DALAM
MASYARAKAT SULAWESI SELATAN*
Oleh: Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H.
"derived from current custom within society and, in particular, from the
norm- creating activities of the numerous grouping in which members of
society were involved".
Jadi, menwut konseptornya, "the living law'' itu diperoleh dari ''kebiasaan
yang sekarang berlaku" di dalam masyarakat khususnya, dan norma yang
tercipta dari aktivitas-aktivitas sejumlah kelompok di dalam mana warga
masyarakat terlibat
Kerancuan judul yang diberikan kepada saya itu sebenamya tidak terlalu
mengherankan saya, karena selama ini, di kalangan terbatas memang sering
Makalah disampaikan dalam Seminar tentang Revitalisasi dan Reinterpretasi Nilai-nilai Hukum
Tidak Tertulis Dalam Pembentukan dan Penemuan Hulrum, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan
Kanwil Departemen Hukum dan HAM RI Provinsi Sulawesi Selatan, tanggal 28-30 September
2005 di Makassar.
"It was the 'living law' that dominated society's life even though it
had not always been reduced to formal, legal propositions.1t reflected the values of society" ( Curzon, 1979: 145).
c.
Dari seluruh kutipan di atas, dapat diketahui bahwa ''the living law'' adalah
hukum yang hidup dan sedang aktual dalam suatu masyarakat, sehingga tidak
membutuhkan upaya reaktualisasi lagi. ''The living law" bukan sesuatu yang
statis, tetapi terns berubah dari waktu ke waktu. ''The living law'' adalah hukum
yang hidup di dalam masyarakat, bisa tidak tertulis bisajuga tertulis. Demikian
pula ''the living law" bisa berwujud hukum adat (yang tidak tertulis), bisajuga
hukum kebiasaan mcx:Jem (yang tidak tertulis) yang berasal dari Barat maupun
Hukumlslam di bidang-bidang hukum tertentu.
Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan ''the living law" di Sulawesi
Selatan , maka menurut saya, ''the living law'' yang merupakan aturan-aturan
. hukum yang aktual hidup di dalam realitas kehidupan hukum masyarakat ,
sudah lebih banyak berasal dari Hukuni Barat Modem dan Hukum Islam
ketimbang Hukum Adat Sulawesi Selatan yang tersisa sangat sedikit, itupun
terbatas di bidang hukum tertentu saja dan sernakin termarjinalkan, contohnya
"hak ulayat" yang merupakan hak masyarakat hukum adat. Nilai-nilai Islam
menjadi semakin penting bagi masyarakat Sulawesi Selatan yang memang
mayoritas Muslim, dengan aktifnya organisasi KPPSI (Komite Persiapan dan
Penegakan Syariat Islam).
Memang benar secara konstitusional (Pasal18 B ayat (2) dan Pasal28 I
ayat (3) UUD 1945) mengakui hak masyarakat adat, tetapi dengan syarat;
a. sepanjang masih hidup, b. sepanjang sesuai dengan perkembangan
masyarakat, zaman dan peradaban, c. sepanjang sesuai dengan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sepanjang diatur oleh undangundang.
Sebaliknya, salah satu contoh dari ''the living law'' yang merupakan ''hukum
kebiasaan" di dalam kehidupan hukum di Makassar misalnya, adalah
penggunaan kartu kredit. Tentu saja kebiasaan penggunaan kartu kredit ini
tidak bersumber dari hukum adat, melainkan dari hukum Barat modem.
Di bidang hukum perkawinan bagi masyarakat Muslim di Sulawesi Selatan,
tentu saja yang merupakan ''the living law'' adalah hukum perkawinan Islam,
dan bukan Hukum Perkawinan Adat.
Kita hams mampu membedakan antara "Adat" dan "Hukum Adat". Di
dalam realitas kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan, ''nilai-nilai adat asli"
memang masih cukup diindahkan, contohnya adat perkawinan di masingmasing daerah di Sulawesi Selatan, adat penguburan mayat di Tana Toraja,
dan lainnya, tetapi ''bukan hukum adat''nya Contohnya, menyangkut ''hukum
perkawinan"nya, tentu saja bukan lagi berdasarkan "hukum adat'', melainkan
hukumpositiflndonesiasebagaimanadiaturoleh UUNo. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan di Indonesia beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya
Pasal2 UU No. 111974 mengatur bahwa:
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu ".
10
H. PENGERTIANKULTURHUKUM
Pertama-tama sayaingin memberikan pengertian "kultur hukum" ("legal
culture") dengan meminjam definisi yang dikemukakan oleh Lawrence M.
Friedman dalam beberapa buku lauyanya Sebagaimanaseyogianyadik.etahui,
Lawrence M. Friedman menjadi tersohor karenadialah pakar yang pertama
ka1i memasukkan unsur "kultur hukum" ("legal culture") sebagai salah satu
unsur dan sistem hukum. Sebelumnya, pandangan kaum positivis-legalistik
hanya menganggap hukum positiflah satu-satunya hukum dan satu-satunya
unsur dari setiap sistem hukum.
MenurutFriedman ( 1987), dalam setiapsistemhukum terdapat tiga unsur,
yaitu;
Struktur, Substansi dan Kultur Hukum.
Struktur adalah keseluruhan institusi hukum beserta aparatnya, jadi
termasuk di dalamnyakepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan jaksanya,
pengadilan dengan hakimnya, dan seterusnya
Substansi adalah keseluruhan aturan bukum (tennasuk asas hukum dan
norma hukum), baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan
pengadilan.
Sedangkan mengenai pengertian kultur hukumdijelaskan oleh Friedman berikut
ini.
"Besides structure and substance, then, there is a third and vital element
of the legal system. It is the element of demand. What creates a demand? One factor, for what of a better term, we call 'the legal culture'.
By this we mean ideas, attitudes, beliefs, expectations, and opinions about
law" (Friedman, 1977: 7)
(selain 'struktur' dan 'substansi', maka terdapat unsur yang ketiga dan vital
dari sistern hukum. Unsur itu adalah 'tuntutan' atau 'kebutuhan'. Apa yang
menciptakan suatu tuntutan atau kebutuhan? Satu faktor, yaitu yang baik
diistilahkan sebagai 'kultur hukum'. Istilah 'kultur hukum' ini kitaartikan sebagai
11
The_ term legal culture has been loosely used to describe a number of
related Phenomena. First, it refers to public knowledge of an attitudes and behaviour patterns toward the legal system. " (Friedman,
1987: 193).
(Istilah 'kultur hukum' telah digunakan secara longgar untuk menggambarkan sejumlah fenomena terkait. Pertama, istilah ini mengacu ke
pengetahuan masyarakat tentang dan sikap-sikap dan pola-pola perilaku
masyarakat terhadap sistem hukum).
c.
"We define legal culture to mean attitudes, values, and opinions held
in society, with regard to law, the legal system, and its various parts.
So defined, it is the legal culture which determines when, why, and
where people use law, legal institutions, or legal process; and when
they use other institutions, or do nothing, in other words, cultural
factors are an essential ingredient in turning a static structure and a
static collection ofnorms into a body of living law. Adding the legal
culture to the picture is like winding up a clock or plugging in a
machine. It sets everything in motion (Frie.dman, 1977: 76).
(Kita mendefinisikan kultur hukum sebagai 'sikap-sikap, nilai-nilai, dan
(Dalam teori, orang harus dapat mengklasiflkasikan dan memperbandingkan sistem-sistem hukum melalui kultur-kulturnya Ia akan lebih
bermakna bagi kajian sosial tentang hukum, dibandingkan metode
klasiflkasi konvensional. Tetapi kajian tentang kultur hukum itu sendiri
masih berada pada tahap kanak-kanak. Hingga tumbuh menjadi lebih
kuat, kajian ini hampirtidak memadai untuk tOgas ini).
e.
"Basically, legal culture refers to two rather different sets of attitudes and values: that of the general public (we can call this 'lay
legal culture'), and that of lawyers, judges, and other professionals
(we can call this 'internal legal culture'). Lay legal culture can exist
on many levels. It is possible to speak of the legal culture of France
or Nigeria as a whole (attitudes and values which, on the whole are
characteristic of Frenchmen or Nigerians) There are also regional,
local, or grup attitudes and values about law; those of the Yoruba,
or Jews, or Britons, or plumbers, cabdrivers, big business executives" (Friedman, 1977: 76).
"Malu di hadapan Allah merupakan etika mulia, yang timbul dari seorang
hamba yang memahami bahwa, Allah MahaMendengar setiap ucapan, Maha
Melihat atas semua perbuatan, Maha Mengetahui segala rahasia dan yang
bukan rahasia, serta membalas semua orang sesuai perbuatannya Saat itulah
seorang hamba akan merasa malu apabila dia mengucapkan ucapan yang
jelek, atau mengerjakan perbuatan yang buruk, atau membuat kerusakan.
Rasa malu itu akan selalu bersamanyadi manapun dan kapanpun dia berada
Apalagi pada saat dia sedang sendirian, saat diajauh dari pandangan manusia,
saat dia dengan egonya merasakan bahwa Allah bersamanya, lalu dia malu
apabila melakukan maksiat saat itu.
Hikmah dari rasa malu itu di antaranya:
Reaktualisasi "nilai malu Islam'' dan kultur sirik secara optimal ke dalam
penegakan hukum, niscaya akan mampu mengubah keterpurukan "law enforcement'' menjadi jauh lebih baik; reaktualisasi "nilai malu Islam" dan kultur
sirik secara optimal ke dalam proses pengadilan, niscaya akan jauh lebih
cfektif untuk memberantas "mafia pengadilan" ketimbang terlalu berharap
banyak kepada Komisi Yudisial yang bam terbentuk. Reaktualisasi "nilai malu
Islam" dan kultur sirik secaraoptimal di dalam praktekhukum pada umumnya,
niscaya mampu membangun langkah-langkah terobosan untuk mengatasi ''the
limit of law" dan mengatasi ketertinggalan sebagian perundang-undangan
warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda
Para hakim yang melahirkan putusan dengan pengaruh ''nilai malu Islam"
(hakim Muslim) dan kultur sirik, niscaya putusannya akan jauh lebih mampu
melaksanakan perintah undang-undang, yaitu perintah Pasal28 ayat (1)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
bunyinya:
"Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat".
Kita jangan pemah lupa, bahwa kualitas putusan hakim, tidak sekedar
ditentukan oleh faktor-faktor yang sifatnya yuridis semata, tetapi juga sangat
ditentukan oleh faktor-faktor non yuridis, termasuk di dalarnnya, faktor kultur
17
(oleh standar-standar moral dan keadilan yang saya anut, yang dituangkan
menjadi suatu "ramuan asing" yang dimasak setiap hari di dalam
''panci"'nya pengadilan, eli mana semua unsur ramuan masuk ke dalam
"putusan" itu dengan proporsi yang berbeda-beda).
Para "aktor" yang terlibat dalam proses litigasi di pengadilan, baik para
hakim, maupun para pengacara, parajaksa penuntut umum, maupun para
klien (pencari keadilan), kesemuanya itu tak mungkin terbebas dari betbagai
pengaruh non-hukum yang mereka peroleh dalam proses sosialisasi yang
mereka lalui. Sehubungan dengan hal ini, Michael J. Saks & Reid Hastie
(1978 : 205) menulis bahwa:
" .. the various actors who come together in and around courts are inseparable from their membership in a social system. Apart from their
social system, the individual components become stripped oftheir meaning and without fimction ".
Lebih lanjut Michael J. Saks & Reid Hastie (1978: 205) menegaskan
tidak mungkin suatu putusan pengadilan dinetra1kan dari berbagai pengaruh
non-hukum yang diperolehnya sebagai anggota suatu sistem sosial tertentu:
"In the decision-making and dispute-resolving system that is the court,
no decision comes from any element acting alone, all outputs resultfrom
a structured system of social relationship".
Harry C, Bredemeier (Vilhelm Aubert, 1979: 52-67) adalah salah satu
eksponen Sosiologi Hukum yang secaralebih gamblang dan rinci menguraikan
tentang hubungan timbal-balik antara pengadilan sebagai salah satu sub-sistem
sosial dengan sub-sub sistem sosiallain yang ada di masyarakat. Harry C.
Bredemeier menarnakannya sebagai ''proses inputs-outputs".
Bredemeiermelihat fungsi hukum adalah menembkan pemecahan konflikkonflik. Secara tidak langsung, "hukum" ,di mana model hukum yang paling
18
20
apa yang ingin dilakukan oleh seorang hakim tak dapat ditentukannya sendiri
secara penuh, melainkan sangat bergantung pada tata nilai dan struktur
masyarakatnya. Friedman (1967: 798) juga mengemukakan beberapa
pengaruh yang ditimbulkan oleh meningkatnyajumlah penduduk, k.emakmuran
serta industri-industri komersial terhadap pengadilan di Amerika Serikat,
terltadap langkah-langkah yang kemudian diambil oleh pengadilan (bacajuga
Satjipto Rahardjo, 1983: 88). William M. Evans (1990) dalam bahasannya
tentang struktur sosial dan hukum,juga tak lupa mengkaji peran para aktor
hukumdi pengadilan.
Demikian pula karya Alan M. Dershowitz (1966) yang membeberkan
pengaruh diskriminasi ras dan kekuatan uang terltadap ''verdict" pengadilan
(putusan juri) dalam kasus O.J. Simpson yang memutuskan "not guilty" bagi
terdakwa yang oleh masyarakat Amerika Serikat diyakini adalah seorang
pembunuh yang sesungguhnya (terhadap korban, mantan istrinya dan kekasih
dari mantan istrinya).
Bagaimana kuatnya pengaruh kultur hukum terhadap putusan hakim,
digambarkan oleh Profesor Schubert (Curzon, 1979:195-198) dengan
menekal1kan pentingnya arti dari pandangan Holmes tentang hukum sebagai
"ramalan tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan di dalam
kenyataannya". Esensi dari sains adalah kapasitasnya untukmembuatramalanramalan yang berltasil, berkenan dengan perilaku tentang partikel-partikel yang
menyusun datanya Menurut Schubert,jika perltatian difokuskan pada perilaku
para hakim, maka tes terakhir dari teori-teori dan metode-metode tentang
perilaku hakim, akan mampu untuk meramalkan secara tepat putusanputusan pengadilan.
Schubert telah menganalisis data yang tepat yang dibutuhkan untuk
membuatramalan ilmiah tentang perilaku parahakim di pengadilan-pengadilan
di Amerika Serikat.
Menurut Schubert, ramalan itu dapat menggunakan dua jenis pendekatan:
a
Struktur Konversi, menurut Schubert, yang merupakan sentral dari prosesproses pembuatan kebijakan pengadilan adalah struktur konversi, di mana
putusan hakim dipengaruhi oleh basil interaksi-interaksi dari suatu
kelompok dan "pengintegrasian nilai-nilai" iridividual dari para hakim.
Analisis tersebut membutuhkan suatu studi sosiologis dan psikologis
terhadap para hakim.
21
IY. PENUfUP
Salah satu bangsa yang benar-benarproses hukumdan proses penegakan
hukummya didominasi oleh faktor kultur hukum asli bangsa tersebut adalah
. Jepang. Berjalannya hukum dan penegakan hukum secara sangat baik di
Jepang, terutama karena dukungan penguatan dari faktor kultur hukum asli
bangsa Jepang, yaitu kultur "malu" yang identik dengan kultur hukum asli
Sulawesi Selatan yaitu "sirik".
Kultur hukum yang "hidup" baik di kalangan warga masyarakat Jepang
pada umumnya maupun di kalangan penegak hukum Jepang, lebih efektif
ketimbangancaman pidanamati dalamundang-undangpemberantasankorupsi
kita di Indonesia. Kultur hukum "malu" yang masih besar dan masyarakat
Jepang sangatefektif sebagai alat preventifmaupun penindak terhadap perilaku
tercela, termasuk korupsi. Kultur hukum yang masih sangat bermoral di
kalangan pengacara Jepang, menyebabkan hampir tidak ada kebiasaan
pengacaraJepang untuk memutarbalikkan yang salah menjadi benar, dan yang
benar menjadi salah. Konon umumnya pengacaraJepang senantiasa berusaha
membujuk "klien"nya untuk mengakui kesalahannya, dan setelah itu
mengembalikan basil kejahatannya. Jadi motto "maju talc gentar, membela
yang membayar" tidak berlaku bagi pengacaraJepang.
Di dalam praktek hukum di Jepang, pejabat yang masih diindikasikan
melakukan suatu tindak pidana, umumnya langsung mengundurkan diri dari
jabatannya, sekalipun tidak dimintaoleh masyarakat (apalagijikasudah dituntut
mundur oleh masyarakatnya). Saat saya berada di Tokyo beberapa tahun
silam, KejaksaanMetropolitan Tokyo sedang menahan GubemurTokushima
yang didakwa mendapat suap dari seorang konglomeratJepang, dan dalam
kasus lain juga menahan Walikota Shimozuma, lbaraki. Tetapi kedua pejabat
itu secara sukarela langsung mengundurkan diri dari j abatannya sebagai
gubernur dan walikota. Hampir tak pernah kita den gar pengacara Jepang
berceloteh tentang "asas praduga tak bersalah", sangat kontras dengan
22
23
DAFI'ARPUSTAKA
Parsons, Talcott, 1951, The Social System, The Free Press, New York
Saks, Michael J & Hastie, Reid, 1978, Social Psychology in Court. Van
Nostrand Reinhold Company, New York
Sampord, Charles, 1989, The Disorder ofLaw, A Critique ofLegal Theory,
Basil Blackwell.
Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, suatu 1injauan
Sosiologis, Sinar Baru, Bandung
Schuyt, CJ.M, 1971, Rechtssociologie-een terreinverkenning, Universitaire
Pers, Rotterdam
Tamanaha, Brian Z, 2001, A General Jurisprudence ofLaw and Society,
Oxford University Press.
25
Lahir
Agama
Islam
Pendidikan
Pekerjaan
Pangkat
PembinaUtama/Guru Besar/IV-E
Pidato Pengukuhan Guru Besar dengan Judul
"Pengadilan sebagai Pranata Sosial".
Jabatan sekarang
26
Pengalaman jabatan/
Organisasi
Lain-lain
KaryaTulis
Penghargaan
a.
b.
c.
d.
Hobbi
Keluarga
A. a. Nama istri
b. Pekerjaan
MuhammadMusashi Achmadputra
B. a. Namaanak
b. Pekerjaan anak : Siswa SMA Negeri V Makassar
Alamat
Telepon/Faksimile
Handphone
E-mail
28