Anda di halaman 1dari 78

Dipersembahkan untuk

Istriku dan Buah hatiku : Srie Lestari,


Janeeta Jasmine Nijanandha,
Keenandra Zidane Nijanandha

Halaman | i

KATA PENGANTAR
Bahan konstruksi telah berkembang sedemikian pesat sesuai
dengan perkembangan konstruksi itu sendiri. Bahan konstruksi
yang tidak dapat diperbaharui seperti kayu kini mulai diganti
dengan semen dalam berbagai bentuk dan peruntukannya.
Bahan konstruksi alternatif seperti ALWA (Artificial Light Weight
Aggregate), zincalume, fiber chrysotile dan lain-lain juga
menambah kemungkinan digunakannya berbagai jenis bahan
konstruksi dalam satu media bangunan.
Seorang perencana ataupun konstruktor harus cermat dalam
memilih jenis bahan konstruksi yang digunakan, hal ini
dikarenakan pemilihan bahan bangunan mutlak mempengaruhi
hal-hal lain seperti biaya yang dikeluarkan, tingkat kekuatan
bahan, kemudahan tingkat pengerjaan (workability), durasi
pekerjaan, analisis dampak lingkungan, keawetan bahan dan
lain sebagainya. Selain pertimbangan diatas, terdapat pula
satu faktor yang mempengaruhi pemilihan bahan konstruksi
yaitu tuntutan estetika.
Mengingat estetika sangat erat
kaitannya dengan keindahan dan keunikan maka semakin
maraklah penggunaan bahan konstruksi alternatif sebagai
pengganti bahan bangunan konvensional
Ungkapan terimakasih penulis sampaikan kepada Anis
Rakhmawati, ST., MT., yang telah memberikan kesempatan
kepada
penulis
untuk
lebih
mendalami
mengenai
perkembangan bahan konstruksi. Ucapan terima kasih yang
tak ternilai khususnya disampaikan kepada pembaca buku ini.
Saran dan kritik membangunan senantiasa penulis harapkan
demi karya mendatang yang lebih baik
Magelang, September 2008
Penulis

Halaman | ii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Bab I. SEJARAH BAHAN KONSTRUKSI
A. Sejarah Pemakaian Bahan Lokal untuk
Konstruksi 1
B. Perkembangan Konstruksi di Indonesia 4
Bab II. BAHAN BETON BERTULANG
A. Pengantar Beton Bertulang 7
B. Semen 9
C. Air 11
D. Agregat Halus dan Agregat Kasar 12
E. Baja Tulangan 15
F. Adukan Beton 19
Bab III. BAHAN KONSTRUKSI KAYU
A. Pendahuluan 23
B. Klasifikasi dan Penamaan Kayu 24
C. Anatomi Kayu 26
D. Kandungan Air 28
E. Kegunaan Kayu 30
F. Modulus Elastisitas 32
G. Pengawetan Kayu 34
Bab IV. DINAMIKA APLIKASI BAMBU
A. Umum 36
B. Nilai Ekonomis Bambu 38
C. Bahan Penyusun Bambu 40
D. Sifat Fisik dan Mekanik Bambu 40
E. Sifat Kimia 43
F. Ketahanan Terhadap Serangan Serangga
44

Halaman | iii

G. Dinamika Bambu pada Masyarakat Pedesaan


45
H. Teknologi Perkembangan Bambu 49
I. Nilai Artistik Bambu 58
J. Pengawetan Kayu 58
K. Prosedur Pengawetan Bambu 60
Bab V. BAHAN BANGUNAN ALTERNATIF
A. Dinding Gypsum 69
B. Beton Pracetak untuk Dinding 70
C. Beton Ringan Aerasi 71
D. Dinding Lapis Baja Ringan 73
E. Papan Kayu Fiber Semen 74
DAFTAR PUSTAKA

Halaman | iv

BAB I
SEJARAH BAHAN
KONSTRUKSI

A.

Sejarah Pemakaian Bahan Lokal untuk Konstruksi


Bahan konstruksi telah dikenal dari awal peradaban, hal ini
ditunjukkan melalui perkembangan penggunaan bahan
konstruksi itu sendiri. Dimulai pada abad batu dimana
manusia mulai menggunakan batu bata yang dikeringkan
hingga penggunaan batuan yang ditumpuk-tumpuk
membentuk dinding tegak dengan media lumpur basah
sebagai perekat, tampak jelas bahwa bahan konstruksi
beradaptasi sesuai dengan kebutuhan dan sifat bahan.
Namun, tetap bahan kontruksi yang dipakai pada saat itu
adalah bahan yang mudah ditemukan atau dikenal dengan
pemilihan pemakaian bahan lokal.
Masyarakat yang
tinggal di dekat hutan akan membuat rumah dari kayu
karena mudah diperoleh, mereka yang tinggal dekat
sungai akan menggunakan batuan karena jumlahnya
berlimpah sedangkan orang-orang yang tinggal dekat
pantai akan menggunakan ranting bakau hingga dahan
kelapa untuk membuat rumah tempat berlindung.
Di Indonesia, khususnya melalui keadaan suku pedalaman
dapat dilihat bahwa orientasi penggunaan bahan
konstruksi hanya berkisar pada pembuatan rumah tempat
tinggal saja, selebihnya hanya perbedaan fungsi dari
bangunan tempat tinggal tersebut, sebagian ada yang

Halaman | 1

digunakan sebagai kandang, lumbung hingga tempat


pertemuan adat. Sejalan dengan pemikiran bahwa bahan
konstruksi tidak hanya dapat digunakan untuk membuat
rumah tinggal saja, maka manusia mulai membangun
tempat-tempat ibadah, dam, jembatan hingga saluran
irigasi.
Kemajuan teknologi yang pesat pada saat itu telah mampu
mengoptimalkan sumber daya manusia dan sumber daya
alam yang keduanya masih sangat murah serta mudah
diperoleh. Sekitar 2589 2566 SM, dengan teknologi dan
peralatan seadanya, bangsa Mesir telah mampu membuat
bangunan Piramida Cheops di daerah Giza dengan tinggi
127 m atau hampir sama dengan gedung bertingkat 36
lantai.
Bangsa Romawi dalam hal teknologi arsitektural tidak
kalah dengan Mesir, hal ini ditunjukkan melalui bangunanbangunan megah dengan ornamen yang indah. Namun
bangsa Romawi pada saat itu cenderung lebih berani untuk
bereksperimen dengan bentuk, konsep dan tingkat
kekuatan bahan bangunan, hal ini ditunjukkan melalui
salah satu bangunan peninggalan yang terkenal di Romawi
yaitu bangunan The Pantheon (selesai sekitar 128 M) yang
terdapat di Roma.
Bangunan-bangunan kubah telah
menggeser dominasi atap sederhana yang ditumpu oleh
kolom pada bagian tepinya. The Pantheon memiliki atap
kubah yang diperkuat dengan besi dengan diameter
mencapai 43,30 m atau setara dengan 3,5 kali panjang
bus.
Pembuatan bangunan kubah yang diperkuat menggunakan
besi menggugah para ahli sipil untuk beranjak
menggunakan besi dibandingkan kayu, bahkan pada tahun

Halaman | 2

1887 1889 dibuat suatu konstruksi besi tertinggi dan


terumit yang pernah ada saat itu, yaitu menara Eiffel oleh
bangsa Prancis. Dapat dibayangkan mengingat besar dan
tingginya menara (mencapai 300 m), ribuan elemen besi
penyambungnya serta terbatasnya teknologi untuk
menghitung maka dapat dikatakan proses perencanaan
menara tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama.

Gambar 1.1.a
Piramida Cheops, Giza
(Sumber : F. Pogany;1960
Terek es utck mvszete,
Mszaki Knyvkiad,
Budapest)

Gambar 1.1.b
The Pantheon, Roma
(Sumber : Historia dellArte,
Salvat Editores, Barcelona)

Pembuatan bangunan kubah yang diperkuat menggunakan


besi menggugah para ahli sipil untuk beranjak
menggunakan besi dibandingkan kayu, bahkan pada tahun
1887 1889 dibuat suatu konstruksi besi tertinggi dan
terumit yang pernah ada saat itu, yaitu menara Eiffel oleh
bangsa Prancis. Dapat dibayangkan mengingat besar dan
tingginya menara (mencapai 300 m), ribuan elemen besi
penyambungnya serta terbatasnya teknologi untuk

Halaman | 3

menghitung maka dapat dikatakan proses perencanaan


menara tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama.
Penggunaan beton bertulang sendiri mulai marak setelah
ditemukannya semen portland yaitu menjelang tahun
1824. Bahan konstruksi semen dan baja telah membawa
dunia sipil ke dalam babak baru, hal ini dikarenakan
manusia hampir dapat membuat bangunan dalam berbagai
bentuk dan tujuan. Perpaduan bahan beton dan baja
tulangan tersebut juga mengikis kelemahan kedua bahan
tersebut bila digunakan secara terpisah, beton kurang kuat
dalam menahan gaya tarik serta baja tidak terlalu dominan
saat menahan gaya tekan.

B.

Perkembangan Konstruksi di Indonesia


Masa penjajahan selama kurang lebih 350 tahun telah
berpengaruh banyak terhadap perkembangan konstruksi di
Indonesia.
Salah satu contoh yang tampak adalah
beraneka bangunan air (kanal, bendung, saluran irigasi dll)
yang merupakan peningggalan bangsa Belanda yang
memang dikenal sebagai bangsa yang ahli dalam hal
konstruksi air hingga saat ini. Bangsa Portugal dan Inggris
juga telah meninggalkan gaya arsitektural Eropa yang
melekat pada bentuk dan struktur gedung-gedung tua.
Indonesia yang juga dikenal sebagai negara kepulauan
telah menyebabkan karakteristik bentuk dan struktur
bangunan berbeda antara satu tempat dengan tempat
lainnya. Tiap daerah memiliki ciri khas tersendiri yang
merupakan perpaduan kebudayaan dan kepercayaan
setempat yang dianut oleh mayoritas masyarakatnya.
Pada awalnya masyarakat Indonesia menggunakan bahanbahan konstruksi
sederhana yang paling mudah

Halaman | 4

ditemukan, antara lain kayu dan bambu yang diperoleh


dari kebun sekitar.
Anyaman bambu dipakai sebagai
dinding sedangkan kayu dipakai sebagai balok, kolom
ataupun kuda-kuda. Untuk penutup atap dipakai bahan
sirap ataupun daun pohon kelapa sedangkan lantai masih
terbuat dari tanah liat yang dipadatkan.
Perkembangan
konstruksi
mulai
berkembang
saat
masyarakat mulai menggunakan tanah liat yang dibakar,
baik itu berupa genteng maupun batu bata.
Sejalan
dengan penggunaan tanah liat yang dibakar tersebut maka
dimensi struktur bangunan menjadi lebih besar agar
didapat jaminan tingkat kekuatan. Hal ini dikarenakan
genteng ataupun batu bata lebih berat dibandingkan
bahan-bahan yang dipakai sebelumnya, sehingga balok
maupun kolom harus dibuat lebih besar agar lebih kuat.
Sebelum ditemukannya semen, masyarakat menggunakan
berbagai alternatif bahan berekat batu bata antara lain
tanah liat basah yang dicampur dengan gamping, tanah
liat yang dicampur dengan air kelapa hingga berbagai
alternatif lain.

Gambar 1.2. Bentuk rumah sederhana

Untuk menjamin tingkat keamanan dan kenyamanan di


Indonesia maka dibuat peraturan yang memberikan
persyaratan
tentang
bahan
bangunan,
metode
perencanaan, dan cara pelaksanaannya di lapangan. Pada

Halaman | 5

awalnya peraturan yang digunakan adalah peraturan


peninggalan belanda yaitu GBVI (Gewapend Beton
Voorschriften in Indonesia), bahasa dan pasal-pasal yang
dipakai masih menggunakan Bahasa Belanda.
Untuk
mempermudah pengguna peraturan beton, maka GBVI
diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia dengan berbagai
penyesuaian menjadi Peraturan Beton 1955 (PBI 1955)
kemudian disempurnakan pada awal tahun 70-an (PBI
1971). Peraturan Beton Indonesia (PBI) dirombak total
setelah dikeluarkannya Standar Tata Cara Penghitungan
Struktur Beton (SK SNI T-15-1991-03). SNI Beton tidak
lagi mengacu pada GBVI namun mengadaptasi peraturan
beton yang berlaku di Amerika yaitu American Concrete
Institute (ACI 318-83). Tiap selang waktu tertentu Badan
SNI mengeluarkan peraturan beton terbaru dengan
berbagai perbaikan redaksional dan metode perhitungan,
peraturan terbaru mengenai beton adalah Tata Cara
Perencanaan Struktur Beton Bertulang untuk Bangunan
Gedung (SK SNI T-15-2002-03).

Halaman | 6

BAB II
BAHAN BETON
BERTULANG

A.

Pengantar Beton Bertulang


Beton bertulang adalah perpaduan antara dua bahan
utama penyusunnya yaitu beton dan baja tulangan. Beton
kuat terhadap tekan namun sangat lemah terhadap tarik
(getas), sedangkan baja kuat terhadap tarik namun
kekuatan tekannya tidak terlalu dominan (daktail).
Sehingga gaya tekan yang diterima beton bertulang pada
akhirnya akan ditahan oleh beton sedangkan kuat tariknya
ditahan oleh baja tulangan.
Kerjasama antara bahan beton dan baja tulangan hanya
dapat terwujud dengan didasarkan pada keadaankeadaaan1:
1. lekatan sempurna antara batang tulangan baja dengan
beton keras yang membungkusnya sehingga tidak
terjadi penggelinciran diantara keduanya,
2. beton yang mengelilingi batang tulangan baja bersifat
kedap sehingga mampu melindungi dan mencegah
terjadinya karat baja,
3. angka muai kedua bahan tersebut juga hampir sama, di
mana untuk setiap kenaikan suhu satu derajat Celcius
angkai muai beton 0,000010 sampai 0,000013

Struktur Beton Bertulang, Istimawan Dipohusodo, PT Gramedia Pustaka


Utama, Jakarta, 1999 hal 2
1

Halaman | 7

sedangkan baja 0,000012 sehingga tegangan yang


timbul karena perbedaan nilai dapat diabaikan.
Berikut adalah istilah dan definisi hal-hal yang berkenaan
dengan beton berulang menurut Tata Cara Perencanaan
Struktur Beton Bertulang untuk Bangunan Gedung (SK SNI
T-15-2002-03):
1. adukan
campuran antara agregat halus dan semen portland
atau jenis semen hidraulik yang lain dan air
2. agregat
material granular, misalnya pasir, kerikil, batu pecah,
dan kerak tungku pijar, yang dipakai bersama-sama
dengan suatu media pengikat untuk membentuk suatu
beton atau adukan semen hidraulik
3. agregat halus
pasir alam sebagai hasil disintegrasi alami batuan atau
pasir yang dihasilkan oleh industri pemecah batu dan
mempunyai ukuran butir terbesar 5,0 mm
4. agregat kasar
kerikil sebagai hasil disintegrasi alami dari batuan atau
berupa batu pecah yang diperoleh dari industri pemecah
batu dan mempunyai ukuran butir antara 5 mm sampai
40 mm
5. beton
campuran antara semen portland atau semen hidraulik
yang lain, agregat halus, agregat kasar dan air, dengan
atau tanpa bahan tambahan yang membentuk massa
padat
6. beton bertulang
beton yang ditulangi dengan luas dan jumlah tulangan
yang tidak kurang dari nilai minimum, yang diisyaratkan
dengan atau tanpa prategang, dan direncanakan

Halaman | 8

berdasarkan asumsi bahwa kedua material bekerja


bersama-sama dalam menahan gaya yang bekerja
7. beton normal
beton yang mempunyai berat satuan 2200 kg/m3
sampai 2500 kg/m3 dan dibuat menggunakan agregat
alam yang dipecah atau tanpa dipecah
8. tulangan
batang baja berbentuk polos atau berbentuk ulir atau
berbentuk pipa yang berfungsi untuk menahan gaya
tarik pada komponen struktur beton, tidak termasuk
tendon
prategang
kecuali
bila
secara
khusus
diikutsertakan
B.

Semen
Semen adalah bahan perekat yang digunakan untuk
memberikan daya ikat pada campuran agregat halus
(pasir) dan agregat kasar (kerikil) pada campuran beton.
Semen yang biasa digunakan adalah semen portland
(ditemukan pada tahun 1824 di Inggris), semen jenis ini
bersifat hidrolik yaitu membutuhkan H2O sebagai
akselerasi reaksi kimianya. Bercampurnya air dan semen
ini menimbulkan suatu efek hidrasi (panas) yang akhirnya
pada saat air dan semen tersebut kembali dingin akan
membentuk ikatan yang mengeras dan solid.
Untuk menjamin kualitas semen tetap terjaga maka semen
perlu disimpan dalam ruang/gudang dengan sirkulasi udara
yang baik, ditumpuk tidak lebih dari 2 m atau 10 sak dan
pada dasar tumpukan diberi alas agar tidak kontak
langsung dengan lantai. Menurut Tata Cara Perencanaan
Struktur Beton Bertulang untuk Bangunan Gedung (SK SNI
T-15-2002-03) pasal 3.2, semen yang digunakan tersebut
harus memenuhi salah satu dari ketentuan berikut:
1. SNI 15-2049-1994 Semen Portland.

Halaman | 9

2. Spesifikasi Semen Blended Hidrolis (ASTM C 595 )


3. "Spesifikasi Semen Hidrolis Ekspansif" (ASTM C 845).
Semen portland mengandung gamping yang mengandung
kalsium oksida (CaO) dan sejenis lempung yang
mengandung silika dioksida (SiO2) serta alumunium oksida
(Al2O3). Di bawah ini adalah skema proses pembuatan
semen portland:

Gambar 2.1 Skema Proses Pembuatan Semen Portland


(www.bamburicement.com)

Halaman | 10

Semen
berdasarkan
tujuan
penggunaannya
dapat
dibedakan menjadi:
1. Jenis I, semen untuk penggunaan umum yang tidak
memerlukan persyaratan-persyaratan khusus seperti
yang diisyaratkan pada semen jenis lain.
2. Jenis
II,
semen
yang
dalam
penggunaannya
memerlukan ketahanan terhadap sulfat dan panas
hidrasi sedang.
3. Jenis III, semen yang dalam penggunaannya menuntut
persyaratan kekuatan awal yang tinggi setelah
pengikatan terjadi.
4. Jenis IV, semen yang dalam penggunaannya menuntut
persyaratan panas hidrasi rendah.
5. Jenis V, semen yang dalam penggunaannya persyaratan
sangat tahan terhadap sulfat.
C.

Air
Air yang digunakan sebagai bahan campuran beton harus
dari air bersih (biasanya digunakan air sumur atau air
tawar dari PDAM). Untuk proyek yang jauh dari akses air
tawar, dapat juga menggunakan air laut, hanya saja
tingkat kekuatan beton harus direduksi sebesar 80-90%
dari kekuatan rencana. Reduksi ini dikarenakan air laut
mengandung garam (NaCl) yang cenderung dapat
membuat beton relatif keropos dan tulangan juga lebih
mudah berkarat. Menurut PBI 1971, dalam pemakaian air
untuk beton sebaiknya memenuhi syarat sebagai berikut2:
1. tidak mengandung lumpur (benda melayang lainnya)
lebih dari 2 gram/liter,
2. tidak mengandung garam-garam yang dapat merusak
beton (asam, zat organik dan sebagainya) lebih dari 15
gram/liter,

Diktat Bahan Konstruksi Teknik, JTS FNT UGM, hal III-1

Halaman | 11

3. tidak mengandung klorida (Cl) lebih dari 0,5 gram/liter,


4. tidak mengandung senyawa sulfat lebih dari 1 gram/liter
Kandungan zat-zat diatas apabila berlebihan dapat
menyebabkan
timbulnya
retak-retak
pada
beton,
mengurangi tingkat keawetan, ataupun mengganggu
proses ikatan antara semen dan air.
Berdasarkan Tata Cara Perencanaan Struktur Beton
Bertulang untuk Bangunan Gedung (SK SNI T-15-2002-03)
pasal 3.4, air yang dipakai harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1. Air yang digunakan pada campuran beton harus bersih
dan bebas dari bahan-bahan merusak yang mengandung
oli, asam, alkali, garam, bahan organik, atau bahanbahan lainnya yang merugikan terhadap beton atau
tulangan.
2. Air pencampur yang digunakan pada beton pratekan
atau pada beton yang di dalamnya tertanam logam
aluminium, termasuk air bebas yang terkandung dalam
agregat, tidak boleh mengandung ion klorida dalam
jumlah yang membahayakan
3. Air yang tidak dapat diminum tidak boleh digunakan
pada beton, kecuali ketentuan berikut terpenuhi:
a. Pemilihan proporsi campuran beton harus didasarkan
pada campuran beton yang menggunakan air dari
sumber yang sama.
b. Hasil pengujian pada umur 7 dan 28 hari pada kubus
uji yang dibuat dari adukan dengan air yang tidak
dapat diminum harus mempunyai kekuatan sekurangkurangnya sama dengan 90% dari kekuatan benda uji
yang dibuat dengan air yang dapat diminum.

Halaman | 12

D.

Agregat Halus dan Agregat Kasar


Agregat halus adalah istilah yang umum digunakan untuk
agregat yang ukurannya tidak melebihi 0,5 cm, biasanya
berbentuk pasir. Pasir yang berasal dari dasar sungai
ataupun letusan gunung berapi biasanya jauh lebih diminati
karena bentuknya yang tajam dan bersudut dapat
memberikan efek interlocking (saling mengunci tiap butiran
pasir) dibandingkan pasir laut yang berbentuk bundar
akibat dari proses abrasi air laut berkelanjutan.
Agregat kasar adalah istilah untuk menunjukkan bahan
penyusun beton bertulang dengan ukuran 0,5 4 cm,
dapat berupa kerikil alam ataupun batuan yang dipecah
menjadi menyerupai ukuran kerikil (split).
Batu split
memiliki tingkat ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan
kerikil, karena selain mudah didapat (produk dari stone
crusher) juga dapat dipesan berdasarkan kebutuhan
(berdasarkan ukuran butiran kerikil yang dikehendaki). Di
bawah ini adalah visualisasi distribusi gradasi agregat
berdasarkan ukurannya:

Halaman | 13

Gambar 2.2 Visualisasi Distribusi Gradasi


(www.google.co.id/concrete materials)

Menurut PBI 1971, untuk menjamin mutu agregat perlu


diperhatikan hal-hal berikut3:
1. agregat tidak mengandung bahan yang dapat merusak
beton/material lain serta ketahanan tulangan terhadap
karatan,
2. untuk pasir dihindarkan menggunakan pasir laut,
gunakan pasir yang bersudut,
3. di dalam segala hal, ukuran besar butir nominal
maksimum agregat kasar tidak boleh melebihi 1/5 jarak

Diktat Bahan Konstruksi Teknik, JTS FNT UGM, hal V-2

Halaman | 14

terkecil antar bidang samping dari cetakan beton


ataupun 1/3 dari tebal pelat,
4. agregat harus disimpan di tempat yang saling terpisah
dalam tumpukan yang tidak lebih dari 1 m permukaan
yang bersih, padat serta kering.
Sedangkan berdasarkan Tata Cara Perencanaan Struktur
Beton Bertulang untuk Bangunan Gedung (SK SNI T-152002-03) pasal 3.3, agregat yang dipakai harus memenuhi
persyaratan di bawah ini:
1. Agregat untuk beton harus memenuhi salah satu dari
ketentuan berikut:
a. Spesifikasi Agregat untuk Beton(ASTM C 33).
b. SNI-03-2461-1991 Spesifikasi Agregat Ringan untuk
Beton Struktur.
2. Ukuran maksimum nominal agregat kasar harus tidak
melebihi:
a. 1/5 jarak terkecil antara sisi-sisi cetakan, ataupun
b. 1/3 ketebalan pelat lantai, ataupun
c. 3/4 jarak bersih minimum antara tulangan-tulangan
atau kawat-kawat, bundel tulangan, atau tendontendon pratekan atau selongsong-selongsong.

E.

Baja Tulangan
Baja tulangan berdasarkan tampilan fisiknya dibedakan
menjadi 2 yaitu tulangan polos (batang baja yang
permukaan sisi luarnya rata, tidak bersirip dan tidak
berukir) dan tulangan ulir/deform (batang baja yang
permukaan sisi luarnya tidak rata, tetapi bersirip atau
berukir).
Baja tulangan dikelompokkan berdasarkan
tegangan leleh dan diameternya.
Gambaran tegangan
leleh dapat dilihat pada kurva hubungan tegangan dan
regangan baja berikut:

Halaman | 15

Gambar 2.3 Spesimen Kuat Tarik dan


Hubungan Tegangan Regangan Baja

Menurut Mardjono (2005) baja dan besi cor merupakan


perpaduan antara besi (Fe) dan karbon (C), dengan rumus
kimia Fe3C, secara teoritis kandungan C pada baja dan besi
cor adalah 6,67% tetapi dalam prakteknya kandungan C
untuk baja (sebanyak 0,06 2%), besi cor (sebanyak 2
5%), dan besi murni (maksimal 0,06%). Baja diproduksi
dengan cara melebur biji besi yang diperoleh dari tambang
dalam tanur tinggi atau melebur kembali baja scraps

Halaman | 16

dalam tanur pengolahan baja dengan bahan dasar biji besi


atau besi tua ditambah arang kayu, kokas, oksigen dan
bahan tambah diolah dalam tanur temperatur tinggi. Arang
kayu akan bertindak sebagai bahan bakar dan sekaligus
bahan reduksi, sesudah bereaksi dengan udara panas yang
dihembuskan lewat pemanas udara. Disini pemanasan
diperoleh dengan pembakaran gas buang dari tanur.

Gambar 2.4 Proses Fabrikasi Baja

Beberapa pengaruh komponen baja terhadap sifat mekanis


dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Karbon (C)
Semakin tinggi kadar karbon di dalam baja, semakin
tinggi kuat tarik serta tegangan leleh, tetapi koefisien
muai bahan turun, dan baja semaikn getas. Karbon
mempunyai pengaruh yang paling dominan terhadap

Halaman | 17

sifat mampu las. Semakin tinggi kadar karbon


menjadikan sifat mampu las turun.
2. Mangan (Mn)
Menaikkan kekuatan dan kekerasan baja, sedikit
menurunkan koefisien muai bahan, dan melawan
terhadap kegetasan yang ditimbulkan oleh sulfur.
3. Silikon (Si)
Meningkatkan tegangan leleh, tetapi mengakibatkan
kegetasan jika kadar terlalu tinggi (2% atau lebih).
4. Pospor (P) dan sulfur (S)
Meningkatkan
kegetasan
baja
sesuai
dengan
peningkatan kadarnya. Keduanya cenderung memisah
keluar (segregate) dari baja.
Dalam proses pembuatan baja, oksigen dipisahkan dari
bijih besi secara paksa. Oleh karena itu secara alami, ada
suatu kecenderungan baja berusaha kembali mencapai
bentuk yang lebih stabil yaitu oksida besi (karat).
Perubahan bentuk dari logam menjadi oksida dalam
lingkungan yang induktif dinamakan korosi. Jika pada
permukaan baja terdapat air yang mengandung oksigen,
maka akan terjadi reaksi yang mengubah bijih besi yang
mempunyai potensi korosi rendah menjadi ferro hidroksida
yang larut dalam air. Larutan ini bercampur dengan
oksigen yang ada di dalam air menghasilkan ferri
hidroksida (karat). Reaksi ini terulang seiring dengan
perkembangan korosi. Keadaan lingkungan dengan
kombinasi
air
dan
oksigen
yang
berubah-ubah,
mempengaruhi kecepatan dan perkembangan korosi. Jika
tidak terdapat oksigen dan air, maka proses korosi tidak
akan berjalan.
Mengingat korosi dapat menimbulkan
kerugian yang besar, maka upaya harus dilakukan untuk
mencegah proses korosi pada elemen-elemen struktur.
Banyak riset telah dilakukan untuk hal tersebut, beberapa

Halaman | 18

metoda pencegahan korosi telah dikembangkan untuk


mengatasi permasalahan korosi4.
Diameter tulangan khususnya tulangan polos dapat dengan
mudah ditentukan dengan menggunakan kaliper, namun
untuk menentukan diameter tulangan ulir tidaklah mudah
mengingat adanya bagian ulir atau sirip, untuk itu cara
menentukan diameter tulangan ulir adalah sebagai berikut:
1. baja dipotong dalam satuan panjang tertentu dengan
menggunakan gergaji besi (misal 100 mm atau 200
mm) agar diperoleh tampang potong yang relatif rata,
2. untuk mendapatkan hasil yang akurat maka sampel
potongan baja minimal sebanyak 3 buah, usahakan tiap
sampel memiliki panjang yang hampir sama,
3. tiap batang baja diukur panjangnya kembali pada
minimal tiga sisi yang berbeda dengan menggunakan
kaliper ataupun penggaris, panjang tiap batang adalah
rerata dari pembacaan ukuran batang tersebut,
4. tiap batang ditimbang lantas berdasarkan persamaan berikut
dapat diketahui diameter nominal batang baja tersebut:
d = 4,0290,5 atau d = 12,7350,5
dengan:
d = diameter nominal (mm)
B = berat baja tulangan (N/m)
G = berat baja tulangan (kg/m)

Slide Mata Kuliah Struktur Baja I, Dr. Ir. Fitri Mardjono, M.Sc., Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, 2005, P. 22-29
4

Halaman | 19

Gambar 2.5 Bentuk Tulangan Ulir (Deform)

Toleransi berat batang contoh yang diijinkan harus


memenuhi kriteria berikut ini:
Diameter Tulangan Baja
Tulangan
< 10 mm
10 mm < < 16 mm
16 mm < < 28 mm
> 28 mm

F.

Toleransi Berat yang


Diijinkan
7%
6%
5%
4%

Adukan Beton
1. Adukan beton adalah campuran antara pasir, kerikil,
pasir dengan semen dan air dengan perbandingan
tertentu yang umum digunakan untuk pekerjaan
pembetonan struktur, seperti pembuatan kolom, balok,
plat lantai dan lain-lain.
2. Mortar adalah campuran antara pasir, semen dan air
dengan
perbandingan
tertentu
yang
umumnya
digunakan sebagai plesteran dinding ataupun spesi
untuk pasangan batu bata serta pasangan batu kali
3. Pasta adalah campuran antara semen dan air saja
dengan perbandingan tertentu yang dapat digunakan
sebagai bahan acian ataupun sponengan

Halaman | 20

Adukan yang diinginkan adalah adukan dengan tingkat


pengerjaan (workability) mudah dan nilai kelecakan baik.
Adukan yang terlalu banyak air akan menyebabkan
kurangnya daya rekat antar agregat sehingga bagian atas
campuran dipenuhi dengan air sedangkan agregatnya
tenggelam di bagian bawah, hal ini disebut bleeding.
Adukan yang kurang air dapat mempersulit dalam proses
pencampurannya, kurangnya air menyebabkan semen
tidak dapat berfungsi lagi sebagai bahan perekat sehingga
pada saat dipakai agregat kasar dan agregat halus akan
terpisah sendiri, hal tersebut disebut segregasi.
Dibutuhkan suatu perbandingan yang tepat sehingga
didapat sampuran yang ideal, dengan nilai kelecakan dan
tingkat pengerjaan yang baik. Suatu campuran dapat
dikatakan memiliki tingkat pengerjaan yang baik apabila
mudah dalam proses pencampuran, distribusi dan
pemakaiannya.
Tingkat kelecakan suatu campuran berhubungan dengan
proporsi jumlah semen, air dan agregat. Kesetimbangan
jumlah ini dapat mengurangi ruang kosong yang terisi oleh
gelembung udara (void) ataupun air yang menguap saat
beton mulai mengering. Untuk memastikan ruang-ruang
yang terdapat antara agregat kasar terisikan oleh agregat
halus, dibutuhkan penyebaran agregat dalam proporsi
jumlah yang tepat, hal ini dikenal dengan gradasi
butiran. Gradasi butiran ini juga menentukan tingkat
kekuatan beton, semakin baik gradasi butiran maka
semakin tinggi mutu beton yang dihasilkan demikian juga
sebaliknya.

Halaman | 21

Jenis agregat dapat ditentukan dengan menggunakan


ayakan yang disusun berlapis, yaitu sebagai berikut:
1. Agregat kasar tertinggal ayakan No. 4
2. Agregat halus lolos ayakan No. 4 tapi tertahan
ayakan No. 200
3. Agregat pengisi (filler) lolos ayakan No. 200
Dengan bantuan ayakan ini juga dapat diketahui modulus
halus butiran yaitu dilakukan dengan cara menjumlahkan
seluruh berat kumulatif pasir lantas dicocokkan dengan
diagram sehingga diperoleh klasifikasi kehalusan pasir
tersebut.
Contoh :
Lubang
ayakan
(mm)

(gr)

(%)

4,75
2,30
0,80
0,60
0,25
0,15
Sisa
Jumlah

0,335
5,34
15,54
65,44
226,44
170,20
16,55
499,85

0,065
1,068
3,108
13,088
45,288
34,040
3,310
99,967

Berat tertinggal

Berat
kumulatif
(%)
0,065
1,133
4,421
14,329
62,617
96,657
-

Berat
kumulatif
lewat
ayakan (%)
99,935
98,867
95,759
82,671
37,383
3,343
0,033
-

Halaman | 22

Tingkat pengerjaan (workability) suatu campuran memiliki


beberapa parameter seperti halnya yang disebutkan di
bawah ini:5
1. Kepadatan beton (compactibility)
Kepadatan berhubungan langsung dengan kandungan
udara yang terperangkap di dalam campuran,
sedemikian sehingga dikeluarkan agar beton tidak
keropos saat mengering yaitu dengan cara dipadatkan
ataupun pengolahan campuran yang mencukupi.
2. Stabilitas (stability)
Kemampuan campuran untuk mempertahankan rekatan
antara agregat dan semen sehingga tidak menimbulkan
segregasi, khususnya pada saat pemadatan.
3. Aliran campuran (mobility)
Suatu campuran harus dapat mengalir mengikuti bentuk
cetakan dan memenuhi setiap bagian dari cetakan yang
dibuat tersebut.
4. Hasil akhir (finishibility)
Memberikan hasil yang rata (relatif halus) pada saat
campuran mengering.

Newman, K., Properties of Concrete, Structural Concrete, Vol.2, No.11,


September 1965, pp. 451-82
5

Halaman | 23

BAB III
BAHAN
KONTRUKSI KAYU
A.

Pendahuluan
Kayu yang merupakan salah satu bahan kosntruksi lokal,
telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu. Bila kita
cermati sejarah penggunaan kayu telah dimulai semenjak
manusia tidak lagi menggunakan gua sebagai tempat
berlindung. Penggunaan kayu dinilai cukup memberikan
manfaat ekonomis karena selain kayu mudah didapat,
mudah diolah, ringan, awet dan kekuatannya relatif tinggi.
Selain itu juga mengingat kayu merupakan bahan organik,
sehingga
dalam
kegiatan
pengolahannya cenderung tidak
menghasilkan
limbah
yang
merugikan. Hampir semua jenis
kayu dapat digunakan sebagai
konstruksi
sipil,
yang
membedakannya
hanyalah
tingkat kekuatan dan keawetan
yang beragam tergantung dari
macam kayu yang digunakan. Kayu adalah bahan yang
bersifat orthotropik yaitu bahan yang arah radian dan
tangensial berbeda akibat dari pengaruh serat.
Walaupun kayu memiliki berbagai keuntungan seperti telah
disebutkan diatas, kayu juga mempunyai beberapa
kekurangan antara lain :

Halaman | 24

1. kekuatan kayu tidak seragam sepanjang bentang,


batang bagian bawah relatif lebih kuat dibandingkan
batang bagian atas (hal ini dikarenakan kayu
merupakan bahan organik),
2. kayu adalah bahan yang mudah terbakar,
3. kekuatan kayu searah serat dengan tegak lurus serat
tidak sama,
4. kayu yang tidak mengalami proses pengawetan sangat
rentan terhadap serangan rayap,
5. memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan
pohon yang siap dipotong untuk mendapatkan kayunya,
6. kayu dengan jenis yang sama tidak selalu memiliki
tingkat kekuatan yang sama pula.
B.

KLASIFIKASI DAN PENAMAAN KAYU


Tumbuhan yang masuk dalam dunia flora dibedakan ke
dalam berbagai divisi, antara lain : thallophyta,
spermathophyta, pteridophyta dan bryophyta.
Hampir
seluruh kayu yang beredar di pasaran masuk dalam divisi
spermathophyta. Selain kayu glugu, maka semua kayu
yang digunakan untuk bahan konstruksi termasuk dalam
kelas dycotyledoneae.
Nama kayu yang dikenal masyarakat pada umumnya
memiliki nama yang berbeda dengan nama ilmiahnya,
sebagai contoh kayu Cendana memiliki nama ilmiah
Santalum album L. Nama ilmiah (botanis) biasanya terdiri
dari dua kata atau lebih, kata pertama menunjukkan nama
marga sedangkan kata kedua menunjukkan nama spesies.
Kadang untuk mengingat seseorang yang telah berjasa
menemukan spesies tersebut, maka dalam nama ilmiah
dimasukkan juga nama penemu tersebut sebagai kata
ketiga atau keempat.

Halaman | 25

Berikut adalah bagan yang memberikan gambaran lebih


jelas mengenai klasifikasi taksonomi dari tumbuhan :

Gambar 3.1 Bagan Taksonomi Tumbuhan

Nama kayu yang dikenal masyarakat pada umumnya


memiliki nama yang berbeda dengan nama ilmiahnya,
sebagai contoh kayu Cendana memiliki nama ilmiah
Santalum album L. Nama ilmiah (botanis) biasanya terdiri
dari dua kata atau lebih, kata pertama menunjukkan nama
marga sedangkan kata kedua menunjukkan nama spesies.
Kadang untuk mengingat seseorang yang telah berjasa
menemukan spesies tersebut, maka dalam nama ilmiah
dimasukkan juga nama penemu tersebut sebagai kata
ketiga atau keempat.

Halaman | 26

Di bawah ini adalah daftar beberapa nama ilmiah beserta


nama yang dikenal di pasaran6 :
Tabel 3.1 Daftar nama pasaran dan ilmiah beberapa kayu di
Indonesia
No

Nama Pasaran

1.

Cemara

2.

Bangkirai

3.

Kruing

4.

Meranti putih

5.

Meranti merah

6.

Rasamala

7.

Ulin/besi

8.

Cempaka

9.

Sonokeling

10.

Jati

11.

Giam/tembaga

12.

Mersawa

Nama ilmiah
(botanis)
Casuarina
equisetifola
Forst.
Shorea laevifolia
Endert.
Dipterocarpus
spec. div.
Shorea &
Parashorea spec.
div.
Shorea spec. div.
Altingia excelsa
Noronha.
Eusideroxylon
zwageri T. et B.
Michelia spec.
div.
Dalbergia
latifolia Roxb.
Tectona grandis
L.f.
Cotylelobium
spec. div. &
Vatica spec.div.
Anisoptera spec.
div.

Familia
Casuarinaceae
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
Hamamelidaceae
Lauraceae
Magnoliaceae
Papilionaceae
Verbenaceae
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae

Departemen Pekerjaan Umum, Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia, NI-5


PKKI 1961, Jakarta, 1961
6

Halaman | 27

C.

No

Nama Pasaran

13.

Tusam/damar

14.

Puspa

15.

Bedaru

Nama ilmiah
(botanis)
Pinus merkusii
Jungh. Et. De Vr.
Schima walichii.
Kort. Spec. div.
Cantleya
corniculata
Howard.

Familia
Pinaceae
Theaceae
Icacinaceae

ANATOMI KAYU
Tumbuhan tersusun atas sel-sel aktif yang tumbuh dan
berkembang sejalan dengan umur tumbuhan, terdiri dari
selulosa (50%), hemiselulosa (25%), dan lignin (25%) 7.
Sel-sel kayu yang berada pada pepohonan berkembang
aktif yang menyebabkan pohon bertambah besar ataupun
tinggi.
Kumpulan sel kayu membentuk pembuluh,
parenkim dan serat. Sari makanan yang didapat dari
dalam tanah ditransfer ke daun selama proses fotosintesa
menggunakan pembuluh xylem (terletak di bagian dalam
dari batang). Hasil fotosintesa sebelum didistribusikan
menggunakan pembuluh floem (terletak di bagian bawah
kulit luar kayu) disimpan terlebih dulu pada parenkim
(berbentuk kotak dan berdinding tipis) sedangkan yang
disebut serat adalah sel kayu yang berdinding tebal serta
berperan dalam menopang pertumbuhan arah vertikal
kayu.
Bagian yang paling dominan dalam proses pertumbuhan
pohon adalah kambium yang berisikan sel-sel yang masih
hidup dan terus berkembang. Kambium memisahkan dua

Desch, H.E., and Dinwoodie, J.M., Timber : Its Structure Properties and
Utilization, Timber Press, Forest Grove, Oregon, 1981

Halaman | 28

bagian daerah sel yaitu daerah teras (heartwood) dan


gubal (sapwood). Bagian teras berisikan sel-sel yang telah
mati dan mengeras yang keberadaanya sangat dominan
dalam menjaga kekokohan kayu, berwarna agak gelap
karena mengendapnya zat ekstraktif setelah sel-sel
tersebut mati. Bagian gubal berisikan sel-sel yang masih
hidup (berwarna lebih terang dan lebih lunak) berfungsi
sebagai penghantar zat-zat makanan baik dari akar ke
daun maupun dari daun ke batang. Lapisan gubal ini
dikelilingi suatu lapisan pelindung alami yang dikenal
sebagai kulit kayu (bark).

A. Kambium
B. Lapisan kulit dalam (inner bark)
C. Lapisan kulit luar (outer bark)
D. Gubal (sapwood)
E. Teras (heartwood)
F. Inti kayu (pith)
G. Lingkaran tahun (annual ring)
Gambar 3.2 Potongan Melintang Pohon Kayu
(http:// www.swst.org/SWST Teaching Unit Number 1
Slide Set 2)

Halaman | 29

Perubahan musim berpengaruh sangat besar dalam


pertumbuhan kayu, pada musim hujan air dan zat hara
berlimpah sehingga sel-sel kayu dapat tumbuh secara
optimal. Pada musim kemarau, jumlah air dan zat hara
sangat terbatas sehingga sel kayu tidak dapat tumbuh
sempurna.
Perbedaan ukuran sel kayu pada musim
penghujan dan musim kemarau ini membentuk suatu
perbedaan tampilan yang disebut lingkaran tahun (annual
ring). Umur pohon juga dapat diperkirakan dari jumlah
lingkaran tahun yang terdapat pada batang pohon
tersebut.

Gambar 3.3 Tampilan Mikro Kayu


(http:// www.swst.org/SWST Teaching Unit Number 1
Slide Set 2)

Halaman | 30

D.

KANDUNGAN AIR
Kayu memiliki karakteristik higroskopis, artinya kayu
terpengaruh oleh kandungan air yang berada di sekitarnya.
Untuk menjaga kestabilan kelembaban dengan ruang
sekitarnya (equilibrium moisture content) maka kayu
kering akan menarik uap air dari udara, demikian
sebaliknya kayu basah akan melepaskan uap air ke udara.
Kandungan air yang terdapat pada pohon berbeda-beda,
walaupun memiliki jenis yang sama, ditanam di tempat
yang berdekatan dan umur yang sama pula.
Hal ini
dikarenakan masih banyak faktor luar lainnya yang
berpengaruh
seperti
kemiringan
sinar
matahari,
kandungan air dan zat hara tepat di tempat pohon itu
berada, kelembaban udara dan sebagainya. Kandungan
air pada kayu setelah ditebang bisa mencapai 40 - 300%
yang berbanding terbalik dengan kekuatan struktural kayu.
Air yang berada dalam batang pohon tersimpan dalam dua
bentuk yaitu : air bebas (free water) dan air ikat (bound
water).
Air bebas menempel diantara sel-sel kayu
sedangkan air ikat terletak pada dinding sel. Pada proses
pelepasan dan penarikan uap air dari udara sekitar maka
air yang berperan adalah air bebas.
Suatu keadaan
dimana air yang menempel di sel kayu habis sedangkan air
ikat masih jenuh disebut titik jenuh serat (fibre saturation
point).
Pada proses pengeringan kayu, tidak hanya air
bebas yang dikeringkan tapi juga air ikat sehingga tampak
adanya perubahan bentuk kayu (kembang susut) walaupun
kadang sangat kecil.

Halaman | 31

Gambar 3.4 Kandungan Air pada Kayu


(http:// www.swst.org/SWST Teaching Unit Number 2
Slide Set 1)

Berdasarkan kandungan air yang terdapat dalam kayu,


kayu dibedakan menjadi :
1. Kayu basah, yaitu kayu yang barus saja ditebang (kadar
air 40 300%)
2. Kayu kering udara, yaitu kayu yang kandungan airnya
sudah tetap sesuai dengan kondisi di sekitarnya (kadar
air 12 20%)
3. Kayu kering mutlak (kering tungku/kering oven), yaitu
kayu yang setelah proses pemanasan di oven/tungku
pada suhu 105oC selama 7-8 jam tidak lagi memiliki
kandungan air lagi di dalamnya (kadar air 0%)

E.

KEGUNAAN KAYU
Kayu dapat digunakan sebagai elemen pendukung
struktural maupun non struktural. Kayu yang digunakan
sebagai elemen pendukung struktural adalah jenis kayu
yang kuat dan awet karena dipakai untuk menahan beban
yang bekerja sepanjang waktu, adapun jenis kayu

Halaman | 32

disesuaiakan dengan besarnya beban yang diterima.


Semakin besar beban ataupun intensitas terjadinya beban
(efek redundasi) maka semakin kuat dan awet kayu yang
harus digunakan. Elemen pendukung non struktural yang
terbuat dari kayu pada umumnya berasal dari hasil proses
pengolahan kayu, antara lain8 :
1. Particle Board (Chipboard)
Kayu dihancurkan menjadi serbuk kasar dan serbuk
tersebut dipadatkan dengan mesin menjadi papan.
Kualitas Particle Board diukur berdasarkan kepadatan.
2. MFC (Melamine Face Chipboard)
MFC adalah Particle Board yang permukaannya dilapisi
oleh bahan melamin supaya tahan air.
3. MDF (Medium Density Fiberboard)
Terbuat dari kayu yang dihancurkan sampai menjadi
bubur yang halus, kemudian dihancurkan dengan bahan
kimia yang berfungsi sebagai perekat lalu dikompres
dan dikeringkan dengan suhu tinggi. MDF lebih halus
dibandingkan Particle Board.
4. HDF (High Density Fiberboard)
Mirip dengan MDF tapi dikompres dan dikeringkan
dengan suhu yang lebih tinggi sehingga menghasilkan
panel yang lebih kuat dalam menahan beban. Panel
HDF biasanya digunakan untuk bahan pelapis lantai.
5. Blockboard
Terdiri dari potongan kecil kayu yang berukuran 4 5
cm, kayu tersebut kemudian dipadatkan menjadi
lembaran papan.
Potongan kayu yang digunakan
biasanya dari kayu lunak.
6. Teakblok
Kayu blockboard yang diberi lapisan terluar dari irisan
kayu jati (teak)
Ali Awaludin & Inggar S.I., Konstruksi Kayu, Biro Penerbit Teknik Sipil UGM,
Yogyakarta, 2005
8

Halaman | 33

7. Kayu lapis (Plywood)


Sejumlah lapisan tipis kayu yang dilem dengan mesin
menjadi satu membentuk papan.
Jenis kayu yang
dipakai bervariasi antara kayu keras dan kayu lunak.
Tiap lapisan kayu dipasang berselang-seling serat
kayunya supaya papan lebih kuat.

Gambar 3.5 Skema Proses Pembuatan Particle Board


(Wood Handbook: Wood as an Engineering Material,
Chapter 10 p.10-12)

Halaman | 34

Gambar 3.6 Lendutan pada Balok Kayu

G. PENGAWETAN KAYU
Kayu adalah bahan orthotropik yang apabila tidak
diawetkan dapat terserang oleh rayap atau serangga
pemakan kayu lainnya, hal ini dikarenakan kayu
mengandung zat gula yang merupakan makanan bagi
rayap. Satu koloni rayap dapat dengan cepat menyerang
kayu segar yang tidak diawetkan. Selain akibat serangan
rayap, kayu juga dapat lapuk akibat jamur ataupun

Halaman | 35

perubahan
iklim
yang
berkelanjutan.
Untuk
mengantisipasi hal tersebut maka dibutuhkan upaya
pengawetan sehingga masa layan kayu tersebut dapat
lebih lama.

Gambar 3.7 Rayap, Semut Bersayap dan Jamur Penyerang Kayu


(Wood Handbook: Wood as an Engineering Material, Chapter 13
p.13-3 & 13-11)

Beberapa macam metode pengawetan kayu yang sudah


dikenal luas oleh masyarakat kita adalah : perendaman,
laburan, rendaman panas dan dingin, dan vacum tekan.
Pada daerah yang tidak terdapat alat vacum tekan, metode
rendaman panas dingin merupakan metode yang paling
efektif. Proses pengawetan rendaman panas dan dingin
diawali dengan merendam kayu pada larutan pengawet
panas (88oC 113oC) sehingga udara pada pori-pori kayu
mengembang.
Kayu yang sudah direndam panas,
kemudian dimasukkan pada larutan pengawet dingin.

Halaman | 36

Udara yang tadinya mengembang, kemudian akan


mengerut dan menarik larutan pengawet ke dalam kayu.
Proses rendaman panas dan dingin dapat juga dilakukan
dalam satu bak/tempat.
Metode vacum tekan sangat
disenangi untuk keperluan komersial, karena sangan
efisien dan efektif (masuknya bahan pengawet ke kayu
bisa lebih dalam dan merata).9

Ali Awaludin & Inggar S.I., Konstruksi Kayu, Biro Penerbit Teknik Sipil UGM,
Yogyakarta, 2005
9

Halaman | 37

BAB IV
DINAMIKA
APLIKASI BAMBU
A.

Umum
Indonesia sebagai salah satu negara yang berada di daerah
tropis memiliki berbagai varietas hayati yang beraneka
ragam species dan klasnya.
Diantara keanekaragaman
tersebut terdapat kekayaan botani yang tidak dimiliki oleh
negara lain. Hampir setiap jenis tanaman dapat tumbuh di
Indonesia, demikian juga dengan bambu. Bambu sebagai
salah satu tumbuhan yang semenjak dahulu telah
memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat
pedesaan pada khususnya, kini semakin banyak diminati
dan dihargai keberadaannya.
Bambu dapat diubah
kedalam bentuk kerajinan bernilai seni tinggi dengan mutu
internasional ataupun dapat juga dalam masa-masa
mendatang digunakan sebagai pengganti piranti kayu.
Menurut Liese (1985) bambu dapat tumbuh dengan mudah
baik pada dataran rendah maupun pada dataran tinggi
hingga mencapai 3000 m diatas permukaan air laut.
Namun bambu akan lebih banyak dijumpai pada ketinggian
100 hingga 800 m diatas permukaan air laut. Bambu
merupakan tanaman yang termasuk sub familia rumput
dengan pertumbuhan yang relatif cepat. Terdapat hampir
50 macam bambu yang telah dikenal didunia , termasuk
didalamnya berupa 700 species yang berbeda. Hampir

Halaman | 38

sebagian besar tumbuh di negara-negara Asia sedangkan


sebagian lagi tumbuh di benua Afrika ataupun Eropa.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa bambu kini makin
marak penggunaanya, hal ini karena pertumbuhan bambu
yang kurang lebih hanya 3 tahun hingga mencapai usia
panen. Hal ini sangatlah kontradiktif dengan penggunaan
kayu yang harus menunggu 10 hingga 20 tahun. Selain itu
berdasarkan penelitianpenelitian yang telah dilakukan,
dapat dikatakan bambu memiliki nilai kuat tarik yang relatif
besar, bahkan lebih tinggi dibandingkan kuat tarik baja.
Selain itu bambu juga dinilai tumbuhan yang ekonomis
karena tidak memerlukan perawatan khusus dan cenderung
dapat berkembangbiakdengan sendirinya.
Hanya saja
untuk tuntutan produksi, maka pada umumnya di negaranegara tertentu yang memang menggalakkan penggunaan
bambu seperti Thailand ataupun Costa Rica memang
dikembangbiakkan dengan bantuan manusia. Hal ini dalam
kaitannya agar diperoleh keseragaman bentuk dan
keseragaman mutu.
Metode pemanenan tanaman bambu adalah dengan
metode tebang habis dan tebang pilih. Pada metode tebang
habis, semua batang bambu ditebang baik yang tua
maupun yang muda, sehingga kualitas batang bambu yang
diperoleh bercampur antara bambu yang tua dan yang
muda. Selain itu metode ini juga menimbulkan pengaruh
terhadap
sistem
perebungan
bambu,
sehingga
kelangsungan tanaman bambu terganggu, karena sistem
perebungan bambu dipengaruhi juga oleh batang bambu
yang ditinggalkan. Pada beberapa jenis tanaman bambu
metode tebang habis menyebabkan rumpun menjadi kering
dan mati, tetapi pada jenis yang lain masih mampu
menumbuhkan rebungnya tetapi dengan diameter rebung

Halaman | 39

tidak besar dan junlahnya tidak banyak (Sindusuwarno,


1963).
Namun lepas daripada keunggulan bambu tersebut
terdapat beberapa kelemahan bambu bila ditinjau dalam
kaitannya penggunaan bambu sebagai material struktur
antara lain tanpa pengawetan yang cukup maka bambu
akan dengan mudah kehilangan kekuatannya baik
diakibatkan oleh serangan hama ataupun keropos. Selain
itu kekuatan bambu tidak seragam sepanjang bentang,
walaupun
bentuk
bambu
yang
bundar
berongga
menyebabkan meningkatnya momen inersia namun
kekuatannya lebih ditentukan umur dan kandungan sel
mati yang menjadi penyususn batang bambu tersebut.
Semakin jauh dengan akar maka kekuatan bambu relatif
berkurang.
B.

Nilai ekonomis Bambu


Pada umumnya jenis-jenis yang diperdagangkan adalah
jenis-jenis bambu yang berdiameter besar dan berdinding
tebal. Jenis-jenis tersebut adalah Bambusa bambos,
Bambusa blumeana, Bambusa vulgaris, Dendrocalamus
asper, Dendrocalamus latiflorus, Gigantochloa apus,
Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Gigantochloa
levis,
Gigantochloa
pseudoarundinacea,
Gigantochloa
robusta, Gigantochloa manggong
dan Gigantochloa
schortechniil. Dari jenis-jenis tersebut, 5 jenis berpotensi
dibudidayakan secara massal untuk menunjang industri
kertas, chopstick, flowerstick, playbamboo, particleboard
dan papan semen serat bambu. Jenis-jenis tersebut adalah
Bambosa vulgaris, Dendrocalamus asper, Gigantochloa
levis, Gigantochloa pseudoarundinacea dan Gigantochloa
robusta. Bermacam-macam jenis bambu bercampur
ditanam di pekarangan rumah. Pada umumnya yang sering

Halaman | 40

digunakan oleh masyarakat di Indonesia adalah bambu tali,


bambu petung, bambu andong dan bambu hitam.
Adapun tampilan visual dari beberapa jenis bambu diatas
dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Bambusa vulgaris 'Vittata'


(ampel)

Dendrocalamus asper (petung)

Bambusa textilis

Gigantochloa pseudoarundinacea
(andong)

Halaman | 41

Gigantochloa verticillata (peting/temen)


Gambar 4.1 Berbagai jenis bambu yang sering digunakan

C.

Bahan Penyusun Bambu


Bambu terdiri atas sekitar 50% parenkim, 40% serat dan
10% sel penghubung (pembuluh dan sieve tubes)
Dransfield dan Widjaja (1995).
Parenkim dan sel
penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam
dari bambu, sedangkan serat lebih banyak ditemukan pada
bagian luar. Kulit bambu merupakan lapisan kulit mati
yang berfungsi untuk melindungi bagian didalamnya.
Sedangkan susunan serat pada ruas penghubung antar
buku memiliki kecenderungan bertambah besar dari bawah
ke atas sementara parenkimnya berkurang.
Bunga bambu tersusun majemuk, bagian ujung bunga
terdiri dari 1 lema, 1 palea, 3 lodikala, 3 atau 6 benang sari
dan 1 bakal buah dengan 1 atau 3 kepala putik.
Pembungaan tidak teratur, bunga yang muncul sering tidak

Halaman | 42

menghasilkan biji. Ranting bambu silidris, berbuku-buku,


beruas-ruas yang berongga atau kadang masif, berdinding
keras, pada setiap buku terdapat tangkai dan helai daun
yang keras. Akar bambu terdiri dari rhizom (rimpang)
yang berbuku-buku dan beruas-ruas, tanpa rongga atau
masif. Pada buku akar ditumbuhi akar-akaran serabut dan
tunas yang dapat tumbuh menjadi batang.

D. Sifat Fisik dan Mekanik Bambu


Untuk mengetahui secara pasti batasan penggunaan dari
suatu bahan maka perlu diketahui terlebih dahulu sifat fisik
ataupun mekaniknya. Beberapa hal yang mempengaruhi
sifat fisis dan mekanis bambu adalah umur, posisi
ketinggian, diameter, tebal daging bambu, posisi beban
(pada buku atau ruas), posisi radial dari luas sampai ke
bagian dalam dan kadar air bambu.
Sifat mekanik khususnya diperoleh dari pengujian di
laboratorium dengan berbagai pendekatan dan tinjauan
teori. Pada dasarnya pengujian yang dilakukan tersebut
untuk mengetahui secara pasti parameter ataupun
besaran-besaran dari jenis bambu yang diamati, namun
mengingat jenis bambu yang sangat banyak maka
parameter dan besaran tersebut tidak dapat disetarakan
untuk semua bambu. Hal ini yang menjadi tantangan bagi
para peneliti mengingat bambu adalah berda organik yang
masa pertumbuhannya dapat dipengaruhi oleh berbagai
macam pengaruh. Untuk itu setiap penggunaan bambu
untuk tingkat lanjut ataupun untuk tujuan konstruksi
dengan skala besar araupun unik hendaknya dilakukan
pengujian terhadap mutu dan kulaitas dari bambu yang
akan digunakan. Selain itu pula jenis bambu yang sama
namun tumbuh di daerah berbeda juga tidak dapat

Halaman | 43

menjamin memberikan kekuatan yang sama. Adapun hasil


pengujian sifat fisis dan mekanis bambu diberikan oleh
Ginoga (1977) dalam taraf pendahuluan. Pengujian
dilakukan pada bambu apus (Gigantochloa apus Kurz.) dan
bambu hitam (Gigantochloa nigrocillata Kurz.).

E.

Ketahanan Terhadap Serangan Serangga


Selain tinjauan mengenai sifat fisik, mekanik ataupun
kimiawi perlu juga adanya ulasan mengenai ketahanan
bambu terhadap serangan serangga (bubuk).
Pada
umumnya bambu yang masih tumbuh (belum dipotong)
tidak akan terserang bubuk, hal ini karena bambu
memproduksi sejenis cairan yang tidak disukai bubuk.
Bambu dengan kandungan pati yang tinggi seperti bambu
legi, akan mempunyai kemungkinan diserang bubuk lebih
besar saat setelah dipotong. Untuk menentukan banyak
sedikitnya kemungkinan serangan bubuk maka dilakukan
pengujian dengan cara mengkonsumsikan bambu kepada
sejumlah bubuk yang diternakkan di laboratorium
Menurut Jasni dan Sumarni (1999), tujuh jenis bambu yang
diteliti, bambu ampel (Bambusa vulgaris) paling rentan
terhadap serangan bubuk, kemudian bambu andong
(Gigantochloa
pseudoarundinacea),
bambu
hitam
(Gigantochloa
atroviolaceae)
dan
bambu
terung
(Gigantochloa nitrocilliata). Sedangkan bambu atter
(Gigantochloa atter) dan bambu apus/tali (Gigantochloa
apus) relatif tahan terhadap serangan bubuk. Jenis bubuk
bambu yang banyak ditemukan menyerang bambu adalah
Dinoderus sp., sedangkan jenis bubuk yang paling sedikit
ditemukan menyerang bambu adalah Lyctus sp.

Halaman | 44

F.

Dinamika Bambu pada Masyarakat Pedesaan


Semenjak dahulu bambu telah mendapatkan posisinya
sebagai salah satu tumbuhan turun temurun, hal ini
tampak pada kultur masyarakat pedesaan dimana
pekarangan yang ditumbuhi dengan bambu hampir ditemui
di setiap rumah. Namun pada saat ditanyakan alasan
mereka menanam bambu, jawaban yang sering muncul
adalah sebenarnya mereka tidak mengetahui siapa yang
pertama kali menanam bambu tersebut karena mereka
mendapatkannya dari orang-orang sebelum mereka secara
turun temurun.
Namun lepas dari asal muasal siapa yang menanam bambu
tersebut, kehadiran bambu telah menjadi primadona
dimata masyarakat.
Bambu adalah tanaman dengan
pertumbuhan cepat, sehingga apabila digunakan untuk
kepentingan tertentu, dalam jangka waktu tak lama telah
ada penggantinya.
Taruhlah kebiasaan masyarakat
pedesaan untuk membangun rumah dari bambu baik untuk
dinding yang terbuat dari anyaman bambu, rangka atap
hingga kuda-kuda. Walaupun kebiasaan tersebut kini telah
bergeser dengan mulai digunakannya dinding permanen
ataupun piranti dari kayu namun bambu tetap menduduki
peringkat teratas untuk tumbuhan multiguna di mata
masyarakat pedesaan.
Berbagai macam penggunaan bambu khususnya oleh
masyarakat pedesaan diuraikan lebih lanjut sebagai
berikut:
1. Bambu sebagai dinding rumah
a. Anyaman dinding bambu
Dapat
dikatakan
dinding
bambu
(jawa
:
kepang/gedeg) adalah nenek moyang dari berbagai
dinding yang ada di Indonesia. Dinding bambu dibuat
dari anyaman kulit bambu yang dipotong memanjang

Halaman | 45

dengan ukuran yang seragam.


Pola anyaman ini
dapat beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan
namun anyaman dinding bambu yang paling umum
dibuat adalah anyaman 2-2 dimana 2 baris bambu
dianyaman memotong 2 baris bambu lainnya.
Karena pada umumnya anyaman dinding bambu
tersebut terbuat dari kulit bagian luar bambu maka
hal ini menyebabkan anyaman tersebut relatif aman
dari serangan hama dan bubuk. Selain itu pula untuk
anyaman dengan bambu yang telah diawetkan akan
memiliki kinerja yang jauh lebih baik. Pembahasan
tentang pengawetan bambu akan diulas lebih jauh
dalam bahasan berikutnya.

Gambar 4.2 Penggunaan anyaman bambu


pada dinding rumah

Pengguna dinding anyaman bambu kini tidak hanya


digunakan di daerah pedesaan namun juga mulai
merambah ke perkotaan dimana untuk mendapatkan
kesan artistik dan etnik maka pasangan dinding biasa
(batu bata) pada bagian luarnya ditutup dengan
menggunakan anyaman dinding bambu.
Selain
menimbulkan kesan nyaman maka dengan penutupan
dengan
anyaman
bambu
tersebut
dapat
memungkinkan
tidak
dilakukannya
pekerjaan
plesteran
ataupun setidaknya
tidak
dilakukan

Halaman | 46

pekerjaan acian dinding karena


nantinya tidak akan terlihat.

kontur

dinding

b. Dinding bambu galar dan bilah


Penggunaan bambu dalam kaitannya untuk tujuan
pembuatan dinding tidak hanya dapat diwujudkan
dalam bentuk anyaman, untuk beberapa daerah
masih dijumpai adanya bambu galar yang digunakan
sebagai dinding. Bambu galar adalah bambu yang
dipipihkan sehingga menghasilkan lembaran bambu
yang masih saling terkait. Karena serat bambu yang
cenderung tidak selalu sejajar maka pada galar ini
ditemukan beberapa celah. Galar disusun tegak lurus
dan dikaitkan pada batang bambu melintang.
Galar umumnya dibuat dari bambu yang relatif tipis
sehingga mudah untuk membuatnya pipih, namun
konsekuensi yang harus diterima adalah bambu yang
relatif tipis pada umumnya tidak awet sehingga dalam
jangka waktu tertentu perlu adanya penggantian.

Gambar 4.3 Penggunaan galar sebagai dinding

Halaman | 47

Berbeda dengan bambu galar, maka dinding dengan


bambu bilah pada umumnya lebih rapi, hal ini karena
kesesuaian dan keseragaman bentuk dari tiap-tiap
bagian bilah. Pemasangan bambu bilah diatur agar
bagian kulit bambu terdapat dibagian luar karena
cenderung akan mengalami perubahan panas dan
dingin akibat cuaca.

Gambar 4.4 Penggunaan bambu bilah

2. Bambu sebagai atap


Selain dapat digunakan sebagai bahan pengisi dinding
ataupun dinding itu sendiri, bambu dapat juga
dipergunakan sebagai atap. Atap bambu dapat berupa
pasangan bilah ataupun atap sirap. Hanya saja perlu
adanya modifikasi dan berbagai pertimbangan agar atap
bambu tersebut menjadi awet, selain itu pula karena
penggunaan bilah memungkinkan terjadinya serangan
tikus maka diusahakan tidak terdapat celah yang dapat
digunakan tikus bersarang.

Halaman | 48

Gambar 4.5 Penggunaan bambu sebagai bahan atap

G. Teknologi Perkembangan Bambu


Dengan merebaknya penggunaan bambu maka semakin
banyak pula penelitian dan modifikasi dari penggunaan
bambu. Teknologi ini berkisar pada bagaimana bambu
sebagai material dapat menggantikan material lain yang
semakin langka ataupun semakin mahal. Seperti halnya
apabila bambu dirasa kurang efektif dalam menahan lentur
karena bagian tengah yang berongga maka dikembangkan
metode balok laminasi, apabila tipe sambungan ikat dirasa
tidak lagi dapat memenuhi kekuatannya untuk bentang
lebar maka diupayakan dengan sambungan pengisi.
Teknologi semacam inilah yang saat ini makin marak
dikembangkan,
adapun
pembahasan
mengenai
perkembangan teknologi bambu diulas lebih mendalam
sebagai berikut :
1. Metode Laminasi
Metode laminasi adalah metode perekatan lapisanlapisan bambu dengan menggunakan lem perekat
sehingga mencapai dimensi yang diinginkan. Perekat
yang digunakan biasanya digunakan urea formaldehyde

Halaman | 49

dengan berbagai spread rate.


Balok laminasi dapat
dibuat dari lapisan bambu galar ataupun bambu bilah.
Khusus untuk laminasi dengan bambu galar diupayakan
dipilih bambu dengan ketebalan yang cukup memenuhi,
hal ini karena bambu yang tipis apabila dibuat galar
maka terdapat kecenderungan pecah tidak seragam dan
timbul banyak celah sehingga akan boros lem perekat
dan dari segi artistik kurang bagus.
Balok laminasi pada umumnya diperuntukkan menahan
lentur, untuk itu berbagai variasi perletakan lapisan
bambu, tebal lapisan serta jumlah lem perekat yang
dirasa ideal hingga kini masih menjadi penelitian
berbagai pihak. Selain itu balok laminasi tidak hanya
sepenuhnya
dapat
dibuat
dari
bambu
secara
keseluruhan, namun dapat dimungkinkan adanya
metode komposit dengan kayu ataupun baja. Namun
yang perlu diingat disini dalam menentukan bahan
komposit diusahakan terdapat nilai modulus elastisitas
yang hampir sama hal ini memungkinkan transfer gaya
berlangsung secara seksama.
Metode laminasi selain dikembangkan dalam kaitannya
sebagai balok juga dikembangkan sebagai lantai. Pada
umumnya lantai laminasi tersusun atas tiga lapisan
bambu yang pada ujungnya terdapat takikan sehingga
dapat saling mengikat satu sama lain.
Motif pada
bambu semakin menambah kesan artistik yang muncul
pada lantai laminasi, namun hingga kini harga lantai
bambu masih jauh dari murah hingga hanya demi
tuntutan artistiklah lantai bambu digunakan, selebihnya
masih jauh lebih menguntungkan menggunakan lantai
biasa.

Halaman | 50

Lebih jauh lagi kini metode laminasi juga dikembangkan


sebagai papan laminasi, dimana papan tersebut dibuat
dari lapisan galar yang ditipiskan, dirangkai menjadi
lapisan dengan luasan tertentu lantas kemudian tiap
lapisan tersebut ditekan dengan menggunakan mesin
tekanan tinggi. Papan ini lebih dikenal dengan istilah
plyboo, namun perkembangan pembuatan papan tidak
berhenti sampai disitu saja mengingat saat ini juga
dikembangkan papan partikel bambu.
Diharapkan dengan penggunaan bambu untuk berbagai
macam bentuk dan faedah ini dapat mengurangi tingkat
penggunaan kayu yang kini makin mahal akibat
kelangkaan di pasaran.

Gambar 4.6 Balok laminasi bambu komposit dengan kayu

Halaman | 51

Gambar 4.7 Pengujian lentur pada balok laminasi

Gambar 4.8 Penggunaan lantai laminasi

Halaman | 52

Gambar 4.9 Papan laminasi bambu

2. Metode sambungan bambu


Tidak diragukan lagi bahwa bambu sebagai rangka telah
mampu menjalankan perannya baik mulai dari rangka
jembatan bambu hingga rangka kuda-kuda.
Namun
yang menjadi kendala adalah usaha perangkaian
elemen-elemen rangka tersebut.
Berbagai penelitian
telah dikembangkan untuk mengatasi hal ini, hingga
sampai pada akhirnya menunjukkan bahwa karena
proses kembang susut bambu maka penyambungan
dengan material kaku (rigid stiffner) tidak akan
mencapai hasil maksimum. Tentu saja untuk bentang
yang pendek dengan pengaruh beban kecil dapat
digunakan tali yang relatif dapat mengikuti kembang
susut bambu, namun untuk bentang lebih lebar dan
beban yang lebih besar maka diusahakan dengan
menggunakan metode sambungan pengisi.
Metode sambungan pengisi adalah metode dimana pada
bagian yang akan disambung diisi dengan bahan kaku
(rigid) seperti kayu ataupun campuran mortar. Metode

Halaman | 53

pelaksanaannya sangat sederhana, bagian yang akan


disambung diisi dengan kayu dengan diameter yang
sama ataupun sedikit lebih besar dari diameter bagian
dalam bambu. Mur dan bat yang dihubungkan dengan
pelat nantinya akan masuk kedalam kayu tersebut
sehingga sambungan tersebut akan berubah menjadi
sambungan kaku.
Demikian juga untuk campuran
mortar, dimana mortar dimasukkan (grouting) kedalam
bambu melewati lubang yang telah dipersiapkan
sebelumnya.
Untuk menjamin lekatan antara bambu dengan mortar
maka bagian dalam bambu dikasarakan terlebih dahulu,
dapat dilakukan secara manual menggunakan peralatan
seadanya ataupun dapat juga menggunakan mata bor
yang telah dimodifikasi. Campuran mortar diupayakan
tidak terlalu encer, hal ini karena pada bagian dalam
bambu memiliki kecenderungan menyerap air.

Gambar 4.10 Penggunaan sambungan pengisi pada rangka


kuda-kuda bambu

Halaman | 54

Gambar 4.11 Penggunaan sambungan pengisi pada rangka portal

3. Dinding dengan perkuatan bambu


Dengan berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa
kuat tarik bambu hampir mengungguli kuat tarik baja
maka hal ini diguankan sebagai salah satu alasan
dikembangkannya dinding dengan perkuatan bambu.
Yang disebut dinding dengan perkuatan bambu adalah
dinding yang bagian inti terbuat dari galar ataupun
potongan bambu memanjang yang saling terkait dengan
kayu penguat., sedangkan bagian luar terbuat dari
mortar atau untuk daerah tertentu ada yang
menggunakan tanah liat. Mekanisme ini sudah lama
dikembangkan oleh penduduk Costa Rica hingga
Philipina dimana mereka menggunakan potongan
memanjang bambu dengan ukuran kurang lebih 1 - 3
cm yang dipaku pada kayu penguat tiap bentang 1 m.
Bahkan dengan adanya teknologi yang mendukung
maka bagian inti dinding yang terbuat dari bambu

Halaman | 55

tersebut dapat dibuat di pabrik dengan ukuran yang


dapat disesuaikan. Sehingga begitu sampai pada lokasi
pengerjaan, bagian inti tersebut dapat langsung
dipasang dengan bantuan mur dan baut yang tertanam
pada bagian pondasi.
Pada bagian inti ini, tidak hanya digunakan bambu
dengan potongan berukuran kecil saja, namun ada juga
yang mengembangkan digunakannya bambu bilah
sebagai bagian inti. Bambu bilah ini dipasang arah
horisontal agar dapat mendukung beban arah horisontal
pada dinding. Pada umumnya agar diperoleh ikatan
yang baik antara bambu bilah dengan campuran mortar
maka pemasangan bambu bilah ini dilakukan bolak-balik
arah kulitnya. Dengan adanya bambu dengan kuat tarik
yang relatif mencukupi ini maka dapat dikatakan dinding
perkuatan bambu dapat memenuhi konsep dinding geser
dimana terdapat perkuatan arah horisontal.

Gambar 4.12 Pembuatan panel inti dinding bambu galar

Halaman | 56

Gambar 4.13 Pembuatan panel inti dinding bambu bilah

Satu hal yang perlu diingat dalam pembuatan dinding


dengan perkuatan bambu, karena bambu mengalami
kembang susut hingga mencapai hampir 4 kali dari susut
beton maka pada saat terjadi beban kritis cenderung
lekatan antara bambu dan beton akan gagal. Untuk
mengatasi hal ini para peneliti mengusulkan beberapa
hal antara lain :
a. Taruhlah bambu kedalam cairan aspal panas, ataupun
dapat juga dilapisi dengan menggunakan kuas, lantas
sebelum aspal mengering taburi dengan pasir. Cara
ini digunakan untuk menambah lekatan dan
mengurangi perbedaaan kelembaban antara bambu
yang mengalami kembang susut dan beton saat
pengecoran (Krishnamurthy, 1986).
b. Pasanglah paku pada bambu sehingga memiliki
mekanisme kerja sebagai dowel
c. Gunakan ikatan tiga bambu yang dipilin menjadi satu
(Hidalgo, 1992)

Halaman | 57

Gambar 4.14 Bentuk kegagalan lekatan antara bambu


dan beton

H. Pengawetan Bambu
Pentingnya pengawetan bambu karena bambu mudah
terserang oleh serangga (bubuk), untuk itu diperlukan
adanya upaya memasukkan zat kimiawi tertentu yang
dapat melindungi bambu tersebut dari serangan bubuk.
Pada saat hidup, bambu menghasilkan semacam zat yang
tidak disukai bubuk sehingga cenderung dimasa hidupnya
bambu tidak akan banyak terganggu oleh bubuk. Namun
begitu bambu dipotong, maka distribusi zat tersebut akan
terhenti sehingga bambu menjadi sangat potensial keropos
termakan bubuk.
Namun selain serangan bubuk, akibat dari pengaruh
kelembaban maka bambu dapat terserang oleh jamur
(fungi), semakin lembab udara maka semakin tinggi
kandungan uap air yang berada di udara oleh karenanya
akan semakin mudah terserang oleh jamur.

Halaman | 58

Menurut Janssen (1980), terdapat beberapa aturan dasar


dalam upaya mengawetkan bambu antara lain :
a. Potonglah bambu saat zat pati dalam kuantitas rendah.
b. Pilihlah jenis bambu lokal yang memang sudah dikenal
untuk tujuan penggunaan tertentu.
c. Usahakan bambu disimpan ditempat yang terlindungi
dari pengaruh luar, kering dan tidak terjadi kontak
langsung dengan tanah.
Rebahkan bambu dengan
mengupayakan jarak antara lapis satu dengan lapis
berikutnya terdapat cukup ruang udara agar bambu
dapat melepas kandungan air ke udara.
d. Waktu transportasi dari tempat pemotongan ke tempat
lain memegang peranan yang sangat penting,
khususnya apabila transportasi tersebut melewati laut.
Khusus untuk perkakas ataupun kerajinan yang dikirim
lewat jalur laut maka perlu perawatan khusus sebelum
diberangkatkan.
e. Apabila digunakan sebagai material bangunan, maka
usahakan bambu tidak banyak terkena air. Bila perlu
dibuat perletakan beton sehingga bambu tidak kontak
langsung dengan tanah ataupun terkena percikan air
hujan.
Waktu yang paling baik untuk memanen bambu adalah
sebelum musim hujan ketika kadar air bambu dan
kandungan zat pati rendah sehingga dapat terhindar dari
serangan bubuk. Potonglah bambu yang berumur 3 5
tahun karena bambu yang terlalu tua akan cenderung
terlalu keras dan tidak dapat dengan mudah menyerap zat
pengawet.

Halaman | 59

K. Prosedur Pengawetan Bambu


Terdapat berbagai metode pengawetan bambu, mulai dari
pengawetan murah meriah seperti direndam dalam air,
pengasapan hingga metode ditegakkan agar zat yang ada
dalam bambu turun. Walaupun cara-cara tersebut hingga
kini masih belum dapat dibuktikan ketidakunggulannya
dibandingkan dengan metode pengawetan dengan zat
kimia namun tidak ada kejelasan pasti mengenai tingkat
keawetan yang sebenarnya.

Gambar 4.16 Pengawetan bambu dengan metode gravitasi

Dalam prakteknya dibutuhkan suatu perencanaan fasilitas


pengawetan, adapun beberapa hal yang terkait dengan
perencanaan tersebut dapat dilihat berikut ini :

Halaman | 60

Gambar 4.17 Perencanaan Fasilitas Pengawetan

Halaman | 61

Gambar 4.18 Sketsa Tempat Pengawetan

Halaman | 62

Halaman | 63

Halaman | 64

Halaman | 65

Halaman | 66

Gambar 4.19 Prosedur Pengawetan dengan Larutan Boraks

Halaman | 67

BAB V
BAHAN BANGUNAN
ALTERNATIF
A.

Dinding Gypsum
Dinding dapat terbuat dari bermacam bahan bangunan,
dinding konvensional yang umumnya terbuat dari batu
bata ataupun batako kini mulai ditinggalkan khususnya
untuk dinding interior. Hal ini karena dinding batu bata
maupun batako memiliki berat per satuan luas yang cukup
besar. Salah satu alternatif pengganti dinding batu bata
adalah dinding gypsum, yaitu dinding yang terbuat dari
lembaran papan gypsum seperti halnya yang digunakan
untuk plafond.
Terdapat beberapa manfaat unggulan menggunakan
dinding gypsum antara lain : mudah dan cepat
pengerjaannya, ringan, dapat dibentuk sesuai keinginan,
dapat dibongkar pasang. Selain itu dinding gypsum lebih
tipis yaitu hanya sekitar 6 8 cm, jauh lebih ekonomis
dibandingkan pasangan bata yang mencapai tebal 15
cm. Papan gypsum standar memiliki ukuran 120 x 240 cm
dengan tebal 9 - 12 mm. Berat papan gypsum ukuran 9
mm hanya 19 kg sedangkan papan gypsum ukuran 12 mm
memiliki berat 27 kg.
Untuk rangka dinding gypsum dapat digunakan kayu
ataupun baja profil. Mengingat harga kayu yang semakin
mahal maka lebih direkomendasikan menggunakan baja
profil (hollow, U, I atau C) selain itu profil baja relatif lurus

Halaman | 68

sepanjang bentang dibandingkan kayu. Rangka dinding


gypsum dipasang tiap 0,8 1,0 m tiap satuan luas.
Apabila yang digunakan adalah rangka kayu maka dipakai
paku sebagai alat sambung dan bila menggunakan rangka
baja profil maka dipakai sekrup. Sebagai finisihing agar
terlihat seperti dinding biasa, umumnya permukaan
dinding dicat dengan cat tembok biasa ataupun diberi
wallpaper.

B.

Beton Pracetak untuk Dinding


Beton adalah salah satu dari sekian banyak alternatif bahan
yang digunakan untuk menggantikan bahan bangunan
yang bersifat unrenewable (tidak dapat diperbaharui).
Beton semakin sering digunakan karena selain mudah
dibentuk mengikuti kebutuhan di lapangan, beton juga
dinilai awet sehingga dapat menekan biaya pemeliharaan.
Beton pracetak adalah beton yang dibuat di pabrik, dengan
dimensi, mutu dan bentuk yang beraneka macam sesuai
dengan peruntukannya.
Beton pracetak untuk dinding (dinding pemisah lahan atau
rumah sederhana) adalah beton ready mix yang umumnya
dicetak dengan dimensi 210 x 40 cm dan tebal 5 cm, pada
bagian tengah diberi wiremesh untuk menambah kekakuan
beton tersebut. Panel beton dibuat sedemikian sehingga
terdapat efek kuncian (interlocking) yaitu dengan cara
membuat daerah yang menonjol di satu sisi dan daerah
yang cekung di sisi sebaliknya. Terdapat dua jenis mutu
beton yang dapat dipilih yaitu 41 MPa (410 kg/cm 2) dan
225 MPa (2250 kg/cm2).
Panel beton pracetak ini dapat disusun vertikal hingga
mencapai ketinggian 3,2 4 m, pada tiap bagian tepi panel

Halaman | 69

diberi kolom penyangga dengan tujuan mengurangi beban


panel akibat beban angin. Sela yang tersisa pada daerah
kuncian (nat) sebaiknya diisi dengan spesi agar air hujan
tidak masuk ke dalam ruang sela tersebut, dapat pula
ditambahkan acian seluas dinding untuk memberikan
tekstur polos.

Gambar 5.1 Beton Pracetak untuk Dinding Pemisah


(Courtesy of PT Indocitra Bajasempana)

C. Beton Ringan Aerasi


Beton ringan aerasi (autoclaved aerated concrete) adalah
beton ringan yang terbuat dari pasir kuarsa, semen dan
kapur. Disebut sebagai beton ringan karena didalamnya
terdapat gelembung udara akibat dari adanya proses
kimiawi selama proses pembuatan.
Kandungan udara
dalam beton ini dapat mencapai 70%, sehingga
memungkinkan dapat mengapung di air (berat jenis 575

Halaman | 70

kg/m3).
Meskipun banyak terdapat gelembung udara,
akan tetapi daya adsorbsinya kecil.
Hal ini karena
gelembung-gelembung yang membentuk pori tidak saling
terkait satu sama lainnya.
Spesi yang dibutuhkan untuk merekatkan blok-blok beton
ringan aerasi pada dinding jauh lebih sedikit dibandingkan
batu bata yaitu hanya setebal 2 3 mm. Keuntungan
menggunakan beton ringan aerasi yaitu bobot ringan,
ukuran akurat, pemasangan cepat dan hemat bahan
perekat.

Gambar 5.2 Beton Ringan aerasi


(Courtesy of PT Duta Mortar Sejati)

Ukuran blok dibedakan menjadi blok normal dan blok


jumbo, tergantung dari kegunaannya.
Berikut adalah
ukuran blok normal dan blok jumbo :

Halaman | 71

Tabel 5.1 Ukuran Balok Beton aerasi Blok Normal dan Blok
Jumbo
BLOK NORMAL
Panjang
Tinggi
Lebar
60 cm
20 cm
7,5 cm
60 cm
20 cm
10 cm
60 cm
20 cm
12,5 cm
60 cm
20 cm
15 cm
60 cm
20 cm
17,5 cm
60 cm
20 cm
20 cm
BLOK JUMBO
Panjang
Tinggi
Lebar
60 cm
40 cm
7,5 cm
60 cm
40 cm
10 cm
60 cm
40 cm
12,5 cm
60 cm
40 cm
15 cm
60 cm
40 cm
17,5 cm
60 cm
40 cm
20 cm

D.

Dinding Lapis Baja Ringan


Dinding lapis baja ringan adalah dinding yang terbuat dari
zincalume yaitu baja ringan yang dilapisi dengan bahan
perpaduan antara seng (43,5%), alumunium (55%), dan
silikon (1,5%). Jenis baja yang digunakan adalah jenis
baja CRC (cold rolled coil) dengan kekuatan tarik mencapai
550 MPa.
Baja ringan selain dapat digunakan langsung sebagai
penyekat ataupun dinding eksterior, dapat juga dipakai
sebagai aksesori tambahan pada dinding biasa yaitu
dengan cara membuat dudukan pada dinding lantas baja
ringan ditempelkan dengan menggunakan baut tembak
tepat pada dudukan. Baja zincalume dapat juga digunakan

Halaman | 72

sebagai atap karena dilengkapi lapisan berupa coating dan


cat sehingga tidak mudah berkarat.
Panjang efektif umumnya 700 mm dengan panjang
disesuaikan dengan panjang bentang dinding.

Gambar 5.3 Dinding Lapis Baja Ringan


(Courtesy of PT Bluescope Steel)

E.

Papan Kayu Fiber Semen


Papan kayu fiber walaupun dikenal di pasaran dengan
istilah wood plank namun tidak ada sama sekali unsur kayu
didalamnya, istilah ini digunakan karena produk yang
dihasilkan dari fiber chrysotile ini dibuat sedemikian
sehingga teksturnya menyerupai kayu sehingga dapat
digunakan untuk lisplang, plafond maupun pagar.
Keunggulan papan kayu fiber semen dibandingkan dengan
kayu antara lain tahan terhadap serangan rayap, tidak
mudah lapuk akibat air, relatif lebih tahan terhadap api dan
mudah dibersihkan. Ukuran di pasaran adalah 20 x 450 cm

Halaman | 73

dengan ketebalan 0,8 cm. Dapat juga digunakan sebagai


pelapis dinding sehingga memberikan tampilan layaknya
pondok kayu.

Gambar 5.4 Papan Kayu Fiber Semen


(Courtesy of PT Siam-Indo Concrete Product)

Halaman | 74

Anda mungkin juga menyukai