Anda di halaman 1dari 22

REAKTUALISASI ''THE LIVING LAW''

DALAM
MASYARAKAT SULAWESI SELATAN*
Oleh: Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H.

1. "TilE LIVING LAW''


Pertama-tamasayaingin menyampaikan bahwajudul makalah ini adalah
. judul yang ditugaskan oleh panitiaseminar ini untuk saya bahas, dan apa boleh
buat saya harus mengatakan bahwa terdapat kerancuan dalam judul tersebut;
"Re-Aktualisasi The Living Law" dalam Masyarakat Sulawesi Selatan ".
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( hal.649), makna "reaktualisasi"
itu adalah proses, cara, perbuatan mengaktualisasikan kembali; penyegaran
dan pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, sesuatu
yang direaktualisasikan adalah sesuatu yang tidak aktuallagi, kemudian
diaktualkan kembali. Hal ini tentu saja tidak bisa dikenakan terhadap apa
yang kita sebutkan "the living law", karena ''the living law'' itu sendiri sudah
sesuatu yang aktual, sehingga tidak membutuhkan upayareaktualisasi.
Sebagaimana seyogianya diketahui bahwa konseptor istilah "the living
law" adalah seorang pakar hukum Austria, Eugen Ehrich (dalam Curzon,
L.B, 1979: 145), danmendefinisikan "the living law" sebagai:

"derived from current custom within society and, in particular, from the
norm- creating activities of the numerous grouping in which members of
society were involved".
Jadi, menwut konseptornya, "the living law'' itu diperoleh dari ''kebiasaan
yang sekarang berlaku" di dalam masyarakat khususnya, dan norma yang
tercipta dari aktivitas-aktivitas sejumlah kelompok di dalam mana warga
masyarakat terlibat
Kerancuan judul yang diberikan kepada saya itu sebenamya tidak terlalu
mengherankan saya, karena selama ini, di kalangan terbatas memang sering

Makalah disampaikan dalam Seminar tentang Revitalisasi dan Reinterpretasi Nilai-nilai Hukum
Tidak Tertulis Dalam Pembentukan dan Penemuan Hulrum, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan
Kanwil Departemen Hukum dan HAM RI Provinsi Sulawesi Selatan, tanggal 28-30 September
2005 di Makassar.

merancukan dengan mengidentikkan "hukum adat" sebagai "the living law".


Dan oleh karena itu, dengan anggapan sudah banyak aturan hukum adat yang
tidak lagi aktual, sehingga perlu di "reaktualisasikan". Pendapat seperti ini
harus saya katakan adalah tidak tepat! ''The living law" tidak identik dengan
hukum adat, melainkan seperti yang ditegaskan oleh konseptomya, Eugen
Ehrlich, dikutip oleh Curzon (1979) sebagai berikut :
a.

"It was the 'living law' that dominated society's life even though it
had not always been reduced to formal, legal propositions.1t reflected the values of society" ( Curzon, 1979: 145).

(Adalah ''the living law" yang mendominasi kehidupan masyarakat


meskipun ''the living law'' itu tidak selalu diubah menjadi fonnal, ke dalam
proposisi-proposisi legal. 'The living law" mencerminkan nilai-nilai dan
masyarakatnya).
b.

"The 'inner order' ofsociety's life-its 'culture pattern '-was never


static. Values changed; attitudes to wrong-doing varied from time
to time; concepts ofwhat constituted 'criminal conduct' altered over
the years" (Curzon, 1979: 146).
(''Tertib dalam" dan kehidupan masyarakat-adalah 'pola-polakultur'yang tidak pemah statis. Nllai-nilai berubah; sikap-sikap tentang perl>uatan
yang salah, berbeda dari waktu ke waktu; konsep-konsep tentang apa
yang ditentukan sebagai 'tindak kriminal' berubah dari tahun ke tahun).

c.

''The 'living law' can be discovered, ... only from an examination of


judicial decisions, a close investigation of the content of business
documents etc, and, above all, from observation ofpeople" (Curzon,
1979: 146).
(''the living law" dapat diketahui,... hanya dari suatu pengujian terhadap
puttisan-putusan pengadilan, suatu investigasi tertutup tentang isi dari
dokumen-dokumen bisnis, dan lain-lain, dan di atas dari semua itu, 'the
living law' dapat diketahui dari observasi terlladap orang:.Orang).

Brian Z Tamanaha ( 2001 :31) mengemukakan bahwa menurut Ehrlich:


"law consists of the rules of conduct followed in everyday life-the customary practices and usages which give rise to and maintain the inner ordering of
associations (the family, village community, corporations, business associations . professions, clubs, a schoolor factory, etc). This is the 'living law'."

("hukum terdiri dari aturan-aturan tentang perilaku yang diikuti di dalam


kehidupan setiap hari-kebiasaan-kebiasaan praktis yang menyebabkan dan
mempertahankan 'tertib dalam' dari asosiasi-asosiasi; keluarga, komunitas
pedesaan, korporasi, asosiasi bisnis, asosiasi profesi, klub, sekolah atau pabrik,
dan lain lain. Inilah 'the living law').
Dan yang lebih jelas dan tegas lagi, apa yang dikemukakan oleh Sampford
(1989: 142)tentangpendapatEhrlichmengenai ''the living law":
" ... the 'living law' is the rules used in ongoing living relationships.... ".
(..the living law' merupakan aturan-aturan yang digunakan di dalamhubunganhubungan kehidupan yang sedang berlangsung).

Dari seluruh kutipan di atas, dapat diketahui bahwa ''the living law'' adalah
hukum yang hidup dan sedang aktual dalam suatu masyarakat, sehingga tidak
membutuhkan upaya reaktualisasi lagi. ''The living law" bukan sesuatu yang
statis, tetapi terns berubah dari waktu ke waktu. ''The living law'' adalah hukum
yang hidup di dalam masyarakat, bisa tidak tertulis bisajuga tertulis. Demikian
pula ''the living law" bisa berwujud hukum adat (yang tidak tertulis), bisajuga
hukum kebiasaan mcx:Jem (yang tidak tertulis) yang berasal dari Barat maupun
Hukumlslam di bidang-bidang hukum tertentu.
Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan ''the living law" di Sulawesi
Selatan , maka menurut saya, ''the living law'' yang merupakan aturan-aturan
. hukum yang aktual hidup di dalam realitas kehidupan hukum masyarakat ,
sudah lebih banyak berasal dari Hukuni Barat Modem dan Hukum Islam
ketimbang Hukum Adat Sulawesi Selatan yang tersisa sangat sedikit, itupun
terbatas di bidang hukum tertentu saja dan sernakin termarjinalkan, contohnya
"hak ulayat" yang merupakan hak masyarakat hukum adat. Nilai-nilai Islam
menjadi semakin penting bagi masyarakat Sulawesi Selatan yang memang
mayoritas Muslim, dengan aktifnya organisasi KPPSI (Komite Persiapan dan
Penegakan Syariat Islam).
Memang benar secara konstitusional (Pasal18 B ayat (2) dan Pasal28 I
ayat (3) UUD 1945) mengakui hak masyarakat adat, tetapi dengan syarat;
a. sepanjang masih hidup, b. sepanjang sesuai dengan perkembangan
masyarakat, zaman dan peradaban, c. sepanjang sesuai dengan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sepanjang diatur oleh undangundang.

Sebaliknya, salah satu contoh dari ''the living law'' yang merupakan ''hukum
kebiasaan" di dalam kehidupan hukum di Makassar misalnya, adalah

penggunaan kartu kredit. Tentu saja kebiasaan penggunaan kartu kredit ini
tidak bersumber dari hukum adat, melainkan dari hukum Barat modem.
Di bidang hukum perkawinan bagi masyarakat Muslim di Sulawesi Selatan,
tentu saja yang merupakan ''the living law'' adalah hukum perkawinan Islam,
dan bukan Hukum Perkawinan Adat.
Kita hams mampu membedakan antara "Adat" dan "Hukum Adat". Di
dalam realitas kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan, ''nilai-nilai adat asli"
memang masih cukup diindahkan, contohnya adat perkawinan di masingmasing daerah di Sulawesi Selatan, adat penguburan mayat di Tana Toraja,
dan lainnya, tetapi ''bukan hukum adat''nya Contohnya, menyangkut ''hukum
perkawinan"nya, tentu saja bukan lagi berdasarkan "hukum adat'', melainkan
hukumpositiflndonesiasebagaimanadiaturoleh UUNo. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan di Indonesia beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya
Pasal2 UU No. 111974 mengatur bahwa:
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu ".

(2) Tzap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Undang...undang tersebut sama: sekali tidak menentukan bahwa perkawinan


adalah sahjika dilakukan menurut hukum adat masing-masing, melainkan
menuruthukum masing-masing agamanyadan k.epercayaan.
Agar realistis, saya berpendapat, adalah lebih tepat jika makalah saya ini
diubah judulnya menjadi : Reaktualisasi nilai-nilal Islam dan kultur hukum
asli Sulawesi Selatan yang pemah berlaku sebagai 'the living law'.

Selain mencoba mereaktualisasikan nilai-nilai Islam tertentu yang relevan


bagi pengembangan hukum, contohnya ''nilai malu" yang bagi akidah Islam
dianggap sebagian dari keimanan seseorang, maka say a juga mencoba
menemukan salah satu "kultur hukum asli Sulawesi Selatan" yang pemah
hidup berlaku sebagai "the living legal culture", dan upaya untuk
me"reaktualisasikan"nya kembali dalam kehidupan modem masyarakat
Sulawesi Selatan di Abad ke-21 ini. Dalam hal ini, menurut saya, kultur hukum
asli yang relevan dan patut untuk di "reaktualisasikan" adalah "kultur sirik"
dalam maknanya yang tepat, yaitu maknanya yang positiflbaik/luhur. Oleh
karena itu, makalah singkat ini hanya terbatas mengangkat tentang upaya

10

reaktualisasi kultur sirik tersebut mnghadapi tuntutan dan kebutuhan hukum


di Indonesia di Abad ke-21 ini, terutama bagaimana mereaktualisasi kultur
sirik tersebut untuk mendukung upaya pembebasan Indonesia dari
keterpurukan hukumyangmasih terus melandahukumdan penegakan hukum
di Indonesia

H. PENGERTIANKULTURHUKUM
Pertama-tama sayaingin memberikan pengertian "kultur hukum" ("legal
culture") dengan meminjam definisi yang dikemukakan oleh Lawrence M.
Friedman dalam beberapa buku lauyanya Sebagaimanaseyogianyadik.etahui,
Lawrence M. Friedman menjadi tersohor karenadialah pakar yang pertama
ka1i memasukkan unsur "kultur hukum" ("legal culture") sebagai salah satu
unsur dan sistem hukum. Sebelumnya, pandangan kaum positivis-legalistik
hanya menganggap hukum positiflah satu-satunya hukum dan satu-satunya
unsur dari setiap sistem hukum.
MenurutFriedman ( 1987), dalam setiapsistemhukum terdapat tiga unsur,
yaitu;
Struktur, Substansi dan Kultur Hukum.
Struktur adalah keseluruhan institusi hukum beserta aparatnya, jadi
termasuk di dalamnyakepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan jaksanya,
pengadilan dengan hakimnya, dan seterusnya
Substansi adalah keseluruhan aturan bukum (tennasuk asas hukum dan
norma hukum), baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan
pengadilan.
Sedangkan mengenai pengertian kultur hukumdijelaskan oleh Friedman berikut

ini.
"Besides structure and substance, then, there is a third and vital element
of the legal system. It is the element of demand. What creates a demand? One factor, for what of a better term, we call 'the legal culture'.
By this we mean ideas, attitudes, beliefs, expectations, and opinions about
law" (Friedman, 1977: 7)

(selain 'struktur' dan 'substansi', maka terdapat unsur yang ketiga dan vital
dari sistern hukum. Unsur itu adalah 'tuntutan' atau 'kebutuhan'. Apa yang
menciptakan suatu tuntutan atau kebutuhan? Satu faktor, yaitu yang baik
diistilahkan sebagai 'kultur hukum'. Istilah 'kultur hukum' ini kitaartikan sebagai
11

ide-ide, sikap-sikap, kepercayaan-kepercayaan, harapan-harapan dan opiniopini tentang hukum).


Dalam kaitan dengan makalah ini, saya berpendapat bahwa yang paling
penting untuk di reaktualisasikan adalah "kultur hukum" yang pernah menjadi
''thelivihglegalculture"yangmengandungunsur-unsurpositifdanmasihrelevan
dengan kebutuhan hukum dan kebutuhan masyarakat di Abad ke-21 ini,
terutama yang dapat digunakan untuk mendukung penyelesaian berbagai
masalah serius dalam hukum dan penegakan hukumdi Indonesiadewasaini.
MenurutFriedman:
a.

"Social forces are constantly at work on the law-destroying here,


renewing there; invigorating here, deadening there; choosing what
parts of 'law' will operate, which parts will not, what substitutes,
detours, and bypasses will spring up, what changes will take place
openly or secretly. For want of a better term, we can call some of
these forces the leeal culture. It is the element ofsocial attitude and
value. The phrase 'social forces' is itselfan abstraction; in any event,
such forces do not work directly on the legal system. People in society have needs and make demands; these sometimes do and sometimes do not invoke legal process-depending on the culture...... The
values and attitudes held by leaders and members are among these
factors, since their behavior depends on their judgment about which
options are useful or correct. Leral cultua: a:fers, then, to those parts
of general cuUua:= customs. gff inions. wqys of doinr and thinking-that bend social forces toward or away from the law and in
particular ways." (Friedlnan, 1987: 15).

(Kekuatan-kekuatan sosial secara terus-menerus bekerja terhadap


hukum-di sini merusak, di sanamemperbaharui; di sini memperkuat, di
sana memperlemah; memilih bagian-bagian hukum mana yang.akan
dioperasikan, dan bagian hukum mana yang tidak akan dioperasikan;
yang bersifat menggantikan, yang bersifat memutar dan yang bersifatjalan
pintas, semuanya akan bermunculan; perubahan apa yang akan diadakan,
apakah bersifat terbuka atau rahasia. Demi tuntutan untuk adanya suatu
istilah yang lebih baik, makakitamenamakan 'kekuatan-kekuatan sosial'
itu dengan istilah 'the legal culture'. Ia merupakan unsur dan sikap sosial
dan nilai sosial.lstilah 'kekuatan-kekuatan sosial' sendiri adalah suatu
abstraksi; di dalam setiap peristiwa, kekuatan-kekuatan sosial tersebut
12

tid~.k bekerja secara langsung pada sistem hukum. Warga masyarakat

mempunyai kebutuhan dan membuat tuntutan; semuainikadang-kadang


menimbulkan proses hukum dan kadang-kadang tidak menimbulkan
proses hukum-- tergantung pada kultur hukum yang mereka anut. .....
Nilai-nilai dan sikap-sikap dipertahankan oleh para pemimpin dan warga
masyarakat di antara faktor-faktor ini, sejak perilaku mereka bergantung
pada putusan tentang opsi mana yang digunakan atau yang tepat Kultur
hukum berlcaitan dengan bagian-bagian dan kulturumum yaitu; kebiasaankebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan cara berpikir---- yang
mengarahkan kekuatan-kekuatan sosial ke afah atau menjauhi hukum
dan cara-cara khusus).
b.

The_ term legal culture has been loosely used to describe a number of
related Phenomena. First, it refers to public knowledge of an attitudes and behaviour patterns toward the legal system. " (Friedman,
1987: 193).

(Istilah 'kultur hukum' telah digunakan secara longgar untuk menggambarkan sejumlah fenomena terkait. Pertama, istilah ini mengacu ke
pengetahuan masyarakat tentang dan sikap-sikap dan pola-pola perilaku
masyarakat terhadap sistem hukum).
c.

"We define legal culture to mean attitudes, values, and opinions held
in society, with regard to law, the legal system, and its various parts.
So defined, it is the legal culture which determines when, why, and
where people use law, legal institutions, or legal process; and when
they use other institutions, or do nothing, in other words, cultural
factors are an essential ingredient in turning a static structure and a
static collection ofnorms into a body of living law. Adding the legal
culture to the picture is like winding up a clock or plugging in a
machine. It sets everything in motion (Frie.dman, 1977: 76).
(Kita mendefinisikan kultur hukum sebagai 'sikap-sikap, nilai-nilai, dan

pendapat-pendapat yang dianut di masyarakat tentang hukum, sistem


hukum dan beragam bagiannya Dengan didefinisikan seperti itu, kultur
hukum itulah yang menentukan kapan, mengapa, dan di mana orangorang menggunakan hukum, institusi hukum, atau proses hukum; dan
kapan merekanatggunakaninstitusi-institusi lainnya, atau tidakmelakukan
apapun. Dengan kata lain, faktor-faktor kultural merupakan suatu unsur
esensial dalam mengubah suatu struktur statis dan suatu kumpulan nonna13

nonna statis menjadi suatu kumpulan hukum yang hidup. Menambahkan


kultur hukum kepada gambaran ini adalah seperti memutar sebuahjam
atau menghidupkan sebuah mesin. Kultur hukumitu menggerakkan segala
sesuatunya).
d.

"In theory, one ought to be able to classify and compare legal


systems by means of their cultures. This would be more meaningful
for the social study of law than the conventional method of classification. But the study of legal culture, as such, is in its infancy. Until
it grows stronger, it is hardly adequate to this task" (Friedman, 1977:
76).

(Dalam teori, orang harus dapat mengklasiflkasikan dan memperbandingkan sistem-sistem hukum melalui kultur-kulturnya Ia akan lebih
bermakna bagi kajian sosial tentang hukum, dibandingkan metode
klasiflkasi konvensional. Tetapi kajian tentang kultur hukum itu sendiri
masih berada pada tahap kanak-kanak. Hingga tumbuh menjadi lebih
kuat, kajian ini hampirtidak memadai untuk tOgas ini).
e.

"Basically, legal culture refers to two rather different sets of attitudes and values: that of the general public (we can call this 'lay
legal culture'), and that of lawyers, judges, and other professionals
(we can call this 'internal legal culture'). Lay legal culture can exist
on many levels. It is possible to speak of the legal culture of France
or Nigeria as a whole (attitudes and values which, on the whole are
characteristic of Frenchmen or Nigerians) There are also regional,
local, or grup attitudes and values about law; those of the Yoruba,
or Jews, or Britons, or plumbers, cabdrivers, big business executives" (Friedman, 1977: 76).

(Pada dasarnya, kultur hukum mengacu kedua perangkat sikap-sikap


dan nilai-nilai yang agak. berbeda; perangkat sikap-nilai publik umum (kita
dapat menyebut ini kultur hukum awam), dan perangkat nilai-nilai para
praktisi hukum, pengacara, hakim dan profesionallainnya (kita dapat
menyebut ini kultur hukum internal). Kultur hukum 'awam' dapat eksis
di banyak level. Dimungkinkan berbicara tentang kultur hukum Francis
atau Nigeria sebagai suatu keutuhan (sikap-sikap dan nilai-nilai yang
secara keseluruhan, khas orang-orang Francis atau khas orang-orang
Nigeria). Terdapat juga sikap-sikap dan nilai-nilai regional, lokal, atau
kelompok , tentang hukum: sikap-sikap dan nilai-nilai orang Yeruba, atau
14

orang-orang Yahudi, atau orang-orang Briton, atau para tukang ledeng,


para sopir taksi, para eksekutifbesar).
"A word should be said at the outset about the concept of 'legal culture'.
Scholars have used the term in a number of senses. Sometimes the phrase
describes legal consciousness-attitudes, values, beliefs, and expectations about law and the legal system. At other times, scholars employ the
term in a broader but somewhat vaguer meaning-to capture what is
distinctive about patterns of thought and behavior in, say, American law.
Some sweep even more into the category: legal institutions and the distinctive ways they function. In any case, the term refers to living law, to
law as a dynamic process; if the dry texts of statutes and cases, and the
organizational charts that describe legal institutions are the bones and
skeleton of a legal system, then legal culture is what makes the system
move and breathe. The authors of the essays, however they make use of
the term, never stray too far from the core meaning of legal consciousness; the law as image and incentive, in the minds of members of some
public". (Friedman, 1996 : 1).
Dengan memaharni pengertiankultur hukurn tersebutdi atas, sangatjelaslah
bagi kita bahwa "nilai rnalu" dalam ajaran Islam dan ''kultur sirik'' dalarn adat
asli Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan, rneropakan bagian dari apa yang

dinarnakan kultur hukum.

m. REAKTUALISASI NILAI ''MALU'' DAN KULTUR ''SIRIK"


Sayakira semua suku-bangsa dan semua bangsa di dunia memiliki kultur
''rnalu dan harga diri" di dalam nilai-nilai kulturmereka, tentunyadengan nama
yang berbeda-beda Ajaran Islam mengenal "ghirah ", orang Jepang mengenal
"girl", dan orang Sulawesi Selatan mengenal "sirik". Hal itu sangat mudah
dipaharni, karena perasaan "malu dan harga diri" adalah suatu perasaan yang
alamiah. Yang keberadaannya pada setiap manusia sesuai dengan fitrah
manusia, dan perasaan "malu" dan "harga diri" itulah yang membedakan
manusia dengan binatang rnisalnya
"Malu" dalam ajaran Islam meropakan salah satu nilai terpenting yang
menentukan kualitas keimanan seorang Muslim. Rasulullah saw bersabda :
"Biarkanlah dia, karena malu ('al-hayya') adalah bagian dari iman"
(ShahihAl- Bukhari).

Menurot Abdul 'Azis bin Fathi as-Sayyid Nada (2005 : 29) :


15

"Malu di hadapan Allah merupakan etika mulia, yang timbul dari seorang
hamba yang memahami bahwa, Allah MahaMendengar setiap ucapan, Maha
Melihat atas semua perbuatan, Maha Mengetahui segala rahasia dan yang
bukan rahasia, serta membalas semua orang sesuai perbuatannya Saat itulah
seorang hamba akan merasa malu apabila dia mengucapkan ucapan yang
jelek, atau mengerjakan perbuatan yang buruk, atau membuat kerusakan.
Rasa malu itu akan selalu bersamanyadi manapun dan kapanpun dia berada
Apalagi pada saat dia sedang sendirian, saat diajauh dari pandangan manusia,
saat dia dengan egonya merasakan bahwa Allah bersamanya, lalu dia malu
apabila melakukan maksiat saat itu.
Hikmah dari rasa malu itu di antaranya:

Bersegera dalam melaksanakan ketaatan dan menjauhkan diri dari


maksiat. Diamalu bilaAllahmilihatnyakarenameninggalkan perintahNyadan melakukanlarangan-NyaDemikianlah yang dirasakan oleh
setiap orang yang beriman.......
Menurut Prof. Mr. Dr, Andi Zainal Abidin ( 1999 : 198) "sirik" dalam
pengertian nilai budaya adalah:
"Pandangan hidup (Lebensanschauung) yang bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri, baik sebagai
individu maupun sebagai makhluk sosial".
Dengan demikian, kultur sirik inijew merupakan kulturyang luhur,tetapi
yang selama ini sudah dimaknakan secaramenyimpang oleh sebagian warga
masyarakat Sulawesi Selatan dalamkonotasi negatif sebagai alat pembenaran
untuk melakukan tindak kriminal, terutama yang berkaitan dengan tindak
kekerasan seperti penganiayaan dan pembunuhan.
Menurut pendapat saya, salah satu faktor sehingga bangsa ini mengalami
keterpurukan di berbagai bidang kehidupan, terutama di bidang hukum dan
penegakan hukum, tidak lain karena "kultur malu" yang mencakupi "harga
diri" dan "rasa malu" sudah semakin termarjinalkan oleh ''kultur konsumtif
materialistik". Kultur "komsumtif materialistik" ini kemudian pada tahapan
yang sangat parah menciptakan keinginan untuk korupsi, dan pada tahapan
yang lebih parah lagi melahirkan perilaku "kelainan jiwa" contohnyajual-beli
gelar-gelar, baik gelar akademik maupun gelar kebangsawanan. Cobalah kita
saksikan para pejabat yang dijadikan tersangka bahkan terdakwa dalam kasus
korupsi milayaran atau trilyunan, masih mampu tampil di media tanpa terkesan
16

malu sama sekali, bahkan masih mampu mengumbar senyum "kecut" ke


publik. Demikian pula, sosok-sosok pembeli gelar akademik tanpa pemah
mengikuti program studi resmi dan legal untuk memperoleh jenjang akademik
tertentu,juga tanpa sedikitpun rasa malu malah merasa bangga mengenakan
gelar-gelar akademik yang diperolehnya hanyadengan membayar setumpuk
uang kepadalembaga yang memang bergerak di bidangjual-beli gelar semacam
itu, dengan bertopengkan nama-nama keren seperti universitas atau akademi
intemasional dan semacarnnya
Say a teringat dalam satu kesempatan almarhum Prof. Dr. Baharuddin
Lopa pemah mengemukakan bahwa:
"Sesuai dengan pengamatan saya, pengaruh-pengaruh untuk mendorong
kita masuk ke lingkungan yang dice/a agama dan etika semakin kuat
dan menyeluruh. Saya katakan semakin kuat, karena pengaruh untuk
menaklukkan hati nurani kita sehingga terjerumus untuk melakukan
maksiat semakin kuat daya tariknya. Juga sudah menyeluruh... ".

Reaktualisasi "nilai malu Islam'' dan kultur sirik secara optimal ke dalam
penegakan hukum, niscaya akan mampu mengubah keterpurukan "law enforcement'' menjadi jauh lebih baik; reaktualisasi "nilai malu Islam" dan kultur
sirik secara optimal ke dalam proses pengadilan, niscaya akan jauh lebih
cfektif untuk memberantas "mafia pengadilan" ketimbang terlalu berharap
banyak kepada Komisi Yudisial yang bam terbentuk. Reaktualisasi "nilai malu
Islam" dan kultur sirik secaraoptimal di dalam praktekhukum pada umumnya,
niscaya mampu membangun langkah-langkah terobosan untuk mengatasi ''the
limit of law" dan mengatasi ketertinggalan sebagian perundang-undangan
warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda
Para hakim yang melahirkan putusan dengan pengaruh ''nilai malu Islam"
(hakim Muslim) dan kultur sirik, niscaya putusannya akan jauh lebih mampu
melaksanakan perintah undang-undang, yaitu perintah Pasal28 ayat (1)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
bunyinya:
"Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat".

Kita jangan pemah lupa, bahwa kualitas putusan hakim, tidak sekedar
ditentukan oleh faktor-faktor yang sifatnya yuridis semata, tetapi juga sangat
ditentukan oleh faktor-faktor non yuridis, termasuk di dalarnnya, faktor kultur
17

hukum dari masing-masing hakim, sebagaimana yang pemah dikemukakan


oleh mantan Hakim Agung Amerika Serikat yang sangat terkenal itu. Justice
Benjamin N. Cardozo bahwa ia memutuskan suatu petkara,jelas dipengaruhi
oleh:
"by my own or the common standards of justice and moral? Into
that strange compound which is brewed daily in the caldron of the
courts, all these ingredients enter in varying proportions".

(oleh standar-standar moral dan keadilan yang saya anut, yang dituangkan
menjadi suatu "ramuan asing" yang dimasak setiap hari di dalam
''panci"'nya pengadilan, eli mana semua unsur ramuan masuk ke dalam
"putusan" itu dengan proporsi yang berbeda-beda).
Para "aktor" yang terlibat dalam proses litigasi di pengadilan, baik para
hakim, maupun para pengacara, parajaksa penuntut umum, maupun para
klien (pencari keadilan), kesemuanya itu tak mungkin terbebas dari betbagai
pengaruh non-hukum yang mereka peroleh dalam proses sosialisasi yang
mereka lalui. Sehubungan dengan hal ini, Michael J. Saks & Reid Hastie
(1978 : 205) menulis bahwa:
" .. the various actors who come together in and around courts are inseparable from their membership in a social system. Apart from their
social system, the individual components become stripped oftheir meaning and without fimction ".

Lebih lanjut Michael J. Saks & Reid Hastie (1978: 205) menegaskan
tidak mungkin suatu putusan pengadilan dinetra1kan dari berbagai pengaruh
non-hukum yang diperolehnya sebagai anggota suatu sistem sosial tertentu:
"In the decision-making and dispute-resolving system that is the court,
no decision comes from any element acting alone, all outputs resultfrom
a structured system of social relationship".
Harry C, Bredemeier (Vilhelm Aubert, 1979: 52-67) adalah salah satu
eksponen Sosiologi Hukum yang secaralebih gamblang dan rinci menguraikan
tentang hubungan timbal-balik antara pengadilan sebagai salah satu sub-sistem
sosial dengan sub-sub sistem sosiallain yang ada di masyarakat. Harry C.
Bredemeier menarnakannya sebagai ''proses inputs-outputs".

Bredemeiermelihat fungsi hukum adalah menembkan pemecahan konflikkonflik. Secara tidak langsung, "hukum" ,di mana model hukum yang paling
18

Jelas menurut Bredemeier adalah pengadilan, baru beroperasi setelah adanya


suatu konflik.
Menurut Bredemeier, untuk melaksanakan tugasnya itu, pengadilan
membutuhkan tigakeadaan, atau di dalam istilah yang digunakan oleh Talcott
Parsons dan para koleganya, pengadilan bergantung pada tiga jenis "inputs":
(1) Pengadilan membutuhkan suatu analisis tentang hubungan sebab-akibat.
Pengadilan membutuhkan suatu cara untuk memastikan;
a.

"hubungan masa lalu" antara tindakan yang diduga telah dilakukan


oleh tergugat (atau terdakwa) dan kerugian yang diderita oleh
penggugat (atau penuntut)

b. "kemungkinan di masa depan" mengenai hubungan antara putusan


dan aktivitas-aktivitas tergugat dan penggugat, serta seluruh person
dalam situasi yang serupa.
(2) Pengadilan membutuhkan satu konsep tentang ''pembagian kelja", suatu
konsep tentang tujuan dan sistem-sistem yang ada, serta mengetahui usaha

apa yang diupayakan negara untuk menciptakan atau mempertahankan


pelaksanaan kekuasaan. Dengan perkataan lain, ada kebutuhankebutuhan standar untuk mengevaluasi tuntutan-tuntutan yang saling
bertentangan dan mengantisipasi efek-efek dan suatu putusan terhadap
struktur peran.
(3) Untuk melaksanakan fungsinya, pengadilan membutuhkan suatu kemauan
dari para pihak untuk menggunakan pengadilan sebagai mekanisme
penyelesaian konflik mereka. Motivasi untuk menerima pengadilan dan
menaati putusannyaadalah suatu "inputs" di mana pengadilan menukamya
dengan "outputs" berupakeadilan.
Dalam kaitan dengan butir (3) di atas, berminat atau tidaknya warga
masyarakat pencari keadilan untuk memanfaatkan pranata pengadilan, tak
ada bedanya dengan berminat atau tidaknya warga masyarakat untuk
berbelanja atau tidak di pasar-pasar swalayan. Pilihan minat ini tentu lebih
banyak berlaku untuk kasus-kasus perdata ketimbang kasus pidana, karena
di dalam kasus pidana, warga masyarakat ''hampir" tidak mempunyai pilihan
untuk menghindari penggunaan pengadilan. Saya mengatakan "hampir" dan
bukannya mengatakan "tidak ada sama sekali pilihan", karena di dalam
kenyataannya, di dalam kasus pidanapun pilihan itu tetap ada, meskipun lebih
kecil dibanding dalam kasus-kasus perdata. Pilihan dalamkasus plchma untuk
19

mau menggunakan pengadilan atau tidak, merupakan "pilihan yang melanggar


hukum". Contoh pilihan yang melanggar hukum, tetapi dalam kenyataannya
sering terjadi, adalah pilihan dari seseorang pelanggar peraturan lalu lintas di
jalan raya untuk ''berdamai" dengan oknum petugas yang menilangnya, sehingga
dapat menghindari penggunaan pengadilan.
Kebebasan memilih, apakah akan menggunakan pengadilan atau tidak,
jauh lebih besar dalam kasus-kasus perdata. Sebagai contoh, seorang kreditor
yang menginginkan uangnya kembali dan dibayar oleh pihak debitor, dapat
memilih beberapa pilihan. Berkaitan dengan pilihan tersebut, kita tidak lagi
berada dalam bidang normatif, tetapi sudah berada di "kawasan kultur
hukum"
Apakah seseorang memilib untuk menggunakan pengadilan atau tidak,
tergantung pada kultur hukum yang melatarbelakanginya Jika kultur hukum
seseorang didominasi oleh kultur litigasi, berarti ia akan lebih cenderung
menggunakan pengadilan sebagai sarananyadalam menyelesaikan konfliknya
dengan pihak lain. Sebaliknyajika kultur hukum seseorang didominasi oleh
kultur non-litigasi, maka tentunyaia akan cenderung menggunakan cara-cara
di luarpengadilan. Caranon-litigasi ini ada yang "legal" dan ada yang melanggar
hukum. Cara non-litigasi yang legal misalnya dengan menggunakan cara
mediasi; sedangkan caranon-litigasi yang sudahmelanggar hukumjikamisalnya
seseorang menggunakan jasa "debt collector' untuk melakukan intimidasi,
baik secara psikologis maupun secara fisik dalam menagih piutangnya
Banyak penelitian pakaryangmengkaji bagaimana pengaruh kultur hukum
terhadap putusan pengadilan, di antaranya Marc Galanter dengan karyanya
yang terkenal; Why the "Have" Come Out Ahead: Speculations on the
Limits ofLegal Change (termuat dalam : ''Law and Society Review, Edisi 9,
1974: 95), yang memaparkan mengapa golongan yang berkocek teballebih
mampu memanfaatkan hukum ketimbang golongan tak berpunya Demikian
juga pengkajian yang dilakukan oleh Dahrendorf (SChuyt, 1971: 112) mengenai
hakim di Jerman Barat yang mengkaji tentang latar belakang sosial para hakim
dan pengaruhnya terhadap peran mereka sebagai hakim. Hal yang identik
juga dipaparkan dalam karya Chambliss & Seidman (1971 : 98) tentang
hubungan antara para hakim dan sosialisasinya di Amerika Serikat. Talcott
Parsons maupun Julius Stone ( 1966: 32) meskipun tidak secara khusus
membahas masalah hakim dan pengadilan, tetapi masing-masing mengemukakan adanya "expected reactions'' dari masyarakat terhadap hakim, sehingga

20

apa yang ingin dilakukan oleh seorang hakim tak dapat ditentukannya sendiri
secara penuh, melainkan sangat bergantung pada tata nilai dan struktur
masyarakatnya. Friedman (1967: 798) juga mengemukakan beberapa
pengaruh yang ditimbulkan oleh meningkatnyajumlah penduduk, k.emakmuran
serta industri-industri komersial terhadap pengadilan di Amerika Serikat,
terltadap langkah-langkah yang kemudian diambil oleh pengadilan (bacajuga
Satjipto Rahardjo, 1983: 88). William M. Evans (1990) dalam bahasannya
tentang struktur sosial dan hukum,juga tak lupa mengkaji peran para aktor
hukumdi pengadilan.
Demikian pula karya Alan M. Dershowitz (1966) yang membeberkan
pengaruh diskriminasi ras dan kekuatan uang terltadap ''verdict" pengadilan
(putusan juri) dalam kasus O.J. Simpson yang memutuskan "not guilty" bagi
terdakwa yang oleh masyarakat Amerika Serikat diyakini adalah seorang
pembunuh yang sesungguhnya (terhadap korban, mantan istrinya dan kekasih
dari mantan istrinya).
Bagaimana kuatnya pengaruh kultur hukum terhadap putusan hakim,
digambarkan oleh Profesor Schubert (Curzon, 1979:195-198) dengan
menekal1kan pentingnya arti dari pandangan Holmes tentang hukum sebagai
"ramalan tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan di dalam
kenyataannya". Esensi dari sains adalah kapasitasnya untukmembuatramalanramalan yang berltasil, berkenan dengan perilaku tentang partikel-partikel yang
menyusun datanya Menurut Schubert,jika perltatian difokuskan pada perilaku
para hakim, maka tes terakhir dari teori-teori dan metode-metode tentang
perilaku hakim, akan mampu untuk meramalkan secara tepat putusanputusan pengadilan.
Schubert telah menganalisis data yang tepat yang dibutuhkan untuk
membuatramalan ilmiah tentang perilaku parahakim di pengadilan-pengadilan
di Amerika Serikat.
Menurut Schubert, ramalan itu dapat menggunakan dua jenis pendekatan:
a

Struktur Konversi, menurut Schubert, yang merupakan sentral dari prosesproses pembuatan kebijakan pengadilan adalah struktur konversi, di mana
putusan hakim dipengaruhi oleh basil interaksi-interaksi dari suatu
kelompok dan "pengintegrasian nilai-nilai" iridividual dari para hakim.
Analisis tersebut membutuhkan suatu studi sosiologis dan psikologis
terhadap para hakim.
21

b. Atribut-atribut dan orientasi, yang termasuk pengaruh atribut-atribut


adalah; mencakupi pengalaman pribadi sang hakim, penunjukkan politis
para hakim, aflliasi-afiliasi partai politik dari para hakim itu. Sedang yang
termasuk pengaruh orientasi-sikap adalah pengaruh faktor ekonomis
maupun politis, yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang vital
dan fundamental dalam kehidupan pribadi dan keluarga hakim itu.

IY. PENUfUP
Salah satu bangsa yang benar-benarproses hukumdan proses penegakan
hukummya didominasi oleh faktor kultur hukum asli bangsa tersebut adalah
. Jepang. Berjalannya hukum dan penegakan hukum secara sangat baik di
Jepang, terutama karena dukungan penguatan dari faktor kultur hukum asli
bangsa Jepang, yaitu kultur "malu" yang identik dengan kultur hukum asli
Sulawesi Selatan yaitu "sirik".
Kultur hukum yang "hidup" baik di kalangan warga masyarakat Jepang
pada umumnya maupun di kalangan penegak hukum Jepang, lebih efektif
ketimbangancaman pidanamati dalamundang-undangpemberantasankorupsi
kita di Indonesia. Kultur hukum "malu" yang masih besar dan masyarakat
Jepang sangatefektif sebagai alat preventifmaupun penindak terhadap perilaku
tercela, termasuk korupsi. Kultur hukum yang masih sangat bermoral di
kalangan pengacara Jepang, menyebabkan hampir tidak ada kebiasaan
pengacaraJepang untuk memutarbalikkan yang salah menjadi benar, dan yang
benar menjadi salah. Konon umumnya pengacaraJepang senantiasa berusaha
membujuk "klien"nya untuk mengakui kesalahannya, dan setelah itu
mengembalikan basil kejahatannya. Jadi motto "maju talc gentar, membela
yang membayar" tidak berlaku bagi pengacaraJepang.
Di dalam praktek hukum di Jepang, pejabat yang masih diindikasikan
melakukan suatu tindak pidana, umumnya langsung mengundurkan diri dari
jabatannya, sekalipun tidak dimintaoleh masyarakat (apalagijikasudah dituntut
mundur oleh masyarakatnya). Saat saya berada di Tokyo beberapa tahun
silam, KejaksaanMetropolitan Tokyo sedang menahan GubemurTokushima
yang didakwa mendapat suap dari seorang konglomeratJepang, dan dalam
kasus lain juga menahan Walikota Shimozuma, lbaraki. Tetapi kedua pejabat
itu secara sukarela langsung mengundurkan diri dari j abatannya sebagai
gubernur dan walikota. Hampir tak pernah kita den gar pengacara Jepang
berceloteh tentang "asas praduga tak bersalah", sangat kontras dengan
22

maraknya "asas praduga tak bersalah" itu dikumandangkan di lingkungan


penegakan hukum Indonesia
Bahkan sosok hakim bermasalah, sebelwn diajukan ke pengadilan, sudah
mengakui kesalahannya, dan secara sukarela menerima sanksi administratif
berupa pemecatan yang dijatuhkan terhadap dirinya, tanpa pernah berteriak:
''Ini melanggar asas prnduga tak bersalah!". Tampaknya ''nilai kejujuran" masih
sangat kuat melekat dalam kesadaran orang Jepang, tennasuk kejujuran untuk
mengakui kejahatannya sendiri.
Di dalam praktek hukum di Jepang, seorang tersangka yang tidak
mengaku, pasti akan ditahan, sebaliknya seorang tersangka yang mengakui
kesalahannya, tidak ditahan, kecuali jika kasusnya tergolong kasus "kelas
kakap" yang nilai kejahatannya 300 juta Yen atau lebih.
Tidak ada salahnya kita bercennin terhadap penegakan hukum Jepang
untuk memperbaiki penegakan hukum Indonesia yang penuh dengan "skenario
sandiwara''. Apalagi kebetulan adakeidentikan antarakultur hukum asli Jepang
dengan kultur hukum asli kita, termasuk salah satunyakultur "sirik'' di Sulawesi
Selatan. Bukankah orang-orang bijak telah menasihati kita: "When we realize that we get lost, tum back and go down the right way".

23

DAFI'ARPUSTAKA

Abdul'Azis bin Fathi as-Sayyid Nada, 2005, Begini Semestinya Muslim


Berperilaku, Ensiklopedi Etika Islam, Maghftrah Pustaka, Jakarta
Achmad Ali, 1998, Menjelajah Kajian Empiris terhadap Hukum, Yarsif
Watampone, Jakarta
- - - , 1999, Peranan Pengadilan sebagai Pranata Sosial, suatu
Tinjauan Sosiologi Hukum, Universitas Hasanuddin Press, Makassar
- - - , 2002, Menguak Tahir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis, Gunung Agung, Jakarta
- - - , 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia
- - - , 2004, Meluruskan Jalan Reformasi Hukum, Agatama Press,
Jakarta
- - - , 2004, Sosiologi Hukum; Kajian Empiris terhadap Pengadilan,
BP lblam, Jakarta
Andi Zainal Abidin, 1999, Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan,
Hasanuddin University Press, Makassar
Aubert, Vilhelm, 1979, Sociology ofLaw, Selected Reading, Penguin
Black, Donald, 1976, The Behavior ofLaw, Academic Press, New YorkSan Francisco-London
Cardozo, Benjamin N, 1962, The Nature of The Judicial Process, New
Haven and London, Yale University Press
Chamblish, WilliamJ &Seidman,Robert,B, 197l,Law, OrderandPower,
Reading, Mass: Addison-Westley.
Curzon, L.B, 1979, Jurisprudence, Macdonald & Evan Ltd, Estover, Plymouth.

Dershowitz, Alan M, 1996, Reasonable Doubts, Simon & Schuster


Evan, William M, 1980, Social Structure and Law; Theoretical and Empirical Perspectives, Sage Publication.
Friedman, Lawrence M, 1977, Law and Society, an Introduction, Prentice
Hall, Inc, Englewood Cliffs, NJ
24

- - - , 1987, The Legal System, A Social Science Perspective, Russell


Sage Foundation, New York
- - - & Harry N. Scheiber (Ed), 1996, Legal Culture and the Legal

Profession, Westview Press, Colorado, US


Galanter, Marc, 1974, Why the 'haves' come out ahead: Speculations on
the Limits ofLegal Change, 9 Law and Society Review 95.
Imam Az-Zabidi, 2004, Ringkasan ShahihAl- Bukhar~ Mizan, Bandung

Parsons, Talcott, 1951, The Social System, The Free Press, New York
Saks, Michael J & Hastie, Reid, 1978, Social Psychology in Court. Van
Nostrand Reinhold Company, New York
Sampord, Charles, 1989, The Disorder ofLaw, A Critique ofLegal Theory,
Basil Blackwell.
Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, suatu 1injauan
Sosiologis, Sinar Baru, Bandung
Schuyt, CJ.M, 1971, Rechtssociologie-een terreinverkenning, Universitaire
Pers, Rotterdam
Tamanaha, Brian Z, 2001, A General Jurisprudence ofLaw and Society,
Oxford University Press.

25

BIO DATA SINGKAT PROF. DR. ACHMAD ALI, S.H., M.H.


NamaLengkap

Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H.

Lahir

Makassar, 9 November 1952

Agama

Islam

Pendidikan

Sarjana Hukum UNHAS ( 1980)


Magister Hukum UGM (1985)
Doktor Hukum UNHAS (1998)

Pekerjaan

a. Dosen Tetap Fakultas Hukum UNHAS


b. Dosen Luar Biasa pada beberapa Program
Pasca Sarjanallmu Hukum, yaitu:
- PPS UNHAS Makassar
- PPS UMI Makassar
- PPS STllilblam, Jakartadankelas-kelasjauh
- PPS Universitas Borobudur, Jakarta
- PPS UNISMUH PALU.
c. Dosen Luar Biasa pada sejumlah Program S-1
Fakultas Hukum di berbagai PTS di tanah air.
d. Dosen Non-Struktural SESKOAD.

Pangkat

PembinaUtama/Guru Besar/IV-E
Pidato Pengukuhan Guru Besar dengan Judul
"Pengadilan sebagai Pranata Sosial".

Jabatan sekarang

a. Komisioner/Anggota KOMNAS HAM RI


(2002-2007)
b. Komisioner/Anggota Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) RI-Timor Leste.
c. Ketua Program S-3 (Doktor) llmu Hukum PPS
-UNHAS
d. Ketua Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia
(PERSAHI) Sulawesi Selatan
e. Director International Karate-Do Gojukai Association (IKGA) Cabang Indonesia
f. Ketua Dewan Guru Nasional Karate-Do
Gojukai Indonesia
g. Instruktur Internasional Karate-Do (Shihan)
h. Penasihat Hukum Pemda Sulteng

26

Pengalaman jabatan/
Organisasi

Lain-lain

a Man tan Dekan Fakultas Hukum UNHAS (2


periode; 1994-1998, dan 1998-2002)
b. MantanTenagaAhliJaksaAgungRI(eraJaksa
Agung Baharuddin Lopa)
c. Mantan Pembantu Dekan IT Fakultas Hukum
UNHAS ( 1992-1994)
d. Mantan Pembantu Dekan Ill Fakultas Hukum
UNHAS (2 periode; 1986-1988, dan 19881992)
e. Mantan Kepala Humas UNHAS (1985-1986)
f. Mantan Pemimpin Redaksi Koran UNHAS
"Identitas" (1985-1987)
g. Mantan Pengacara/Penasihat Hukum ( 19801983)
h. Mantan Penasihat Hukum PT Penkonindo
(1980-1983)
i Mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa
Fakultas Hukum UNHAS 1977-1978
j. Man tan Wasit Nasional FORK.I (s.d. 1980)
k. Mantan Juri lnternasional Kejuaraan Karate
AsiaPasiftk(APUKO 11-1976).
L Mantan Instruktur Seni Bela Diri Karate-Do;
- MarinirAL,duluKKO-AL 1973-1974.
- Pomdam XIV Hasanuddin, 1978-1979
Kolumnis di berbagai majalah dan koran, antara lain
di Majalah Tempo, ForumKeadilan, Gatra,Gamma,
Koran Kompas; Koran Suara Pembaruan, Koran
Tempo, Koran Suara Karya, Koran Fajar, dan
masih banyak lagi lainnya
Redaktur Ahli Jumal:
a Jurnal Hukum Amanna Gappa dari FH.Unhas
b. Jurnal Hukum Clavia dari Univ. 45 Mks
c. Jurnal Kepolisian dari PTIKJakarta.

KaryaTulis

16 buku yang diterbitkan secara nasional, 1 buku


yang diterbitkan secara internasional Puluhan
makalah, lebih 1000 artikel dan kolom.
27

Penghargaan

a.
b.
c.
d.

Hobbi

a. Koleksi Buku dan Senjata Tradisional Seni Bela


Diri
b. Membaca
c. Menulis buku, makalah, artikel dan kolom
d. Seni BelaDiri

Keluarga
A. a. Nama istri
b. Pekerjaan

Alumni UNHAS berprestasi terbaik 1996.


TheManofThe Year2001
Pemegang DAN VI Intemasional Karate-Do
Sertiflkat Manggala BP 7 Pusat, Angkatan ke18 untuk pejabat eselon I di Istana Bogor 1996.

Ny. Wiwie Heryani, S.H., M.H.


Dosen Fakultas Hukum UNHAS

MuhammadMusashi Achmadputra
B. a. Namaanak
b. Pekerjaan anak : Siswa SMA Negeri V Makassar

Alamat

Telepon/Faksimile
Handphone
E-mail

28

Komp. Dosen UNHAS TamalanreaBlok L-2


D. Prof. SR. Nur
Makassar, 90245.
(0411) 585 591
0811468228
0812 9543272
profaa@indosat.petid

Anda mungkin juga menyukai