisiologi TIO, OCR, serta efek obat anestesi
pada TIO dan efek sistemik obat mata Pertimbangkan kelainan kongenital organ
lain, sedangkan pada pasien tua juga harus diperhitungkan penyakit lain yang
menyertai Pada anaestesi untuk pembedahan mata intraokuler hal yang paling
penting adalah pengendalian TIO Pada operasi ekstraokuler khususnya strabismus
harus diwaspadai insidensi OCR dan PONV yang tinggi Pada operasi dengan
penyuntikan gas intravitreal penggunaan N2O perlu dipertimbangkan

Anda mungkin juga menyukai